Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Definisi mengenai remaja tidak hanya melibatkan pertimbangan mengenai usia
namun juga pengaruh sosio-historis;ingatlah kembali mengenai pandangan
invensionis mengenai remaja. Dengan mempertimbangakan konteks sosio-historis,
maka masa remaja dapat di definisikan sebagai periode transisi perkembangan
antara masa kanak – kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahan –
perubahan biologis, kognitif, dan sosio- emosional. Tugas pokok remaja adalah
mempersiapkan diri memasuki masa dewasa (Larson dkk, 2002).
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan para ahli perkembangan
membedakan masa remaja menjadi tiga periode yaitu ( Kim, 2008) :
1. Periode remaja awal (10 – 14 tahun)
Perubahan fisis dan perilaku yang cepat merupakan karakteristik utama
perkembangan remaja.karakteristik periode remaja awal adalah remaja
mulai lebih sadar akan dirinya dan lebih membutuhkan privacy.
2. Periode remaja pertengahan (15 – 17 tahun)
Karakteristik utama remaja pertengahan adalah otonomi dan identitas diri.
Pada periode ini remaja sering mencoba melakukan perilaku berisiko.
3. Periode remaja akhir (18 – 21 tahun)
Individualitas dan muali memikirkan rencana masa depan merupakan
karakteristik utama pada remaja pada periode akhir. Pada periode ini
remaja diharapkan bertanggungjawab terhadap kesehatannya sendiri.
Kesehatan remaja di dunia telah mengalami kemajuan di beberapa bidang.
Secara keseluruhan, dibanding di masa lampau, di masa sekarang semakin sedikit
remaja yang terinfeksipenyakit dan kekuranga gizi (Call dkk,2002 ; WHO,2002).
Meskipun demikian, jumlah perilaku negatif bagi kesehatan remaja
(khususnyaperdagangan obat – obatan terlarang dan seks bebas) cenderung
meningkat (Blum&Nelson Mmari,2004). Banyak negara – negara di dunia yang
para remajanya terkena HIV-AIDS.

1
1.2.Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkembangan seksuallitas pada masa remaja ?
2. Bagaimana prosedur yang tepat untuk masalah kehamilan pada masa remaja ?
3. Bagaiama cara menjadi orang tua pada masa remaja ?
4. Bagaimana pemberian health education terhadap remaja ?
1.3.Tujuan
Makalah ini di buat dengan tujuan sebagai salah satu acuan penilain pembelajaran
bagi mahasiswa program studi S1 Keperawatan. Dan juga untuk memberikan sedikit
informasi bagi pembaca tentang remaja.
1.4.Manfaat
1. Mengetahui perkembangan seksuallitas pada masa remaja.
2. Mengetahui prosedur yang tepat untuk masalah kehamilan pada masa
remaja.
3. Mengetahui cara menjadi orang tua pada masa remaja.

2
BAB II

Tinjauan Pustaka

2.1. Teori Pieget

Teori perkembangan kognitif dari piaget.Seorang psikologi terkenal


berkebangsaan Swiss, Jean Piaget (1896-1980) mengajukan sebuah teori penting
mengenai perkembangan kognitif. Teori Piaget menyatakan bahwa individu
secara aktif membangun pemahaman mengenai dunia dan melalui empat tahap
perkembangan kognitif. Dua proses-organisasi dan adaptasi- melandai

1. Tahap sensomotorik (lahir-2 tahun)


Bayi membangun pemahaman mengenai dunia dengan
mengkoordinasikan pengalaman sensoris dengan tindakan fisik. Bayi
mengalami kemjuan dari tindakan refleks sampai mulai menggunakan
pikiran simbolis hingga akhir tahap.

2. Tahap praoperasional (2-7 tahun)


Anak mulai menjelaskan dunia dengan kata-kata dan gambar kata-kata
dan gambar ini mencerminkan meningkatkan pemikiran simbolis dan
melampaui hubungan informasi sensoris dan tindakan fisik.

3. Tahap operasional konkret (7-11 tahun)


Anak saat ini dapat bernalaran secara logis mengenai peristiwa-peristiwa
konkret dan mengklasifiksikan obyek-obyek kedalam bentuk-bentuk
yang berbeda.

4. Tahap operasional formal ( remaja)


Remaja bernalar secara lebih abstrak, idealis dan logis.

