Anda di halaman 1dari 12

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkembangan peserta didik Sekolah Menengah Pertama mengikuti
perkembangan remaja pada umumnya. Periode perkembangan remaja dimulai
dengan pubertas. Periode pubertas atau masa remaja awal adalah waktu
perkembangan fisik dan kognitif yang pesat. Perkembangan fisik merupakan sisi
yang paling nyata dari manusia manapun, demikian juga bagi peserta didik.
Menurut Catherine (2010 dalam Danim, 2011:35) perkembangan fisik yang
dimaksud antara lain mencakup perubahan dalam ukuran dan proporsi tubuh,
penampilan, serta fungsi berbagai sistem tubuh. Sedangkan perkembangan
kognitif ditandai dengan adanya pergeseran dari kemampuan penalaran konkrit ke
abstrak, mengolah data menjadi informasi, memecahkan masalah-masalah yang
rumit, serta membuat solusi atas dasar informasi yang mirip, sama atau
bertentangan. Adapun pada makalah ini akan dibahas mengenai perkembangan
peserta didik Sekolah Menengah Pertama pada aspek fisik dan kognitif.

B. Tujuan
1. Mendeskripsikan perkembangan peserta didik Sekolah Menengah Pertama
pada aspek fisik
2. Mendeskripsikan perkembangan peserta didik Sekolah Menengah Pertama
pada aspek kognitif
2

BAB II
PEMBAHASAN

A. Perkembangan peserta didik Sekolah Menengah Pertama pada aspek


fisik
Peserta didik usia 12 - 19 tahun merupakan periode remaja transisi, yaitu
periode transisi antara masa kanak-kanak dan usia dewasa. Periode ini merupakan
masa perubahan yang sangat besar. Selama periode pada tahun ini pertumbuhan
fisik, emosional, dan intelektual terjadi dengan kecepatan yang “memusingkan”,
menantang peserta didik sebagai remaja untuk menyesuaikan diri dengan bentuk
“tubuh baru”, identitas sosial, dan memperluas pandangannya tentang dunia.
Pertumbuhan dan perubahan fisik sangat nyata pada peserta didik usia ini,
baik laki-laki maupun perempuan. Perubahan dan pertumbuhan itu merupakan
pengalaman tersendiri bagi remaja. Dalam rentang beberapa tahun ini peserta
didik mempersiapkan diri menjadi anggota masyarakat dewasa yang mandiri dan
berkontribusi kepada masyarakat. Dimensi perkembangan psikoseksual pun
mengalami pematangan yang luar biasa.
Kecepatan perkembangan seksual remaja dewasa bervariasi. Masa
perkembangan remaja dimulai dari masa puber, umur 12-14 tahun. Masa puber
atau permulaan remaja adalah suatu masa saat perkembangan fisik dan intelektual
berkembang secara cepat. Pertengahan masa remaja adalah masa yang lebih stabil
untuk menyesuaikan diri dan berintegrasi dengan perubahan permulaan remaja
kira- kira umur 14-16 tahun. Pubertas adalah suatu rangkaian perubahan fisik
yang membuat organisme secara matang untuk mampu berproduksi. Hampir
setiap organ dan sistem tubuh dipengaruhi oleh perubahan ini. Anak yang
mengalami puber awal akan mengalami berbeda dengan puber akhir. Dalam
penampakan luar karena perubahan tinggi, proporsi tubuh, dan adanya tanda-tanda
perkembangan seksual pertama dan kedua.
Walaupun urutan kejadian pada pubertas pada umumnya sama bagi setiap
anak, namun waktu dan kecepatan tiap-tiap anak berbeda. Rata-rata anak
perempuan mengalami perubahan 1 sampai 2 tahun lebih awal daripada anak laki-
3

