Anda di halaman 1dari 20

HUBUNGAN BODY IMAGE DAN KEPERCAYAAN DIRI TERHADAP

KECEMASAN SOSIAL PADA DEWASA AWAL

Disusun guna memenuhi Tugas Mata Kuliah Metodologi Penelitian Kuantitatif

Disusun oleh:

Ike Novia Ardiana

(11040120112)

G4.5

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

2022
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perubahan fisik, mental, dan emosional sosial seseorang pada masa remaja
menuju dewasa awal dapat menimbulkan respon yang berbeda-beda pada setiap individu.
Individu yang berada pada periode dewasa awal memiliki peran perkembangan yang
harus dilalui mencakup pekerjaan, memilih pasangan hidup, belajar hidup bersama
dengan pasangan, membentuk suatu keluarga kecil, dan membesarkan seorang anak.
Dalam masa dewasa awal ini juga terjadi suatu perubahan akan bentuk fisik termasuk
penampilan. Individu yang telah memasuki masa dewasa baik pria maupun wanita akan
memahami perubahan-perubahan yang terjadi pada fisiknya. Sering kali penampilan
dianggap utama bagi golongan wanita dibanding pria. Oleh sebab itu, wanita sering
membandingkan penampilan fisiknya. Munculnya pandangan negatif ini akan
mengakibatkan perasaan insecure dan menimbulkan kecemasan (Grogan, 2021).
Hurlock (1999) menyebutkan dewasa awal adalah masa transisi dari masa remaja
menuju dewasa yang dimulai pada usia 18 tahun dan berakhir kira-kira usia 40 tahun,
dengan tugas perkembangan mendapatkan suatu pekerjaan, mengelola rumah tangga,
menjadi warga negara yang baik, mengasuh anak, mencari teman hidup atau pasangan
dan menikah. Santrock (2012) menyebutkan dewasa awal merupakan transisi dari remaja
menuju dewasa yang berawal dari usia 18-25 tahun yang disebut dengan beranjak dewasa
dan berakhir pada usia 35-40 tahun. Bagi banyak orang, pada masa ini terjadi transisi dari
SMA ke perguruan tinggi yang melibatkan pergerakan ke arah struktur yang lebih besar
dan impersonal, interaksi dengan teman-teman dari latar belakang geografis dan etnis
yang lebih beragam, dan peningkatan fokus terhadap pencapaian. Pada masa ini juga
terjadi puncak performa fisik yang mulai dialami oleh seseorang.
Menurut Grogan (2021) body image merupakan pengalaman individu yang
berupa persepsi terhadap bentuk tubuh dan berat tubuh, serta perilaku yang mengarah
pada evaluasi individu terhadap penampilan fisiknya. Seseorang yang memiliki body
image yang baik maka dia akan mempunyai pandangan positif terhadap tubuhnya.
Begitupun sebaliknya, seseorang yang mempunyai body image negatif maka dia akan
melakukan penilaian negatif atau terdapat gangguan presepsi, merasa tidak puas dan tidak
suka dengan tubuhnya (Bell & Rushforth, 2008). Menurut Cash & Pruzinsky (2002),
seseorang yang memiliki body image negatif cenderung akan menghadapi hambatan
sosial seperti isolasi sosial, cemas berlebih, dan depresi.
Kecemasan sosial sebagaimana didefinisikan pada DSM V (2013) merupakan
ketakutan terus-menerus terhadap satu atau lebih situasi sosial dimana orang tersebut
terpapar pada orang yang tidak dikenali atau kemungkinan merasa diawasi oleh orang
lain. Dalam situasi ini biasanya individu yang mengalami kecemasan sosial merasa
bahwa dia dievaluasi atau dikritik orang lain. Kecemasan yang dialami akan berdampak
pada kehidupan sehari-hari. Individu tersebut akan memiliki kecemasan ketika dirinya
berinteraksi dan menjauhkan diri dari pergaulan, kemudian dia berusaha untuk
melakukan komunikasi dengan orang lain hanya ketika ada keperluan saja. Biasanya
individu yang mengalami kecemasan sosial merasa minder atau tidak percaya diri
sehingga hal tersebut akan mengganggu hubungan interpersonalnya dengan orang lain
(Morrison & Heimberg, 2013).
Temuan kasus mengenai penelitian body image menurut gender yang dilakukan di
Jerman diungkapkan oleh Rief et al., (2006) bahwa persepsi body image antara pria dan
wanita berbeda yaitu sebesar 41% wanita menyibukkan diri dengan memikirkan
penampilan sedangkan pada pria hanya sebesar 21% saja yang memikirkan bentuk
penampilannya sehingga hasil yang diperoleh menunjukkan kecenderungan wanita lebih
memikirkan body image yang dimiliki. Penelitian juga dilakukan oleh Rengga &
Soetjiningsih (2022) yaitu terdapat perbedaan body image antara laki-laki dan perempuan
pada masa dewasa awal di Kota Kendari, hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi
body image antara laki-laki dan perempuan berada dalam kategori yang sama yaitu
sebesar 36% pada laki-laki dan 33% pada perempuan. Hal ini dikarenakan kekhawatiran
pada laki-laki terhadap body image yaitu cenderung kehilangan atribut kekuatan fisik
sedangkan pada perempuan cenderung mengkhawatirkan masalah berat badan.
Permasalahan bentuk fisik memang sering kali dikeluhkan pada kalangan dewasa
awal baik pria maupun wanita sehingga akan menimbulkan kurangnya percaya diri.
Individu akan terlihat cenderung membandingkan bentuk fisik tubuhnya dengan orang
lain. Hal ini akan menyebabkan individu merasa gugup dan cemas. Penilaian orang lain
dalam mengevaluasi cara pandang bentuk fisik juga akan memengaruhi kehidupan
sosialnya (Leary & Kowalski, 1997). Individu yang memiliki perasaan insecure dan
memiliki kepercayaan diri rendah terhadap bentuk tubuhnya. Individu juga cenderung
terlihat memiliki pola pemikiran yang negatif sehingga menyebabkan ketidakpuasan akan
bentuk tubuhnya, memiliki suasana hati yang buruk dan berakibat menurunnya persepsi
pesona diri. Hal tersebut membuat individu merasa kurang percaya diri dan beranggapan
tidak memiliki tubuh yang ideal.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakakng di atas rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
“Bagaimana hubungan antara body image dengan kepercayaan diri terhadap kecemasan
sosial pada dewasa awal?”.

