Anda di halaman 1dari 9

Bab I

Pendahuluan

1. Latar Belakang

Permasalahan gender memang sudah cukup lama menjadi isu bukan saja di
Indonesia tetapi di dunia. Dan BPPT, merupakan salah satu lembaga yang didesain oleh
pendahulunya untuk menjadi contoh bagaimana permasalahan gender bisa diatasi. Tidak
ada pembedaan antara perempuan dan laki-laki di lingkungan BPPT. Bahkan beberapa
produk karya BPPT yang fenomenal dihasilkan oleh perekayasa perempuan, seperti
pengembangan produk olahan jamur, pangan darurat dan fuelcell,” ungkap Kepala BPPT,
Marzan A Iskandar saat penandatanganan MoU antara BPPT dan Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP-PA) mengenai Pengkajian,
Penerapan dan Pemasyarakatan Teknologi untuk Mendukung Pembangunan yang
Responsif Gender dan Peduli Anak (27/12).

Kuncinya adalah pendidikan. Menurut Marzan, selama diberikan akses


pendidikan yang sama, maka permasalahan gender akan menjadi kurang relevan. “Di
lingkungan BPPT, dari jumlah karyawan sekitar 3000 orang, total pegawai perempuannya
mencapai 659 orang atau 22,84%. Sementara itu total pejabat perempuan mencapai 305
orang atau 19,37%,” jelasnya.

Menurut Menteri PP-PA, Linda Amalia Sari Gumelar, BPPT merupakan


lembaga ke-31 yang bekerjasama dengan KPP-PA dalam menyusun kebijakan terkait
pengarusutamaan gender. Kerjasama juga diperlukan agar Instruksi Presiden Nomor 9
tahun 2000 mengenai pengarusutamaan gender dalam pembangunan nasional yang
diamanatkan bisa dilakukan oleh seluruh kementerian dan lembaga. Begitu juga dengan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112 tahun 2012 yang mengamanatkan pelaksanaan
anggaran yang responsif gender.

Kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan serta perlindungan anak,


menurut Linda merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan pembangunan yang dapat
dinikmati secara adil, efektif dan akuntable oleh seluruh penduduk Indonesia. Penerapan
pengarusutamaan gender dan perlindungan anak akan menghasilkan kebijakan publik
yang lebih efektif untuk mewujudkan pembangunan yang lebih adil dan merata.

Gender adalah variabel kompleks yang merupakan bagian dari konteks


sosial, budaya, ekonomi dan politik. Gender juga relevan bagi kerja gerakan masyarakat
sipil. Gender adalah perbedaan yang dikonstruksi secara sosial antara laki-laki dan
perempuan, sedangkan jenis kelamin merujuk pada perbedaan biologis antara laki-laki
dan perempuan. Karena terkonstruksi secara sosial, perbedaan gender tergantung pada
usia, status perkawinan, agama, etnik, budaya, ras, kelas/kasta dan seterusnya. Perbedaan
jenis kelamin tidak banyak tergantung pada variabel-variabel tersebut.

Sejak beberapa dekade belakangan ini kalangan analis pembangunan telah


mengakui adanya kebutuhan untuk memastikan perihal gender dianalisis dan
diintegrasikan ke dalam proyek-proyek pembangunan. Dalam mengintegrasikan gender
pada pembangunan para praktisi pembangunan merespon kebutuhan prioritas perempuan
dan laki-laki sambil memperhatikan efek-efek dari dampak yang bisa menguntungkan
atau merugikan.

A. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas maka dapat dirumuskan beberapa masalah
1. Apa itu gender ?
2. Apa saja bentuk bentuk ketidakadilan gender ?

