Anda di halaman 1dari 44

MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN INTRA DAN PASCA OPERATIF

FRAKTUR

Mata Kuliah Keperawatan Perioperatif

Dosen Pengampu :

Syokumawena, S.Kep, M.Kes

Disusun Oleh :

Lati Lestari Regita Dwi Cahya


Lusi Oktaviani Sri Ramadhani
Mega Utami Sindy Aprilia
Muliya Syndy Yulistia
Msy Nabiilah F Tiara Franciska
Nurul Hidayah Wita Vera Mida
Patimah Winda Umaya
Putri Apriyandini

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN PALEMBANG
JURUSAN KEPERAWATAN
PRODI D3 KEPERAWATAN PALEMBANG
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Subhanawataallah yang telah memberikan kami


kemudahan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.
Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan
makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada
baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikan
syafa’atnya di akhirat nanti.

Saya juga mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada


Syokumawena, S.Kep, M.Kes selaku dosen mata kuliah Keperawatan Perioperatif
yang sudah memberikan kepercayaan kepada kami untuk menyelesaikan tugas ini.

Kami pun menyadari bahwa di dalam makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami mengharapkan
adanya kritik dan saran demi perbaikan makalah yang akan kami buat di masa
yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang
membangun. Mudah-mudahan makalah sederhana ini dapat dipahami oleh semua
orang khususnya bagi para pembaca. Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya
jika terdapat kata-kata yang kurang berkenan.

Palembang, 21 September 2021

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................2
1.3 Tujuan Makalah..............................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................3
2.1 Pengertian.......................................................................................................3
2.2 Klasifikasi.......................................................................................................3
2.3 Etiologi...........................................................................................................6
2.4 Manifestasi Klinis...........................................................................................7
2.5 Patofisiologi....................................................................................................8
2.6 Komplikasi.....................................................................................................9
2.7 Penatalaksanaan............................................................................................13
2.8 Pemeriksaan Penunjang................................................................................16
2.9 Konsep Asuhan Keperawatan Fraktur..........................................................17
2.9.1 Post Operasi Fraktur..............................................................................27
BAB III PENUTUP...............................................................................................37
3.1 Kesimpulan...................................................................................................37
3.2 Saran.............................................................................................................37
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................38
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Fraktur adalah patah tulang atau terganggunya kesinambungan
jaringan tulang yang disebabkan oleh trauma langsung maupun trauma
tidak langsung. Badan kesehatan dunia (WHO) mencatat jumlah kejadian
fraktur pada tahun 2011-2012 terdapat 1,3 juta orang yang menderita
fraktur. Menurut DEPKES RI tahun 2011 di Indonesia sendiri juga banyak
yang mengalami fraktur, fraktur di Indonesia terdapat 45.987 orang yang
mengalami fraktur, prevalensi kejadian fraktur yang paling tinggi adalah
fraktur femur yaitu terdapat 19.729 orang yang mengalami fraktur,
sedangkan ada 14.037 orang yang mengalami fraktur cluris dan terdapat
3.776 orang mengalami fraktur tibia. Salah satu cara untuk
mengembalikan fraktur seperti semula yaitu salah satu cara adalah
rekognisi atau dilakukan tindakan pembedahan (Sjamsuhidayat & Jong,
2005).
Pembedahan adalah segala upaya tindakan pengobatan yang secara
invasif dengan cara membuka bagian organ tubuh yang akan ditangani.
Setelah tindakan pembedahan akan dilakukan tindakan untuk menangani
rasa nyeri yaitu dengan menggunakan obat penghilang rasa nyeri
(Sjamsuhidajat,R. & Jong, 2005).
Menurut The International Association for the Study of Pain, nyeri
adalah suatu pengalaman sensorik yang tidak menyenangkan yang
diakibatkan oleh kerusakan jaringan ataupun yang berpotensi merusak
jaringan. Nyeri itu merupakan suatu hak yang kompleks meliputi aspek
fisik dan psikis. Aspek fisik meliputi perubahan keadaan umum, denyut
nadi, suhu tubuh, pernapasan, sedangkan aspek psikis akibat nyeri dapat
terjadinya stress yang bisa mengurangi sistem imun dalam proses
inflamasi. Nyeri merupakan hak yang bersifat subjektif dan personal,
sehingga masing-masing individu akan memberikan respon yang berbeda
terhadap rasa nyeri berdasarkan pengalaman sebelumnya (Judha, Sudarti
& Fauziah,2012).
Penatalaksanaan manajemen nyeri ada 2 teknik yaitu dengan cara
farmakologi dan non-farmakologi. Penatalaksanaan manajemen nyeri
farmakologi adalah penatalaksanaan manajemen nyeri dengan
menggunakan obat yang berkolaborasi antara perawat dengan dokter
dalam pemberian obat anti nyeri, sedangkan teknik non-farmakologi
adalah penatalaksanaan manajemen nyeri tanpa obat-obatan,
penatalaksanaan manajemen nyeri nonfarmakologi meliputi Guided
imagery, distraksi, hypnoanalgesia.
Teknik hypnoanalgesia merupakan teknik non-farmakologi yang
dapat dilakukan oleh perawat dalam mengatasi rasa nyeri. Kunci dari
hypnoanalgesia adalah adanya kekuatan sugesti atau keyakinan terhadap
sesuatu hal positif yang muncul berdasarkan pada konsep pikiran,
sehingga akan memberikan energi positif bagi suatu tindakan yang
dilakukan. Penggunaan metode ini mengakibatkan berkurangnya bahkan
menghilangkan rasa nyeri yang dialami tubuh manusia sebagai respon
terhadap suatu trauma (Amarta, 2012).

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa itu fraktur ?
2. Apa saja etiologi yang dapat menyebabkan fraktur ?
3. Apa saja pengkajian pada pasien fraktur ?
4. Bagaimana cara pengkajian sampai evaluasi pada pasien fraktur ?