3
kontruksi kognitif mereka mengenai dunia. Untuk membuat dunia kita
masuk akal, kita berusaha mengorganisasikan pengalaman-pengalaman kita.
Sebagai contoh, kita berusaha memisahkan gagasan-gagasan yang penting dari
gagasan-gagasan yang kurang penting. Kita juga berusaha mengaitkan antara
gagasan yang satu dengan gagasan lainnya. Disamping itu kita juga melakukan
adaptasi terhadap pikiran-pikiran kita agar dapat melibatkan berbagai gagasan
baru karena informasi-informasi tambahan dapat memperluas pemahaman kita.
Piaget (1954) juga berpendapat bahwa ada empat tahap yang kita lalui
ketika memahami dunia. Setiap tahap yang terkait dengan usia ini mengandung
cara berpikir yang berbeda. Menurut teori piaget cara memahami dunia secara
berbeda itulah yang membuat seuah tahap leih tinggi dibandingkan tahap lainnya
hanya sekadar memiliki informasi lebih banyak tidak berarti membuat pemikiran
seseorang itu lebih tinggi. Menurut Piaget, kognisi anak disebuah tahap secara
kualitatif berbeda dibandingkan dengan tahap lainnya.
Bagaimanakah keempat tahap perkembangan kognitif menurut Piaget itu?
Tahap sensorimotor yang berlangsung mulai dari lahir hingga usia sekitar 2
tahun adalah tahap pertama Piaget. Dalam tahap ini bayi membangun suatu
pemahaman mengenai dunianya dengan mengkoordinasikan pengalaman-
pengalaman sensoris (seperti melihat dan mendengarkan) yang disertai dengan
tindakan-tindakan fisik dan motorik oleh karena itulah tahap ini disebut
sensorimotor. Diawal tahap ini bayi yang baru lahir memperlihatkan gerakan
yang tidak lebih dari sekedar reflex. Diakhir tahap ini seorang bayi berusia 2
tahun telah mengembangkan pola-pola sensorimotor yang kompleks dan mulai
menggunakan symbol-simbol primitive.
Tahap praoperasional yeng berlangsung kurang lebih dari usia 2-7 tahun
adalah tahap kedua Piaget. Dalam tahap ini anak anak mulai melukiskan dunia
dengan kata-kata, bayangan-banyangan dan gambar-gambar. Pikiran simbolik
melampaui hubungan sederhana antara informasi sensoris dan tindakan fisik.
Meskipun demikian menurut Piaget anak-anak prasekolah ini belum mampu

4
melakukan apa yang oleh Piaget sebut ‘operasi” yaitu tindakan dari dalam
mental yang diinternalisasikan yang memungkinkan anak-anak melakukan
secara mental apa yang sebelumnya dilakukan secara fisik.
Tahap operasional konkret yang berlangsung kurang lebih dari usia 7-11
tahun adalah tahap ketiga Piaget. Dalam tahap ini anak-anak dapat melakukan
operasi yang melibatkan objek-objek dan mereka juga dapat bernalar secara
logis sejauh hal itu diterapkan dalam contoh-contoh yang spesifik atau konkret.
Sebagai contoh para pemikir operasional konkret tidak dapat membayangkan
langlah-langkah yang diperlukan untuk menyelesaikan suatu persamaan aljabar
yang terlalu abstrak untuk dipikirkan pada tahap perkembangan ini.
Tahap operasional formal yang berlangsung antara usia 11 dan 15 tahun
adalah tahap keempat dan terakhir menurut Piaget. Dalam tahap ini, individu
melampui pengalaman-pengalaman konkret dan berpikir secara abstrak dan
lebih logis. Sebagai bagian dari pemikiran yang leih abstrak, remaja
mengembangkan gambaran mengenai keadaan yang ideal. Mereka dapat
berpikir mengenai seperti bagaimanakah orang tua yang ideal iti dan
membandingkan orang tua mereka dengan standar ideal ini. Mereka mulai
mempersiapkan kemungkinan-kemungkinan dimasa depan dan terkagum-kagum
terhadap hal-hal yang dapat mereka lakukan. Dalam memecahkan masalah,
mereka dapat bekerja secara lebih sistematis, mengembangkan hipotesis
mengenai mengapa sesuatu terjadi seperti itu, kemudian menguji hipotesis ini.

5
2.1. Teori Erikson
Bangkit versus stagnasi (generativity versus stagnation),yang merupakan
tahap ketujuh dari perkembangan menurut Erikson, berlangsung di masa dewasa
menengah. Persoalan utama yang dihadapi individu di masa ini adalah membantu
generasi muda mengembangkan dan mengarahkan kehidupan yang berguna, inilah yang
dimaksud dengan geneativity oleh Erikson. Perasaan belum melakukan sesuatu untuk
menolong generasi berikutnya disebut stagnation.