3. Contoh kasus kesetaraan Gender ?

4. Mengapa Gender Relevan bagi Pembangunan?

A. Tujuan
Tujuan Dari makalah ini yang ialah
1. Mengetahui apa itu gender
2. Mengetahui bentuk bentuk ketidakadilan gender
3. Mengetahui kasus kesetaraan gender
4. mengetahui peran gender dalam pembangunan

Bab II

Pembahasaan

1. Pengertian Gender

Kata gender berasal dari bahasa inggris yang berarti jenis kelamin, gender juga
merupakan konsep mendasar yang di tawarkan oleh feminisme untuk mnganalisis masyarakat.
Dalam bahasa nggris di artikan sebagai jenis kelamin, yang menunjukan adanya penyifatan dan
pengklasifikasikan dua jenis kelamin secara biologis, yaitu laki-lakki dan perempuan. Beberapa
d=feminis, seperti simone, beauvior, Crist Weedon dan Barbara Lioyd sepakat bahwa pada ranah
ini ada garis yang bersifat nature, dimana laki-laki dan perempuan masing-masing memiliki
karakteristik yang melekat pada secara permanen, kodrati dan tidak dapat di pertukarkan satu
dengan yang lainnya.

Gender adalah suatu konsep kultural yang merujuk pada karakteristik yang membedakan
antara wanita dan pria baik secara biologis, perilaku, mentalitas, dan sosial budaya. Pria dan
wanita secara sexual memang berbeda . begitu pula secara perilaku dan mentalitas. Namun
perannya di masyarakat dapat di sejajarkan dengan batasan-batasan tertentu.

Pengertian gender di definisikan sebagai aturan atau normal perilaku yang berhubungan
dengan jenis kelamin dalam suatu sistem masyarakat.karena itu gender sering kali di identikan
dengan jenis kelamin atau sex. Meski sebenarnya kedua jenis kata ini yaitu sex dan gender
memiliki konsep yang berbeda. Lelaki dan wanita secara sexualitas di bedakan berdasarkan alat
kelamin yang dimilikinya. Namun, secara gender perbedaan tersebut tidak menjamin perbedaan
gender.

2. Bentuk Ketidakadilan Gender dan Contoh Kasus Kesetaraan Gender

A. sterotype

Semua bentuk ketidakadilan gender diatas sebenarnya berpangkat pada satu sumber kekeliruan
yang sama, yaitu sterotype gender laki-lzki dan perempuan. Sterotype itu sendiri berarti
pemberian citra baku atau label cap kepada seseorang atau kelompok yang di dasarkan pada
suatu anggapan yang salah satu sesat.

Misalnya, pandangan terhadap perempuan bahwa tugas dan fungsinya hanya melaksanakan
pekerjaan yang berkaitan dengan kerumahtanggaan atau tugas domestik dan sebagi akibatnya
ketika ia berada di ruang publik maka jenis pekerjaan, profesi atau kegiatannya di masyarakat
bahkan di tingkat pemerintahan dan negara hanyalah merupakan perpanjangan peran
domestiknya.

B. kekerasan

Kekerasan( violence )artinya tindak kekerasan, baik fisik maupun non fisik yang di lakukan oleh
satu jenis kelamin atau sebuah institusi keluarga, masyrakat atau negara terhadap jenis kelamin
lainnya. Peran gender telah membedakan karakter perempuan dan laki-laki. Perempuan di
anggap feminsm dan laki-laki maskulin. Karakter ini kemudian mewujud dalam ciri-ciri
psikologis, seperti laki-laki dianggap gagah, kuat, berani dan sebagainya.

C. beban ganda( double burden )

Beban ganda artinya beban pekerjaan yang di terima salah satu jenis kelanin lebih banyak di
bandingkan jenis kelamin lainnya. Peran reproduksi perempuan seringkali dianggap peran yang
statis dan permanen. Walaupun sudah ada peningkatan jumlah perempuan yang bekerja di
wilayah publik, namun tidak diiringi dengan berkurangnya beban mereka di wilayah domestik.

Contoh Dalam suatu rumah tangga pada umumnya,

beberapa jenis kegiatan dilakukan oleh laki-laki, dan beberapa yang lain dilakukan oleh
perempuan. Berbagai observasi menunjukkan perempuan mengerjakan hampir 90% dari
pekerjaan dalam rumah tangga, sehingga bagi mereka yang bekerja di luar rumah, selain bekerja
di wilayah public mereka juga masih harus mengerjakan pekerjaan domestik.

