Anda di halaman 1dari 68

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Istilah tumbuh kembang sebenarnya mencakup dua peristiwa yang sifatnya berbeda

tetapi saling berkaitan dan sulit dipisahkan, yaitu pertumbuhan dan perkembangan.

Pertumbuhan berkaitan dengan masalah perubahan dalam besar, jumlah, ukuran atau

dimensi tingkat sel, organ maupun individu, yang bisa diukur dengan ukuran (gram,

pound, kilogram), ukuran panjang (cm, meter), umur tulang, dan keseimbangan

metabolik (retensi kalsium dan nitrogen tubuh). Perkembangan adalah bertambahnya

kemampuan (skill) dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola

yang teratur dan dapat diramalkan, sebagai hasil dari proses pematangan. Disini

menyangkut adanya proses diferensiasi dari sel-sel tubuh, jaringan tubuh, organ-organ

dan sistem organ yang berkembang sedemikian rupa sehingga masing-masing dapat

memenuhi fungsinya.

Masa tumbuh kembang anak pada tahun-tahun awal kelahiran merupakan masa

dimana terjadi perkembangan sinapsis yang luar biasa. Pada puncaknya, korteks

serebral dari balita yang sehat dapat membuat dua juta sinapsis per detik (Zero To

Three 2012 dalam Welfare & Gateway 2015). Perkembangan sinapsis pada anak usia

dua tahun terjadi sekitar 100 triliun sinapsis, lebih banyak dari yang diperlukan oleh

anak. Pada usia tiga tahun, otak bayi mencapai 90% dari ukuran dewasa. Pertumbuhan

pada setiap daerah di dalam otak tergantung dari stimulasi yang diberikan (Welfare &

Gateway, 2015).

1
Seorang dokter bedah kebangsaan Inggris bernama William Little pertama kali

mendeskripsikan satu penyakit yang pada saat itu membingungkan yang menyerang

anak-anak pada usia tahun pertama, yang menyebabkan kekakuan otot tungkai dan

lengan. Anak-anak tersebut mengalami kesulitan memegang obyek, merangkak dan

berjalan. Penderita tersebut tidak bertambah membaik dengan bertambahnya usia tetapi

juga tidak bertambah memburuk. Kondisi tersebut disebut Little’s Disease selama

beberapa tahun, yang saat ini dikenal sebagai spastik diplegia. Penyakit ini merupakan

salah satu dari penyakit yang mengenai pengendalian fungsi pergerakan dan

digolongkan dalam terminologi cerebral palsy atau umunya disingkat CP

Cerebral Palsy (CP) adalah salah satu penyakit kronis yang ditandai dengan

gangguan postur dan gerak nonprogresif. Spatisitas menyebabkan gangguan postur

tubuh,gerak control, keseimbangan dan koordinasi sehingga akan mengganggu aktivitas

fungsional anak dengan CP(deformitas) (Rahma, 2017). Cerebral palsy adalah

kecacatan motorik yang paling umum dimasa tumbuh-kembang seorang anak. Cerebral

palsy adalah kecacatan yang 2 berhubungan dengan gangguan di otak. Palsy sendiri

dapat diartikan dengan kelemahan atau masalah yang berhubungan dengan otot. Pada

masa anak-anak otak akan berkembang, dan perkembangan otak akan berhenti ketika

seorang anak berusia 6-7 tahun. Cerebral palsy disebabkan oleh perkembangan otak

yang tidak normal atau kerusakan pada otak yang sedang berkembang dimana dapat

memengaruhi kemampuan seseorang untuk mengendalikan otot-ototnya.3 Istilah

cerebral palsy, yang dipergunakan secara luas, meliputi kelainan sistem saraf yang

ditandai dengan gejala kelumpuhan pada masa bayi atau kanak-kanak

2
Anak yang memiliki kondisi disabilitas atau disebut dengan anak berkebutuhan

khusus. Berdasarkan data dari BPS (Badan Pusat Statistik) pada tahun 2017,

menyatakan bahwa jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) di Indonesia mencapai

angka 1,6 juta anak dengan beragam jenis gangguan. Salah satu ragam jenis dari anak

berkebutuhan khusus adalah anak dengan disabilitas fisik, khususnya cerebral palsy.

Terdapat 17 juta orang dengan cerebral palsy tersebar di seluruh dunia

(https://worldcpday.org/diakses pada Minggu 26 Mei 2019). Data Riset Kesehatan

Dasar (Riskesdas). Kementrian Kesehatan RI pada tahun 2010 enunjukkan jumlah

penyandang CP pada anak usia 24- 59 bulan adalah 0,09% dari jumlah keseluruhan

penduduk Indonesia dengan usia yang sama (Infodatin, 2014).

Pada anak dengan cerebral palsy pada umumnya mengalami keterlambatan pada

tumbuh kembang. Fisioterapi berperan dalam meningkatkan kemampuan fungsional

agar penderita mampu hidup mandiri sehingga dapat mengurangi ketergantungan

terhadap orang lain. Salah satu pendekatan yang telah dikembangkan untuk menangani

kondisi CP adalah neuro developmental treatment (NDT).

Pada kasus anak di Mother and child RSUP dr.Wahidin Sudirohusodo berupa

kasus delayed development (usia 1 tahun denga usia perkembangan 6 bulan) akibat

cerebral palsy spastik hemiparese dextra et causa post op meningitis

3
BAB II

TINJAUAN KASUS

A. Tinjauan Tentang Tumbuh Kembang

1. Definisi Tumbuh Kembang

Depkes (2006, dalam Yuniarti, 2015) pertumbuhan ialah bertambahnya

ukuran dan jumlah sel serta jaringan intraseluler, bertambahnya ukuran fisik dan

struktur tubuh dalam arti sebagian atau keseluruhan. Pertumbuhan dapat di ukur

secara kuantitatif, yaitu dengan mengukur berat badan, tinggi badan, lingkar kepala

dan lingkar lengan atas terhadap umur, untuk mengetahui pertumbuhan fisik.

Perkembangan merupakan perubahan yang bersifat kuantitatif dan kualitatif.

Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan (skill) struktur dan fungsi tubuh

yang lebih kompleks, dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan, sebagai hasil

dari proses maturasi (Soetjaningsih, 2017).

2. Prinsip Tumbuh Kembang

Tumbuh kembang merupakan proses yang dinamis dan terus menerus.

Prinsip tumbuh kembang : Perkembangan merupakan hal yang teratur dan

mengikuti rangkaian tertentu, perkembangan merupakan hal yang kompleks, dapat

diprediksi, dengan pola konsisten dan kronologis dan perkembangan adalah sesuatu

yang terarah dan berlangsung terus menerus, dalam pola sebagai berikut (Dwienda,

dkk 2014) :

a. Cephalocaudal : merupakan rangkaian pertumbuhan berlangsung terus dari

kepala ke arah bawah bagian tubuh. Contohnya bayi biasanya menggunakan

4
tubuh bagian atas sebelum mereka menggunakan tubuh bagian bawahnya

(Santrock, 2012).

b. Proximodistal : perkembangan berlangsung terus dari daerah pusat (proximal)

tubuh ke arah luar tubuh (distal). Contohnya, anak-anak belajar

mengembangkan kemampuan tangan dan kaki bagian atas baru kemudian

bagian yang lebih jauh, dilanjutkan dengan kemampuan menggunakan telak

tangan dan kaki dan akhirnya jari-jari tangan dan kaki (Papilia, 2009).

c. Differentiation yaitu ketika perkembangan berlangsung terus dari yang mudah

ke arah yang lebih kompleks. Sedangkan sequential yaitu perkembang yang

kompleks, dapat diprediksi, terjadi dengan pola yang konsisten dan kronologis

seperti tengkurap-merangkak-berdiri- berjalan. Setiap individu cenderung

mencapai potensi maksimum perkembangannya (Yuniarti, 2015).

Gambar 2.1
Arah tumbuh kembang anak

3. Ciri-ciri Pertumbuhan dan Perkembangan

Menurut Hurlock EB, tumbuh kembang anak mempunyai ciri-ciri tertentu,

yaitu :

a. Perkembangan melibatkan perubahan (Development involves changes).

Perubahan pertumbuhan fisik (perubahan ukuran tubuh maupun proporsi tubuh,

5
ciri-ciri lama hilang, timbul ciriciri baru, bertambahnya fungsi dan

ketrampilan).

b. Perkembangan awal lebih kritis daripada perkembangan selanjutnya (Early

development is more critical than later development). Pada tumbuh kembang

anak, terdapat suatu aspek perkembangan yang sangat mendebarkan yaitu saat

pertama, seperti tersenyum pertama, kata pertama, berjalan pertama, dan lain-

lain. Hal tersebut sangat perting karena menentukan perkembangan selanjutnya.

c. Perkembangan adalah hasil dari maturasi dan proses belajar (Development is

the product of maturation and learning). Maturitas adalah kemampuan khas

yang berasal dari potensi genetik dan belajar adalah perkembangan yang berasal

dari latihan dan usaha.

d. Pola perkembangan dapat diramalkan (The development pattern is prdictable).

Arah perkembangan dapat diramalkan yaitu sefalokaudal dan proksimodistal.

Perkembangan motorik kasar berlangsung sefalokaudal yaitu mulai dari daerah

kepala kemudian kearah kaki. Sedangkan perkembangan motorik halus

mengikuti pola proksimodistal, sebagai contoh secara fungsional bayi dapat

menggunakan sebagai unit sebelum mereka dapat mengendalikan gerakan jari-

jarinya.

e. Pola perkembangan mempunyai karakteristik yang dapat diramalkan (The

developmental pattern has predictable characteristics).

f. Terdapat perbedaan individual dalam hal perkembangan (There are individual

differences in development).

6
g. Terdapat periode/ tahapan pada pola perkembangan (There are periods in the

developmental pattern).

h. Terdapat harapan sosial untuk setiap periode perkembangan (There are social

expectation for every developmental period).

i. Setiap area perkembangan mempunyai potensi risiko (Every area of

development has potential hazards).

4. Tahapan Pertumbuhan dan Perkembangan

Menurut Soetjiningsih (2017), tahapan pertumbuhan dan perkembangan adalah

sebagai berikut :

a. Masa Pranatal (konsep lahir), meliputi:

1) Masa zigot (mudigah) : masa konsepsi-8 minggu

2) Masa embrio : 2 minggu-8/12 minggu

3) Masa janin (fetus) : 9 minggu-kelahiran

b. Masa bayi, meliputi:

1) Masa neonatal : 0-28 hari

a) Neonatal dini (perinatal) : 0-7 hari

b) Neonatal lanjut : 8-28 hari

2) Masa pasca neonatal : 29 hari/12-15 bulan

c. Masa anak dini : Usia 1-3 tahun

d. Masa prasekolah : Usia 3-6 tahun

e. Masa sekolah

1) Masa praremaja : Usia 6-11 tahun

2) Masa remaja

7
a) Masa remaja dini : Usia 11-13 tahun

b) Masa remaja pertengahan : Usia 14-17 tahun

c) Masa remaja lanjut : Usia 17-20 tahun

5. Normal development

Menurut salah satu teori tumbuh kembang dari Ronald S Illingwort mileston

perkembangan motorik kasar sebagai berikut :

a. Usia 1 bulan

1) Posisi tengkurap : pola cenderung fleksi, dapat mengangkat sedikit lalu

kembali ke posisi semula.

2) Posisi terlentang : posisi kepala, badan lengan, dan tungkai dalam posisi

fleksi.

