Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

A. Bullying

1. pengertian Bullying

Bullying merupakan suatu perilaku negatif berulang yang bermaksud

menyebabkan ketidaksenangan atau menyakitkan oleh orang lain, baik

satu atau beberapa orang secara langsung terhadap seseorang yang tidak

mampu melawannya (Olweus, 2006). Menurut American Psychiatric

Association (APA) (dalam Stein dkk., 2006), bullying adalah perilaku

agresif yang dikarakteristikkan dengan 3 kondisi yaitu (a) perilaku

negatif yang bertujuan untuk merusak atau membahayakan (b) perilaku

yang diulang selama jangka waktu tertentu (c) adanya

ketidakseimbangan kekuatan atau kekuasaan dari pihak-pihak yang

terlibat.

Menurut Coloroso (2007), bullying merupakan tindakan intimidasi

yang dilakukan secara berulang-ulang oleh pihak yang lebih kuat

terhadap pihak yang lebih lemah, dilakukan dengan sengaja dan

bertujuan untuk melukai korbannya secara fisik maupun emosional.

Rigby (dalam Astuti, 2008), menyatakan bullying merupakan perilaku

agresi yang dilakukan secara berulang-ulang dan terus menerus, terdapat

kekuatan yang tidak seimbang antara pelaku dan korbannya, serta

15
16

bertujuan untuk menyakiti dan menimbulkan rasa tertekan bagi

korbannya.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perilaku

bullying adalah suatu perilaku negatif yang dilakukan secara berulang-ulang,

dilakukan dengan sadar dan sengaja yang bertujuan untuk menyakiti orang

lain secara fisik maupun emosional, dilakukan oleh seorang anak atau

kelompok anak dan terdapat ketidakseimbangan kekuatan atau kekuasaan dari

pihak-pihak yang terlibat.

2. Tanda-tanda bullying

Olweus (2006) merumuskan adanya tiga unsur dasar bullying, yaitu

bersifat menyerang dan negatif, dilakukan secara berulang kali, dan adanya

ketidakseimbangan kekuatan antara pihak yang terlibat. Coloroso (2003) juga

mengatakan bahwa bullying akan selalu mengandung tiga elemen, yaitu:

kekuatan yang tidak seimbang, bertujuan untuk menyakiti, dan adanya

ancaman akan dilakukannya agresi. Oleh sebab itu, seseorang dianggap

menjadi korban bullying bila ia dihadapkan pada tindakan negatif seseorang

atau lebih, yang dilakukan berulang-ulang dan terjadi dari waktu ke waktu.

Selain itu, bullying juga melibatkan kekuatan dan kekuasaan yang tidak

seimbang, sehingga korbannya berada dalam keadaan tidak mampu

mempertahankan diri secara efektif untuk melawan tindakan negatif yang

diterimanya (Olweus, dalam Krahe, 2005).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa seseorang

dikatakan menjadi korban bullying dilihat dari frekuensi mengalami bullying,


17

yaitu minimal dua sampai tiga kali dalam sebulan. Seorang korban bullying

dapat mengalami satu atau beberapa bentuk bullying. Ketika hanya satu

bentuk bullying yang dialami seseorang, namun frekuensinya minimal dua

sampai tiga kali dalam sebulan, hal itu juga termasuk menjadi korban

bullying.

3. Pihak-pihak yang terlibat dalam perilaku bullying

Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam perilaku bullying dapat

dibagi menjadi 4 yaitu:

a. Bullies (pelaku bullying)

Bullies yaitu murid yang secara fisik dan/atau emosional melukai

murid lain secara berulang-ulang (Olweus, dalam Moutappa dkk, 2004).

Remaja yang diidentifikasi sebagai pelaku bullying sering memperlihatkan

fungsi psikososial yang lebih buruk daripada korban bullying dan murid yang

tidak terlibat dalam perilaku bullying (Haynie, dkk., dalam Totura, 2003).