1.3 Tujuan Makalah


1. Agar dapat mengetahui tentang pengertian fraktur sampai ke
patofisiologi terjadinya fraktur
2. Agar dapat mengetahui penyebab pasien fraktur
3. Agar dapat mengetahui apa saja yang dikaji saat ada pasien fraktur
4. Agar dapat mengetahui asuhan keperawatan pada pasien fraktur
dari pengkajian sampai ke evaluasi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Pengertian
Fraktur adalah patahnya kontinuitas tulang yang terjadi ketika
tulang tidak mampu lagi menahan tekanan yang diberikan kepadanya.
(Doenges, 2000:625)
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang
biasanya disertai dengan luka sekitar jaringan lunak, kerusakan otot,
rupture tendon, kerusakan pembuluh darah, dan luka organ-organ tubuh
dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadinya fraktur jika tulang
dikenai stress yang lebih besar dari yang besar dari yang dapat
diabsorbsinya (Smeltzer, 2001).
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan
tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa
(Mansjoer, 2007).
Jadi, fraktur adalah suatu diskontiunitas jaringan tulang yang
banyak disebabkan karena kekerasan yang mendadak atau tidak atau
kecelakaan.

2.2 Klasifikasi
Fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis ,
dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu:
a. Berdasarkan sifat fraktur.
a. Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih
(karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup
ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak
sekitar trauma, yaitu:
1) Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera
jaringan lunak sekitarnya.
2) Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan
jaringan subkutan.
3) Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan
lunak bagian dalam dan pembengkakan.
4) Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang
nyata ddan ancaman sindroma kompartement.
b. Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya
perlukaan kulit.
Fraktur terbuka terbagi atas tiga derajat, yaitu :
1) Derajat I :
·         Luka < 1 cm
·         Kerusakan jaringan lunak sedikit, tidak ada tanda luka
remuk
·         Fraktur sederhana, tranversal, oblik, atau kominutif
ringan
·         Kontaminasi minimal
2) Derajat II :
·         laserasi > 1 cm
·         Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/avulse
·         Fraktur kominutif sedang
·         Kontaminasi sedang
3) Derajat III :
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi
struktur kulit, otot dan neurovascular serta kontaminasi derajat
tinggi. Fraktur derajat tiga terbagi atas :
1. Jaringan lunak yang menutupi fraktur tulang adekuat,
meskipun terdapat laserasi luas/flap/avulse atau fraktur
segmental/sangat kominutif yang disebabkan oleh trauma
berenergi tinggi tanpa melihat besarnya ukuran  luka.
2. Kehilangann jaringan lunak dengan fraktur tulang yang
terpapar atau kontaminasi massif.Luka pada pembuluh
arteri/saraf perifer yang harus diperbaiki tanpa melihat
kerusakan jaringan lunak.
b. Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur.
1) Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang
tulang atau melalui kedua korteks tulang seperti terlihat pada foto.
2) Fraktru Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh
penampang tulang seperti:
a) Hair Line Fraktur (patah retidak rambut).
b) Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks
dengan kompresi tulang spongiosa di bawahnya.
c) Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi
korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang.
c. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubbungannya dengan mekanisme
trauma.
1) Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang
dan merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
2) Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut
terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga.
3) Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral
yang disebabkan trauma rotasi.
4) Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi
yang mendorong tulang ke arah permukaan lain.
5) Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan
atau traksi otot pada insersinya pada tulang.
d. Berdasarkan jumlah garis patah.
1) Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan
saling berhubungan.
2) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak berhubungan.
3) Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak pada tulang yang sama.
e. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.
1) Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap tetapi
kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum nasih utuh.
2) Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang
yang juga disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
a. Dislokai ad longitudinam cum contractionum (pergeseran
searah sumbu dan overlapping).
b. Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
c. Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling
menjauh).
3) Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
4) Fraktur Patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis
tulang.
f. Berdasarkan posisi frakur
Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian :
a. 1/3 proksimal
b. 1/3 medial
c. 1/3 distal

2.3 Etiologi
Fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang
berlebihan pada tulang yang biasanya di akibatkan secara langsung dan
tidak langsung dan sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan atau
luka yang di sebabkan oleh kendaraan bermotor.
Penyebab patah tulang paling sering di sebabkan oleh trauma
terutama pada anak-anak, apabila tulang melemah atau tekanan ringan.
(Doenges, 2000:627)
Menurut Carpenito (2000), Doengoes(2000) dan Price dan Wilson
(2006) adapun penyebab fraktur antara lain:
1)      Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik
terjadinya kekerasan. Fraktur demikian demikian sering bersifat
fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring.
2)      Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat
yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya
adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor
kekerasan.
3)    Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan
dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan,
kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.
4) Fraktur Patologik
Stuktur yang terjadi pada tulang yang abnormal
(kongenital,peradangan, neuplastik dan metabolik).
5) Fraktur beban
Fraktur baban atau fraktur kelelahan terjadi pada orang- orang
yang baru saja menambah tingkat aktivitas mereka, seperti baru di
terima dalam angkatan bersenjata atau orang- orang yang baru mulai
latihan lari.

2.4 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinik dari faktur ,menurut Brunner and Suddarth,
(2002:2358) dan Santoso Herman (2000:153) :
a. Nyeri terus-menerus dan bertambah beratnya sampai tulang
diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk
bidai almiah yang di rancang utuk meminimalkan gerakan antar
fregmen tulang
b. Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah
c. Pada fraktur panjang terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya
karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
Fragmen sering saling melingkupi satu samalain sampai 2,5-5 cm (1-2
inchi)
d. Saat ekstermitas diperiksa dengan tangan teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu
dengan lainnya (uji krepitus dapat mengaibatkan kerusakan jaringan
lunak yang lebih berat).
e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal terjadi sebagai akibat
trauma dari pendarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru bisa
terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cidera.
Tidak semua tanda dan gejala tersebut terdapat pada setiap fraktur.
Kebanyakan justru tidak ada pada fraktur linear atau fisur atau fraktur
impaksi (permukaan patahan saling terdesak satu sama lain). Diagnosis
fraktur bergantung pada gejala, tanda fisik, dan pemeriksaan sinar-x
pasien. Biasanya pasien mengeluhkan mengalami cedera pada daerah
tersebut.

