Anda di halaman 1dari 22

A.

Fisik
Menurut Aristoteles (dalam Nurihsan & Agustin, 2011) perkembangan
individu pada masa remaja terjadi pada usia 14 – 21 tahun. Sedangkan menurut
Hurlock (dalam Nurihsan & Agustin, 2011) perkembangan individu pada masa
remaja terjadi pada usia 13 – 21 tahun untuk perempuan dan 14 – 21 tahun untuk
laki-laki.
Secara tentatif pula para ahli umumnya sependapat bahwa rentangan waktu
masa remaja itu berlangsung dari sekitar 11 – 13 tahun sampai 18 – 20 tahun
menurut kalender kelahiran seseorang. Oleh karena itu, para ahli cenderung
mengadakan pembagian lagi ke dalam masa remaja awal (early adolescent,
puberty) dan remaja akhir (late adolescent) yang mempunyai rentangan waktu
antara 11 – 13 sampai 14 – 15 tahun dan 14 – 16 sampai 18 – 20 tahun (Nurihsan
& Agustin, 2011).
Menurut Nurihsan & Agustin perkembagan fisik remaja terdiri dari 2 aspek,
yaitu internal dan eksternal. Internal meliputi, sistem pencernaan, sistem peredaran
darah, sistem pernapasan, sistem endoktrin. Eksternal meliputi, tinggi badan, berat
badan, proporsi tubuh, organ seks, dan ciri-ciri seks sekunder.
Berdasarkan hal tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa profil perkembangan
fisik remaja adalah sebagai berikut :
Remaja Awal Remaja Akhir
Laju perkembangan secara umum Laju perkembangan secara umum
berlangsung sangat pesat. kembali menurun, sangat lambat.
Proporsi ukuran tinggi dan berat Proporsi ukurang tinggi dan berat
badan sering kurang seimbang badan lebih seimbang mendekati
(termasuk otot dan tulang). kekuatan tubuh orang dewsa.
Munculnya ciri-ciri sekunder Siap berfungsinya organ-organ
(tumbuh bulu pada pubic region, otot reproduktif seperti pada orang-orang
mengembang pada bagian-bagian yang sudah dewasa.
tertentu), disertai mulai aktifnya
sekresi kelenjar jenis (menstruasi
pada perempuan dan mimpi basah
yang pertama kali pada laki-laki).
Sedangkan menurut Santrock (2012) perkembangan fisik pada masa remaja
meliputi, pubertas, perkembangan otak, dan seksualitas remaja. Urutan
Perkembangan Pubertas
Pria Wanita
Meningkatnya ukuran penis dan Membesarnya payudara
testis
Keluarnya rambut kemaluan yang Rambut kemaluan yang mulai muncul
lurus
Perubahan sedikit pada suara Tumbuh rambut di ketiak
Mimpi basah Bertambah tinggi dan pinggulnya
melebar melebihi bahu
Munculnya rambut kemaluan yang Menstruasi
kaku
Terjadinya pertumbuhan maksimal
Tumbuh rambut di ketiak
Perubahan suara yang terlihat jelas
Pertumbuhan rambut di wajah.

Bava dkk. & Lenroot dkk. (dalam Santrock, 2012) mengemukakan bahwa
otak remaja mengalami perubahan yang siginifikan. Corpus CallosumI, di mana
serat optic menghubungkan hemisphere otak kiri dengan sebelah kanan, semakin
tebal pada masa remaja, sehingga meningkatkan kemampuan remaja dalam
memproses informasi (Gledd dalam Santrock, 2012).
B. Psikomotor
Perkembangan psikomotorik merupakan perkembangan yang sangat penting
bagi perkembangan individu. Perkembangan psikomotorik mencakup berbagai
gerakan-gerakan yang dianggap sebagai bagian dari perjalanan hidup seorang
individu. Menurut Hurlock (1978) perkembangan motorik diartikan sebagai
perkembangan yang berasal dari unsur kematangan pengendalian gerak tubuh dan
otak sebagai pusat gerak. Sedangkan, perkembangan motorik menurut Sukamti
(2007) adalah sebuah proses kemasakan atau gerak yang langsung melibatkan
otot-otot untuk bergerak dan proses pensyarafan yang menjadikan seseorang
mampu menggerakkan tubuhnya. Maka dapat disimpulkan, perkembangan
psikomotorik remaja yakni kemampuan untuk mengkoordinasikan kerja sistem
syaraf motorik yang nantinya menimbulkan reaksi atau respon berupa gerakan-
gerakan atau kegiatan dengan tepat, yakni adanya kesesuaian antara rangsangan
dan respon yang diberikan.
Perkembangan psikomotorik pada masa remaja tentunya berkembang sesuai
atau sejalan dengan pertumbuhan ukuran tubuh, kemampuan fisik, dan perubahan
fisiologi (perkembangan fisik) yang dialami oleh setiap individu. Perkembangan
fisik dan perkembangan motorik tidak dapat dipisahkan. Kemampuan
psikomotorik pada masa remaja terus mengalami peningkatan dan
penyempurnaan, seperti peningkatan dalam kekuatan, kelincahan dan daya tahan.