Pelaku bullying juga cenderung memperlihatkan simptom depresi yang lebih

tinggi daripada murid yang tidak terlibat dalam perilaku bullying dan

simptom depresi yang lebih rendah daripada victim atau korban (Haynie,

dkk., dalam Totura, 2003).

Olweus (dalam Moutappa, 2004) mengemukakan bahwa pelaku

bullying cenderung mendominasi orang lain dan memiliki kemampuan sosial

dan pemahaman akan emosi orang lain yang sama (Sutton, Smith, &

Sweetenham, dalam Moutappa, 2004). Menurut Stephenson dan Smith

(dalam Sullivan, 2000), tipe pelaku bullying antara lain (1) tipe percaya diri,
18

secara fisik kuat, menikmati agresifitas, merasa aman dan biasanya populer,

(2) tipe pencemas, secara akademik lemah, lemah dalam berkonsentrasi,

kurang populer dan kurang merasa aman, dan (3) pada situasi tertentu pelaku

bullying bisa menjadi korban bullying.

Selain itu, para pakar banyak menarik kesimpulan bahwa

karakteristik pelaku bullying biasanya adalah agresif, memiliki konsep positif

tentang kekerasan, impulsif, dan memiliki kesulitan dalam berempati (Fonzi

& Olweus dalam Sullivan, 2000). Menurut Astuti (2008) pelaku bullying

biasanya agresif baik secara verbal maupun fisikal, ingin popular, sering

membuat onar, mencari-cari kesalahan orang lain, pendendam, iri hati, hidup

berkelompok dan menguasai kehidupan sosial di sekolahnya. Selain itu

pelaku bullying juga menempatkan diri di tempat tertentu di sekolah atau di

sekitarnya, merupakan tokoh popular di sekolahnya, gerak geriknya sering

kali dapat ditandai dengan sering berjalan di depan, sengaja menabrak,

berkata kasar, dan menyepelekan/ melecehkan.

b. Victim (korban bullying)

Victim yaitu murid yang sering menjadi target dari perilaku agresif,

tindakan yang menyakitkan dan hanya memperlihatkan sedikit pertahanan

melawan penyerangnya (Olweus, dalam Moutappa dkk, 2004). Menurut

Byrne dibandingkan dengan teman sebayanya yang tidak menjadi korban,

korban bullying cenderung menarik diri, depresi, cemas dan takut akan situasi

baru (dalam Haynie dkk, 2001). Murid yang menjadi korban bullying

dilaporkan lebih menyendiri dan kurang bahagia di sekolah serta memiliki


19

teman dekat yang lebih sedikit daripada murid lain (Boulton & Underwood

dkk, dalam Haynie dkk, 2001). Korban bullying juga dikarakteristikkan

dengan perilaku hati-hati, sensitif, dan pendiam (Olweus, dalam Moutappa,

2004).

Coloroso (2007) menyatakan korban bullying biasanya merupakan

anak baru di suatu lingkungan, anak termuda di sekolah, biasanya yang lebih

kecil, tekadang ketakutan, mungkin tidak terlindung, anak yang pernah

mengalami trauma atau pernah disakiti sebelumnya dan biasanya sangat peka,

menghindari teman sebaya untuk menghindari kesakitan yang lebih parah,

dan merasa sulit untuk meminta pertolongan. Selain itu juga anak penurut,

anak yang merasa cemas, kurang percaya diri, mudah dipimpin dan anak yang

melakukan hal-hal untuk menyenangkan atau meredam kemarahan orang lain,

anak yang perilakunya dianggap mengganggu orang lain, anak yang tidak

mau berkelahi, lebih suka menyelesaikan konflik tanpa kekerasan, anak yang

pemalu, menyembunyikan perasaannya, pendiam atau tidak mau menarik

perhatiaan orang lain, pengugup, dan peka.

