Anda di halaman 1dari 12

ANALISIS KASUS FILSAFAT ILMU DAN MANUSIA

KI AGENG SURYOMENTARAM

Dosen Pengampu : Dr. Mochamad Widjanarko, M.Si

Disusun Oleh :

Dhevi Sa’idatur Rofi’ati (202260046)

Psikologi A

UNIVERSITAS MURIA KUDUS

2022
BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Filsafat merupakan disiplin intelektual yang mempelajari hakikat segala sesuatu yang

bersifat fundamental. Filsafat berupaya memahami segala sesuatu yang ada hubungannya dengan

pengalaman hidup manusia. Dengan adanya filsafat manusia dapat mengenal diri sendiri dan

memberikan jawaban atas relasi dirinya denngan hakikat keteraturan alam semesta (Handerson,

1960).

Dalam sejarah perkembangan kebudayaan manusia, filsafat berperan cukup penting

terlepas dari kegunaan praktisnya yang sering diragukan manusia (Hanuran & Suhariadi, 2019).

Di bidang ilmu psikologi banyak filsuf yang memberikan pengaruh kuat bagi perkembangan

aliran psikologi, yaitu aliran behavioristik, aliran humanistik, aliran eksistensial, aliran kognitif.

Umumnya, masyarakat Jawa modern lebih mengenal filsuf Barat, seperti : Plato,

Aristoteles, Immanuel Kant, Sigmund Freud, dsb. Faktanya, banyak para leluhur pada era

kolonial lebih mengagumi bangsa penjajah daripada bangsa pribumi sendiri. Hal ini

memunculkan dugaan bahwa masyarakat lebih berkiblat pada pemikiran filsuf barat ketimbang

pemikiran filsuf Jawa karena ingin menunjukkan jati diri mereka sebagai masyarakat modern,

mereka terlihat tidak mau diklaim sebagai kelompok orang kolot.

Akibatnya masyarakat modern banyak yang tidak mengetahui bahwa ada seorang filsuf

dari Jawa, salah satunya yaitu Ki Ageng Suryomentaram. Ia bukan hanya sekedar filsuf,

melainkan juga sebagai ahli jiwa. Maka dari itu, ia sangat diperlukan pada era krisis jati diri
dalam lingkungan masyarakat Jawa. Ki Ageng Suryomentaram dikenal karena ajarannya

berkaitan dengan aspek kehidupan manusia baik secara horizontal maupun trasendetal.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Kisah Hidup Ki Ageng Suryomentaram

Ki Ageng Suryomentaram lahir di Yogyakarta pada tanggal 20 Mei 1892 dan memiliki

nama asli Bendara Raden Mas Kudiarmadji. Nama Suryomentaram diberikan oleh Sri Sultan

Hamengkubuwana VII, ayahnya sendiri. Ia merupakan anak ke-55 dari 79 putera-puteri Sri

Sultan Hamengkubuwana VII dengan istri selirnya yang bernama Bendara Raden Ayu

Retnomandoyo. Pada usia 18 tahun, B.R.M Kudiarmadji memperoleh “nama tua” dan diangkat

menjadi pangeran dengan gelar Bendara Pangeran Harya Suryomentaram. Saat kecil Ki Ageng

terbilang sebagai anak yang cerdas, ia mampu menguasai tiga bahasa asing, yaitu : bahasa

Belanda, bahasa Inggris, dan bahasa Arab.

Bersama dengan saudara-saudaranya, Ki Ageng mendapatkan kesempatan untuk belajar

di Sekolah Srimanganti yang berada di lingkungan Istana Kesultanan Yogyakarta. Setelah

menamatkan pendidikan formal di Srimanganti, Ki Ageng Suryomentaram melanjutkan kursus

di Klein Ambtenaar, belajar bahasa Belanda, Inggris, dan Arab. Setamat dari kursus Klein

Abmtenaar, Ki Ageng bekerja di residen Yogyakarta selama dua tahun lebih. Dia mempelajari

pendidikan agama Islam pada Kiai Haji Ahmad Dahlan, sang pendiri organisasi Muhammadiyah

di Yogyakarta. Selain mempelajari makna Islam, Ki Ageng juga mempelajari agama Katolik,
Buddha, Hindu, dan aliran kebatinan. Sewaktu mempelajari berbagai agama ini, Ki Ageng

pernah dikatakan murtad dan ingin memeluk agama lain yakni Katolik. Namun permohonan Ki

Ageng Suryomentaram kapada Sri Sultan Hamengkubuwana VII untuk membaptisnya ditolak

karena belum ada seorang keturunan keraton yang memeluk agama Katolik. Tetapi kebenaran

tentang agama dan keyakinan tersebut tidak bias disalahkan begitu saja karena memang itulah

ciri manusia kritis dan cerdas yang selalu gelisah untuk mencari kebenaran dan kesejatian di

dalam kepercayaan. Sehingga agama bukan hanya dipahami sebagai ageman lair (pakaian lahir)

namun juga sebagai ageman ati (pakaian hati) manusia.