2.5 Patofisiologi
Patah tulang biasanya terjadi karena benturan tubuh, jatuh atau
trauma. Baik itu karena trauma langsung misalnya: tulang kaki terbentur
bemper mobil, atau tidak langsung misalnya: seseorang yang jatuh dengan
telapak tangan menyangga. Juga bisa karena trauma akibat tarikan otot
misalnya: patah tulang patela dan olekranon, karena otot trisep dan bisep
mendadak berkontraksi. (Doenges, 2000:629)
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat
patah dan ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak
juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi peradangan biasanya timbul
hebat setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan sel mast berakumulasi
menyebabkan peningkatan aliran darahketempat tersebut. Fagositosis dan
pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai. Di tempat patah terbentuk fibrin
(hematoma fraktur) dan berfungsi sebagai jala-jala untuk melekatkan sel-
sel baru. Aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru imatur
yang disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang baru
mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati Carpenito
(2000:50)
Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang
berkaitan dengan pembengkakan yg tidak ditangani dapat menurunkan
asupan darah ke ekstremitas dan mengakibatkan kerusakan saraf perifer.
Bila tidak terkontrol pembengkakan dapat mengakibatkan peningkatan
tekanan jaringan, oklusi darah total dapat berakibat anoksia jaringanyg
mengakibatkan rusaknya serabut saraf maupun jaringan otot. Komplikasi
ini dinamakan sindrom kompartemen (Brunner & suddarth, 2002: 2387).
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan
gaya pegas untuk menahan tekanan. Tapi apabila tekanan eksternal yang
datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma
pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas
tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf
dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang
rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah
hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke
bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini
menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai denagn
vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih.
Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang
nantinya (Doenges, 2000:629)

2.6 Komplikasi
Komplikasi fraktur menurut Smeltzer dan Bare (2001) dan Price (2006)
antara lain:
1) Komplikasi Awal
a) Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak
adanya nadi, CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma
yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh
tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit,
tindakan reduksi, dan pembedahan.
b) Kompartement Syndrom
Komplikasi ini terjadi saat peningkatan tekanan jaringan
dalam ruang tertutup di otot, yang sering berhubungan dengan
akumulasi cairan sehingga menyebabkan Ini bisa disebabkan
karena penurunan ukuran kompartement otot karena fasia yang
membungkus otot terlalu ketat, penggunaan gibs atau balutan yang
menjerat ataupun peningkatan isi kompatement otot karena edema
atau perdarahan sehubungan dengan berbagai masalah (misalnya :
iskemi,dan cidera remuk).
Gejala – gejalanya mencakup rasa sakit karena
ketidakseimbangan pada luka, rasa sakit yang berhubungan dengan
tekanan yang berlebihan pada kompartemen, rasa sakit dengan
perenggangan pasif pada otot yang terlibat, dan paresthesia.
Komplikasi ini terjadi lebih sering pada fraktur tulang kering
(tibia) dan tulang hasta (radius atau ulna).
c) Fat Embolism Syndrom
Merupakan keadaan pulmonari akut dan dapat
menyebabkan kondisi fatal. Hal ini terjadi ketika gelembung –
gelembung lemak terlepas dari sumsum tulang dan mengelilingi
jaringan yang rusak. Gelombang lemak ini akan melewati sirkulasi
dan dapat menyebabkan oklusi pada pembuluh – pembuluh darah
pulmonary yang menyebabkan sukar bernafas. Gejala dari sindrom
emboli lemak mencakup dyspnea, perubahan dalam status mental
(gaduh, gelisah, marah, bingung, stupor), tachycardia, demam,
ruam kulit ptechie.
d) Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada
jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit
(superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus
fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam
pembedahan seperti pin dan plat.
e) Avaskuler Nekrosis
Avaskuler nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke
tulang rusak atau terganggu yang bias menyebabkan nekrosis
tulang dan di awali dengan adanya Volkman’s Ischemia (Smeltzer
dan Bare, 2001).
f) Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan
meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan
menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.
g) Osteomyelitis
Adalah infeksi dari jaringan tulang yang mencakup
sumsum dan korteks tulang dapat berupa exogenous (infeksi masuk
dari luar tubuh) atau hematogenous (infeksi yang berasal dari
dalam tubuh). Patogen dapat masuk melalui luka fraktur terbuka,
luka tembus, atau selama operasi. Luka tembak, fraktur tulang
panjang, fraktur terbuka yang terlihat tulangnya, luka amputasi
karena trauma dan fraktur – fraktur dengan sindrom kompartemen
atau luka vaskular memiliki risiko osteomyelitis yang lebih besar.
2) Komplikasi Dalam Waktu Lama
a) Delayed Union (Penyatuan tertunda)
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur
berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk
menyambung. Ini disebabkan karena penurunan supai darah ke
tulang.
b) Non union (tak menyatu)
Penyatuan tulang tidak terjadi,  cacat diisi  oleh  jaringan
fibrosa. Kadang –kadang dapat terbentuk sendi palsu pada tempat
ini. Faktor – faktor yang dapat menyebabkan non union adalah
tidak adanya imobilisasi, interposisi jaringan lunak, pemisahan
lebar dari fragmen contohnya patella dan fraktur yang bersifat
patologis..
c) Malunion
Kelainan penyatuan tulang karena penyerasian yang buruk
menimbulkan deformitas, angulasi atau pergeseran.
1. Stadium Penyembuhan Tulang
Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain.
Fraktur merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah
dengan jalan membentuk tulang baru diantara ujung patahan tulang.
Tulang baru dibentuk oleh aktivitas sel-sel tulang. Ada lima stadium
penyembuhan tulang, yaitu:
1. Stadium Satu-Pembentukan Hematoma
Dalam 24 jam pertama mulai terbentuk bekuan darah dan fibrin
yang masuk kearea fraktur. Suplai darah meningkat, terbentuklah
hematom yang berkembang menjadi jaringan granulasi sampai hari
kelima.
2. Stadium Dua-Proliferasi Seluler   
Pada stadium ini terjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi
fibro kartilago yang berasal dari periosteum,`endosteum, dan bone
marrow yang telah mengalami trauma. Sel-sel yang mengalami
proliferasi ini terus masuk ke dalam lapisan yang lebih dalam dan
disanalah osteoblast beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis.
Dalam beberapa hari terbentuklah tulang baru yg menggabungkan
kedua fragmen tulang yang patah. Fase ini berlangsung selama 8 jam
setelah fraktur sampai selesai, tergantung frakturnya. 
3. Stadium Tiga-Pembentukan Kallus
Sel–sel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan
osteogenik. Bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai
membentuk tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi oleh
kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi dengan
mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati. Massa sel yang tebal dengan
tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kallus atau bebat pada
permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang yang imatur
(anyaman tulang ) menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat
fraktur berkurang pada 4 minggu setelah fraktur menyatu. 
4.  Stadium Empat-Konsolidasi (6-8 bulan)
Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang
berubah menjadi lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan
memungkinkan  osteoclast menerobos melalui reruntuhan pada garis
fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi celah-celah yang
tersisa diantara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses
yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat
untuk membawa beban yang normal. 
5. Stadium Lima-Remodelling (6-12 bulan)
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat.
Selama beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang
oleh proses resorbsi dan pembentukan tulang yang terus-menerus.
Lamellae yang lebih tebal diletidakkan pada tempat yang tekanannya
lebih tinggi, dinding yang tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum
dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur yang mirip dengan
normalnya.
Faktor – faktor yang mempengaruhi proses pemulihan :
 Usia klien
 Immobilisasi
 Tipe fraktur dan area fraktur
 Tipe tulang yang fraktur, tulang spongiosa lebih cepat sembuh
dibandingkan dengan tulang kompak.
 Keadaan gizi klien.
 Asupan darah dan hormon – hormon pertumbuhan yang
memadai.
 Latihan pembebanan berat badan untuk tulang panjang.
 Komplikasi atau tidak misalnya infeksi biasa menyebabkan
penyembuhan lebih lama.
 Keganasan lokal, penyakit tulang metabolik dan kortikosteroid.
(Doenges, 2000:632-633)