3) Posisi duduk : saat posisi duduk, badan belum bisa tegak, sedangkan posisi

kepala cenderung fleksi.

4) Posisi berdiri : saat diberdirikan akan timbul refleks seakan bayi ingin

melangkah dan berjalan (walking reflex).

b. Usia 2 bulan

1) Posisi tengkurap : lebih keposisi ekstensi, kepala dapat diangkat ke posisi

medial.

2) Posisi terlentang : posisi lebih ekstensi, kepala lateral fleksi.

3) Posisi duduk : cenderung ekstensi, dengan bantuan sepenuhnya saat duduk

(bersandar).

4) Posisi berdiri : tidak ada reaksi ingin berjalan atau melangkah.

8
c. Usia 3 bulan

1) Posisi tengkurap : bayi dapat mengangkat sedikit kepala dan badan (half

puppy).

2) Posisi terlentang : kepala bisa dipertahankan ke posisi medial, kedua

tangan dapat dibawa ke midline, kemudian mata mengikuti gerakan benda.

3) Posisi duduk : bayi masih duduk bersandar tetapi kepala masih bisa dibantu

sedikit (stabil).

4) Posisi berdiri : dengan bantuan ikut menumpu menggunakan tungkai dalam

keadaan abduksi dan fleksi.

d. Usia 4

1) Posisi tengkurap : gerakan ekstensi dominan, head control sudah cukup

baik, kepala dan badan dalam posisi rileks, half puppy lebih stabil.

2) Posisi terlentang : gerak fleksi lebih dominan.

3) Posisi duduk : kepala masih belum stabil, badan lebih ekstensi, lumbal

masih fleksi.

4) Merangkak : mulai belajar merangkak.

5) Posisi berdiri : dengan bantuan tungkai lurus kaki claw toes.

e. 5 bulan

1) Posisi tengkurap : menumpu dengan kedua lengan, bahu lebih stabil, reaksi

keseimbangan muncul.

2) Posisi terlentang : bermain dengan kaki, kadang ditarik ke mulut, hip dapat

diangkat ke atas jika lengan ditarik kedepan ikut duduk.

3) Posisi duduk : di kedua tungkai.

9
4) Posisi berdiri : jika ditarik saat posisi duduk bayi ikut berdiri dengan kaki

plantar fleks

f. 6 bulan

1) Posisi tengkurap : menumpu dengan lengan, kepala sudah bisa

hyperextensi, reaksi keseimbangan lebih baik.

2) Posisi terlentang : rolling mulai dari fleksi kepala dan diikuti hip, tidur

miring lalu tengkurap.

3) Posisi duduk : dengan bersandar tapi sebentar, reaksi keseimbangan masih

lemah, duduk dengan tumpuan masih lebar.

4) Merangkak : sambil duduk menggeser ke depan.

5) Posisi berdiri : dengan bantuan sudah bisa melompat lompat.

g. 7 bulan

1) Posisi tengkurap : berbalik ke terlentang, dari posisi merangkak dengan

rotasi badan ke posisi duduk

2) Posisi terlentang : berputar ke posisi duduk

3) Posisi duduk : keseimbangan badan mulai stabil, duduk tanpa sandaran,

dapat berputar dan bermain

4) Posisi berdiri : berdiri dengan bangtuan, bisa jongkok ke berdiri

h. 8-9 bulan

1) Posisi duduk : duduk lebih baik

2) Merangkak : sendiri dengan lutut dan bantuan tangan merangkak.

3) Posisi berdiri : lewat berlutut dengan bantuan tangan dapat berdiri.

4) Posisi berjalan : mulai bergeser kesamping sambil pegangan.

10
i. 10 bulan

1) Posisi terlentang : berguling sambil bermain.

2) Posisi duduk : duduk dengan posisi bergantian.

3) Merangkak : bergerak dengan cepat lalu duduk tanpa menumpu lewat lutut.

4) Posisi berdiri : dari posisi berlutut lalu berdiri dengan cepat.

5) Berjalan : dapat berjalan dengan bantuan tangan.

j. 11 bulan

1) Posisi duduk : bisa meraih benda, sudah bisa duduk seperti posisi tukang

jahit.

2) Posisi berdiri : dari berlutut lalu berdiri dengan cepat.

3) Posisi berjalan : berjalan diantara perabot atau jalan dengan tangan.

k. 12 bulan

1) Posisi berdiri : half kneeling stabil, berdiri tanpa pegangan dengan tumpuan

kaki lebar.

2) Berjalan : dengan pegangan satu tangan.

l. 1,5-2 tahun

1) Posisi duduk : duduk sambil bermain.

2) Berjalan : berjalan sendiri kemudian berlari.

m. Usia 2-3 tahun

1) Berjalan : berjalan dengan jinjit atau menggunakan tumit 14. 3-5 tahun

2) Berjalan : mampu berjalan mundur dan melompat dengan 1 kaki.

11
12
Gambar 2.2
Mileston perkembangan motorik kasar
Sumber : Johanes Purwanto (2020)

Adapun mileston perkembangan motrik halus, bahasa dan personal sosial

menurut (Needleman, Augustyn dan Feldman) yaitu :

a. Usia 0-3 bulan

1) Menahan barang yang dipegangnya

2) Membalas senyuman bila diajak tersenyum

13
3) Melihat dan menatap wajah

4) Cooing, menoleh ke arah pembicara

b. Usia 3-6 bulan

1) Memegang tangannya sendiri

2) Tersenyum spontan

3) Babbling (mengulang konsonan)

c. Usia 6-9 bulan

1) Memindahkan benda dari satu tangan ke tangan yang lain

2) Bermain tepuk tangan/cilukba

3) Respon terhadap suara

d. Usia 9-12 bulan

1) Memasukkan benda ke mulut

2) Berespon ketika namanya dipanggil

3) Memahami perintah verbal dan menunjuk

e. Usia 12-18 bulan

1) Menumpuk dua buah kubus

2) Menunjukkan apa yang diinginkan

3) Memproduksi kata-kata tunggal

f. Usia 18-24 bulan

1) Bertepuk tangan dan menggelindingkan bola

2) Meniru aktivitas di rumah

3) Mengeluh

14
4) Memahami kalimat sederhana serta perbendaharaan kata meningkat kata

pesat

g. Usia 24-36 bulan

1) Mencoret-coret pensil pada kertas

2) Menunjukkan kemarahan dan sering menceritakan pengalaman baru

3) Pengertiannya bagus terhadap percakapan

h. Usia 36 -48 bulan

1) Menggambar garislurus

2) Memainkan permainan bersama teman

3) Percakapan melalui tanya jawab dan mampu bercerita pendek

4) Mampu membuat kalimat yang sempurna

i. Usia 48-60 bulan

1) Menggambar tanda silang, lingkaran dan orang

2) Interaksi sosial dan memainkan peran

3) Mampu memproduksi konsonan dengan benar

j. Usia 60-72 bulan

1) Menagkap bola kecil dengan kedua tangan

2) Mengungkapkan simpati pada orang lain

3) Mampu memproduksi semua bunyi

B. Tinjauan Tentang Cerebral Palsy

1. Definisi
Cerebral Palsy (CP) adalah salah satu penyakit kronis yang ditandai dengan

gangguan postur dan gerak nonprogresif. Spatisitas menyebabkan gangguan postur

15
tubuh,gerak control, keseimbangan dan koordinasi sehingga akan mengganggu

aktivitas fungsional anak dengan CP(deformitas) (Rahma, 2017). Sedangkan

Menurut (Kharisma, 2016) Istilah Cerebral Palsy yang berhubungan dengan otak

palsy adalah ketidakmampuan fungsi otot. Dimana anak yang menderita Cerebral

Palsy dapat mengalami gangguan syaraf permanen yang mengakibatkan anak

terganggu fungsi motorik kasar, motoric halus, juga kemampuan bicara dan

gangguan lainnya. Karena Cerebral palsy berpengaruh pada fungsi koordinasi.

2. Etiologi Cerebral Palsy

Penyebab CP dapat dibagi dalam 3 bagian (Sheresta N, 2017), yaitu

prenatal, perinatal, dan pasca natal.

1. Prenatal

Infeksi terjadi dalam masa kandungan, menyebabkan kelainan pada janin misalnya

oleh lues, toksoplasmosis, rubela dan penyakit inklusi sitomegalik. Anoksia dalam

kandungan, terkena radiasi sinar-X dan keracunan kehamilan dapat menimbulkan

“Palsi Serebral”.

2. Perinatal

a) Anoksia/hipoksia

Penyebab yang terbanyak ditemukan dalam masa perinatal adalah “brain injury”.

Keadaan inilah yang menyebabkan terjadinya anoksia. Hal ini terdapat pada

keadaan. presentasi bayi abnormal, disproporsi sefalo-pelvik, partus lama, plasenta

previa, infeksi plasenta, partus menggunakan instrumen tertentu dan lahir dengan

seksio kaesar (Sheresta N, 2017).

b) Perdarahan otak

16
Perdarahan dan anoksia dapat terjadi bersama-sama, sehingga sukar

membedakannya, misalnya perdarahan yang mengelilingi batang otak,

mengganggu pusat pernafasan dan peredaran darah sehingga terjadi anoksia.

Perdarahan dapat terjadi diruang subaraknoid akan menyebabkan penyumbatan

CSS sehingga menyebabkan hidrosefalus. Perdarahan diruang subdural dapat

menekan korteks serebri sehingga timbul kelumpuhan spastis.

c) Prematuritas

Bayi yang kurang bulan mempunyai kemungkinan menderita perdarahan otak yang

lebih banyak daripada bayi yang cukup bulan karena pembuluh darah, enzim, dan

faktor pembekuan darah dan lain-lain masih belum sempurna. Otak belum matang

pada bayi prematur memiliki lebih banyak ekuipotensial atau plastisitas. Keduanya

merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kemampuan yang jauh

lebih besar dari bagian terluka otak belum matang untuk mengasumsikan fungsi

bagian yang cedera.

d) Ikterus

Ikterus pada neonatus dapat menyebabkan kerusakan jaringan otak yang permanen

akibat masuknya bilirubin ke ganglia basal, misalnya pada kelainan

inkompatibilitas golongan darah. Bentuk CP yang sering terjadi adalah atetosis, hal

ini disebabkan karena frekuensi yang tinggi pada bayi yang lahir dengan

mengalami hiperbilirubinemia tanpa mendapatkan terapi yang diperlukan untuk

mencegah peningkatan konsentrasi unconjugated bilirubin. Gejala-gejala kern

ikterus yang terdapat pada bayi yang mengalami ikterik biasanya tampak setelah

17
hari kedua dan ketiga kelahiran. Bayi menjadi lesu dan tidak dapat menyusu

dengan baik. Kadang-kadang demam dan tangisan menjadi lemah. Sulit

mendapatkan refleks moro dan tendon pada mereka dan dengan opisthotonus dan

diikuti dengan ekstensi ekstremitas pergerakan otot secara umum menjadi

berkurang. Setelah beberapa minggu tonus meningkat Bayi tampak

mengekstensikan punggung dengan opishotonus dan diikuti dengan ekstensi

ekstremitas.

e) Meningitis purulenta

Meningitis purulenta pada masa bayi bila terlambat atau tidak tepat pengobatannya

akan mengakibatkan gejala sisa berupa CP.

