REMAJA
Masa remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Pada masa
ini, remaja menganggap dirinya setara atau sama dengan orang dewasa baik dari segi
kemampuan, cara berpikir, serta memandang dirinya sebagai individu yang mandiri.
Remaja merasa dirinya tidak anak-anak lagi tetapi sekelilingnya masih menganggap
belum dewasa. Selanjutnya, remaja sering ingin bertingkah laku dewasa tetapi
invulsivitasnya belum menunjukkan kedewasaan. Tetapi jelas dia bukan anak lagi, juga
bukan dewasa. Dia berada dalam posisi ambang, marginal, transisi. Dalam masa marginal
ini, remaja mengalami kesulitan melepaskan diri dari ketergantungan orangtua, persoalan
seks, pergaulan dengan jenis seks lain, dan merencanakan masa depan.
Menurut Stanley (dalam Gunarsa & Gunarsa, 2006), masa remaja juga merupakan masa
dimana remaja penuh gejolak emosi dan ketidakseimbangannya emosi atau yang disebut
dengan “storm and stress” sehingga pola pikir atau perilaku remaja mudah terpengaruh
lingkungan tempat tinggalnya. Remaja masih belum mampu menguasai dan
memfungsikan secara maksimal fungsi fisik maupun psikisnya. Pada masa ini banyak
tuntutan dan tekanan yang ditujukan pada remaja, misalnya mereka diharapkan untuk
tidak lagi bertingkah seperti anak-anak, harus lebih mandiri, dan bertanggung jawab
(Jahja, 2011).
Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa masa remaja merupakan masa
transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan adanya
beberapa perubahan dalam dirinya, seperti perubahan fisik, psikis, dan psikososialnya.
Perubahan yang dialaminya pun akan berdampak untuk dirinya dalam menentukan
bagaimana ia berperilaku dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari. Perubahan-
perubahan tersebut akan berdampak pada timbulnya perasaan tidak yakin akan dirinya
dan kemampuan dirinya sendiri. Padahal menurut William Kay (Widiyanti & Marheni,
2013), salah satu tugas remaja yaitu mampu menerima dirinya sendiri dan memiliki
kepercayaan terhadap kemampuannya sendiri. Oleh karena itu, seharusnya remaja
memiliki keyakinan yang kuat untuk mampu melewati dan menjalankan perubahan-
perubahan tersebut.
Tam, Chong, Kadirvelu dan Khoo (2012), menjelaskan bahwa apabila remaja tidak
mampu mengatasi perubahan yang terjadi pada dirinya, maka akan memberikan dampak
negatif bagi kehidupan sehari-harinya. Dampak negatif tersebut berupa perilaku dimana
remaja akan lebih cenderung membantah perkataan orang tua mereka, terlibat dalam hal-
hal yang beresiko, membawa kendaraan tanpa mematuhi rambu lalu lintas, melakukan
seks bebas, narkoba, mengonsumsi alkohol, dan kurang percaya diri. Hal ini dapat dilihat
dari laporan WHO (2015), memaparkan bahwa remaja di Indonesia khususnya di pulau
Jawa sebanyak 27.2% mengonsumsi 1 batang rokok perhari. Tidak hanya itu, sebanyak
2.6% remaja diketahui pernah mengonsumsi ganja sekali dalam hidupnya. Krisis
kurangnya keyakinan diri seorang remaja akan kemampuannya dilihat dari tindakannya
dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu contohnya adalah perilaku menyontek. Musslifah
(2012) mengatakan bahwa 80% remaja di Surabaya pernah menyontek. Oleh karena itu,
kepercayaan diri remaja dalam mengendalikan diri mereka dari perbuatan yang tidak baik
dapat diukur dari seberapa tinggi tingkat keyakinan diri mereka dalam menghadapi
situasi. Keyakinan dan kepercayaan yang ada dalam diri seseorang akan kemampuan
yang dimilikinya itulah yang disebut Self Efficacy atau Efikasi Diri.
Menurut Bandura (Feist & Feist, 2013), menyatakan efikasi diri merupakan keyakinan
seseorang terhadap kemampuannya untuk dapat mengukur keberfungsiannya serta hal-
hal yang terjadi di lingkungannya. Sedangkan pernyataan lainnya dalam teori sosial
kognitif, efikasi diri dapat membantu seseorang dalam menentukan pilihan, usaha mereka
untuk maju, kegigihan dan ketekunan yang mereka tunjukkan dalam menghadapi
kesulitan, dan drajat kecemasan atau ketenangan yang mereka alami saat mereka
mempertahankan tugas-tugas yang mencakupi kehidupan mereka.
