Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan merupakan langkah awal ciri makhluk hidup mencapai kesetaraan
normal dengan sesamanya. Terutama pada manusia, sebagai makhluk hidup yang
kompleks, perkembangan secara fisik dan mental merupakan satu indikator untuk menilai
taraf kualitas normalnya. Hal ini dikarena segala aspek hidup manusia baik secara
kognitif, emosional, fisik, moral dan lain sebagainya merupakan hal yang dasar
digunakan manusia untuk menjalani kehidupan sehari-hari.
Turner & Helms (1995) menyebutkan bahwa Masa dewasa muda adalah
permulaan dari tahap baru dalam kehidupan. Masa ini merupakan tanda bahwa telah tiba
saat bagi individu untuk dapat mengambil bagian dalam tujuan hidup yang telah dipilih
dan menemukan kedudukan dirinya dalam kehidupan (Turner & Helms, 1995).
Secara umum, mereka yang tergolong dewasa muda ( young ) ialah mereka yang
berusia 20-40 tahun. Menurut seorang ahli psikologi perkembangan, Santrock (1999),
orang dewasa muda termasuk masa transisi, baik transisi secara fisik (physically
trantition) transisi secara intelektual (cognitive trantition), serta transisi peran
sosial (social role trantition).
Perkembangan kognitif adalah suatu perkembangan yang tidak dapat dilihat
secara langsung dan tidak mutlak bersifat empiris. Perkembangan kognitif dan moral
yang akan membentuk kepribadian seseorang juga akan berkontribusi besar dalam
penyelesaian masalah dalam kehidupan sehari-hari.

1 | Page

Dengan berkembangnya teori, para teoritikus dan peneliti telah mempelajari


kognisi dewasa awal dari berbagai persfektif. Beberapa peneliti menyatakan bahwa orang
dewasa berpikir dengan cara yang berbeda dengan yang dilakukan oleh anak-anak dan
remaja seperti yang dilakukan Piaget.
Peneliti seperti Schaie mengidentifikasi kognitif orang dewasa, bahwa tahaptahap kognitif Piaget menggambarkan peningkatan efisiensi dalam pemerolehan
informasi yang baru. Namun, demikian seperti yang dinyatakan oleh Schaie, orang
dewasa lebih maju dari remaja dalam penggunaan intelektualitas mereka. sebagai contoh,
pada masa dewasa awal kita biasanya berubah dari mencari pengetahuan menuju
menerapkan pengetahuan, menerapkan apa yang kita ketahui untuk mengejar karir dan
membentuk keluarga. Sedangakan William Perry (1970) mencatat perubahan-perubahan
penting tentang cara berpikir orang dewasa muda yang berbeda dengan remaja. Ia
percaya bahwa remaja sering memandang dunia dalam dualisme pola polaritas mendasar,
seperti benar/salah, kita/mereka, dan baik/buruk. Pada waktu kaum muda mulai matang
dan memasuki tahun-tahun masa dewasa, mereka mulai menyadari perbedaan pendapat
dan berbagai perspektif yang dipegang orang lain, yang mengguncang
pandangan dualistik mereka. Pemikiran dualistik mereka digantikan oleh pemikiran
beragam, saat itu individu mulai memahami bahwa orang dewasa tidak selalu memiliki
semua jawaban.

2 | Page

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Perspektif terhadap Kognisi Orang Dewasa


1. TAHAP-TAHAP KOGNITIF
Pandangan piaget. Menurut piaget, seorang remaja memiliki cara berfikir yang
secara kualitatif sama dengan seorang dewasa. Sekitar usia 11 sampai 15 tahun, para
remaja memasuki tahap formal operasional; tahap ini ditandai oleh cara berfikir yang
lebih logis , abstrak, dan idealistik, dibandingkan tahap berfikir kongkret operasional
yang terjadi pada anak-anak berusia 7 hingga 11 tahun. Piaget berpendapat bahwa
pemikiran orang dewasa secara kuantitatif berbeda dengan pemikiran seorang remaja;
artinya, orang dewasa memiliki pengetahuan lebih banyak dibandingkan remaja seperti
para psikolog pemrosesan informasi, piaget juga berpendapat bahwa penambahan
pengetahuan pada orang dewasa secara khusus terjadi dalam bidang-bidang tertentu,
seperti pemahaman ahli fisika mengenai fisika atau pengetahuan seorang analisis
keuangan mengenai keuangan.
Beberapa ahli berkembangan berpendapat bahwa banyak individu yang baru akan
mengkonsolidasikan pemikiran operasional formalnya ketika memasuki masa dewasa.
Artinya, di masa remaja mereka memang mulai mampu menyusun rencana dan hipotesis,
namun di masa dewasa muda, mereka menjadi lebih sistematis dan terampil. Meskipun
demikian, ad banyak orang dewasa yang sama sekali tidak mencapai tahap berpikir
formal operasional (Keating, 2004).

3 | Page

Berfikir Realistis dan pragmatis, Menurut para ahli perkembangan.


Ketika seorang individu pada masa dewasa awal mulai memasuki dunia
kerja, cara berfikir mereka pun berubah. Salah satu tandanya adalah
mereka menghadapi realitas, yang disebabkan oleh pekerjaan, idealisme

mereka menurun (Laboive-Vief, 1986).


Pemikiran Reflektif dan Relativistik William Perry (1999) juga
mendeskripsikan beberapa perubahan kognisi yang berlangsung di masa
dewasa awal . Menurut perry, remaja sering kali memandang dunia dalam
polaritas - benar/salah, kami/mereka, baik/buruk. Sebagai pemuda yang
beranjak dewasa, secara bertahap mereka mulai meninggalkan tipe
pemikiran yang absolute ini; mereka mulai menyadari berbagai pendapat
dan perspektif orang lain. jadi, menurut perry, pemikiran absolut,
dualistik, (ya/tidak) remaja merupakan awal dari pemikiran reflektif,
relativistik seorang dewasa. Ahli perkembangan yang lain juga mengamati
bahwa pemikiran reflektif adalah indikator yang penting dalam perubahan
kognitif pada orang dewasa muda (Fischer & Bidell, 2006).