3. Pascanatal

Setiap kerusakan pada jaringan otak yang mengganggu perkembangan dapat

menyebabkan CP, misalnya pada trauma kapitis, meningitis, ensefalitis dan luka

parut pada otak pasca-operasi, dan juga kern ikterus seperti kasus pada gejala

sekuele neurogik dan eritroblastosis fetal atau defisiensi enzim hati (Tjasmani,

2016).

Trauma lahir bisa menimbulkan gejala sisa akibat lesi irreversible pada otak.

Perdarahan dalam otak bisa meninggalkan ruangan yang bisa berhubungan dengan

ventrikel atau berupa kista yang mengandung cairan. Dinding kista itu terdiri dari

jaringan ganglia, yang bereaksi setelah terjadi perdarahan. Kista tersebut

dinamakan porensefalus dan pada umumnya sering di jumpai pada konveksitas

hemisferium. CP, konvulsi,dan retardasi mental merupakan manifestasi dari

porensefalus.

18
3. Patoanatomi dan Patofisiologi Cerebral Palsy

Pada CP terjadi kerusakan pada pusat motorik dan menyebabkan terganggunya

fungsi gerak yang normal. Pada kerusakan korteks cerebri terjadi kontraksi otak

yang terus menerus dimana disebabkan karena tidak terdapatnya inhibisi langsung

pada lengkung reflex. Bila terdapat cidera berat pada system ekstra pyramidal dapat

menyebabkan gangguan pada semua gerak atau hypotonic, termasuk kemampuan

bicara. Namun bila hanya cedera ringan maka gerakan gross motor dapat dilakukan

tetapi tidak terkoordinasi dengan baik dan gerakan motorik halus sering kali tidak

dapat dilakukan. Gangguan proses sensorik primer terjadi di sereblum yang

mengakibatkan terjadinya ataksia. Pada keterbatasan gerak akibat fungsi motor

control akan berdampak juga pada proses sensorik (Herdiman, 2013)

4. Tanda dan Gejala Cerebral Palsy

Tanda awal Cerebral Palsy biasanya tampak pada usia kurang dari 3 tahun,

dan orangtua sering mencurigai ketika kemampuan perkembangan motorik anak

tidak normal (Sitorus, 2016) Bayi dengan CP sering kelambatan perkembangan,

misalnya tengkurap, duduk, merangkak, atau berjalan Sebagian mengalami

abnormalitas tonus otot. Penurunan tonus otot atau hipotonia (keadaan sulit

berjalan) dapat menyebabkan bayi tampak lemah dan lemas serta bayi tampak

kaku. Pada sebagian kasus, bayi pada periode awal tampak hipotonia dan

selanjutya berkembang menjadi hypertonia setelah 2-3 bulan pertama. Anak CP

mungkin menunjukkan postur abnormal pada salah satu sisi tubuh (Arvin K. B.,

2012).

Anak CP memiliki karakteristik berikut :

19
1) Kemampuan motorik

Anak CP memiliki gangguan fungsi motorik. Gangguan ini berupa kekauan,

kelumpuhan,kurang koordinasi, hilang keseimbangan dan munculnya gerakan-

gerakan ritmis.gangguan ini tidak hanya berakibat kepada fungsi anggota gerak

tetapi fungsi-fungsi lain yang berhubungan dengan masalah motorik lain seperti

gangguan bicara, mengunyah, dan menelan.

2) Kemampuan sensoris

Pada umumnya anak CP juga memiliki gangguan dalam hal sensorisnya. Gangguan

sensoris tersebut meliputi gangguan penglihatan, gangguan pendengaran, dan

gangguan kinestetik-taktil

3) Kemampuan intelektual

Kemampuan intelektual anak CP beragam rentang dari rentang idiot sampai gifted.

Dengan tingkat kecerdasan bervariasi sekitar 45% mengalami keterbelakangan

mental , 35% mempunyai tingkat kecerdasan normal hingga diatas rata-rata dan

sisanya mengalami cenderung dibawah rata-rata.

4) Kemampuan persepsi Peristiwa persepsi terjadi di otak. Karena kerusakan anak

CP terjadi di otak, maka pada umumnya mereka juga mengalami gangguan

persepsi baik itu secara visual, auditif maupun kinestetik-taktil

5) Kemampuan berbicara dan komunikasi

Sebagian besar anak CP mengalami gangguan bicara sebagai akibat dari kekakuan

otot-otot motorik bicara mereka. Gangguan bicara yang terjadi dapat mengarah

kepada gangguan komunikasi. Anak CP mengalami kesulitan dan mengungkapkan

20
ide dan gagasan mereka bahkan diantara mereka bicaranya tidak jelas sehingga

sukar dipahami maksut pembicaraannya.

6) Kemampuan Emosi dan penyesuaian Sosial

Kebanyakan CP mengalami kesulitan dalam penyesuaian sosial ini berkaitan

dengan konsep yang mereka miliki.

5. Klasifikasi Cerebral Palsy

Menurut (Kemala, 2014) Berdasarkan letak kelainan otak dan fungsi gerak

Cerebral palsy dibagi menjadi 4 kategori, yaitu:

1. Cerebral Palsy Spastik

Merupakan bentukan CP Anatomi yang mengalami kerusakan pada kortex

cerebellum yang menyebabkan hiperaktive reflex dan stretch reflex terjadi

terbanyak (70-80%). Otot mengalami kekakuan dan secara permanen akan menjadi

kontraktur. Jika kedua tungkai mengalami spastisitas pada saat seseorang berjalan,

kedua tungkai tampak bergerak kaku dan lurus. Cerebral Palsy spastik dapat

dikelompokkan menurut kelainan pokoknya (Kemala, 2014), yaitu berdasarkan

jumlah ekstremitas yang terkena :

A) Monoplegia

Bila hanya mengenai 1 ekstremitas saja, biasanya lengan.

B) Diplegia

Keempat ekstremitas terkena, tetapi kedua kaki lebih berat daripada kedua lengan.

C) Tetraplegia/Quadriplegia

21
Tetraplegia bila mengenai 3 ekstremitas, yang paling banyak adalah mengenai

kedua lengan dan 1 kaki. Quadriplegia bila keempat ekstremitas terkena dengan

derajat yang sama.

D) Hemiplegia

Bila mengenai salah satu sisi tubuh dan lengan terkena lebih berat, Serangan

epilepsi fokal tidak begitu umum, tetapi secara banding lebih sering dijumpai pada

anak hemiplegia spastik daripada anak non-spastik.

2. Cerebral Palsy athetosis/diskenetik/koreoatetosis

Bentuk CP ini menyerang kerusakan pada bangsal banglia yang mempunyai

karakteristik gerakan menulis yang tidak terkontrol dan perlahan. Bentuk CP ini

menyerang kerusakan pada bangsal banglia yang mempunyai karakteristik gerakan

menulis yang tidak terkontrol dan perlahan (Kemala, 2014). Kondisi ini melibatkan

sistem ekstrapiramidal. Karakteristik yang ditampakkan adalah gerakan-gerakan

yang involunter dengan ayunan yang melebar.

Gerakan abnormal ini mengenai lengan atau tungkai dan pada sebagian besar

kasus, otot muka dan lidah menyebabkan anak-anak menyeringai dan selalu

mengeluarkan air liur. Gerakan sering meningkat selama periode peningkatan stress

dan hilang pada saat tidur. Pasien juga mengalami masalah koordinasi gerakan otot

bicara (disartria). CP atetosis terjadi pada 10-20% penderita CP (Kemala, 2014).

Atetotis dibagi menjadi 2 yaitu;

A) Distonik

22
Kondisi ini sangat jarang sehingga penderita yang mengalami distonik dapat

mengalami misdiagnosis. Gerakan distonia tidak seperti kondisi yang ditunjukkan

oleh distonia lainnya. Umumnya menyerang otot kaki dan lengan sebelah

proksimal. Gerakan yang dihasilkan lambat dan berulang-ulang, terutama pada

leher dan kepala.

B) Diskinetik

Didominasi oleh abnormalitas bentuk atau gerakan-gerakan involunter tidak

terkontrol, berulang-ulang dan kadang melakukan gerakan stereotipe.

3. Cerebral Palsy ataksid/ataxia

Penderita yang terkena sering menunjukkan koordinasi yang buruk, berjalan tidak

stabil dengan gaya berjalan kaki terbuka lebar, meletakkan kedua kaki dengan

posisi saling berjauhan, berjalan gontai kesulitan dalam melakukan gerakan cepat

dan tepat, misalnya menulis, atau mengancingkan baju (Kemala, 2014).

4. Cerebral Palsy campuran

Seseorang mempunyai kelainan dua atau lebih dar tipe-tipe kelainan di atas.

C. Tinjauan tentang intervensi Fisioterapi

1. Neuro Development Treatment (NDT)

Bobath atau Neuro Development Treatment (NDT) yaitu suatu teknik yang

dikembangkan oleh Karel dan Bertha Bobath pada tahun 1997. Metode inikhususnya

ditujukan untuk menangani gangguan sistem saraf pusat pada bayi dan anak-anak.

Metode NDT mempunyai beberapa teknik, yaitu Inhibisi, Key Point of Control,

Fasilitasi, dan Stimulasi Propriosepsi.

23
Teori yang mendasari konsep Bobath adalah sistem motor control, konsep plastisitas,

prinsip motor learning, serta pemahaman dan penerapan gerakan fungsional manusia.

NDT bukanlah sebuah teknik tapi lebih ke proses perkembangan dari motor control

dan motor komponen yang diperlukan untuk aktivitas fungsional. (KEMENKES, 2012)

a. Tujuan konsep NDT:

- Memperbaiki dan mencegah postur dan pola gerakan abnormal

- Mengajarkan postur dan pola gerak yang normal

b. Prinsip utama yang mendasari metode NDT

- Normalisasi tonus otot

- Fasilitassi pola gerakan normal dalam aktifitas keseharian.

- Variasi gerakan yang mengarah pada fungsional.

Adapun hal-hal yang harus diperhatikan sebelum dilakukan

penanganan antara lain abnormalitas pola gerakan yang disebabkan oleh

pola patologis dan postur yang abnormal sertatonus otot yang berubah-ubah.

Tetapi harus bersifat fungsional dan berhubungan dengan aktivitas

keseharian, serta terapi harus bersifat multidisipliner (pendekatan tim) dan

harusmenyatu dengan keseharian anak dengan kondisi cerebral palsy (Rood,

2000).

a. Prinsip Teknik NDT

1) Patterns of movement

Gerakan yang terjadi pada manusia saat bekerja adalah pada pola

tertentu dan pola tersebut merupakan representasi dari control level

kortikal bukan kelompok otot terntentu. Pada anak dengan kelainan

24
system saraf pusat, pola gerak yang terjadi sangat terbatas, yang mana

dapat berupa dominasi refleks primitif, berkembangnya pola gerak

abnormal karena terbatasnya kemampuan bergerak, dan adanya

kompensasi atau adaptasi gerak abnormal. Akibat lebih lanjut anak atau

penderita akan menggunakan pola gerak yang abnormal dengan

pergerakan yang minim

2) Use of handling

Handling bersifat spesifik dan bertujuan untuk normalisasi

tonus, membangkitkan koordinasi gerak dan postur, pengembangan

ketrampilan, dan adaptasi respon.Dengan demikian anak atau penderita

dan dituntun untuk memperbaiki kualitas gerak dan tidak dibiarkan

bergerak pada pola abnormal yang dimilikinya.