Jadi, efikasi diri merupakan sebuah keyakinan atau kepercayaan yang ada pada diri
seseorang akan kemampuan yang dimilikinya untuk mengatur dan melakukan tindakan
untuk mencapai target yang diinginkannya. Remaja dengan efikasi diri positif akan
cenderung mampu menjalankan tugas dan perubahan-perubahan yang ada pada dirinya.
Sedangkan remaja dengan efikasi diri negatif akan cenderung mengalami kebingungan
dan bermasalah akan perubahan pada masa remaja ini (Widiyanti & Marheni, 2013).
Efikasi diri memungkinkan remaja dapat menyelesaikan tugas-tugasnya, yang mana
mereka memiliki keyakinan diri untuk berhasil dan secara tidak langsung membuat
mereka termotivasi (Tom dkk, 2012). Hal ini sesuai dengan beberapa penelitian yang
telah dilakukan, yang mana efikasi diri dapat mempengaruhi keyakinan diri seseorang
salah satu contohnya adalah dalam mencapai prestasi akademik yang diinginkan. Akram
dan Ghazanfar (2014) dalam tulisannya yang berjudul Self Efficacy and Academic
Performance of The Students of Gujrat University, Pakistan memaparkan bahwa adanya
hubungan signifikan yang positif antara efikasi diri dan prestasi akademik dari
mahasiswa. Akan tetapi, ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, yang mana
mahasiswa laki-laki lebih memiliki efikasi diri yang tinggi dibandingkan perempuan.
Hasil penelitian yang dilakukan Akram dan Ghanzanfar (2014), diketahui bahwasannya
efikasi diri yang dimiliki seseorang dapat mempengaruhi seseorang dalam kehidupan
sehari-hari. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hidayat (2011) yang menyatakan bahwa
efikasi diri pada diri individu akan membantu mencapai keberhasilan. Orang yang merasa
yakin akan kemampuan dirinya terhadap sesuatu akan mengharapkan sesuatu yang baik
dan mengharapkan mendapat pekerjaan yang baik, sehingga mencapai kesejahteraan
pribadi maupun profesional. Sebaliknya, orang yang tidak yakin akan kemampuannya
maka ia hanya akan membayangkan mendapat sesuatu yang tidak diharapkannya sebelum
ia memulai usahanya.
Menurut Bandura (Rustika, 2012) menjelaskan efikasi diri dibentuk dari empat sumber
informasi, yaitu terdiri dari pengalaman berhasil, kejadian yang dihayati seoalah-olah
dialami sendiri, persuasi verbal, dan keadaan fisiologis dan suasana hati. Jika dilihat dari
hasil penelitian Akram dan Ghazanfar (2014) di atas, perbedaan tingkat efikasi antara
laki-laki dan perempuan itu terjadi karena adanya perbedaan aspek pembentukan efikasi
diri itu sendiri. Perbedaan ini terjadi karena pengalaman keberhasilan lebih banyak
didapatkan laki-laki Pakistan dibandingkan wanita-nya.
Hasil penelitan yang dilakukan Akram dan Ghazanfar (2014), diketahui bahwa perbedaan
efikasi diri tersebut terjadi karena dipengaruhi budaya dan lingkungan sosial di Pakistan.
Laki-laki akan cenderung mendapatkan kebebasan dalam mengekspresikan diri, bergaul
dengan sebaya, serta mendapatkan kesempatan untuk mengeksplorasi segala sesuatu yang
ada disekitarnya. Sedangkan perempuan Pakistan, harus patuh terhadap aturan atau
norma-norma yang ada baik di dalam rumah (keluarga) maupun lingkungan sekitar. Hal
inilah yang membuat laki-laki di Pakistan lebih mendominasi dan lebih bebas dalam
melakukan sesuatu sedangkan perempuan Pakistan lebih cenderung pemalu dan memiliki
pertemanan yang terbatas (Akram & Ghazanfar, 2014). Namun, terlepas dari perbedaan
tingkat efikasi antar gender, dapat disimpulkan bahwa budaya, lingkungan sosial, norma
dan aturan dapat mempengaruhi efikasi diri seseorang.