laki. Seperti pada permulaan kecepatan, perubahan juga bervariasi, beberapa anak
pada 18 sampai 24 bulan dari permulaan sudah mengalami perubahan untuk
matang berproduksi, sedangkan yang lain mungkin memerlukan 6 tahun untuk
berubah melalui tahap-tahap yang sama. Perbedaan ini berarti bahwa beberapa
individu mungkin betul-betul sudah matang secara sempurna, sedangkan yang lain
pada umur yang sama bahkan mulai baru pubertas. Perbedaan umur maksimum
adalah 13 tahun untuk laki-laki dan kira-kira 11 tahun untuk perempuan.
Perbandingan antara mereka sendiri merupakan suatu masalah karena ada yang
sudah matang merupakan masalah bagi anak yang belum matang. Sebaliknya,
anak yang matang pertama kali barangkali merupakan pengalaman yang tidak
menyenangkan karena mereka diantara anak yang belum matang.
Perkembangan hormon “bertanggungjawab” bagi pengembangan dari dua
karakteristik seks, baik karakteristik seks primer (primary sex characteristic,
struktur yang secara langsung berhubungan dengan reproduksi) maupun
karakteristik seks sekunder (secondary sex characteristic, struktur yang tidak
berhubungan langsung dengan reproduksi). Contoh karakteristik seks primer
adalah penis anak laki-laki dan rahim pada wanita. Contoh karakteristik seks
sekunder adalah pertumbuhan rambut kemaluan pada kedua jenis kelamin.
Selama masa kanak-kanak, laki-laki menghasilkan hormon endrogen sama
dengan perempuan menghasilkan hormon estrogen. Pada masa pubertas, kelenjar
pituitary merangsang perubahan hormon di seluruh tubuh, termasuk dalam
kelenjar adrenal, endokrin, dan seksual. Waktu pubertas merupakan hasil
kombinasi faktor genetik, lingkungan, dan kesehatan.
Tanda awal dari percepatan kematangan remaja adalah pertumbuhan atau
peningkatan secara nyata pada tinggi dan berat badan. Percepatan pertumbuhan
wanita bisa dimulai antara usia 10 dan 14 tahun dan berakhir pada usia 16 tahun.
Percepatan pertumbuhan laki-laki biasanya dimulai antara usia 10 dan 16 tahun
dan berakhir pada usia 18 tahun. Perempuan pada umumnya mulai pubertas
beberapa tahun lebih awal daripada laki-laki, sekitar usia 11-12 tahun.
Peningkatan tingkat estrogen memicu terjadinya pubertas pada anak perempuan.
Badan mereka tumbuh tinggi, pinggul melebar, payudara menjadi bulat dan besar,
rambut tumbuh pada kaki, bawah lengan, dan sekitar alat kelamin, labia menebal,
4

klitoris memanjang, rahim membesar, dan mensturasi. Sekitar usia 12 atau 13


tahun perempuan mulai mensturasi. Permulaan mensturasi disebut menarche.
Pada saat ini perempuan sudah siap hamil.
Peningkatan kadar hormon testosteron memicu masa pubertas anak laki-
laki sekitar usia 12 hingga 14 tahun. Anak laki-laki menjadi lebih tinggi, lebih
berat, dan kuat, suara dalam mereka makin tampak terdengar, bahu melebar,
rambut tumbuh di bawah lengan, wajah, sekitar alat kelamin, dan pada bagian lain
dari tubuh, testis menghasilkan sperma, dan penis dan organ reproduksi lainnya
memperbesar. Pada saat ini, sesungguhnya anak laki-laki bisa “menghamili”.
Anak remaja laki-laki juga dapat mengalami pelepasan”semen” pada saat tidur
yang disebut emisi noktural (noctural emission) atau mimpi basah.
Perubahan yang dihasilkan pada masa pubertas dapat berefek luas pada
tubuh anak remaja. Gadis remaja dan anak laki-laki sama-sama meningkat tinggi
dan berat badannya, munculnya kecanggungan umum, naik dan turun suasana
emosional, tumbuh jerawat, dan sebagainya. Perubahan yang drastis ini, termasuk
waktu pematangan seksual, dapat menjadi sumber kecemasan besar dan frustasi
bagi mereka.

