Anda di halaman 1dari 8

MASALAH MUNCUL DAN SULUSI PUN MUNCUL

A. Pengertian
1. Remaja dan masa remaja
Kemenkes merumuskan remaja sebagai suatu periode kehidupan manusia yang
mana terjadi pertumbuhan dan perkembangan fisik, psikologis, dan intelektual
secara pesat. Ia memiliki ciri khas berupa rasa ingin tahu yang tinggi, cenderung
berani mengambil risiko dari perbuatannya tanpa mempertimbangkan dengan
matang, dan menyukai hal-hal berbau petualangan.

Sementara itu, menurut World Health Organization (WHO), remaja merupakan


masyarakat yang berada di rentang usia 10 sampai 19 tahun. Adapun, menurut
Peraturan Kesehatan RI Nomor 25 tahun 2014, remaja didefinisikan sebagai
penduduk dalam rentang usia 10-18 tahun dan menurut Badan Kependudukan dan
Keluarga Berencana (BKKBN) rentang usia remaja adalah 10-24 tahun dan belum
menikah.

Adapun menurut Monks dan Haditono, remaja merupakan seseorang yang berada
di rentang usia 12-21 tahun. Masa remaja juga menjadi transisi dari anak-anak ke
dewasa. Oleh sebab itu, pola pikir akan berubah dan berproses menuju dewasa.

Selaras dengan Monks dan Haditono, King juga merumuskan pengertian remaja.
Baginya, remaja merupakan perkembangan manusia yang ditandai dengan masa
transisi dari anak-anak menuju dewasa. Masa remaja biasanya dimulai pada
sekitar usia 12 tahun dan berakhir pada usia 18-21 tahun.

Dari beberapa pengerian di atas, dapat disimpulkan bahwa remaja merupakan fase
atau masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa, biasanya terjadi pada
rentang usia 10 sampai 18 tahun. Pada masa remaja, biasanya terjadi
perkembangan baik fisik, psikologi, dan intelektual. Ia menjadi bagian masa
perkembangan manusia.

Masa remaja masa pubertas, di mana mulai terjadi kematangan kerangka dan
seksual terjadi secara pesat terutama diumur-umur pertama fase remaja. Namun,
pubertas bukan merupakan peristiwa tunggal yang tiba-tiba terjadi begitu saja.
Pubertas merupakan bagian dari suatu proses yang terjadi berangsur-angsur.

2. Dimensi perubahan remaja


Untuk dapat memahami remaja, maka perlu dilihat berdasarkan perubahan pada
dimensi- dimensi tersebut. Adapun beberapa dimensi yang menjadi tolak ukur
pada masa remaja, yaitu:
1. Dimensi Biologis
Pada saat seorang anak memasuki masa pubertas yang ditandai dengan menstruasi
pertama pada remaja putri atau pun perubahan suara pada remaja putra, secara
biologis dia mengalami perubahan yang sangat besar. Pubertas menjadikan
seorang anak tiba-tiba memiliki kemampuan untuk ber-reproduksi.
Pada masa pubertas, hormon seseorang menjadi aktif dalam memproduksi dua
jenis hormon (gonadotrophins atau gonadotrophic hormones) yang berhubungan
dengan pertumbuhan, yaitu: 1)Follicle-Stimulating Hormone (FSH); dan 2).
Luteinizing Hormone (LH).
Pada anak perempuan, kedua hormone tersebut merangsang pertumbuhan
estrogen dan progesterone:dua jenis hormon kewanitaan. Pada anak lelaki,
Luteinizing Hormone yang juga dinamakan Interstitial-Cell Stimulating Hormone
(ICSH) merangsang pertumbuhan testosterone.
Pertumbuhan secara cepat dari hormon-hormon tersebut di atas merubah sistem
biologis seorang anak. Anak perempuan akan mendapat menstruasi, sebagai
pertanda bahwa sistem reproduksinya sudah aktif. Selain itu terjadi juga
perubahan fisik seperti payudara mulai berkembang, dan lain – lain. Anak lelaki
mulai memperlihatkan perubahan dalam suara, otot, dan fisik lainnya yang
berhubungan dengan tumbuhnya hormon testosterone. Bentuk fisik mereka akan
berubah secara cepat sejak awal pubertas dan akan membawa mereka pada dunia
remaja.