1.3 Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan, maka tujuan penelitian ini yaitu
untuk mengetahui bagaimana hubungan antara body image dan kepercayaan diri terhadap
kecemasan sosial pada dewasa awal.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konteks Penelitian


Menurut penelitian oleh Holsen (dalam Sari 2009) menunjukkan bahwa kepuasan
body image meningkat secara bertahap hingga remaja dan akan stabil saat dewasa.
Namun pernyataan McCabe & Ricciardelli (2005) dalam jurnalnya menemukan bahwa
kelompok usia 30-an dan 40-an adalah masa yang paling rentan terhadap body image jika
dibandingkan dengan kelompok usia lain. Sebagaimana Sivert & Sinanovic (dalam
Santrock (1995) menyatakan bahwa secara fisik individu usia antara 20-40 tahun
termasuk pada fase dewasa muda (young adulthhood) dimana individu menampilkan
profil yang sempurna dalam arti bahwa pertumbuhan dan perkembangan aspek-aspek
fisiologis telah mencapai posisi puncak. Perempuan dewasa ingin menarik perhatian
pasangannya dengan cara tampil semenarik mungkin agar memperoleh pasangan yang
diinginkan, selain itu individu juga harus menghadap dunia kerja. Tuntutan dunia kerja
rupanya tidak hanya mengharapkan kemampuan bekerja yang tinggi namun juga
penampilan yang menarik. Untuk tampil menarik, jika perempuan dewasa memiliki body
image negatif maka ia akan meyakini bahwa orang lain lebih menarik, ukuran/ bentuk
tubuh adalah penyebab kegagalan personal, merasa malu, cemas terhadap tubuh, serta
tidak nyaman dan aneh dengan tubuh yang dimiliki.
Bukan hanya perempuan dewasa, laki-laki yang memasuki masa dewasa awal
harus dapat berinteraksi dengan lingkungan dan salah satu cara untuk memenuhi tugas
perkembangan tersebut adalah dengan bekerja Santrock (1995). Pada saat ini, banyak
sekali tuntutan yang harus dipenuhi oleh laki-laki dewasa awal yang akan bekerja, salah
satunya adalah berpenampilan menarik. Powers dan Erickson (dalam Santrock et al.,
1995) mengatakan bahwa dalam suatu penelitian ditemukan bahwa laki-laki dewasa awal
yang mempersepsikan ukuran tubuhnya sebagai rata-rata akan lebih puas dibandingkan
dengan laki-laki dewasa awal yang mempersepsikan tubuhnya sebagai kurus atau gemuk,
tanpa memandang ukuran tubuh yang sebenarnya. Dalam hal ini persepsi sangat
menentukan perasaan seseorang dalam memberikan label terhadap bentuk tubuhnya.
Banyak laki-laki dewasa awal yang merasa tidak nyaman dengan tubuh mereka seiring
dengan adanya gambar-gambar di media massa yang memperlihatkan bentuk tubuh yang
ideal bagi laki-laki. Menurut McCabe & Ricciardelli (2003) media massa tampaknya
sangat berpengaruh dalam menyebarkan image bahwa untuk berpenampilan, seorang
laki-laki dewasa awal menaruh perhatian lebih kepada penampilan fisik, memiliki tinggi
badan dan berat badan yang proporsional.
2.2 Body image
2.2.1 Definisi Body image
Menurut Cash & Fleming, (2002), body image merupakan sikap individu
yang multidimensional terhadap tubuh yang dimilikinya yaitu dapat berupa
evaluasi positif ataupun negatif. Body image mengacu pada cara individu tersebut
bersikap, merasakan dan berpikir mengenai penampilan fisik yang dimilikinya.
Sedangkan menurut Rice (2013) menjelaskan body image adalah suatu proses
representasi mental yang dimiliki individu mengenai bentuk fisiknya yang
mencakup emosi, pikiran, tindakan, penilaian, dan kesadaran yang berkaitan
dengan tubuh.
Body image dapat dibagi menjadi dua yaitu body image positif dan negatif.
Body image positif merupakan kondisi dimana individu tersebut dapat menerima
dan bersyukur terkait dengan bentuk tubuhnya. Sedangkan body image negatif
merupakan kondisi dimana individu merasa kurang atau tidak puas dan merasa
tidak bahagia akan bentuk tubuhnya. Hal ini juga didukung oleh pendapat Rombe,
(2013) menyatakan body image merupakan sikap atau perasaan individu yang
merasa puas dan tidak puas terhadap bentuk tubuhnya sehingga menimbulkan
penilaian positif atau negatif pada dirinya.
Maka dapat disimpulkan bahwa body image merupakan sikap individu
yang multidimensional terhadap tubuh yang dimilikinya yaitu dapat berupa
evaluasi positif ataupun negatif. Individu tersebut bertindak sebagai standar yang
mempengaruhi tidak hanya cara pola berpikir tentang diri sendiri, tetapi juga
kemampuan diri untuk tampil. Hal ini menyebabkan bagaimana individu
memandang bentuk tubuhnya serta suatu sikap dan merasakan penampilannya
yang telah ia persepsikan sebelumnya. Dimana representasi mental individu akan