B. Perkembangan peserta didik Sekolah Menengah Pertama pada aspek


kognitif
Kebanyakkan peserta didik mencapai tahap operasi formal (formal
operations) versi Piaget pada usia sekitar 12 tahun atau lebih, dimana mereka
mengembangkan alat baru untuk memanipulasi informasi. Pada fase sebelumnya,
ketika masih sebagai kanak-kanak mereka hanya bisa berpikir konkret. Ketika
memasuki tahap operasi formal mereka bisa berpikir abstrak dan deduktif. Peserta
didik pada tahap ini juga dapat mempertimbangkan kemungkinan masa depan,
mencari jawaban, menangani masalah dengan fleksibel, menguji hipotesis, dan
menarik kesimpulan atas kejadian yang mereka tidak mengalaminya secara
langsung (Danim, 2011:80).
Titik puncak atau jatuh tempo perkembangan kognitif terjadi ketika
peserta didik sudah memasuki usia dewasa dan jaringan sosial makin berkembang.
Ketika itu pula kemampuan otak dan jaringan sosial menawarkan lebih banyak
5

kesempatan dibandingkan dengan fase sebelumnya untuk bereksperimen dengan


kehidupan. Karena itu, pengalaman duniawi memainkan peran besar dalam
mencapai tingkat operasi formal, meski tentu tidak semua remaja mampu
memasuki tahap perkembangan kognitif yang ideal. Karena itu pula, sebagaian
peserta didik yang sesungguhnya cerdas, namun berprestasi kurang
(underachiever), akibat tidak mengoptimasi diri.
Banyak hasil studi yang menunjukkan bahwa kemampuan rasional yang
abstrak dan kritis berkembang melalui proses pendidikan dan pembelajaran, serta
pelatihan secara kontinyu. Sebagai contoh, penalaran sehari-hari siswa mengalami
peningkatan sejak tahun-tahun pertama belajar hingga menamatkan pendidikan
jenjang tertentu. Hal ini menunjukkan nilai pendidikan dalam pematangan
kognitif itu dirangsang oleh kontinyuitas dan konsistensi proses aktivasi.
Fenomena ini tidak untuk diberi makna bahwa kecerdasan intelektual seseorang
terus meningkat, karena ada titik optimumnya.

1. Pengembangan Intelektual
Menurut Robert Sternberg, kecerdasan terdiri dari tiga aspek atau dikenal
dengan triarkis teori (triarrchic theory), yaitu: componential, experiential, dan
contextual. Komponensial adalah aspek kristis, pengalaman adalah aspek
berwawasan, dan konseptual adalah aspek praktis. Kebanyakan tes kecerdasan (tes
IQ) hanya mengukur kecerdasan kompenensial, walaupun ketiganya diperlukan
untuk memprediksi keberhasilan akhir seseorang dalam hidupnya. Dengan
demikian peerta didik harus belajar untuk menggunakan ketiga jenis kecerdasaan
itu.
Lebih jauh dapat dijelaskan bahwa kecerdasan komponensial
(componential intelligence) bermakna kemampuan untuk menggunakan strategi
pemrosesan informasi internal ketika peserta didik mengidentifikasi dan berpikir
tentang pemecahan masalah dan mengevaluasi hasil. Individu yang kuat dalam
kecerdasan komponensial umumnya memperoleh hasil baik pada tes mental
standar. Juga, terlibat dalam kecerdasan komponensial adalah metakognisi
(metacognition), yang merupakan proses kesadaran kognitif seseorang, suatu
6

kemampuan pribadi yang oleh beberapa ahli diklaim sebagai sangat penting untuk
memecahkan aneka masalah.
Kecerdasan eksperinsial (experential intelligence) adalah kemampuan
mentransfer pembelajaran secara efektif untuk memperoleh ketrampilan baru.
Dengan kata lain, kecerdasan eksperensial adalah kemampuan untuk
membandingkan informasi lama dan baru, dan untuk menempatkan fakta bersama
dengan cara-cara yang asli. Individu yang kuat dalam kecerdasan eksperensial
atau kecerdasan pengalaman mampu mengatasi dengan baik hal-hal baru dan
cepat belajar membuat tugas-tugas baru secara otomatis.
Kecerdasan kontekstual (contextual intellegence) adalah kemampuan
untuk menerapkan kecerdasan praktis, termasuk memiliki kepedulian sosial,
budaya, dan konteks historis. Individu yang kuat dalam kecerdasan kontekstual
dengan mudah beradaptasi dengan lingkungan mereka, dapat berubah ke
lingkungan lainnya, dan bersedia memperbaiki lingkungan mereka bila
diperlukan.
Suatu bagian penting dari kecerdasan kontekstual adalah pengerahuan
diam-diam (tacit knowlegde) atau perolehan pengalaman yang “cerdas” yang tidak
secara langsung diajarkan. Pengetahuan tasit (diam-diam, tersembunyi) adalah
kemampuan memahami mekanisme kerja sistem untuk mencapai keuntungan
tertentu. Contohnya, adalah mengetahui cara memotong alur kerja birokrasi
kelembagaan dan manuver melalui sistem pendidikan dengan paling sedikit
menimbulkan kerumitan. Orang dengan pengetahuan tasit sering dianggap bekerja
dengan jalan pintas, namun cerdas. Peserta didik pun memang harus bekerja
keras, namun tidak kalah pentingnya adalah bekerja cerdas.