3) Prerequisites for movement

Agar gerak yang terjadi lebih efisien, terdapat 3 faktor yang

mendasari atau prerequisites yaitu (1) normal postural tone mutlak

diperlukan agar dapat digunakan untuk melawan gravitasi, (2) normal

reciprocal innervations pada kelompok otot memungkinkan terjadinya

aksi kelompok agonis, antagonis, dan sinergis yang terkoordinir dan

seimbang, dan (3) postural fixation mutlak diperlukan sehingga

kelompok otot mampu menstabilkan badan atau anggota gerak saat

terjadi gerakan/aktivitas dinamis dari sisa anggota gerak.

b. Teknik NDT

1) Inhibisi

25
Inhibisi adalah penghambatan atau penurunan pola-pola sikap

dan gerakan abnormal dengan menggunakan sikap hambat reflek atau

Reflek Inhibitory Postures (RIP). Dengan memberikan posisi RIP yang

benar dan arah yang benar maka sekuensis dari abnormlitas tonus otot

postural akan terjadi dan sekuensis ini secara terus menerus diikut

sertakan pada terapi. Pada kondisi CP spastic quadriplegi terdapat pola

spastisitas pada lengan dan tungkai. Pola spastisitas pada lengan dngan

pola adduksi dan internal rotasi shoulder, fleksi elbow, pronasi lengan

bawah, fleksi dan ulnar deviasi wristdan fleksi jari-jari. Sedangkan pola

spastisitas yang terdapat pada kedua tungkai dengan pola adduksi dan

internal rotasi hip, fleksi knee, plantar fleksi dan inverse ankle serta

fleksi jari-jari. Maka diperlukan inhibisi kea rah kebalikan dari pola

spastic tersbut (Sidarta, 1997)

2) Key Point of Control: titik yang digunakan terapis dalam inhibisi dan

fasilitasi. KPoC harus dimulai dari proksimal ke distal.

3) Fasilitasi

Fasilitasi adalah upaya untuk mempermudah reaksi-reaksi

automatik dan gerak motorik yang sempurna pada tonus otot

normal.Tekniknya disebutkey point of control. Reaksi sikap dan gerak

normal dengan fasilitasi terdiri atas :

a) Fasilitasi duduk dari posisi tengkurap

b) Fasilitasi kelapa tegak

c) Fasilitasi badan tegak

26
d) Fasilitasi keseimbangan duduk

e) Fasilitasi merangkak dari duduk

f) Fasilitasi berlutut dari merangkak

g) Fasilitasi keseimbangan berlutut

h) Fasilitasi berdiri dan berlutut

i) Fasilitasi keseimbangan berdiri

j) Fasilitasi berjalan

Tujunnya dari fasilitasi yaitu untuk memperbaiki tonus postural

yang normal, untuk memelihara dan mengembalikan kualitas tonus

normal, untuk memudahkan gerakan-gerakan yang disengaja,

diperlukan dalam aktifitas sehari-hari (Tromboly, 1989).

4) Stimulasi

Stimulasi taktil dan proprioseptif: untuk meningkatkan sensorik

dan motorik. Stimulasi juga dapat merangsang sel otak (sinaps) . Tujuan

dari stimulasi :

a) meningkatkan reaksi anak untuk

b) memelihara posisi & pola gerak yg dipengaruhi oleh gaya

gravitasi secara otomatis.

Jenis stimulasi :

(1) Tapping àgrup otot antagonis.

(2) Placcing & holdingàpenempatan pegangan

(3) Placcing Weight Bearingàpenumpuan badan

27
Gambar 2.4
Sweap pada tanganà stimulasi tangan membuka à fasilitasi supporting
reaction pada tangan

Gambar 2.5
Stimulasi berguling

Gambar 2.6
Fasilitasi duduk dari posisi tengkurap

28
Gambar 2.7
Fasilitasi reflek tegak pada kepala & supporting reaction ke depan

Gambar 2.8
Fasilitasi ekstensor vertebrae & supporting reaction pada lengan ke depan

Gambar 2.9
Fasilitasi reaksi keseimbangan badan ke depan belakang

2. Neuro Senso Motor Reflek Development and Synchronization (NSMRDS)

a. Definisi

Neuro Senso Motor Reflek Development and Synchronization

(NSMRD & S) adalah sebuah metode teknik-teknik terapi yang

mengedepankan prinsip stimulasi terhadap otak untuk menghasilkan output.

29
b. Konsep

Konsep neuro senso motor reflex development and synchronization

adalah suatu pendekatan untuk kasus atau kondisi neurologi untuk

menghubungkan otak dengan tubuh, berdasarkan perkembangan biologi,

psikologi, neuro, sosio dan kognitif pasien. Pada konsep ini stimulasi

diberikan melalui input sensori meliputi : stimulasi taktil, facial release,

tendon guard dan somato-sensory release (Takarini, 2018). Metode

pendekatan ini memfokuskan pada mekanisme perkembangan dan

pembelajaran gerakan secara natural. Neuro senso motor reflex development

and synchronization berdasarkan pada konsep dan teori reflek integrasi, hal

ini sangat penting memahami perkembangan gerak dasar sebagai pendukung

utama neuro senso motor reflex development and synchronization yang akan

mempengaruhi pembentukan pola belajar gerak yang bermakna dan

fungsional serta perkembangan pribadi individu. Reflek-reflek yang mengikuti

kita seumur hidup (lifelong reflexes) yaitu: reflek gravitasi, grounding,

stabilitas, balancing, centering, head righting, tendon guard, abdominal,

amphibi, matured gait, sequential side rotation dan spinning reflex. Refleks-

refleks tersebut mengiringi individu seumur hidup dan memberikan pengaruh

besar pada perkembangan struktur dan fungsi tubuh yaitu: kontrol postur,

koordinasi gerakan, sensory integration dan senso-motor integration.

Kematangan refleks juga mempengaruhi perkembangan dan fungsi otak.

Refleks-refleks yang mengikuti kita akan mempengaruhi perkembangan

30
emosi dan kepribadian serta mempengaruhi cara belajar (learning style) dan

perkembangan kepribadian (Masgutova, 2006).

a. Kelebihan dan kekurangan metode NSMRDS

Kelebihan metode NSMRD & S yaitu dapat merileksasi otot-otot

tubuh, meningkatkan kemampuan agar terjadi perubahan positif pada struktur,

postur dan, gerak tubuh yang terkoordinasi dan mengaktifkan kerja reseptor

yang berhubungan dengan sentuhan dalam dan tekanan. Kekurangan metode

NSMRD & S yaitu metode ini tidak bisa diberikan kepada anak dengan

kondisi umum yang kurang baik, misalnya pada anak yang masih demam.

3. Core Stability Exercise

a. Definisi

Core stability merupakan kemampuan untuk mengontrol posisi dan

gerak dari trunk sampai pelvic yang digunakan untuk melakukan gerakan

secara optimal, perpindahan, kontrol tekanan dan gerakan saat aktifitas. Core

stability merupakan faktor penting dalam postural. Core stability

menggambarkan kemampuan untuk mengontrol atau mengendalikan posisi

dan gerakan porsi central pada tubuh yaitu : head and neck aligment,

alignment of vertebral column thorax and pelvic stability/mobility, ankle and

hip strategies (Karren, 2008). Aktivitas core stability akan memelihara postur

31
yang baik dalam melakukan gerak serta menjadi dasar untuk semua gerakan

pada lengan dan tungkai dan berpengaruh terhadap stabilitas tubuh.

Core stability  adalah komponen penting dalam memberikan kekuatan

lokal dan keseimbangan untuk memaksimalkan aktifitas secara efisien.

Aktifitas otot–otot core merupakan kerja integrasi sebelum adanya suatu

gerakan integrasi satu sendi atau banyak sendi, untuk mempertahankan

stabilitas dan gerakan.

Kerja core stability memberikan suatu pola adanya stabilitas proksimal

yang digunakan untuk mobilitas pada distal. Pola proksimal ke distal

merupakan gerakan berkesinambungan yang melindungi sendi pada distal

yang digunakan untuk mobilisasi saat bergerak. Saat bergerak otot-otot core

meliputi trunk dan pelvic, sehingga membantu dalam aktifitas, disertai

perpindahan energi dari bagian tubuh yang besar hingga kecil selama aktifitas

(Kibler, 2006).

Core stability exercise merupakan suatu latihan yang menggunakan

kemampuan dari trunk, lumbal spine, pelvic, hip, otot-otot perut dan otot kecil

sepanjang spine. Dengan mengaktifkan semua otot-otot tersebut maka akan

mengaktifkan otot-otot yang dapat meningkatkan stabilitas trunk dan

memperbaiki postur. Core stability berhubungan dengan bagian tubuh yang

dibatasi oleh dinding perut, pelvis, punggung bagian bawah dan diafragma

serta kemampuannya untuk menstabilkan tubuh selama gerakan. (Smits-

Engelsman,2012).

b. Mekanisme Core Stability Exercise

32
Latihan core stability akan mengembangkan kerja otot-otot dynamic

muscular corset, dengan terjadinya kontraksi yang terkoordinasi dan

bersamaan dari otot-otot tersebut akan memberikan rigiditas untuk

menopang trunk, akibatnya adanya tekanan intradiskal berkurang dan akan

mengurangi beban kerja dari otot lumbal, sehingga jaringan disekitar tidak

mudah cidera, ketegangan otot lumbal yang abnormal berkurang (Kisner,

2011). Dengan terjadinya penguluran otot diharapkan akan terjadi perbaikan

muscle pump yang berakibat meningkatkan sirkulasi darah pada jaringan

otot punggung. Dengan demikian suplai darah dan oksigen di jaringan otot

menjadi lebih baik, sehingga nyeri yang ditimbulkan karena spasme akan

berkurang. Selain itu teraktivasinya otot core yang berfungsi sebagai otot

stabilisator tulang belakang akan membuat otot sekitar yang tadinya spasme

menjadi rileks, dengan demikian didapatkan pula stabilitas tulang belakang

yang baik dan posisi tulang belakang dalam keadaan netral (Kisner, 2011).

Dengan stabilitas tulang belakang yang baik seseorang akan lebih mudah

dalam melakukan aktivitas fungsional. Selain itu berkurangnya tekanan

intradiskal akan membuat pasien lebih mudah dalam melakukan aktivitas

fungsional, antara lain pasien akan lebih mudah dalam melakukan aktivitas

mengangkat, berjalan, duduk, berdiri dan saat melakukan aktivitas rekreasi.

c. Indikasi dan Kontraindikasi Core Stability Exercise

Adapun indikasi dari core stability exercise adalah (Lawrence, 2007):

1) Kelemahan otot

33
2) Stabilisasi

3) Perbaikan postur

Adapun kontraindikasi core stability exercise adalah (Lawrence, 2007) :

1) Adanya tumor atau cencer pada spine

2) Infeksi pada tulang belakang (osteomeilitis)

3) Spinal fraktur

4) Abdominal aneurysm

BAB III

PROSES ASSESMENT FISIOTERAPI

A. Data Medis

Diagnosa Medis : Hemiparese sinistra et causa post meningitis virus

Nama : An. G

No RM : 938174

Nadi : 120 kali/ menit

Tekanan Darah :-

Pernapasan : 28 kali/ menit

Suhu : 36o C

Berat Badan : 9,kg

34
Tinggi Badan : 0,76 cm

IMT : 16,58 kg/m2

B. Identitas pasien

Nama Anak : An.G

Tempat Tanggal Lahir : Tanah Toraja , 25 September 2020

Usia Kalender : 1 Tahun

Usia Tumbuh Kembang : 6 bulan

Jenis Kelamin : Laki-laki

Jumlah Saudara :1

Anak ke : Kedua

Agama : Kristen

Alamat : Tanah Toraja

C. History Taking
1. Keluhan Utama : Anak belum dapat merangkak, duduk, berdiri dan

berjalan

2. Penyebab : Post Meningitis Virus

3. Lokasi Keluhan : Exremitas inferior dan superior

4. Riwayat Perjalanan Penyakit

a. Prenatal : Ibu rutin control kedokter, rutin konsumsi vitamin dan ibu

tidak pernah sakit selama hamil, tidak ada riwayat konsumsi obat dan

Ibu tidak memiliki terjatuh saat mengandung

b. Perinatal : Bayi lahir cukup bulan, Proses persalinan normal dan bayi

lahir dalam keadaan kulit berwarna normal dan bayi lahir dalam kondisi

35
menangis

c. Postnatal : Pada usia 0-2 bulan bayi sehat dan memiliki tumbuh

kembang yang baik. Pada usia 3 bulan bayi mengalami kejang setelah

itu bayi dirawat di Rs. Toraja selama 1 bualan hasil ct scan menunjukan

bayi mengalami meningitis. Terhitung sejak 3-8 bulan bayi mengalami

lima kali kejang.