Pada usia 12-18 tahun, laki-laki mengalami perkembangan psikomotorik yang
lebih pesat dibanding perempuan. Kemampuan psikomotorik laki laki cenderung
terus meningkat dalam hal kekuatan, kelincahan, dan daya tahan. Perkembangan
psikomotorik pada perempuan biasanya mencapai hasil maksimal setelah
perempuan mendapatkan menstruasi. Namun pada dasarnya, tidak seluruh
perempuan mengalami atau mencapai hasil maksimal setelah menstruasi,
dilengkapi dan ditunjang oleh berbagai latihan-latihan yang dapat
mengoptimalkan perkembangan psikomotorik tentu dapat membuat
perkembangan psikomotorik seorang perempuan dapat mencapai perkembangan
yang optimal sesuai kemampuannya (PPG), 2019). Sesuai dengan penelitian
menurut Cole (1959), pada sebuah penelitian yang melibatkan 325 anak
perempuan dan 285 anak laki-laki dalam test kontrol kelincahan dari usia 11
hingga 16 tahun. Hasilnya dilihat dari keberhasilan anak perempuan dan anak laki-
laki yang lulus dalam tes di setiap kelompok usia. Hasilnya, sampai usia 13 tahun,
banyak anak perempuan unggul dalam kelincahan; namun setelah usia 13 tahun,
anak laki-laki yang lebih unggul. Pada usia 16 tahun ternyata lebih sedikit anak
perempuan lulus tes kelincahan dari pada saat berusia 15 tahun.
Pada usia 18-21 tahun, koordinasi gerakang-gerakan dan sistem gerak sudah
berjalan dengan baik. Berbagai keterampilan dan potensi yang dimiliki oleh
individu dapat lebih ditingkatkan dan dipertahankan di masa ini, sebagai salah satu
upaya atau persiapan menuju masa dewasa sebagai masa “puncak” dari
perkembangan psikomotorik individu (PPG), 2019).
C. Kognitif
Perkembangan kognitif adalah tahap-tahap perkembangan kognitif manusia
mulai dari usia anak-anak sampai dewasa, mulai dari proses-proses berfikir secara
konkret atau melibatkan konsep-konsep konkret sampai dengan yang lebih tinggi
yaitu konsep-konsep yang abstrak dan logis (Suherman, 2005).
Menurut Jean Piaget dalam teori kognitifnya mendefinisikan perkembangan
kognitif merupakan suatu proses yang terbentuk melalui interaksi yang konstan
antara konstan individu dengan lingkungannya. William Stern, salah seorang
pelopor dalam penelitian intelegensi, mendefinisikan intelegensi sebagai
kemampuan untuk menggunakan secara tepat segenap alat-alat bantu dari pikiran,
guna menyesuaikan diri terhadap tuntutan-tuntutan baru (Ustad MJ STIT Al-
Amin, 2012).
Piaget membagi skema yang digunakan anak untuk memahami dunianya melalui
empat periode utama yang berkorelasi dan semakin canggih seiring pertambahan
usia, yaitu: sensorimotor, praoperasi, operasi konkret, dan operasi formal. Dia
percaya bahwa semua anak melewati tahap-tahap tersebut dalam urutan seperti ini
dan bahwa tidak seorang anak pun dapat melompati satu tahap, walaupun anak-
anak yang berbeda melewati tahap-tahap tersebut dengan kecepatan yang agak
berbeda (Slavin Robert E., 2011).
1. Tahap Sensorimotor
Tahap ini merupakan tahap pertama. Tahap ini dimulai sejak lahir
sampai usia 2 tahun. Pada tahap ini, bayi membangun suatu pemahaman
tentang dunia dengan mengkoordinasikan pengalaman-pengalaman sensor
(seperti melihat dan mendengar) dengan tindakan-tindakan fisik.
2. Tahap Praoperasi
Tahap ini berada pada rentang usia antara 2-7 tahun. Pada tahap ini anak
mulai melukiskan dunia dengan kata-kata dan gambar-gambar atau simbol.
3. Tahap Operasi Konkret
Tahap ini berada pada rentang usia 7-11 tahun. Tahap ini dicirikan
dengan perkembangan sistem pemikiran yang didasarkan pada aturan-aturan
yang logis. Proses-proses penting selama tahapan ini, yaitu Pengurutan,
Klasifikasi, Decentering, Reversibility, Konservasi, dan Penghilangan sifat
Egosentrisme.
4. Tahap Operasi Formal
Tahap operasional formal adalah periode terakhir perkembangan
kognitif dalam teori Piaget. Tahap ini mulai dialami anak dalam usia 11 tahun
dan terus berlanjut sampai dewasa. Karakteristik tahap ini adalah diperolehnya
kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik
kesimpulan dari informasi yang tersedia. Dalam tahapan ini, seseorang dapat
memahami hal-hal seperti cinta, bukti logis, dan nilai. Pada tahap ini, remaja
telah memiliki kemampuan untuk berpikir sistematis, yaitu bisa memikirkan
semua kemungkinan untuk memecahkan suatu persoalan.
D. Bahasa
Bahasa memegang peran penting dalam kehidupan bermasyarakat.
Perkembangan bahasa dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain adalah usia
anak, kondisi keluarga dan kondisi fisik anak terutama dari segi kesehatannya
Dalam sebuah penelitian dikatakan bahwa perkembangan bahasa sangat pesat
pada anak sejak ia bayi sampai masuk ke usia sekolah (6-7tahun). Pada usia
tersebut anak telah memiliki 18.000 kata yang dapat mereka gunakan untuk
berdialog dengan teman sebaya. Kemudian akan terus bertambah pada masa pra
remaja (9-12 tahun) dan remaja (13-19 tahun) sehingga pada usia dewasa awal
mereka akan memiliki setidaknya 60.000 kata yang dapat mereka gunakan
(Nippold, 2006).
1. Perkembangan Bahasa
Tahapan Perkembangan Bahasa Pada Anak Menurut Lundsteen,
membagi perkembangan bahasa dalam 3 tahap, yaitu:
a. Tahap Pralinguistik
1) Pada usia 0-3 bulan, bunyinya di dalam dan berasal dari tenggorok.