Integritas Versus kekecewaan (intergrity versus despair) adalah tahap kedelapan


dari perkembangan menurut Erikson, yang berlangsung di masa dewasa akhir. Selama
berada di tahap ini, seseorang berusaha merefleksikan kehidupannya di masa lalu.
Melalui banyak rute yang berbeda, manusia lanjut usia dapat mengembangkan
pandangan yang positif mengenai sebagian besar atau mengenai hidupnya akan
memperlihatkan gambaran bahwa kehidupannya telah dilalui dengan baik, dan orang itu
akan merasa puas sampai integritas tercapai. Jika manusia lanjut usia telah
menyelesaikan banyak tahap sebelumnya secara negatif, pandangan restrospektif
cenderung akan menghasilkan rasa bersalah atau kemuraman sampai yang disebut
Erikson sebagai despair (putus asa).

Erikson tidak berpendapat bahwa solusi yang tepat untuk sebuah krisis di suatu
tahap haruslah sepenuhnya positif. Berhadapan dengan sisi negatif dari sebuah tahap
merupakan suatu hal yang kadangkala tidak dapat dihindari sampai anda tidak dapat
mempercayai semua orang dalam segala situasi, contohnya. Meskipun demikian,
resolusi positif terhadap krisis di sebuah tahap seharusnya dapat lebih mendukung
perkembangan yang optimal, dibandingkan dengan resolusi negatif (Hopkins , 2000)

6
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Seksualitas Pada Remaja
1. Mengesplorasi seksualitas remaja
A. Suatu aspek normal dari perkembangan remaja
Banyak hal yang kita dengar mengenai seksualitas remaja melibatkan
masalah, seperti kehamilan remaja dan infeksi yang ditularkan secara seksual.
Meskipun masalah-masalah ini cukup merisaukan, kita perlu melihat
kenyataan bahwa seksualitas merupakanbagian yang normal dari kehidupan
remaja (Nichols & Good, 2004; Senanayake & Faulkner, 2003).
Remaja sering kali dikenai stereotip negatif. Mayoritas seksual memiliki
sikap seksual yang sehat dan terlibat dalam perilaku seksual yang akan
mendukung perjalanan mereka memasuki masa dewasa (Crockett, Raffaelli,
& Moilanen, 2003). Semua masyarakat memberikan perhatian pada
seksualitas remaja (Feldman, 1999). Di sejumlah masyarakat terdapat orang
dewasa yang mendampingi remaja perempuan untuk melindunginya dari
laki-laki, sementara masyarakat masyarakat lain mungkin mendorong remaja
perempuan untuk segera menikah.
Kita telah melihat bahwa salah satu aspek penting dari perubahan
pubertas mnelibatkan kematangan seksual serta peningkatan androgen secara
dramatis pada laki-laki dan estrogen pada perempuan. Kami memperlihatkan
bahwa remaja cilik cenderung memperlihatkan suatu bentuk egosentrisme
dimana mereka memandang dirinya sebagai sosok yang unik dan kebal.
Kami mengkaji perbedaan fisik dan biologis antara perempuan dan laki-
laki. Kami juga meninjau perbedaan tersebut berdasarkan hipotesis
intensifikasi gender, dimana perubahan pubertas dapat mendorong laki-laki
dan perempuan untuk menyesuaikan diri dengan perilaku maskulin dan
feminin yang tradisional. Disamping itu, ketika para mahasiswa diminta
untuk menilai kekuatan dorongan seks mereka, laki-laki melaporkan adanya
level hasrat seksual yang lebih tinggi dibandingkan perempuan. Selanjutnya,
transisi perkembangan remaja dapat dilihat sebagai suatu yang menjembatani