D. marjinalisasi

Artinya suatu proses peminggiran akibat perbedaan jenis kelamin yang mengakibatkan
kemiskinan. Banyak cara yang dapat digunakan untuk memarjinalkan seorang atau kelompok.
Salah satunya adalah dengan menggunakan asumsi gender. Misalnya dengan anggapan bahwa
perempuanberfungsi sebagai pencari nafkah tambahan, maka ketika mereka bekerja di luar
rumah seringkali dinilai dengan anggapan tersebut.

Contoh-contoh marginalisasi:

1. Pemupukan dan pengendalian hama dengan teknologi baru yang dikerjakan laki-laki

2. Peluang menjadi pembantu rumah tangga lebih banyak perempuan

3. Banyak pekerjaan yang dianggap sebagai pekerjaan perempuan seperti “guru taman kanak-
kanak” atau “sekretaris” dan “perawat”.

E. subordinasi

Subordinasi artinya suatu penilaian atau anggapan bahwa suatu peran yang di lakukan oleh satu
jenis kelamin lebih rendah dari yang lain. Telah diketahui, nilai-nilai yang berlaku di masyarakat,
telah memisahkan dan memilah-milah peran-peran gender, laki-laki dan perempuan. Perempuan
di anggap bertanggung jawab dan memiliki peran dalam urusan domestik atau reproduksi,
sementara laki-laki dalam urusan publik atau domestik.

Sebagai contoh apabila seorang isteri yang hendak mengikuti tugas belajar, atau hendak
berpergian ke luar negeri harus mendapat izin suami, tatapi kalau suami yang akan pergi tidak
perlu izin dari isteri.

3. Gender Dalam Pembangunan

Dalam pembahasan soal gender, praktisi pembangunan dan aktivis gerakan sosial
memperhatikan kesenjangan yang ada di antara laki-laki dan perempuan dalam hal hak-hak,
tanggung jawab, akses dan penguasaan terhadap sumber daya alam serta pengambilan keputusan
dalam keluarga, di komunitas dan di tingkat nasional. Laki-laki dan perempuan kerapkali
memiliki perbedaan dalam prioritas, hambatan dan pilihan terkait dengan pembangunan serta
dapat mempengaruhi dan dipengaruhi secara berbeda oleh proyek-proyek pembangunan dan
penanganan kampanye. Untuk meningkatkan efektivitas, pertimbangan-pertimbangan tersebut
perlu disikapi dalam semua perencanaan dan penanganan program dan kampanye. Jika
pertimbangan-pertimbangan tersebut tidak disikapi secara serius dan memadai, tindakan-
tindakan tersebut tidak saja hanya akan menghasilkan inefisiensi serta tidak berkelanjutan, tetapi
juga dapat memperburuk kondisi ketidaksetaraan yang ada. Memahami isu gender dapat
memungkinkan proyek untuk memperhatikan persoalan gender dan membangun kapasitas untuk
menghadapi dampak-dampak ketidaksetaraan dan untuk memastikan adanya keberlanjutan.

Ketika kita berbicara mengenai Kesetaraan Gender, kita berbicara tentang kesamaan di muka
hukum serta kesetaraan peluang, termasuk peluang untuk mengemukakan pendapat. Kerap kali,
hal kesetaraan gender adalah mengenai pemberian peluang yang lebih baik kepada perempuan
dalam semua hal tersebut.