bentuk tubuhnya ini akan terbagi menjadi dua yakni positif serta negatif.
2.2.2 Faktor-Faktor Mempengaruhi Body image
Menurut Cash & Pruzinsky (2002) Body image atau citra tubuh individu
dipengaruhi oleh empat faktor yaitu :
1) Jenis kelamin merupakan faktor yang mempengaruhi dalam perkembangan
gambaran tubuh seseorang.
2) Budaya dan media memberikan pengaruh yang cukup besar dalam
pembentukan citra tubuh individu. Budaya dan media dalam penyebarannya
menciptakan suatu gagasan normatif mengenai hal yang menjadi daya tarik
dan hal yang tidak menarik.
3) Pengalaman interpersonal individu dapat berbentuk berupa harapan, pendapat,
dan komunikasi. Komunikasi itu sendiri dapat berupa komunikasi verbal dan
nonverbal yang disampaikan dalam interaksi dengan lingkungan keluarga,
sosial, dan pekerjaan.
4) Karakteristik fisik atau perubahan fisik dan penampilan pada setiap fase
tumbuhkembang manusia berpengaruh dalam pembentukan citra tubuh
seseorang.
5) Faktor personal juga mempengaruhi pembentukan body image. Pemahaman
dan pola pikir yang positif mendukung pengembangan performa yang positif
dari tubuh seseorang dan berfungsi sebagai pertahanan terhadap peristiwa
yang mengancam body image atau citra tubuh seseorang (Cash & Fleming,
2002).
2.2.3 Aspek-Aspek Mempengaruhi Body image
Aspek yang mempengaruhi body image menurut Cash & Pruzinsky (2002) yaitu :
a. Appearance Evaluation
Aspek ini menjelaskan bagaimana individu mengukur keseluruhan penampilan
tubuh dan menilai apakah tubuhnya menarik atau tidak menarik, serta
memuaskan atau tidak memuaskan.
b. Appearance Orientation
Aspek ini menjelaskan mengenai perpanjangan investasi individu akan
penampilannya, yakni menunjukkan kepedulian individu akan penampilannya.
Termasuk didalamnya usaha untuk meningkatkan dan memperbaiki penampilan
diri.
c. Body Area Satisfaction
Aspek ini mengukur kepuasan individu pada bagian tubuhnya, seperti pada
bagian wajah, bahu lengan, dada, pinggang, pinggul, perut, pantat, paha, kaki,
serta bagian tubuh lainnya secara keseluruhan.
d. Overweight Preoccupation
Aspek ini mengukur kecemasan individu menjadi gemuk, yang diukur ialah
kewaspadaan atau perasaan takut individu akan berat badannya, perilaku diet,
serta pola makan yang dibatasi.
e. Self-Classified Weight
Aspek ini menjelaskan pengkategorian ukuran tubuh yakni bagaimana individu
memberikan penilaian atau mengevaluasi berat badannya, dan dikategorikan ke
dalam kategori dari sangat kurus sampai gemuk.
2.3 Kepercayan Diri
2.3.1 Definisi Kepercayaan Diri
Lauster dalam (Lisanias et al., 2019) mengemukakan kepercayaan diri
merupakan suatu sikap atau keyakinan pada potensi yang menghasilkan perilaku
yang menjadikan individu merasa lebih positif. Kumara dalam (Ratnawati, 2012)
menyatakan kepercayaan diri adalah keunikan kepribadian yang memiliki makna
atas keyakinan yang dimiliki diri seorang individu.
R.Ghufron (2014) menjelaskan kepercayaan diri merupakan kemampuan
dan sikap yang mendasar didalam diri individu yang memimbulkan penilaian
positif terhadap diri sendiri. Rombe (2013) juga menyatakan lingkungan tempat
tinggal dapat mempengaruhi tahapan perkembangan psikososial yang dapat
berakibat pada kepercayaan diri. Davias dalam (Hidayat & Bashori, 2016)
percaya diri ialah keyakinan akan kemampuan diri sendiri, keyakinan dalam
menjalankan arti kehidupan dengan menggunakan akal sehat.
Berdasarkan penjelasan di atas kepercayaan diri adalah keyakinan didalam
diri individu atas kemampuan dirinya dan mampu berfikir secara positif dalam
menerima dirinya serta mampu menghadapi hidupnya dalam mencapai berbagai
tujuan didalam hidupnya.
2.3.2 Faktor Mempengaruhi Kepercayaan Diri
Santrock dalam Ramadhani & Putrianti (2017) juga mengungkapkan
faktor-faktor yang mempengaruhi kepercayaan diri yaitu :
a. Penampilan fisik
Sejumlah penelitian telah menemukan bahwa penampilan fisik merupakan
suatu konstributor yang sangat berpengaruh pada rasa percaya diri remaja.
Penampilan fisik secara konsisten berkorelasi paling kuat dengan rasa percaya
diri secara umum yang baru kemudian diikuti oleh penerimaan sosial teman
sebaya.
b. Konsep diri
Dalam penelitian juga menemukan adanya hubungan yang kuat antara
penampilan fisik dengan harga diri secara umum yang tidak hanya dimasa
remaja tapi juga sepanjang masa hidup, dari masa kanak – kanak awal hingga
dewasa pertengahan.
c. Hubungan dengan orang tua
Faktor keluarga merupakan salah satu faktor pembentuk kepercayaan diri