Setelah beberapa tahun, Ki Ageng mulai merasakan ada sesuatu yang kurang dalam

kehidupan spiritualnya. Suryomentaram hanya melihat orang yang menyembah, disembah,

memerintah, dan diperintah. Tidak pernah melihat orang yang benar-benar menyembah tuhan

secara tulus, mereka menyembah karena takut pada neraka dan hanya ingin masuk surga, mereka

menjalankan ibadah karena itulah kewajiban agama, mereka menyembah tuhan karena memiliki

pamrih yang bersifat keduniawian, seperti harta benda, pangkat, dan kesaktian. Para kiai

menganjurkan Ki Ageng untuk naik haji karena khawatir akan menjadi murtad dan berharap pula

menemukan hakikat keislaman, tetapi permohonan itu tidak dikabulkan oleh Sri Sultan

Hamengkubuwana VII sehingga membuat Ki Ageng kecewa.

Kondisi di dalam keraton membuat Ki ageng Suryomentaram merasa jenuh, ia merasa

terkurung di lingkungan keraton dan tidak mengetahui keadaan luar. Akhirnya, Ki Ageng

meninggalkan keraton pergi ke Cilacap dengan menyamar menjadi pedagang kain batik serta

setagen (ikat pinggang) dan mengganti namanya menjadi Notodongso. Saat kepergiaan

Suryomentaram ini diketahui oleh Sri Sultan Hamengkubuwana VII, Sultan segera

memerintahkan Kanjeng Raden Temanggung Wiryodirjo (Bupati Kota) dan R.I Mangkudigdoyo
untuk mencari keberadaan Suryamentaram. Akhirnya ia ditemukan di Kroya (Kabupaten

Banyumas) sedang bekerja sebagai penggali sumur (Sarwiyono, 2007: 5). Sekembalinya ke

Yogyakarta, Suryomentaram menjual seluruh harta benda miliknya. Ia megira bahwa selain

kedudukan sebagai pangeran, penyebab lain rasa kecewa dan tidak puas adalah harta benda.

Seluruh isi rumah dilelang, mobil dijual dan hasilnya diberikan kepada sopirnya, kuda dijual dan

hasilnya diberikan kepada perawat kudanya, pakaiannya pun dibagikan kepada para

pembantunya.

Pada tahun 1921, Sri Sultan Hamengkubuwana VII mangkat dan digantikan oleh Sri

Sultan Hamengkubuwana VIII. Suryomentaram sekali lagi mengajukan permohonan untuk

berhenti dari kedudukannya sebagai pangeran, setelah beberapa kali permohonannya ini ditolak

oleh Sri Sultan Hamengkubuwana VII. Akhirnya permohonan tersebut dikabulkan. Sultan

memberi uang f 75 per bulan sebagai tanda masih keluarga keraton, pemberian ini diterima

dengan senang hati. Namun, saat Pemerintah Hindia Belanda hendak memberikan uang pension

sebesar f 333,50 per bulan, Suryomentaram menolaknya karena ia tidak mau merasa berjasa

kepada pemerintahan Hindia Belanda dan tidak mau terikat dengan mereka.

Setelah menanggalkan gelar pangeran, Suryomentaram membeli sebidang tanah di Desa

Bringin, yaitu sebuah desa kecil di sebelah utara Salatiga. Di sana ia hidup sebagi petani dan

sejak saat itu ia lebih dikenal dengan nama Ki Gede Suryomentaram atau Ki Gede Bringin.

Meskipun sudah tinggal di Bringin, Suryomentaram masih sering ke Yogya karena ia masih

mempunyai rumah di Yogya.