2) Pada usia 3-12 bulan, banyak memakai bibir dan langit-langit,
misalnya ma, da, ba.
b. Tahap Protolinguitik
Pada usia 12 bulan-2 tahun, anak sudah mengerti dan menunjukkan alat-
alat tubuh. Ia mulai berbicara beberapa patah kata (kosa katanya dapat
mencapai 200-300).
1) Tahap Linguistik
Pada usia 2-6 tahun atau lebih, pada tahap ini ia mulai belajar
tata bahasa dan perkembangan kosa katanya mencapai 3000 buah.
2. Perkembangan Bahasa pada Masa Pertengahan dan Akhir Anak-anak
a. Perbendaharaan Kata dan Tata Bahasa
Selama masa pertengahan dan akhir anak-anak, suatu perubahan terjadi
pada cara anak-anak berpikir tentang kata-kata. Mereka menjadi kurang
terikat dengan tindakan-tindakan dan dimensi-dimensi perseptual yang
berkaitan dengan kata-kata, dan pendekatan mereka menjadi lebih analitis
terhadap kata-kata. Anak-anak membuat kemajuan-mekajuan yang sama
di dalam tata bahasa. Peningkatan penalaran logis dan keterampilan
analitis anak sekolah dasar menolong mereka dalam memahami
konstruksi semacam penggunaan komparatif/perbandingan yang sesuai
dan kata-kata sifat.Pada akhir tahun-tahun sekolah dasar, anak-anak
biasanya dapat menerapkan banyak aturan tata bahasa secara tepat (de
Villiers & de Villiers, 1978).
b. Membaca
Membaca bukan sekadar metode sejumlah kata dan suara.
Keterampilan pemrosesan informasi juga terlibat di dalam membaca yang
berhasil (Hall, 1989; Rieben & Perfetti, 1991). Ketika anak-anak
membaca, mereka memproses informasi dan menginterpretasikannya
sehingga membaca merupakan suatu contoh yang praktis untuk
mengilustrasikan pendekatan pemrosesan informasi.
c. Menulis
Ketika anak-anak mulai menulis, anak-anak seringkali
menciptakaan ejaan. Orangtua dan guru seharusnya mendukung
pembelajaran menulis anak-anak, namun tidak perlu terlalu
memedulikan pembentukan kata atau pengejaan. Mengoreksi
pengucapan harus dilakukan secara selektif dan positif sehingga tidak
mematahkan semangat spontanitas menulis anak.
d. Bilingualisme
Bilingual education mengacu pada program bagi murid-murid
yang kemampuan berbahasa Inggrisnya terbatas, yang mengajar murid-
murid di kelas dalam bahasa mereka sendiri, separuh waktu, sementara
mereka belajar bahasa Inggris.(W. Santrock, Life-Span Development
5th edition 1996).
3. Faktor yang Mempengaruhi pada Remaja
a. Pendidikan
Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka komunikasi
berlangsung secara efektif.
b. Pengetahuan
Semakin banyak pengetahuan yang didapat maka komunikasi
berlangsung secara efektif.
c. Sikap
Sikap mempengaruhi dalam berkomunikasi. Bila komunikan bersifat
pasif / tertutup maka komunikasi tidak berlangsung secara efektif.
d. Kondisi Lingkungan
Lingkungan tempat anak tumbuh dan berkembang memberi andil yang
cukup besar dalam berbahasa. Perkembangan bahasa di lingkungan
perkotaan akan berbeda dengan di lingkungan pedesaan. Begitu pula
perkembangan bahasa di daerah pantai, pegunungan dan daerah- daerah
terpencil dan di kelompok sosial lain.
e. Kecerdasan Anak
Untuk meniru lingkungan tentang bunyi atau suara, gerakan, dan
mengenal tanda- tanda memerlukan kemampuan motorik yang baik.
Kemampuan motorik seseorang berkolerasi positif dengan kemampuan
intelektual atau tingkat berpikir. Ketepatan meniru, memproduksi
perbendaharaan kata- kata yang di ingat, kemampuan menyusun kalimat
dengan baik, dan memahami atau menangkap maksud pernyataan pihak
lain, amat dipengaruhi oleh kerja pikir atau kecerdasan seseorang anak.
f. Status Sosial Ekonomi Keluarga
Keluarga yang berstatus sosial ekonomi baik, akan mampu
menyediakan situasi yang baik baagi perkembangan bahasa anak- anak
dan anggota keluarganya. Rangsangan untuk dapat di tiru oleh anak- anak
dan anggota keluarga yang status sosial rendah. Hal ini akan tampak
perbedaan perkembangan bahasa bagi anak yang hidup di dalam keluarga
terdidik dan tidak terdidik. Dengan kata lain pendidikan keluarga
pengaruh pula terhadap perkembangan bahasa. (Yusuf, 2004).
E. Emosi
Menurut Asrori (dalam Azmi, 2015, p. 39), secara garis besar, karakteristik
emosi remaja ialah sebagai berikut
1. Periode Remaja Awal
Selama periode ini perkembangan gejala fisik yang semakin tampak
jelas adalah perubahan fungsi alat-alat kelamin. Karena perubahan alat-alat
kelamin serta perubahan fisik yang semakin nyata ini, remaja seringkali
megalami kesulitan dalam menyesuaikan diri denngan perubahan-perubahan
itu. Akibatnya tidak jarang mereka cenderung menyendiri sehingga tidak
jarang pula merasa terasing, kurang perhatian dari orang lain, atau bahkan
merasa tidak ada orang yang mau mempedulikannya. Kontrol terhadap
dirinya bertambah sulit dan mereka cepat marah dengan cara-cara yang
kurang wajar untuk meyakinkan dunia sekitarnya. Perilaku seperti ini
sesunguhnya terjadi karena adanya kecemasan terhadap dirinya sendiri
sehingga muncul dalam reaksi yang kadang-kadang tidak wajar.