pada rasa percaya diri pada remaja. Dukungan dan motivasi orang tua dan
kasih sayang di berikan menjadi dorongan remaja untuk mewujudkan
kepercayaan dirinya.
d. Hubungan teman sebaya
Penilaian teman sebaya memiliki derajat yang tinggi pada anak yang lebih tua
dan remaja. Suatu penelitian menunjukan bahwa dukungan dari teman sebaya
lebih berpengaruh terhadap tingkat kepercayaan diri pada individu pada masa
remaja awal dari pada anak – anak, meskipun dukungan orang tua juga
merupakan faktor yang penting
2.3.3 Aspek Mempengaruhi Kepercayan Diri
Lauster dalam Ghufron & Rini Risnawita (2010) menjelaskan aspek-
aspek yang terkandung dalam kepercayaan diri, yaitu :
a. Keyakinan dengan kemampuan diri merupakan perilaku positif yang dimiliki
oleh individu mengenai dirinya. Sehingga dapat melakukan apa yang akan
dilakukannya dengan sungguh-sungguh.
b. Optimis merupakan sikap positif yang dimilik seseorang yang selalu
berpandangan baik dalam menghadapi segala hal tentang diri, kemampuan dan
harapan terhadap sesuatu.
c. Objektif merupakan cara pandang seseorang yang mampu melihat permasalah
menggunakan fakta yang ada bukan berdasarkan persepsi dirinya.
d. Bertanggung jawab merupakan kemampuan dan kesediaan individu yang
diberikan kepada diri dan menanggung segala konsekensi yang akan diterima.
e. Rasional dan realistis merupakan analisis pada permasalahan, peristiwa, dan
berbagai hal menggunakan penalaran dan sesuai dengan kebenaran yang ada.
2.4 Kecemasan Sosial
2.4.1 Definisi Kecemasan Sosial
Kecemasan sosial secara umum dijelaskan oleh Leary & Kowalski (1997),
yang mendefinisikan kecemasan sosial sebagai sebuah perasaan ketakutan akan
mendapat perlakuan buruk dari individu lain dalam suatu situasi sosial.
Kemudian, Leary & Kowalski (1997) mengemukakan bahwa kecemasan sosial
adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak hanya merasa cemas ketika
dievaluasi namun juga ketika adanya kemungkinan dirinya akan dievaluasi secara
interpersonal.
Kecemasan sosial menurut Morrison & Heimberg (2013) adalah
pengoptimalan manusia yang dicirikan oleh ketakutan yang kuat untuk dinilai
oleh orang lain dalam situasi sosial. Ketika mencapai kondisi yang lebih serius,
maka hal tersebut adalah gangguan kecemasan sosial, atau bisa disebut fobia
sosial. American Psychiatric Association (2013) dalam buku DSM-5,
memaparkan bahwa kecemasan sosial adalah kecemasan atau ketakutan akan
suatu situasi sosial di mana seseorang dapat diamati oleh orang lain. Contoh
interaksi sosial termasuk bertemu orang asing, berbicara, diamati ketika minum
dan makan orang, dan tampil di depan umum.
2.4.2 Aspek Kecemasan Sosial
Menurut La Greca & Harrison (2005) mengemukakan ada tiga aspek
kecemasan sosial yaitu :
1) Ketakutan akan evaluasi negatif.
Evaluasi adalah salah satu faktor dari dalam diri maupun lingkungan
sekitar yang dapat memicu kecemasan sosial. Individu dengan kecemasan
sosial cenderung menghindari situasi dimana ia mungkin dinilai dan
menunjukkan tanda-tanda kecemasan atau perilaku secara memalukan,
individu juga cenderung fokus terhadap dirinya sendir dan mengkoreksi
kemampuan sosial yang dimilikinya serta terbawa dalam mengevaluasi
kemampuan dirinya pada saat berinteraksi dengan orang lain.
2) Penghindaran sosial dan rasa tertekan dalam situasi yang baru atau dengan
orang yang baru dikenal.
Individu akan mengalami gugup saat berbicara dan individu tidak
mengetahui mengapa hal tersebut terjadi, merasa malu saat dekat dengan
orang lain, merasa gugup saat bertemu dengan orang yang baru dikenal
3) Penghindaran sosial dan rasa tertekan yang dialami secara umum atau dengan
orang yang dikenal.
Secara umum, individu yang seperti ini melihat bagaimana
kemampuannya dalam membangun relasi dengan orang yang sudah
dikenalnya.
2.4.3 Reaksi Kecemasan Sosial
Menurut Haber & Runyon (1984) menjelaskan terdapat empat reaksi
kecemasan yaitu:
1) Reaksi Kognitif (dalam pikiran seseorang) yaitu perasaan tidak menyenangkan
yang muncul dalam pikiran seseorang, sehingga mengalami perasaan risau dan
khawatir. Kekhawatiran ini dapat terjadi mulai dari tingkat khawatir yang
ringan lalu panik, cemas, dan merasa akan terjadi malapetaka, kiamat, serta
kematian.
2) Reaksi motorik yaitu perasaan tidak menyenangkan yang muncul dalam
bentuk tingkah laku seperti meremas jari, jari-jari & tangan gemetar, tidak
dapat duduk diam atau berdiri di tempat, menggeliat, menggigit bibir,
menjentikkan kuku, gugup. Biasanya orang yang cemas menunjukkan
pergerakan secara acak