Ki Ageng Suryomentaram bersama dengan Ki Hajar Dewantara serta beberapa temannya

mengadakan sarasehan setiap malam Selasa Kliwon atau yang dikenal dengan nama Serasehan

Selasa Kliwon (Suryomentaram, 1986: 191). Dalam serasehan inilah sebutan Suryomentaram
dirubah Ki Hajar Dewantara menjadi Ki Ageng suryomentaram. Kegiatan ini semacam

“perkumpulan kebatinan” akan tetapi juga memikirkan perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia

(Suryomentaram, 1986: 192). Dalam kegiatan ini masalah yang dibicarakan adalah keadaan

sosial-politik di Indonesia akibat dari Perang Dunia I yang baru saja selesai, negara-negara

Eropa, baik yang kalah maupun yang menang perang, termasuk Negeri Belanda yang sedang

mengalami krisis ekonomi dan militer. Saat seperti itu dirasa saat yang tepat bagi bangsa

Indonesia untuk melepaskan diri dari penjajaran Belanda. Dalam serasehan ini akhirnya

disepakati untuk membuat suatu gerakan moral dengan tujuan untuk memberikan landasan dan

menanamkan semangat kebangsaan para pemuda melalui suatu pendidikan.

Pada tahun 1922 berdirilah pendidikan kebangsaan dengan nama Taman Siswa. Ki Hajar

Dewantara dipilih menjadi pemimpin, sedangkan Ki Ageng Suryomentaram diberi tugas untuk

mendidik orang-orang dewasa dan orang-orang tua. Suryomentaram terlibat dalam pertemuan

Manggala Tiga Belas, yang membicarakan bagaimana cara menolak peperangan bila Indonesia

menjadi gelanggang perang antara Belanda dan Jepang. Ki Ageng harus membuat surat

permohonan dan membentuk panitia 9 yang disebut Manggala Sembilan untuk membentuk

tentara, karena ia berkeyakinan bahwa tentara adalah tulang punggung negara. Kemudian surat

tersebut diserahkan kepada Asano dan dikirim ke Tokyo. Tidak lama kemudian permohonan

tersebut dikabulkan, lalu Ki Ageng mengadakan pendaftaran tentara. Dalam perkembangannya

tentara ini dijadikan sebagai alat perlawanan fisik untuk mengusir penjajah yang sudah

merampok kekayaan Indonesia. Pada waktu kemerdekaan, Ki Ageng mempimpin pasukan

gerilya yang disebut dengan Pasukan Jelata, beroperasi di sekitar Wonosegoro. Selama ibu kota

RI Yogyakarta diduduki Belanda, Ki Ageng bersama dengan keluarganya mengungsi ke daerah

Gunung Kidul. Setelah penyerahan kedaulatan, Ki Ageng mulai aktif mengisi kemerdekaan
dengan memberikan ceramah tentang Kawruh Beja (Kawruh Jiwa), terkait dengan pembangunan

jiwa warga negara (Suryomentaram, 1986: 191-192).

Di desa Sajen tepatnya di daerah Salatiga, Suryomentaram jatuh sakit dan dibawa pulang

ke Yogyakarta untuk dirawat di rumah sakit. Saat sakit ini, Suryomentaram masih sempat

menemukan pemikiran tentang Kawruh Jiwa, yaitu bahwa “puncak belajar kawruh jiwa ialah

mengetahui gagasannya sendiri”. Namun karena sakitnya tak kunjung berkurang, kemudian ia

dibawa pulang ke rumah keluarganya di Yogyakarta. Minggu Pon tanggal 18 Maret 1962 pukul

16.45 dalam usia yang menginjak 70 tahun, Ki Ageng menghembuskan nafas terakhirnya di

rumahnya, Jalan Rotowijayan No. 22 Yogyakarta dan dimakamkan di makam keluarga di desa

Kanggotan. Ki Ageng meninggalkan seorang istri, dua orang putra, dan empat orang putri.

Seorang putra sudah meninggal lebih dulu (Suryomentaram, 1986: 196).

2.2 Kontribusi Terhadap Perilaku Kehidupan Manusia

Ki Ageng Suryomentaram adalah salah satu tokoh yang ajarannya tidak lepas dari sisi

kejiwaan dan etika. Tradisi kebijaksanaan dalam filsafat timur dan barat berbeda, karena pada

filsafat barat kebijaksanaan tidak menjadi ciri yang menonjol, yang ditonjolkan justru dari segi

rasionalitas dan yang dicita-citakan adalah pengetahuan yang koheren serta sistematis. Namun,

ada juga filosof barat yang memperhatikan segi kebijaksanaan, misalnya Plato dan Socrates.