2. Dimensi Kognitif
Perkembangan kognitif remaja, dalam pandangan Jean Piaget (seorang ahli
perkembangan kognitif) merupakan periode terakhir dan tertinggi dalam tahap
pertumbuhan operasi formal (period of formal operations).
Pada periode ini, idealnya para remaja sudah memiliki pola pikir sendiri dalam
usaha memecahkan masalah-masalah yang kompleks dan abstrak. Kemampuan
berpikir para remaja berkembang sedemikian rupa sehingga mereka dengan
mudah dapat membayangkan banyak alternatif pemecahan masalah beserta
kemungkinan akibat atau hasilnya. Kapasitas berpikir secara logis dan abstrak
mereka berkembang sehingga mereka mampu berpikir multi-dimensi
seperti ilmuwan.
Para remaja tidak lagi menerima informasi apa adanya, tetapi mereka akan
memproses informasi itu serta mengadaptasikannya dengan pemikiran mereka
sendiri. Mereka juga mampu mengintegrasikan pengalaman masa lalu dan
sekarang untuk ditransformasikan menjadi konklusi, prediksi, dan rencana untuk
masa depan. Dengan kemampuan operasional formal ini, para remaja mampu
mengadaptasikan diri dengan lingkungan sekitar mereka.
Pada kenyataan, di negara-negara berkembang (termasuk Indonesia) masih sangat
banyak remaja (bahkan orang dewasa) yang belum mampu sepenuhnya mencapai
tahap perkembangan kognitif operasional formal ini. Sebagian masih tertinggal
pada tahap perkembangan sebelumnya, yaitu operasional konkrit, dimana pola
pikir yang digunakan masih sangat sederhana dan belum mampu melihat masalah
dari berbagai dimensi. Hal ini bisa saja diakibatkan sistem pendidikan di
Indonesia yang tidak banyak menggunakan metode belajar mengajar satu arah
(ceramah) dan kurangnya perhatian pada pengembangan cara berpikir anak.
Penyebab lainnya bisa juga diakibatkan oleh pola asuh orang tua yang cenderung
masih memperlakukan remaja sebagai anak-anak, sehingga anak tidak memiliki
keleluasan dalam memenuhi tugas perkembangan sesuai dengan usia dan
mentalnya. Semestinya, seorang remaja sudah harus mampu mencapai tahap
pemikiran abstrak supaya saat mereka lulus sekolah menengah, sudah terbiasa
berpikir kritis dan mampu untuk menganalisis masalah dan mencari solusi terbaik.