Disamping itu juga merupakan anak yang miskin atau kaya, anak

yang ras atau etnisnya dipandang inferior sehingga layak dihina, anak yang

orientsinya gender atau seksualnya dipandang inferior, anak yang agamanya

dipandang inferior, anak yang cerdas, berbakat, atau memiliki kelebihan. ia

dijadikan sasaran karena ia unggul, anak yang merdeka, tidak mempedulikan

status sosial, serta tidak berkompromi dengan norma-norma, anak yang siap

mengekspresikan emosinya setiap waktu, anak yang gemuk atau kurus,


20

pendek atau jangkung, anak yang memakai kawat gigi atau kacamata, anak

yang berjerawat atau memiliki masalah kondisi kulit lainnya. Selanjutnya

korbannya merupakan anak yang memiliki ciri fisik yang berbeda dengan

mayoritas anak lainnya, dan anak dengan ketidakcakapan mental dan/atau

fisik, anak yang memiliki ganguan-hiperaktif-defisit-perhatian (attention

deficit hyperactive disorder) mungkin bertindak sebelum berpikir, tidak

mempertimbangkan konsekuensi atas perilakunya sehingga disengaja atau

tidak menggangu bully, anak yang berada di tempat yang keliru pada saat

yang salah. ia diserang karena bully sedang ingin menyerang seseorang di

tempat itu pada saat itu juga.

c. Bully-victim

Bully-victim yaitu pihak yang terlibat dalam perilaku agresif, tetapi

juga menjadi korban perilaku agresif (Andreou, dalam Moutappa dkk, 2004).

Craig (dalam Haynie dkk, 2001) mengemukakan bully-victim menunjukkan

level agresivitas verbal dan fisik yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak

lain. Bully victim juga dilaporkan mengalami peningkatan simptom depresi,

merasa sepi, dan cenderung merasa sedih dan moody daripada murid lain

(Austin & Joseph; Nansel dkk, dalam Totura, 2003). Schwartz (dalam

Moutappa, 2004) menjelaskan bully-victim juga dikarakteristikkan dengan

reaktivitas, regulasi emosi yang buruk, kesulitan dalam akademis dan

penolakan dari teman sebaya serta kesulitan belajar (Kaukiainen, dkk., dalam

Moutappa, 2004).
21

d. Neutral

Neutral yaitu pihak yang tidak terlibat dalam perilaku agresif atau

bullying. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pihak-pihak

yang terlibat dalam perilaku bullying dapat dibagi menjadi empat, yaitu

pelaku (bullies), korban (victim), pelaku sekaligus korban (bulliy-victim) dan

pihak yang tidak terlibat (neutral).

4. Bentuk-bentuk bullying

Ada tiga bentuk bullying menurut Coloroso (2007), yaitu:

a. Verbal bullying

Kata-kata bisa digunakan sebagai alat yang dapat mematahkan

semangat anak yang menerimanya. Verbal abuse adalah bentuk yang paling

umum dari bullying yang digunakan baik anak laki-laki maupun perempuan.

Hal ini dapat terjadi pada orang dewasa dan teman sebaya tanpa terdeteksi.

Verbal bullying dapat berupa teriakan dan keriuhan yang terdengar. Hal ini

berlangsung cepat dan tanpa rasa sakit pada pelaku bullying dan dapat sangat

menyakitkan pada target. Jika verbal bullying dimaklumi, maka akan menjadi

suatu yang normal dan target menjadi dehumanized. Ketika seseorang

menjadi dehumanized, maka seseorang tersebut akan lebih mudah lagi untuk

diserang tanpa mendapatkan perlindungan dari orang di sekitar yang

mendengarnya.

Verbal bullying dapat berbentuk name-calling (memberi nama

julukan), taunting (ejekan), belittling (meremehkan), cruel criticsm (kritikan

yang kejam), personal defamation (fitnah secara personal), racist slurs


22

(menghina ras), sexually suggestive (bermaksud/bersifat seksual) atau

sexually abusive remark (ucapan yang kasar). Hal ini juga meliputi

pemerasan uang atau benda yang dimiliki, panggilan telepon yang kasar,

mengintimidasi lewat e-mail, catatan tanpa nama yang berisi ancaman,

tuduhan yang tidak benar, rumor yang jahat dan tidak benar.