2. Periode Remaja Tengah
Tanggung jawab hidup yang harus semakin ditingkatkan oleh remaja
untuk dapat menuju kearah mampu memikul sendiri seringkali
menimbulkan masalah tersendiri bagi remaja. Karena tuntutan peningkatan
tanggung jawab ini tidak hanya datang dari orang tua atau anggota
keluarganya melainkan juga dari masyarakat sekitarnya, maka tidak jarang
masyarkat juga terbawa-bawa menjadi masalah bagi remaja. Melihat
fenomena yang sering terjadi dalam masyrakat yang seringkali juga
menunjukkan adanya kontradiksi dengan nilai-nilai moral yang mereka
ketahui, maka tidak jarang juga remaja mulai meragukan tentang apa yang
disebut baik atau buruk. Akibatnya, remaja seringkali ingin membentuk
nilai-nilai mereka sendiri yang mereka anggap benar, baik dan pantas untuk
dikembangkan dikalangan mereka sendiri. Lebih-lebih jika orang tua atau
orang dewasa sekitarnya ingin memaksakan nilai-nilainya agar dipatuhi oleh
remaja tanpa disertai dengan alasan yang masuk akal menurut mereka atau
bahkan orang tua atau orang dewasa menunjukkan prilaku yang tidak
konsisten dengan nilai-nilai yang dipaksakannya itu.
Pada masa remaja tengah, biasanya remaja benar-benar mulai jatuh
cinta dengan teman lawan jenisnya. Gejala ini sebenarnya sehat bagi remaja,
tetapi tidak jarang juga menimbulkan konflik atau gangguan emosi pada
remaja jika tidak diikuti bimbingan dari orang tua atau orang lebih dewasa.
Oleh sebab itu, tidak jarang orang tua justru merasa tidak gembira atau
bahkan cemas ketika anak remajanya jatuh cinta. Gangguan emosional yang
mendalam dapat terjadi ketika cinta remaja tidak terjawab atau karena
pemutusan hubungan cinta dari satu fihak sehingga dapat menimbulkan
kecemasan bagi orang tua dan bagi remaja itu sendiri.
3. Periode Remaja Akhir
Selama periode ini remaja memandang dirinya sebagai orang dewasa
dan mulai mampu menunjukkan pemikiran, sikap, dan perilaku yang makin
dewasa. Oleh sebab itu, orang tua dan masyarakat mulai memberikan
kepercayaan yang selayaknya kepada mereka. Interaksi dengan orang tua
juga menjadi semakin bagus dan lancar karena mereka sudah semakin
memiliki kebebasan yang relative terkendali dan emosinya pun mulai stabil.
Pilihan arah hidup sudah semakin jelas dan mulai mampu mangambil pilihan
serta keputusan tentang arah hidupnya secara lebih bijaksana meskipun
belum bias secara penuh. Mereka juga mulai memilih cara-cara hidup yang
dapat dipertanggungjawabkan terhadap dirinya sendiri, orang tua, dan
masyarakat.
F. Sosial
Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa kehidupan anak-anak dan
masa kehidupan orang dewasa yang ditandai dengan pertumbuhan dan
perkembangan biologis dan psikologis. Secara biologis ditandai dengan tumbuh
dan berkembangnya seks primer dan seks sekunder sedangkan secara psikologis
ditandai dengan sikap dan perasaan, keinginan dan emosi yang labil atau tidak
menentu.
Hurlock (1990) membagi fase remaja menjadi masa remaja awal dengan usia
antara 13-17 tahun dan masa remaja akhir usia antara 17-18 tahun. Masa remaja
awal dan akhir menurut Hurlock memiliki karakteristik yang berbeda dikarenakan
pada masa remaja akhir individu telah m encapai transisi perkembangan yang lebih
mendekati dewasa.
Menurut Desmita (2011) masa remaja ditandai dengan sejumlah karakteristik
penting yang meliputi pencapaian hubungan yang matang dengan teman sebaya,
dapat menerima dan belajar peran sosial sebagai pria atau wanita dewasa yang
dijunjung tinggi oleh masyarakat, menerima keadaan fisik dan mampu
menggunakanya secara efektif, mencapai kemandirian emosional dari orang tua
dan orang dewasa lainnya, memilih dan mempersiapkan karier dimasa depan
sesuai dengan minat dan kemampuannya, mengembangkan sikap positif terhadap
pernikahan hidup berkeluarga dan memiliki anak, mengembangkan keterampilan
intelektual dan konsep-konsep yang diperlukan sebagai warga negara, mencapai
tingkah laku yang bertanggung jawab secara sosial dan memperoleh seperangkat
nilai dan sistem etika sebagai pedoman dalam bertingkah laku. (Hidayati & Farid,
2016).