7
antara masa kanak-kanak yang aseksual dengan masa dewasa yang memiliki
identitas seksual yang telah berkembang penuh.
B. Budaya seksual
Menempatkan seksualitas remaja kedalam konteks yang lebih luas dari
seksualitas dibudaya Amerika merupakan hal yang penting (Crockett,
Raffaelli & Moilanen, 2003; Wiseman, Sunday, & Becker, 2005). Apabila
50 tahun yang lalu seks hanya berlangsung pada pasangan yang menikah,
kini seks orang-orang dewasa berlangsung secara terbuka diantara orang-
orang yang bercerai, dengan pathner diluar pernikahan. Sekarang ini, insiden
kehamilan juga terjadi di antara para perempuan dewasa yangb tidak
menikah. Hubungan seks yang berlangsung diantara para remaja belasan
tahun merupakan perluasan dari kecenderungan umum yang mengarah pada
sikap permisif terhadap kehidupan seksual yang berlangsung di budaya
orang dewasa.
Banyak orang Amerika memiliki sikap yang ambivalen terhadap seks.
Para pemasang iklan menggunakan seks untuk menjual berbagai hal mulai
dari mobil hingga detergen. Seks secara eksplisit ditayangkan diberbagai
film, pertunjukkan, TV, video, lirik dari musik populer, MTV, dan internet
website (Collins,2005; Camtock dan Scharrer,2006 ; Pettitm 2003)
Sebuah studi yang dilakukan baru-baru ini dan melibatkan 1.762 remaja
berusia antara 12 hingga 17 tahun, menemukan bahwa mereka yang lebih
banyak menonton pertunjukan TV ysng secara eksplisit mengandung
adegan-adegan seksual, cenderung melakukan hubungan seksual dalam
waktu 12 bulan, dibandingkan re4kan-rekannya yang kurang banyak
menonton pertunjukan serupa (Collins dkk, 20004)
Remaja –remaja yang berada di ranking 10 persen teratas dalam melihat
tayangan seperti itu cenderung melakukan hubungan seksual 2 kali lebih
banyak dibandingkan rekan-rekannya yang berada di ranking 10 persen
terbawah.hasil ini berlaku baik untuk bayangan eksplisit yang melibatkan
perilaku seksual ataupun hanya membicarakan mengenai seks.

8
Dibandingkan di budaya lain,di AS seksualitas seringkali melibatkan
ketegangan lebih besar antara orang tua dan remaja.berdasarkan sebuah
analisis lintas-budaya,disumpulkan bahwa keterangan antara orang tua-
remaja mengenai seks,lebih besar di AS dibandingkan di jepang karena pada
remaja AS memiliki kecenderungan lebih besar untuk melakukan aktivitas
seksual dan karena aktivitas seksual juga mengandung makna sosial
tertentu,seperti meningkatkan status bagi laki-laki (Rothbaum dkk, 2000)
C. Mengembangkan sebuah identitas seksual
Menguasai perasaan seksual yang timbul dan membentuk
penghayatan yang menyangkut identitas seksual merupakan suatu hal yang
bersifat multiaspek (Brooks Gunn & Paikoff, 1997:Grabber & Brooks Gunn,
2002).Proses yang berlangsung lama ini melibatkan proses belajar untuk
mengelolah perasaan-perasaan seksual,seperti gairah seksual,dan perasaan
tertarik, proses yang berlangsung lama ini melibatkan proses belajar untuk
mengelola perasaan-perasaan seksual, seperti gairah seksual dan persaan
tertarik, mengembangkan bentuk intimasi yang baru, dan mempelajari
ketrampilan mengatur perilaku seksual untuk menghindari konsekuensi-
konsekuensi yang tidak diinginkan. Mengembangkan identitas seksual juga
melibatkan lebih dari dekedar perilaku seksual. Identitas seksual muncul
dalam konteks faktor-faktor fisik, faktor-faktor sosial, faktor-faktor budaya,
dimanasebagian besar masyarakat ce, dan gaya perilaku derung memberikan
batasan-batasan terhadap perilaku seksual remaja.
Identitas seksual remaja melibatkan suatu indikasi orientasi seksual
dan hal ini juga melibatkan aktivitas, minat. Sebuah studi yang melibatkan
470 anak muda Australia yang duduk di kelas sepuluh dan dua belas,
menemukan adannya variasi dalam sikap dan praktik seksual diantara
mereka (Buzwll & Rosenthal, 1996)
D. Memperoleh Informasi Mengenai Seksualitas Remaja
Menilai sikap dan perilaku seksual tidak selalu dapayt di lakukan secara
langsung. Bayangkan seandainya ssesorang menanyakan kepada anda
“seberapa sering anda melakukan hubungan seks” atau “berapa banyak