b. Physical bullying

Bentuk bullying yang paling dapat terlihat dan paling mudah untuk

diidentifikasi adalah bullying secara fisik. Bentuk ini meliputi menampar,

memukul, mencekik, mencolek, meninju, menendang, menggigit, menggores,

memelintir, meludahi, merusak pakaian atau barang dari korban.

c. Relational bullying

Bentuk ini adalah yang paling sulit untuk dideteksi, relational bullying

adalah pengurangan perasaan „sense‟ diri seseorang yang sistematis melalui

pengabaian, pengisolasian, pengeluaran, penghindaran. Penghindaran,

sebagai suatu perilaku penghilangan, dilakukan bersama romur adalah sebuah

cara yang paling kuat dalam melakukan bullying. Relational bullying paling

sering terjadi pada tahun-tahun pertengahan, dengan onset remaja yang

disertai dengan perubahan fisik, mental, emosional, dan seksual. Pada waktu

inilah, remaja sering menggambarkan siapa diri mereka dan mencoba

menyesuaikan diri dengan teman sebaya.


23

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bullying terdiri dari

3 bentuk yaitu: fisik, verbal dan relasional. Adapun bentuk bullying yang

diteliti dalam penelitian ini adalah ketiga bentuk bullying yakni bullying

secara fisik, verbal dan relasional.

5. Dampak bullying

Bullying akan menimbulkan dampak yang sangat merugikan, tidak hanya

bagi korban tetapi juga bagi pelakunya (Craig & Pepler, 2007). Menurut

Coloroso (2006) pelaku bullying akan terperangkap dalam peran sebagai

pelaku bullying, mereka tidak dapat mengembangkan hubungan yang sehat,

kurang cakap dalam memandang sesuatu dari perspektif lain, tidak memiliki

empati, serta menganggap bahwa dirinya kuat dan disukai sehingga dapat

mempengaruhi pola hubungan sosialnya di masa yang akan datang.

Sementara dampak negatif bagi korbannya adalah akan timbul perasaan

depresi dan marah. Mereka marah terhadap diri sendiri, pelaku bullying,

orang dewasa dan orang-orang di sekitarnya karena tidak dapat atau tidak

mau menolongnya. Hal tersebut kemudian mulai mempengaruhi prestasi

akademik para korbannya. Mereka mungkin akan mundur lebih jauh lagi ke

dalam pengasingan karena tidak mampu mengontrol hidupnya dengan cara-

cara yang konstruktif.

Menurut Peterson (dalam Berthold dan Hoover, 2000), bullying akan

mempengaruhi self esteem korbannya dan hal tersebut merupakan pengaruh

yang ditimbulkan dari pengaruh jangka panjang. Demikian pula Olweus

(dalam Berthold dan Hoover, 2000) menyatakan bahwa bullying memiliki


24

pengaruh yang besar bagi kehidupan korbannya hingga dewasa. Saat masa

sekolah akan menimbulkan depresi dan perasaan tidak bahagia untuk

mengikuti sekolah, karena dihantui oleh perasaan cemas dan ketakutan.

Selain itu menurut Swearer, dkk. (2010) korban bullying juga merasa sakit,

menjauhi sekolah, prestasi akademik menurun, rasa takut dan kecemasan

meningkat, adanya keinginan bunuh diri, serta dalam jangka panjang akan

mengalami kesulitan-kesulitan internal yang meliputi rendahnya self esteem,

kecemasan, dan depresi.

Korban bullying cenderung merasa takut, cemas, dan memiliki self

esteem yang lebih rendah dibandingkan anak yang tidak menjadi korban

bullying (Olweus, Rigby, & Slee, dalam Aluedse, 2006). Duncan (dalam

Aluedse, 2006) juga menyatakan bila dibandingkan dengan anak yang tidak

menjadi korban bullying, korban bullying akan memiliki self esteem yang

rendah, kepercayaan diri rendah, penilaian diri yang buruk, tingginya tingkat

depresi, kecemasan, ketidakmampuan, hipersensitivitas, merasa tidak aman,

panik dan gugup di sekolah, konsentrasi terganggu, penolakan oleh rekan atau

teman, menghindari interaksi sosial, lebih tertutup, memiliki sedikit teman,

terisolasi, dan merasa kesepian.