2. Pengembangan Moral dan Penilaian


Sisi lain perkembangan kognitif peserta didik usia sekolah menengah
adalah pengembangan moral dan penimbangan (moral development and
judgment) atau kemampuan berpikir tentang benar dan salah. Lawrence Kohlberg
mengemukakan suatu teori perkembangan moral manusia (termasuk peserta didik)
dengan tiga tingkat yang terdiri dari enam tahap.
7

a. Tingkat pertama, moralitas prakonvensional (precoventional morality), harus


dilakukan dengan alasan moral dan perilaku didasarkan pada aturan dan takut
di hukum (Tahap 1) dan kepentingan non-empatetik (nonempathetic) diri
sendiri (Tahap 2).
b. Tingkat kedua, moralitas konvesional (coventional morality), mengacu pada
kesesuaian dan membantu orang lain (Tahap 3), serta mematuhi hukum dan
menjaga ketertiban (Tahap 4).
c. Tingkat ketiga, moralitas pascakonvesional (postcoventional morality),
terkait dengan sifat relatif menerima dan berubah dari peraturan dan
perundang-udangan (Tahap 5), serta mengarahkan perhatian hati nurani
dengan hak asasi manusia (Tahap 6).
Sebagai pengembangan moral peserta didik tergantung pada munculnya
empati, rasa malu, dan rasa bersalah. Internalisasi moralitas dimulai dengan
empati (empathy) atau kemampuan untuk memposisikan diri dengan “rasa sakit
atau sukacita” orang lain. Kata lain dari empati adalah kemampuan memposisikan
diri ke dalam perasaan orang lain. Sejak masa kanak-kanak, peserta didik mulai
menunjukkan tanda-tanda empati yang bersifat elementer. Misalnya, mereka
menjadi sedih ketika orang-orang di sekitar mereka menunjukkan kesedihan yang
sama. Internalisasi moralitas juga melibatkan rasa malu (perasaan tidak memenuhi
standar orang lain) dan rasa bersalah (perasaan tidak memenuhi standar pribadi
yang dimiliki oleh orang lain). Perasaan malu ini berkembang sekitar usia 2 tahun,
dan rasa bersalah berkembang antara usia 3-4 tahun.
Sebagai bukti bahwa peserta didik meningkat kemampuan kognitifnya,
mereka mampu menimbang konsekuensi dari sudut pandang kepentingan pribadi
dan kepentingan orang-orang di sekitar mereka. Peserta didik dan remaja pada
umumnya biasanya menunjukkan moralitas konvensional saat mereka mendekati
usia 20-an, meskipun beberapa diantara mereka mungkin akan lebih lama untuk
mendapatkan pengalaman yang dibutuhkan sebagai masa transisi.
Banyak penelitian cenderung memberikan dukungan pada teori atau model
kohlberg. Namun demikian, model Kohlberg ini tidak luput dari kritik banyak
peneliti dan hasil penelitian lain. Menurut beberapa ahli, model penalaran individu
yang berpendidikan secara verbal memang canggih. Namun demikian, orang juga
8