Ajaran Ki Ageng Suryomentaram ini bersifat unik dan isinya tentang ajaran yang bias

membuat orang bahagia. Keunikan bahsa dan pemikiran Suryomentaram tentang model manusia

sehat merupakan falsafah hidup yang sangat beguna, meskipun harus diakui ia menunjukkan bias

kebudayaan Jawa.
Ki Ageng mengembangkan pengetahuannya mengenai jiwa manusia yang pada akhirnya

melahirkan Kawruh Jiwa. Pengetahuan kawruh jiwa bukan merupakan suatu aliran agama atau

kepercayaan melainkan pemahaman tentang baik dan buruk. Dalam kawruh jiwa ditekankan

untuk belajar memahami diri sendiri dengan cara yang tepat, benar, dan jujur dengan harapan

akan memberikan dampak yang positif bagi lingkungannya.

Kawruh jiwa Ki Ageng Suryomentaram mengenai cara untuk memahami hal penting

yang digunakan untuk seseorang menentukan dan mengenali jiwa yang ada dalam diri sendiri.

Cara untuk mengenali dan memahami yang ada dalam dirinya yaitu masalah keinginan diri

seseorang, gagasan, rasa senang dan susah. Pemikiran Ki Ageng mengenai kradamangsa tidak

ada suatu keharusan untuk menolak sesuatu maupun melakukan suatu hal, namun bagaimana

seorang itu menyikapi situasi kondisi yang terjadi dalam hidupnya (Atmosoetidjo, 2003).

Langkah yang dilalui seseorang ketika belajar mengenai kawruh jiwa yaitu dari rasa diri

sendiri. Dalam hal ini, diri sendiri sebagai pribadi yang diartikan tidak muluk-muluk tetapi

pribadi yang suka memikirkan, merasakan, dan menginginkan sesuatu. Pemahaman tersebut

diperoleh dari diri sendiri bukan orang lain maupun lingkungan.

Suryomentaram mengajarkan bahwa manusia digerakkan oleh rasa. Gerak manusia

merupakan sebuah usaha untuk menuju ke arah yang lebih tinggi. Manusia tanpa ciri, yaitu

manusia yang sudah bias membebaskan diri dari ketertarikan hal-hal ynag bersifat duniawi:

semat, derajat, dan keramat.

Ajaran Suryomentaram tentang ilmu bahagia dijalani dengan enam “sa”. Sabutuhe

(sebutuhnnya), saperlune (seperlunya), sacukupe (secukupnya), sabenere (sebenarnya),

semesthine (semestinya), dan sakpenak’e (sepantasnya). Dengan menjalani kehidupan seperti itu,
diharapkan manusia tidak berlebihan dan senantiasa menyikapi hidup dengan sewajarnya dan

waspada. Puncak ajaran Ki Ageng Suryomentaram adalah ketika individu sudah berhasil

memisahkan dirinya dan perasaannya. Selain perasaan susah-senang, manusia terlahir juga

memiliki atribut yang sering kali ditanggalkan, misalnya kekayaan, kedudukan, dan kekuasaan.

Jika ketiga atribut ini dipisahkan dari manusia akan menimbulkan dirinya masuk neraka dunia,

padahal atribut tersebut hanya semu dan bisa raib sewaktu-waktu jika tuhan menghendaki.

Menurut Suryomentaram, manusia terdiri dari jiwa dan raga. Raga adalah bagian dari

manusia yang dapat dilihat, sedangkan jiwa adalah bagian yang tidak dapat dilihat. Walaupun

tidak bias dilihat secara langsung dengan mata, namun jiwa itu ada dengan ditunjukkan oleh

adanya rasa. Rasa adalah segala gerak batin yang meliputi perasaan, gagasan atau pikiran, dan

keinginan. Ki Ageng menyamakan “jiwa adalah rasa”. Ketiga unsur yaitu karep (keinginan),

jasad (zat), dan “aku”. Ketiga unsur tersebut bersifat abadi, tidak berbau, dan tidak berbentuk.

Ketiganya menjadi penyebab alam semesta terbentuk. Berdasarkan ketiga unsur itulah ia

mengulas tentang hakekat manusia.