3. Dimensi Moral
Masa remaja adalah periode dimana seseorang mulai bertanya-tanya mengenai
berbagai fenomena yang terjadi di lingkungan sekitarnya sebagai dasar bagi
pembentukan nilai diri mereka. Elliot Turiel (1978) menyatakan bahwa para
remaja mulai membuat penilaian tersendiri dalam menghadapi masalah – masalah
populer yang berkenaan dengan lingkungan mereka, misalnya: politik,
kemanusiaan, perang, keadaan sosial, dan sebagainya.
Remaja tidak lagi menerima hasil pemikiran yang kaku, sederhana, dan absolut
yang diberikan pada mereka selama ini tanpa bantahan. Remaja mulai
mempertanyakan keabsahan pemikiran yang ada dan mempertimbangan lebih
banyak alternatif lainnya. Secara kritis, remaja akan lebih banyak melakukan
pengamatan keluar dan membandingkannya dengan hal-hal yang selama ini
diajarkan dan ditanamkan kepadanya.
Sebagian besar para remaja mulai melihat adanya “kenyataan” lain di luar dari
yang selama ini diketahui dan dipercayainya. Ia akan melihat bahwa ada banyak
aspek dalam melihat hidup dan beragam jenis pemikiran yang lain. Baginya dunia
menjadi lebih luas dan seringkali membingungkan, terutama jika ia terbiasa
dididik dalam suatu lingkungan tertentu saja selama masa kanak-kanak.
Kemampuan berpikir dalam dimensi moral (moral reasoning) pada remaja
berkembang karena mereka mulai melihat adanya kejanggalan dan
ketidakseimbangan antara yang mereka percayai dahulu dengan kenyataan yang
ada di sekitarnya. Mereka lalu merasa perlu mempertanyakan dan merekonstruksi
pola pikir dengan “kenyataan” yang baru. Perubahan inilah yang seringkali
mendasari sikap “pemberontakan” remaja terhadap peraturan atau otoritas yang
selama ini diterima bulat-bulat.
Peranan orangtua atau pendidik amatlah besar dalam memberikan alternatif
jawaban dari hal-hal yang dipertanyakan oleh putra-putri remajanya. Orangtua
yang bijak akan memberikan lebih dari satu jawaban dan alternatif supaya remaja
itu bisa berpikir lebih jauh dan memilih yang terbaik. Orangtua yang tidak mampu
memberikan penjelasan dengan bijak dan bersikap kaku akan membuat sang
remaja tambah bingung. Remaja tersebut akan mencari jawaban di luar lingkaran
orangtua dan nilai yang dianutnya. Ini bisa menjadi berbahaya jika “lingkungan
baru” memberi jawaban yang tidak diinginkan atau bertentangan dengan yang
diberikan oleh orangtua. Konflik dengan orangtua mungkin akan mulai menajam.
4. Dimensi Psikologis
Masa remaja merupakan masa yang penuh gejolak. Pada masa ini mood (suasana
hati) bisa berubah dengan sangat cepat. Hasil penelitian di Chicago oleh Mihalyi
Csikszentmihalyi dan Reed Larson (1984) menemukan bahwa remaja rata-rata
memerlukan hanya 45 menit untuk berubah dari mood “senang luarbiasa” ke
“sedih luar biasa”, sementara orang dewasa memerlukan beberapa jam untuk hal
yang sama.
Perubahan mood (swing) yang drastis pada para remaja ini seringkali dikarenakan
beban pekerjaan rumah, pekerjaan sekolah, atau kegiatan sehari-hari di rumah.
Meski mood remaja yang mudah berubah-ubah dengan cepat, hal tersebut belum
tentu merupakan gejala atau masalah psikologis.
Dalam hal kesadaran diri, pada masa remaja para remaja mengalami perubahan