5. Riwayat Penyakit Penyerta Orang tua : Tidak ada

D. Inspeksi/Observasi

1. Statis :

a. Anterior :

1) Atensi, motivasi, emosi dan komunikasi pasien cukup baik

2) Mata nampak normal

3) Ukuran kepala normal

4) Shoulder nampak asimetris

5) Lengan bawah sisi kiri cenderung semi fleksi dan pronasi.

6) Tangan kiri mengepal

7) Tungkai kiri nampak semi fleksi knee

b. Posterior : Shoulder asimetris dan pelvic normal

c. Lateral : Tungkai kiri Nampak Semi fleksi knee

2. Dinamis :

a. Saat posisi merangkak head control pasien nampak cukup baik dan untuk

hand support tangan kanan cukup baik tetapi tangan kiri cenderung nampak

posisi fleksi

36
b. Saat posisi duduk head control pasien cukup baik, pasien belum dapat

melakukan trunk control dan anak belum dapat melakukan hand support

pada lengan kiri saat duduk sehingga pada saat duduk keseimbangan pasien

belum baik

E. Pemeriksaan/Pengukuran Pediatri

1. Palpasi :

a. Suhu : Tidak ada peningkatan suhu

b. Nyeri : Tidak ada nyeri

c. Oedema : Tidak ada oedema

d. Tonus : Peningkatan tonus otot terutama pada otot bicep brachii,

brachioradialis, hamstring, adduktor hip dan gastrocnemius.

2. Tes Orientasi :

a. Belum mampu membalikkan badan

b. Belum mampu tengkurap mandiri

c. Mampu mempertahankan kepala posisi tengkurap

d. Belum mampu berguling

e. Mampu tengkurap dengan dengan hand support

f. Belum mampu merangkak namun kaki kanan nampak diseret

g. Belum mampu duduk secara mandiri masih dengan support kedua lengan.

h. Belum mampu untuk kneeling

i. Belum mampu transfer dari duduk ke berdiri secara mandiri

j. Belum mampu berdiri

3. Pemeriksaan Refleks Primitif :

37
a. Refleks Palmar Grasp : (+) kiri

b. Reflek Moro : (-)

c. Refleks Rooting : (-)

d. Refleks Sucking : (-)

e. Refleks Glabella : (-)

f. Refleks Babinsky : (+)

g. Refleks Asymetrical Tonic Neck : (-)

h. Refleks Tonic Neck : (-)

4. Pemeriksaan Refleks Fisiologis :

a. Refleks Bicep : Hiperrepleks (kiri), Normal (kanan)

b. Refleks Tricep : Hiperrepleks (kiri), Normal (kanan)

c. Refleks Patella (KPR) : Hiperrepleks (kiri), Normal (kanan)

d. Refleks Achilles (APR) : Hiperrepleks (kiri), Normal (kanan)

5. Pemeriksaan Tonus Otot (Skala Asworth) :

Skala Asworth
Otot
Dextra Sinistra
Bicep Brachii 0 3
Tricep Brachii 0 3
Pronator 0 0
Supinator 0 0
Hamstring 0 3
Soleus 0 3
Gastrocnemius 0 3
6. Pemeriksaan Fungsi Sensorik :
a. Visual : Mencari objek mainan, eye contact baik .

b. Auditory : Cukup baik, anak dapat mencari pusat suara

38
c. Tactil : Anak cenderung refleks memfleksikan tungkai dan lengan

kiri ketika diberi stimulasi tekanan pada otot tungkai (hipersensitif).

7. Pengukuran Tumbuh Kembang (Skala Denver II)


Hasil pemeriksaan tumbuh kembang pasien menurut skala denver II : Suspect

a. Motorik Kasar : Anak dapat mempertahankan kepala tetap tegak

b. Motorik Halus : Anak dapat enggenggam baby oil pada tangan kanan

c. Bahasa : Belum dapat mengoceh

perkembangan 6 bulan

8. Pemeriksaan Posture dan Balance


a. Pemeriksaan Posture

Cenderung asimetris shoulder, semi fleksi elbow dan knee sisi sinistra

b. Pemeriksaan Balance

1) Statis : Ketika didudukkan pasien menumpuh dengan tangan kanan

dan tangan kiri cenderung posisi fleki dengan postur bungkuk

2) Dinamis : Pasien belum mampu posisi duduk ke berdiri

9. Bobath Assesment Quality Movement

Test Item Skor


Spasticity Severe -20
Moderate -10
Motivation Pore -5
Postural Tone None
Total Patern Moderate -5
Severe
Associated Reaction Moderate -5
Severe
Asymmetry -5
(Trunk,Pelvis)
Inactive Trunk -5

39
Shoulder -5
Postural (Prot,Retrak)
Patern Spine -5
(Kyposis,Lordosis)
Pelvis Immobility -5

Head Control Poor -5


Severe
Arm Movement No Dissociation Y,N -5
&Suport
Hand Grasping No Dissociation Y,N -5

Trunk Conntrol No Dissociation Y,N -5


Functional
Activity Hip Movement No Dissociation Y,N -5

Knee Movement No Dissociation Y,N -5

Ankle Movement No Dissociation Y,N -5

Contracture & -5
Deformity
Dislocation

Total skor :100 +( -50) = 35

*Aktivitas fungsional : No = -5 , Yes = 0


Aktivitas Fungsional Skor Catatan

Level V Walking 100

Level IV Standing 80

Level III Sitting 50

Level II Crepping/Crawlling 40

Level I Lying/Prone Lying 10

Total skor 35

40
F. Diagnosa Fisioterapi (ICF-ICD)

’Delayed development (usia 1 tahun dengan usia perkembangan 6 bulan ) akibat

cerebral palsy spastik hemiparese sinistra et causa post meningitis virus

G. Problematik Fisioterapi

Pemeriksaan/Pengukuran Yang
No. Komponen ICF
Membuktikan
1. IMPAIRMENT
a. Gangguan Postur (Asimetris bahu, semi
Inspeksi/observasi
fleksi elbow dan knee sisi sinistra)
b. Peningkatan tonus otot sisi sinistra Palpasi dan skala asworth
c. Gangguan Trunk Control Inspeksi/observasi
d. Gangguan Balance Inspeksi/observasi
2. ACTIVITY LIMITATION
Anamnesis, inspeksi, tes
orientasi, DDST II, GMFCS dan
a. Pasien belum dapat merangkak
bobath assesment quality
movement
b. Pasien belum dapat duduk dengan
seimbang
Anamnesis, inspeksi, tes
b. Pasien belum dapat transfer position orientasi, DDST II, GMFCS dan
duduk ke berdiri bobath assesment quality
movement
3. PARTICIPATION RESTRICTION
a. Pasien belum dapat berinteraksi dengan
Inspeksi/observasi
lingkungan dan teman sebayanya

41
BAB IV

INTERVENSI DAN EVALUASI FISIOTERAPI

A. Rencana Intervensi Fisioterapi

1. Tujuan Jangka Pendek

a) Menurunkan tonus otot

b) Memperbaiki Postur

c) Meningkatkan kekuatan otot trunk

d) Meningkatkan Keseimbangan

2. Tujuan jangka panjang

Anak mampu merangkak, duduk dengan seimbang dan meningkatkan kemampuan

anak agar dapat berdiri dan berjalan

B. Strategi Intervensi Fisioterapi

No. Komponen ICF Tujuan Intervensi Jenis Intervensi


1. IMPAIRMENT

Gangguan postur Memperbaiki/koreksi NDT


postur
Peningkatan tonus otot Menurunkan tonus otot NDT dan NSMRDS
Belum mampu trunk Memperbaiki Head NDT dan NSMRDS
control Control
Gangguan Balance Meningkatkan NDT , Core stability
keseimbangan pasien saat
duduk dan berdiri

42
2. ACTIVITY LIMITATION
Pasien kesulitan duduk Meningkatkan NDT , core stability
dengan seimbang keseimbangan Home programe
Pasien belum dapat Meningkatkan
merangkak, dudul, berdiri kemampuan berdiri dan
dan berjalan mandiri berjalan
3. PARTICIPATION RESTRICTION
Pasien belum dapat Meningkatkan Education and home
beriteraksi dengan kemampuan interaksi programe
llingkungan dan teman pasien dengan lingkungan
sebaya nya dan teman sebaya

C. Prosedur Penatalaksanaan Intervensi Fisioterapi

1. Neuro Senso Motor Reflex Development And Syncronization (NSMRDS)

a. Posisi pasien : Posisikan pasien supine lying

b. Posisi fisioterapis : Menghadap ke pasien.

c. Penatalaksanaan :

1) Stimulasi dengan sentuhan mulai dari bagian kepala ke wajah lalu ke tangan,

tangan ke bahu, bahu sampai ke kaki.

2) Fiksasi pada perut, usap dari perut ke dada tengah, perut ke dada kanan,

perut ke dada kiri, perut ke pinggang kanan, perut ke pinggang kiri, perut ke

pinggang kanan dan kiri secara bersamaan

3) Fiksasi pada perut, stimulasi seperti jari berjalan dengan arah seperti

sebelumnya.

4) Fiksasi pada perut, beri dorongan dari arah atas ke tengah, diagonal kanan ke

tengah, diagonal kiri ke tengah. Lalu beri tarikan dengan arah yang sama.

5) Fiksasi pada perut, usap dengan pola membentuk angka 8, dengan arah

seperti sebelumnya. Kemudian lakukan pada lengan atas dan lengan bawah

serta seluruh lengan di mulai dari tangan kanan lalu tangan kiri. Lakukan

43
juga pada tungkai atas dan tungkai bawah serta seluruh tungkai di mulai dari

tungkai kanan lalu tungkai kiri. Posisikan anak prone, fisioterapis

menghadap anak. Lakukan gerakan seperti pada posisi supine. Semua

gerakan dilakukan sebanyak 3x

2. Neuro Development Treatment (NDT)/Bobath

a. Tendon release

1) Posisi pasien : Pasien prone lying di matras

2) Posisi terapis : Terapis berada di samping pasien

3) Penatalaksanaan :

a) Usapkan baby oil pada daerah yang akan direlease.

b) Pada elbow handling fisioterapis berada pada tendon bicep brachii, pada

shoulder handling fisioterapis berada pada tendon otot pectoralis major

Sedangkan pada hip handling fisioterpis berada pada tendon otot

hamstring, ankle handling fisioterapis berada pada tendon achilles

kemudian berikan release berupa friction massage pada tendon tersebut.