2. Dibalik Piaget: Pergeseran Ke Pemikiran Post-Forma


Walaupun piaget mendeskripsikan operasi formal sebagai puncak pencapaian
kognitif, beberapa pakar perkembangan bersikeras bahwa perubahan pada kognisi
tersebut terus berlangsung melampaui tahap ini.
Pemikiran pada masa dewasa cenderung tampak fleksibel, terbuka, adaptif, dan
individualistis. Hal tersebut didasarkan pada instuisi dan emosi serta logika untuk
membantu orang-orang menghadapi dunia yang tampak kaotis ini. Hal itu tampak seperti
buah pengalaman terhadap situasi yang ambigu. Hal tersebut ditandai dengan
4 | Page

kemampuan berhadapan dengan ketidakpastian, ketidak konsistenan, kontradiksi,


ketidaksempurnaan, dan kompromi (sebagaimana yang dilakukan Arthur ashe ketika
berhadapan dengan batasan kemampuan berkaitan dengan kemampuannya di karier
tenis). Tahap kognsi orang dewasa ini sering kali disebut pemikiran postformal.
Jan Sinnott (1984, 1998), salah seorang periset terkemuka, mengemukakakan
beberapa kriteria pemikiran post-formal. Diantaranya:

Fleksibel (shifting gears). Kemmpuan untuk maju dan mundur antara pemikiran abstrak
dan pertimbangan praktis dan nyata (Diatas kertas hal ini mungkin berjalan, tapi tidak di

dunia nyata).
Multikausalitas, multisolusi. Kesadaran bahwa sebagian besar masalah memiliki lebih
dari satu penyebab dan lebih dari satu solusi, dan sebagian solusi berkecenderungan lebih
besar untuk berhasil dibandingkan yang lain. (mari kita coba dengan caramu; kalau tidak

berhasil, kita isa coba dengan cara saya).


Pragmatisme. Kemampuan untuk memilih yang terbaik dari beberapa kemungkinan
solusi dan menyadari kriteria pemilihan tersebut (jika anda menginginkan solusi yang

praktis, lakukan ini; jika anda menginginkan solusi paling epat, lakukan itu).
Kesadaran akan Paradoks. Menyadari bahwa masalah atau solusi mengandung konflik
inheren (melakukan hal ini akan memberikan apa yang diinginkannya, tapi akhirnya
hanya akan membuatnya bersedih.).
Pemikiran post-formal berhadapan dengan informasi dalam konten sosial. Tidak
seperti masalah yang dipelajari piaget, yang melibatkan fenomena fisik dan menuntut
observasi dan analisis yang tidak memihak dan objektif, dilemma sosial jauh tidak
terstruktur dan penuh dengan emosi. Pada situasi seperti inilah seorang dewasa
memanggil pemikiran postformalnya (Berg & Klaczynski, 1996; Sinnott, 1996, 1998).
3. Schaie: Model Rentang Kehidupan Perkembangan Kognitif

5 | Page

Salah satu dari sedikit peneliti yang mengajukan model tentang kehidupan
perkembangan kognitif adalah K. Warner Schaie (1977-1978; Schaie & Will, 2000).
Model Schaie melihat perkembangan penggunaan intelek dalam kontek sosial. Tujuh
tahapnya berkaitan dengan tujuan yang muncul ke permukaan dalam berbagai tahap usia.
Tujuan ini bergesar dari penguasaan informasi dan keterampilan (apa yang harus saya
ketahui) kepada integrasi praktis pengetahuan dan keterampilan (bagaimana
menggunakan apa yang saya ketahui) untuk mencari makna dan tujuan (mengapa saya
harus tau). Berikut ini adalah tujuh tahapan tersebut :

Tahap pencarian (acquisitive stage ): [masa kanak-kanak dan remaja]. Anak-anak dan
remaja menguasai informasi untuk kepentingan mereka sendiri atau sebagai persiapan
berpartisipasi di masyarakat.

Tahap pencapaian (achieving stage): [masa remaja akhir atau awal dua puluhan
sampai awaltiga puluhan]. Para pemuda tersebut tidak lagi mendapatkan informasi
bagi kepentingan mereka sendiri; mereka menggunakan apa yang mereka ketahui
untuk mengejar target, seperti karier dan keluarga.

Tahap pertanggung jawaban (Responsible stage): [akhir tiga puluhan sampai awal
enam puluhan]. Orang-orang setengah baya menggunakan pikiran mereka untuk
memecahkan masalah praktis yang berkaitan dengan tanggung jawab terhadap orang
lain, seperti anggota keluarga atau pekerja.

Tahap eksekutif (executive stage): [tiga puluhan atau empat puluhan sampai usia
pertengahan]. Orang-orang yang berada pada tahap eksekutif, yang mungkin tumpang
tindih dengan tahap pencapaian dan pertanggungjawaban, bertanggung jawab tehadap

6 | Page

sistem sosial (seperti pemerintahan atau organisasi bisnis) atau gerakan sosial.
Mereka berhadapan dengan relasi kompleks di berbagai level.

Tahap reorganisasi (reorganizational stage): [akhir usia pertengahan mulai di akhir


masa dewasa]. Orang-orang yang memasuki masa pension mereorganisir hidup dan
energy intelektual mereka seputar aktivitas bermakna yang menggantikan pekerjaan
mereka.