1. Aspek Perkembangan Sosial Remaja Berdasarkan Tingkat Perkembangan
American Academy of Child and Adolescent Psychiatry membagi tahapan
perkembangan remaja menjadi 3 (tiga) bagian yaitu, remaja awal, remaja
pertengahan dan remaja akhir. Perkembangan dalam aspek sosial,
diantaranya:
a. Remaja Awal
Remaja pada tahapan ini mulai berusaha menunjukkan identitas
dirinya, muncul perasaan canggung saat bertemu dengan seseorang,
konflik dengan orang tua meningkat, pengaruh teman sebaya sangat
besar, memiliki perasaan bebas dan tidak mau diatur, memiliki
kecenderungan berperilaku kekanak-kanakan khususnya jika mereka
mengalami stress, sifat moody meningkat, ketertarikan kepada lawan
jenis juga meningkat.
b. Remaja Tengah
Pada periode ini, remaja mulai melibatkan diri secara intens
dalam sebuah kegiatan yang ia senangi, mengalami perubahan dari
harapan yang tinggi tetapi dengan konsep diri yang kurang. Body Image
terus berlanjut, kecenderungan untuk jauh dari orang tua semakin
meningkat dan semakin ingin bebas dari orang tua, pengaruh teman
sebaya juga masih sangat kuat, issu popularitas bisa mejadi sangat
penting dalam periode ini, perasaan cinta dan gairah pada lawan jenis
semakin meningkat.
c. Remaja Akhir
Identitas diri semakin kuat, termasuk identitas seksual, stabilitas
emosi dan kepedulian terhadap orang lain semakin meningkat, semakin
mandiri, hubungan antar teman sebaya tetap menjadi issu yang penting
dan hubungan dengan lawan jenis semakin serius. (Manjilala, 2012).
G. Moral
Istilah moral berasal dari kata Latin mores yang artinya tata cara dalam
kehidupan, adat istiadat, atau kebiasaan (Gunarsa, 1986). Moral merupakan
standar baik-buruk yang ditentukan bagi individu oleh nilai-nilai sosial budaya di
mana individu sebagai anggota sosial (Rogers, 1977). Moralitas merupakan aspek
kepribadian yang diperlukan seseorang seseorang dalam kaitannya dengan
kehidupan sosial secara harmonis, adil dan seimbang. Perilaku moral diperlukan
demi terwujudnya kehidupan yang damai penuh keteraturan, ketertiban dan
keharmonisan. (Ali & Asrori, 2011).
John Dewey yang kemudian dijabarkan oleh Jean Piaget (Kohlberg, 1995)
mengemukakan tiga tahap perkembangan moral.
1. Tahap pramoral
Ditandai bahwa anak belum menyadari keterikatannya pada aturan.
2. Tahap konvensional
Ditandai dengan berkembangnya kesadaran akan ketaatan pada kekuasaan.
3. Tahap otonom
Ditandai dengan berkembangnya keterikatan pada aturan yang didasarkan
pada resiprositas.
Adapun tahap-tahap perkembangan moral yang sangat dikenal ke seluruh
dunia adalah berdasarkan penelitian empiris yang dilakukan Kohlberg pada tahun
1958, sekaligus menjadi disertasi doktornya dengan judul The Developmental of
Model of Moral Think and Choice in the Years 10 to 16, seperti tertuang dalam
buku Tahap-Tahap Perkembangan Moral (1995), tahap-tahap perkembangan
moral dapat dibagi sebagai berikut:
1. Tingkat Pra Konvensional
Pada tingkat ini anak tanggap terhadap aturan-aturan budaya dan
terhadap ungkapan-ungkapan budaya mengenai baik dan buruk, benar dan
salah. Akan tetapi hal ini semata ditafsirkan dari segi sebab akibat fisik atau
kenikmatan perbuatan (hukuman, keuntungan, pertukaran dan kebaikan).
Tingkatan ini dapat dibagi menjadi dua tahap:
a. Tahap 1: Orientasi hukuman dan kepatuhan
Akibat-akibat fisik suatu perbuatan menentukan baik buruknya,
tanpa menghiraukan arti dan nilai manusiawi dari akibat tersebut.
Anak hanya semata-mata menghindarkan hukuman dan tunduk kepada
kekuasaan tanpa mempersoalkannya. Jika ia berbuat “baik’, hal itu
karena anak menilai tindakannya sebagai hal yang bernilai dalam
dirinya sendiri dan bukan karena rasa hormat terhadap tatanan moral
yang melandasi dan yang didukung oleh hukuman dan otoritas.
d. Tahap 2: Orientasi Relativis-instrumental
Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang merupakan cara
atau alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang
juga kebutuhan orang lain. Hubungan antar manusia dipandang seperti
hubungan di pasar (jual-beli). Terdapat elemen kewajaran tindakan
yang bersifat resiprositas (timbal-balik) dan pembagian sama rata,
tetapi ditafsirkan secara fisik dan pragmatis. Resiprositas ini
merupakan tercermin dalam bentuk: “jika engkau menggaruk
punggungku, nanti juga aku akan menggaruk punggungmu”. Jadi
perbuatan baik tidaklah didasarkan karena loyalitas, terima kasih atau
pun keadilan.
4. Tingkat Konvensional
Pada tingkat ini anak hanya menuruti harapan keluarga, kelompok atau
bangsa. Anak memandang bahwa hal tersebut bernilai bagi dirinya
sendiri, tanpa mengindahkan akibat yang segera dan nyata. Sikapnya
bukan hanya konformitas terhadap harapan pribadi dan tata tertib sosial,
melainkan juga loyal (setia) terhadapnya dan secara aktif
mempertahankan, mendukung dan membenarkan seluruh tata-tertib atau
norma-norma tersebut serta mengidentifikasikan diri dengan orang tua
atau kelompok yang terlibat di dalamnya. Tingkatan ini memiliki dua
tahap:
a. Tahap 3: Orientasi kesepakatan antara pribadi atau orientasi “anak
manis”
Perilaku yang baik adalah yang menyenangkan dan membantu
orang lain serta yang disetujui oleh mereka. Pada tahap ini terdapat
banyak konformitas terhadap gambaran stereotip mengenai apa itu
perilaku mayoritas atau “alamiah”. Perilaku sering dinilai menurut
niatnya, ungkapan “dia bermaksud baik” untuk pertama kalinya
menjadi penting. Orang mendapatkan persetujuan dengan menjadi
“baik”.
b. Tahap 4 : Orientasi hukuman dan ketertiban
Terdapat orientasi terhadap otoritas, aturan yang tetap dan
penjagaan tata tertib/norma-norma sosial. Perilaku yang baik adalah
semata-mata melakukan kewajiban sendiri, menghormati otoritas dan
menjaga tata tertib sosial yang ada, sebagai yang bernilai dalam dirinya
sendiri.