Ulangi sebanyak 8 kali repetisi.

b. Ankle Strategy

1) Posisi pasien : Posisi awal pasien tidur terlentang kemudian tekuk kedua

lutut 900

2) Posisi fisioterapis : Berada di depan pasien dengan kedua tangan berada di

ankle dengan keempat jari berada di telapak kaki sedangkan ibu jari berada

di atas punggung kaki.

3) Penatalaksanaan :

44
a) Berikan rangsangan seperti taktil, menggelitik, menyapu, atau

menyodok ke bagian telapak kaki sehingga jari-jari kaki pasien ekstensi

dan dorso fleksi ankle.

b) Kemudian posisikan ankle menumpu secara keseluruhan di lantai dan

berikan aproksimasi pada ankle.

a. Stimulasi otot-otot trunk dan pelvic

1) Posisi pasien : Pasien prone lying

2) Posisi terapis : Terapis berada di samping pasien

3) Penatalaksanaan :

a) Usapkan baby oil pada daerah trunk.

b) Berikan tekanan ringan sampai sedang pada otot-otot paraspinal dan

otot sekitar pelvic.

b. Latihan fasilitasi duduk

1) Posisi pasien : Duduk di atas kursi

2) Posisi fisioterapis : Berada di belakang pasien dengan kedua tangan berada

di pelvic. Satu fisioterapis memfiksasi tungkai yang cenderung fleksi knee.

3) Penatalaksanaan :

a) Posisi awal pasien berdiri dengan kedua kaki menumpu di lantai.

b) Tangan salah satu fisioterapis berada di pelvic pasien kemudian gerakan

anterior dan posterior pelvic tilit.

c) Kemudian berikan aproksimasi pada pelvic. Sambil di beri latihan

duduk lakukan koreksi postur.

c. Latihan merangkak

45
1) Posisi pasien : Tengkurap

2) Posisi fisioterapis : Satu fisioterapis berada di belakang pasien

dan fisioterapis lainnya berada di depan pasien.

3) Tekhnik Pelaksanaan :

a) Pasien di posisikan tengkurap kemudian fisioterapis yang berada di

belakang menfasilitasi tungkai kanan ke depan dan secara bersamaan

fisioterapis yang berada di depan memposisikan lengan ke posisi yang

benar dan memfasilitasi lengan kiri ke depan. Lakukan secara

bergantian tungkai kiri dan tungkai kanan.

d. Latihan transfer dari duduk ke berdiri

1) Posisi pasien : Jongkok

2) Posisi fisioterapis : Berada di belakang pasien dengan satu tangan berada di

knee dan tangan lainnya berada di bokong pasien untuk memberikan fasilitasi.

Fisioterapis lainnya/orang tua pasien berada di depan pasien dengan

memegang kedua tangan pasien.

3) Penatalaksanaan :

a) Posisi awal pasien jongkok dengan knee fleksi.

b) Tangan fisioterapis yang berada di bokong dan knee memfasilitasi untuk

berdiri dibantu dengan orang tua.

e. Latihan adaptasi berdiri dan anterior – posterior pelvic tilt

4) Posisi pasien : Berdiri didepan dinding/bed

5) Posisi fisioterapis : Berada di belakang pasien dengan kedua tangan berada di

pelvic. Satu fisioterapis memfiksasi tungkai yang cenderung fleksi knee.

46
6) Penatalaksanaan :

c) Posisi awal pasien berdiri dengan kedua kaki dibuka selebar bahu dan

menumpu di lantai.

d) Tangan salah satu fisioterapis berada di pelvic pasien kemudian gerakan

anterior dan posterior pelvic tilit.

e) Kemudian berikan aproksimasi pada pelvic.

f. Latihan berjalan

1) Posisi pasien : Berdiri dengan kedua kaki di buka selebar bahu

2) Posisi fisioterapis : Berada di belakang pasien dengan kedua tangan berada di

pelvic.

3) Penatalaksanaan :

a) Posisi awal pasien berdiri dengan kedua kaki menumpu di lantai.

b) Kedua tangan fisioterapis yang berada pada pelvic menggerakkan pelvic

dan hip ke depan untuk melangkah secara bergantian.

g. Dosis latihan :

F : 2 kali seminggu

I : 8 x hitungan/repetisi

T : Latihan aktif yang terkontrol dan berulang

T : 10 Menit

3. Core Stabulity Exercise

47
1) Posisi pasien : Supine lying kemudian tekuk kedua lutut 900 dengan kedua tangan

berada di samping badan pasien.

2) Posisi fisioterapis : Fisioterapis berada di depan kedua tungkai pasien dengan

satu tangan berada di lutut pasien dan satu tangan lainnya berada di bawah pelvic

pasien untuk memberi stimulasi.

3) Tekhnik pelaksanaan : Berikan stimulasi untuk mengangkat peivic secara

bersamaan dan seimbang kearah tegak lurus.Tahan gerakan selama 8 detik

kemudian diulangi sebanyak 5 kali repetisi.

D. Edukasi dan Home Program

1. Edukasi

 Orang tua pasien diajarkan untuk selalu mengajak anak berkomunikasi

untuk meningkatkan respon komunikasi anak dan adaptasi dengan

lingkungan

 Mengerakan lengan dan tungkai pasien

2. Home program

Orang tua pasien diajarkan untuk memberikan latihan kepada pasien berupa

Latihan merangkak, duduk dan berdiri

E. Evaluasi Fisioterapi
No Tanggal Intervensi Evaluasi
Awal terapi Akhir terapi
1. 21/09/2021 - Skala Asworth : 3 - Skala Asworth : 3

48
- Pasien mengalami - Belum terdapat
gangguan trunk perubahan pada trunk
control control

- Pasien mengalami - Belum terdapat


gangguan postural perubahan pada trunk
control

- Pasien mengalami - Belum terdapat


gangguan perubahan pada sitting
keseimbangan saat balance
duduk
2. 24/09/2021 - Skala Asworth : 3 - Skala Asworth : 2

- Pasien mengalami - Belum terdapat


gangguan trunk peningkatan pada
control trunk control

- Pasien mengalami - Semifleksi knee sisi


gangguan postural sinistra berkurang

- Pasien mengalami - Terdapat


gangguan peningkatan pada
keseimbangan saat sitting balance pasien
duduk
3. 28/09/2021 - Skala Asworth : 3 - Skala Asworth : 2

- Pasien mengalami - Pasien sudah mulai


gangguan trunk dapat melakukan
control trunk control dengan
cukup baik

- Pasien mengalami - Semifleksi elbow


gangguan postural dan knee pasien
berkurang

- Pasien mengalami -Terdapat peningkatan


gangguan pada keseimbangan
keseimbangan saat pada saat pasien
duduk duduk, awalnya hanya
tangan kanan yang
mampu melakukan
hand support, saat ini
tangan kiri pasin
sudah mulai ikut
melakukan hand
support saat duduk
walaupun hanya

49
bertahan 3 detik

BAB V

PEMBAHASAN

A. Pembahasan Assessmen Fisioterapi

1. History Taking

50
History taking merupakan cerita tentang riwayat penyakit yang diutarakan

oleh pasien melalui tanya jawab, yang disusun secara kronologis yang

memerlukan pemahaman tentang patofisiologi dari pemeriksa. Untuk

mendapatkan history taking yang baik dibutuhkan sikap pemeriksa yang sabar dan

penuh perhatian, serta waktu yang cukup. Cara pengambilan history taking dapat

mengikuti dua pola umum, yaitu :

a. Pasien dibiarkan dengan bebas mengemukakan semua keluhan serta

kelainan yang dideritanya.

b. Pemeriksa membimbing pasien mengemukakan keluhannya atau

kelainannya dengan jalan mengajukan pertanyaan tertentu.

Dalam history taking sangat penting untuk melokalisasi keluhan yang dirasakan

pasien. Keluhan orang tua mengenai keterlambatan tumbuh kembang anak dan

mengenai riwayat perjalanan penyakit pasien

2. Observasi/Inspeksi

Untuk melengkapi data suatu pemeriksaan fisioterapi, diperlukan

pemeriksaan observasi. Observasi memerlukan kecermatan dan kecepatan

menganalisa keadaan pasien dalam waktu yang singkat.

Ketika dilakukan observasi pada pasien dengan kondisi Cerebral Palsy

Atetoid dilakukan pada umunya akan didapatkan gerakan total movement dan

gangguan pada head control, postural pada wrist, knee dan ankle pada pasien cp

1. Pemeriksaan/Pengukuran Pediatrik

a. Palpasi

51
Palpasi dilakukan untuk mengetahui apakah ada kelainan tonus otot dari

pasien, yaitu apakah ada peningkatan tonus otot (spastik) atau penurunan tonus

otot (flaccid).

b. Pemeriksaan Refleks Primitif

Refleks primitif adalah gerakan reflektorik yang bangkit secara

fisiologik pada bayi dan tidak dijumpai lagi pada anak-anak yang sudah besar.

Bilamana pada orang dewasa refleks tersebut masih dapat ditimbulkan, maka

fenomena itu menandakan kemunduran fungsi susunan saraf pusat. Adapun

refleks-refleks yang menandakan proses regresi tersebut ialah refleks menetek,

snout reflex, refleks memegang (grasp refleks), refleks glabella dan refleks

palmomental.

1) ATNR (Asymetrical Tonic Neck Reflex) adalah refleks yang di tandai

dengan responberupa gerakan fleksi tungkai pada satu sisi sedangkan

tungkai sisi yang berlawanan ekstensi, terhadap stimulus berupa rotasi

kepala ke salah satu sisi.

2) STNR (Symetrical Tonic Neck Reflex) adalah refleks yang ditandai dengan

respon berupa gerakan fleksi kedua lengan dan ekstensi kedua tungkai

terhadap stimulus berupa fleksi kepala bayi atau respon berupa gerakan

ekstensi kedua lengan dan fleksi kedua tungkai terhadap stimulus berupa

ekstensi kepala bayi.

3) Moro Reflex adalah refleks yang di tandai dengan respon berupa gerakan

ekstensi lengan dan tungkai terhadap stimulus tiba-tiba berupa tepukan atau

hentakan tangan ringan disamping kepala bayi.

52
4) Extensor Thrust Reflex adalah reflex primitif yang ditandai dengan gerakan

ekstensi tungkai terhadap stimulus sentuhan pada telapak kaki dan tungkai

yang sama. Reflex ini muncul dari usia 0-2 bulan.

5) Neck Righting Reflex ditandai dengan respon berupa ikut berputarnya

seluruh badan sesuai arah stimulus berupa rotasi kepala pada satu sisi

secara aktif atau pasif. Refleks ini muncul dari 0 bulan sampai dengan 6

bulan.

c. Pemeriksaan Refleks Fisiologis

Dalam sehari-hari kita biasanya memeriksa 2 macam refleks fisiologis

yaitu refleks dalam dan releks superfisial. Refleks dalam (refleks regang otot)

timbul oleh regangan otot yang disebabkan oleh rangsangan, dan sebagai

jawabannya maka otot berkontraksi. Refleks dalam juga dinamai refleks regang

otot (muscle stretch reflex). Nama lain bagi refleks dalam ini ialah refleks

tendon, refleks periosteal, refleks miotatik dan refleks fisiologis.