Tahap reintegratif (reintegrative stage): [akhir masa dewasa]. Orang dewasa lebih
tua, yang mungkin telah mundur dari beberapa keterlibatan sosial yang fungsi
kognitifnya yang mungkin sudah terbatasi oleh perubahan biologis, adalah mereka
yang lebih selektif tehadap tugas yang ingin mereka kerjakan. Mereka focus tehadap
tujuan apa yang mereka lakukan dan konsentrasi pada tugas yang paling bermakna
bagi mereka.

Tahap penciptaan warisan (legacy-creating stage): [usia tua]. Mendekati akhir


hidup, ketika reintegrasi telah selesai 9atau ketika sedangberlangsung), orang yang
lebih tua mungkin menciptakan instruksi pewarisan kepemilikan berharga, membuat
pengaturan pemakaman, memberikan cerita lisan, atau menulis cerita hidup mereka
sebagai warisan kepada orang yang mereka cintai. Semua tugas ini melibatkan latihan
kompetensi kognitif di dalam konteks sosialdan emosional.
4. Kecerdasan Emosional
Pada 1960an, Departemen dalam negeri AS. Meminta psikolog David McClelland

untuk menemukan cara seleksi petugas pelayanan luar negeri yang lebih baik. Tes

7 | Page

pengetahuan umum yang digunakan merupakan prediktor performa yang buruk dan
cenderung menghambat wanita dan minoritas. McClelland menemukan bahwa
karkteristik mereka yang kinerjanya bagus tidak ada kaitannya sama sekali dengan
kemampuan kognitif. Yang paling penting adalah sensivitas terhadap orang lain, dan
kecepatan dalam mempelajari jaringan sosial. (Spencer & Spencer, 1993).
Pada 1990, dua Psikolog, Peter Salovey dan John Mayer, menciptakan istilah
emotional intelligence (EI) (kecerdasan emosi). Istilah tersebut merujuk kepada
kemampuan untuk mengenali dan menghadapi perasaan sendiri dan perasaan orang lain.
Daniel Goleman (1995, 1998, 2001), Psikolog dan Ilmuwan penulis yang memopulerkan
istilah tersebut, meluaskannya hingga mencakup kualitas-kualitas seperti optimisme,
cermat, motivasi, empati, dan kompetensi sosial.
Menurut Goleman, kecerdasan emosional bukan lawan dari kecerdasan kognitif.
Sebagian orang ada yang kuat di kedua sisi dan sebagian yang lain lemah di keduanya.
Dia berspekulasi bahwa kemungkina EI dibentuk pada pertengahan masa remaja, ketika
bagian otak yang mengontrol bagaimana tindakan seseorang terhadap emosi mereka
menjadi sempurna.pria dan wanita cenderung memiliki kekuatan emosional yang
berbeda. Dalam tes EI yang diberikan kepda 4.500 pria dan 3.200 wanita, wanita
mendapatkan nilai yang lebih tinggi dalam empati dan tanggung jawab sosial, sedangkan
pria pada toleransi stress dan kepercayaan diri (Murray, 1998).
5. Teori Perry: Kognisi Epistemik
Kognisi Epistemik (epistemic cognition) mengacu pada refleksi kita terhadap
cara kita sampai pada fakta, keyakinan, dan gagasan. Ketika pemikir matang dan rasional
menarik kesimpulan yang berbeda dari kesimpulan orang lain, mereka
mempertimbangkan keterujian dari kesimpulan mereka. Ketika mereka tidak dapat
8 | Page

menjustifikasi pendekatan mereka, mereka akan mengubahnya dan mencari jalan yang
lebih berimbang dan tepat untuk memperoleh pengetahuan.
Perkembangan Kognisi Epistemik, Perry bertanya-tanya mengapa orang
dewasa muda merespon dengan cara yang jauh sekali berbeda terhadap keragaman
gagasan yang mereka dapatkan di perguruan tinggi. Untuk mengetahui jawabannya, dia
mewawancarai mahasiwa tingkat akhir di Harvard University dengan menanyakann apa
yang tetap bertahan selama tahun sebelumnya. Respon menunjukkan bahwa refleksi
mahasiswa terhadap pengetahuan berubah saat mereka berhadapan dengan kompleksifitas
kehidupan kampus dan bergerak mendekati peran dewasa- temuan-temuan yang
ditegaskan dalam banyak studi berikutnya (King & Kitchener, 1994, 2002; Magolda,
2002; Moore,2002).
Pemikiran Dualistis (dualistic thinking), membagi informasi, nilai, dan otoritas
kedalam benar dan salah, baik dan buruk, kita dan mereka. Sebagaimana perkataan
seorang mahasiswa baru, ketika aku mengikuti kuliah pertamaku, perkataan orang itu
mirip seperti firman tuhan. Aku mempercayai semua perkataannya karena dia seorang
dosen dan itu adalah sebuah posisi terhormat (Perry, 1981) ketika ditanya, bila dua
orang tidak sependapat mengenai penafsiran sebuah puisi, bagaimana kamu memutuskan
mana yang benar? seorang mahasiswa tahun kedua menjawab, Aku harus bertanya
pada si penyair karena dialah pembuatnya (Clinchy, 2002) .
Mahasiswa lebih tua telah bergerak menuju Pemikiran Relativistik (relativistic
thinking), memandang semua pengetahuan tertanam dalam sebuah kerangka pemikiran.
Sadar akan keragaman pendapat tentang banyak topik, mereka meninggalkan peluang
kebenaran mutlak dan lebih memilih kebenaran ganda yang bergantung pada konteksnya