Penelitian yang dilakukan di Swedia mengenai dampak bullying terhadap

korbannya menunjukkan bahwa remaja yang saat berusia 16 tahun pernah

mengalami bullying akan mengalami penurunan self esteem dan peningkatan

kadar depresi (Olweus dalam Arseneault, dkk., 2009). Korban bullying

cenderung menunjukkan gejala peningkatan kecemasan dan depresi (Hodges


25

& Perry dalam Arseneault dkk., 2009), self esteem yang rendah dan

keterampilan sosial yang buruk (Egan & Perry, dalam Arseneault, dkk.,

2009).

Penelitian yang dilakukan oleh Riauskina dkk. (2005), juga menemukan

bahwa korban merasakan banyak emosi negatif (marah, dendam, kesal,

tertekan, takut, malu, sedih, tidak nyaman, terancam) ketika mengalami

bullying, namun tidak berdaya menghadapi kejadian bullying yang menimpa

mereka. Dalam jangka panjang emosi-emosi tersebut dapat berujung pada

munculnya perasaan rendah diri dan merasa bahwa dirinya tidak berharga.

B. Pola Asuh

1. Pengertian Pola Asuh Orang Tua

Setiap orang tua pasti menginginkan anaknya menjadi orang yang

berkepribadian baik, sikap mental yang sehat serta akhlak yang terpuji. Orang

tua sebagai pembentuk pribadi yang pertama dalam kehidupan anak, dan

harus menjadi teladan yang baik bagi anak-anaknya. Sebagaimana yang

dinyatakan olek Zakiyat Darajat bahwa kepribadian orang tua, sikap dan cara

hidup merupakan unsur-unsur pendidikan yang secara tidak langsung akan

masuk ke dalam pribadi anak yang sedang tumbuh (Zakiyat Darajat,

1996:56).

Pola asuh terdiri dari dua kata yaitu “pola” dan “asuh”. Menurut

Kamus Besar Bahasa Indonesia, “pola” berarti corak,model, sistem, cara

kerja, bentuk (struktur) yang tetap (Depdikbud, 1988:54). Sedangkan kata


26

“asuh” dapat berarti menjaga (merawat dan mendidik) anak kecil

membimbing (membantu, melatih dan sebagainya), dan memimpin

(mengepalai dan menyelenggarakan) satu badan atau lembaga (TIM

Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1988:692).

Lebih jelasnya kata asuh adalah mencakup segala aspek yang berkaitan

dengan pemeliharaan, perawatan, dukungan, dan bantuan sehingga orang

tetap berdiri dan menjalani hidupnya secara sehat. Menurut Mussen

(1994:395) pola asuh adalah cara yang digunakan orang tua dalam mencoba

berbagai strategi untuk mendorong anak mencapai tujuan yang diinginkan.

Tujuan tersebut antara lain pengetahuan, nilai moral, dan standar perilaku

yang harus dimiliki anak bila dewasa nanti. Pernyataan yang sama juga di

kemukakan oleh Gunarsa (1990) bahwa pola asuh adalah suatu gaya

mendidik yang dilakukan oleh orang tua untuk membimbing dan mendidik

anak-anaknya dalam proses interaksi yang bertujuan memperoleh suatu

perilaku yang diinginkan.

Markum (1999:49) berpendapat bahwa pola asuh adalah cara orang

tua mendidik anak dan membesarkan anak yang dipengaruhi oleh banyak

faktor, antara lain faktor budaya, agama, kebiasaan, dan kepercayaan serta

pengaruh kepribadian orang tua (orang tua sendiri atau orang yang

mengasuhnya). Selanjutnya, Konh (dalam putri 2007) menyatakan bahwa

pola asuh merupakan sikap orang tua dalam berinteraksi dengan anak-

anaknya. Sikap orang tua ini meliputi cara orang tua memberikan aturan-
27

aturan, hadiah, maupun hukuman, cara orang tua menunjukkan otoritasnya,

dan cara orang tua memberikan perhatian serta tanggapan terhadap anaknya.