Refleks superfisialis, ini timbul karena terangsangnya kulit atau mukosa

yang mengakibatkan berkontraksinya otot yang ada di bawahnya atau di

sekitarnya. Jadi bukan karena teregangnya otot seperti pada refleks dalam.

Salah satu contohnya adalah refleks dinding perut superfisialis (refleks

abdominal).

Tingkat jawaban refleks, Jawaban refleks dapat dibagi atas beberapa

tingkat yaitu :

- (negatif) : tidak ada refleks sama sekali

53
- ± : kurang jawaban, jawaban lemah

- + : jawaban normal

- ++ : jawaban berlebih, refleks meningkat

Pemeriksaan refleks fisiologis dilakukan dengan melakukan pengetukan

menggunakan palu refleks pada tendon otot.

d. Pemeriksaan Tonus Otot (Skala Asworth)

Skala yang dapat dipakai untuk menilai derajat spastistitas tonus otot,

Asworth scale banyak digunakan dan memiliki reabilitas cukup baik.

1) Nilai 0 : tidak ada kenaikan dalam tonus otot (normal) .

2) Nilai 1 : Kenaikan ringan dalam tonus otot muncul ketika dipegang dan

dilepas atau dengan tahanan minimal pada 1/3 akhir dari LGS.

3) Nilai 1+ : Kenaikan ringan dalam tonus otot, muncul ketika di pegang

diikuti dengan tahanan minimal pada sisa.

4) Nilai 2 : kenaikan yang lebih jelas dalam tonus otot, pada sebagian besar

LGS sampai bagian yang terkena dapat di gerakkan dengan mudah

(sedang).

5) Nilai 3 : Kenaikan yang besar dalam tonus otot, dimana gerakan pasif sulit

dilakukan (agak berat).

6) Nilai 4 : Bagian yang terkena kaku dalam gerakan fleksi dan ekstensi

(berat).

e. Pemeriksaan Fungsi Sensorik

54
Kemampuan sensorik dapat dilakukan dengan memeriksa visual,

auditory, tactile, dan proprioceptif. Apabila kemampuan sensorik pasien baik

maka pasien dapat merasakan input yang diberikan oleh fisioterapis.

f. Pengukuran Tumbuh Kembang (Skala Denver II)

Denver II adalah revisi utama dari standardisasi ulang dari Denver

Development Screening Test (DDST) dan Revisied Denver Developmental

Screening Test (DDST-R).DDST adalah salah satu metode skrining terhadap

kelainan perkembangan anak.Waktu yang dibutuhkan antara 15 – 20 menit.

Adapun tujuan dari DDST II antara lain sebagai berikut : mendeteksi dini

perekembangan anak, menilai dan memantau perkembangan anak sesua usia (0

– 6 tahun), salah satu antisipasi bagi orang tua, identifikasi perhatian orang tua

dan anak tentang perkembangan, mengajarkan perilaku yang tepat sesuai usia

anak.

Aspek perkembangan yang dinilai:

1) Personal Social (perilaku sosial)

Aspek yang berhubungan dengan kemampuan mandiri, bersosialisasi

dan berinteraksi dengan lingkungannya.

2) Fine Motor Adaptive (gerakan motorik halus)

Aspek yang berhubungan dengan kemampuan anak untuk

mengamati sesuatu, melakukan gerakan yang melibatkan bagian-bagian

tubuh tertentu dan dilakukan otot-otot kecil, tetapi memerlukan koordinasi

yang cermat.

3) Language (bahasa)

55
Kemampuan untuk memberikan respons terhadap suara, mengikuti

perintah dan berbicara spontan.

4) Gross motor (gerakan motorik kasar)

Aspek yang berhubungan dengan pergerakan dan sikap tubuh.

Pelaksanaan DDST II (Margaglio T, 1991): kaji pengetahuan keluarga atau

anak mengenai DDST II, kaji pengetahuan tentang tumbang normal dan riwayat

sosial, tentukan atau kaji ulang usia kronologis anak.

Tanda item penilaian:

1) = F (Fail atau gagal)

Bila anak tidak mampu melakukan uji coba dengan baik, ibu atau

pengasuh memberi laporan anak tidak dapat melakukan tugas dengan baik.

2) M = R (Refusal atau menolak)

Anak menolak untuk uji coba.

3) V = P (Pass atau lewat)

Apabila anak dapat melakukan uji coba dengan baik, ibu atau

pengasuh memberi laporan tepat atau dapat dipercaya bahwa anak dapat

melakukan dengan baik.

4) No = No Opportunity

Anak tidak punya kesempatan untuk melakukan uji coba karena ada

hambatan, uji coba yang dilakukan orang tua.

Cara pemerikasaan DDST II

1) Tetapkan umur kronologis anak, tanyakan tanggal lahir anak yang akan

diperiksa. Gunakan patokan 30 hari untuk satu bulan dan 12 bulan untuk

56
satu tahun. Jika dalam perhitungan umur kurang dari 15 hari dibulatkan ke

bawah, jika sama dengan atau lebih dari 15 hari dibulatkan ke atas.

2) Buat garis lurus dari atas sampai bawah berdasarkan umur kronologis yang

memotong garis horisontal tugas perkembangan pada formulir.

3) Uji semua item dengan cara :

a) Pada tiap sektor, uji 3 item yang berada di sebelah kiri garis umur

tanpa menyentuh batas usia.

b) Uji item yang berpotongan pada garis usia .

c) Uji item sebelah kanan tanpa menyentuh garis usia sampai anak gagal

d) Setelah itu dihitung pada masing-masing sektor, berapa yang P dan

berapa yang F.

Berdasarkan pedoman, hasil tes diklasifikasikan dalam: Normal,

Abnormal, Meragukan dan tidak dapat dites.

1) Abnormal

a) Bila didapatkan 2 atau lebih keterlambatan, pada 2 sektor atau lebih

b) Bila dalam 1 sektor atau lebih didapatkan 2 atau lebih keterlambatan,

plus 1 sektor atau lebih dengan 1 keterlambatan dan pada sektor yang

sama tersebut tidak ada yang lulus pada kotak yang berpotongan

dengan garis vertikal usia

2) Meragukan

a) Bila pada 1 sektor didapatkan 2 keterlambatan atau lebih.

57
b) Bila pada 1 sektor atau lebih didapatkan 1 keterlambatan dan pada

sektor yang sama tidak ada yang lulus pada kotak yang berpotongan

dengan garis vertikal usia.

3) Tidak dapat dites

Apabila terjadi penolakan yang menyebabkan hasil tes menjadi

abnormal atau meragukan.

4) Normal

Semua yang tidak tercantum dalam kriteria di atas. Interpretasi dari nilai

Denver II:

1) Advanced

Bila anak mampu melaksanakan tugas pada item disebelah kanan

garis umur, lulus kurang dari 25% anak yang lebih tua dari usia tersebut.

2) Normal

Bila anak gagal atau menolak tugas pada item disebelah kanan garis

umur, lulus atau gagal atau menolak pada item antara 25-75% (warna

putih).

3) Caution

Tulis C pada sebelah kanan blok, gagal atau menolak pada item

antara 75-100% (warna hijau).

4) Delay

Gagal atau menolak item yang ada disebelah kiri dari garis umur

g. Pemeriksaan Postur dan Keseimbangan

58
1) Pola Postur (General postural alignment) merupakan gambaran bentuk

postur pasien secara umum, dilakukan dalam satu posisi misanya posisi

terlentang, tengkurap, merangkak dan berdiri.

2) Pemeriksaan Keseimbangan

Pemeriksaan keseimbangan adalah pemeriksaan dengan saksama

untuk meneliti atau mengamati yang terlihat dari kondisi pasien. Kondisi

ini terdiri dari keseimbangan statis berupa pasien diposisikan pada tidur

terlentang, telungkup, duduk, dan berdiri. Sedangkan keseimbangan

dinamis, diperhatikan cara anak berguling, merayap, merangkak, ke duduk,

ke berdiri, dan berjalan.

j. Bobath Assesment Quality Movement

Bobath Assesment digunakan untuk mengetahui kualitas fungsional dari

pasien cerebral palsy :

Test Item Skor


Spasticity Severe -20
Moderate -10
Motivation Pore -5
Postural Tone None
Total Patern Moderate -5
Severe
Associated Reaction Moderate -5
Severe
Asymmetry -5
(Trunk,Pelvis)
Inactive Trunk -5

Shoulder -5
Postural
(Prot,Retrak)
Patern
Spine -5
(Kyposis,Lordosis)

59
Pelvis Immobility -5

Head Control Poor -5


Severe
Arm Movement No Dissociation Y,N -5
&Suport
Hand Grasping No Dissociation Y,N -5

Trunk Conntrol No Dissociation Y,N -5


Functional
Activity Hip Movement No Dissociation Y,N -5

Knee Movement No Dissociation Y,N -5

Ankle Movement No Dissociation Y,N -5

Contracture & -5
Deformity
Dislocation

Total skor :100 +( -50) = 50

*Aktivitas fungsional : No = -5 , Yes = 0

Aktivitas Fungsional Skor Catatan

Level V Walking 100

Level IV Standing 80

Level III Sitting 50

Level II Crepping/Crawlling 40

Level I Lying/Prone Lying 10

Total skor

B. Pembahasan Intervensi Fisioterapi (kaitannya dengan clinical reasoning)

1. Neuro Development Treatment (NDT)/Bobath

60
Tujuan dari NDT itu yaitu menghambat pola gerak yang abnormal,

gangguan gross motor, dan gangguan postur terutama pada anak cerebral palsy

spastic. Teknik inhibisi pada NDT ini bertujuan untuk menghambat pola gerak

abnormal, dimana anak cerebral palsy yang spastic akan muncul gerakan yang

susah dikontrol. Ketika inhibisi diberikan maka akan stimulasi dari propioceptive

akan membawa implus sampai otak untuk diterjemahkan menjadi suatu memori

bahwa gerakan yang normal itu adalah yang saat dirasakan (Ikay, et.al, 2016).

Mekanisme Neurodevelopment Treatment (NDT) terhadap peningkatan

gross motor baik crawling, kneeling, standing dan walking, mekanismenya berupa :

adanya input aferen dari medula spinalis lewat serarcuatus externus dorsalis. Dari

medula spinal aferen melalui dua neuron yaitu ganglion spinale dan ser. Arcuatus

eternus doralis (homolateral) yang tujuannya yang satu ke cerebellumdan yang satu

diteruskan ke thalamus. Jalur aferen yang menuju cerebellum dibawa kembali ke

medula spinalis dan dilanjut ke thalamus. Sesampainya di thalamus aferen

dihantarkan melalui dua cabang yaitu menuju motor cortex dan sensori cortex . pada

motor cortex afren dibawa ke brainstem, sedangkan aferen yang menuju sensori

cortex melanjutkan perjalannan ke cortical asosiasi area. Eferen melanjutkan

stimulasi ke basal ganglia dan kembai ke thalamus hingga kembali ke otot.