9 | Page

masing-masing. Akibatnya, pemikiran mereka menjadi lebih fleksibel dan toleran. Seperti
ungkapan seorang mahasiswa senior, dengan hanya melihat bagaimana (para filsuf
ternama) gagal menemukan sebuah jawaban mutlak, (anda sadar) bahwa gagasan itu
sungguh khas. Anda mulai hormat pada kenyataan betapa hebatnya pemikiran mereka
tanpa harus menjadi kebenaran tunggal (Perry, 1970/1998). Pemikiran Relativistik
melahirkan kesadaran bahwa keyakinan seseorang kerap kali subjektiv karena sejumlah
kerangka berpikir bisa memenuhi kriteria dari konsistensi logika intelnal (Moore, 2002;
Sinnott, 2003). Komitmen dalam pemikiran relativistik (commitment within relativistic
thinking). Alih alih memilih antara pandangan yang saling bertentangan, mereka berusaha
merumuskan suatu perspektif lebih memuaskan yang menyentesiskan kontradiksi.
Pentingnya Interaksi dan Refleksi Sebaya. Majunya kognisi epistemik
bergantung pada peningkatan lebih lanjut metakomisi hal ini mungkin sekali terjadi
dalam situasi yang menentang perspektif anak muda dan mendorong mereka memikirkan
rasionalitas dari proses berpikir mereka (Moshman, 2005). Dalam sebuah studi tentang
pengalaman belajar mahasiswa senior yang mencetak skor rendah dan tinggi dalam
skema Perry, mahasiswa dengan skor tinggi sering kali melaporkan aktivitas yang
mendorong mereka bergelut dengan masalah realistis tapi ambigu dalam suatu
lingkungan suportif tempat dimana fakultas memberikan dorongan dan arahan. Sebagai
contoh, seorang mahasiswa teknik, ketika menjelaskan sebuah proyek rancangan pesawat
yang memerlukan kognisi epistemic maju, memberikan catatan pada penemuannya
dengan ungkapan Anda dapat merancang 30 pesawat berbeda dan rancangan setiap
orang akan memiliki kelebihan dan kelemahannya masing-masing (Marra & Palmer,
2004). Mahasiswa dengan skor rendah jarang sekali menyebutkan pengalaman seperti itu.

10 | P a g e

2.2 Gender dan Perkembangan Moral


Karena asalnya studi Kohlberg dilakukan pada anak laki-laki dan pria, carol
Giilligan (1982) berpendapat bahwa sistem kohlberg memberikan tempat lebih tinggi
kepada nilai maskulinkeadilan ketimbang nilai feminin perasaan kasih sayang,
tanggung jawab, dan perhatian. Gilligan berpendapat bahwa inti dilema moral wanita
adalah konflik antara kebutuhannyasendiri dan kebutuhan orang lain.
Untuk menemukan bagaimana wanita membuat keputusan moral, Gilligan (1982)
mewawancarai 29 perempuan hamil berkenaan dengan keputusan mereka meneruskan
atau mengakhiri kehamilan mereka. Para wanita ini memandang moralitas dalam
termonologi egoisme versus tanggung jawab, didefinisikan sebagai kewajiban
memberikan perhatian dan menghindarkan diri dari penyakit orang lain. Gilligan
berkesimpulan wanita lebih sedikit berpikir tentang keadilan abstrak dan kejujuran
dibandingkan yang dilakukan oleh pria dan lebih banyak memiliki tanggung jawab
mereka terhadap orang tertentu. (Gilligan memaparkan level perkembangan moral pada
diri wanita).

Tahap
Level 1: orientasi pada kebertahanan hidup

Deskripsi
Wanita berkonsentrasi kepada dirinya sendiri

individual

apa yang praktis dan yang terbaik untuk


dirinya.

Level 2: kebaikan adalah pengorbann diri

Kebijakan kuno feminin menentukan


pengorbnan keinginan wanita itu sendiri

11 | P a g e

demi keinginan orang lain dan yang akan


dipikirkan orang lain terhadap dirinya. Dia
menganggap dirinya bertanggung jawab
terhadap tindakan orang lain, dan pada saat
yang sama menanggung jawab tanggung
jawab orang lain terhadap pilihannya.

Level 3: Moralitas non-kekerasan

Dengan menjadikan tindakan tidak menyakiti


orang lain (termasuk dirinya sendiri) menjadi
prinsip yang mengatur semua penilaian moral
dan tindakan, seorang wanita membangun
ekualitas moral antara dirinya dan orang
laindan kemudian menjadi mampu
memperkirakan tanggung jawab pilihan
dalam sebuah dilema moal.

Akan tetapi, riset lain secara keseluruhan tidak menemukan perbedaan gender
dan penalaran moral. Satu analisis berkala besar yang yang membandingkan 66 studi
menemukan tidak ada perbedaan signifikan dalam respons pria maupun wanita terhadap
dilema Kohlberg sepanjang rentang kehidupan (L. J. Walker, 1984). Dalam beberapa
studi di mana pria mendapatkan nilai sedikit lebih tinggi, temuan tersebut tidak secara
jelas berkaitan dengan gender, karena biasanya para pria lebih berpendidikan dan
memiliki pekerjaan yang lebih baik dibandingkan wanita.

12 | P a g e

Pada riset yang selanjutnya, Gilligan telah mendeskripsikan perkembangan moral


pada pria dan wanita sebagai perkembangan yang berevolusi melampaui penalaran
abstrak. Gilligan dan para kolegennya menemukan bahwa banyak orang di usia 20-an
menjadi tidak puas dengan logika moral yang sempit dan lebih mampu hidup bersama
kontrakdiksi moral (Gilligan, Murphy, & Tappan, 1990).