2.7 Penatalaksanaan
a. Fraktur Terbuka
Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh
bakteri dan disertai perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8 jam
(golden period). Kuman belum terlalu jauh meresap dilakukan:
1) Pembersihan luka
2) Exici
3) Hecting situasi
4) Antibiotik
b. Secara Keseluruhan
Menurut Mansjoer (2000) dan Muttaqin (2008) konsep dasar yang
harus dipertimbangkan pada waktu menangani fraktur yaitu :
rekognisi, reduksi, retensi, dan rehabilitasi.
1. Rekognisi (Pengenalan )
Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk
menentukan diagnosa dan tindakan selanjutnya.
2. Reduksi (manipulasi/ reposisi)
Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk memanipulasi
fragmen fragmen tulang yang patah sedapat mungkin kembali lagi
seperti letak asalnya. Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang
sehingga kembali seperti semula secara optimal. Reduksi fraktur
dapat dilakukan dengan cara :
a. Reduksi tertutup
Dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang
keposisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan
manipulasi dan traksi manual (Tujuannya adalah perbaikan
dislokasi, mengurangi fraktur, dan pada keadaan emergency)
b. Traksi
Secara umum traksi dilakukan dengan menempatkan beban
dengan tali pada ekstermitas pasien. Tempat tarikan
disesuaikan sedemikian rupa sehingga arah tarikan segaris
dengan sumbu panjang tulang yang patah.
c. Reduksi terbuka.
Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka. Dengan
pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi
interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat paku, atau
batangan logam digunakan untuk mempertahankan fragmen
tulang dalam posisnya sampai penyembuhan tulang yang solid
terjadi.
Reduksi fraktur dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah
jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena
edema dan perdarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi fraktur
menjadi semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami
penyembuhan (Mansjoer, 2002).
3. Retensi (Immobilisasi)
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang
sehingga kembali seperti semula secara optimal. Setelah fraktur
direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau di pertahankan
dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan.
Imobilisasi dapat dilakukan dengan :
a. Fiksasi eksterna (OREF)
Fiksasi eksternal digunakan untuk mengobati fraktur
terbuka dengan kerusakan jaringan lunak. Fiksasi eksterna
adalah alat yang diletakkan diluar kulit untuk menstabilisasikan
fragmen tulang dengan memasukkan dua atau tiga pin metal
perkutaneus menembus tulang pada bagian proksimal dan
distal dari tempat fraktur dan pin tersebut dihubungkan satu
sama lain dengan menggunakan eksternal bars.
Teknik ini terutama atau kebanyakan digunakan untuk
fraktur pada tulang tibia, tetapi juga dapat dilakukan pada
tulang femur, humerus dan pelvis (Mansjoer, 2000).
Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai,
traksi kontinu, pin, dan teknik gips, atau fiksator eksterna.
b. Fiksasi interna (ORIF)
Implan logam dapat di gunakan untuk fiksasi intrerna yang
brperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.
4. Rehabilitasi
Mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin
untuk menghindari atropi atau kontraktur. Bila keadaan
mmeungkinkan, harus segera dimulai melakukan latihan-latihan
untuk mempertahankan kekuatan anggota tubuh dan mobilisasi
(Mansjoer, 2000).

2.8 Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan Radiologi
1) X.Ray : Dilakukan untuk melihat bentuk patahan atau keadaan
tulang yang cedera.
2) Tomografi : menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur
yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini
ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada
satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
3) Arteriogram : dilakukan bila ada kerusakan vaskuler.
4) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak
karena ruda paksa.
5) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan
pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami
kerusakan akibat trauma.
6) Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara
transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang
yang rusak.
7) MRI Scans : menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
8) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi
pada tulang.
9) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang
diakibatkan fraktur.
b. Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan Darah Lengkap
a. Lekosit turun/meningkat
b. Eritrosit dan Albumin turun
c. Hb, Hematokrit sering rendah akibat perdarahan.
d. Laju Endap Darah (LED) meningkat bila kerusakan jaringan
lunak sangat luas.
e. Enzim : Enzim otot seperti Kreatinin Kinase (trauma otot
meningkatkan beban kreatinin untuk ginjal.) Laktat
Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat Amino Transferase (AST),
Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
f. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan
darah, transfusi multiple, atau cederah hati.
g. Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
h. Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan
menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
2) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas :
didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.
3) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.

2.9 Konsep Asuhan Keperawatan Fraktur

1. Fase Intra Operatif


a. Definisi
Fase intra operatif dimulai ketika pasien masuk ruang operasi
dan berakhir saat pasien dipindahkan ke ruang pemulihan. Tim intra
operatif:

1) Ahli bedah
Tim pembedahan dipimpin oleh ahli bedah senior atau ahli bedah
yang sudah melakukan operasi.