yang dramatis dalam kesadaran diri mereka (self-awareness). Mereka sangat
rentan terhadap pendapat orang lain karena mereka menganggap bahwa orang lain
sangat mengagumi atau selalu mengkritik mereka seperti mereka mengagumi atau
mengkritik diri mereka sendiri. Anggapan itu membuat remaja sangat
memperhatikan diri mereka dan citra yang direfleksikan (self-image). Remaja
cenderung untuk menganggap diri mereka sangat unik dan bahkan percaya
keunikan mereka akan berakhir dengan kesuksesan dan ketenaran.
Remaja putri akan bersolek berjam-jam di hadapan cermin karena ia percaya
orang akan melirik dan tertarik pada kecantikannya, sedang remaja putra akan
membayangkan dirinya dikagumi lawan jenisnya jika ia terlihat unik dan “hebat”.
Pada usia 16 tahun ke atas, keeksentrikan remaja akan berkurang dengan
sendirinya jika ia sering dihadapkan dengan dunia nyata.
Pada saat itu, Remaja akan mulai sadar bahwa orang lain tenyata memiliki dunia
tersendiri dan tidak selalu sama dengan yang dihadapi atau pun dipikirkannya.
Anggapan remaja bahwa mereka selalu diperhatikan oleh orang lain kemudian
menjadi tidak berdasar. Pada saat inilah, remaja mulai dihadapkan dengan realita
dan tantangan untuk menyesuaikan impian dan angan-angan mereka dengan
kenyataan.
Para remaja juga sering menganggap diri mereka serba mampu, sehingga
seringkali mereka terlihat “tidak memikirkan akibat” dari perbuatan mereka.
Tindakan impulsif sering dilakukan; sebagian karena mereka tidak sadar dan
belum biasa memperhitungkan akibat jangka pendek atau jangka panjang.
Remaja yang diberi kesempatan untuk mempertangung-jawabkan perbuatan
mereka, akan tumbuh menjadi orang dewasa yang lebih berhati-hati, lebih
percaya-diri, dan mampu bertanggung-jawab. Rasa percaya diri dan rasa
tanggung-jawab inilah yang sangat dibutuhkan sebagai dasar pembentukan jati
diri positif pada remaja. Kelak, ia akan tumbuh dengan penilaian positif pada diri
sendiri dan rasa hormat pada orang lain dan lingkungan. Bimbingan orang yang
lebih tua sangat dibutuhkan oleh remaja sebagai acuan bagaimana menghadapi
masalah itu sebagai “seseorang yang baru”; berbagai nasihat dan berbagai cara
akan dicari untuk dicobanya.
Remaja akan membayangkan apa yang akan dilakukan oleh para “idola”nya
untuk menyelesaikan masalah seperti itu. Pemilihan idola ini juga akan menjadi
sangat penting bagi remaja dari beberapa dimensi perubahan yang terjadi pada
remaja seperti yang telah dijelaskan diatas maka terdapat kemungkinan–
kemungkinan perilaku yang bisa terjadi pada masa ini.
Diantaranya adalah perilaku yang mengundang resiko dan berdampak negatif
pada remaja. Perilaku yang mengundang resiko pada masa remaja misalnya
seperti penggunaan alkohol, tembakau dan zat lainnya, aktivitas sosial yang
berganti–ganti pasangan dan perilaku menentang bahaya seperti balapan, selancar
udara, dan layang gantung (Kaplan dan Sadock, 1997).
Alasan perilaku yang mengundang resiko adalah bermacam–macam dan
berhubungan dengan dinamika fobia balik (conterphobic dynamic), rasa takut
dianggap tidak cakap, perlu untuk menegaskan identitas maskulin dan dinamika
kelompok seperti tekanan teman sebaya.

