Anda di halaman 1dari 7

PRAKTIK PROFESIONAL BIDAN

FAKTOR PENYEBAB TIDAK MENURUNNYA ANGKA KEMATIAN IBU (AKI)


TERKAIT DENGAN KETIMPANGAN GENDER
Dosen Pengampu : Bebaskita Ginting SSiT,M.Ph

Disusun Oleh :
Nama : Diva Adisti
NIM : P07524420059
Kelas : 3B Sarjana Terapan Kebidanan

POLTEKKES KEMENKES RI MEDAN


PRODI SARJANA TERAPAN KEBIDANAN MEDAN
T.A 2022/2023

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ketidak setaraan gender sudah menjadi isu yang lama tidak terpecahkan. Di seluruh
penjuru dunia, baik di negara maju maupun berkembang masih mengalami permasalahan
ketimpangan gender yang bermuara pada meningkatnya perilaku bersifat diskriminasi kepada
kaum yang menjadi termarjinalkan akibat ketimpangan tersebut, yaitu khususnya pada kaum
perempuan. Indonesia sendiri merupakan negara yang mendapatkan warisan budaya patriarki
dari bangsa penjajah. Budaya ini masih meresap cukup kuat pada sebagian masyarakat
Indonesia, di mana mereka mempercayai kendali tunggal laki-laki atas segala hal. Sehingga,
tidak jarang kaum perempuan mendapatkan perlakuan yang tidak adil di masyarakat dalam
berbagai bentuk. Artikel ini menggunakan metode penelitian kualitatif dan pengumpulan data
dengan studi pustaka. Melalui perspektif konflik dari pendekatan multidimensional yang
digunakan untuk meninjau isu ini, dapat disimpulkan bahwa budaya patriarki menjadi salah
satu faktor besar dari banyaknya perlakuan diskriminatif kepada perempuan sampai saat ini
dikarenakan susunan kekuasaan pada berbagai aspek nyatanya didominasi oleh kaum laki-
laki.(Apriliandra and Krisnani, 2021)
Menjadi seorang perempuan di Tanah Air memiliki tantangan tersendiri. Pasalnya, kaum
perempuan di Indonesia masih sering mendapatkan perlakuanperlakuan tidak adil dari
masyarakat, khususnya laki-laki. Hal ini karena adanya persepsi atas kekuatan perempuan
masih di bawah laki-laki dalam berbagai aspek seperti politik, pendidikan, lingkungan
pekerjaan, dan sebagainya.
Berdasarkan hasil analisis regresi linier diperoleh faktor-faktor yang signifikan
mempengaruhi Indeks Ketimpangan Gender adalah persentase penduduk perempuan 10
tahun ke atas yang tidak/belum pernah sekolah, persentase perempuan umur 20-24 tahun
berstatus kawin/ hidup bersama sebelum umur 18 tahun, persentase persalinan tidak di
fasilitas kesehatan, IPM pada penduduk perempuan, dan IDG. Sedangkan faktor yang tidak
mempengaruhi IKG adalah persentase rumah tangga yang kepala rumah tangganya
perempuan dan IPG.(Marsono, 2021)

2
Penelitian lain yang menggambarkan ketidaksetaraan gender di Indonesia disebut dalam
2016 Indonesian National Women’s Life Experience Survey (2016 SPHPN): Study on
Violence Against Women and Girls (2016), bahwa satu dari tiga perempuan Indonesia berusia
15-64 tahun mengaku pernah mengalami kekerasan fisik dan seksual dilakukan oleh atau
bukan pasangannya selama hidupnya, dan statistik juga menunjukkan sekitar 9,4% perempuan
mengalaminya dalam 12 bulan terakhir. Organisasi Equal Measures 2030 (2019), menyatakan
bahwa pada tahun 2017, perempuan juga masih menghadapi kendala dalam peraturan dan
diskriminasi di sektor ekonomi sebesar 51%.