2) Asisten pembedahan (1orang atau


lebih) asisten bius dokter, risiden, atau perawat, di bawah petunjuk
ahli bedah. Asisten memegang retractor dan suction untuk melihat
letak operasi.
3) Anaesthesologist atau perawat
anaesthesi.
Perawat anesthei memberikan obat-obat anesthesia dan obat-obat
lain untuk mempertahankan status fisik klien selama pembedahan.

4) Circulating Nurse
Peran vital sebelum, selama dan sesudah pembedahan.

Tugas :

Set up ruangan operasi

a) Menjaga kebutuhan alat


b) Check up keamanan dan fungsi semua peralatan sebelum
pembedahan
c) Posisi klien dan kebersihan daerah operasi sebelum drapping.
d) Memenuhi kebutuhan klien, memberi dukungan mental,
orientasi klien.
Selama pembedahan :

a) Mengkoordinasikan aktivitas
b) Mengimplementasikan NCP
c) Membenatu anesthetic
d) Mendokumentasikan secara lengkap drain, kateter, dll.
5) Surgical technologist atau Nurse
scrub; bertanggung jawab menyiapkan dan mengendalikan
peralatan steril dan instrumen, kepada ahli bedah/asisten.
Pengetahuan anatomi fisiologi dan prosedur pembedahan
memudahkan antisipasi instrumen apa yang dibutuhkan.

b. Penyiapan kamar dan team pembedahan

Keamanan klien diatur dengan adanya ikat klien dan pengunci


meja operasi. Dua factor penting yang berhubungan dengan keamanan
kamar pembedahan : lay out kamar operasi dan pencegahan infeksi.

1) Lay Out pembedahan.


Ruang harus terletak diluar gedung RS dan bersebelahan dengan
RR dan pelayanan pendukung (bank darah, bagian pathologi dan
radiology, dan bagian logistik). Alur lalu lintas yang menyebabkan
kontaminasi dan ada pemisahan antara hal yang bersih dan
terkontaminasi  design (protektif, bersih, steril dan kotor).

Besar ruangan tergantung pada ukuran dan kemampuan rumah


sakit.

Umumnya :

a) Kamar terima
b) Ruang untuk peralatan bersih dan kotor.
c) Ruang linen bersih.
d) Ruang ganti
e) Ruang umum untuk pembersihan dan sterilisasi alat.
f) Scrub area.
Ruang operasi terdiri dari :

a) Stretcher atau meja operasi.


b) Lampu operasi.
c) Anesthesia station.
d) Meja dan standar instrumen.
e) Peralatan suction.
f) System komunikasi.
2) Kebersihan dan Kesehatan Team Pembedahan.
Sumber utama kontaminasi bakteri  team pembedahan yang
hygiene  dan kesehatan  ( kulit, rambut, saluran pernafasan).

Pencegahan kontaminasi :

a) Cuci tangan.
b) Handscoen.
c) Mandi.
d) Perhiasan (-).
3) Pakaian bedah.
Terdiri : Kap, Masker, gaun, Tutup sepatu, baju OK.
Tujuan: Menurunkan kontaminasi.

4) Surgical Scrub.
Cuci tangan pembedahan dilakukan oleh :

a) Ahli Bedah
b) Semua asisten
c) Scrub nurse.
 sebelum menggunakan sarung tangan dan gaun steril.

Alat-alat:

a) Sikat cucin tangan reuable / disposible.


b) Anti microbial : betadine.
c) Pembersih kuku.
Waktu : 5 – 10 menit  dikeringkan dengan handuk steril.

c. Anasthesia
Anasthesia (Bahasa Yunani)  Negatif Sensation. Anasthesia
menyebabkan keadaan kehilangan rasa secara partial atau total,
dengan atau tanpa disertai kehilangan kesadaran. Tujuan anasthesia
adalah untuk memblok transmisi impuls syaraf, menekan refleks,
meningkatkan relaksasi otot. Pemilihan anesthesia oleh
anesthesiologist berdasarkan konsultasi dengan ahli bedah dan factor
klien.

Perawat perlu mengenal ciri farmakologic terhadap obat


anesthesia yang digunakan dan efek terhadap klien selama dan
sesudah pembedahan.

1) Anasthesia Umum.
Adalah keadaan kehilangan kesadaran yang reversible
karena inhibisi impulse saraf otak. Misal : bedah kepala, leher.
Klien yang tidak kooperatif.

Stadium Anesthesia :
a) Stadium I : Relaksasi
Mulai klien sadar dan kehilangan kesadaran secara bertahab.

b) Stadium II : Excitement.
Mulai kehilangan kesadaran secara total sampai dengan
pernafasan yang iregular dan pergerakan anggota badan tidak
teratur.
c) Stadium III : Ansethesi pembedahan..
Ditandai dengan relaksasi rahang, respirasi teratur, penurunan
pendengaran dan sensasi nyeri.
d) Stadium IV : Bahaya.
Apnoe, Cardiapolmunarry arrest, dan kematian.

2) Anestesi Local Atau Regional


Anestesi local atau regional secara sementara memutus
transmisi impuls saraf menuju dan dari lokasi khusus. Luas
anestesi tergantung :

a) Letak aplikasi
b) Volume total anestesi
c) Kosentrasi dengan kemampuan penetrasi obat
Penggunaan regional anestesi :

a) Kontra indikasi general anestesi


b) Klien mengalami reaksi yang merugikan dengan general
anestesi
c) Pilihan klien
Komplikasi :

a) Over dosis
b) Teknik pemberian yang salah
c) Sensitifitas klien terhadap anestesi
Tanda :
a) Stimulasi Central Nervous System diikuti depresi CNS
dan cardio: Gelisah, pembicaraan incoherent, sakit kepala,
mata kabur, rasa metalik, mual, muntah, tremor,konfulsi dan
peningkatan nadi respirasi , tekanan darah
b) Komplikasi local : Edema, peradangan, abses,
necrosis,ganggren.

d. Pengkajian
Di ruang penerimaan perawat sirkulasi :

a) Memvalidasi identitas klien.