5. Tingkat Pasca-Konvensional (Otonom/Berlandaskan Prinsip)
Pada tingkat ini terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan nilai-nilai
dan prinsip moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan,
terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip-
prinsip itu dan terlepas pula dari identifikasi individu sendiri dengan
kelompok tersebut. Ada dua tahap pada tingkat ini:
a. Tahap 5: Orientasi kontrak sosial Legalitas
Pada umumnya tahap ini amat bernada semangat utilitarian.
Perbuatan yang baik cenderung dirumuskan dalam kerangka hak dan
ukuran individual umum yang telah diuji secara kritis dan telah
disepakati oleh seluruh masyarakat. Terdapat kesadaran yang jelas
mengenai relativitas nilai dan pendapat pribadi sesuai dengannya.
Terlepas dari apa yang telah disepakati secara konstitusional dan
demokratis, hak adalah soal “nilai” dan “pendapat” pribadi. Hasilnya
adalah penekanan pada sudut pandangan legal, tetapi dengan
penekanan pada kemungkinan untuk mengubah hukum berdasarkan
pertimbangan rasional mengenai manfaat sosial (jadi bukan
membekukan hukum itu sesuai dengan tata tertib gaya seperti yang
terjadi pada tahap 4). Di luar bidang hukum yang disepakati, maka
berlaku persetujuan bebas atau pun kontrak. Inilah “ moralitas resmi”
dari pemerintah dan perundang-undangan yang berlaku di setiap
negara.
b. Tahap 6 : Orientasi Prinsip Etika Universal
Hak ditentukan oleh keputusan suara batin, sesuai dengan
prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri dan yang mengacu pada
komprehensivitas logis, universalitas, konsistensi logis. Prinsip-
prinsip ini bersifat abstrak dan etis (kaidah emas imperatif kategoris)
dan mereka tidak merupakan peraturan moral konkret seperti
kesepuluh Perintah Allah. Pada hakikat inilah prinsip-prinsip
universal keadilan, resiprositas dan persamaan hak asasi manusia
serta rasa hormat terhadap manusia sebagai pribadi individual.
H. Agama
Masa remaja merupakan periode dimana individualisme semakin
menampakkan wujudnya, pada masa ini memungkinkan mereka untuk menerima
tanggung jawab atas perilaku mereka sendiri dan menjadi sadar terlibat pada
perkara hal, keinginan, cita-cita yang mereka pillih. Masa muda merupakan tahap
yang penting dalam pertumbuhan religius (Zakiah, 2009).
Untuk lebih jelasnya, penulis membagi masa perkembangan remaja ini dalam
tiga
tahap, yaitu:
1. Masa Remaja Awal (usia 13-15)
Pada masa ini terjadi perubahan jasmani yang cepat, sehingga
memungkinkan terjadinya kegoncangan emosi, kecemasan, dan
kekhawatiran. Bahkan, kepercayaan agama yang telah tumbuh pada umur
sebelumnya, mungkin pula mengalami kegoncangan. Kepercayaan kepada
Tuhan kadang-kadang sangat kuat, akan tetapi kadang-kadang menjadi
berkurang yang terlihat pada cara ibadahnya yang kadang-kadang rajin dan
kadang-kadang malas. Penghayatan rohani cenderung skeptis sehingga
muncul keengganan dan kemalasan untuk melakukan berbagai kegiatan ritual
yang selama ini dilakukannya dengan penuh kepatuhan.
Kegoncangan dalam keagamaan ini mungkin muncul, karena
disebabkan oleh faktor internal maupun eksternal. Faktor internal berkaitan
dengan matangnya organ seks, yang mendorong remaja untuk memenuhi
kebutuhan tersebut, namun di sisi lain ia tahu bahwa perbuatannya itu dilarang
oleh agama. Kondisi ini menimbulkan konflik pada diri remaja. Faktor
internal lainnya adalah bersifat psikologis, yaitu sikap independen, keinginan
untuk bebas, tidak mau terikat oleh norma-norma/aturan keluarga (orangtua).
Apabila orangtua atau guru-guru kurang memahami dan mendekatinya secara
baik, bahkan dengan sikap keras, maka sikap itu akan muncul dalam bentuk
tingkah laku negatif, seperti membandel, oposisi, menentang atau menyendiri,
dan acuh tak acuh (Yusuf, 2009).
2. Masa Remaja Madya (usia 16-18)
Gejala masa remaja pada tahap ini ialah mengidolakan sesuatu
(mendewa-dewakan). Di dalam fase atau masa negatif untuk pertama kalinya
remaja sadar akan kesepian yang tidak pernah dialaminya pada masa-masa
sebelumnya. Kesepian di dalam penderitaan, yaitu tidak ada orang yang dapat
mengerti dan memahaminya dan tidak ada yang dapat memenangkannya.
Reaksi pertama-tama terhadap sekitarnya yang dirasanya sebagai sikap
menelantarkan dan memusuhinya. Langkah yang selanjutnya ialah kebutuhan
akan adanya teman yang dapat memahami dan menolongnya, teman yang
dapat turut merasakan suka dan dukanya. Di sini mulai tumbuh dalam diri
remaja dorongan untuk mencari pedoman hidup, mencari sesuatu yang dapat
dipandang bernilai, pantas dijunjung tinggi, dan dipuja-puja. Pada masa ini
remaja mengalami kegoncangan batin, sebab dia tidak mau lagi menggunakan
sikap dan pedoman hidup kanak-kanaknya, tetapi belum mempunyai pedoman
hidup yang baru.