Mengacu pada beberapa hal yang ada pada uraian di atas, pengalaman keberhasilan lebih
banyak dimiliki oleh laki-laki. Hal ini dikarenakan adanya kebebasan yang diberikan
lingkungan dan khususnya keluarga (orangtua) untuk mencapai apa yang diinginkan si
anak. Oleh karena itu, selain keempat faktor pembentukan efikasi diri di atas, ada
pengaruh peran keluarga dalam membentuk efikasi diri seorang remaja. Taran, Kalantari,
Dahaghin, dan Abhari (2015) dalam tulisannya menjelaskan bahwa jika orangtua
memberikan lingkungan fisik yang layak untuk anaknya dan memberikan kebebasan,
maka mereka secara perlahan akan mendidik anak-anaknya. Sehingga anak-anaknya
kelak akan memiliki kognitif sosial yang baik. Pola asuh orangtua akan berdampak pada
keberhasilan akademis anak-anak melebihi IQ yang dimiliki anak-anak itu sendiri.
Maherni dan Widiyanti (2013) dalam tulisannya, menyatakan bahwa keluarga merupakan
sosialisasi yang pertama dan utama bagi seorang anak. Oleh karenanya, awal dari
pertumbuhan efikasi diri dipusatkan pada orangtua, kemudian dipengaruhi saudara
kandung, teman sebaya dan orang dewasa lainnya. Pola asuh orangtua dan interaksi yang
baik dengan anggota keluarga merupakan salah satu faktor pendukung untuk
pembentukan efikasi diri yang positif pada remaja. Pengajaran yang diberikan orangtua
akan membentuk kemandirian yang baik pada remaja. Kemandirian akan membentuk
efikasi diri yang baik pula pada diri remaja (Wirawan, 2012).
Menurut Soetjiningsih (2004) setiap orangtua memiliki pola pengasuhan yang berbeda-
beda pada setiap anak. Oleh karena itu, maka dinamika perbedaan pola asuh tersebutlah
yang akan membentuk efikasi diri yang berbeda pada setiap anak satu dengan lainnya.
Tam, Chong, Kadirvelu dan Khoo (2012) dalam penelitiannya mengidentifikasi tiga gaya
pengasuhan orangtua. Pertama, pengasuhan otoriter yakni gaya pengasuhan yang mana
orangtua memiliki peraturan yang ketat dan menuntut anak untuk mematuhi perintahnya
tanpa syarat. Kedua, pengasuhan otoritatif yakni orangtua memberikan cinta dan juga
mendisiplinkan anaknya. Dalam gaya pengasuhan ini, orangtua memberikan kebebasan
komunikasi antar anak dan orangtua, serta tidak marah atau memberikan hukuman ketika
anak mendiskusikan anturan-aturan yang dibuat orangtua. Ketiga, pengasuhan permisif
yakni orangtua memberikan kebebasan kepada anak untuk bertanggung jawab atas
dirinya sendiri, pengasuhan ini cenderung tidak memberikan hukuman atau teguran
kepada anak apabila melakukan kesalahan.
Hasil penelitian yang dilakukan Tam dkk (2012) adalah adanya hubungan yang signifikan
antara gaya pengasuhan otoritatif dengan tingkat efikasi diri remaja di Malaysia. Gaya
pengasuhan ini memainkan peranan penting dalam meningkatkan efikasi diri remaja
dibandingkan dua gaya pengasuhan lainnya. Akan tetapi, satu hal yang menarik adalah
adanya perbedaan tingkat efikasi diri antara remaja laki-laki dan perempuan. Remaja laki-
laki memiliki tingkat efikasi diri yang tinggi dibandingkan remaja perempuan.
Efikasi diri setiap remaja satu sama lain berbeda dikarenakan gaya pengasuhan setiap
orangtua berbeda, yang mana hal itu dipengaruhi oleh faktor seperti, budaya, etnik, ras,
agama, dan lingkungan sosial yang mempengaruhi orangtua dalam memberikan pola
pengasuhan kepada anak. Hal ini seperti penelitian yang dilakukan Turner, Chandler, &
Heffer (2009) dalam tulisan yang berjudul The Influence of Parenting Style, Achievement
Motivation, and Self – Efficacy on Academic Performance in Collage Students,
memaparkan bahwa terdapat gaya pengasuhan berbeda antara orang Amerika Eropa dan
bukan Amerika Eropa. Gaya pengasuhan keduanya pun sangat mempengaruhi tingkat self
efficacy anak mereka sehingga menghasilkan prestasi akademik yang berbeda pula.
Adapula penelitian yang dilakukan oleh Ahn, Usher, Butz, dan Bong (2015) yang mana
menjelaskan adanya perbedaan self efficacy antara mahasiswa yang berbeda kebudayaan.