b) Memvalidasi inform concent.
Chart Review :

a) Memberikan informasi yang dibutuhkan untuk mengidentifikasi


kebutuhan actual dan potensial selama pembedahan.
b) Mengkaji dan merencanakan kebutuhan klien selama dan sesudah
operasi.
Perawat menanyakan :

a) Riwayat allergi, reaksi sebelumnya terhadap anesthesia


atau tranfusi darah.
b) Check riwayat kesehatan dan pemeriksaan fisik.
c) Check pengobatan sebelumnya : therapy, anticoagulasi.
d) Check adanya gigi palsu, kontaks lens, perhiasan, wigs
dan dilepas.
e) Kateterisasi.

e. Diagnosis keperawatan
1. Resiko Infeksi b.d tindakan invasive (D.0142)
2. Resiko Hipotermia Perioperatif b.d prosedur pembedahan
(D.0141)
3. Resiko Pendarahan b.d prosedur invasive dan insisi
pembedahan (D.0012)
f. Intervensi Keperawatan

Diagnosa Luaran Keperawatan Intervensi Keperawatan


Keperawatan
Resiko Infeksi b.d Setelah dilakukan asuhan Observasi
tindakan invasive keperawatan selama 1x24 - Monitor tanda dan
jam diharapkan Resiko gejala infeksi lokal
Infeksi menurun, dengan dan sistemik
kriteria hasil : Terapeutik
- Nyeri menurun - Batasi jumlah
- Kebersihan badan pengunjung
meningkat - Berikan perawatan
- Kerusakan jaringan kulit pada area
menurun edema
- Kerusakan lapisan - Cuci tangan sebelum
kulit menurun dan sesudah kontak
dengan pasien dan
lingkungan pasien
- Pertahankan teknik
aseptik pada pasien
berisiko tinggi
Edukasi
- Jelaskan tanda dan
gejala infeksi
- Ajarkan cara
mencuci tangan
dengan benar
- Ajarkan etika btuk
- Ajarkan cara
memeriksa kondisi
luka atau luka
operasi
- Anjurkan
meningkatkan
- asupan nutrisi
- Anjurkan
meningkatkan
asupan cairan
Kolaborasi
- Kolaborasi
pemberian
imunisasi, jika perlu
Resiko Hipotermia Setelah dilakukan asuhan Observasi
Perioperatif b.d keperawatan selama 1x24 - Identifikasi kesiapan
prosedur pembedahan jam diharapkan Resiko dan kemampuan
Hipotermia Perioperatif menerima informasi
membaik, dengan kriteria Terapeutik
hasil : - Sediakan materi dan
- Menggigil media pendidikan
menurun kesehatan
- Suhu tubuh - Jadwalkan
membaik pendidikan
- Suhu kulit kesehatan sesuai
membaik kesepakatan
- Berikan kesempatan
untuk bertanya
Edukasi
- Ajarkan kompres
hangat jika demam
- Ajarkan cara
pengukuraan suhu
- Anjurkan
penggunaan pakaian
yang dapat
menyerap keringat
- Anjurkan tetap
memandikan pasien,
jika memungkinkan
- Anjurkan pemberian
antipiretik,, sesuai
indikasi
- Anjurkan
menciptakan
lingkungan yang
nyaman
- Anjurkan
membanyak minum
- Anjurkan
pengguanaan
pakaian yang
longgar
- Anjurkan minum
analgesik jika
merasa pusing,
sesuai indikasi
- Anjurkan melakukan
pemeriksaan darah
jika demam 30 hari
Resiko Pendarahan Setelah dilakukan asuhan Observasi
b.d prosedur invasive keperawatan selama 1x24 - Monitor tanda dan
dan insisi jam diharapkan Resiko gejala perdarahan
pembedahan Perdarahan menurun, - Monitor nilai
dengan kriteria hasil : hematokrit/hemoglo
- Kelembapan bin sebelum dan
membran mukosa setelah kehilangan
meningkat darah
- Hemoptisis - Monitor tanda-tanda
menurun vitall ortostatik
- Hematuria - Monitor koagulasi
menurun Terapeutik
- Hemoglobin - Pertahankan bed rest
membaik selama perdarahan
- Hematokrit - Batasi tindakan
membaik invasif, jika perlu
- Gunakan kasur
pencegaah dekubitus
- Hindari pengukuran
suhu rektal
Edukasi
- Jelaskan tanda dan
gejala perdarahan
- Anjurkan
menggunakan kaus
kaki saat ambulasi
- Anjurkan
meningkatkan
asupan cairan untuk
menghindari
konstipasi
- Anjurkan
menghindari aspirin
tau antikoagulan
- Anjurkan
meningkatkan
asupan makanan dan
vitamin K
- Anjurkan segera
melapor jika terjadi
perdarahan
Kolaborasi
- Kolaborasi
pemberian obat
pengontrol
perdarahan, jika
perlu
- Kolaborasi
pemberian produk
darah, jika perlu
- Kolaborasi
pemberian pelunak
tinja, jika perlu

2.9.1 Post Operasi Fraktur

Fase Pasca Operatif


a. Definisi
Dimulai dengan masuknya pasien ke ruang pemulihan dan
berakhir dengan evaluasi tindak lanjut pada tatanan klinik atau
dirumah. Stadium ketiga dan terakhir dari preoperasi adalah bila klien
masuk ruang pulih sadar, ruang PAR, atau PACU. Selama periode
post operative, klien dirawat oleh perawat di ruang PAR ( Post
Anesthesia Recovary ) dan unit setelah di pindah dari ruang
pemulihan.

Waktu yang diperlukan tergantung umur dan kesehatan fisik,


type pembedahan, anesthesia dan komplikasi post operasi. Perawat
sirkulasi, anesthesiologist / perawat anesthesia dan ahli bedah
mengantar klien ke area recovery  awal periode post operasi.

Ahli bedah atau anesthesiologist mereview catatan klien dengan


perawat PACU dan menjelaskan type dan luasnya pembedahan, type
anesthesia, kondisi patologis, darah, cairan intra vena, pemberian obat,
perkiraan kehilangan darah dan beberapa trauma intubasi.

b. Pengkajian
Setelah menerima laporan dari perawat sirkulasi, dan pengkajian
klien, perawat mereview catatan klien yang berhubungan dengan
riwayat klien, status fisik dan emosi, sebelum pembedahan dan alergi.