3. Masa Remaja Akhir (usia 19-21)
Masa remaja terakhir dapat dikatakan bahwa anak pada waktu itu dari
segi jasmani dan kecerdasan telah mendekati kesempurnaan. Yang berarti
bahwa tubuh dengan seluruh anggotanya telah dapat berfungsi dengan baik,
kecerdasan telah dianggap selesai pertumbuhannya, tinggal pengembangan
dan penggunaannya saja yang perlu diperhatikan.
Pertumbuhan dan perkembangan jasmani, serta kecerdasan yang telah
mendekati sempurna, atau dalam istilah agama mungkin dapat dikatakan telah
mencapai tingkat baligh-berakal, maka remaja itu merasa bahwa dirinya telah
dewasa dan dapat berpikir logis. Di samping itu pengetahuan remaja juga telah
berkembang pula, berbagai ilmu pengetahuan yang diajarkan oleh bermacam-
macam guru sesuai dengan bidang keahlian mereka masing-masing telah
memenuhi otak remaja. Remaja saat itu sedang berusaha untuk mencapai
peningkatan dan kesempurnaan pribadinya, maka mereka juga ingin
mengembangkan agama, mengikuti perkembangan dan alur jiwanya ynag
sedang bertumbuh pesat itu.
I. Kepribadian
Perkembangan kepribadian adalah perubahan cara individu berhubungan
dengan dunia dan menyatakan emosi secara unik, perkembangan kepribadian yang
penting pada masa remaja adalah pencarian identitas diri. Dalam ilmu psikologi,
kepribadian diartikan sebagai karakteristik atau cara bertingkah laku yang
menentukan penyesuaian dirinya yang khas terhadap lingkungannya (Agustina,
2006).
1. Pertumbuhan dan perkembagan kepribadian remaja awal
Hurlock (2004) berpendapat bahwa pada awal remaja individu umumnya
kehilangan rasa percaya diri. Dengan terjadinya perubahan dimana konsep diri
yang mengalami perubahan menimbulkan kekhawatiran identitas diri yang
dimiliki oleh remaja. Remaja awal laki-laki dan perempuan menyadari sifat-
sifat yang baik dan buruk. Penilaian mereka terhadap sifat-sifat itu yang sesuai
dengan teman sebayanya (Al-Mighwar, 2006).
Gardon W. Allport mengidentifikasi pribadi sebagai organisasi yang dinamis
dalam sistem fisik psikis, yang menentukan keunikan seseorang dalam
menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Dikatakan unik karena kepribadian
merupakan bentukan dari faktor internal, seperti pembawaan yang melekat
pada organism dan citra diri, dan faktor eksternal, seperti pengaruh lingkungan,
khususnya lingkungan sosial. Karena kualitas dan kuantitas kedua faktor yang
mempengaruhi ini berbeda-beda, sehingga kepribadian seseorang pun,
termasuk remaja awal menjadi unik (Al-Mighwar, 2006).
2. Pertumbuhan dan perkembangan kepribadian remaja akhir
Pada masa remaja akhir, mereka menyadari apa yang membentuk
kepribadian yang menyenangkan. Mereka akan mengetahui sifat apa saja yang
dikagumi teman sejenis dan lawan jenis. Menurut, E. L. Kelly berpendapat
bahwa sepanjang masa remaja, setiap remaja berusaha mempersiapkan untuk
memasuki masa dewasa. Kondisi pribadi, sosial, dan moral remaja akhir berada
dalam peride kritis. Perkembangan pribadi remaja akhir yang mulai mantap
akan menjadi landasan hidupnya pada masa dewasa, terutama dalam menilai
diri.
Kepribadian remaja akhir juga dipengaruhi oleh faktor internal, terutama
citra diri dan rasa percaya diri, dan faktor eksternal, terutama lingkungan sosial.
Kedua faktor yang mempengaruhi perkembangan kepribadian remaja akhir
dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Penampilan yang komprehensif, baik fisik maupun psikis, yang membuat
remaja memiliki citra diri dan percaya diri yang tinggi.
b. Nama atau panggilan, yang sangat memengaruhi terhadap rasa percaya
diri.
c. Teman sebaya, yang mempengaruhi adanya penilaian diri yang positif
atau negative.
Kondisi keluarga, sikap mendidik orang tua, pergaulan dan bentuk interaksi
anggota yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan pribadi, citra diri
yang sehat, dan adanya rasa percaya diri pada remaja (Al-Mighwar, 2006).
J. Karir
Super (dalam Rojewski, Wicklein, & Schell, 1995) menjelaskan terdapat lima
tahap tugas perkembangan karir individu yaitu growth, exploration, establishment,
maintenance, dan withdrawal. Kematangan karir remaja berada pada tahap
eksplorasi (15-24 tahun), dimana mereka sudah melewati tahap sebelumnya
(Super dalam Savickas, 2001). Pada tahapan ini individu mengeksplorasi beragam
jenis pekerjaan, menilai dirinya sendiri, dan sudah memikirkan berbagai alternatif
karir yang sesuai dengan kemampuannya (Yusanti, 2015). Remaja yang matang
karirnya akan mampu menyelesaikan tahap perkembangan karir mereka (Rahmi
& Puspasari, 2017).