2.3 Keahlian dan Kreativitas


Bagi orang dewasa muda, keahlian (expertise) perolehan terhadap pengetahuan
luas dalam suatu bidang atau usaha, didukung oleh spesialisasi yang diawalidengan
memilih jurusan kuliah atau pekerjaan, karena butuh waktu bertahun-tahun bagi
seseorang untuk bisa menguasai setiap domain kompleks. Sekali diperoleh, keahlian
memiliki dampak besar pada pengolahan informasi.
Dibandingkan pemula, para ahli mengingat dan menalar dengan lebih cepat dan
efektif. Seseorang tau lebih banyak tentang konsep domain-khusus dan
merepresentasikan dalam acara-acar yang lebih kaya pada suatu tingkat yang lebih
mendalam dan abstrak serta memiliki lebih banyak ciri yang bisa di hubungkan dengan
konsep lain.
Keahlian penting bagi kreativitas dan pemecahan masalah (Weissberg,2006).
Produk kreativitas di masa dewasa tiak sama dengan yang di masa remaja dalam
pengertian bahwa produk itu tidak hanya asli tetapi juga diarahkan untuk memenuhi
kebutuhan sosial atau estetik.
Studi-studi kasus mendukung aturan 10 tahun dalam perkembangan kreativitas
tingkat ahli satu dekade kreativitas antara paparan awal pada suatu bidang dan keahlian

13 | P a g e

yang memadai untuk menghasilkansebuah karya kreatif (Simonton, 2000; Winner, 2003).
Akan tetapi, ada perkecualian bagi pola ini. Mereka yang memiliki kreativitas lebih awal
condong lebih cepat sampai puncak dan turun kembali, semntara mereka yang lambat
panas mencapai puncak kreativitas mereka di usia lebih tua. Hal ini menunjukkan bahwa
kreativitas lebih merupakan fungsi usia karir ketimbang usia kronologis.
Sekalipun kreativitas berakar dalam keahlian, tidak semua keahlian itu kreatif.
Kreativitas juga memrlukan sejumblah kualitas lain, gaya berfikir inovasi, toleransi
terhadap ambiguitas, dorongan khosus untuk berhasil, dan kemauan untuk terus mencoba
setelah gagal (Lubart, 2003; sternberg & Lubart, 1996). Kreativits menuntut waktu dan
energi. Kreaivitas di tentukan oleh banyak hal. Bila faktor pribadi dan stiuasional
bersama-sama menumbuhkannya, kreativitas dapat berlanjut selama beberapa dekade
termasuk hingga usia tua.
2.4 Pendidikan, Karier dan Pekerjaan

Pendidikan
Transisi ke Universitas, Pendaftaran ke perguruan tinggi masih tingi dan akan

terus bertambah, sebagian dikarenakan wanita dengan usia yang lebih tua kembali
bersekolah (Snyder & Hoffman, 2002). Pada saat ini, hampir semua lulusan SMU
berencana melanjutkan pendidikan mereka, dan hampir 2 dari tiga orang yang
melanjutkan lansung ke perguruan tinggi, dibandingkan dengan satu dari dua orang pada
tahun 1972 (NCES Digest of Education Statistics, 2001).
Pada 1970-an, wanita jarang masuk perguruan tinggi dan jarang yang annya. Pada
saat ini, wanita merupakan setengah dari seluruh gelar S1 yang ada. Walaupun demikian,
wanita masih cenderung menjadi mayoritas pada lapangan yang secara tradisional
feminism, seperti pendidikan, perawat, dan psikologi. Mayorutas lulusan teknik dan
14 | P a g e

ilmu komputer masih dipegang pria, akan tetapi jurang gender semakin menyempit pada
ilmu pengetahuan alam dan semakin mendekat pada matematika dan ilmu fisika (NCES
Digest, 2001).
Status sosioekonomi memainkan peran besar pada akses pada institute bermasa
pendidikan empat tahun pertama melanjutkan studi mereka sampai mendapatkan gekar
(NCES Digest, 2001). Akan tetapi, pola pendaftaran telah bergeser sejak 1970; terjadi
peningkatan jumlah mahasiswa yang mendaftar kuliah secara paruh waktu atau
memasuki program dua tahunan (Seftor & Turner, 2002). Pada 1996, hampir setengah
dari semua luluan SMU tidak memasuki perguruan tinggi komunitas (community college
) dan utamanya pada bidang bisnis, kesehatan, dan teknis serta pengetahuan alam (U.S
Departmen of education, 2000).
Sebagian besar anak muda yang tidak mendaftarkan diri pada pendidikan tinggi,
atau tidak menyelesaikan pendidikannya, memasuki pasar kerjam tapi banyak di antara
mereka yang kembali ke sekolah beberapa waku kemudian. Pada 1999, sekitar 29 persen
siswa pendidikan tinggi berusia 25 tahun ke atas ( Snyder & Hoffman, 2002). Lulusan
perguruan tinggi bisa berharap untuk mendapatkan gaji hampir dua kali lipat dari mereka
yang hanya memegang ijazah SMU (Day & Newburger, 2002).
Bagi anak muda pada masa transisi dari remaja ke dewasa, keterbukaannya
terhadap pendidikan atau lingkungan kerja baru, yang terkadang jauh dari rumahnya,
menawarkan peluang untuk mengasah kemampuannya, mempertanyakan asumsi yang
sudah dipegang sejak lama, dan mencoba cara baru memandang dunia. Untuk jumlah
siswa dengan usia non-tradisional, pendidikan perguruan tinggi atau tempat kerja dapat