Penelitian ini dilakukan kepada mahasiswa asal Korea, Filipina dan Amerika. Hasilnya
menunjukkan bahwa mahasiswa Amerika memiliki tingkat efikasi diri yang tinggi dalam
pelajaran Matematika dibandingkan mahasiswa Korea dan Filipina. Hal ini dikarenakan
sifat individualis mahasiswa Amerika yang tinggi sehingga membuat kepercayaan diri
atau keyakinan diri mereka kuat dibandingkan mahasiswa Korea dan Filipina yang
cenderung kolektif.
Jadi berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pola asuh orangtua memegang
peranan penting dalam pembentukan efikasi diri akademik remaja. Latar belakang
pendidikan, lingkungan sosial, dan budaya pengasuhan yang didapatkan orangtua
dahulunya akan mempengaruhi gaya pengasuhannya terhadap si anak kelak. Orangtua
yang bekerja dan orangtua yang tidak bekerja pun bisa jadi mempengaruhi cara mereka
dalam memberikan pola asuh pada anak.
Orangtua memiliki peranan penting dalam memberikan pola asuh kepada anaknya,
terlebih anak yang sedang berada pada masa remaja, dimana membutuhkan perhatian
lebih dari orangtua. Pada masa ini, remaja mengalami krisis identitas. Krisis ini akan lebih
buruk apabila tidak adanya dukungan dari orang terdekatnya (orangtua). Perkebangan
kepribadian seorang remaja sebelum masa remaja, turut menentukan dapat atau tidaknya
menghadapi dan melaksanakan tugas-tugas perkembangan pada masa remaja. Karena
perlakuan orang yang merawat, mengasuh, dan memenuhi segala kebutuhan pada masa
perkembangan sebelumnya akan mempengaruhi kepercayaan diri pada masa remaja
(Gunarsa dan Gunarsa, 2007).
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa gaya pengasuhan akan sangat mempengaruhi
kepribadian seorang anak ketika ia beranjak remaja. Masa peralihan dimana segala
sesuatu mengalami perubahan baik fisik maupun psikis yang mana remaja membutuhkan
perhatian, bimbingan, serta arahan dari orangtua. Perhatian dan bimbingan yang
diberikan orang tua ini sangat dibutuhkan remaja untuk memberikan keyakinan yang kuat
pada diri remaja itu sendiri untuk mampu melewati dan menjalankan perubahan-
perubahan tersubut. Tidak hanya itu, apabila remaja memiliki keyakinan yang kuat dan
percaya diri atas kemampuan atau potensi-potensi yang dimilikinya (efikasi diri), maka
hal ini akan membawa hal positif buat kehidupan remaja sehari-hari. Kasih sayang yang
diberikan orangtua akan memberikan energi positif pada remaja untuk percaya pada
kemampuan dirinya sehingga remaja menjadi aktif, terbuka dan mampu mengaplikasikan
kemampuannya dibidang akademik.
Adapun pentingnya penelitian ini dilakukan untuk melihat seberapa pengaruh peran
orangtua dalam memberikan pengasuhan kepada anaknya. Orangtua merupakan agen
pertama pembentukan karakter dan kepribadian anak. Sedangkan anak merupakan agen
penerus keluarga yang tentunya menjadi cerminan dari keluarganya. Masa remaja
merupakan masa krisis identitas anak yang mana terjadi banyak perubahan baik fisik
maupun psikis. Oleh karena itu, cara untuk menangani krisis tersebut adalah terjalinnya
komunikasi dan interaksi yang baik antara anak dan orangtua. Apabila komunikasi yang
terjalin baik, hal tersebut akan membawa dampak positif bagi remaja untuk
menumbuhkan keyakinan-keyakinan yang ada pada dirinya, bahwasannya mereka
memiliki kemampuan untuk mengatasi dan melewati perubahan-perubahan yang terjadi.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan masalah yang akan diangkat dalam
penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara pola asuh dengan self efficacy pada
remaja, serta apakah ada perbedaan self efficacy pada remaja laki-laki maupun
perempuan. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya hubungan pola
asuh orang tua dengan self efficacy pada remaja, serta melihat adanya perbedaan self
efficacy akademik antara remaja laki-laki dan perempuan. Manfaat penelitian ini adalah
sebagai informasi dan edukasi kepada orang tua mengenai pentingnya peranan mereka
dalam memberikan pola asuh kepada anaknya (khususnya remaja). Tidak hanya itu,
penelitian ini juga bermanfaat sebagai gambaran kepada orangtua mengenai dampak pola
asuh yang diberikan terhadap self efficacy remaja.