3. Stres dan depresi pada remaja


Depresi merupakan penyakit yang cukup mengganggu kehidupan. Saat ini
diperkirakan ratusan juta jiwa penduduk di dunia menderita depresi. Depresi dapat
terjadi pada semua usia termasuk remaja. Gangguan depresi ini dapat
menimbulkan penderitaan yang berat. Depresi menjadi masalah dalam kesehatan
masyarakat. Biaya pengobatannya sangat besar dan bila tidak diobati dapat terjadi
hal yang sangat buruk karena dapat menimbulkan gangguan serius dalam fungsi
sosial, kualitas hidup penderita, hingga kematian karena bunuh diri.
Istilah depresi pertama kalii dikenalkan oleh Meyer (1905) untuk menggambarkan
suatu penyakit jiwa dengan gejala utama sedih, yang disertai gejala-gejala
psikologis lainnya, gangguan somatik (fisik) maupun gangguan psikomotor dalam
kurun waktu tertentu dan digolongkan ke dalam gangguan afektif.
Anak remaja yang mengalami gangguan depresi akan menunjukkan gejala-gejala
seperti perasaan sedih yang berkepanjangan, suka menyendiri, sering melamun di
dalam kelas/di rumah, kurang nafsu makan atau makan berlebihan, sulit tidur atau
tidur berlebihan, merasa lelah, lesu atau kurang bertenaga, serasa rendah diri, sulit
konsentrasi dan sulit mengambil keputusan. Selain itu merasa putus asa, gairah
belajar berkurang, tidak ada inisiatif, hipo atau hiperaktif. Anak remaja dengan
gejala-gejala depresi akan memperlihatkan kreativitas, inisiatif dan motivasi
belajar yang menurun, sehingga akan menimbulkan kesulitan belajar sehingga
membuat prestasi belajar anak menurun dari hari ke hari.
Dengan demikian, depresi harus dibedakan dengan kesedihan biasa, karena
depresi adalah salah satu gangguan jiwa sedangka kesedihan adalah fenomena
sosial yang dapat dialami oleh setiap manusia. Dua hal itu dapat dibedakan secara
kuantitatif. Pada depresi, episode lebih lama, gejala lebih intensif dibandingkan
dengan kesedihan biasa. Pada depresi faktor presipitasi tidak sejelas pada
kesedihan biasa dan kualitas gejala depresi ada yang khusus seperti halusinasi dan
pikiran bunuh diri yang tidak terdapat pada kesedihan biasa.
Menurut I Gusti Ayu Endah Ardjana (dalam Soetjiningsih, 2004) depresi yang
nyata menunjukkan trias gejala, yaitu:
 Tertekannya perasaan
Tertekannya perasaan dapat dirasakan penderita, dilaporkan secara verbal, dapat
pula diekspresikan dalam bentuk roman muka yang sedih, tidak mengindahkan
dirinya, mudah menangis dan sebagainya.
 Kesulitan berpikir
Kesulitan berpikir nampak dalam reaksi verbalnya yang lambat, sedikit sekali
bicara dan penderita menyatakan  dengan tegas bahwa proses berpikirnya menjadi
lambat.
 Kelambatan psikomotor
Kelambatan psikomotor merupakan gejala yang dapat dinilai secara obyektif oleh
pengamat dan juga dirasakan oleh penderita. Misalnya mudah lelah, kurang
antusias, kurang energi, ragu-ragu, keluhan somatik yang yang tak menentu.
Depresi yang nyata dapat dilihat pada anak usia lebih 10 tahun terutama apada
usia remaja, di mana superego, kemampuan verbal, kognitif dan kemampuan
menyatakan perasaannya sudah berkembang lebih matang sehingga gejala depresi
pada usia ini mirip dengan gejala depresi pada orang dewasa. Pada usia lebih dari
10 tahun, penggunaan proses berpikir secara realistik makin berkembang,
penggunaan fantasi sebagai alat pelarian makin hilang, sudah tidak menggunakan
mekanisme pembelaan yang primitif dan makin berkembangnya suara hati nurani
(superego) yang akan memperhebat perasaan bersalah dan rendah diri.
Berdasarkan penelitian, semakin meningkat usia anak maka angka kejadian
depresinya makin meningkat. Dari data penelitian di Amerika, didapatkan gejala