3) Reaksi somatis yaitu perasaan yang tidak menyenangkan yang muncul dalam
reaksi fisik biologis seperti mulut terasa kering, kesulitan bernafas, jantung
berdebar, tangan dan kaki dingin, diare, pusing seperti hendak pingsan,
banyak berkeringat, tekanan darah naik, otot tegang terutama kepala, leher,
bahu, dan dada, serta sulit mencerna makanan.
4) Reaksi afektif yaitu perasaan tidak menyenangkan yang muncul dalam bentuk
emosi, perasaan tegang karena luapan emosi yang berlebihan seperti
dihadapkan pada suatu teror.
2.5 Hubungan Antara Body image dan Kepercayaan diri Terhadap Kecemasan Sosial
Kepercayaan diri adalah sikap positif seorang individu yang memampukan
dirinya untuk mengembangkan penilaian positif, baik terhadap diri sendiri maupun
terhadap lingkungan, situasi yang dihadapinya. Adanya body image memungkinkan
seseorang untuk membandingkan kondisi dirinya dengan orang lain serta memunculkan
rasa malu dan persepsi yang buruk terhadap tubuhnya. Pengaruhnya persepsi tubuh akan
semakin buruk, jika individu semakin tidak percaya diri, baik itu pada penampilan di
depan umum ataupun kemampuan terhadap dirinya sendiri. Surya (2009) juga
mengatakan bahwa individu yang merasa puas terhadap tubuhnya dan menyadari bentuk
tubuhnya ideal akan membentuk citra tubuh (body image) yang positif sehingga secara
tidak langsung akan membentuk kepercayaan diri individu tersebut. Berbeda halnya
dengan individu yang tidak merasa puas akan tubuhnya dan selalu menganggap tubuhnya
kurang maka akan membentuk citra tubuh yang negatif sehingga kepercayaan diri yang
dimilikinya akan rendah.
Penilaian negatif tersebut yang membuat sesorang tidak dapat menerima kondisi
tubuhnya secara apa adanya. Ketidaksesuaian antara tubuh yang dipersepsi dengan
gambaran tubuh idealnya akan memunculkan ketidakpuasan terhadap tubuhnya. Jadi jika
seorang perempuan mempunyai body image positif maka ia akan merasa puas dengan
tubuhnya, selain itu individu juga sangat menyadari kekurangan dan keterbatasan fisik
yang dimiliki dan menghargai tubuh yang dimiliki, sehingga individu cenderung tidak
merasa cemas dalam menghadapi situasi sosial. Akan tetapi bila body imagenya negatif
individu cenderung merasa tidak puas dengan kondisi fisiknya sehingga hal tersebut
dapat mempengaruhi individu mengalami kecemasan sosial ketika berada dilingkungan
sosial seperti lingkungan sekolah maupun perkuliahan, individu dengan body image yang
negatif cenderung merasa bahwa penampilannya dapat memberikan komentar yang
negatif dari orang lain, yang menyebabkan individu kurang percaya diri, dengan rasa
kurang percaya diri terhadap body image akan berdampak timbulnya rasa cemas dalam
kehidupan sosial.
Dalam penelitian yang dilakukan Putri (2008) menjelaskan bahwa ada hubungan
positif yang sangat signifikan antara citra tubuh (body image) dengan kepercayaan diri.
Hal ini berarti bahwa semakin positif citra raga (body image) seseorang maka tinggi
ingkat kepercayaan dirinya. Sebaliknya, semakin negatif citra raga (body image)
seseorang maka rendah tingkat kepercayaan dirinya. Hal ini sesuai dengan teori Surya,
(2009), yang menyatakan bahwa seorang akan percaya diri ketika orang tersebut
menyadari bentuk tubuhnya yang sangat ideal dan orang tersebut merasa puas melihat
bentuk tubuhnya, maka body image yang terbentuk pun menjadi positif. Sebaliknya, jika
seseorang memandang tubuhnya tidak ideal seperti wajahnya kurang menarik, badanya
terlalu gemuk atau kurus dan sebagainya, maka orang tersebut menjadi sibuk memikirkan
kondisi fisiknya, sehingga body image yang terbentuk menjadi negatif dan dapat
dikatakan orang tersebut tidak memiliki kepercayaan diri.
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan
positif antara body image dengan kepercayaan diri, di mana individu yang memiliki body
image yang positif akan memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Dengan memiliki
kepercayaan diri yang tinggi individu dapat melihat tubuhnya sesuai dengan kenyataan
dan merasa yakin dan terhadap body image atau citra tubuh yang dimilikinya. Individu
yang seperti ini, cenderung merasa tidak cemas dalam menghadapi liingkungan sosial.
Sebaliknya, jika individu yang mempunyai body image negatif akan memiliki
kepercayaan diri yang rendah. Individu tersebut akan cenderung bersifat merusak dimana
hal tersebut dapat menyebabkan individu menanamkan pemikiran yang negatif terhadap
dirinya. Hal ini dapat membuat individu mengalami kecemasan sosial.
Body image
Kecemasan
Sosial