Ekstroreseptif yang didapat dari kontak tubuh pasien dengan tangan

fisioterapi (pegangan fisioterapis), bola, maupun guling terhadap tubuh. Dimana

reseptor ini melalui 3 neuron, yaitu neuron satu pada ganglion spinale, columna

grisea posterior, dan nukleus anterolateral thalami. Pada neuron pertama

memberikan kontribusi untuk traktus posterolateral dari lissouer. Akson neuron

61
ordo kedua menyilang oblique kesisi yang berlawanan dalam komisura grisea dan

alba anterior dalam segmen spinal. Lalu naik dalam kolumna alba anterioateral

ketiga dalam nukleus posterolateralis ventralis thalamus melalui posterior kapsul

internadan kororna radiata mencapai daerah somastetik dalam girus postsentralis

korteks cerebri. berlawanan sebagai traktus, lalu naik melalui medula oblongata

bersama dengan traktus spinothalamicus lateral dan spinotektalis membentuk

lemnikus spinalis (untuk taktil dan tekanan). Lalu input menuju neuron ketiga

berupa nucleu anteroposteriolateralis thalamimenuju radiata thalami yang berakhir

di cortex cerebri pada area 1, 2, dan 3. Selain mendapatkan prorioseptif (posisi

sendi) dan ekstroreseptif (stimulasi tekan dan sentuhan), pasien mendapatkan

stimulasi dari kesadaran akan posisi bagian tubuh yang diperoleh dari visual.

Dimana impuls yang datang dari ujung-ujung saraf yang beradaptasi lambat di

sionovia dan ligamentum. Ketika kesadaran akan posisi sendi timbul diharapkan

otot-otot terstimulasi untuk berkontraksi sehingga menimbulkan respon otot dan

adaptasi sistem dalam mempertahankan keseimbangan.

Selain itu NDT dapat menurunkan spastisitas dengan mekanisme secara

langsung, motor unit yang berperan meningkat seiring dengan motor learning.

Setelah itu peningkatan signifikan dari frekuensi motor unit karena latihan yang

terus-menerus menyebabkan terbentuknya gerakan yang semakin cepat dan lancar,

oleh karena adanya proses reorganisasi dan adaptasi maka peningkatan fungsi-

fungsi sensorik dan motorik akan mempengaruhi komponenkomponen yang

berperan dalam fungsi prehension, seperti meningkatnya koordinasi gerakan dan

meningkatnya kekuatan otot. Pada otot juga terdapat reseptor yaitu muscle spindle

62
dan organ tendo Golgi. Muscle spindle mempunyai peranan dalam pengaturan

motorik yaitu dalam mendeteksi terhadap perubahan panjang serabut otot dan

kecepatan perubahan panjang otot, sedangkan organ tendo Golgi dalam mendeteksi

ketegangan yang bekerja pada tendo otot selama kontraksi otot atau peregangan

otot. Kedua reseptor tersebut akan mengirimkan informasi ke dalam medulla

spinalis dan juga serebelum sehingga membantu system saraf untuk melakukan

fungsi dalam mengatur kontraksi otot (Guyton, 1991).

Eun-Young Park, dan Won-Ho Kim (2017) melakukan penelitian dengan

judul “Effect of neurodevelopmental treatment-based physical therapy on the

change of muscle strength, spasticity, and gross motor function in children with

spastic cerebral palsy”. Penelitian yang dilakukan di korea ini didapatkan hasil

penelitian bahwa pemberian intervensi NDT/bobath selama 1 tahun pada pasien

dengan kondisi cerebral palsy efektif dalam menurunkan spastisitas, kekuatan dan

level fungsional (GMFCS).

Mi-Ra Kim, MS, PT a , Byoung-Hee Lee, PhD a, Dae-Sung Park, PT, PhD

(2016) menghasilkan penelitian dengan judul “Effects of combined Adeli suit and

neurodevelopmental treatment in children with spastic cerebral palsy with gross

motor function classification system levels I and II”. Pada penelitian ini

menggunakan sampel anak dengan cerebral palsy yang terbagi menjadi dua

kelompok. Kedua kelompok diberikan intervensi NDT dan salah satu kelompok

tersebut diberi intervensi tambahan berupa adesuit neuro develompment treatment.

Dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa pemberian intervensi NDT

berpengaruh terhadap nilai GMFM, PBS (keseimbangan) dan TUG (mobilitas

63
fungsional) pada pasien dengan cerebral palsy. Pada kelompok yang diberi

tambahan intervensi adesuit neuro development menunjukkan efek yang signifikan

pada gaya berjalan temporospatial.

2. Neuro Senso Motor Reflek Development and Synchronization (NSMRDS)

Sinkronisasi seluruh sistem merupakan tujuan akhir dari metode

NSMRD&S yang menerapkan dari teori Neuroscience sehingga akan menyebabkan

reaksi sinapsis genetis pada sel saraf yang akan membentuk kolateral skroting

sehingga akan mendeteksi masalah terjadinya blokade sensoris, pada saat itu fungsi

dari plastisitas otak akan dikembangkan maka akan memperbaiki bagian otak yang

rusak ( Knikou, 2008).

Pada pasien yang diberikan neuro senso motor reflex development and

synchronization yang berfungsi untuk menyingkronkan reflek yang masih dominan,

mengaktifkan proprioceptive sistem dan jaringan struktur tubuh untuk

mengoptimalkan kerja aatu mekanisme pertahanan diri dan mengaktifkan kerja

reseptor yang berhubungan dengan sentuhan dalam dan tekanan serta menurunkan

refleks yang berlebihan ataupun gangguan sensorik.

Penelitian salma (2017) dengan judul ‘’penatalaksanaan fisioterapi pada

pasien dengan cerebral palsy flaccid hipotonus quadriplegi tipe ekstensi dengan

metode neuro senso motor reflex development and synchronization dan neuro

development treatment’’ menunjukkan bahwa pemberian intervensi NSMRDS pada

pasien dengan cerebral palsy dapat memperbaiki gangguan sensorik dan

mensingkronisasi refleks yang masih dominan.

3. Core Stability Exercise

64
Latihan Core Stability Eksercise adalah latihan yang ditujukan pada core

muscles yaitu otot-otot abdominal dan lumbopelvic, dimana otot-otot tersebut

berfungsi sebagai stabilitas aktif pada daerah core (lumbopelvic-hip complex).

(Santi, et al. 2014). Pada anak cerebral palsy akan sangat sulit untuk gerakan

tersebut karena, postur tubuh yang tidak simetris. Dan gerakan duduk membutuhkan

otot-otot ekstensor batang tubuh, panggul, lutut dan plantar fleksor pergelangan

kaki. Dimana pada anak cerebral palsy otot-otot tersebut mengalami spastisitas

sehingga susah untuk melakukan gerakan ke posisi duduk. Untuk mencapai tujuan

ini, perlu latihan secara rutin khususnya latihan untuk meningkatkan keuatan otot

keseimbangan duduk pada anak-anak Cerebral palsy (CP).

Core stability exercise dapat meningkatkan kekuatan otot baik pada otot

core, trunk, pelvic maupun calf muscle, selain itu dapat meningkatkan vestibular,

dan propioceptive sehingga keseimbangan berdiri akan meningkat dan postur tubuh

akan sesuai dengan aligment. intervensi tersebut dapat membentuk kekuatan pada

otot-otot postural. Hal ini akan meningkatkan stabilitas pada trunk dan postur,

sehingga dapat meningkatkan keseimbangan. Selain itu pada saat terjadi

peningkatan core akan diikuti oleh gerakan ekstensi hip, knee, dan peningkatan

kekuatan otot-otot ankle dan juga terjadi perbaikan konduktifitas saraf. Aktivitas

core stability akan memelihara postur yang baik dalam melakukan gerak serta

menjadi dasar untuk semua gerakan pada lengan dan tungkai.

Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Liang et al

(2016) bahwa peran dan sifat otot core itu dapat dibagi menjadi global core

stabilizer muscle dan otot profun dan sebagai local core stabilizer, meliputi

65
transversus abdominis dan otot multifidus, rektus abdominis, perut otot obliges

internal dan eksternal, dan otot paras spinal lumbal. Penelitian ini juga menunjukkan

bahwa latihan core stablilty tidak hanya meningkatkan kekuatan otot core, tetapi

juga dapat meningkatkan stabilitas gerakan tubuh yang memerlukan koordinasi

dengan baik dari ekstremitas atas dan ekstremitas bawah, karena studi terbaru juga

menunjukkan bahwa latihan core stability exercise dapat meningkatkan kontrol

gerakan trunk, dan meningkatkan koordinasi neuromuscular gerakan.

Hasil penelitian Ali et al (2016) yang berjudul ‘’ Effect of Core Stabilizing

Program on Balance in Spastic Diplegic Cerebral Palsy Children “’ menunjukkan

bahwa pemberian intervensi core stability + program fisioterapi selama 8 bulan

menunjukkan hasil yang lebih signifikan meningkatkan keseimbangan pada pasien

dengan cerebral palsy diplegia dibandingkan dengan kelompok yang hanya

diberikan program fisioterapi.

66
DAFTAR PUSTAKA

Pediatric Physical Theraphy- LWW Journals Wolters Kluwer

Duus, Peter, 1996 ; Diagnosis Topik Neurologi : Anatomi, Fisiologi, Tanda, Gejala,
cetakan pertama, EGC, Jakarta .
Jeng SC, Yeh KK, Liu WY, Huang WP, Chuang YF, Wong AMK, et al. A physical fitness

follow-up in children with cerebral palsy receiving 12-week individualized exercise

training. Res Dev Disabil. 2013; 34(11): 4017-24. doi: 10.1016/j.ridd. 2013

Kenville, R., Maudrich, T., Carius, D., and Ragert, P. (2017). Hemodynamic response
alterations in sensorimotor areas as a function of barbell load evels during squatting: an
fNIRS study. Front. Hum. Neurosci. 11:241.
doi: 10.3389/fnhum.2017.00241

Kenworthy, L., Anthony, L. G., Naiman, D. Q., Cannon, L., Wills, M. C., Luong- Tran, C.,
et al. (2014). Randomized controlled effectiveness trial of executive function intervention
for children on the autism spectrum. J. Child Psychol.
Psychiatry 55, 374–383. doi: 10.1111/jcpp.12161

Lambourne, K., and Tomporowski, P. (2010). The effect of exercise-induced arousal on


cognitive task performance: a meta-regression analysis. Brain Res. 1341, 12–24. doi:
10.1016/j.brainres.2010.03.091

Lehto, J. E., Juujärvi, P., Kooistra, L., and Pulkkinen, L. (2003). Dimensions of executive
functioning: evidence from children. Br. J. Dev. Psychol. 21, 59–80. doi:
10.1348/026151003321164627

McMorris, T. (2016). Developing the catecholamines hypothesis for the acute exercise-
cognition interaction in humans: lessons from animal studies. Physiol. Behav. 165, 291–
299. doi: 10.1016/j.physbeh.2016.08.011

Memari, A. H., Mirfazeli, F. S., Kordi, R., Shayestehfar, M., Moshayedi, P., and
Mansournia, M. A. (2017). Cognitive and social functioning are connected to physical
activity behavior in children with autism spectrum disorder. Res. Autism Spect. Disord. 33,
21–28. doi: 10.1016/j.rasd.2016.10.001

Miyake, A., Friedman, N. P., Emerson, M. J., Witzki, A. H., Howerter, A., and Wager, T.
D. (2000). The unity and diversity of executive functions and their contributions to

67
complex ‘‘frontal lobe’’ tasks: a latent variable analysis. Cogn. Psychol. 41, 49–100. doi:
10.1006/cogp.1999.0734

Ogoh, S., and Ainslie, P. N. (2009). Cerebral blood flow during exercise: mechanisms of
regulation. J. Appl. Physiol. 107, 1370–1380. doi: 10.1152/japplphysiol.00573.2009

68

Anda mungkin juga menyukai