Hurlock (1999:59) mengatakan bahwa pola asuh dapat diartikan pula

dengan kedisiplinan. Disiplin merupakan cara masyarakat mengajarkan

kepada anak perilaku moral yang dapat diterima kelompok. Adapun tujuan

kedisiplinan adalah memberitahukan kepada anak sesuatu yang baik dan

buruk serta mendorongnya untuk berprilaku dengan standar yang berlaku

dalam masyarakat di lingkungan sekitarnya. Pendapat Baumrind yang dikutip

oleh Yusuf (2004:51) mendefenisikan pola asuh sebagai pola sikap atau

perlakuan orang tua terhadap anak yang masing-masing mempunyai pengaruh

tersendiri terhadap perilaku anak antara lain terhadap kompetensi emosional,

sosial, dan intelektual anak.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pola asuh orang tua

adalah cara orang tua memperlakukan anaknya dengan menjaga, merawat,

dan mendidik anaknya. Dari cara perlakuan orang tua akan mencerminkan

karakteristik tersendiri yang mempengaruhi pola sikap anak kemudian hari.

2. Jenis Pola Asuh Orang Tua

Menurut Gordon (1991:115) ada tiga macam sistem bagaimana

orang tua mendidik atau menjalankan perannya sebagai orang tua :

a. Sistem otoriter yaitu pola asuh dimana individu menggunakan peraturan-

peraturan yang ketat dan menuntut agar peraturan-peraturan itu dipatuhi.

Orang tua yang bersikap otoriter dan memberikan kebebasan penuh menjadi

pendorong bagi anak untuk berperilaku agresif. Orang tua tidak mendukung
28

anak untuk membuat keputusan sendiri, selalu mengatakan apa yang harus

dilakukan anak, tanpa menjelaskan mengapa anak harus melakukan hal

tersebut. Akibatnya, anak kehilangan kesempatan untuk belajar bagaimana

mengendalikan perilakunya sendiri. Ada larangan-larangan yang diberlakukan

orang tua yang tidak masuk akal, seperti tidak boleh bermain di luar rumah.

Pola asuh otoriter ini dapat membuat anak sulit menyesuaikan diri. Ketakutan

anak terhadap hukuman justru membuat anak menjadi tidak jujur dan licik.

b. Sistem permisif yaitu pola asuh yang memberikan kebebasan pada individu

tanpa mengambil keputusan tanpa adanya kontrol dan perhatian orang tua,

atau cenderung sangat pasif ketika menanggapi ketidak patuhan. Orang tua

permisif tidak begitu menunut, juga tidak menetapkan sasaran yang jelas bagi

anaknya, karena yakin bahwa anak-anak seharusnya berkembang sesuai

dengan kecenderungan alamiahnya. Akibatnya, anak menjadi cerdas, takut dan

agresif serta terkadang menjadi pemarah karena menganggap orang tua kurang

memberi perhatian. Bagi beberapa orang di lingkungannya, anak yang terlalu

dibebaskan itu dianggap sebagai anak yang manja.

c. Sistem otoritatif yaitu : sikap orang tua yang memberi bimbingan, tetapi tidak

mengatur. Pola asuh otoritatif menghargai anak-anaknya tetapi menuntut

mereka memenuhi standar tanggung jawab yang tinggi kepada keluarga,

teman sebaya dan masyarakat. Atau disebut pola asuh demokratif. Dengan

adanya pola asuh otoritatif anak lebih percaya diri, mandiri, imajinatif, mudah

beradaptasi, dan disukai banyak orang yakni anak-anak dengan kecerdasan

emosional berderajat tinggi.