9
pasangan seksual yang anda miliki” orang-orang yang cenderung merespons
terhadap survei mengenai seksual adalah mereka yang memiliki sikap sekual
yang liberal dan terlihat dalam perilaku seksual yang liberl juga. Dengan
demikian, penelitiam dibatasi oleh sikap individu yang menolak menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan masalah-masalah yang
sangatb pribadi yang sulit dijawab secara terus-terang dan oleh
ketidakmampuan para peneliti untuk memperolah jawaban apapun, terus
terang atau tidak, dari individu-individu yang langsung menolak untuk
berbicara mengenai sek dengan orang asing (Halonen & Santrock, 1999) di
samping itu, apabila mereka ditanyai mengenai aktivitas seksualnya,
individu-ndividu dapat memberikan jawaban yang jujur atau mungkin
jawaban jawaban yang menurutnya di teriama secara sosial. Sebagai contoh,
seorang remaja laki-laki kelas sembilan mungkin melaporkan bahwwa ia
pernah melakukan hubungan seks, meskipun sebenarnya ia belum pernah,
karena dia kuatir jika di anggap secara seksual tidak berpengalaman.

10
3.2.Kehamilan Pada Remaja
1) Kehamilan Remaja
Para remaja perempuan yang hamil dapat berasal dari berbagai kelompok
etnik dan tempat yang berbeda-beda, namun lingkungan kehidupan mereka
menimbulkan tekanan yang sama. Bagi sebagian besar orang dewasa, mereka
merupakan representasi dari struktur sosial Amerika yang rusak. Lebih dari
2000.000 perempuan di AS memiliki anak sebelum mencapai 18 tahun.
2) Perbandingan Lintas Budaya
Menurut perbandingan lintas budaya akhitr-akhir ini AS termasuk
sebagai salah satu negaran yang memperlihatkan jumlah tertinggi kehamilan
remaja dan melahirkan anak, meskipun negara ini sudah memperlihatkan
penurunan di tahun 1990-an (Allan Guttmacher Istitute,2003) Mengapa jumlah
kehamilan remaja AS sangat tinggi? Berdasarkan study lintas budaya terdapat
tiga alasan yang menyebabkan (Boostra 2002)\
a. Melahirkan anak di anggap sebagai aktifitas orang dewasa = Negara-
negara eropa seperti kanada, membuat kesepakatan umum yang kuat
bahwa melahirkan anak merupakan tugas masa dewasa, yakni ketika
seorang pemudi telah menyelesaikan pendidikannya, telah bekerja
dan mandiri dari orang tuanya dan menjalani relasi yang stabil
b. Pesan yang jelas mengenai perilaku seksual = Sementara orang-orang
dewasa di negara lain sangat menganjurkan agar para remaja
menunda untuk memiliki anak sampai kehidupan mereka mapan, di
bandingkan orang-orang dewasa Amerika, namun umumnya lebih
menerima para remaja untuk melakukan hubungan seks.
c. Akses untuk layanan keluarga berencana = Di negara-negara yang
dapat lebih menerima relasi seksual remaja, remaja juga memiliki
akses yang lebih mudah untuk memperoleh layanan kesehatan
produktif.

11
3) Aborsi

Saat ini di AS berlangsung debat yang seru mengenai aborsi dan


agaknya perdebatan ini akan berlangsung terus hingga masa yang akan datang
(Maradiegue, 2003). pengalaman pada remaja AS yang ingin melakukan
aborsi bervariasi antar negara bagian dan daerah. Di tahun 2003, 32 ngara
bagian membatasi akses remaja untuk melakukan aborsi. Para remaja urban
New York dan California, tempat yang tidak mensyaratkan perisinan dari
orang tua dan bantuan publik maupun privat dapat diperoleh, memiliki akses
yang lebih besar untuk memperoleh layanan aborsi, dibanding rekan-rekanya
yang tinggal di negara-negara bagian seperti Dakota Utara dan Mississippi,
yang meenurut perizinan dari kedua orang tua, atau yang hidup di daereh
perkampungan dimana tidak tersedia bantuan.

4) Konsekuensi Dari Kehamilam Remaja


Konsekuensi yang di timbulkan oleh tingginya kehamilan remaja telah
menimbulkan kekuatiran yang besar (Kalil & Kunz, 2000). Kehamilan
remaja mengandung resiko kesehatan bagi bayi maupun ibu. Yang dilahirkan
oleh ibu remaja cenderung memiliki berat tubuh rendah faktor utama yang
menyebabkan kematian bayi maupun masalah neurologis dan penyakit masa
kanak-kanak (Dryfoos,1990). Ibu remaja sering sekali putus sekolah,
meskipun banyak ibu remaja yang kemudian melanjutkan pendidikan lagi
dikemudian hari, umumnya mereka tidak mencapai taraf kehidupan ekonomi
yang setara dengan perempuan yang menunda melahirkan anak hinhgga usia
dua puluhan. Sebuah studi longitudinal menemukan bahwa anak-anak yang
berasal dari perempuan yang melahirkan pertama kali ketika remaja,
memiliki skor tes yang lebih rendah yang memperlihatkan perilaku yang
lebih bermasalah di bandingkan ibu-ibu yang memiliki anak pertama ketika
dewasa (Hofferth & Reith, 2002)
5) Faktor Kognitif Dalam Kehamilan Remaja
Peruban kognitif yang berlangung di masa remaja mempengaruhi
pendidikan seks mereka (Lipsitz, 1980). seiring dengan perkembangan