dapat mengalami kemunduran dalam penalaran moral mereka atau berperilaku


berbeda dari penalaran moral yang bisa diprediksi. Faktor budaya, keluarga, dan
jenis kelamin berpengaruh pada tingkat pencapaian yang lebih tinggi dari
penilaina moral. Karenanya, model penalaran moral Kohlberg telah dkritik
sebagai terbatas dalam hal budaya tertentu, gaya keluarga, dan perbedaan antara
perkembangan moral laki-laki dan perempuan.
Sebuah pemikiran alternatif atas teori atau model Kohlberg adalah datang dari
Carol Gilligan. Gilligan mengemukakan pemikiran baru bahwa laki-laki dan
perempuan menunjukkan dengan jelas alasan moral yang sama layak, tetapi
muncul dalam bentuk berbeda. Carol Gilligan mencatat bahwa pria cenderung
lebih peduli dengan keadilan, sementara wanita kebanyakkan bersandar ke kasih
sayang. Perbedaan ini paling sering muncul dalam keadaan dimana laki-laki dan
perempuan membuat penilaian moral.
Fenomena yang mirip dengan perkembangan moral adalah perkembangan
agama (religious development). Tiga tingkat perkembangan moral sebagaimana
dimaksudkan oleh Kohlberg, yaitu preconventional, conventional,
postconventional. Prekonvensional versi Kohlberg bermakna egosentris
fundamentalistik yang bersifat hitam-putih dan berpikir berdasarkan hukum
agama dan regulasi atau peraturan. Konvensional versi Kohlberg bermakna sesuai
dengan tradisi dan standar agama yang diterima. Maka versi Kohlberg pasca
konvensional bermakna relativistik atau berpikir abu-abu, pengakuan dari
kontradiksi agama, interprestasi manusia, dan sifat aturan yang berubah-ubah.
Tahap terakhir ini dicapai ketika seseorang telah pindah dari operasi konkrit
(concrete operations) dan menjadi operasi formal (formal operations) versi
Piaget, baik yang melibatkan pengggunaan ketrampilan ekstensif maupun berpikir
kritis. Sebagaimana pekembangannya moral, peserta didik memahami bukti
pemikiran konvensional dibidang agama secara utuh ketika berusia mendekati 20-
an tahun, meski seringkali juga relative, tergantung kapan mereka mulai
mempelajarinya. Kebanyakkan mereka “beralih” ke pemikiran agama
pascakonvensional setelah menempuh kuliah, dimana mereka makin banyak
bersentuhan dengan sebagian besar orang yang berbeda agama dan sudut pandang.
9

3. Pencarian untuk Identitas: Usia 12-19 Tahun


Peserta didik yang memasuki masa remaja berarti mereka berada pada
periode transisi antara masa kanak-kanak dan dewasa. Developmentalis secara
tradisional melihat masa remaja sebagai “masa badai” dan stress psikososial,
sebuah beban yang memang harus dilalui laksana bantalan menuju kedewasaan.
Para developmentalis dewasa ini lebih cenderung melihat remaja sebagai waktu
yang positif bagi peluang pencarian identitas dan pertumbuhan. Kebanyakan
remaja berhasil melalui masa transisi ini tanpa masalah serius atau perpecahan
dengan orang tua, keluarga, atau guru-gurunya.
Seperti telah diuraikan sebelumnya, Freud menyebut periode awal
perkembangan psikosksual sebagai pubertas, yaitu tahap genital (genital stage).
Freud menjelaskan bahwa tahap genital ini dialami oleh anak remaja dan dewasa.
Dimana, hal ini pun tentu dialami oleh peserta didik. Selama tahap ini,
perkembangan seksual peserta didik selayaknya manusia dewasa pada umumnya,
dimana mereka telah mencapai kematangan, sehingga tumbuh kemampuan scara
sehat untuk mencintai dan bekerja, khususnya bagi yang telah berhasil
berkembangan melalui tahap-tahap sebelumnya.
Sebaliknya, Erickson mencatat bahwa konflik utama yang dihadapi peserta
didik berusia remaja pada tahap ini adalah munculnya salah satu dari apa yang
disebut sebagai identitas versus kebingungan identitas (identity versus identity
confusion). Oleh karena itu, tugas psikososial bagi peserta didik yang memasuki
usia remaja adalah pengembangan individualitas. Untuk membentuk identitas,
mereka harus menetapkan peranan pribadi dalam masyarakat dan
mengintegrasikan berbagai dimensi kepribadiannya menjadi keseluruhan yang
masuk akal. Mereka harus bergulat dengan isu seperti memilih karir, kuliah,
agama yang dianut dan pengalamannya, aspirasi politik, dan lain-lain.
Peneliti Carol Gilligan dan Deborah Tannen ternyata menemukan
perbedaan dalam cara dimana laki-laki dan peremouan mencapai identitas itu.
Gilligan telah mencatat bahwa perempuan utamanya mencari “keintiman
hubungan”, sedangkan laki-laki mengejar kemandirian dan prestasi. Deborah
Tannen menjelaskan perbedaan-perbedaan ini sebagai akibat, setidaknya sebagian,
cara sosialisasi yang berbeda antara laki-laki dan perempuan.
10