Menurut Donald E. Super (dalam Cossette & Allison, 2007) membagi
perkembangan karir menjadi lima tahapan, yaitu:
3. Fase Pertumbuhan (Growth)
Tahap ini dimulai dari usia empat sampai dengan 13 tahun. Konsep diri
yang dimiliki oleh seseorang dibentuk melalui identifikasi terhadap tokoh inti
dalam keluarga dan lingkungan sekolah. Tugas perkembangan ini adalah
untuk menjadi lebih perhatian terhadap masa depannya dan menentukan
orientasi di masa depan, meningkatkan kontrol diri terhadap hidupnya,
meyakinkan diri untuk dapat berprestasi secara akademik di sekolah, dan
memilih tingkah laku dan kebiasaan yang kompeten untuk bekerja (Anjarwati,
2014).
4. Tahap Eksplorasi (Exploration)
Tahap ini berada pada rentang usia 14 sampai dengan 24 tahun, dimana
didalamnya terdapat penggalian sosial yang sesuai dengan dirinya dari dalam
dan luar dunianya. Pencarian informasi ini melibatkan perilaku remaja dari
karir impian menjadi pekerja sesungguhnya melalui tiga proses. Proses karir
impian menjadi pertama, kristalisasi yang muncul ketika empat tugas ditahap
sebelumnya (growth stage) sudah terpenuhi. Seseorang mengembangkan dan
merencanakan tujuan karir tentatifnya berdasarkan informasi yang didapat
dari lingkungan sekitar. Seseorang sudah memiliki identitas vokasionalnya
dengan prefensi dari kelompok kerja dengan tingkat kemampuan tertentu
(Super et al, 1996 dalam Cossette & Allison, 2007). Proses kedua berupa
spesifikasi dari pilihan karir yang membutuhkan individu untuk menggali
lebih dalam tentang karirnya dan beralih dari karir tentatif tersebut menjadi
karir yang spesifik. Mengubah konsep diri vokasional pribadi menjadi peran
karir umum yang melibatkan proses psikososial dalam pembentukan identitas
(Savickas, 2002 dalam Cossette & Allison, 2007). Kemudian pada proses
yang terakhir adalah implementasi atau aktualisasi, dimana individu membuat
suatu pilihan dengan melakukan aksi berdasarkan prose pelatihan dan
merasakan sendiri pekerjaan-pekerjaan dalam satu karir (Anjarwati, 2014).
DAFTAR PUSTAKA
Agustina, H. (2006). Psikologi Perkembangan Pendekatan Ekologi Kaitannya dengan
Konsep Diri dan Penyesuaian Diri pada Remaja. Bandung: Refika Aditama
Al-Mighwar, M. (2006). Psikologi Remaja. Bandung: Pustaka Setia
Ali, M., & Asrori, M. (2011). PSIKOLOGI REMAJA Perkembangan Peserta Didik.
Jakarta: PT Bumi Aksara.
Anjarwati, A. (2014). HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KONSEP DIRI DENGAN
TINGKAT KEMATANGAN KARIR PADA SISWA KELAS XI SMK
TARUNA JAYA GRESIK. Tesis.
Azmi, N. (2015). Potensi Emosi Remaja dan Pengembangannya. Sosial Horizon:
Jurnal Pendidikan Sosial, 2(1), 36–46. Retrieved from
journal.ikippgriptk.ac.id/index.php/sosial/article/.../49
Cole, L. (1959). Psychology of Adolescence. New York: Rinehart & Company, Inc
Gunarsa. (1986). Pengantar Psikologi. Jakarta: Mutiara .
Hidayati, K. B., & Farid, M. (2016). Konsep Diri, Adversity Quotient dan Penyesuaian
Diri pada Remaja . PERSONA (Jurnal Psikologi Indonesia), 137-138.
Hurlock, E. (1978). Child Development . Jakarta: Erlangga
Hurlock, E. B. (2004). Developmental Psychology. Alih Bahasa Istiwidayanti
dan Soedjarwo. Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga

Kohlberg, L. E. (1995). Tahap-Tahap Perkembangan Moral. Yogyakarta: Kanisius.


Manjilala. (2012, 06 22). Tahap Perkembangan Remaja. Retrieved from Manjilala:
http://manjilala.info/tahapan-perkembangan-remaja/
Nippold, M. A. (2006). Language Development in School-Age Children, Adolescents,
and Adults. Research Gate, 369.
Pendidikan Profesi Guru (PPG). (2019). Modul Perkembangan Peserta Didik. online.
(diakses dari) http://ftik.iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2019/06/
MODUL-PERKEMBANGAN-PESERTA-DIDIK.pdf.
Rahmi, F., & Puspasari, D. (2017). KEMATANGAN KARIR DITINJAU DARI
JENIS KELAMIN DAN JENIS SEKOLAH DI KOTA PADANG. Jurnal RAP
UNP.
Rogers, C. (1977). Psychology of Adolescence. Third Edition. New Jersey: Prentice-
Hall, Inc.
Slavin Robert E. (2011). Psikologi Pendidikan Teori dan Praktik. Jakarta: PT. Indeks.
Suherman, M. S. (2005). Psikologi Kognitif. Surabaya: Srikandi
Sukamti, E. R. (2007). Perkembangan Motorik. Yogyakarta: FIK UNY.
Ustad MJ STIT Al-Amin. (2012). Teori Perkembangan Kognitif dalam Proses Belajar
Mengajar. Jurnal Edukasi, 45-46.
W. Santrock, J. ( 1996). Life-Span Development 5th edition. Texas, Dalas: Brown and
Benchmark: Times Mirror International Publisher Ltd.
Yusuf, S. (2004, November 29). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung:
PT. Rosda Karya. Retrieved from
http://hendrapgmi.blogspot.co.id/2012/11/perkembangan-bahasa-pada-
anak.html
Yusuf, S. (2009). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Zakiah, D. (2009). Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: PT. Bulan Bintang.

Anda mungkin juga menyukai