29

Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa jenis pola asuh

orang tua sangat mempengaruhi sikap kreatif anak, terutama pola asuh

demokratis sehingga anak mempunyai semangat untuk mengembangkan

bakatnya. Tidak hanya orang tua saja yang mengarahkan anak untuk

berkreatif akan tetapi juga guru dan lingkungan sekitarnya juga dapat

membimbing demi tercapainya bakat dan minat anak, sehingga anak dapat

termotivasi sesuai dengan kemampuannya.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh orang Tua

a. Faktor sosial ekonomi

Dari beberapa penelitian diketahui bahwa orang tua yang berasal dari kelas

ekonomi menengah cenderung lebih bersifat hangat dibanding orang tua yang

berasal dari kelas sosial ekonomi bawah. Orang tua dari golongan ini

cenderung menggunakan hukuman fisik dan menunjukkan kekuasaan mereka.

Orang tua dari kelas ekonomi menengah lebih menekankan pada

perkembangan keingintahuan anak, kontrol dalam diri anak, kemampuan

untuk menunda keinginan, bekerja untuk tujuan jangka panjang dan kepekaan

anak dalam berhubungan dengan orang lain. Orang tua dari golongan ini lebih

bersikap terbuka terhadap hal-hal yang baru.

b. Faktor tingkat pendidikan

Dari berbagai hal penelitian ditemukan bahwa orang tua yang bersikap

demokratis dan memiliki pandangan mengenai persamaan hak antara orang

tua dan anak cenderung berkepribadian tinggi. Orang tua dengan berlatar

belakang pendidikan yang tinggi dalam praktek pola asuhnya terlihat sering
30

membaca artikel ataupun mengikuti kemajuan pengetahuan mengenai

perkembangan anak. Dalam mengasuh anaknya mereka menjadi lebih siap

dalam memiliki latar belakang pengetahuan yang luas, sedangkan orang tua

yang memiliki latar belakang pendidikan rendah memiliki pengetahuan dan

pengertian yang terbatas mengenai kebutuhan perkembangan anak, kurang

menunjukkan pengertian dan cenderung mendominasi anak (Htererington dan

Parke, 1979:20).

c. Jumlah anak

Jumlah anak juga mempengaruhi pola asuh tersebut. Orang tua yang hanya

memiliki 2-3 orang anak akan menggunakan pola asuh otoriter. Dengan

digunakannya pola asuh ini orang tua menganggap dapat tercipta ketertiban

dirumah (Watson, 1970:70).

d. Nilai-nilai yang dianut orang tua

Paham equalitarium menempatkan kedudukan anak sama dengan orang tua,

dianut oleh banyak orang tua dengan latar belakang budaya barat. Sedangkan

pada budaya timur orang tua masih menghargai kepatuhan anak.

Berdasarkan keterangan diatas, bahwasannya banyak faktor yang

dapat mempengaruhi pola asuh orang tua. Sehingga suatu bentuk pola asuh

sangat tergantung pada bagaimana keluarga atau pendidik menata pola dalam

mengasuh disesuaikan dengan faktor-faktor pengaruh yang ada. Oleh karena

itu, suatu sistem pola asuh sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik itu

membentuk sistem pola asuh otoriter, permisif, demokratis, atau bahkan

mengkolaborasikan ketiga pola diatas sebagai suatu klasifikasi tertentu.


31

4. Pengaruh Pola Asuh Orang Tua terhadap Karakteristik Anak

Pola asuh yang diterapkan oleh orang tua kepada anaknya,

membentuk karakteristik-karakteristik yang berbeda-beda. Berikut adalah

karakteristik-karakteristik anak dengan pola-pola asuh tersebut diatas, sebagai

berikut:

a. Pola asuh demokratis akan menghasilkan karakteristik anak yang mandiri,

dapat mengontrol diri, mempunyai hubungan baik dengan teman, mampu

menghadapi stress, mempunyai minat terhadap hal-hal baru, dan koperatif

terhadap orang-orang lain.

b. Pola asuh otoriter akan menghasilkan karakteristik anak yang pnakut,

pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, gemar menentang, suka melanggar

norma, berkepribadian lemah, cemas dan menarik diri.

c. Pola asuh permisif akan menghasilkan karakteristik anak-anak yang

impulsive, agresif, tidak patuh, manja, kurang mandiri, mau menang

sendiri, kurang percaya diri, dan kurang matang secara sosial.