12
idealisme dan kemampuan remaja untuk berpikir secara abstrak dan
hipotesis, para remaja cilik dapat terbenam dalam suatu dunia mental yang
berbeda jauh dari kenyataan. Mereka dapat memandang dirinya sebagai
sosok yang tidak terkalahkan, kebal, serta tidak mungkin mengalami
peristiwa-peristiwa yang buruk. Ini merupakan karakteristik dan
egosentrisme remaja.
Hanya sekedar memberikan informasi kepada remaja menganai alat
kontrasepsi tidaklah cukup hal-hal yang agak dapat memprediksikan apakah
mereka akan menggunakan alat kontrasepsi atau tidak adalah penerimaan
terhadap diri sendiri dan eksualitasnya. Penerimaan ini tidakn hanya menurut
kematangan emosional namun juga kematangan kognitif.
Sebagian besar diskusi mengenai kehamilan remaja dan pencegahannya
bertolak pada keyakinan bahwa remaja memiliki kemampuan untuk
mengantisipasikan konsekuensi-konsekuensi, mempertimbangkan dampak-
dampak dari perilakunya, serta memproyeksikan ke masa depan hal-hal yang
akan terjadi apabila mereka melakukan tindakan tertentu, seperti melakukan
hubungan seksual. Dengan demikian, upaya pencegahan di dasarkan pada
keyakinan bahwa remaja memiliki kemampuan untuk melakukan pemecahan
masalah melalui cara yang terencana, tersusun, dan analitis. Sementara itu
meskipun remaja berumur 16 tahun dan remaja yang lebih tua memiliki
kapasitas-kapasitas ini, mereka belum tentu menggunakan kapasitasnya itu,
khususnya dalam situasi yang bersifat emosional, seperti mereka tergugah
secara seksual atau ditekan oleh pasanganya.
6) Mengurangi Kehamilan di Kala Remaja
Upaya yang dilakukan secara luas dan serius perlu dilakukan untuk
membantu para remaja dan para ibu yang muda yang hamil untuk
meningkatkan peluang pendidikan dan pekerjaannya. Para ibu remaja
membutuhkan bantuan yang luas agar mampu merawat anaknya secara
kompeten dan merencanakan masa depan sendiri (Klaw & Saunders, 1994).
Pendidikan kehidupan keluarga yang di sesuakian dengan usia dapat
memberikan keuntugan kepada para remaja . disamping pendidikan keluarga

13
dan pendidikan seks yang disuasikan dengan usia, para remaja yang aktif
secara seksual dan perlu memperoleh akses untuk memahami metode
kontrasepsi (Paukku dkk, 2003). kebutuhan-kebuthuan ini sering di tangani
melalui klinik-klinik remaja yang memberikan layanan yang komprehensif
dan berkualitas tinggi. Pada tahun 1980-an, ketika kehamilan remaja
mencapai angka yang sangnat tinggi, empat klinik remaja yang tertua.
Mereka juga memberikan saran kepada para remaja untuk menggunakan
kontrasepsi dan membagikan pedoman untuk mengontrol kelahiran
(sebelumnya orang tua harus mengizinkan anaknya untuk mengunjungi
klinik tersebut) salah satu aspek terpenting dari klinik tersebut adalah
tersedianya individu-individu yang yang dapat dilatih untuk memahami
kebutuhan-kebutuhan khusus dan kebibgungan yang dialami olrh para
remaja.
Meningkatkan pendidikan seks, perencana keluarga, dan akses untuk
memperoleh alatn kontrasepsi saja tidak cukup untuk memperbaiki krisis
kehamilan, khususnya unuk para remaja beresiko tinggi. Remaja harus
termotivasi untuk menurunkan resiko kehamilan mereka sendiri.
Agar prevensi kehamilan remaja dapat berhasil spenuhnya, jika perluo
memperluaskan keterlibatan dan dukungan dari komunitas (Duckett, 1997).
dukungan ini merupakan faktor utama yang dapat mendukung keberhasilan
upaya-upaya pencegahan kehamilan di negara-negara berkembang lainnya
dimana jumlah kehamilan remaja, aborsi dan masalah-masalah lain yang
terkait, sebagai dampaknya, para remaja Belanda agaknya cenderung enggan
melakukan hubungan seks tanpa penggunaan kontrasepsi.
Salah satu strategi yanv dapat dilakukan untuk mengurangi kehamilan di
kalangan remaja di sebut Teen Outreach Program (TOP), berfokus untuk
melibatkan remaja untuk menjadi sukarelawan dalam pelayanan komunitas
dan diskusi stimulasi, yang membantu remaja memahami pelajaran yang
diperoleh melalui kegiatan itu. Dalam sebuah studi 695 remaja dikelas 9
hingga 12 di tempatkan secara acak ke sebuah TOP atau kelompok kontrol
(Allen dkk, 1997).