depresi pada remaja umur 11-13 tahun (remaja awal) lebih ringan secara
bermakna dibandingkan dengan gejala depresi pada umur 14 tahun (remaja
menengah) dan umur 17-18 tahun (remaja akhir). Remaja awal dengan gejala
depresi lebih sering mengeluh dirinya kurang menarik dan ingin berat badannya
turun dari pada remaja akhir. Remaja dengan sosio-ekonomi lebih rendah, lebih
berat gejala depresinya daripada remaja dengan sosio ekonomi yang lebih tinggi.
Walaupun depresi sudah dikenal sejak beberapa abad yang lalu, penyebabnya
belum diketahui secara pasti. Penelitian untuk mengetahui mekanisme terjadinya
sudah cukup banyak dilakukan, baik dalam bidang genetik, pencitraan otak, kimia
otak, atau psikodinamika, namun hasilnya belum memberikan kepastian.
Meskipun penyebab depresi remaja tidak diketahui secara lengkap, namun telah
diajukan sejumlah teori penting yang dapat digunakan sebagai gambaran sebagai
faktor penyebab depresi.  Setidaknya ada lima faktor yang dapat diketahui sebagai
faktor penyebab depresi, yaitu:
Pertama, faktor psikologis. Menurut teori Psikoanalitik (Freud, 1917) dan
Psikodinamik (Abraham, 1927) depresi disebabkan karena kehilangan obyek
cinta, kemudian individu mengadakan introyeksi yang ambivalen dari obyek cinta
tersebut atau rasa marah diarahkan pada diri sendiri. Sementara  Beck (1974)
dengan model cognitive-behavioral nya menyatakan bahwa depresi terjadi karena
pandangan yang negatif terhadap diri sendiri, interpretasi yang negatif terhadap
pengalaman hidup dan harapan yang negatif terhadap diri sendiri dan  masa
depan. Ketiga pandangan ini menyebabkan timbulnya depresi, rasa tidak berdaya
dan putus asa.  Penyebab depresi apada anak usia remaja mirip dengan orang
dewasa, biasanya karena triad cognitive yaitu: perasaan tidak berharga
(worthlessness), tidak ada yang menolong dirinya sendiri (helplessness), dan tidak
ada harapan (hopelessness). Sedangkan menurut teori belajar “merasa tidak
berdaya” (learned helplessness model) dari Seligman (1975) depresi terjadi bila
seorang individu mengalami suatu peristiwa yang tidak dapat dikendalikannya,
kemudian merasa tidak mampu pula menguasai masa depan.
Kedua, faktor biologis. Faktor ini terdiri atas faktor neuro-kimia dan neuro-
endokrin.  Faktor neurokimia, yaitu mono-amine neurotransmitters, kekurangan
zat ini bisa menyebabkan timbulnya depresi. Faktor neuro-endokrin bisa berasal
dari terjadinya disfungsi dalam sistem penyaluran rangsang dari hipotalamus ke
hipofise dan target organ lain, gangguan ritme biologis, meningkatnya kardar
hormon pertumbuhan secara berlebihan serta gangguan tiroid.
Ketiga,  faktor neuro-imunologis. Pada orang dewasa sering ditemukan gangguan
dalam bidang imunologis sehingga lebih mudah terjadi infeksi pada susunan
syaraf pusat. Kemungkinan lain adalah bahwa zat-zat imunologis tersebut terlalu
aktif sehingga menimbulkan kerusakan pada susunan saraf pusat. Hal ini sangat
jarang terjadi pada anak dan remaja.
Keempat, faktor genetik. Depresi bisa disebabkan oleh faktor keturunan. Resiko
untuk terjadinya depresi meningkat antara 20 – 40 % untuk keluarga keturunan
pertama. Dapat dikatakan bahwa anak-anak dari orangtua yang depresi psikotik
dan depresi non-psikotik terdapat insiden yang tinggi dari gejala depresi ini.
Memiliki satu orangtua yang mengalami depresi, meningkatkan resiko dua kali
pada keturunannya. Resiko itu meningkat menjadi empat kali bila kedua
orangtuanya sama-sama mengalami depresi.
Kelima, faktor psikososial. Anak remaja dalam lingkungan keluarga  yang broken
home,  jumlah saudara banyak, status ekonomi orangtua rendah, pemisahan
orangtua dengan karena meningggal atau perceraian serta buruknya fungsi