Hak-hak perempuan dilindungi oleh banyak instrumen dan hukum internasional. Paling terkenal
di antaranya adalah Konvensi Penghapusan segala bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan
(CEDAW, 1979) – sebuah Traktat PBB yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1979
dan pada awalnya ditandatangani oleh 64 negara di bulan Juli tahun berikutnya. Sebuah protokol
opsional disusun kemudian untuk mengatur mekanisme pertanggunggugatan negara-negara
terhadap traktat. Sejak itu ada beberapa deklarasi internasional dan perjanjian yang telah
digunakan sebagai standar untuk mengukur kemajuan dalam urusan perempuan. Termasuk di
antaranya Deklarasi Beijing dan Landasan Aksi (1995) serta Tujuan Pembangunan
Milenum/MDGs (2001) yang memuat pertimbangan-pertimbangan gender pada hampir setengah
dari keseluruhan klausal. MDGs bersifat saling menguatkan, yaitu kemajuan pada satu tujuan
mempengaruhi kemajuan dalam tujuan lain. Namun, tujuan ketiga berbicara secara khusus
tentang kesetaraan gender. Target Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang melanjutkannya
akan diadopsi pada tahun 2015 sebagai bagian dari Agenda Pembangunan Berkelanjutan yang
luas, mencakup pencapaian 'kesetaraan gender dan menguatkan semua perempuan dan gadis'
sebagaimana tercantum dalam Tujuan 5.

A. Arah historis pengintegrasian gender dalam pembangunan

Pendekatan awal mencakup penargetan perempuan dalam perencanaan dan intervensi proyek
yang berfokus pada perempuan sebagai kelompok terpisah. Hal ini biasa disebut sebagai
Perempuan dalam Pembangunan. Kritik terhadap pendekatan ini menuding bahwa pendekatan
ini tidak mengurus soal laki-laki, yang lalu mendorong munculnya model yang disebut Gender
dan Pembangunan (GdP) yang lebih berkonsentrasi pada perencanaan dan intervensi proyek
yang berfokus pada proses pembangunan yang mentransformasikan relasi gender. Tujuan dari
GdP adalah membuat perempuan mampu berpartisipasi secara setara dengan laki-laki dalam
menentukan masa depan bersama. Maka dari itu pendekatan Kesetaraan Gender adalah mengenai
laki-laki dan perempuan dan merupakan pendekatan yang lebih komprehensif untuk
menganalisis dan merencanakan intervensi pembangunan karena mempertimbangkan situasi dan
kebutuhan laki-laki dan perempuan. Kesetaraan gender bertujuan melibatkan laki-laki dan
perempuan dalam menyikapi permasalahan mereka terkait pembangunan, mereformasi lembaga-
lembaga untuk membangun hak-hak dan peluang yang setara, serta mendorong perkembangan
ekonomi yang menguatkan kesetaraan partisipasi. Pendekatan semacam itu bertujuan untuk
memperbaiki kesenjangan yang terus ada terkait akses terhadap sumber daya alam dan
kemampuan untuk mengemukakan pendapat.

• Maskulinitas
Juga diakui oleh para spesialis dan aktivis dalam bidang ini bahwa perilaku laki-laki perlu
disikapi dalam konteks kerja gender. Kecuali para laki-laki melawan perilaku, sikap dan pola
asuh yang mengekalkan kesenjangan gender, tidak akan terjadi perubahan dalam hal
ketidakadilan dan kekerasan gender[1]. Sejak lebih dari dua dekade terakhir semakin banyak
program mengenai hal gender dikembangkan di berbagai belahan dunia, lalu hasil belajar
dibagikan dan diadaptasikan ke dalam konteks yang baru. Di antaranya yang paling terkenal
adalah program Puntos de Encuentro dan Cantera di Nikaragua, serta programnya mengenai
perubahan perilaku laki-laki. Contoh lain adalah Stepping Stones, sebuah penanganan kelompok
kecil menggunakan pembelajaran partisipasi untuk membantu meningkatkan kesehatan seksual,
dimulai di Uganda namun diadaptasi di berbagai negara sub-Sahara Afrika termasuk Gambia,
Ghana, Kenya, Afrika Selatan, Tanzania, Zambia juga di Filipina. Paket pelatihan komunitas
program tersebut “bertujuan mendorong komunitas untuk mempertanyakan dan memperbaiki
ketidaksetaraan gender yang berkontribusi terhadap HIV/AIDS, kekerasan berdasarkan gender
dan hal-hal lain” dan juga berfokus pada perubahan perilaku.[2]