Self Efficacy
Menurut Bandura (dalam Hidayat, 2011), self efficacy atau efikasi diri adalah penilaian
diri atau persepsi diri yang dimiliki seseorang terhadap kemampuan yang ada pada dirinya
yang berguna untuk mengatur dan melaksanakan tindakan dalam situasi tertentu untuk
mencapai sesuatu yang diinginkan. Alwisol (2004) mengemukakan, efikasi diri adalah
penilaian diri sendiri, akan bisa atau tidak bisanya seseorang melakukan suatu hal, benar
atau salahnya tindakan yang dilakukan, serta mengerjakan baik atau buruknya pekerjaan
sesuai dengan yang ditentukan. Ia juga mengungkapkan bahwa orang yang efikasi dirinya
tinggi akan mampu mengerjakan suatu tugas atau kegiatan yang sesuai dengan situasi dan
realistik. Realistik yang dimaksud adalah dimana orang tersebut memiliki harapan
keberhasilan akan pekerjaan yang telah dilakukan sesuai dengan kemampuan yang
dimilikinya. Biasanya orang degan efikasi diri tinggi akan mengerjakan tugasnya atau
mencapai apa yang ditentukan dengan bersungguh-sungguh, bertahan dan berjuang
mengerjakan sampai selesai.
Definisi di atas merupakan perluasan dari pengertian yang dikemukan oleh Ahn dkk
(2015), yang mengatakan bahwa self efficacy adalah keyakinan diri yang dipegang teguh
atau dimiliki seseorang untuk berhasil dalam melaksanakan tugas yang diperlukan untuk
hasil yang diinginkan. Oleh karena itu, self efficacy memegang peranan penting dalam
kehidupan sehari-hari.
Seseorang akan mampu mengolah dan menggunakan potensi dirinya apabila efikasi diri
mendukungnya (Rustika, 2012). Perubahan yang terjadi pada tingkah laku seseorang,
dalam sistem Bandura kuncinya ialah efikasi diri (Alwisol, 2004). Efikasi diri diperoleh
dari beberapa faktor pembentukan yang mana dapat diperoleh, diubah, ditingkatkan
maupun diturunkan melalui beberapa sumber. Dalam bukunya Feist & Feist (2013),
sumber-sumber pembentukan efikasi ialah adanya mastery experience atau pengalaman
performansi, modeling social experience (sumber yang berasal dari figur sosial), social
persuation (informasi yang diberikan oleh figur untuk mengubah efikasi seseorang), dan
emotional/psychological states (kondisi fisik dan emosional yang dimiliki oleh
seseorang).
Menurut Alwisol (2004), faktor yang paling kuat dalam mempengaruhi pembentuk
efikasi diri seseorang adalah mastery experience atau pengalaman performansi yang
dimiliki oleh seseorang. Hal ini didukung hasil penelitian yang telah dilakukan oleh
Akram dan Ghazanfar (2014), mengatakan bahwa pengalaman performansi
mempengaruhi remaja laki-laki dan perempuan dalam menyelesaikan tugas sekolah.
Remaja menjadikan figur orangtua sebagai contoh dalam bagaimana menghadapi ujian
sekolah, serta bagaimana cara mereka dalam mempersiapkan diri. Adapun aspek-aspek
didalam mastery experience menurut adalah sebagai berikut.
a. Participant Modelling
Participant modelling, yaitu meniru model yang berprestasi. Maksudnya adalah
dimana, remaja melihat seorang figur yang dapat memberikan contoh
keberhasilan, sehingga memberikan dorongan dan semangat kepadanya untuk
meniru cara, strategi dan prestasi yang diraih oleh figur tersebut.
b. Performance Desensitization
Performance desensitization adalah menghilangkan pengaruh buruk prestasi masa
lalu. Maksudnya adalah dimana remaja yakin akan kemampuannya untuk
mendapatkan keberhasilan diwaktu yang lainnya. Remaja menjadikan sebuah
kegagalan sebagai pelajaran, serta dampak dari kegagalan dimasa lalunya tidak
membawa pengaruh buruk untuk mencapai target selanjutnya.
c. Performance Exposure
Performance exposure dapat diartikan dimana remaja menonjolkan keberhasilan
yang pernah diraih. Keberhasilan prestasi yang didapatkan pada masa lalu,
dijadikan semangat dan motivasi untuk maju mencapai prestasi lainnya serta
menentukan target yang ingin diraih lainnya. Orang yang biasa berhasil, sesekali
gagal tidak mempengaruhi efikasi diri.
d. Self-instructed Performance
Self-instructed performance dapat diartikan sebagai melatih diri untuk melakukan
yang terbaik. Maksudnya adalah remaja menjadikan rintangan yang dihadapi
sebagai tantangan yang harus dilewati.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa keberhasilan atau kegagalan
yang dialami seseorang sangat dipengaruhi efikasi yang dimiliki. Bahkan efikasi diri
berperan penting dalam menentukan perilaku atau tindakan apa yang akan kita lakukan.