Pemeriksaan Fisik Dan Manifestasi Klinik

1) System Pernafasan
Ketika klien dimasukan ke PACU, Perawat segera mengkaji klien:

a) Potency jalan nafas,  meletakan tangan di atas mulut atau


hidung.
b) Perubahan pernafasan (rata-rata, pola, dan kedalaman). RR <
10 X / menit  depresi narcotic, respirasi cepat, dangkal 
gangguan cardiovasculair atau rata-rata metabolisme yang
meningkat.
c) Auscultasi paru  keadekwatan expansi paru, kesimetrisan.
d) Inspeksi: Pergerakan didnding dada, penggunaan otot bantu
pernafasan diafragma, retraksi sternal  efek anathesi yang
berlebihan, obstruksi.
e) Thorax Drain.
2) Sistem Cardiovasculer.
a) Sirkulasi darah, nadi dan suara jantung dikaji tiap 15
menit ( 4 x ), 30 menit (4x). 2 jam (4x) dan setiap 4 jam
selama 2 hari jika kondisi stabil.
b) Penurunan tekanan darah, nadi dan suara jantung 
depresi miocard, shock, perdarahan atau overdistensi.
c) Nadi meningkat  shock, nyeri, hypothermia.
d) Kaji sirkulasi perifer (kualitas denyut, warna,
temperatur dan ukuran ektremitas).
e) Homan’s saign  trombhoplebitis pada ekstrimitas
bawah (edema, kemerahan, nyeri).
3) Keseimbangan Cairan Dan Elektrolit
a) Inspeksi membran mukosa : warna dan kelembaban,
turgor kulit, balutan.
b) Ukur cairan  NG tube, out put urine, drainage luka.
c) Kaji intake / out put.
d) Monitor cairan intravena dan tekanan darah.
4) Sistem Persyarafan
a) Kaji fungsi serebral dan tingkat kersadaran  semua
klien dengan anesthesia umum.
b) Klien dengan bedah kepala leher :  respon pupil,
kekuatan otot, koordinasi. Anesthesia umum  depresi fungsi
motor.
5) Sistem Perkemihan.
a) Kontrol volunter fungsi perkemihan kembali setelah
6 – 8 jam post anesthesia inhalasi, IV, spinal.
Anesthesia, infus IV, manipulasi operasi  retensio urine.

Pencegahan : Inspeksi, Palpasi, Perkusi abdomen bawah


(distensi buli-buli).

b) Dower catheter  kaji warna, jumlah urine, out put


urine < 30 ml / jam  komplikasi ginjal.
6) Sistem Gastrointestinal.
a) Mual muntah  40 % klien dengan GA selama 24
jam pertama dapat menyebabkan stress dan iritasi luka GI dan
dapat meningkatkan TIK pada bedah kepala dan leher serta
TIO meningkat.
b) Kaji fungsi gastro intestinal dengan auskultasi suara
usus.
c) Kaji paralitic ileus  suara usus (-), distensi
abdomen, tidak flatus.
d) Insersi NG tube intra operatif mencegah komplikasi
post operatif dengan decompresi dan drainase lambung.
Fungsinya:
· Meningkatkan istirahat.
· Memberi kesempatan penyembuhan pada GI trac
bawah.
· Memonitor perdarahan.
· Mencegah obstruksi usus.
· Irigasi atau pemberian obat.
Jumlah, warna, konsistensi isi lambung tiap 6 – 8 jam.

7) Sistem Integumen.
a) Luka bedah sembuh sekitar 2 minggu. Jika tidak ada
infeksi, trauma, malnutrisi, obat-obat steroid.
b) Penyembuhan sempurna sekitar 6 bulan – satu tahun.
c) Ketidak efektifan penyembuhan luka dapat
disebabkan :
· Infeksi luka.
· Diostensi dari udema / palitik ileus.
· Tekanan pada daerah luka.
· Dehiscence.
· Eviscerasi.
8) Drain dan Balutan
Semua balutan dan drain dikaji setiap 15 menit pada saat di ruang
PAR, (Jumlah, warna, konsistensi dan bau cairan drain dan tanggal
observasi), dan minimal tiap 8 jam saat di ruangan.

9) Pengkajian Nyeri
Nyeri post operatif berhubungan dengan luka bedah , drain dan
posisi intra operative.

Kaji tanda fisik dan emosi; peningkatan nadi dan tekanan darah,
hypertensi, diaphorosis, gelisah, menangis. Kualitas nyeri sebelum
dan setelah pemberian analgetika.
10) Pemeriksaan Laboratorium.
Dilakukan untuk memonitor komplikasi .

Pemeriksaan didasarkan pada prosedur pembedahan, riwayat


kesehatan dan manifestasi post operative. Test yang lazim adalah
elektrolit, Glukosa, dan darah lengkap.

c. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan rasa nyaman b.d trauma
jaringan post operasi (D.0074)
2. Resiko infeksi b.d dengan
perawatan tidak adekuat, trauma jaringan post operasi (D.0142)
3. Gangguan integritas kulit/jaringan
b.d perubahan pola defekassi, pengeluaran tidak terkontrol
(D.0129)