Isu kesetaraan gender masih menjadi perhatian banyak pihak. Meski perbaikan mulai
tampak, ketimpangan dan diskriminasi masih menjadi persoalan serius. Tidak hanya karena
ketimpangan dan diskriminasi, penajaman perspektif gender dan pemberdayaan perempuan
itu secara bersamaan menjadi krusial karena pada dasarnya setiap pengambilan keputusan
serta setiap strategi pembangunan itu memiliki implikasi gender, tak terlepas pada situasi
kekinian.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Gender?
2. Mengapa kita belum bisa menurunkan angka kematian ibu (AKI) sesuai dengan
ketimpangan gender?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengerrtian Gender
2. Untuk mengetahui apa penyebab angka kematian ibu (AKI) sesuai dengan ketimpangan
gender

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Gender


Gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam peran, fungsi,
hak, tanggung jawab, dan perilaku yang dibentuk oleh tata nilai sosial, budaya dan adat
istiadat dari kelompok masyarakat yang dapat berubah menurut waktu serta kondisi
setempat (KPP, 2004). Ketimpangan gender dapat dimaknai sebagai keadaan dimana
perempuan dan lakilaki memiliki kondisi yang timpang atau tidak setara untuk dapat
merealisasikan haknya sebagai manusia utuh dan untuk dapat memberikan kontribusi,
serta memperoleh manfaat dari pembangunan (BPS, 2020).
Kata „gender‟ dapat diartikan sebagai perbedaan peran, fungsi, status dan
tanggungjawab pada laki-laki dan perempuan sebagai hasil dari bentukan (konstruksi)
sosial budaya yang tertanam lewat proses sosialisasi dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Dengan demikian gender adalah hasil kesepakatan antar manusia yang tidak
bersifat kodrati. Oleh karenanya gender bervariasi dari satu tempat ke tempat lain dan
dari satu waktu ke waktu berikutnya. Gender tidak bersifat kodrati, dapat berubah dan
dapat dipertukarkan pada manusia satu ke manusia lainnya tergantung waktu dan budaya
setempat.(Puspitawati, 2013)

2.2 Penyebab angka kematian ibu (AKI) sesuai dengan ketimpangan gender
Awal mula terjadinya ketimpangan gender pada perempuan disebabkan oleh
rendahnya pendidikan (Trianton, 2009). Pandangan ini meresap menjadi sebuah unsur
kebudayaan, di mana masyarakat masih mempercayai kendali tunggal oleh laki-laki
dalam banyak bidang sehingga menimbulkan ketidaksetaraan akses dan kesempatan bagi
perempuan untuk maju. Ini menunjukkan bahwa perbedaan pendidikan menjadi awal
mula derajat perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki sehingga perempuan
menjadi korban dari budaya patriarkhi.
Menurut Spradley (2007; dalam Israpil, 2017), masyarakat yang menganut sistem
sosial dengan persepsi patriarki seringkali menganggap laki-laki memiliki peran yang besar

4
dalam mengangkat derajat perempuan. Spradley (2007; dalam Israpil, 2017) menambahkan
bahwa nilai patriarki tersebut melihat perempuan sebagai makhluk yang ditakdirkan untuk
mendampingi laki-laki sehingga struktur sosial yang lebih harmonis dan seimbang dapat
tercipta.
Langgengnya kepercayaan patriarki ini mengakibatkan sebagian kaum perempuan
menerima kodratnya sesuai dengan pandangan kewenangan perempuan di bawah laki-laki
dan melihat persepsi patriarkis tersebut seperti sesuatu yang sudah seharusnya (Rokhimah,
2014). Perempuan sering dipandang sebagai second-class citizen dan juga sebagai objek dari
berbagai upaya perubahan yang ada di masyarakat, tampak pada pemikiran yang mengacu
pada asumsi yang berpihak pada laki-laki (Hastuti, 2005). Di Indonesia sendiri, banyak
daerah yang masih mempercayai persepsi patriarki lebih dari sekedar mengikuti garis
keturunan patrilineal. Kebudayaan tersebut menjadi unsur kehidupan yang tercermin pada
aktivitas sehari-hari, baik dalam lingkup keluarga maupun di masyarakat yang lebih luas.
Dapat dilihat pada masyarakat Bali yang menganut garis keturunan patrilineal, mereka
memiliki pembagian tugas dan wewenang dalam pernikahan. Masyarakat Bali menganut
konsep purusa atau laki-laki berperan kepala keluarga dalam keluarga dan memiliki status
kemampuan menanggung tanggung jawab keluarga, sedangkan kaum perempuan yang tidak
memiliki kuasa tersebut akan lebih rentan ditempatkan pada posisi di bawah laki-laki
(Ariyanti & Ardhana, 2020).