Kepercayaan
Diri

Gambar 1.1kerangka teoritis antara Body image dan Kepercayaan diri terhadap Kecemasan Sosial
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

3.1.1 Jenis Penelitian

Penelitan ini menggunakan pendekatan kuantitatif yaitu metode yang


menekankan pada analisis data berupa angka-angka (numerical) yang diolah
dengan metode statistik. korelasional. Dalam penelitian ini metode kuantitatif
yang digunakan ialah metode korelasional. Metode korelasional merupakan
penelitian yang dilakukan untuk mengetahui tingkat hubungan antara dua variabel
atau lebih, tanpa melakukan perubahan, tambahan atau manipulasi terhadap data
yang memang sudah ada

3.1.2 Identifikasi Variabel Penelitian

Pada penelitian ini, telah ditetapkan dua variabel, yakni satu variabel
bebas (independendent) dan satu variabel terikat (dependent). Maka, variabel yang
digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Dependent variabel (variabel terikat) = Kecemasan Sosial
b. Independent variabel (variabel bebas) = Body image dan Kepercayaan Diri

3.2 Partisipan

3.2.1 Sampel

Populasi adalah keseluruhan individu atau objek yang diteliti yang


memiliki beberapa karakteristik yang sama. Populasi adalah seluruh objek
penelitian (Arikunto, 2010). Subjek dalam penelitian ini adalah perempuan atau
laki-laki yang telah memasuki usia dewasa awal dan memiliki kecemasan
terhadap body image yang dimiliki.

3.2.2 Sample Size


Perencanaan jumlah partisipan dapat dilakukan berdasarkan power
analysis. Salah satu software yang dapat digunakan dalam melakukan power
analysis ini adalah program G-Power yang dikembangkan oleh Universität
Düsseldorf. Dengan menggunakan aplikasi G-Power Statistik maka sampel
dalam penelitian ini yaitu sejumlah 278 responden, jumlah tersebut didapatkan
dari perhitungan dengan memasukkan effect size 0.3, α err prob 0.05, power
0.80 dan didapatkan hasil total sample size sebanyak 278.
3.2.3 Prosedur Rekruitmen Partisipan