d. Intervensi Keperawatan

Diagnosa Keperawatan Luaran Keperawatan Intervensi


Keperawatan
Gangguan rasa nyaman Setelah dilakukan Oberservasi
b.d trauma jaringan post asuhan keperawatan - Id
operasi selama 1x24 jam entifikasi penurunan
diharapkan Gangguan tingkat energi,
Rasa Nyaman ketidakmampuan
meningkat, dengan berkonsentrasi, atau
kriteria hasil : gejala lain yang
- K menggangu
eluhan tidak kemampuan
nyaman menurun kognitif.
- G - Id
elisah menurun entifikasi teknik
- D relaksassi yang
ukungan sosial dari pernah efektif
keluarga meningkat digunakan
- K - Id
eluhan sulit tidur entifikasi kesediaan,
menurun kemampuan, dan
penggunaan teknik
sebelumnya
- Pe
riksa ketegangan
otot, frekuensi nadi,
tekanan darah, dan
suhu sebelum dan
sesudah latihan
- M
onitor respons
terhadap terapi
relaksasi
Terapeutik
- Ci
ptakan lingkungan
tenang dan tanpa
gangguan dengan
pencahayaan dan
suhu ruang nyaman,
jika memungkinkan
- B
erikan informasi
tertulis tentang
persiapan dan
prosdur teknik
relaksasi
- G
unakan pakaian
longgar
- G
unakan nada suara
lembut dengan
irama lambat dan
berirama
- G
unakan relaksasi
sebagai stratei
penunjang dengan
analgetik atau
tindakan medis lain,
jika sesuai
Edukasi
- Je
laskan tujuan,
manfaat, batasan,
dan jenis relaksasi
yang tersedia
- Je
laskan secara rinci
intervensi relaksasi
yang dipilih
- A
njurkan mengambil
posisi nyaman
- A
njurkan rileks dan
merasakan sensasi
relaksasi
- A
njurkan sering
mengulangi atau
melatih teknik yang
dipilih
- D
emonstrasikan dan
latih teknik relaksasi
Resiko infeksi b.d Setelah dilakukan Observasi
dengan perawatan tidak asuhan keperawatan - Monitor tanda
adekuat, trauma jaringan selama 1x24 jam dan gejala
post operasi diharapkan Resiko infeksi lokal dan
Infeksi menurun, sistemik
dengan kriteria hasil : Terapeutik
- Nyeri menurun - Batasi jumlah
- Kebersihan pengunjung
badan - Berikan
meningkat perawatan kulit
- Kerusakan pada area edema
jaringan - Cuci tangan
menurun sebelum dan
- Kerusakan sesudah kontak
lapisan kulit dengan pasien
menurun dan lingkungan
pasien
- Pertahankan
teknik aseptik
pada pasien
berisiko tinggi
Edukasi
- Jelaskan tanda
dan gejala
infeksi
- Ajarkan cara
mencuci tangan
dengan benar
- Ajarkan etika
btuk
- Ajarkan cara
memeriksa
kondisi luka atau
luka operasi
- Anjurkan
meningkatkan
asupan nutrisi
- Anjurkan
meningkatkan
asupan cairan
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian
imunisasi, jika perlu
Gangguan integritas Setelah dilakukan Observasi
kulit/jaringan b.d asuhan keperawatan - Identifikasi
perubahan pola selama 1x24 jam penyebab
defekassi, pengeluaran diharapkan Gangguan gangguan
tidak terkontrol Integritas integritas kulit
Kulit/Jaringan Terapeutik
meningkat, dengan - Ubah posisi tiap
kriteria hasil : 2 jam jika tirah
- Kerusakan baring
jaringan - Lakukan
menurun pemijatan pada
- Kerusakan area penonjlan
lapisan kulit tulang, jika perlu
menurun - Bersihkan
- Perfusi jaringan perineal dengan
meningkat air hangat,
- Suhu kulit terutama selama
membaik periode diare
- Gunakan produk
berbahan
petrolium atau
minya pada kulit
kering
- Gunakan produk
berbahann
ringan/alami dan
hipoalergik pada
kulit sensitif
- Hindari produk
berbahan dasar
alkohol pada
kulit kering
Edukasi
- Anjurkan
menggunakan
pelembab
- Anjurkan minum
yang cukup
- Anjurkan
meningkatkan
asupan nutrisi
- Anjurkan
meningkatkan
asupan buah dan
sayur
- Anjurkan
menghindari
terpapar suhu
ekstrem
- Anjurkan
menggunakan
tabir surya SPF
minimal 30 saat
berada di luar
rumah
- Anjurkan mandi
dan
menggunakan
sabun
secukupnya

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang
biasanya disertai dengan luka sekitar jaringan lunak, kerusakan otot,
rupture tendon, kerusakan pembuluh darah, dan luka organ-organ tubuh
dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadinya fraktur jika tulang
dikenai stress yang lebih besar dari yang besar dari yang dapat
diabsorbsinya (Smeltzer, 2001). Klasifikasi fraktur berdasarkan sifat
fraktur ada fraktur tertutup dan terbuka. Berdasarkan komplit/ ketidak
komplitan fraktur ada fraktur komplit dan fraktur inkomplit. Berdasarkan
bentuk garis patah ada fraktur transversal, oblik, spiral, kompresi, avulsi.
Berdasarkan jumlah garis patah ada komunitif, segmental, dan multipe.
Berdasarkan fragmen tulang ada undisplaced, displaced, kelelahan, dan
patologis berdasarkan posisi fraktur ada 1/3 proksimal, 1/3 medial, dan 1/3
distal. Etiologi fraktur meliputi kekerasan langsung, kekerasan tidak
langsung, kekerasan akibat tarikan otot, fraktur patologik, dan fraktur
beban.
3.2 Saran
Untuk dapat memahami Tugas Asuhan Keperawatan intra dan
pasca operasi fraktur selain membaca dan memahami materi-materi dari
sumber keilmuan yang ada (buku, internet, dan lain-lain) kita harus dapat
mengkaitkan materi-materi tersebut dengan kehidupan kita sehari-hari,
agar lebih mudah untuk paham dan akan selalu diingat.
DAFTAR PUSTAKA

Brunner dan Suddarth, 2002, Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 3, EGC, Jakarta
Carpenito (2000), Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis, Ed. 6, EGC,
Jakarta
Doenges at al (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, Ed.3, EGC, Jakarta
Herman Santoso, dr., SpBO (2000), Diagnosis dan Terapi Kelainan Sistem
Muskuloskeletal, Diktat Kuliah PSIK, tidak dipublikasikan.
Brunner, Suddarth. 2002. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol.3. EGC.
Jakarta
Carpenito, LJ. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 6 . Jakarta: EGC
Mc Closkey, C.J., et all. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC) Second
Edition. New Jersey: Upper Saddle River
Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006. Jakarta:
Prima Medika
Smeltzer, S.C., 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, EGC, Jakarta.
Price A. Sylvia &  Lorraine M. Wilson.2006. Patofisologi edisi 6,vol.2. Penerbit
buku kedokteran.EGC.Jakarta.
Suzanne C. Smeltzer &Brenda G. Bare.2001.buku ajar keperawatan medikal bedah
edisi 8 vol.1.penerbit buku kedokteran:EGC.Jakarta

Anda mungkin juga menyukai