Pengalaman masa lalu akan menentukan efikasi diri kita dimasa sekarang atau
mendatang. Menurut Bandura (Rustika, 2012) self efficacy memiliki empat aspek,
diantaranya yaitu:
1. Kepercayaan diri dalam menghadapi situasi yang tidak menentu.
Aspek ini menjelaskan bahwa keyakinan diri seseorang akan menentukan bagaimana
seorang individu akan berperilaku. Apabila seseorang memiliki keyakinan dan
kepercayaan diri yang baik, dia cenderung akan menghadapi masalah yang menjadi
tekanannya. Ia cenderung tidak menghindar dan bahkan menghadapinya.
2. Keyakinan akan kemampuan dalam mengatasi masalah.
Individu yang memiliki keyakinan seperti ini, cenderung tidak merasa takut atau cemas
dalam menghadapi sebuah masalah. Hal ini dikarenakan ia merasa mampu pada
dirinya bahwasannya ia bisa mengatasi masalah yang dimilikinya.
3. Keyakinan mencapai target yang ditetapkan.
Seseorang dengan efikasi diri rendah apabila menemui rintangan dalam perjalanannya
mencapai target, ia akan menghindar atau bahkan membatalkannya. Target yang
dibuat kedepannya pun dibuat lebih rendah dari target sebelumnya. Sebaliknya,
seorang dengan keyakinan diri kuat, sesusah apa pun rintangan didepannya menjadi
sebuah tantangan yang bisa dilewati. Apabila ia berhasil melewati rintangan tersebut,
maka target yang dibuat kedepannya akan dibuat lebih tinggi dari sebelumnya.
4. Keyakinan akan menumbuhkan motivasi, kemampuan kognitif, dan melakukan
tindakan yang diperlukan untuk mencapai suatu hasil.
Seseorang dengan efikasi diri tinggi mampu menumbuhkan semangat atau dorongan
pada dirinya sendiri untuk mencapai target yang diinginkan, serta mampu memikirkan
strategi-strategi atau pertimbangan dalam memecahkan sebuah rintangan dalam
mencapai target yang diinginkan. Sebaliknya jika efikasi rendah, maka orang tersebut
akan cenderung merasa khawatir dan gugup dalam mencapai target yang dibuatnya,
sehingga pencapaian yang didapat tidak optimal.
Adapun proses Self Efficacy menurut Bandura (Rustika, 2012) yang mengatakan bahwa,
self efficacy akan mempengaruhi tindakan atau perilaku seseorang dengan melalui proses
motivasional, proses kognitif dan proses afektif. Proses motivasional ialah dimana
seseorang dengan sendirinya memotivasi, memberikan dorongan, dan semangat kepada
dirinya sendiri untuk mencapai apa yang diinginkan, menyelesaikan sebuah
permasalahan, dan berani untuk menghadapi dan menyelesaikan target yang dicapai.
Setelah seseorang itu melewati proses motivasional, ia akan melewati proses dimana ia
mampu mengolah informasi yang ada disekitarnya, membangun sebuah komitmen dan
mantap dalam penetapan tujuannya. Ia mampu berpikir analitik meskipun dalam situasi
tertekan. Orang tersebut menyadari seberapa sulitnya rintangan/masalah, namun disisi
lain ada tujuan yang ingin diraih. Orang dengan keyakinan diri yang baik, tidak merasa
cemas, takut, gelisah, dan tidak merasa terganggu dengan hal-hal yang menjadi kendala
dalam pencapaian target. Sebaliknya orang dengan keyakinan diri yang rendah, akan
mengalami kecemasan yang tinggi dan cenderung menghindari masalah tersebut yang
pada akhirnya akan membuatnya gagal dalam meraih apa yang dia inginkan.
Hipotesa
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya mengenai hubungan antara pola
asuh orangtua dengan self efficacy pada remaja, hipotesa penelitian ini adalah terdapat
hubungan yang positif antara pola asuh orangtua dengan self efficacy remaja.