Manusia adalah keinginan. “Keinginan itu menjadi penyebab terjadinya hidup ynag

paling dalam.” Keinginan itu bersifat mulur mungkret (berkembang-menyusut), keinginan akan

bertambah jika terpenuhi dan akan menyusut jika tidak terpenuhi. Jika keinginan terpenuhi akan

merasa bahagia dan jika gagal maka sebaliknya (Suryomentaram 1993: 11)

Manusia adalah raga. Badan merupakan alat yang dapat digunakan untuk menyampaikan

suatu maksud tertentu, karena raga manusia memerlukan kebutuhan jasmani untuk

mempertahankan dan melestarikan kebudayaan raga, sebab raga tidaklah abadi. “Dados kulo

saged mustani, yen kulo puniko tiyang jasad, lan senajan saged molah-malih tetep wonten utawi

langgeng.” (Suryomentaram Jilid 4, 1993: 11).


Manusia adalah aku. “Aku puniko asli, barang asal, boten saged ical boten gadah

wiwitan lan wekasan, langgeng. Watekipun weruh dhateng karep. Weruh yen karep bingah. Aku

seneng. Weruh yen arep sisah. Aku ugi seneng. Saged dipun timbungaken, yen Aku puniko

nyawang karep… Aku puniko langgeng seneng, utawi Aku puniko beja.” (Suryomentaram, 1993:

22)

Ki Ageng Suryomentaran menggambarkan perjalanan hidup seseorang melalui beberapa

tahap. Tahap pertama diibaratkan bayi yang baru lahir, sudah mampu merasakan namun tubuh

dan anggota badannya belum dapat bereaksi untuk menuruti keinginan dan perasaannya. Tahap

kedua, digambarkan seperti anak-anak yang tubuh dan anggota badannya sudah mampu bereaksi

terhadap keinginan dan perasaannya, namun belum paham hukum alam sehingga seringkali salah

dalam bertindak. Tahap ketiga, digambarkan bahwa kehidupan sudah beranjak dewasa yang

artinya tubuh dan anggota badannya bersedia dan mampu melayani keinginan serta perasaan

dalam dirinya dan dapat memahami hukum alam yang berlaku. Pada tahap keempat,

digambarkan pergaulan antara manusia dengan benda yang memiliki perasaan sehingga individu

perlu memahami tentang rasa atau perasaan yang dirasakan oleh orang lain (Atmosoetidjo,

2003).

Melalui ajaran Ki Ageng Suryomentaram hal yang dapat diimplementasikan dalam sikap

berperilaku kehidupan sehari-hari yaitu sikap kejujuran yang merupakan dasar dari komunikasi

yang efektif dalam hubungan yang sehat, jujur jika dipahami maka diartikan sebagai mengakui,

berkata atau memberikan suatu informasi sesuai dengan fakta kebenaran (Kelly, 2005).

Kejujuran dapat ditanamkan sejak kecil, sehingga kejujuran itu juga merupakan sebuah hasil dari

penguatan dan kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari.


Nilai karakter yang terdapat dalam pemikiran Ki Ageng Suryomentaram diantaranya

yaitu ajaran mengenal diri sendiri, menjadi pribadi yang memikirkan dan merasakan apa yang

dirasakan oleh orang lain. Ki Ageng mengajarkan agar bebuat baik terhadap orang lain, karena

jika seseorang melakukan kejahatan terhadap orang lain maka sama saja memperlakukan dirinya

dengan kejahatan.
DAFTAR PUSTAKA

Achmad, Sri Wintala.  Ilmu bahagia Ki Ageng Suryomentaram: sejarah, kisah, dan ajaran

kemuliaan. Indonesia: Araska Publisher, 2020.

Indigenous Konseling: Pemikiran Ki Ageng Suryomentaram dalam Kawruh

Jiwa. N.p.: Bening Media Publishing, 2021.

Marhamah, Uswatun, and Ali Murtadlo. "Indigenous Konseling (Studi Pemikiran Kearifan

Lokal Ki Ageng Suryomentaram Dalam Kawruh Jiwa)." Jurnal Bimbingan Konseling 4.2 (2015).

Ainia, Dela Khoirul. "KONSEP PENDIDIKAN KARAKTER KI AGENG SURYOMENTARAM

DAN IMPLIKASINYA DALAM MENGHADAPI TATANAN KEHIDUPAN NEW NORMAL ERA

PANDEMI." Seminar Nasional Ilmu Pendidikan dan Multi Disiplin. Vol. 3. 2020.

Anda mungkin juga menyukai