15 | P a g e

menyalakan kembali keingintahuan intelektual, meningkatkan peluang pekerjaan, dan


mempertinggi kerja.
Pertumbuhan Kognitif di Perguruan Tinggi. Perguruan tinggi dapat menjadi
masa penemuan intelektual dan pertumbuhan kepribadian. Mahasiswa berubah saat
merespons terhadap kurikulum yang menawarkan wawasan dan cara berpikir baru;
terhadap mahasiswa lain yang berbeda dalam soal pandangan dan nilai; terhadap kultur
mahasiswa, yang berbeda dengan kultur pada umumnya; dan terhadap anggota fakultas,
yang memberikan model baru.
Pilihan perguruan tinggi dapat mewakili pengejaran terhadap hasrat yang
menggebu atau awal dari karier masa depan. Pemilihan tersebut juga cenderung
memengaruhi pola berpikir. Dalam studi longitudinal terhadap 165 mahasiswa strata 1,
pria dengan jurusan ilmu pengetahuan alam, humaniora dan pengetahuan sosial
menunjukkan peningkatan dalam penalaran sehari-hari, akan tetapi pelajaran yang
berbeda menghasilkan jenis penalaran yang berbeda pula. Pelajaran dalam ilmu sosial
mengarah pada pemikiran statistic dan metodelogis- kemampuan menggeneralisir pola.
Mahasiswa dengan focus studi kepada humaniora dan ilmu pengetahuan alam akan
memiliki pemikiran kondisional yang lebih baik-logikan deduktif forml, seperti yang
digunakan dalam pemograman komputer dan matematika. Kedua kelompok ini juga
mengalami peningkatan dalam penalaran verbal- kemampuan untuk menyadari argument,
mengevaluasi bukti, dan mendeteksi analogi (Lehman & Nisbett, 1990).
Di balik peningkatan dalam kemampuan penalaran, pengalaman perguruan tinggi
dapat mengarah kepada perubahan fundamental dalam cara mahasiswa berfikir. Dalam
sebuah studi klasik, yang mendasari riset yang muncul belakangan, yakni studi tentang

16 | P a g e

pergeseran dalam pemikiran post-formal, William Perry (1970) mewancarai 67


mahasiswa Harvard dan Radcliffe sepanjang tahun-tahun strata satu mereka dan
menemukan bahwa pemikiran mereka bergerak dari rigiditas ke arah fleksibelitas dan
akhirnya kepada komitmen yang dipilih secara bebas. Banyak mahasiswa masuk
perguruan tinggi dengan ide tentang kebenaran yang kaku; mereka hanya dapat
memahami jawaban yang benar saja. Ketika mahasiswa menemukan ide dan sudut
pandang yang beraneka ragam, kata perry mereka diserang oleh keragu-raguan. Akan
tetapi, mereka hanya mempelajari tahap ini secara temporer, dan berharap akan belajar
menemukan satu jawaban yang benar pada akhirnya. Pada tahap berikutnya, mereka
akan melihat semua pengetahuan dan nilai sebagai sesuatu yang relative. Mereka
menyadari bahwa masyarakat yang berbeda dan individu yang berbeda memiliki sistem
nilainya masing-masing. Mereka sekarang menyadari bahwa opini mereka teerhadap
banyak isu sama validnya dengan opini oranglain, bahkan yang berasal dari orang tua dan
gutu mereka; sayangnya mereka tidak dapat menemukan makna atau nilai dalam labirin
sistem dan keyakinan ini. Chaos telah menggantikan keteraturan. Akhirnya, mereka
mencapai komitmen dalam relativisme; Mereka membuat penilaian mereka sendiri dan
memiliki keyakinan serta nilai mereka sendiri, juga mengalami ketidakpastian dan
kesadaran akan kemungkinan validitas opini orang lain- yang merupakan aspek kunci
dari pemikiran post-formal.
Sinnot (1998) telah mengembangkan metode spesifik untuk menciptakan sistem
pemeringkat dengan cara brainstorming untuk mendesain proyek riset yang
memperdebatkan pertanyaan mendasar tentang makna hidup, mempresentasikan
argument dalam simulasi pengadilan, dan mencoba menemukan beberapa penjelasan

17 | P a g e

untuk peristiwa, merupakan beberapa cara yang bisa dilakukan instruktur untuk dapat
menolong mahasiswa menyadari bahwa ada lebih dari satu cara menilai dan memecahkan
masalah, untuk menghargai logika sistem kompetensi, dan melihat kebutuhan mendasar
untuk berkomitmen.
Pengalaman Kuliah. Ribuan penelitian mengungkapkan adanya perubahan
psikologis luas dari mulai tahun awal hingga tahun akhir di perguruan tinggi
( Montgomery & Cote, 2003, Pascarella & Terenzini,1991). Seperti terungkap dari
penelitian yang terilhami oleh teori Perry, mahasiswa menjadi lebih baik dalam menalar
masalah-masalah yang tidak memiliki solusi gambling, mengindentifikasi kekuatan dan
kelemahan dalam perbedan gagasan tentang masalah kompleks, dan merefleksikan
kualitas pemikiran mereka sendiri. Sikap dan nilai mereka menjadi semakin luas. Mereka
semakin berminat pada sastra, seni pertunjukkan, masalah filosofis dan historis serta
toleransi lebih besar terhadap keragaman etnik dan budaya. Kuliah mempengaruhi
penalaran moral dengan meningkatkan kepedulian terhadap hak-hak individu dan
kesejahteraan manusia. Selama masa kuliah, mahasiswa mengembangkan pemahaman
diri yang lebih besar, prnghargaan-diri yang lebih tinggi, dan perasaan akan identitas
yang lebih tegas.
Dampak dari perguruan tinggi sama-sama dipengaruhi oleh keterlibatan seseoang
dalam kegiatan akademik dan nonakademik serta kekayaan dan keanekaragaman
lingkungan kampus. Semakin sering mahasiswa berinteraksi dengan rekan sebaya mereka
di lingkungan akademik dan ekstrakurikuler, semakin mereka di untungkan. Kehidupan
sekitar kampus adalah salah satu penaksir paling konsisten akan perubahan kognitif
karena ia memaksimalkan keterlibatan dalam sistem pendidikan dan sosial dari institusi

18 | P a g e

( Terenzini, PAscarella, & Blimling, 1999). Semua temuan ini menegaskan pentingnya
program yang mengintegritasikan mahasiswa pulang-pergi ke dalam suatu kehidupan
kampus di luar bangku kuliah. Kualitas pengalaman akademik juga mempengaruhi hasil
kuliah. Manfaat psikologis juga meningkat bersama upaya dan kemauan mahasiswa
untuk berpartisipasi di kelas dan juga bersama pengajaran menantang yang memadukan
pembelajaran bagi mata kuliah terpisah, menawarkan kontak luas dengan para dosen, dan
menghubungkan tugas mata kuliah dengan aktivitas di tempat kerja sungguhan (Franklin,
1995).