Perubahan hormon pubertas mempengaruhi emosi peserta didik yang


berusia remaja ini. Hal ini seringkali amat nyata dalam perilaku mereka. Seiring
dengan munculnya fluktuasi emosional dan seksual muncul pula kebutuhan
peserta didik berusia remaja untuk mempertanyakan otoritas dan nilai-nilai sosial,
serta batas kelayakan dalam hubungan yang ada. Hal ini sangat mudah terlihat di
dalam sistem keluarga, dimana kebutuhan remaja untuk kemerdekaan dari
orangtua dan saidara kandung dapat menyebabkan banyak konflik dan ketegangan
di rumah.
Adat istiadat masyarakat dan harapan masa remaja seringkali menahan
rasa ingin tahu, sehingga mereka seakan-akan bertahan selayaknya karakteristik
anak-anak kecil, meski sesungguhnya tekanan rekan untuk mencoba hal baru dan
berperilaku dengan cara tertentu juga sangat kuat. Munculnya tarik-menarik dari
keinginan peserta didik remaja untuk meningkatkan tanggung jawab pribadi dan
kemerdekaan dari orangtua mereka, bersama dengan hasrat yang terus tumbuh
sangat kuat dalam dimensi seksualitas.
11

BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa periode
perkembangan remaja dimulai dengan pubertas. Periode pubertas atau masa
remaja awal adalah waktu perkembangan fisik dan kognitif yang pesat. Adapun
perkembangan fisik yang terjadi pada masa remaja yaitu pertumbuhan atau
peningkatan secara nyata pada tinggi dan berat badan. Percepatan pertumbuhan
wanita bisa dimulai antara usia 10 dan 14 tahun dan berakhir pada usia 16 tahun.
Percepatan pertumbuhan laki-laki biasanya dimulai antara usia 10 dan 16 tahun
dan berakhir pada usia 18 tahun. Perempuan pada umumnya mulai pubertas
beberapa tahun lebih awal daripada laki-laki, sekitar usia 11-12 tahun. Sedangkan
untuk perkembangan kognitif pada peserta didik Sekolah Menengah Pertama
menurut Piaget peserta didik telah mencapai tahap operasi formal (formal
operations) yaitu pada usia sekitar 12 tahun atau lebih. Ketika memasuki tahap
operasi formal mereka bisa berpikir abstrak dan deduktif. Peserta didik pada tahap
ini juga dapat mempertimbangkan kemungkinan masa depan, mencari jawaban,
menangani masalah dengan fleksibel, menguji hipotesis, dan menarik kesimpulan
atas kejadian yang mereka tidak mengalaminya secara langsung.

B. Saran
Adapun saran yang dapat penulis sampaikan kepada pembaca ialah,
sebagai seorang pendidik hendaknya selalu memantau setiap perkembangan
peserta didik Sekolah Menengah Pertama, baik perkembangan fisik maupun
perkembangan kognitifnya. Sehingga, dalam proses belajar mengajar dapat
menyesuaikan dengan perkembangan fisik dan kognitif peserta didik.
12

DAFTAR RUJUKAN

Slavin, Robert E. 2011. Educational Psychology Theory and Practice.Jakarta:


Indeks.

Danim, Sudarwan. 2010. Perkembangan Peserta Didik. Bandung: Alfabeta.

Universitas Negeri Malang. 2010. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Malang:


Kementerian Pendidikan Nasional Universitas Negeri Malang.

Anda mungkin juga menyukai