14
Sejauh ini kita telah mendiskusikan empat cara untuk mengurangi tingkat
kehamilan pada remaja : pendidikan seks dan perencanaan keluarga, akses
terhadap metode-metode kontrasepsi, pilihan-pilihan dalam hidup, dan
dukungan serta keterlibatan dalam komunitas. Pertimbangan kelima, yang
sangat penting bagi remaja, adalah pantangan seks, seperti yang telah di
sebutkan sebelumnya, pemantangan telah dimasukan dalam pedidikan seks.

15
3.3.Menjadi Orang Tua Pada Saat Remaja
Anak-anak dari orang tua yang masih remaja telah menghadapi masalah sebelum
mereka hadir. Hanya 1 dari setiap 5 kehamilan remaja maupun yang memperoleh
perawatan prakelahiran selama 3 bulan periode kahamilan. Remaja yang hamil
memiliki kecerendungan lebih besar untuk menderita anemia dan mengalami
komplikasi yang berkaitan dengan prematuritas, dibandingkan ibu yang telah
berusia 20 hingga 24 tahun. Masalah kemahilan pada remaja mengandung resiko
dua kali lipat lebih besar untuk melahirkan bayi dengan berat tubuh di bawah
normal (dibawah 5,5 pon) suatu kategori yang membuat bayi memiliki resiko untuk
mnegalami cacat fisik dan mental (Dryfoos, 1990).
Dalam beberapa kasus, masalah-masalah bayi berkaitan dengan kemiskinan di
bandingkan dengan usia ibu. Bayi yang dilahirkan oleh ibi remaja dan telah lolos
dari bahaya medis, mungkin saja belum bebas dari masalah psikoloigis dan sosial
(Brooks-Gunn & Chase-Lansdale, 1995) anak- anak yang dilahirkan ibu masih
remaja memperlihatkan hasil tes yang inteligensi yang lebih rendah dan masalah-
masalah perilaku yang lebih banyak dibandingkan anak-anak yang dilahirkan oleh
ibu-ibu yang berusia 20 an (Silver, 1988). para ibu remaja cenderung kurang
kompeten dalam merawat anak dan kurang memiliki harapan yang realistis
terhadap perkembangan bayinya dibandingkan para ibu yang lebih besar (Osofsky,
1990). Study lain memperlihatkan dua dasarwasa terakhir telah terjadi penurunan
yang drastis sehubungan dengan keterlibatan ayah dengan anak-anak dari ibu-ibu
yang masih remaja (Leadbeater, 1994). para ayah yang masih remaja memiliki
penghasilan yang lebih rendah, kurang berpendidikan, dan lebih memiliki banyak
anak dibandingkan laki-laki yang menunda untuk memiliki anak sampai mereka
berusia dua puluhan. Salah satu alsan yang mnedasari kesulitan ini dalah bahwa
mereka harus putus sekolah apabila menikahi kekasihnya yang hamil (Resnick &
Brewer, 1992). tidak lama setelah meninggalkan sekolah ayah remaja langsung
mencari pekerjaan yang penghasilnnya rendah. Banyak ayah remaja yang tidak
memiliki ide mengenai hal-hal yang diharapkan dari seorang ayah. Mereka
mungkin saja mencintai bayinya namun tidak memahami bagaimana harus bersikap.