Karier dan Pekerjaan


Perubahan Perkembangan, Banyak anak punya fantasi ideal tentang ingin jadi

apa mereka ketika dewasa nanti. Sebagai contoh, banyak anak kecil ingin menjadi
pahlawan super, bintang olahraga, atau bintang film. Ketika di sekolah menengah,
mereka sering mulai memikirkan karier berdasarkan basis yang tidak lagi terlalu idealis.
Pada usia belasan akhir dan awal dua puluhan, pengambilan keputusan karier mereka
biasanya menjadi lebih serius eksplorasi mereka terhadap berbagai kemungkinan karier
yang ingin mereka tekuni.
Para teoritis terkemuka pun melihat si anak muda sedang bergerak melalui
sejumlah periode perkembangan vokasional (pekerjaan) (Gottafredson, 2005; Super,
1990,1994) :

Periode Fantasi : Dimasa kanak-kanak awal dan pertengahan, anak-anak


memiliki pandangan tentang pilihan karier dengan mengkhayalkannya.

19 | P a g e

Periode Tentatif : antara usia 11 dan 16 tahun, remaja memikirkan karier dalam
cara lebih rumit, pada mulanya menurut minat, tetapi segera kemudian-saat
mereka menjadi lebih sadar akan keperluan pribadi dan pendidikan bagi keperjaan
berbeda-menurut kemampuan (abilities) dan nilai (values) mereka.

Periode Realistis : menjelang akhir usia 11-an dan awal 20-an ketika realitas
ekonomi dan praktis usia dewasa sedang memasuki masa genting, anak muda
mulai mempersempit pilihan mereka.
Perubahan perkembangan ini dipengaruhi oleh kepribadian; kemampuan

orangtua memberikan kesempatana pendidikan, informasi jurusan, dorongan dan


hubungan dekat dengan guru. Majunya perempuan dalam profesi yang didominasi oleh
laki-laki berjalan lamba, dan pencapaian mereka tertinggal di belakang laki-laki di
hampir semua bidang. Pesan-pesan berstereotip gender memainkan peran kunci.
Sekalipun ada beberapa laki-laki yang memilik karier di bidang yang didominasi oleh
perempuan, hal seperti ini masih tidak lazim.
Menemukan Jalan dan Tujuan Hidup. William damon (2008) ia
mengemukakan dalam bukunya berjudul The Path to Purpose: Helping Our Children
Find Their Calling in Life dan bagaimana ia berkaitan dengan pengembangan identitas.
Kata Damon, perlu mengembangkan pandangan dan mengeksplorasi bagaimana tujuan
adalah bahan yang hilang dalam banyak proses pencapaian dan pengembangan karier
remaja dan dewasa muda. Terlalu banyak bermain-main di masa remaja dan tidak punya
tujuan yang jelas semasa kuliah dan sekoah, membuat mereka beresiko tidak menemukan
potensi diri dan tidak menemukan tujuan hidup yang bisa memberi mereka energi.

20 | P a g e

Dalam wawancara dengan para individu berusia 12 sampai 22 tahun, Damon


menemukan bahwa hanya sekitar 20 persennya yang punya visi yang jelas tentang arah
hidup, apa yang mereka capai, dan mengapa. Persentase terbesar-sekitar 60 persen- ikut
serta dalam aktivitas yang punya tujuan tertentu, seperti service learning atau diskusi
yang seru dengan konselor karier-tapi mereka masih belum punya komitmen nyata atau
rencana yang masuk akal untuk mencapai tujuan mereka. Dan lebih dari 20 persen
menyatakan tidak punya aspirasi dan singkatnya mereka menyatakan tidak melihat alasan
mengapa mereka harus punya aspirasi.
Damon menyimpulkan bahwa kebanyakan guru dan orang tua
mengkomunikasikan pentingnya tujuan seperti belajar keras dan mendapatkan nilai
bagus, tapi jarang mendiskusikan tentang ke mana arah tujuan semacam itu-yaitu tujuan
dari belajar keras dan mendapat nilai bagus. Damon menekankan bahwa terlalu sering
siswa hanya berfokus pada tujuan jangka pendek dan tidak menggali gambaran besar dan
jangka panjang tentang apa yang ingin mereka lakukan dalam hidup.
Pengaruh Kerja. Pekerjaan mendefiniskan seseorang secara mendasar (Blustein,
2008). Pekerjaan sangat mempengaruhi kondisi financial, kondisi rumah, cara
meluangkan waktu, lokasi rumah, sahabat-sahabatnya, dan kesehatan (Hudson,2009).
Beberapa orang memperoleh identitasnya melalui pekerjaan. Pekerjaan juga menciptakan
sebuah struktur dan ritme dalam hidup yang sering kali hilang jika individu tidak bekerja
selama periode waktu tertentu. Ada banyak individu yang mengalami stres emosi dan
rendah diri karena tidak mampu bekerja.
Pemikiran yang penting tentang pekerjaan adalah seberapa besar stress yang
ditimbulkannya (Burgard, 2009; Fernandez & kawan-kawan 2010). Survey nasional