C. Penelitian Relevan

Eli Wardiati dengan judul penelitian “Pengaruh bullying terhadap

moralitas siswa pada SMP Negeri 1 Darul Hikmah” hasil penelitiannya

menunjukkan bullying sering terjadi dilingkungan sekolah, bentuk bullying

yang paling menonjol berawal dari bentuk mengejek dari mulut kemulut

sehingga menimbulkan perkelahian dalam bentuk fisik, pengaruh bullying

terhadap moralitas siswa dialami oleh korban bulli dan pelaku bullying itu
32

sendiri yang mencerminkan moraliatas buruk seperti memfitnah, ghibah,

dendam dan menghasud. Dampak bullying tidak selamanya berdampak

negatif, adapun dampak positifnya adalah hafizi melakukan puasa sunah

senin kamis dalam rangka menurunkan berat badan, disamping melakukan

puasa sunah siswa bernama hafizi semakin dekat dengan Allah, dampak

bullying lainnya terhadap korban bullying terganggu psikologis mentalnya

seperti depresi,berdiam diri sehingga prestasi belajar menurun. Usaha guru

PAI adalah memberikan nasihat kepada siswa, dan apabila perilaku bullying

masih berlajut, maka pihak sekolah menyerahkan kepada guru BK, dan

apabila perilaku bullying masih saja terjadi, pihak sekolah nmemanggil kedua

orang tua siswa dalam menyelesaikan plobematika anak sekolah.

Bibit Darmalina dengan judul penelitian “Perilaku School Bullying

Di SD N Grindang, Hargomulyo, Kokap, Kulon Progo, Yogyakarta” hasil

penelitiannya menunjukkan bahwa terjadi school bullying di Sekolah Dasar

Negeri Grindang dengan hasil sebagai berikut. (1) kurangnya pengetahuan

guru mengenai school bullying, serta pendpat guru yang mengatakan

kenakalan di sekolahnya masih wajar; (2) reaksi yang ditunjukkan korban

adalah, diam, takut atau menangis; pelaku menunjukkan perilaku acuh dan

senang; sedangkan penonton menunjukkan reaksi, melawan pelaku, membela

pelaku atau diam; (3) bentuk school bullying yang terjadi adalah bentuk fisik

(memukul dengan gagang sapu, memukul dengan tangan, mendorong) dan

non fisik (verbal: mengancam, memaksa, menyoraki, meledek; non verbal


33

langsung: membentak, memarahi, memerintah, menunjuk-nunjuk dengan jari;

non verbal tidak langsung: pengucilan).

Windi Sartika Lestari dengan judul penelitian “Analisis Faktor-

Faktor Penyebab Bullying di Kalangan Peserta Didik (Studi Kasus pada

Siswa SMP N 2 Kota Tangerang Selatan) hasil penelitiannya menunjukkan

bahwa (1) faktor keluarga menjadi penyebab timbulnya perilaku bullying di

kalangan peserta didik, karena keluarga yang kurang harmonis, tidak utuh

(orang tua meninggal atau bercerai), proses sosialisasi yang tidak sempurna

dari keluarganya, komunikasi yang tidak lancar antara orang tua dan anak,

serta pola asuh yang tidak adil., (2) faktor teman sebaya menjadi penyebab

timbulnya perilaku bullying di kalangan peserta didik, karena tingginya

intensitas komunikasi antar teman sebaya yang memungkinkan peserta didik

ini terhasut oleh teman-temannya yang berorientasi negatif, adanya faktor

ingin diakui oleh anggota kelompok teman sebayanya, menjaga eksistensi

kelompoknya di mata peserta didik lain. (3) faktor media massa menjadi

penyebab timbulnya perilaku bullying di kalangan peserta didik, karena

adanya penyalahgunaan media sosial sebagai media untuk melakukan bully

dalam bentuk non-verbal (teks).

Anda mungkin juga menyukai