• Gender dan gerakan sosial

Di seluruh dunia orang mengorganisasikan diri untuk melawan dan mengakhiri ketidakadilan
gender di segala bidang kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya. Namun demikian, untuk
meraih keberhasilan perjuangan ini perlu melibatkan dan memprioritaskan kesetaraan gender
dalam struktur organisasi sendiri sebagaimana juga perlu tercakup dalam analisis dan metodologi
untuk perubahan. Hal ini sangat politis pada berbagai tataran. Walaupun gerakan sosial mencoba
menyikapi hal ini, para aktivis masih sering menghadapi perlawanan kuat dalam upaya
mengubah politik dan praktik-praktik berbasis gender bahkan dalam konteks gerakan dan
organisasi-organisasi sekutu. Namun demikian, untuk membuat dampak dalam transformasi
relasi kekuasaan gender peran gerakan sosial adalah penting.

Mengintegrasikan perspektif gender ke dalam gerakan sosial dan aktivisme tidak hanya
mengenai ‘pelibatan’ perempuan atau ‘memikirkan tentang’ laki-laki dan minoritas gender,
melainkan juga mempertimbangkan apa yang disodorkan politik berbasis gender mengenai cara-
cara alternatif untuk mengada, melihat dan melakukannya terhadap diri sendiri dalam rangka
transformasi relasi kekuasaan patriarki. Ada beberapa pendekatan yang diambil oleh berbagai
gerakan sosial dalam menyikapi persoalan hak-hak perempuan dan keadilan gender, namun
secara umum bisa ditarik beberapa parameter yang memfasilitasi suatu lingkungan yang
mendukung bagi pembangunan gerakan yang adil gender. Misalnya, melakukan afirmasi akan
pentingnya mengatasi ketidaksetaraan gender dan kekuasaan patriarki sebagai bagian integral
keadilan dan menyebutkannya secara eksplisit sebagai prioritas; terlibat secara positif dalam
refleksi internal dan aksi untuk hak-hak perempuan dan keadilan gender, memberikan dukungan
terhadap kepemimpinan dan partisipasi perempuan dalam semua aspek gerakan sosial, mengatasi
kekerasan dan pelecehan berbasis gender. Memastikan distribusi peran/kedudukan yang setara
dalam struktur organisasi, memastikan kesetaraan partisipasi, mempertimbangkan hal
pengurusan anggota keluarga, mempertimbangkan bahwa perempuan bisa menjadi target
pembalasan oleh anggota masyarakat yang merasa terancam oleh adanya keadilan gender yang
menimbulkan perubahan-perubahan dalam peran tradisional.

Bab III

Penutup

1. Kesimpulan

Gender adalah suatu konsep kultural yang merujuk pada karakteristik yang membedakan antara
wanita dan pria baik secara biologis, perilaku, mentalitas, dan sosial budaya. Pria dan wanita
secara sexual memang berbeda . begitu pula secara perilaku dan mentalitas. Namun perannya di
masyarakat dapat di sejajarkan dengan batasan-batasan tertentu.

Bentuk ketidakadilan gender

A. sterotype

B. kekerasan

C. Beban Ganda

D. Marginalisasi

E. Subordinasi

Tujuan dari GdP adalah membuat perempuan mampu berpartisipasi secara setara dengan laki-
laki dalam menentukan masa depan bersama. Maka dari itu pendekatan Kesetaraan Gender
adalah mengenai laki-laki dan perempuan dan merupakan pendekatan yang lebih komprehensif
untuk menganalisis dan merencanakan intervensi pembangunan karena mempertimbangkan
situasi dan kebutuhan laki-laki dan perempuan.

2. Saran

Menurut saya kesetaraan gender baik laki laki maupun perempuan harus sama untuk
mempercepat pembangunan nasional karena wanita pun mempunyai hak untuk mendapat
pekerjaan dan sekarang adalah zaman teknologi atau 4.0 bukan zaman dimana perempuan
dibatasi pekerjaan dan hanya melakukan pekrerjaan rumah tangga dll. semoga makalah yang
saya buat ini bermanfaat untuk para pembaca apabila terdapat kekurangan dari makalah saya
mohon maaf.

Anda mungkin juga menyukai