Kerangka Berpikir
Pola Asuh
Orangtua
SELF EFFICACY
Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, yang mana data yang dikumpulkan
diperoleh dari menggunakan teknik statistik. Penelitian ini merupakan penelitian
korelasional yang mana bertujuan untuk melihat adanya hubungan antara variabel satu
dengan variabel lainnya. Dalam hal penelitian ini, variabel yang dimaksud adalah pola
asuh orangtua sebagai variable bebas dan self efficacy merupakan variabel terikat.
Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini diambil menggunakan teknik cluster random sampling, yang mana
teknik ini digunakan bilamana populasi tidak terdiri dari individu-individu, melainkan
terdiri dari kelompok-kelompok individu atau cluster (Margono, 2004). Penggunaan
teknik ini lebih terstruktur dan terpeta-petakan (sistematis) untuk peneliti dalam
melakukan pengambilan sampel. Adapun karakteristik subjek dalam penelitian ini yaitu:
1) Remaja yang bersekolah di Kota Malang; 2) Siswa SMK/SMA; 3) Remaja yang
berusia 14-18 tahun; 4) Laki-laki dan perempuan.
Pada penelitian ini, terdapat dua variabel yang digunakan yakni pola asuh orangtua
sebagai variabel bebas (X), dan self efficacy sebagai variabel terikat (Y).
Self Efficacy merupakan keyakinan yang ada pada diri seseorang yang mana merasa yakin
pada kemampuan yang dimilikinya. Kemampuan tersebut meliputi banyak hal seperti,
bagaiamana cara ia dalam mengahadapi tugas-tugas, cara berkomunikasi, cara
menyelesaikan masalah, serta bagaimana cara ia menghadapi perubahan-perubahan yang
terjadi baik pada dirinya maupun pada lingkungan sekitarnya. Efikai diri akan
memengaruhi orang untuk membuat pilhan-pilhan. Orang yang memiliki efikasi diri
cenderung memilih tugas atau kegiatan yang yang membuat mereka merasa kompeten
dan percaya diri, dan sebaliknya akan menghindari kegiatan yang mereka anggap tidak
dapat diselesaikan. Self efficacy pada remaja diukur dengan menggunakan skala Self
Efficacy Scale (SES) yang disusun oleh peneliti berdasarkan indikator yang
mempengaruhi terbentuknya efikasi diri.
Model skala yang digunakan untuk mengukur self efficacy ini adalah skala Likert. Pilihan
jawaban terdiri dari 4 buah, yakni (1) Sangat Tidak Setuju, (2) Tidak Setuju, (3) Setuju,
dan (4) Sangat Setuju. Adapun skor dari setiap jawaban adalah SS=4, S=3, TS=2, dan
STS=1. Contoh item dalam penelitian ini ialah:
Pola asuh orangtua merupakan suatu gaya dan cara untuk membentuk dan mengatur
perilaku, kebiasaan hingga kepribadian seorang anak. Tidak hanya itu, pola asuh
merupakan cara orangtua untuk menyampaikan dan mengekspresikan rasa sayang dan
pedulinya kepada anak. Orangtua merupakan agen pertama pembentukan kepribadian
seorang anak. Latar belakang, budaya, suku, ras, bahkan agama yang dimiliki oleh
orangtua akan mempengaruhi bagaimana cara ia dalam memberikan gaya pengasuhan.
Bahkan kesibukan yang dimiliki orangtua (dalam hal ini bekerja) tidak menutup
kemungkinan akan memberikan dampak dalam memberikan gaya pengasuhan. Pola asuh
sendiri memiliki beberapa tipe, seperti pola asuh otoriter, otoritatif, dan pola asuh abai
dan memanjakan Keempatnya jelas akan mempengaruhi remaja dalam berinteraksi
dikehidupan sehari-hari dan bagaimana cara mereka berkomunikasi dan mengahadapi
berbagai persoalan. Pola asuh orangtua diukur dengan menggunakan skala pola asuh
Parental Authority Questionnaire (PAQ) yang telah digunakan oleh (Erlina, 2016)yang
telah dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan penelitian. Instrumen ini dibagi menjadi tiga
sub skala, yakni: pola asuh otoriter, pola asuh otoritatif, pola asuh abai dan memanjakan
yang terdiri dari 96 item dengan reabilitas 0.89.