16
3.4. Pemberian Penyuluhan Terhadap Remaja

Pemberian penyuluhan merupakaan suatu jasa, Parasuraman, Zeithaml, dan


Berry yang dikutip oleh (Fandy Tjiptono,2001) berhasil mengidentifikasi 10 atribut
yang menentukan kualitas jasa. Kesepuluh atribut tersebut meliputi:
Reliability,Responsiveness, Competence,Access, Communication, Credibility,
Security,Understanding/ knowing the customer, dan Tangible. Adapun pendeketan
yang dilakukan untuk penyuluhan pada remaja :

1. Pendekatan komunikasi dalam keluarga, yaitu program yang diberikan melalui


komunikasi interpersonal antara orang tua dengan putra- putrinya yang telah
menginjak masa remaja.
2. Pendekatan pendidikan / pengajaran, dimaksudkan pemberian program
kesehatan reproduksi remaja di sekolah melalui kegiatan intra dan
ekstrakurikuler.
3. Pendekatan konseling, artinya yang diberikan kepada remaja dan orang tuanya
dalam bentuk kegiatan penyuluhan di sekolah maupun masyarakat melalui
kelompok/organisasi sosial seperti karang taruna, PKK, BKR dan lain-lain
(BKKBN, 2000

17
BAB IV

PENUTUP

4.1. Kesimpulan
Para remaja memiliki rasa ingin tahu yang tidak ada habis – habisnya
mengenai misteri seks. Mereka bertanya – tanya, apakah mereka memiliki daya
tarik seksual, bagaimana caranya berperilaku seksi, bagaimana kehidupan
seksual mereka di masa depan. Seksualitas remajam di pengaruhi oleh aspek
normal dari perkembangan remaja, budaya seksual, mengembangkan identitas
seksual, memperorel informasi menegnai seksualitas pada remaja. Msalaj –
masalah yang sering terjadi pada remaja adalah kehamilan pada remaja yang
mendorong mereka melakukan aborsi karena rasa malu dan takut.sebagai
petugas kesehatan kita dapat membantu mengurangi masalah kehamilan yang
terjadi pada remaja. Kehamilan pada saat remaja memiliki risiko yang lebih
besar untuk meningalnya ibu dan bayi. Remaja yang menjadi orang tua perlu
disiapkan mental dan jiwanya.
4.2. Saran
Sebagai petugas kesehatan kita harus lebih giat melakukan tindakan promotif.
Tindakan dilakukan dengan tujuna mengurangi angka kematian ibu dan bayi.
Juga mengurangi angka kehamilan remaja yang memiliki risiko tinggi.

18
DAFTAR PUSTAKA

Santrock John W.2007.Remaja.Bandung. Erlangga

Afiyanti, Y. (2002). Deteksi dan pencegahan dini postpartum. Jurnal Keperawatan


Indonesia, 6(2), 70-76.

Bloch M, Schmidt PJ, Danaceau M, Murphy J, Nieman L, Rubinow DR. (2000)Effects


of gonadal steroids in women with a history of postpartum depression.
Am J Psychiatry,157:924-30.

Chabrol, H.,Teissedre, F., Saint-Jean, M., Teisserye, N., Roge, B.,& Mullet, E. (2002).
Prevention and treatment of post-partum depression : a controlled
randomized study on women at risk. Phsycological Medicine, 32 (6),
10391047.

Clifford, C., Day, A., Cox, J.,& Warrett, J.(1999). A cross-cultural analysis of the use of
the Edinburgh post-natal depression scale (EPDS) in health visiting
practice. Journal of Advanced Nursing, 30 (3), 655-664.

Cohen, S.M. et all (1991). Maternal, neonatal and womens health nursing.
Pennsylvania : Springhouse.

Departemen Kesehatan RI. (2000). Profil Kesehatan Indonesia 1999. Jakarta: Pusat
Data Kesehatan Jakarta.

Georgiopoulos AM, Bryan TL, Wollan P, et al. (2001)Routine screening for postpartum
depression. J Fam Pract.,50:117-122.

International Council on Management of Population Programmes/ICOMP,


(1997).Adolescents/youth reproductive health hazards. Feedback23(3):5
(1997).

Wisner, K L., Parry, B.L., Piontek, C.M.(2002) Post Partum Depression. The New
England Journal of Medicine, 347 (3), 194199

19
Lutfatul, Wisner KL, Perel JM, Peindl KS, Hanusa BH, Findling RL, Rapport D. (2001)
Prevention of recurrent postpartum depression: a randomized clinical trial.
J Clin Psychiatry;62:82-6.

Uwakwe, R.,(2003). Affective (depressive morbodity in puerperal Nigerian women :


validation of the Edinburgh postnatal depression scale. Acta Psychiatr
Scand, 107, 251-259..

20

Anda mungkin juga menyukai