keluarga, merupakan faktor psikososial yang dapat menyebabkan anak remaja
mengalami depresi.
Depresi berdasarkan karakteristiknya dapat dikelompokkan menjadi tiga macam:
 Depresi Akut
Depresi akut mempunyai ciri-ciri: manifestasi gejala depresi jelas (nyata), ada
trauma psikologis berat yang mendadak sebelum timbulnya gejala depresi,
lamanya gejala hanya dalam waktu singkat, secara relatif mempunyai adaptasi dan
fungsi ego yang baik sebelum sakit dan tidak ada psikopatologi yang berat dalam
anggota keluarganya yang terdekat.
 Depresi Kronik
Depresi kronik mempunyai ciri-ciri: gejala depresi jelas (nyata) tetapi tidak ada
faktor pencetus yang mendadak, gejalanya dalam waktu lebih lama dari pada
depresi akut. Ada gangguan dalam penyesuaian diri sosial dan emosional sebelum
sakit, biasanya dalam bentuk kepribadian yang kaku, ada riwayat gangguan afektif
pada anggota keluarga terdekat.
 Depresi terselubung
Gejala depresi tak jelas tetapi menunjukkan gejala lain misalnya; hiperaktif,
tingkah laku agresif, psikosomatik, dan sebagainya.
Gejala-gejala yang tampak pada penderita depresi menurut Pedoman
Penggolongan dan Dianognis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III dibedakan atas gejala
utama dan gejala tambahan. Gejala utama terdiri atas: (1) Suasana perasaan yang
tertekan sepanjang hari; (2) Kehilangan minat dan gairah pada hampir semua
aktivitas, yang dirasakan sepanjang hari; (3) mudah lelah dan menurunnya
aktivitas. Sedangkan gejala tambahan terdiri atas: (1) Konsentrasi dan perhatian
berkurang; (2)  Harga diri dan rasa percaya diri berkurang; (3) Merasa bersalah
dan tidak berguna; (4) Pandangan masa depan suram dan pesimistik; (5)
Imsomnia atau hipersomnia; (6) Nafsu makan berkurang; (7) Gagasan dan
perbuatan membahayakan diri atau pikiran untuk bunuh diri.
Gejala depresi ini minimal berlangsung dua minggu. Depresi pada remaja sering
dominan berkaitan dengan penyimpangan perilaku, penyalahgunaan obat,
penyimpangan seksual, keluhan fisik tak khas, dan problema sekolah.
Beberapa pegangan untuk mengetahui apakah pada anak remaja terdapat depresi
atau tidak antara lain:
 Pendekatan dan wawancara dengan remaja dengan cara diajak berceritera
 Observasi afek (suasana perasaan) dan perilaku remaja
 Bila remaja menjadi nakal, prestasi sekolah menurun, kelainan somatik tanpa didasari
kelainan fisik, maka harus dipikirkan kemungkinan depresi terselubung.
Penanganan depresi pada remaja harus menggunakan konsep elektik-holistik,
yaitu penanganan lingkungan, psikoterapi dan medika mentosa.  Psikoterapi terapi
yang dapat diberikan adalah terapi keluarga, psikoterapi interpersonal, dan  terapi
perilaku kognitif (cognitive behavior theraphty).

4. Mengatasi stres dan depresi


a. Mendekatkan Diri dengan Anak Remaja.
b. Meyakinkan Bahwa Mereka Tidak Sendirian.
c. Jangan Membiarkan Mereka Mengurung Diri.
d. Mengajak Mereka Bersosialisasi.
e. Menerapkan Pola Hidup Sehat.
f. Mengelola Stres.
g. Berkonsultasi dengan Pihak Medis.

5. Langkah-langkah mengatasi masalah remaja


Untuk mecegah suatu masalah pada remaja, maka dapat melakukan tindakan yang
menekan, yaitu dengan memberikannya hukuman dan peraturan terhadap perilaku
yang kurang baik dan mengarahkan ke perilaku yang lebih baik menurut nilai
sosial, etika dan moral. Solusi yang dapat diberikan untuk remaja adalah
memberikan prinsip keteladanan dari orang dewasa dan dapat mengarahkan
remaja pada perilaku yang baik, mendapatkan motivasi dari keluarga, lingkungan,
dan teman seusianya, serta menyalurkan energi ke dalam kegiatan yang positif.

Anda mungkin juga menyukai