Penentuan partisipan dalam penelitian ini adalah menggunakan teknik


purposive sampling, yaitu memilih partisipan sesuai tujuan dan kriteria yang
ditetapkan sebelumnya oleh peneliti, sehingga dapat dipastikan data yang
didapat akan sesuai dengan fenomena yang diteliti. Dengan kriteria inklusi
sebagai berikut:

a. Mahasiswa Psikologi UIN Sunan Ampel Surabaya


b. Berusia 20-40 tahun
c. Pernah mengalami tindakan body shaming
d. Bersedia menjadi partisipan
3.3.3 Reward untuk Partisipan
Dalam penelitian ini reward yang diberikan untuk partisipan yang telah
bersedia berupa saldo shopeepay/dana/gopay/e-wallet lainnya sebesar 50.000,00
untuk 10 orang dan secara acak.
3.3 Operasionalisasi Variabel dan Pengukuran
3.3.1 Definisi Operasional
a. Body image
Body image merupakan sikap yang dimiliki seseorang terhadap tubuhnya
yang dapat berupa penilaian positif dan negatif. Aspek-aspek body image
dalam penelitian ini mengacu kepada aspek-aspek menurut Cash & Puzinsky
(2002) terdiri dari lima aspek yaitu: evaluasi penampilan (appearance
evaluation), orientasi penampilan (appearance orientation), kepuasan
terhadap bagian tubuh (body area satisfaction), kecemasan menjadi gemuk
(overweight preoccupation) dan pengkategorian ukuran tubuh (self-classified
weight).
b. Kepercayaan Diri
Kepercayaan diri merupakan salah satu aspek kepribadian yang berupa
keyakinan akan kemampuan diri seseorang sehingga tidak terpengaruh oleh
orang lain dan dapat bertindak sesuai kehendak, gembira, optimis, cukup
toleran, dan bertanggung jawab. Aspek-aspek kepercayaan diri dalam
penelitian ini mengacu kepada aspek-aspek menurut Lauster (1992) terdiri
dari lima aspek yaitu: keyakinan akan kemampuan diri, optimis, objektif,
bertanggung jawab, rasional dan realistis.
c. Kecemasan Sosial
Kecemasan sosial merupakan suatu bentuk perasaan ketakutan yang
berlebih ketika seseorang berada dalam situasi sosial, dimana seseorang yang
mengalami kecemasan sosial merasa takut akan evaluasi negatif dari orang
lain dan mereka merasakan ketidaknyamanan ketika berada dalam situasi
sosial sehingga membuat individu melakukan penghindaran terhadap situasi
tersebut.
3.3.2 Pengukuran
Instrumen untuk mengumpulkan data penelitian ini kepada subjek
penelitian yaitu menggunakan skala body image, kepercaaan diri dan kecemasan
sosial. Tiga skala tersebut telah mengadaptasi dari penelitian sebelumnya yaitu
penelitian dari yang mengacu pada aspek-aspek yang dikemukakan oleh Lauster.
Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data yaitu semacam daftar
pernyataan. kuesioner merupakan teknik pengumpulan dengan cara memberikan
pernyataanpernyataan secara tertulis yang diberikan kepada subjek
Pengukuran pada penelitian ini menggunakan kuesioner tertutup yang
dimana jawabannya berupa pilihan Ya atau Tidak. Pada metode kuisioner
contohnya semua pernyataan dalam penelitian inii harus diisi oleh subjek
penelitian berlandaskan jawaban tersebut kemudian akan disimpulkan tentangi
keadaan subjek penelitian yang sebenarnya. Mengisinya dengan cara (√) yang
sudah disiapkan oleh peneliti. Variabel dalam penelitian ini diukur dengan
kuisioner yang menggunakan penskalaan respon, dalam hal ini peneliti
menggunakan model skala likert, dengan skala likert akan didapatkan gambaran
kasar posisii subyek pada perilaku yang diukur.
3.3.3 Demografi
Pada penyebaran kuesioner partisipan harus mengisi dan melengkapi data
sebagai berikut :
a. Jenis kelamin, diperlukan untuk melihat penyebaran partisipan penelitian
berdasarkan jenis kelaminnya.
b. Usia, diperlukan untuk mengelompokkan partisipan berdasarkan tahap
perkembangannya.
c. Pendidikan terakhir, digunakan untuk mengetahui tingkat pendidikan
partisipan dan sebagai data tambahan.
d. Pekerjaan saat ini, untuk mengetahui status pekerjaan partisipan.
e. Domisili, diperlukan untuk mengetahui dan mengelompokkan partisipan
berdasarkan domisilinya.
3.4 Analisis Data
Dalam penelitian kuantitatif, analisis data merupakan kegiatan setelah data
diperoleh dari responden atau sumber data lain yang terkumpul. Penilitian ini
menggunakan teknik analisis Regresi Linear Berganda dalam menganalisis data. Analisis
Regresi Linear Berganda digunakan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara
Body image dan Kepercayaan Diri terhadap Kecemasan Sosial (dependent variable)
pada mahasiswa Psikologi UIN Sunan Ampel, maka dalam menganalisis data
menggunakan bantuan software SPSS (Statistical Product and Service Solution) V.20.0
for windows. Sebelum hasil regresi yang diperoleh diuji maka terlebih dahulu menguji
apakah terdapat pelanggaran asumsi regresi linier dari hasil tersebut. Dalam penelitian
ini akan dilakukan uji asumsi normalitas dan linieritas.
a. Uji asumsi normalitas, dimana nilai Y (variabel terikat kecemasan sosial)
didistribusikan secara normal terhadap nilai X (variabel bebas body image dan
kepercayaan diri). Upaya ini dilakukan untuk menguji apakah dalam sebuah model
regresi, variabel dependent dan variabel independent atau keduanya mempunyai
distribusi normal ataukah tidak. Model regresi yang baik adalah distribusi data normal
atau mendekati normal.
b. Uji asumsi linieritas hubungan antara variabel yang nantinya akan ditunjukkan
melalui test of linearity.
DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. (2010). Metode peneltian. Jakarta: Rineka Cipta.