Model skala yang digunakan merupakan skala Likert, dimana dalam penelitian ini
menggunakan empat pilihan jawaban, yaitu (1) sangat tidak setuju, (2) tidak setuju, (3)
setuju, dan (4) sangat setuju. Subjek diminta untuk memilih pilihan jawaban yang sesuai
dengan dirinya. Item yang digunakan diambil dari 4 tipe pola asuh, yakni pola asuh
otoriter, pola asuh autoritatif, pola asuh abai, dan pola asuh memanjakan. Item terdiri dari
pernyataan favorable dan unfavorable. Pengukuran ini dilakukan untuk melihat
keseluruhan skor item yang mana skor pada pilihan jawaban adalah SS=4, S=3, TS=2,
dan STS=1.
Prosedur penelitian ini dibagi menjadi tiga tahapan, yakni: Pertama, persiapan. Pada tahap
ini dilakukan pencarian fenomena lalu disusul dengan pendalaman materi dan adaptasi
alat ukur yang digunakan, serta melakukan try out kepada subjek yang homogen
berjumlah 40 orang. Hasil dari pengujian inilah yang akan digunakan untuk pengambilan
data pada tahap selanjutnya; Kedua, pengambilan data. Pada tahap ini pengambilan data
akan dilakukan kepada subjek yang sesuai berdasarkan karakteristik yang diinginkan.
Setelah data diperoleh, lalu dilakukan analisis data; Ketiga, pengolahan data. Tahap ini
disebut juga dengan tahap analisis data, yang mana hasil data yang diperoleh dari tahap
selanjutnya diolah dengan menggunakan SPPS for windows dengan analisa uji Korelasi
Produk Momen untuk melihat adanya hubungan antara variabel satu dengan variabel
lainnya. Setelah mengetahui hasil analisa data, masuk pada tahap selanjutnya; Keempat,
tahap akhir. Tahap akhir ini terdiri dari pembahasan analisa data yang dilakukan,
kesimpulan secara keseluruhan penelitian dan memberikan saran-saran untuk penelitian
selanjutnya.
REFERENSI
Ahn, H. S., Usher, E. L., Butz, A., & Bong, M. (2015). Cultural Difference in The Understanding
of Modelling and Feedback as Sources of Self-Efficacy Information. The British
Psychological Society, 86, 112-136.
Akram, B., & Ghazanfar, L. (2014). Self Efficacy and Academic Performance of The Students
Of Gujrat University, Pakistan. Academic Research International, 5, 283-290.
Erlina, W. (2016). Pola Asuh Orangtua sebagai Prediktor Kecerdasan Emosional pada Remaja.
Skripsi: Tidak diterbitkan.
Feist, & Feist. (2013). Teori Kepribadian, Buku 2, Edisi 7. Jakarta: Salemba Humanika.
Gunarsa, G. &. (2006). Psikologi Perkembangan Anak dan Dewasa. Jakarta: Erlangga.
Hidayat, D. R. (2011). Teori dan Aplikasi: Psikologi Kepribadian dalam Konseling. Bogor:
Ghalia Indonesia.
Noeman, R. R. (2012). Amazing Parenting: Menjadi Orangtua Asyik, Membentuk Anak Hebat.
Jakarta Selatan: PT Mizan Publika.
Rustika, I. M. (2012). Efikasi Diri: Tinjauan Teori Albert Bandura. Buletin Psikologi, (20), 1-
2.18-25.
Soetjiningsih. (2004). Tumbuh Kembang Remaja dan Permasalahannya. Jakarta: Sagung Seto.
Tam, C.-L., Chong, A., Kadirvelu, A., & Khoo, Y.-T. (2012). Parenting Styles and Self-Efficacy
of Adolescents: Malaysian Scenario. Global Journal of Huan Social Science, 12(14), 19-
24.
Taran, H., Kalantari, S., Dahaghin, F., & Abhari, Z. S. (2015, January). The Relationship among
Parenting Styles, Self Efficacy, and Academic Achievement among Student.
International Journal of Academic Research in Progressive Education and Development,
4(1), 219-222.
Turner, E. A., Chandler, M., & Heffer, R. W. (2009, May/June). The Influence of Parenting
Styles, Achievement Motivation, and Self-Efficacy on Academic Performance in College
Students. Journal of College Student Development, 50(3), 337-346.
WHO. (2015). Global School-based Health Survey. Dipetik Februari 22, 2018, dari World Health
Organization:
http://www.who.int/ncds/surveillance/gshs/2015_Indonesia_GSHS_Fact_Sheet_Java.pd
f?ua=1
Widiyanti, M. D., & Marheni, A. (2013). Perbedaan Efikasi Diri Berdasarkan Tipe Pola Asuh
Orangtua pada Remaja Tengah di Denpasar. Jurnal Psikologi Udayana, 1(1), 171-180.