Kemudian di Indonesia masih terdapat budaya perempuan tidak boleh mengambil


keputusan tanpa pertimbangan suami dan keluarga, termasuk soal akses pelayanan kesehatan
melahirkan. Sehingga juga menjadi penyebab tingginya angka kematian ibu dan bayi baru
lahir di Indonesia. Tingginya angka kematian ibu juga dipengaruhi oleh tradisi pernikahan
dini. Terlebih tradisi ini didukung oleh regulasi yang bias gender, yaitu undang-undang
Perkawinan tahun 1974 yang mengatur usia pernikahan minimal 16 tahun untuk perempuan
dan 19 tahun untuk laki-laki. (Alfirdaus, 2019)

Selain karena tradisi dan budaya gender, ada penyebab lain dari angka kematian ibu
tersebut yaitu kesenjangan akses pelayanan kesehatan berkualitas, keterlambatan pertolongan
darurat, pengetahuan kesehatan reproduksi, deteksi dini dan pencegahan penyakit komplkasi
kehamilan, serta belum terpadunya data dan informasi kesehatan.

5
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Budaya patriarki merupakan budaya yang langgeng, khususnya di Indonesia. Budaya


yang mempercayai laki-laki sebagai pemegang kuasa dominan pada berbagai bidang di
masyarakat ini menghasilkan anggapan-anggapan tertentu mengenai perempuan yang
berpengaruh pada pembatasan hak dan kebebasan perempuan. Pembatasan-pembatasan ini
melahirkan isu ketidaksetaraan gender yang menimbulkan wujud-wujud diskriminasi pada
perempuan.

Kita tidak bisa menafikan bahwa setiap kebijakan, intervensi, program pembangunan
dan pelayanan publik memiliki implikasi gender. Ia akan diterima dan dipahami secara
berbeda oleh laki-laki dan perempuan, dan ia akan memiliki dampak yang berbeda bagi
kehidupan lakilaki dan perempuan. Oleh karena itu, naïf ketika berbagai kebijakan dan
program tidak disertai dengan perspektif gender.

6
DAFTAR PUSTAKA

Alfirdaus, L. K. (2019) ‘MENAJAMKAN PERSPEKTIF GENDER, MEMBERDAYAKAN


PEREMPUAN DAN MENCAPAI SDGs (SUSTAINABLE DEVELOPMENT GOALS)’,
Egalita, 13(1), pp. 24–40. doi: 10.18860/egalita.v13i1.8076.

Apriliandra, S. and Krisnani, H. (2021) ‘Perilaku Diskriminatif Pada Perempuan Akibat Kuatnya
Budaya Patriarki Di Indonesia Ditinjau Dari Perspektif Konflik’, Jurnal Kolaborasi Resolusi
Konflik, 3(1), p. 1. doi: 10.24198/jkrk.v3i1.31968.

Marsono, M. (2021) ‘Deteksi Spasial Pada Model Indeks Ketimpangan Gender Indonesia’,
BUANA GENDER : Jurnal Studi Gender dan Anak, 6(1). doi: 10.22515/bg.v6i1.3482.

Puspitawati, H. (2013) ‘KONSEP , TEORI DAN ANALISIS GENDER Oleh : Herien


Puspitawati Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen Fakultas Ekologi Manusia- Institut
Pertanian Bogor Indonesia . PT IPB Press . Bogor .’, Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora, 4(1),
pp. 1–13.

Anda mungkin juga menyukai