Bell, L., & Rushforth, J. (2008). Overcoming body image disturbance: A programme for people
with eating disorders. Routledge.

Cash, T. F., & Fleming, E. C. (2002). The impact of body image experiences: development of the
body image quality of life inventory. International Journal of Eating Disorders, 31(4), 455–
460.

Ghufron, M. N., & Rini Risnawita, S. (2010). Teori-Teori Psikologi, yogyakarta. Ar-Ruzz Media,
33–38.

Ghufron, R. (n.d.). MN (2014). Teori-Teori Psikologi.

Grogan, S. (2021). Body image: Understanding body dissatisfaction in men, women, and
children. Routledge.

Haber, A., & Runyon, R. P. (1984). Psychology of adjustment. Dorsey Press.

Hidayat, K., & Bashori, K. (2016). Psikologi Sosial: aku, kami, dan kita.

Hurlock, E. B. (1949). Adolescent development.

King, L. A., & Santrock, J. W. (2012). The science of psychology. McGraw-Hill.

La Greca, A. M., & Harrison, H. M. (2005). Adolescent peer relations, friendships, and romantic
relationships: Do they predict social anxiety and depression? Journal of Clinical Child and
Adolescent Psychology, 34(1), 49–61.

Lauster, P. (1992). Die Liebe: Psychologie eines Phänomens. Rowohlt.

Leary, M. R., & Kowalski, R. M. (1997). Social anxiety. Guilford Press.

Lisanias, C. V., Loekmono, J. T. L., & Windrawanto, Y. (2019). Hubungan Antara Kepercayaan
Diri Dengan Kecemasan Berbicara Di Depan Umum Pada Mahasiswa Progdi Pendidikan
Sejarah Uksw Salatiga. Psikologi Konseling, 15(2).
McCabe, M. P., & Ricciardelli, L. A. (2003). Sociocultural influences on body image and body
changes among adolescent boys and girls. The Journal of Social Psychology, 143(1), 5–26.

McCabe, M. P., & Ricciardelli, L. A. (2005). A prospective study of pressures from parents,
peers, and the media on extreme weight change behaviors among adolescent boys and girls.
Behaviour Research and Therapy, 43(5), 653–668.

Morrison, A. S., & Heimberg, R. G. (2013). Social anxiety and social anxiety disorder. Annual
Review of Clinical Psychology, 9(1), 249–274.

PUTRI, T. E. W. (2008). HUBUNGAN ANTARA CITRA RAGA DAN KEPERCAYAAN DIRI


PADA MAHASISWI UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG. PRODI
PSIKOLOGI UNIKA SOEGIJAPRANATA.

Ramadhani, T. N., & Putrianti, F. G. (2017). Hubungan Antara Kepercayaan Diri Dengan Citra
Diri Pada Remaja Akhir. Jurnal Spirits, 4(2), 22. https://doi.org/10.30738/spirits.v4i2.1117

Ratnawati, V. (2012). Percaya diri, body image dan kecenderungan anorexia nervosa pada
remaja putri. Persona: Jurnal Psikologi Indonesia, 1(2).

Rengga, O. L., & Soetjiningsih, C. H. (2022). Body Image Ditinjau dari Jenis Kelamin pada
Masa Dewasa Awal. PHILANTHROPY: Journal of Psychology, 6(1), 1.
https://doi.org/10.26623/philanthropy.v6i1.4851

Rief, W., Buhlmann, U., Wilhelm, S., Borkenhagen, A. D. A., & Brähler, E. (2006). The
prevalence of body dysmorphic disorder: a population-based survey. Psychological
Medicine, 36(6), 877–885.

Rombe, S. (2013). Hubungan body image dan kepercayaan diri dengan perilaku konsumtif pada
remaja putri di SMA Negeri 5 Samarinda. Psikoborneo: Jurnal Ilmiah Psikologi, 1(4).

Santrock, J. W., Sumiharti, Y., Sinaga, H., Damanik, J., & Chusairi, A. (2002). Life-Span
Development (Perkembangan Masa Hidup Jilid 1.

Surya, H. (2009). Menjadi manusia pembelajaran. Elex Media Komputindo.

Anda mungkin juga menyukai