21 | P a g e

terbaru terhadap orang dewasa Amerika Serikat mengungkapkan bahwa 55 persen


termasuk kurang produktif karena stres (Asosiasi Psikologi Amerika, 2007). Dalam studi
ini, 52 persen melaporkan bahwa mereka memikirkan atau sudah melakukan keputusan
terkait karier, seperti mencari pekerjaan baru, menolak promosi, atau berhenti bekerja
karena stress di tempat kerja (Asosiasi Psikologi Amerika, 2007). Dalamm survey ini,
sumber utama stres mencakup gaji rendah, kekurangan kesempatan naik pangkat,
ekspektasi kerja yang tidak pasti, dan jam kerja yang panjang.
Banyak orang dewasa mengubah ekspektasi mereka terhadap pekerjaan, akan
tetap sering kali masih saja perusahaan belum memenuhi ekspektasi mereka (Grzywacz,
2009; lavoie-Tremblay & kawan-kawan, 2010; Moen, 2009). Sebagai contoh, kebijakan
dan praktik terbaru dirancang untuk tenaga kerja lajang (pria) dan ekonomi industrial,
membuat kebijakan beserta praktik tersebut menjadi tidak mengikutsertakan tenaga kerja
pria dan wanita, atau orang tua tunggal dan pencari nafkah ganda/dual earners (suamiistri sama-sama bekerja). Banyak pekerja masa sekarang menginginkan dan punya
kendali yang lebih besar atas waktu dan jam kerja mereka, akan tetapi
perusahaan/pemberi kerja masih kurang fleksibel, meskipun kebijakan seperti flextime
mungkin sudah tertulis.
Pengangguran. Pengangguran mengakibatkan stres, terlepas apakah kehilangan
pekerjaan itu bersifat sementara, cyclical, atau permanen (Perucci & Perucci, 2009;
Romans, Cohen & Forte, 2010). Masalah financial perbankan dan resesi pada decade
pertama abad 21 menyebabkan sangat tingginya tingkat pengangguran, khususnya di
Amerika Serikat. Para peneliti telah menemukan bahwa pengangguran berkaitan dengan
msalah-masalah fisik (seperti serangan jantung dan stroke), masalah-masalah mental

22 | P a g e

(seperti depresi dan kecemasan) kesulitan perkawinan, dan pembunuhan (Gallo & lainlain, 2006).
Stress yang muncul tidak hanya disebabkan oleh kehilangan penghasilan dan
kesulitan financial namun karena kehilangan harga diri. Individu yang paling dapat
mengatasi pengangguran adalah individu yang memiliki sumber daya finansial, sering
menabung, atau memperoleh penghasilan dari keluarga lain.
Pasangan yang Bekerja. Pasangan yang bekerja dapat memiliki masalah dalam
menemukan keseimbangan antara bekerja dan hal-hal lainnya dalam hidup (Eby, Maher,
& Butss, 2010; Moen, 2009; Setterson & Ray, 2010). Jika suami-istri sama-sama bekerja,
siapakah yang membetulkan rumah atau memanggil tukang reparasi atau yang
mengerjakan perawatan rmah secara detail? Seandainya pasangan itu memiliki anakanak, siapakah yang bertanggung jawab untuk memastikan izin tertulis untuk melakukan
dermawisata, masuk kesekolah yang baik atau berlatih piano atau membuat janji dengan
dokter gigi?
Meskipun keluarga dengan pencari nafkah tunggal masih merupakan golongan
yang berarti, di tiga decade terakhir ini terjadi peningkatan jumlah pasangan yang
bekerja. Seiring dengan meningkatnya jumah wanita Amerika Serikat yang bekerja di
luar rumah, pembagian tanggung jawab anatara bekerja dan keluarga juga telah berubah;
(1) tanggung jawab para wanita Amerika Serikat terhadap pemeliharaan rumah
meningkat; (2) tanggung jawab para wanita sebagai pemberi nafkah utama meningkat;
(3) pria Amerika lebih berminat terhadap keluarga dan pengasuhan. Oleh karena itu,
banyak pasangan pencari nafkah ganda (suami-istri-sama bekerja) menjalankan berbagai
strategi adaptasi untuk mengkoordinasikan pekerjaan mereka dan mengurus keluarga

23 | P a g e

(Moen, 2009). Para peneliti menemukan bahwa meskipun para pasangan tersebut
memperjuangkan kesetaraan gender pada keluarga pencari nafkah ganda, ketidaksetaraan
gender masih terjadi (Cunningham, 2009). Sebagai contoh, wanita masih mendapatkan
gaji yang tidak sebesar pria untuk pekerjaan yang sama, dan ketidaksetaraan ini berarti
bahwa pembagian gender dalam hal berapa anyak waktu yag dihabiskan pasangan untuk
bekerja, mengurus rumah, dan menjaga anak terus berlanjut. Maka, keputusan karier
pencari nafkah ganda sering kali menguntungkan posisi pria sebagai penghasil yang lebih
besar, dan wanita menghabiskan lebih bnayak waktu dibanding pria untuk mengurus
rumah dan menjaga anak (Moen, 2009).

BAB III
PENUTUPAN
3.1 KESIMPULAN
Masa dewasa adalah masa yang sangat panjang (20 40 tahun), dimana sumber
potensi dan kemampuan bertumpu pada usia ini.
Perkembangan kognitif dan moral merupakan perkembangan yang krusial pada
manusia pada tahap dewasa dini dimana segala aspek yang mencakup didalamnya akan
menentukan penyelesaian masalah dalam kehidupan sehari-hari yang mungkin tidak
dapat ditemukan hanya sekedar dengan akademis serta perkembangan moral yang
sebenarnya kental dengan pengaruh budaya sehingga hal ini juga yang menghasilkan

24 | P a g e

perlakuan terhadap pria dan wanita akan berbeda yang akan mengembangkan moral
seseorang terhadapa gender itu sendiri yang secara tidak langsung berbeda.
Perkembangan kognitif dan moral ini juga mengiring seseorang yang berada pada
tahap dewasa awal siap atau tidak dalam menjalani transisi baik di perkuliahan maupun
di dunia kerja. Dan hal ini juga yang akan mengiring seorang individu siap untuk masuk
ke tahap dewasa tengah.

25 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai