BAB I
PENDEKATAN TEKNIS DAN METODOLOGI
Isu mengenai gender merupakan isu global yang telah lama menarik perhatian dunia. Sebelum
membahas lebih dalam mengenai isu gender, terlebih dahulu perlu dipahami bahwa gender
tidaklah sama dengan jenis kelamin. Pembahasan tentang gender bukan berarti adalah
pembahasan tentang perempuan semata walaupun memang perempuan sering dikaitkan
dengan gender karena posisinya yang terpinggirkan dan terbelakang dibandingkan laki-laki
dalam proses pengambilan keputusan, posisi penting dalam politik, pemerintahan maupun
dalam keluarga.
Gender menurut Kebeer dan Faqih sebagaimana dikutip oleh Mia Siscawati (Mia Siscawati,
2015) berarti adalah pembedaan sifat, peran, serta posisi perempuan dan laki-laki yang
dibentuk oleh masyarakat, dipengaruhi oleh sistem kepercayaan/agama, budaya, politik, dan
sistem ekonomi. Konsep gender bisa berubah bergantung konteks wilayah dan budaya
tertentu. Sebagai contoh, adanya pembedaan peran bahwa perempuan harus bekerja di ranah
domestik rumah tangga semata sedangkan laki-laki berkesempatan bekerja di ranah publik
merupakan sebuah konstruksi budaya Jawa yang menempatkan perempuan sebagai
konco wingking dengan tugas seputar sumur, kasur dan dapur. Dalam konteks budaya lain,
domestifikasi kerja perempuan tersebut bisa saja tidak terjadi.
Sebaliknya, jenis kelamin merupakan sesuatu yang bersifat permanen, melekat pada jenis
kelamin tertentu secara kodrati. Sebagai contoh, laki-laki adalah manusia yang memiliki
penis, jakun dan memproduksi sperma. Sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi
seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memiliki sel telur, memiliki vagina, dan
mempunyai payudara.
Pembahasan mengenai gender juga tidak akan dapat dilepaskan dari berbagai istilah gender
seperti kesenjangan gender, diskriminasi gender, kesetaraan gender dan keadilan gender.
Dalam buku saku berjudul “Kontekstualisasi Gender Islam dan Budaya” yang diterbitkan UIN
Alaudin Makasar dijelaskan sebagai berikut:
- kesenjangan gender adalah perbedaan kondisi dan capaian pada aspek-aspek hak-hak
dasar warga negara seperti kesehatan, pendidikan, perekonomian dan politik.
Kesenjangan gender disebabkan oleh bias gender, yaitu perlakuan yang tidak sama
dalam memperoleh kesempatan, partisipasi, dan pengambilan keputusan berdasarkan
jenis kelamin dan peran gender seseorang.
- Diskriminasi gender adalah perlakuan berbeda yang didasarkan pada gender dalam hal
perolehan kesempatan, keterlibatan atau partisipasi yang menimbulkan kerugian dan
ketidakadilan bagi salah satu pihak, baik kepada pihak laki-laki atau pihak perempuan.
- Kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk
memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan
berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan
keamanan nasional dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut.
- Keadilan gender adalah suatu proses untuk mendapat posisi, peran atau kedudukan
yang adil bagi laki-laki dan perempuan. Dalam rangka mencapai keadilan gender harus
ada perlakuan yang sama atau perlakuan berbeda kepada laki-laki dan perempuan
berdasarkan kebutuhan masing-masing.
Pada tataran global, kebijakan mengenai gender memang bermula dari fokus terhadap
permasalahan hak-hak perempuan. Tahun 1979 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tercatat
mengesahkan konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan
(Konvensi CEDAW) sebagai langkah memperkuat hak-hak perempuan dalam segala bidang.
Beberapa dekade setelahnya tepat pada Tahun 1995 PBB juga kembali memperkenalkan
konsep pembangunan manusia yang berperspektif gender untuk mengukur keberhasilan
pembangunan nasional. Indikator yang dipakai adalah GDI (gender development index) yaitu
kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam usia harapan hidup, pendidikan dan jumlah
pendapatan, serta GEM (gender empowerment measure) yang mengukur kesetaraan
dalam partisipasi politik dan beberapa sektor lainnya.
Perhatian besar dunia pada isu gender tentu bukan tanpa alasan. Menurut Laporan World
Economic Forum (WEF) 2020 secara umum skor kesenjangan gender global Tahun 2020
masih berada pada posisi 68,6 persen. Artinya, masih ada 31,4 persen masalah kesenjangan
gender global yang perlu diselesaikan untuk mengakselerasi pembangunan global. Beberapa
sektor yang tercatat memiliki kesenjangan besar diantaranya sektor politik dan
ketenagakerjaan.
Lebih lanjut, World Bank dalam penelitian berjudul “Unrealized Potential:The High Cost of
Gender In Equality In Earnings” menyebutkan bahwa akibat kesenjangan gender, negara-
negara harus menanggung biaya ekonomi tinggi. Hal ini merupakan imbas dari tidak
maksimalnya pendapatan suatu negara karena kehilangan modal manusia berupa keseteraan
jumlah perempuan dan laki-laki yang berpartisipasi secara penuh sebagai tenaga kerja.
Konteks Indonesia, pembahasan mengenai gender sejatinya juga telah lama mendapatkan
tempat dalam berbagai diskusi. Pada masa pergerakan nasional Tahun 1920an, sebenarnya
telah muncul kesadaran akan pentingnya partisipasi perempuan dalam pergerakan melalui
organisasi (Suhartono dalam Winingsari, 2015). Wujud dari hal tersebut dapat dilihat pada
keberadaan organisasi putri mahardika dalam organisasi Budi Utomo, organisasi Aisyah,
organisasi wanita taman siswa dan banyak organisasi wanita lainnya. Bahkan, pada Tahun
1928 diselenggarakan kongres perempuan pertama kalinya di Indonesia dalam rangka
memajukan perempuan yang pada waktu itu seringkali berada jauh tertinggal di belakang laki-
laki.
Beberapa dekade setelah masa pergerakan nasional, diskusi tentang gender di Indonesia masih
tetap mendapatkan ruang seiring dengan permasalahan-permasalahan gender yang terus
terjadi. Berdasarkan data faktual, Laporan The Global Gender Gap Index 2020 tercatat
menempatkan Indonesia pada peringkat 85 dari 153 negara dengan skor 0.70. Angka tersebut
sayangnya tidak mengalami perubahan dari tahun sebelumnya. Peringkat tersebut masih
tertinggal jauh dari negara-negara tetangga, seperti Filipina pada urutan 16, Laos pada urutan
43, Singapura pada urutan 54 dan Thailand pada urutan 75.
Permasalahan yang diinventarisasi dalam RPJN tersebut, dijabarkan secara lebih detail dalam
lampiran rancangan teknokratik Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) Indonesia
Tahun 2020- Tahun 2024 sebagai berikut:
Dalam rangka meningkatkan keadilan dan kesetaraan gender, sejak Tahun 2000 Pemerintah
Indonesia telah memperkenalkan strategi pengarusutaman gender yang dituangkan dalam
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender
dalam Pembangunan Nasional. Dalam instruksi tersebut dijelaskan bahwa pengarusutamaan
Gender merupakan strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu
dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas
kebijakan dan program pembangunan nasional. Lebih lanjut disebutkan bahwa pelaksanaan
pengaurusutamaan gender dilakukan dengan Analisa gender dan upaya komunikasi, informasi
dan edukasi tentang pengarusutamaan gender pada instansi dan lembaga tingkat pusat dan
daerah.
Beberapa tahun setelah instruksi presiden tersebut terbit, strategi Pengarusutamaan gender
dalam Pembangunan Nasional masih tetap menjadi fokus sebab salah satu tujuan
pembangunan berkelanjutan yang tercantum dalam agenda global Suistainable Development
Goals (SDGs) adalah tercapainya kesetaraaan gender. Dengan demikian, Indonesia memang
harus meletakkan perhatian pada isu gender untuk mencapai target SDGs pada Tahun 2030.
Oleh karena itu, rancangan teknokratik Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN)
Indonesia Tahun 2020-Tahun 2024 menyebutkan bahwa strategi pengarusutamaan gender
dilakukan dengan cara mengintegrasikan perspektif gender dalam proses perencanaan,
penganggaran, pelaksanaan, serta pemantauan dan evaluasi atas kebijakan, program, dan
kegiatan pembangunan yang diwujudkan melalui beberapa langkah yakni:
Selain IPG, ukuran untuk menentukan tercapainya keadilan dan kesetaraan gender adalah IDG.
IDG merupakan ukuran untuk menentukan persamaan peranan antara perempuan dan laki-
laki dalam kehidupan ekonomi, politik dan pengambilan keputusan. IDG diukur berdasarkan
tiga komponen, yaitu keterwakilan perempuan dalam parlemen; perempuan sebagai tenaga
profesional, manajer, administrasi, dan teknisi; dan sumbangan pendapatan. Berkaitan
pemberdayaan gender, kondisi saat ini di Indonesia telah banyak perempuan yang berkarya di
ranah publik dan juga memiliki pendapatan pribadi. Namun demikian, menurut Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, kaitan pemberdayaan gender tidak hanya
selesai pada kuantitas saja melainkan juga harus memastikan kualitas pemberdayaan yang ada.
Selain instruksi presiden Tahun 2000 sebagaimana disebutkan diatas, hingga Tahun 2021,
tercatat beberapa peraturan perundang- undangan telah diterbitikan oleh Pemerintah terkait
pengarusutamaan gender sebagai berikut:
1. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum
Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Daerah yang telah diubah dengan Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 67 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan
Pengarusutamaan Gender di Daerah. Beberapa ketentuan yang diatur diantaranya:
• Pasal 1 angka 1 pengarusutamaan gender adalah strategi yang dibangun untuk
mengintegrasikan gender menjadi laki-laki dan perempuan.
• Pasal 4 ayat (1) Pemerintah daerah berkewajiban menyusun kebijakan, program,
dan kegiatan pembangunan responsif gender yang dituangkan dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah atau RPJMD, Rencana Strategis SKPD, dan
Rencana Kerja SKPD.
• Pasal 4 ayat (2) Penyusunan kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan
responsive gender dilakukan melalui analisis gender.
• Pasal 5 ayat (2) Analisis gender terhadap Rencana Kerja dan anggaran SKPD
dilakukan oleh masing-masing SKPD bersangkutan.
• Pasal 6 ayat (1) Bappeda mengoordinasikan penyusunan RPJMD, Renstra SKPD,
dan Rencana Kerja, dan anggaran SKPD yang responsif gender.
• Pasal 6 ayat (2) Rencana kerja dan anggaran SKPD yang responsif gender
ditetapkan dengan Peraturan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
• Pasal 9 ayat (1) Dalam upaya percepatan pelembagaan pengarusutamaan
gender di seluruh SKPD provinsi dibentuk Pokja PUG provinsi.
2. Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 2 Tahun
2013 tentang Panduan Monitoring dan Evaluasi Perencanaan dan Penganggaran yang
Responsif Gender di Daerah. Beberapa ketentuan yang diatur diantaranya:
Peningkatan nilai Indeks Pembangunan Gender maupun nilai Indeks Pemberdayaan Gender
di DIY menunjukkan sinyal positif keberhasilan pembangunan manusia berbasis gender di DIY.
Namun demikian, adanya fakta tersebut harus disertai pula dengan kebijakan responsif gender
yang berkelanjutan dan berkesinambungan.
Dokumen Pembangunan DIY yakni Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) DIY Tahun
2005-Tahun 2025, juga mencantumkan pengarusutamaan gender sebagai isu strategis yang
harus diwujudkan dalam berbagai perumusan peraturan perundang-undangan , kelembagaan
dan kebijakan anggaran. Selain itu, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)
DIY Tahun 2017-Tahun 2022, disebutkan bahwa salah satu target indikator sasaran
pembangunan yang harus dicapai adalah meningkatnya derajat kualitas sosial hidup
masyarakat melalui pencapaian IDG yang ditargetkan sebesar 70,32 persen pada Tahun 2022.
Adanya berbagai peraturan perundang-undangan di tingkat DIY dirasa belum cukup untuk
memayungi kebutuhan hukum daerah dalam rangka mengatur mengenai pengarusutamaan
gender. Hal ini dikarenakan peraturan di tingkat daerah yang secara spesifik mengatur tentang
pengarusutamaan gender baru sebatas peraturan gubernur yang memayungi langkah
Organisasi Perangkat Daerah di bawah gubernur berkaitan pengarusutamaan gender.
Pengaturan dalam bentuk peraturan daerah diharapkan akan mampu menormakan
pengarusutamaaan gender secara lebih komprehensif dan integratif karena mampu
menjangkau subyek pengaturan yang lebih luas.
Selain itu, dalam Focuss Group Discussion menghimpun masukan dan daftar inventarisasi
masalah Raperda Pengarusutamaan Gender, dikemukakan bahwa ada beberapa permasalahan
kaitan pengarusutamaan Gender sebagai berikut:
JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN
TERKAIT
BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI
MUATAN PERATURAN DAERAH
BAB VI PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN: RANCANGAN PERATURAN DAERAH
B. Identifikasi Masalah
Rumusan masalah dengan memperhatikan permasalahan yang ada di
Pendahuluan KAK pada Nomor 2 “maksud dan Tujuan, dan dikembangkan sesuai
dengan temuan masalah pada saat melakukan kajian/penelitian.
Selanjutnya permasalahan ini kemudian diidentifikasi ke dalam 4 (empat) pokok
masalah, yaitu sebagai berikut:
a. Permasalahan apa yang dihadapi dalam kehidupan berbangsa, bernegara,
dan bermasyarakat serta bagaimana permasalahan tersebut dapat diatasi.
b. Mengapa perlu Rancangan Peraturan Daerah sebagai dasar pemecahan
masalah tersebut, yang berarti membenarkan pelibatan negara dalam
penyelesaian masalah tersebut.
c. Apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis,
yuridis pembentukan Rancangan Peraturan Daerah.
d. Apa sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan,
jangkauan, dan arah pengaturan.
C. Tujuan dan Kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik Sesuai dengan
ruang lingkup identifikasi masalah yang dikemukakan di atas, tujuan penyusunan
Naskah Akademik dirumuskan sebagai berikut:
a. Merumuskan permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan berbangsa,
bernegara, dan bermasyarakat serta cara-cara mengatasi permasalahan
tersebut.
b. Merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi sebagai alasan
pembentukan Rancangan Peraturan Daerah sebagai dasar hukum
penyelesaian atau solusi permasalahan dalam kehidupan berbangsa,
bernegara, dan bermasyarakat.
c. Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis
pembentukan Rancangan Peraturan Daerah.
d. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan,
jangkauan, dan arah pengaturan dalam Rancangan Peraturan Daerah.
Sementara itu, kegunaan penyusunan Naskah Akademik adalah sebagai
acuan atau referensi penyusunan dan pembahasan Rancangan Peraturan
Daerah.
D. Metode
Penyusunan Naskah Akademik pada dasarnya merupakan suatu kegiatan
penelitian sehingga digunakan metode penyusunan Naskah Akademik yang
berbasiskan metode penelitian hukum atau penelitian lain. Penelitian hukum
dapat dilakukan melalui metode yuridis normatif dan metode yuridis empiris.
Metode yuridis empiris dikenal juga dengan penelitian sosiolegal. Metode yuridis
normatif dilakukan melalui studi pustaka yang menelaah (terutama) data
sekunder yang berupa Peraturan Perundang-undangan, putusan pengadilan,
perjanjian, kontrak, atau dokumen hukum lainnya, serta hasil penelitian, hasil
pengkajian, dan referensi lainnya. Metode yuridis normatif dapat dilengkapi
dengan wawancara, diskusi (focus group discussion), dan rapat dengar
pendapat. Metode yuridis empiris atau sosiolegal adalah penelitian yang diawali
dengan penelitian normatif atau penelaahan terhadap Peraturan Perundang-
undangan (normatif) yang dilanjutkan dengan observasi yang mendalam serta
penyebarluasan kuesioner untuk mendapatkan data faktor nonhukum yang
terkait dan yang berpengaruhterhadap Peraturan Perundang-undangan yang
diteliti.
6. BAB VI PENUTUP
Bab penutup terdiri atas subbab simpulan dan saran.
A. Simpulan
Simpulan memuat rangkuman pokok pikiran yang berkaitan dengan praktik
Penyelenggaraan, pokok elaborasi teori, dan asas yang telah diuraikan dalam bab
sebelumnya.
B. Saran
Saran memuat antara lain:
1. Perlunya pemilahan substansi Naskah Akademik dalam suatu Peraturan
Perundang-undangan atau Peraturan Perundang-undangan di bawahnya.
2. Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah atau Produk Hukum Daerah lain
yang diperlukan.
3. Kegiatan lain yang diperlukan untuk mendukung penyempurnaan
penyusunan Naskah Akademik lebih lanjut.
7. DAFTAR PUSTAKA
Daftar pustaka memuat buku, Peraturan Perundang-undangan, dan jurnal yang
menjadi sumber bahan penyusunan Naskah Akademik.
8. LAMPIRAN RANCANGAN PERDA
D.I. Yogyakarta adalah salah satu dari 34 di wilayah Indonesia dan terletak di pulau Jawa
bagian tengah. D.I. Yogyakarta di bagian selatan dibatasi Lautan Indonesia, sedangkan di
bagian timur laut, tenggara, barat, dan barat laut dibatasi oleh wilayah Jawa Tengah yang
meliputi :
Kabupaten Klaten di sebelah Timur Laut.
Kabupaten Wonogiri di sebelah Tenggara.
Kabupaten Purworejo di sebelah Barat
Kabupaten Magelang di sebelah Barat Laut.
Menurut Badan Pertanahan Nasional D.I. Yogyakarta memiliki luas 3.133,15 km2 yang terdiri
dari :
Kabupaten Kulonprogo, dengan luas 586,28 km² (18,71 persen).
Kabupaten Bantul, dengan luas 508,13 km² (16,22 persen)
Kabupaten Gunungkidul dengan luas 1.431,42 km² (45,69 persen)
Kabupaten Sleman, dengan luas 574,82 km² (18,35 persen)
Kota Yogyakarta, dengan luas 32,50 km² (1,04 persen)
Menurut catatan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika, Stasiun Geofisika Kelas I
Yogyakarta, suhu udara rata-rata di DI Yogyakarta tahun 2020 menunjukkan angka 26,7 ⁰C.
Sedangkan untuk kelembaban, Kecepatan Angin dan Tekanan Udara rata-rata menunjukkan
angka 82,4 m/det, dan 991,5 mb. Pada tahun 2020, curah hujan terbesar terjadi di Kabupaten
Sleman pada bulan Maret yaitu 812 mm3 dan paling rendah di Kabupaten Kulonprogo pada
bulan Juli dan Bantul pada bulan Juni yaitu 0 mm. Sedangkan jumlah hari hujan terbanyak
terjadi di Kabupaten Sleman pada bulan Maret sebanyak 25 hari.
Grafik Pengamatan Suhu Udara di Stasiun Pengamatan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
(BMKG) D.I Yogyakarta, 2018 - 2020
Tabel Luas Daerah dan Jumlah Pulau Menurut Kabupaten/Kota di D.I Yogyakarta, 2020
Sumber: Provinsi DIY Dalam Angka 2021
Tabel Pengamatan Unsur Iklim di Stasiun Pengamatan Badan Meteorologi Klimatologi dan
Geofisika (BMKG) D.I Yogyakarta, 2018–2020
Sumber: Provinsi DIY Dalam Angka 2021
Tabel Jumlah Curah Hujan dan Hari Hujan Menurut Bulan di D.I Yogyakarta, 2019 – 2020
Sumber: Provinsi DIY Dalam Angka 2021
Sumber: Provinsi DIY Dalam Angka 2021
1.5.4. Pemerintahan
Pemerintahan Daerah adalah pimpinan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Pimpinan daerah bertanggungjawab sebagai eksekutif, dan DPRD bertanggungjawab sebagai
legislatif. Daerah Istimewa Yogyakarta dipimpin oleh seorang Gubernur dengan ibukota adalah
Kota Yogyakarta. Untuk melaksanakan tugasnya, dalam merumuskan kebijakan
penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan, serta pelayanan masyarakat terdapat unsur-
unsur pembantu Pimpinan Pemerintah Daerah yaitu sekretaris daerah (Setda) dan Lembaga
Teknis Daerah seperti Dinas-dinas, Badan-badan, dan Kantor-kantor. D.I. Yogyakarta terdiri
dari empat kabupaten dan satu kota dengan 78 kecamatan, 392 desa dan 46 kelurahan yaitu :
Kabupaten Kulonprogo terdiri dari 12 kecamatan, 87 desa, dan 1 kelurahan.
Kabupaten Bantul terdiri dari 17 kecamatan dan 75 desa.
Kabupaten Gunungkidul terdiri dari 18 kecamatan dan 144 desa.
Kabupaten Sleman terdiri dari 17 kecamatan dan 86 desa.
Kota Yogyakarta terdiri dari 14 kecamatan dan 45 kelurahan.
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi D.I. Yogyakarta hasil pemilu 2019
sebanyak 55 orang; terdiri dari partai PDI-P 30,91 persen, Gerindra 12,73 persen, PKS 12,73
persen, PAN 12,73 persen, PKB 10,91 persen, Golkar 9,09 persen, Nasdem 5,45 persen, PPP
1,82 persen, PSI 1,82 persen, dan Demokrat 1,82 persen. Pada tahun 2020, tercatat jumlah
keputusan yang ditetapkan DPRD D.I. Yogyakarta sebanyak 214 keputusan, yang terdiri dari 12
Peraturan Daerah, 64 Keputusan DPRD, dan 138 Keputusan Pimpinan Dewan. Pelaksanaan
kegiatan pemerintahan di D.I. Yogyakarta pada tahun 2020 didukung oleh 45.037 orang
pegawai negeri sipil, yang terdiri dari 19.602 PNS laki-laki (43,52 persen) dan 25.435 PNS
perempuan (56,48 persen). Pegawai negeri sipil tersebut tersebar pada level provinsi DIY serta
pada lima kabupaten/kota di D.I. Yogyakarta. Jumlah PNS pada level provinsi D.I. Yogyakarta
sebesar 23,44 persen.
Grafik Jumlah Pegawai Negeri Sipil Menurut Tingkat Pendidikan di D.I. Yogyakarta, Desember
2020
Pemerataan penduduk dapat dilakukan melalui kebijakan relokasi penduduk dalam bentuk
migrasi untuk menciptakan kondisi ideal dan seimbang antara penduduk dan ketersediaan
sumber daya. Selain itu, kebijakan pembangunan berbasis pinggiran atau perdesaan harus
lebih ditingkatkan untuk mengurangi laju migrasi penduduk ke wilayah perkotaan dan
mengurangi konsentrasi penduduk di kawasan pusatpusat perekonomian. Kondisi umum yang
terjadi adalah bahwa konsentrasi dan kepadatan penduduk cenderung tinggi di daerah-daerah
perkotaan. Ketersediaan fasilitas kehidupan yang lebih lengkap dan beragam serta
bervariasinya lapangan pekerjaan merupakan daya tarik tersendiri yang mendorong penduduk
untuk melakukan perpindahan atau migrasi ke pusat-pusat ekonomi di daerah perkotaan.
Persebaran atau konsentrasi penduduk DIY sampai 2020 masih terpusat di Kabupeten Sleman
dan Bantul. Kedua kabupaten memiliki kontribusi jumlah penduduk terbesar dan cenderung
meningkat selama empat dekade terakhir (1971-2019). Secara proporsional, sekitar 31,7
persen penduduk DIY tinggal di wilayah Kabupaten Sleman dan 26,5 persen tinggal di Bantul.
Sementara, jumlah penduduk yang tinggal di Kabupaten Kulon Progo dan Kota Yogyakarta
proporsinya hanya sekitar 11 persen. Proporsi penduduk yang tinggal di Kulon Progo dan
Gunungkidul tercatat semakin menurun dalam empat dekade terakhir, karena faktor migrasi
keluar pada kelompok penduduk berusia kerja dan menurunnya tingkat fertilitas. Hal ini
berdampak pada level pertumbuhan penduduk per tahun di kedua wilayah yang relatif lebih
rendah jika dibandingkan dengan Sleman dan Bantul. Pangsa populasi di Kota Yogyakarta
terlihat meningkat sampai periode 1990. Namun demikian, populasi kembali menurun sampai
periode 2020 akibat daya dukung wilayah Kota Yogyakarta yang semakin jenuh untuk
menampung perkembangan penduduk dan aktivitas sosial ekonomi yang melingkupinya.
Tingkat kepadatan penduduk DIY pada tahun 2010 mencapai 1.085 jiwa per km2 .
Perkembangan angka kepadatan penduduk DIY dalam beberapa tahun terakhir terlihat
semakin meningkat. Hal ini disebabkan oleh pertambahan jumlah penduduk, sementara dari
sisi luas wilayah administrasi tidak mengalami perluasan. Pada tahun 2020, kepadatan
penduduk DIY diproyeksikan mencapai 1.219 jiwa per km2 . Artinya, setiap 1 km2 wilayah DIY
dihuni oleh 1.206 jiwa penduduk. Perkembangan tingkat kepadatan penduduk di semua
kabupaten/ kota menunjukkan peningkatan. Wilayah dengan kepadatan tertinggi sampai
tahun 2020 tercatat di Kota Yogyakarta. Setiap 1 km2 wilayah Kota Yogyakarta dihuni oleh
13.623 jiwa penduduk.
Tabel 3.2. Kepadatan Penduduk menurut Kabupaten/Kota di DIY, 2016-2020 (jiwa/km2 )
Sumber: Indikator Kesejahteraan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta 2020
Berdasarkan data hasil pendataan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) dan hasil
Sensus Penduduk dalam dua dekade terakhir, Angka Kematian Bayi di DIY menunjukkan
perkembangan yang semakin menurun secara berfluktuasi. Angka kematian bayi pada tahun
2000 tercatat sebesar 24, artinya terjadi 24 kasus kematian bayi untuk setiap 1.000 kelahiran
hidup. Angka menurun secara bertahap menjadi 20 (hasil SDKI 2002) dan 19 (hasil SDKI 2007)
dan 16 (hasil SP 2010). Hasil SDKI 2012 menunjukkan jumlah kasus kematian bayi meningkat
menjadi 25 kasus per 1.000 kelahiran hidup, meskipun kembali menurun menjadi 17 kasus per
1.000 kelahiran hidup berdasarkan hasil SDKI 2017. Pada taraf nasional, angka kematian bayi
di DIY termasuk dalam kategori rendah.
Secara umum, kasus kematian bayi sebagian besar terjadi pada masa persalinan sampai bulan
pertama setelah kelahiran bayi (kematian neonatal). Hasil SDKI 2017 mencatat angka
kematian neonatal mencapai 15 kasus per 1.000 kelahiran hidup. Sementara angka kematian
postneonatal tercatat sebanyak 2 kasus per 1.000 kelahiran hidup. Hal ini membawa implikasi
terkait pentingnya penanganan proses persalinan oleh tenaga penolong terdidik (tenaga
medis) dan mempermudah akses menuju fasilitas persalinan. Di samping itu, perlu upaya
meningkatkan pengetahuan ibu tentang tata cara perawatan bayi pasca kelahiran maupun
selama dalam masa kehamilan.
Gambar 4.2. Perkembangan Angka Harapan Hidup pada Saat Lahir di DIY, 2000-2019
Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 mensyaratkan batas usia menikah untuk
perempuan minimal 16 tahun. Sementara, menurut UndangUndang Perlindungan Anak usia
minimal perempuan untuk menikah adalah berumur 18 tahun. Berdasarkan ketentuan dari
Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) usia pernikahan pertama bagi
seseorang perempuan yang ideal adalah 21-25 tahun. Berdasarkan hasil estimasi dengan data
Susenas, rata-rata usia perkawinan pertama baik laki-laki maupun perempuan di DIY tercatat
semakin meningkat. Pada posisi Maret 2020 ratarata usia perkawinan pertama laki-laki
mencapai 25,9 tahun. Sementara, ratarata usia perkawinan pertama perempuan sebesar 22,1
tahun. Secara rata-rata, baik laki-laki maupun perempuan telah memiliki usia perkawinan
pertama dalam batas usia yang cukup ideal.
Jika dikaji berdasaran distribusinya, maka mayoritas wanita berusia 10 tahun ke atas yang
berstatus pernah kawin melakukan perkawinan pertama pada usia 19-24 tahun. Proporsi pada
tahun 2020 mencapai 52,91 persen. Angka ini menggambarkan kesadaran wanita untuk
melakukan perkawinan pada usia ideal yang semakin meningkat. Komposisi terbesar
berikutnya menikah pada usia 25 tahun ke atas dengan proporsi sebesar 26,48 persen.
Sementara, proporsi wanita yang pernah kawin dengan usia 18 tahun ke bawah juga masih
cukup besar. Jika lebih dirinci, maka masih terdapat 6,81 persen yang kawin pada usia 16
tahun ke bawah dan 13,80 persen pada usia 17-18 tahun. Proporsi ini masih cukup besar dan
membutuhkan perhatian yang lebih serius terutama pada mereka yang berusia muda.
Tabel 4.1. Persentase Wanita Pernah Kawin 10 Tahun ke Atas di DIY menurut Umur
Perkawinan Pertama, 2013-2020
Sebagian besar kasus perkawinan dengan usia di bawah 16 tahun terjadi pada masa lampau.
Namun, tidak sedikit kasus yang terjadi pada masa sekarang, terutama pada kelompok remaja
yang salah dalam pergaulan dan terpaksa melakukan pernikahan pada usia yang sangat dini.
Secara psikologis, seorang wanita yang berusia kurang dari 18 tahun belum siap untuk
membina sebuah rumah tangga. Seharusnya mereka masih berstatus sekolah pada jenjang
pendidikan menengah. Upaya untuk meningkatkan usai perkawinan dapat ditempuh dengan
memberi kesempatan pada wanita untuk bersekolah lebih tinggi, memberikan penyuluhan dan
pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi dan resiko kawin usia dini, serta memperluas
kesempatan memperoleh pekerjaan bagi wanita muda.
Penolong Persalinan
Kualitas kesehatan dan kasus kematian balita tidak hanya dipengaruhi oleh faktor kesehatan
ibu dan janin semasa kehamilan. Kesehatan dan kasus kematian balita juga dipengaruhi pula
oleh faktor lain, seperti proses kelahiran/persalinan serta kondisi lingkungan tempat tinggal.
Data penolong kelahiran bayi dapat dijadikan salah satu indikator kesehatan, terutama dalam
hubungannya dengan tingkat kesehatan ibu dan anak serta pelayanan kesehatan secara umum.
Proses persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan atau medis, seperti dokter atau bidan
dianggap lebih baik dan lebih aman dibandingkan dengan proses yang ditolong oleh tenaga
tradisional seperti dukun atau lainnya. Secara tidak langsung, hal ini juga menggambarkan
tingkat kemajuan kualitas pelayanan kesehatan terutama pada saat kelahiran. Perkembangan
data proporsi balita menurut penolong persalinan selama delapan tahun terakhir
menunjukkan bahwa mayoritas persalinan telah ditangani oleh tenaga kesehatan atau medis.
Proporsinya sudah mendekati 100 persen pada kondisi Maret 2020.
Gambar 4.4. Persentase Penolong Persalinan Balita Terakhir oleh Tenaga Medis, 2010-2020
Sumber: Indikator Kesejahteraan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta 2020
Tabel 4.2 memperlihatkan bahwa sampai tahun 2019 proses persalinan di DIY yang ditolong
oleh dokter mencapai 53,61 persen. Proporsi terbesar berikutnya adalah persalinan yang
ditangani oleh bidan sebesar 43,86 persen dan 0,53 persen persalinan dilangani oleh oleh
tenaga medis lainnya seperti perawat. Berdasarkan sampel, sudah tidak ada kasus persalinan
selama dua tahun terakhir referensi pencacahan yang ditangani oleh tenaga tradisional atau
tenaga non kesehatan. Artinya, persentase persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan
mencapai 100 persen dari jumlah seluruh persalinan. Berdasarkan data Susenas pada bulan
Maret 2019, sebagian besar proses persalinan bayi telah dilakukan di rumah sakit/RS bersalin
dengan proporsi di atas 75 persen. Proporsi terbesar berikutnya adalah persalinan di
klinik/bidan/praktek dokter dan diikuti oleh Puskesmas/Polindes/ Pustu. Fenomena ini
menggambarkan sebagian besar rumah tangga sudah memiliki kemudahan dalam mengakses
sarana kesehatan yang tersedia, terutama tempat untuk melakukan persalinan dan perawatan
pasca persalinan.
Tabel 4.2. Persentase Balita menurut Penolong Kelahiran Terakhir di DIY, 2013-2019
Sumber: Indikator Kesejahteraan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta 2020
Pemberian Air Susu Ibu
Peran ibu dalam menunjang kesehatan balita dapat dikaji menggunakan indikator lamanya
menyusui anak berusia 2-4 tahun. Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan yang paling penting
bagi pertumbuhan dan kesehatan bayi, karena mengandung gizi yang tinggi dan zat pembentuk
kekebalan tubuh dari berbagai macam penyakit. Manfaat lain yang diperoleh dari pemberian
ASI antara lain dapat menumbuhkan ikatan batin dan kasih sayang antara ibu dan anak.
Semakin lama pemberian ASI cenderung membuat daya tahan tubuh anak balitanya semakin
baik. Tabel 4.3 menyajikan data proporsi anak berusia di bawah dua tahun yang pernah diberi
asupan ASI berdasarkan hasil Susenas. Secara umum, mayoritas anak berusia di bawah dua
tahun telah menerima asupan ASI. Proporsi selama enam tahun terakhir sudah berada di atas
98 persen. Artinya, masih ada kurang dari 1,5 persen anak yang belum pernah menerima
pemberian ASI. Proporsi ini seharusnya mendapat perhatian lebih besar untuk sosialisasi
pentingnya ASI dan perlu digali lebih dalam alasan mengapa tidak memberi asupan ASI kepada
bayi dan balitanya. Sementara, proporsi anak usia di bawah dua tahun yang masih menerima
asupan ASI pada saat periode pendataan jumlahnya lebih dari 85 persen. Untuk mengevaluasi
pemberian ASI, referensi penduduk yang paling sesuai adalah usia 2-4 tahun.
Pertimbangannya mereka telah menyelesaikan masa pemberian ASI.
Tabel 4.3. Persentase Anak Usia di Bawah 2 Tahun yang Pernah Diberi ASI di DIY, 2014-2019
Tabel 4.4 menunjukkan distribusi balita berumur 2-4 tahun menurut lamanya disusui dalam
satuan bulan selama periode 2012-2014. Secara Rata-rata, lama pemberian ASI kepada balita
di DIY sudah cukup tinggi. Balita berusia 2-4 tahun yang disusui lebih dari 24 bulan
persentasenya meningkat dari 61,84 persen di tahun 2013 menjadi 68,73 persen di tahun
2014. Secara rata-rata, lamanya periode pemberian ASI mencapai 18 bulan. Hal ini menjadi
fenomena yang cukup baik dan menggambarkan peningkatan pemahaman ibu terkait manfaat
pemberian ASI.
Tabel 4.4. Distribusi Balita Berusia 2-4 Tahun di DIY menurut Lamanyan Disusui, 2012-2014
Sumber: Indikator Kesejahteraan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta 2020
Periode pemberian ASI bagi bayi dapat dibagi menjadi dua, yakni ASI saja tanpa makanan
tambahan (ASI Eksklusif) dan ASI dengan makanan tambahan. Berdasarkan ketentuan dari
Kementerian Kesehatan lama pemberian ASI eksklusif adalah enam bulan pertama pasca
kelahiran. Semakin besar proporsi bayi yang memperoleh ASI eksklusif menggambarkan
pengetahuan ibu tentang gizi dan kesehatan bayi yang semakin meningkat. Pada akhirnya
pengetahuan ini akan memberi pengaruh terhadap kekebalan bayi terhadap penyakit dan
mengurangi kasus kematian bayi.
Gambar 4.5. Rata-rata Lama Bulan Balita di Bawah 2 Tahun Mendapat Asupan ASI, 2019
Sumber: Indikator Kesejahteraan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta 2020
Berdasarkan data Susenas Maret 2019, anak berusia 6-24 bulan sebagian besar telah
menerima asupan ASI eksklusif dengan periode yang bervariasi. Secara rata-rata, periode
pemberian ASI eksklusif tercatat sebesar 4,72 bulan. Artinya, sudah mendekati ketentuan
Kementerian Kesehatan yakni di atas enam bulan. Ratarata di daerah perdesaan (5,27 bulan)
tercatat lebih tinggi dari daerah perkotaan (4,57 bulan). Perbedaan ini dipengaruhi oleh faktor
partisipasi dalam angkatan kerja. Wanita di perdesaan memiliki waktu yang lebih panjang
untuk merawat bayi dibandingkan dengan penduduk perkotaan.
Imunisasi
Selain pemberian ASI, pemberian imunisasi juga berperan penting dalam membentuk
ketahanan tubuh anak dari serangan berbagai penyakit. Kementerian Kesehatan
menganjurkan agar semua anak-anak dapat memperoleh imunisasi secara lengkap. Anak yang
mendapat imunisasi dasar lengkap akan terlindungi dari beberapa penyakit berbahaya dan
akan mencegah penularan kepada orang di sekitarnya. Jenis imunisasi yang wajib diberikan
pada balita adalah BCG, DTP, Polio, Campak/Morbili, dan Hepatitis B.
Gambar 4.6. Persentase Anak berusia 12-59 Bulan yang Diberi Imunisasi di DIY, 2020
Sumber: Indikator Kesejahteraan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta 2020
Dalam Susenas, pertanyaan mengenai imunisasi ditanyakan kepada anggota rumah tangga
berusia 0-59 bulan. Mekanisme penggalian data ditanyakan kepada orang tua atau anggota
rumah tangga yang mengetahui riwayat imunisasi berdasarkan catatan dalam kartu imunisasi
atau wawancara jika tidak memiliki/tidak dapat menunjukkan kartu. Pada kondisi Maret 2020,
proporsi balita usia 0-59 bulan yang memiliki kartu imunisasi dan mampu menunjukkannya
tercatat sebesar 74,68 persen. Sebanyak 22,93 persen mengaku memiliki kartu, tetapi tidak
bisa menunjukkannya. Sisanya, 0,59 persen persen pernah memiliki kartu imunisasi dan 1,80
persen tidak pernah memiliki kartu/buku imunisasi. Pola perbandingan menurut wilayah
maupun jenis kelamin tidak menunjukkan perbedaan yang nyata.
Gambar 4.7. Persentase Anak Usia 0-59 Bulan yang Telah Diberi Imunisasi di DIY, 2020
Sumber: Indikator Kesejahteraan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta 2020
Berdasarkan Susenas Maret 2020, sebanyak 99,67 persen penduduk balita telah mendapatkan
imunisasi. Artinya, masih ada 0,33 persen balita yang belum mendapat imunisasi sama sekali.
Dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, proporsi balita yang mendapatkan imunisasi
semakin meningkat.
Dari 99,67 persen penduduk yang telah mendapatkan imunisasi, belum semuanya mendapat
imunisasi secara lengkap sesuai anjuran kesehatan. Berdasarkan catatan kartu/buku imunisasi
dapat disajikan proporsi balita berdasarkan jenis imunisasi yang telah didapatkan. Proporsi
jenis imunisasi tertinggi yang telah diberikan kepada balita di DIY adalah BCG dan diikuti oleh
DPT1, DPT2, Polio, dan HB. Sementara, jenis imunisasi paling banyak yang belum diterima oleh
balita di DIY adalah Polio 4, MMR, dan Campak. Salah satu penjelasannya adalah umur balita
belum mencukupi untuk diberikan jenis imunisasi tersebut.
Keluhan Kesehatan
Derajat kesehatan penduduk dapat dilihat dari tingkat morbiditas (angka kesakitan). Indikator
ini menunjukkan ada tidaknya keluhan kesehatan yang mengakibatkan terganggunya aktivitas
sehari-hari baik dalam melakukan pekerjaan, bersekolah, mengurus rumah tangga maupun
aktivitas lainnya. Keluhan yang dimaksud mengindikasikan adanya gangguan suatu penyakit
tertentu.
Tabel 4.5. Persentase Penduduk DIY yang Mempunyai Keluhan Kesehatan dan Terganggu
Aktivitasnya Selama Sebulan yang Lalu, 2015-2020
Sebagian besar penduduk yang melakukan rawat inap telah memanfaatkan jaminan BPJS
kesehatan baik PBI maupun non PBI. Proporsinya adalah 37,66 persen penduduk yang
memanfaatkan BPJS PBI dan 36,0 persen BPJS non PBI. Pemanfaatan jaminan BPJS mandiri
terlihat meningkat. Fenomena yang cukup menarik adalah penduduk yang tidak
memanfaatkan jaminan proporsinya masih sangat besar, yakni 21,71 persen. Namun demikian,
proporsi ini semakin berkurang dari tahun ke tahun. Perlu digali secara lebih mendalam alasan
mereka tidak memanfaatkan jaminan yang dimiliki atau alasan tidak mengikuti program
jaminan kesehatan. Proporsi ini juga harus menjadi perhatian serius pemerintah agar visi
untuk menjamin kesehatan penduduk secara berkualitas, mudah, dan murah bisa benarbenar
terlaksana dengan baik.
Gambar 4.10. Penduduk yang Menggunakan Jaminan Kesehatan Ketika Berobat Rawat Inap di
DIY, 2017-2020 (Persen)
Sumber: Indikator Kesejahteraan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta 2020
Secara umum, bagian terbesar penduduk berusia kerja telah mengenyam pendidikan sampai
jenjang SMA sederajat. Proporsinya mencapai 34,04 persen. Komposisi terbesar berikutnya
adalah penduduk yang berijazah SLTP sederajat dan SD sederajat dengan proporsi masing-
masing sebesar 19,38 persen dan 15,42 persen. Penduduk yang berijazah diploma, sarjana, dan
pasca sarjana memiliki proporsi sebesar 15,09 persen.
Komposisi penduduk yang tidak memiliki ijazah masih cukup besar. Kelompok ini terdiri dari
mereka yang berstatus tidak/belum tamat SD dan tidak/ belum pernah sekolah sama sekali.
Proporsi masing-masing mencapai 4,61 persen dan 11,46 persen. Karekteristik kelompok ini
didominasi oleh penduduk yang berusia tua. Seiring dengan perkembangan waktu komposisi
kelompok ini cenderung berkurang secara alamiah. Dibandingkan dengan beberapa tahun
sebelumnya, komposisi penduduk yang berijazah SLTA ke atas tercatat semakin meningkat.
Sebaliknya, proporsi penduduk yang berijazah SLTP sederajat ke bawah semakin menurun. Hal
ini menggambarkan adanya kenaikan level atau kualitas pendidikan penduduk akibat
meningkatnya tingkat partisipasi sekolah terutama pada jenjang menengah dan tinggi.
Sebaliknya, proporsi penduduk yang tidak/belum pernah sekolah dan belum/ tidak tamat SD
juga semakin berkurang. Hal ini menggambarkan adanya proses kenaikan level pendidikan
penduduk akibat meningkatnya angka pertisipasi pada jenjang pendidikan dasar dan
berkurangnya populasi penduduk tua secara alamiah karena proses kematian.
Komposisi penduduk berusia kerja berdasarkan ijazah tertinggi dan jenis kelamin
menunjukkan pola yang hampir sama. Komposisi terbesar baik lakilaki maupun perempuan
didominasi oleh mereka yang berijazah SLTA ke atas. Proporsinya adalah 52,05 persen untuk
laki-laki dan 46,22 persen untuk perempuan. Gap proporsi yang cukup besar ini
menggambarkan masih adanya ketimpangan gender dalam pembangunan pendidikan di masa
lampau, meskipun dalam perkembangannya nilai gapnya semakin mengecil.
Komposisi penduduk berusia kerja menurut ijazah tertinggi dan wilayah terlihat masih
kontras. Di wilayah perkotaan, penduduk yang berijazah SLTA ke atas atau berpendidikan
tinggi proporsinya mencapai 56,81 persen dan lebih mendominasi. Sementara, proporsi
penduduk berijazah SLTA ke atas di wilayah perdesaan hanya tercatat sebesar 28,49 persen.
Artinya, struktur penduduk di wilayah perdesaan lebih didominasi oleh mereka yang
berpendidikan rendah atau SLTP ke bawah. Gap yang cukup besar ini juga menggambarkan
adanya ketimpangan dalam pembangunan pendidikan antar wilayah di DIY pada masa lalu.
Penyebab lainnya adalah keterbatasan kesempatan kerja formal di kawasaan perdesaan yang
mendorong pekerja terdidik melakukan migrasi ke wilayah perkotaan. Berdasarkan
perkembangan data dalam beberapa tahun terakhir gap atau selisih ini semakin mengecil.
Angka Partisipasi Sekolah
Angka Partisipasi Sekolah (APS) merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan untuk
menilai pencapaian pendidikan dari sisi proses. APS digunakan untuk melihat akses pada
pendidikan khususnya bagi penduduk usia sekolah. Semakin tinggi APS semakin besar jumlah
penduduk yang berkesempatan mengenyam pendidikan. Namun demikian, meningkatnya APS
belum selalu identik dengan meningkatnya tingkat pemerataan kesempatan masyarakat untuk
mengenyam pendidikan.
Gambar 5.2. Perkembangan Angka Partisipasi Sekolah (APS) menurut Kelompok Usia di DIY,
2010-2019 (Persen)
Sumber: Indikator Kesejahteraan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta 2020
Perkembangan APS penduduk DIY pada semua kelompok usia selama satu dekade terakhir
terlihat semakin meningkat secara bertahap. Artinya, ada peningkatan kualitas dari sisi
partisipasi atau akses terhadap sekolah. Secara umum, APS memiliki pola semakin menurun
seiring dengan peningkatan kelompok usia yang sesuai dengan jenjang pendidikan (Gambar
5.2). APS penduduk usia 7-12 tahun > usia 13-15 tahun > usia 16-18 tahun > usia 19-24 tahun.
APS penduduk berusia 7-12 tahun dan 12-15 tahun sudah mendekati level 100 persen. Artinya,
hampir semua penduduk berusia 7-15 tahun sedang terlibat dalam aktivitas sekolah pada
berbagai jenjang dan kelas. APS usia 7-12 tahun berada pada posisi 99,9 persen di tahun 2019.
Artinya, masih ada sekitar 0,1 persen penduduk berusia 7-12 tahun yang belum mulai
mengikuti pendidikan formal. Salah satu alasan utamanya adalah karena terlambat masuk
sekolah. Sementara, APS penduduk usia 13-15 tahun berada pada posis 99,56 persen, artinya
masih terdapat 0,46 persen penduduk berusia 13-15 tahun yang statusnya sudah tidak
bersekolah lagi atau putus sekolah karena berbagai alasan. Alasannya utamanya adalah faktor
ekonomi seperti persoalan mahalnya biaya dan membantu ekonomi keluarga maupun alasan
non ekonomi seperti kesulitan mengakses sekolah atau tidak mampu mengikuti kegiatan
belajar mengajar di kelas.
Tabel 5.2. APS menurut Kelompok Usia, Jenis Kelamin, dan Wilayah di DIY, 2018-2019 (Persen)
Sumber: Indikator Kesejahteraan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta 2020
APS pada kelompok usia 16-18 tahun tercatat sebesar 88,97 persen, sementara APS kelompok
usia 19-24 tahun tercatat sebesar 51,85 persen. APS pada kedua kelompok usia ini terlihat
meningkat lebih cepat dalam satau dekade terakhir. Sementara, proporsi penduduk pada
kedua kelompok yang statusnya sudah tidak bersekolah lagi atau putus sekolah masingmasing
tercatat sebesar 11,03 persen untuk kelompok usia 16-18 tahun dan 48,15 persen untuk
kelompok usia 19-24 tahun. Relatif rendahnya APS pada kedua kelompok umur disebabkan
oleh banyak faktor.
Faktor yang paling berpengaruh adalah persoalan ekonomi, karena tidak semua biaya
pendidikan di tingkat menengah dan tinggi ditanggung oleh pemerintah. Di samping itu,
banyak juga penduduk pada kelompok usia tersebut yang sudah mulai masuk pasar tenaga
kerja (sebagai angkatan kerja) untuk membantu atau menopang ekonomi keluarga. Sementara,
alasan non ekonomi sangat terkait dengan kesulitan untuk mengakses sarana pendidikan
tingkat menengah dan tinggi, merasa tidak mampu mengikuti kegiatan belajar mengajar, serta
cara pandang penduduk mengenai manfaat yang akan diperoleh dari pendidikan anak yang
dianggap belum setimpal dengan biaya yang dikeluarkan.
Perbandingan APS menurut jenis kelamin tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada
kelompok usia 7-12 tahun dan 13-15 tahun. Perbedaan justru terlihat pada kelompok usia 16-
18 atau pendidikan menengah dan kelompok usia 19-24 tahun atau pendidikan tinggi. Pada
kedua kelompok ini partisipasi sekolah penduduk perempuan justru sudah melebihi
partisipasi sekolah penduduk lakilaki. Artinya, ketimpangan gender dalam memperoleh akses
pendidikan sampai level menengah dan tinggi sudah tidak terjadi. Sementara, perbandingan
APS menurut wilayah menunjukkan bahwa APS pada semua kelompok umur di daerah
perkotaan cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan daerah perdesaan. Pada kelompok usia
7-12 tahun dan 13- 15 tahun gap partisipasi sekolah terlihat sangat rendah. Namun, pada
kelompok usia 16-18 gap partisipasi sekolah mencapai 6,34 persen dan pada kelompok usia
19-24 persen gapnya mencapai 37,13 persen. Hal ini menggambarkan adanya ketimpangan
partisipasi sekolah yang sangat lebar antar wilayah terutama pada jenjang pendidikan
menengah dan tinggi.
Angka Partisipasi Sekolah Kasar (APK) dan Partisipasi Sekolah Murni (APM)
Indikator partisipasi sekolah yang lain adalah Angka Partisipasi Kasar (APK). APK merupakan
persentase jumlah penduduk yang sedang bersekolah pada suatu jenjang pendidikan (berapa
pun usianya) terhadap jumlah penduduk pada kelompok usia pendidikan tersebut. APK
digunakan untuk mengukur keberhasilan program pembangunan pendidikan yang
diselenggarakan dalam rangka memperluas kesempatan bagi penduduk untuk mengenyam
pendidikan. APK merupakan indikator yang paling sederhana untuk mengukur daya serap
penduduk usia sekolah di masing-masing jenjang pendidikan terkait. Nilai APK suatu jenjang
pendidikan bisa lebih dari 100 persen karena masih terdapat siswa yang berusia di luar
batasan usia sekolah, baik yang lebih tua maupun yang lebih muda. Hasil Susenas 2010-2018
menunjukkan bahwa APK di DIY untuk tingkat pendidikan SD selalu berada di atas 100 persen.
Hal ini berarti penduduk yang bersekolah pada jenjang SD tidak hanya penduduk yang berusia
pendidikan SD (7-12 tahun) saja. Tetapi, juga mencakup penduduk yang berusia di atas 12
tahun akibat terlambat masuk sekolah dan kasus tinggal kelas atau penduduk berusia di bawah
7 tahun karena masuk sekolah pada terlalu awal/dini. Tetapi, hal ini tidak berarti bahwa
penduduk usia 7-12 tahun sudah bersekolah semua, karena APK tidak dapat mencerminkan
besaran anak usia 7-12 tahun yang belum pernah bersekolah.
Gambar 5.3. Perkembangan Angka Partisipasi Sekolah Kasar (APK) menurut Jenjang di DIY,
2014-2019 (Persen)
Sumber: Indikator Kesejahteraan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta 2020
APK SLTP sederajat pada kondisi Maret 2019 tercatat sebesar 95 persen. Hal ini berarti jumlah
penduduk yang sedang menempuh pendidikan pada jenjang SLTP proporsinya hanya 95
persen dari jumlah penduduk pada kelompok usia SLTP. Kemungkinan terdapat penduduk
berusia SLTP yang masih menempuh pendidikan di jenjang SD, karena kasus terlambat sekolah
dan tinggal kelas atau sudah bersekolah pada jenjang SLTA karena masuk sekolah terlalu
muda. Angka Partisipasi Murni (APM) dihitung menggunakan persentase jumlah anak yang
sedang bersekolah pada jenjang pendidikan yang sesuai dengan usianya terhadap jumlah
seluruh anak pada kelompok usia sekolah yang bersangkutan. Bila APK digunakan untuk
mengetahui seberapa banyak penduduk usia sekolah yang sudah dapat memanfaatkan atau
mengakses fasilitas pendidikan di suatu jenjang pendidikan tertentu tanpa melihat berapa
usianya, maka Angka Partisipasi Murni (APM) mengukur proporsi anak yang bersekolah tepat
waktu. Jika seluruh penduduk yang berusia sekolah dapat bersekolah tepat waktu, maka APM
akan mencapai nilai 100. Secara umum, nilai APM akan selalu lebih rendah dari nilai APK
karena nilai APK juga mencakup penduduk di luar usia sekolah pada jenjang pendidikan yang
bersangkutan.
Gambar 5.4. Perkembangan Angka Partisipasi Sekolah Murni (APM) menurut Jenjang di DIY,
2014-2019 (Persen)
Indikator ketenagakerjaan lain yang cukup menarik untuk dikaji adalah komposisi penduduk
bekerja menurut jumlah jam kerja selama satu minggu. Struktur penduduk bekerja di DIY
menurut jumlah jam kerja dalam beberapa tahun terakhir terlihat cukup dinamis. Komposisi
penduduk bekerja dengan jumlah jam kerja di atas 35 jam per minggu atau atau disebut
pekerja penuh terlihat paling dominan. Berdasarkan hasil Sakernas Februari 2020, proporsi
pekerja penuh tercatat mencapai 72,2 persen. Proporsi ini sedikit meningkat jika dibandingkan
dengan kondisi Februari 2019 dan Agustus 2019.
Gambar 6.5. Perkembangan Proporsi Pekerja Tak Penuh di DIY, 2015-2020 (Persen)
Perkembangan TPT DIY selama periode 2010-2020 memiliki kecenderungan yang semakin
menurun dengan level yang berfluktuasi antara 2,72 persen sampai 6,02 persen. TPT DIY pada
kondisi bulan Februari 2020 tercatat sebesar 3,38 persen. Secara umum, angka tersebut
memberi gambaran bahwa dari 100 orang angkatan kerja terdapat 3 orang yang statusnya
menganggur. TPT DIY sedikit meningkat jika dibandingkan dengan kondisi bulan Februari dan
Agustus 2019. Peningkatan TPT ini terkait dengan kondisi makro perekonomian DIY triwulan I
yang mengalami kontraksi. Fluktuasi perubahan TPT antar periode sangat terkait dengan
kondisi perekonomian DIY secara makro, terutama laju inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Ketika perekonomian melambat atau mengalami resesi dan daya beli menurun, maka TPT
cenderung meningkat. Sebaliknya, ketika perekonomian mengalami ekspansi dan daya beli
penduduk meningkat, maka TPT cenderung menurun
Perkembangan TPT menurut wilayah baik perkotaan dan perdesaan menunjukkan pola yang
hampir sama. Namun, terdapat kecenderungan TPT di daerah perkotaan lebih tinggi
dibandingkan dengan TPT perdesaan. Pada kondisi Maret 2020 TPT perdesaan tercatat
sebesar 1,40 persen dan TPT perkotaan sebesar 4,16 persen. Relatif rendahnya TPT perdesaan
menunjukkan bahwa angkatan kerja di daerah perdesaan lebih mudah masuk ke dalam pasar
kerja. Hal ini terjadi karena pada umumnya mereka kurang selektif dalam menentukan jenis
pekerjaan dan terbatasnya kesempatan kerja formal di perdesaan dibandingkan perkotaan.
Artinya, mereka akan menerima jenis pekerjaan apa saja termasuk bekerja di sektor informal,
bekerja pada lapangan usaha di sektor pertanian, bahkan meski statusnya hanya sebagai
pekerja keluarga atau pekerja tak dibayar.
Fenomena migrasi angkatan kerja baru pada kelompok terdidik dari daerah perdesaan menuju
daerah perkotaan dengan tujuan untuk mencari pekerjaan yang sesuai dengan keahlian dan
upah yang diharapkan juga memberi pengaruh terhadap perbedaan level TPT di kedua
wilayah. Sementara, angkatan kerja baru di daerah perkotaan lebih selektif dalam memilih
lapangan usaha dan jenis pekerjaan yang sesuai dengan pendidikan maupun tingkat upah yang
diharapkan. Lamanya waktu dalam mencocokkan jenis pekerjaan inilah yang mendorong TPT
daerah perkotaan menjadi lebih tinggi, khususnya jenis pengangguran yang bersifat friksional.
Perbandingan TPT menurut jenis kelamin selama periode 2010-2020 menunjukkan pola yang
lebih dinamis dan lebih berfluktuasi. Secara umum, TPT baik laki-laki maupun perempuan
memiliki kecenderungan yang semakin menurun, meskipun terlihat naik pada kondisi Februari
2020. Adakalanya TPT laki-laki lebih tinggi dari perempuan, namun terkadang TPT perempuan
lebih tinggi dari laki-laki.
Sampai dengan Maret 2019, ratarata pengeluaran perkapita tertinggi masih terjadi di Kota
Yogyakarta sebesar Rp1,75 juta sebulan. Artinya, kesejahteraan penduduk di Kota Yogyakarta
relatif lebih baik dibandingkan dengan wilayah lainnya. Berikutnya adalah Kabupaten Sleman
dengan rata-rata pengeluaran sebesar Rp1,73 juta sebulan. Sementara, rata-rata pengeluaran
perkapita terendah masih terjadi di Gunungkidul sebesar Rp823,9 ribu sebulan.
Gambar 7.3. Rata-rata Pengeluaran Perkapita Kabupaten/Kota di DIY, 2019 (Juta Rp)
Sumber: Indikator Kesejahteraan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta 2020
Komposisi Pengeluaran Penduduk Jenis pengeluaran dikategorikan menjadi dua kelompok,
yakni komoditas makanan dan non makanan. Hukum Engel menyatakan bahwa semakin tinggi
level pendapatan yang diterima oleh penduduk atau rumah tangga, maka akan semakin besar
proporsi pengeluaran untuk kelompok non makanan. Sebaliknya, proporsi pengeluaran
kelompok makanan akan cenderung menurun. Selama satu dekade terakhir, komposisi
pengeluaran penduduk DIY sudah didominasi oleh pengeluaran untuk komoditas non
makanan. Komposisi pengeluaran untuk komoditas non makanan pada kondisi Maret 2019
mencapai 59,2 persen. Komposisi ini cenderung meningkat seiring dengan perkembangan
waktu. Sementara, proporsi pengeluaran untuk komoditas makanan hanya tercatat sebesar
40,8 persen. Komposisi pengeluaran untuk kelompok makanan cenderung menurun dari
waktu ke waktu. Fenomena ini secara kasar menggambarkan tingkat kesejahteraan penduduk
DIY yang semakin membaik.
Gambar 7.4. Komposisi Pengeluaran Perkapita Sebulan Makanan dan Bukan Makanan menurut
Wilayah di DIY, 2010-1019 (Persen)
Sumber: Indikator Kesejahteraan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta 2020
Komposisi pengeluaran perkapita non makanan di wilayah perkotaan terlihat lebih dominan
selama periode 2010- 2019. Proporsi pengeluaran perkapita non makanan di perkotaan sudah
mencapai 61,3 persen pada kondisi Maret 2019. Sementara, pengeluaran perkapita makanan
proporsinya hanya sebesar 38,7 persen dan cenderung menurun. Komposisi pengeluaran
perkapita di wilayah perdesaan masih relatif berfluktuasi dan komposisinya hampir
berimbang antara kelompok makanan dan non makanan. Kadangkadang kelompok makanan
lebih dominan, namun di saat yang lain konsumsi kelompok makanan lebih dominan
tergantung pada perubahan harga komoditas. Pada kondisi Maret 2019, proporsi pengeluaran
makanan di perdesaan mencapai 51,0 persen dan pengeluaran non makanan mencapai 49,0
persen.
Pola Pengeluaran menurut Desil
Pola konsumsi penduduk juga bisa dikaji berdasarkan golongan pengeluaran penduduk yang
dikelompokkan menurut desil (kelompok 10 persen populasi yang telah diurutkan
pengeluarannya). Berdasarkan hasil Susenas pada kondisi Maret 2018 dan 2019, terlihat
bahwa nilai rata-rata pengeluaran perkapita kelompok makanan maupun kelompok non
makanan cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya kelompok pengeluaran atau
desil. Rata-rata pengeluaran perkapita kelompok makanan pada desil ke-1 atau 10 persen
penduduk berpendapatan terendah mencapai Rp228,- ribu sebulan. Sementara, pengeluaran
non makanannya mencapai Pola Pengeluaran menurut Desil Pola konsumsi penduduk juga
bisa dikaji berdasarkan golongan pengeluaran penduduk yang dikelompokkan menurut desil
(kelompok 10 persen populasi yang telah diurutkan pengeluarannya). Berdasarkan hasil
Susenas pada kondisi Maret 2018 dan 2019, terlihat bahwa nilai rata-rata pengeluaran
perkapita kelompok makanan maupun kelompok non makanan cenderung meningkat seiring
dengan meningkatnya kelompok pengeluaran atau desil. Rata-rata pengeluaran perkapita
kelompok makanan pada desil ke-1 atau 10 persen penduduk berpendapatan terendah
mencapai Rp228,- ribu sebulan. Sementara, pengeluaran non makanannya mencapai Rp 122,-
ribu sebulan. Pada desil ke-10 atau 10 persen penduduk berpendapatan tertinggi, rata-rata
pengeluaran kelompok makanan mencapai Rp1,03 juta sebulan dan kelompok non makanan
sebesar Rp3,22 juta sebulan.
Tabel 7.1. Pengeluaran Perkapita Sebulan menurut Desil dan Kelompok di DIY, 2018-2019
Potret sumber penerangan bagi rumah tangga bisa dikaji menggunakan dua pendekatan.
Pendekatan pertama menggunakan data hasil Susenas, terutama pertanyaan kor mengenai
kondisi perumahan.
Pendekatan kedua menggunakan data jumlah sambungan dan konsumsi listrik oleh konsumen
rumah tangga menggunakan data sekunder dari PLN. Kedua pendekatan menghasilkan
indikator yang berbeda, karena konsep, definisi, dan cakupan yang berbeda. Berdasarkan hasil
Susenas selama tujuh tahun terakhir, persentase rumah tangga yang menggunakan listrik
sebagai sumber penerangan utama sudah mendekati level 100 persen. Pada kondisi Maret
2019, rumah tangga pengguna listrik PLN tercatat sebanyak 99,82 persen. Sementara, sisanya
sebanyak 0,18 persen adalah rumah tangga yang menggunakan penerangan bukan listrik. Jika
lebih dirinci, maka sebanyak 93,38 persen rumah tangga di DIY sudah menggunakan sumber
listrik dari PLN dengan meteran sendiri. Sisanya, sebanyak 6,44 persen adalah rumah tangga
yang menggunakan listrik PLN tanpa meteran atau dengan menyalur listrik dari rumah tangga
lainnya.
Distribusi rumah tangga di DIY yang menggunakan listrik PLN dengan meteran menurut daya
yang terpasang (watt) pada kondisi Maret 2018 didominasi oleh kelompok 450 watt dan 900
watt. Proporsi kedua kelompok masing-masing tercatat sebesar 48,7 persen dan 35,8 persen.
Sementara, 13,86 persen rumah tangga menggunakan listrik dengan daya terpasang 1.300
watt ke atas dan 1,9 persen rumah tangga menyatakan tidak tahu besarnya daya listrik
terpasang. Pada umumnya, rumah tangga yang tidak tahu besarnya daya listrik terpasang
berstatus bukan sebagai pemilik rumah atau hanya penghuni sewa/kontrak/indekost.
Berdasarkan wilayah terlihat bahwa mayoritas rumah tangga di wilayah perdesaan
menggunakan listrik dengan daya 450 watt, sementara mayoritas rumah tangga perkotaan
menggunakan daya listrik lebih besar dari 450 watt. Proporsi rumah tangga di Kabupaten
Sleman dan Yogyakarta yang menggunakan daya listrik terpasang 450 watt tercatat sebesar
35,9 persen dan 23 persen. Sementara, rumah tangga di tiga kabupaten lainnya mayoritas
masih menggunakan listrik dengan daya terpasang 450 watt. Secara umum, hal ini memberi
gambaran perbedaan level kesejahteraan penduduk antarwilayah di DIY.
Distribusi rumah tangga berdasarkan desil pengeluaran dan daya listrik yang terpasang
menunjukkan hubungan positif. Artinya, semakin tinggi desil pengeluaran dari rumah tangga
maka daya listrik yang digunakan juga semakin besar. Hal ini terkait dengan tuntutan
kebutuhan rumah tangga pada kelompok menengah ke atas yang banyak menggunakan
barangbarang elektronik. Barang-barang tersebut membutuhkan pasokan listrik dalam jumlah
yang lebih besar, sehingga daya listrik yang digunakan adalah 900 watt ke atas.
Di samping itu, kebijakan pemerintah juga menentukan bahwa pengguna utama listrik dengan
daya 450 watt adalah kalangan rumah tangga tidak mampu. Pada umumnya, mereka berada
pada kelompok desil pengeluaran kesatu sampai keempat atau 40% penduduk berpendapatan
terendah. Berdasarkan data sekunder dari PT PLN, konsumen rumah tangga masih
mendominasi jumlah pelanggan PT PLN Yogyakarta. Jumlah konsumen rumah tangga pada
tahun 2019 tercatat sebanyak 1,2 juta pelanggan atau sebesar 91,58 persen dari total seluruh
konsumen PLN. Jumlah konsumen rumah tangga menunjukkan peningkatan setiap tahun.
Tahun 2019 jumlah pengguna listrik rumah tangga tumbuh 5,09 persen dibandingkan tahun
2018. Total daya listrik yang dikonsumsi oleh rumah tangga selama tahun 2019 mencapai
1.604,50 juta kwh dan memiliki pangsa 52,85 persen terhadap total listrik yang terjual. Rata-
rata konsumsi listrik per konsumen rumah tangga mencapai 1.392 kwh setahun.
Sumber Air Minum Rumah Tangga
Tingkat kemudahan rumah tangga untuk mengakses air bersih maupun cara mengaksesnya
menjadi salah satu ukuran kesejahteraan penduduk dari sisi kesehatan. Air bersih yang
digunakan rumah tangga sebagai sumber air minum maupun memasak menjadi aspek yang
sangat penting dalam menopang kualitas kesehatan penduduk. Air yang digunakan oleh rumah
tangga untuk minum dan memasak bisa berasal dari beberapa sumber. Air minum dan air
untuk memasak yang termasuk dalam kategori bersih dan sehat bersumber dari air kemasan
bermerek, air isi ulang, air leding, sumur bor/pompa, sumur terlindung, dan mata air
terlindung. Khusus untuk sumber bor/ pompa, sumur terlindung, dan mata air terlindung
harus memenuhi syarat jarak ke tempat penampungan kotoran/tinja minimal 10 meter.
Sementara, sumber yang lainnya seperti sumur tak terlindung, mata air tak terlindung apir
permukaan (sungai, danau, waduk, rawa, kolam, irigasi), air hujan dan lainnya termasuk dalam
kategori sumber air yang kurang memenuhi kaidah bersih dan sehat.
Penggunaan sumber air bersih untuk minum dan memasak oleh rumah tangga DIY selama
beberapa tahun terahir menunjukkan perkembangan yang semakin membaik. Pada kondisi
Maret 2019, tercatat sebanyak 91,5 persen rumah tangga telah menggunakan air dari sumber
yang bersih dan sehat untuk minum. Sementara, sebanyak 90,98 persen rumah tangga telah
menggunakan air bersih untuk untuk aktivitas mandi, mencuci, dan lainnya (MCK).
Tabel 8.4. Distribusi Rumah Tangga di DIY menurut Sumber Air Minum Utama, 2014-2019 (%)
Sumber: Indikator Kesejahteraan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta 2020
Sumber air yang paling banyak digunakan oleh rumah tangga untuk minum selama enam
tahun terakhir berasal dari sumur dan mata air terlindung. Proporsinya mencapai 35,1 persen
dari total rumah tangga pada kondisi Maret 2019. Pola perkembangannya cenderung menurun.
Proporsi terbesar berikutnya adalah air kemasan/isi ulang, sumur bor/pompa, dan leding.
Proporsi ketiganya masing-masing sebesar 28,6 persen, 16,6 persen, dan 11,2 persen. Proporsi
rumah tangga yang menggunakan ketiga sumber air tersebut juga memiliki pola yang semakin
meningkat. Sementara, proporsi rumah tangga yang menggunakan sumber dari sumur/mata
air tak terlindung dan lainnya (air permukaan dan air hujan) masing-masing sebesar 4,6
persen dan 3,9 persen. Proporsi dari kedua sumber tersebut cenderung menurun dari tahun ke
tahun.
Pola perubahan distribusi rumah tangga menurut sumber air minum tersebut secara kasar
menggambarkan adanya perbaikan kualitas kesejahteraan dalam rumah tangga. Air minum
yang memenuhi standar bersih dan sehat harus berasal dari sumber yang terlindung dan
memiliki jarak dengan tempat penampungan limbah/kotoran/ tinja >10m. Selain itu, kondisi
fisik air tidak keruh, tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbusa, dan tidak berbau.
Berdasarkan Susenas Maret 2019, distribusi rumah tangga berdasarkan air minum yang
memenuhi standar bersih dan sehat disajikan dalam Gambar 8.11. Proporsi rumah tangga yang
menggunakan air minum yang telah memenuhi standar bersih dan sehat di DIY mencapai
65,71 persen. Secara umum, proporsi rumah tangga yang telah mengkonsumsi air minum
sesuai standar di wilayah perkotaan tercatat lebih rendah dari wilayah perdesaan.
Sementara, proporsi di Kota Yogyakarta juga tercatat lebih rendah dari kabupaten lainnya.
Selain untuk kebutuhan minum, air bersih juga digunakan untuk kegiatan memasak, mandi,
mencuci dan lainnya. Sumber air untuk kegiatan tersebut sebagian besar berasal dari sumur
terlindung, sumur pompa, dan leding. Proporsi rumah tangga dengan ketiga sumber air
tersebut masingmasing sebesar 42,40 persen, 29,97 persen, dan 16,58 persen. Rumah tangga
yang menggunakan air dari sumber mata air/sumur tak terlindung, air permukaan (danau,
rawa, sungai, kolam, irigasi), air hujan, dan lainnya untuk memasak dan MCK jumlahnya juga
masih cukup besar yakni sekitar 11 persen dari total rumah tangga di DIY.
Gambar 8.12.Distribusi Rumah Tangga di DIY menurut Sumber Air untuk Memasak, Mandi,
Cuci, dan Lainnya, 2019 (%)
Tempat pembuangan akhir tinja dari sebagian besar rumah tangga yang memiliki fasilitas
buang air besar adalah tanki septik. Proporsinya sebesar 86,22 persen dan cenderung
meningkat dari tahun ke tahun. Proporsi terbesar berikutnya adalah rumah tangga dengan
tempat pembuangan akhir tinja jaringan IPAL sebesar 5,19 persen dan cenderung menurun.
Kedua jenis tempat pembuangan akhir tinja ini telah memenuhi syarat kesehataan. Sisanya
adalah rumah tangga dengan tempat pembuangan akhir tinja di lubang tanah atau kebun
sebesar 7,25 persen; di sawah/ kolam/sungai dengan proporsi 1,24 persen; dan 0,20 persen
lainnya. Ketiga jenis tempat pembuangan akhir tinja ini belum memenuhi standar kesehatan
dan sanitasi.
Berdasarkan wilayah, sebagian besar rumah tangga dengan tempat pembuangan akhir tinja di
bawah standar sanitasi terdapat di wilayah Kabupaten Kulon Progo dan Gunungkidul. Jenis
kloset yang paling banyak digunakan oleh rumah tangga yang memiliki fasilitas buang air besar
adalah leher angsa. Proporsi pada bulan Maret 2019 mencapai 98,5 persen. Namun, rumah
tangga yang menggunakan kloset jenis cemplung/cubluk juga masih cukup banyak, yakni
sekitar 1,28 persen. Semakin besar proporsi rumah tangga yang menggunakan fasilitas tempat
pembuangan air besar jenis leher angsa mengindikasikan kesadaran masyarakat tentang
sanitasi dan kesehatan yang semakin meningkat. Jenis leher angsa dianggap sebagai paling
sehat, karena di bawahnya terdapat saluran berbentuk huruf “U” untuk menampung air
sehingga bau tinja tidak bisa keluar. Perkembangan dalam empat tahun terakhir proporsi
penggunaan kloset jenis leher angsa terlihat semakin meningkat.
Bahan Bakar Utama untuk Memasak
Gambar 8.13. Distribusi Rumah Tangga di DIY menurut Bahan Bakar Utama untuk Memasak,
2019 (%)
Karakteristik kesejahteraan penduduk atau rumah tangga juga bisa dikaji dari aspek jenis
bahan bakar utama untuk memasak. Semakin sejahtera rumah tangga, maka akan semakin
besar kecenderungan untuk berpindah ke bahan bakar yang lebih praktis dari sisi penggunaan,
efisien dari sisi nilai, dan ramah lingkungan.
Berdasarkan hasil Susenas Maret 2019, proporsi rumah tangga di DIY yang melakukan
aktivitas memasak mencapai 92 persen. Sisanya, sebesar 8 persen adalah rumah tangga tidak
melakukan aktivitas memasak. Jenis bahan bakar utama yang digunakan mayoritas rumah
tangga untuk memasak adalah elpiji. Proporsinya mencapai 78,7 persen dengan rincian elpiji 3
kg 68,9 persen, elpiji 12 kg 7,9 persen, dan elpiji 5,5 kg 1,8 persen. Proporsi terbesar
berikutnya adalah rumah tangga yang menggunakan kayu bakar sebesar 18,9 persen. Pada
umumnya, rumah tangga pengguna kayu bakar untuk memasak tinggal di kawasan perdesaan,
terutama di Gunungkidul dan Kulon Progo yang masih memiliki persediaan kayu bakar
melimpah dan relatif murah. Rumah tangga pengguna kayu bakar juga sangat dominan pada
desil pengeluaran kesatu sampai ketiga. Sementara, penggunaan bahan bakar elpiji sangat
dominan pada desil pengeluaran kesembilan dan kesepuluh dengan proporsi mencapai 98
persen.
1.1.7. Indicator Kemiskinan Dan Ketimpangan
Kemiskinan menjadi tolok ukur utama kesejahteraan rakyat. Semakin tinggi kemiskinan
mencerminkan kesejahteraan yang semakin memburuk. Sebaliknya, semakin rendah
kemiskinan mencerminkan tingkat kesejahteraan yang semakin membaik. Penanggulangan
kemiskinan dan kelaparan menjadi fokus pertama dari Tujuan Pembangunan Milenium (TPM)
yang dilanjutkan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB). Sasaran yang ingin
dicapai adalah mengakhiri kemiskinan dalam bentuk apapun di semua tempat. Fakta ini
menyiratkan bahwa kemiskinan merupakan masalah yang sangat mendesak untuk diatasi dan
ditanggulangi secara bersama-sama.
Gambaran mengenai kondisi kemiskinan di suatu wilayah, pola perkembangan, tingkat
kedalaman dan keparahan dapat dikaji menggunakan beberapa indikator kemiskinan.
Indikator kemiskinan yang lazim digunakan adalah Indeks Foster, Greer, Thorbecke (FGT).
Indeks ini membagi ukuran kemiskinan menjadi tiga, yakni persentase penduduk miskin (P0 ),
Indeks kedalaman kemiskinan (P1 ), dan indeks keparahan kemiskinan (P2 ).
Pengukuran Kemiskinan dan Perkembangan Garis Kemiskinan
Dimensi kemiskinan tidak hanya terkait dengan aspek ekonomi semata, tetapi juga
menyangkut aspek sosial dan kultural. Dengan kata lain kemiskinan bersifat multidimensional.
Namun demikian, metode pengukuran kemiskinan yang digunakan di banyak negara termasuk
Indonesia masih bertumpu pada pendekatan moneter atau ekonomi. Kemiskinan dihitung
menggunakan pendekatan pendapatan atau pengeluaran rumah tangga atau penduduk.
Konsep kemiskinan di Indonesia diukur menggunakan pendekatan pengeluaran yang dikenal
dengan kebutuhan dasar minimum (basic needs approach). Kebutuhan dasar minimum
diterjemahkan sebagai ukuran finansial dalam bentuk uang yang mencakup kebutuhan
makanan yang disetarakan dengan 2.100 kalori perkapita sehari ditambah dengan kebutuhan
non makanan yang mendasar (pakaian, perumahan, pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan
dasar lainnya). Ukuran ini disebut dengan garis kemiskinan. Seseorang dikatakan miskin,
apabila memiliki pengeluaran sebulan lebih rendah dari garis kemiskinan.
Tabel 9.1. Perkembangan Garis Kemiskinan, Jumlah Penduduk Miskin, Persentase Penduduk
Miskin, Indeks Kedalaman, dan Indeks Keparahan Kemiskinan menurut Wilayah di DIY, 2016-
2020
Sumber: Indikator Kesejahteraan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta 2020
Garis kemiskinan dihitung dalam bentuk absolut berdasarkan pola konsumsi hasil survei sosial
ekonomi nasional (Susenas). Indikator kemiskinan juga diestimasi menggunakan data Susenas
yang dikumpulkan secara berkala pada bulan Maret dan September setiap tahun.
Perkembangan nilai nominal garis kemiskinan di DIY selama periode 2002- 2020 cenderung
meningkat (Gambar 9.1). Peningkatan ini terjadi seiring dengan kenaikan harga barang dan
jasa kebutuhan rumah tangga atau inflasi serta perubahan dalam pola konsumsi penduduk.
Nilai nominal garis kemiskinan pada kondisi Maret 2002 tercatat sebesar Rp113,- ribu per
kapita sebulan. Nilai nominal ini terus meningkat hingga Rp463,5 ribu pada kondisi bulan
Maret 2020. Artinya, secara nominal garis kemiskinan meningkat sebesar 8,16 persen per
tahun selama periode Maret 2002-Maret 2020. Beberapa jenis komoditas yang memiliki andil
paling dominan dalam garis kemiskinan DIY diantaranya adalah beras, perumahan, bensin,
listrik, telur ayam ras, daging ayam ras, tempe, gula pasir, dan lainnya. Secara nominal, garis
kemiskinan DIY selalu lebih tinggi dari garis kemiskinan nasional. Hal ini menjadi salah satu
penyebab level kemiskinan DIY yang cenderung lebih tinggi dari angka kemiskinan nasional,
karena ukuran kemiskinan sangat sensitif terhadap besarnya garis kemiskinan yang
digunakan.
Level garis kemiskinan di wilayah perkotaan DIY tercatat selalu lebih tinggi dari wilayah
perdesaan. Perbedaan garis kemiskinan antarwilayah tersebut sangat terkait dengan pola
konsumsi penduduk perkotaan yang lebih bervariasi dari konsumsi penduduk perdesaan.
Persoalan kuantitas atau frekuensi konsumsi dan jenis komoditas yang dikonsumsi juga turut
memberi pengaruh terhadap perbedaan level garis kemiskinan antarwilayah di DIY. Selain itu,
perbedaan tingkat pendapatan perkapita antarwilayah yang cukup lebar serta karakteristik
sosial budaya yang berbeda juga menjadi penyebab perbedaan pola konsumsi penduduk
antarwilayah.
Gambar 9.1. Perkembangan Garis Kemiskinan menurut Wilayah di DIY, 2002-2020 (000Rp
Sebulan)
Distribusi penduduk miskin menurut wilayah kabupaten/kota di DIY menunjukkan pola yang
tidak merata. Ketidakmerataan ini ditunjukkan oleh jumlah penduduk miskin maupun
persentasenya yang sangat bervariasi antarwilayah kabupaten/kota.
Berdasarkan jumlah jiwa, sebaran penduduk miskin tahun 2018-2019 sebagian besar terdapat
di Kabupaten Bantul dan Gunungkidul. Jumlah penduduk miskin di kedua kabupaten tercatat
sebesar 131,15 ribu dan 123,08 ribu jiwa pada kondisi tahun 2019. Sementara, populasi
penduduk miskin yang terendah terdapat di Kota Yogyakarta sebanyak 29,45 ribu jiwa dan
diikuti oleh Kulon Progo. Ukuran jumlah penduduk miskin ini belum mempertimbangkan
aspek jumlah penduduk dan luas wilayah yang sangat bervariasi. Berdasarkan ukuran
persentase (P0 ), maka Kabupaten Kulon Progo dan Gunungkidul menjadi dua daerah yang
memiliki level kemiskinan tertinggi di DIY. Persentase penduduk miskin di kedua kabupaten
pada kondisi 2019 tercatat sebesar 17,39 persen dan 16,61 persen. Sementara, Kota
Yogyakarta dan Kabupaten Sleman dengan persentase penduduk miskin sebesar 6,84 persen
dan 7,41 persen menjadi dua daerah dengan persentase penduduk miskin terendah di DIY.
Secara umum, perbedaan level kemiskinan antarwilayah tersebut merepresentasikan tingkat
kesejahteraan penduduk antarwilayah yang cukup heterogen. Perbedaan kondisi geografis;
struktur ekonomi dan kesempatan kerja; dan kualitas infrastruktur publik terutama
pendidikan, kesehatan, serta pasar menjadi beberapa penyebab utama. Penyebab yang lain
adalah perbedaan tingkat kemudahan dalam mengakses sarana yang tersedia. Perkembangan
kemiskinan di kabupaten/ kota selama lima tahun terakhir secara umum menunjukkan pola
yang menurun. Penurunan terbesar dari sisi jumlah terjadi di Gunungkidul. Sementara,
penurunan terbesar dari sisi persentase terjadi di Kulon Progo. Penurunan kemiskinan di
Gunungkidul dan Kulon Progo berlangsung lebih cepat dan program pengentasan kemiskinan
mampu berjalan lebih efektif dibandingkan dengan Kota Yogyakarta dan Sleman. Hal ini terjadi
karena kemiskinan di Kota Yogyakarta dan Sleman levelnya sudah rendah (di bawah 8 persen)
dan yang tersisa hanya kerak memiskinan atau penduduk miskin yang persisten.
Sementara, kemiskinan di Gunungkidul dan Kulon progo secara level masih tinggi sehingga
lebih mudah untuk diintervensi.
Perkembangan Distribusi Pendapatan
Kebijakan untuk mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi berdampak bagi peningkatan
kesejahteraan penduduk secara rata-rata. Namun, di sisi lain juga sering membawa persoalan
berupa peningkatan ketidakmerataan dalam distribusi pendapatan. Hal ini terjadi karena
distribusi aset dan skill yang tidak tersebar secara merata antarpenduduk. Akibatnya,
pendapatan yang diperoleh juga sangat bervariasi sesuai dengan kepemilikan aset dan
keterampilan yang dimiliki. Indikator yang sering digunakan untuk mengukur ketimpangan
dalam distribusi pendapatan antarpenduduk (distribusi ukuran) adalah ukuran Bank Dunia,
Gini Rasio, indeks Theil, Ukuran Desil, dan lainnya.
Gambar 9.2. Perkembangan Distribusi Pengeluaran menurut Kelompok Pendapatan
Sumber: Indikator Kesejahteraan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta 2020
Berdasarkan data Susenas pada bulan Maret tahun 2007-2020, distribusi pendapatan
penduduk yang diproksi dengan pendekatan pengeluaran perkapita menunjukkan pola yang
semakin tidak merata atau semakin timpang. Pada kondisi Maret 2020, 40 persen penduduk
yang berpendapatan terendah hanya memiliki share pengeluaran sebesar 15,3 persen dari
total pengeluaran penduduk DIY. Angka ini terlihat semakin menurun jika dibandingkan
dengan tahun-tahun sebelumnya. Pada kondisi Maret 2007, share pengeluaran kelompok 40
persen penduduk berpendapatan terendah tercatat sebesar 19,1 persen dari total pengeluaran
penduduk. Sebaliknya, penduduk pada golongan pendapatan 20 persen tertinggi memiliki
porsi pengeluaran sebesar 50,2 persen pada periode Maret 2020. Porsi ini jauh meningkat
dibandingkan dengan kondisi Maret 2007 yang mencapai 43,7 persen dari total pengeluaran
penduduk DIY.
Jika dihitung menggunakan rasio Kuznets maka total pengeluaran 20% penduduk
berpendapatan tertinggi besarnya 3,3 kali lipat pengeluaran 40% penduduk pada golongan
berpendapatan terendah. Rasio Kuznets bulan Maret 2020 ini jauh meningkat dibandingkan
dengan kondisi Maret 2007 yang sebesar 2,3 kali. Secara umum, beberapa ukuran tersebut
mengindikasikan ketimpangan pengeluaran antarpenduduk yang semakin melebar.
Perbandingan proporsi penduduk usia 5 tahun ke atas yang mengakses internet antarwilayah
masih cukup timpang. Penduduk di kawasan perkotaan lebih banyak yang mengakses internet
dibandingkan penduduk perdesaan. Gapnya mencapai 20,7 persen, dan secara bertahap
semakin mengecil. Secara eksplisit, gap ini menggambarkan beberapa hal. Pertama, tingkat
kesejahteraan penduduk perkotaan lebih baik dari penduduk perdesaan. Kedua, perbedaan
pola dan gaya hidup penduduk antarwilayah. Ketiga, ketersediaan jaringan dan infrastruktur
penunjang telekomunikasi yang belum merata antarwilayah. Berdasarkan jenis kelamin,
penduduk laki-laki memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk mengakses internet
dibandingkan perempuan. Proporsi penduduk laki-laki yang mengakses internet pada kondisi
Maret 2020 mencapai 71,6 persen. Sementara, proporsi penduduk perempuan baru mencapai
65,8 persen. Berdasarkan kelompok usia, proporsi penduduk terbesar yang mengakses
internet terdapat pada kelompok usia 16-18 tahun; 19-24 tahun; dan 25-35 tahun.
Proporsi ketiga kelompok tersebut di atas 97 persen. Kelompok ini merepresentasikan
penduduk pada usia muda (16-35 tahun) atau kaum milenial. Profil mereka sebagian besar
masih bersekolah pada jenjang sekolah menengah atas dan perguruan tinggi dan juga
mencakup mereka yang sedang aktif sebagai angkatan kerja. Kelompok ini paling aktif dalam
penggunaan media internet. Pada umumnya, mereka melakukan aktivitas mengakses internet
untuk kebutuhan aktualisasi diri di media/jejaring sosial seperti Facebook, WA, Twitter,
Instagram, BBM, dan lainnya; sarana mencari berita dan informasi terkait kesempatan kerja;
mencari informasi mengenai tugas sekolah/ kampus; serta aktivitas hiburan dan permainan.
Secara kewilayahan, proporsi terbesar penduduk yang mengakses internet sampai kondisi
Maret 2020 masih terdapat di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman.
Proporsi di kedua wilayah masing-masing sebesar 83,42 persen dan 77,72 persen dari total
penduduk berusia 5 tahun ke atas. Besarnya populasi pengakses internet ini memiliki relasi
positif dengan tingkat kesejahteraan penduduk. Kedua wilayah tersebut memiliki tingkat
kesejahteraan tertinggi di DIY. Infrastruktur jaringan internet di kedua daerah juga lebih lebih
baik dibandingkan daerah lainnya.
Sementara, proporsi yang terendah masih terdapat di Gunungkidul yakni 51,01 persen.
Proporsi penduduk yang mengakses internet di semua wilayah terlihat semakin meningkat
dan peningkatan terbesar dalam enam tahun terakhir tercatat di Bantul. Jenis media untuk
mengakses internet bisa berupa desktop (PC), laptop, Tablet, Handphone (HP), maupun media
lainnya. Sampai dengan Maret 2020, sebagian besar penduduk DIY mengakses internet
menggunakan media telepon seluler atau smartphone. Proporsinya mencapai 98,3 persen dari
total pengguna internet. Angka ini bertambah secara signifikan setiap tahun. Sebaliknya,
penggunaan jenis media yang lain seperti PC, Laptop, tablet, dan lainnya cenderung menurun.
Hal ini menggambarkan adanya perubahan pola dalam pemanfaatan media teknologi untuk
mengakses internet. Penggunaan handphone tidak lagi hanya untuk alat telepon atau SMS saja,
namun sudah mulai berkembang untuk aktivitas browsing internet, media sosial, dan hiburan.
Keunggulan HP selain ringan dan praktis adalah bisa melakukan aktivitas secara mobile di
semua tempat dengan catatan tidak ada kendala sinyal jaringan.
Perkembangan teknologi smartphone berimbas pada tingkat harga yang semakin terjangkau
dan turut mengubah preferensi penduduk dalam memilih media untuk mengakses internet.
Lokasi untuk mengakses internet bisa berada di berbagai tempat. Sebagian besar pengguna
internet di wilayah DIY mengakses internet dari rumah sendiri. Proporsinya mencapai 98,79
persen dari total pengguna internet pada kondisi Maret 2020. Proporsi tersebut lebih
meningkat dari tahun sebelumnya. Lokasi pilihan berikutnya adalah bukan rumah sendiri,
kantor/tempat bekerja, dan tempat umum secara gratis.
Proporsi penduduk yang mengakses internet secara bergerak atau mobile mencapai 20,28
persen. Dibandingkan dengan tahun 2019, proporsi penduduk yang mengakses internet selain
di rumah sendiri mengalami penurunan. Penurunan ini dipengaruhi oleh masa pandemi Covid-
19 yang diikuti oleh kebijakan pembatasan sosial berskala besar mulai pertengahan Maret
2020. Penduduk lebih banyak beraktivitas di dalam rumah.
Ada beberapa tujuan penduduk yang mengakses internet di DIY. Berdasarkan jenis konten
yang diakses, sebagian besar penduduk mengakses internet untuk tujuan media atau jejaring
sosial. Proporsinya mencapai 91,55 persen pada kondisi Maret 2020. Jika dilihat berdasarkan
kelompok usia, maka tujuan terbesar mengakses internet pada semua usia adalah untuk
jejaring sosial, kecuali pada kelompok usia 5-12 tahun. Kelompok usia 5-12 tahun lebih banyak
mengakses internet untuk tujuan hiburan dan permainan. Tujuan penduduk mengakses
internet yang berikutnya adalah untuk mendapatkan berita/informasi dengan proporsi 71,19
persen. Pengakses informasi atau berita yang terbesar terdapat pada kelompok penduduk
berusia 16-34 tahun. Mereka mengakses informasi dan berita untuk mencari pekerjaan,
mengetahui kondisi sosial dan ekonomi, hobi dan olah raga, infotainment, dan lainnya.
Proporsi penduduk yang mengakses internet untuk tujuan hiburan dan permainan mencapai
65,50 persen. Sementara, penduduk yang mengakses internet untuk tujuan yang lainnya
seperti informasi untuk proses pembelajaran, e-mail, pembelian dan penjualan barang dan
jasa, e-banking, serta pencarian informasi barang dan jasa proporsinya bervariasi di bawah 35
persen dari total pengguna internet.
Tindak Kejahatan
Kesejahteraan penduduk di suatu wilayah juga bisa digambarkan oleh indikator tingkat
keamanan maupun tindak kejahatan yang terjadi. Wilayah yang kurang aman dan rawan
kejahatan akan menimbulkan keresahan, sehingga masyarakat juga merasa tidak nyaman
untuk tinggal di sana. Hal ini berarti tingkat kesejahteraan masyarakat yang tinggal di wilayah
tersebut menurun. Semakin sejahtera masyarakat akan diikuti oleh menurunnya kasus
kejahatan. Peran pemerintah dalam menjamin dan menjaga keamanan dan ketertiban wilayah
sangat penting. Namun, kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi dalam menjaga keamanan
dan ketertiban di lingkungan sendiri juga sangat dibutuhkan.
Gambar 10.6.Proporsi Penduduk yang Pernah Menjadi Korban Kejahatan menurut Jenis
Kelamin di DIY, 2013-2020 (%)
Proporsi penduduk DIY yang menjadi korban kejahatan selama referensi pencacahan Maret
2013-2020 bervariasi antara 1-2 persen. Proporsi dalam tiga tahun terakhir terlihat sedikit
meningkat. Pada kondisi Maret 2020 proporsinya mencapai 1,35 persen. Angka ini
menggambarkan proporsi penduduk yang menjadi korban kejahatan selama 1 Januari sampai
31 Desember 2019. Jenis kejahatan yang ditanyakan mencakup pencurian, pencurian dengan
kekerasan, penganiayaan, pelecehan seksual, dan lainnya. Berdasarkan jenis kelamin,
penduduk laki-laki lebih rentan menjadi korban kejahatan dibandingkan perempuan. Hal ini
ditunjukkan oleh proporsi penduduk laki-laki yang menjadi korban kejahatan yang selalu lebih
tinggi dibandingkan perempuan. Selama 1 Januari-31 Desember 2019, proporsi penduduk laki-
laki yang menjadi korban kejahatan mencapai 1,87 persen. Angka ini lebih meningkat
dibandingkan dengan beberapa periode sebelumnya.
Sementara, proporsi perempuan yang menjadi korban kejahatan sebesar 0,83 persen dan
sedikit menurun dari dua tahun sebelumnya. Berdasarkan wilayah, penduduk perkotaan lebih
rentan menjadi korban kejahatan dibandingkan dengan penduduk perdesaan. Sementara,
penduduk di Kota Yogyakarta dan Sleman lebih rentan menjadi korban kejahatan
dibandingkan dengan tiga kabupaten yang lainnya.
Gambar 10.7.Sebaran Kasus Kejahatan menurut Jenis dan Wilayah di DIY (Persen)
Secara, eksplisit fakta ini menyiratkan tidak ada korelasi positif antara tingkat kesejahteraan
dan jumlah kasus kejahatan. Kasus kejahatan lebih dipengaruhi oleh faktor sosial lain seperti
kenakalan remaja, ketimpangan pendapatan, tingkat keramaian, kepadatan penduduk, dan
lainnya. Jenis kejahatan yang paling banyak dialami oleh penduduk DIY selama periode 1
Januari-31 Desember 2019 adalah kejahatan pencurian. Proporsinya mencapai 70 persen.
Berdasarkan wilayah, kasus kejadian kejahatan paling banyak terjadi di Wilayah Kabupaten
Sleman, Bantul, dan Kota Yogyakarta. Sebagian besar kejadian kejahatan terjadi di dalam
rumah tempat tinggal, kecuali kejadian pelecehan seksual. Kejahatan pelecehan seksual lebih
banyak terjadi di luar rumah tempat tinggal. Salah satu upaya atau tindakan yang diambil oleh
korban kejahatan adalah melaporkan kejadian ke pihak yang berwajib atau kepolisian.
Berdasarkan Susenas Maret 2020, banyaknya kejadian kejahatan di DIY yang dilaporkan ke
kepolisian mencapai 14,92 persen. Jenis kejahatan yang paling banyak dilaporkan adalah
penganiayaan. Proporsinya mencapai 56,24 persen. Inisiatif masyarakat untuk melakukan
pelaporan terkait dengan kejadian kejahatan yang dialami semakin menurun dibandingkan
dengan tahun-tahun sebelumnya. Dalam proses pelaporan ke pihak kepolisian, proporsi
korban kejahatan yang mendapatkan pendampingan atau bantuan hukum baru mencapai
13,44 persen.
Kepemilikan Rekening Tabungan
Ukuran kesejahteraan memiliki relasi yang kuat dengan aktivitas menabung. Semakin
sejahtera seseorang, maka akan semakin besar kesempatan dan peluang untuk menabung.
Semakin sejahtera juga akan ditandai oleh jumlah tabungan yang semakin meningkat. Jumlah
tabungan menjadi hak privasi seseorang dan sangat sulit untuk ditanyakan dalam Susenas.
Satu-satunya indikator terkait kemampuan menabung yang dapat dihasilkan dari Susenas
adalah kepemilikan rekening tabungan di lembaga perbankan atau koperasi. Berdasarkan hasil
Susenas Maret 2020, proporsi penduduk berusia 5 tahun ke atas di DIY yang memiliki rekening
tabungan di bank atau koperasi mencapai 51,36 persen. Kepemilikan rekening tabungan
penduduk laki-laki tercatat lebih tinggi dari perempuan. Sementara, kepemilikan tabungan
penduduk di wilayah perkotaan jauh lebih tinggi dari perdesaan. Hal ini juga dipengaruhi oleh
kemudahan untuk mengakses infrastruktur perbankan di perkotaan yang relatif lebih mudah.
Kepemilikan rekening tabungan penduduk di wilayah Kota Yogyakarta tercatat paling tinggi,
yakni 64,81 persen. Sementara, kepemilikan terendah terdapat di Gunungkidul sebesar 36,95
persen.
Perkembangan Jumlah Jemaah Haji
Pembangunan kehidupan beragama bertujuan untuk meningkatkan kualitas umat beragama
sehingga tercipta suasana kehidupan beragama yang penuh keimanan, ketaqwaan, dan
kerukunan. Salah satu upaya yang dilakukan antara lain melalui peningkatan pelayanan
jemaah haji. Perkembangan jumlah jamaah haji merepresentasikan meningkatnya aspek
kesejahteraan, karena haji menjadi salah satu bentuk ibadah yang mensyaratkan kemampuan
secara materi atau uang. Perkembangan jumlah jemaah haji dari DIY selama sembilan tahun
terakhir terlihat berfluktuasi. Jumlah jemaah haji pada tahun 2012 tercatat sebanyak 3.093
orang terdiri dari 1.465 laki-laki dan 1.628 perempuan. Jumlah ini semakin menurun hingga
2.463 orang di tahun 2016 atau turun 5,5 persen setiap tahun selama periode 2012-2016.
Penurunan jumlah ini dipengaruhi oleh kebijakan penyesuaian kuota jemaah haji akibat
perluasan area di Masjidil Haram di Makah. Namun demikian, selama tahun 2017-2019 jumlah
jemaah haji kembali meningkat menjadi 3.549 jemaah akibat penambahan jumlah kuota.
Komposisinya adalah 1.644 jamaah laki-laki dan 1.635 jemaah perempuan. Meskipun dari sisi
kuota mengalami sedikit penurunan selama 2013-2016, kesejahteraan penduduk DIY secara
umum semakin meningkat. Hal ini ditandai oleh fenomena meningkatnya daftar tunggu
keberangkatan haji yang sudah melebihi 30 tahun. Artinya, minat umat Islam di DIY untuk
melaksanakan rukun Islam yang kelima ini semakin meningkat akibat perbaikan
kesejahteraan. Pandemi Covid-19 yang mulai terjadi sejak pertengahan Maret 2019
berpengaruh luas terhadap mobilitas penduduk, termasuk ibadah haji. Selama masa pandemi,
pemerintah Saudi Arabia tidak membuka kuota untuk pelaksanaan ibadah haji di tahun 2020.
Artinya, tidak ada pengiriman jemaah haji termasuk jemaah dari DIY. Rasio jemaah haji per
100.000 penduduk pemeluk agama Islam pada tahun 2019 sebesar 100. Ini berarti bahwa dari
setiap seribu penduduk muslim DIY sekitar 1 orangnya menunaikan ibadah haji pada tahun
2019. Secara umum, jumlah jemaah haji perempuan tercatat masih lebih dominan
dibandingkan dengan lakilaki.
Berdasarkan wilayah asal, jemaah haji DIY pada tahun 2019 didominasi oleh jemaah dari
Kabupaten Sleman dan Bantul. Proporsi jemaah haji dari kedua kabupaten tersebut masing-
masing mencapai 39,62 persen dan 30,49 persen. Sementara, jemaah haji asal Kabupaten
Kulon Progo dan Gunungkidul tercatat memiliki proporsi yang terendah. Gambaran ini cukup
selaras dengan tingkat kesejahteraan penduduk dari aspek yang lainnya.
1.6.3 Peraturan Gubernur DIY Nomor 53 Tahun 2012 tentang Pedoman Penyelenggaraan
Data Gender dan Anak
Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak merupakan isu lintas sektor yang menuntut
kerjasama berbagai Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) karena sifatnya yang luas dan
saling mengkait antar berbagai bidang. Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak
tidak hanya terfokus pada bidang sosial tetapi juga meliputi bidang kesehatan, pendidikan,
ekonomi dan ketenagakerjaan, politik, budaya dan lingkungan. Berkaitan dengan luasnya isu
pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak serta sifatnya yang melibatkan berbagai
bidang kerja maka perlu strategi untuk mengintegrasikan isu tersebut dalam pembangunan.
Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam
Pembangunan Nasional merupakan salah satu strategi mengintegrasikan isu gender dalam
pembangunan dalam rangka pemberdayaan perempuan dan melalui pembangunan.
Implementasi dari pengarusutamaan gender dalam pembangunan mencakup aspek
perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi yang membutuhkan
adanya analisis kondisi gender di lapangan sebagai sasaran pembangunan. Di sisi lain
pemenuhan hak-hak anak juga menjadi salah satu kunci penting yang kemudian diintegrasikan
dalam pengarusutamaan hak anak dalam pembangunan yang menuntut pula ketersediaan
informasi tentang kondisi anak dan pemenuhan hak-hak anak.
Integrasi gender dan anak dalam pembangunan ini menuntut tersedianya informasi dan data
tentang kondisi gender dan anak yang akurat sehingga semua aspek pembangunan mulai dari
perencanaan hingga evaluasi dapat berjalan dengan tepat sesuai dengan kondisi gender dan
anak. Untuk itu data terpilah Gender dan Anak yang memberi gambaran kondisi gender dan
anak dalam proses pembangunan tersebut menjadi salah satu hal penting sebagai syarat
pelaksanaan pengarusutamaan gender dan pengarusutamaan hak anak. Penyelenggaraan data
terpilah gender dan anak adalah urusan yang menjadi kewenangan Kabupaten/Kota dan
Provinsi sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007
tentang Pembagian Wewenang antara Pemerintah, Pemerintahan Provinsi dan Pemerintahan
Kabupaten/Kota dan diperkuat dengan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta Nomor 7 Tahun 2007 tentang Urusan Pemerintahan yang Menjadi Kewenangan
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
1.6.4 Peraturan Gubernur DIY Nomor 116 Tahun 2014 tentang Pedoman Perencanaan dan
Penganggaran Responsif Gender
Dalam rangka menindaklanjuti Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2008
tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Daerah, dan Peraturan
Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 7 Tahun 2007 tentang Urusan Pemerintahan yang
Menjadi Kewenangan Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, serta Keputusan
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 52/KEP/2009 tentang Pembentukan Kelompok
Kerja Pengarusutamaan Gender di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Pemerintah DIY
mempunyai komitmen untuk segera menyusun kebijakan, program dan kegiatan yang
responsif gender .
Komitmen tersebut dituangkan dalam bentuk diterbitkannya Surat Edaran Gubernur Daerah
Istimewa Yogyakarta nomor 463/0494 tanggal 17 Februari 2010 tentang penyusunan
Anggaran Rensponsive Gender yang isinya :
1. Pemerintah Kabupaten/Kota agar menyesuaikan dan melaksanakan penyusunan
perencanaan kebijakan/program/kegiatan untuk Tahun 2011 melalui Anggaran Yang
Responsif Gender (ARG). Untuk itu agar SKPD di Kabupaten/Kota dapat menyesuaikan
2. Kepala Satuan Kerja di lingkungan Pemerintah DIY agar segera menyusun perencanaan
kebijakan/program/kegiatan Tahun 2011 melalui Anggaran yang Responsif Gender.
Surat Edaran Gubernur tersebut dikuatkan dengan dikeluarkan Surat Percepatan Pelaksanaan
PPRG No. 463/3117 tanggal 3 Oktober 2011 yang ditandatangani oleh Kepala Bappeda selaku
Ketua Pokja PUG. Dimana seluruh SKPD harus melaksanakan Perencanaan dan Penganggaran
Responsive Gender (PPRG) sesuai dengan tupoksi masing-masing, dan surat No 463/1346
tanggal 29 Maret 2012 perihal Implementasi PPRG di Tahun anggaran 2013. seluruh SKPD
harus melaksanakan PPRG, masing-masing merencanakan 1 kegiatan untuk setiap
seksi/subid/subag yang responsif gender. Meskipun sudah dikeluarkan SE Gubernur dan Surat
percepatan pelaksanaan PPRG, tetapi dalam pelaksanaan PPRG di SKPD, masih ditemukan
permasalahan dalam penyusunan dokumen anggaran yang responsif gender. Untuk itu
diperlukan satu panduan perencanaan penganggaran yang responsif gender sehingga
memudahkan perencana program dalam menyusun perencanaan dan penganggaran yang
responsif gender.
Joko Untoro & Tim Guru Indonesia mengatakan, peraturan merupakan salah satu bentuk
keputusan yang harus ditaati dan dilaksanakan. Jasi, kita harus menaati peraturan agar semua
menjadi teratur dan orang akan merasa nyaman. Peraturan adalah tindakan yang harus
dilakukan atau yang tidak boleh dilakukan.
I Wawang Setyawan menuliskan, peraturan adalah suatu hal yang sangat mutlak dan bersifat
membatasi ruang gerak atau "kemerdekaan" setiap individu.
Adapun Lydia Harlina Martono, Satya Joewana, dan Venus Khasanah memiliki pendapat bahwa
peraturan adalah cara membangun norma masyarakat sebagai pedoman agar manusia hidup
tertib dan teratur.
1.6.7 PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
Peraturan perundang-undangan, dalam konteks negara Indonesia, adalah peraturan tertulis
yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.
JENIS DAN HIERARKI
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 mengenai jenis dan hierarki, dan pembentukan
Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia. Hierarki maksudnya peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi. Berikut adalah hierarki Peraturan Perundang-
undangan di Indonesia menurut UU No. 12/2011 (yang menggantikan UU No. 10/2004)
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan:
UUD 1945, merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan. UUD 1945
ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ketetapan MPR
Undang-Undang (UU)/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
Peraturan Pemerintah (PP)
Peraturan Presiden (Perpres)
Peraturan Daerah (Perda), termasuk pula Qanun yang berlaku di Aceh, serta Perdasus
dan Perdasi yang berlaku di Provinsi Papua dan Papua Barat.
Peraturan Desa
Dari Peraturan Perundang-undangan tersebut, aturan yang mengenai ketentuan pidana hanya
dapat dimuat dalam Undang-Undang dan Peraturan Daerah.
Sedangkan peraturan perundang-undangan selain yang tercantum di atas, mencakup
peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa
Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang
setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-
Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Wali kota, Kepala Desa atau yang setingkat diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Undang Undang Dasar 1945
UUD 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan.
Naskah resmi UUD 1945 adalah:
Naskah UUD 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dan diberlakukan
kembali dengan Dekret Presiden pada tanggal 5 Juli 1959
Naskah Perubahan Pertama, Perubahan Kedua, Perubahan Ketiga, dan Perubahan
Keempat UUD 1945 (masing-masing hasil Sidang Umum MPR Tahun 1999, 2000, 2001,
2002).
Undang-Undang Dasar 1945 Dalam Satu Naskah dinyatakan dalam Risalah Rapat Paripurna ke-
5 Sidang Tahunan MPR Tahun 2002 sebagai Naskah Perbantuan dan Kompilasi Tanpa Ada
Opini.
Ketetapan MPR
Perubahan (Amendemen) Undang-Undang Dasar 1945 membawa implikasi terhadap
kedudukan, tugas, dan wewenang MPR. MPR yang dahulu berkedudukan sebagai lembaga
tertinggi negara, kini berkedudukan sebagai lembaga negara yang setara dengan lembaga
negara lainnya (seperti Kepresidenan, DPR, DPD, BPK, MA, dan MK).
Dengan demikian MPR kini hanya dapat menetapkan ketetapan yang bersifat penetapan, yaitu
menetapkan Wapres menjadi Presiden, memilih Wapres apabila terjadi kekosongan jabatan
Wapres, serta memilih Presiden dan Wapres apabila Presiden dan Wapres mangkat, berhenti,
diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara
bersama-sama.
Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.
Materi muatan Undang-Undang adalah:
Mengatur lebih lanjut ketentuan UUD 1945 yang meliputi: hak-hak asasi manusia, hak
dan kewajiban warga negara, pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta
pembagian kekuasaan negara, wilayah dan pembagian daerah, kewarganegaraan dan
kependudukan, serta keuangan negara.
Diperintahkan oleh suatu Undang-Undang Dasar 1945 untuk diatur dengan Undang-
Undang.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) adalah Peraturan Perundang-
undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Materi
muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah sama dengan materi muatan
Undang-Undang.
Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan
yang memaksa (negara dalam keadaan darurat), dengan ketentuan sebagai berikut:
Perpu dibuat oleh presiden saja, tanpa adanya keterlibatan DPR
Perpu harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut.
DPR dapat menerima atau menolak Perpu dengan tidak mengadakan perubahan.
Jika ditolak DPR, Perpu tersebut harus dicabut.
Peraturan Pemerintah
Peraturan Pemerintah (PP) adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh
Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Materi muatan Peraturan
Pemerintah adalah materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.
Peraturan Presiden
Peraturan Presiden (Perpres) adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibuat oleh
Presiden. Materi muatan Peraturan Presiden adalah materi yang diperintahkan oleh Undang-
Undang atau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah.
Peraturan Daerah
Peraturan Daerah adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama kepala daerah (gubernur atau
bupati/wali kota).
Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus
daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
PENGUNDANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Perundang-undangan harus diundangkan dengan
menempatkannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik
Indonesia, Lembaran Daerah, atau Berita Daerah.
BAHASA DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Bahasa peraturan perundang-undangan pada dasarnya tunduk kepada kaidah tata Bahasa
Indonesia, baik yang menyangkut pembentukan kata, penyusunan kalimat, teknik penulisan,
maupun pengejaannya. Namun bahasa Peraturan Perundang-undangan mempunyai corak
tersendiri yang bercirikan kejernihan atau kejelasan pengertian, kelugasan, kebakuan,
keserasian, dan ketaatan asas sesuai dengan kebutuhan hukum.
Penyerapan kata atau frasa bahasa asing yang banyak dipakai dan telah disesuaikan ejaannya
dengan kaidah Bahasa Indonesia dapat digunakan, jika kata atau frasa tersebut memiliki
konotasi yang cocok, lebih singkat bila dibandingkan dengan padanannya dalam Bahasa
Indonesia, mempunyai corak internasional, lebih mempermudah tercapainya kesepakatan,
atau lebih mudah dipahami daripada terjemahannya dalam Bahasa Indonesia.
ASAS DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Ada 4 asas peraturan perundang-undangan sebagai berikut:
1. Asas legalitas
2. Asas Lex superior derogat legi inferior
3. Asas Lex specialis derogat legi generali
4. Asas Lex posterior derogat legi priori
Pengertian peraturan daerah provinsi dapat ditemukan dalam pasal 1 angka 7 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sebagai
berikut :
Materi muatan peraturan daerah merupakan materi pengaturan yang terkandung dalam suatu
peraturan daerah yang disusun sesuai dengan teknik legal drafting atau teknik penyusunan
peraturan perundang-undangan. Dalam pasal 14, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebutkan bahwa materi muatan
Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam
rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi
khusus daerah dan atau penjabaran lebih lanjut dari Peraturan Perundang-undangan yang
lebih tinggi.
Secara umum, materi muatan peraturan daerah dikelompokkkan menjadi: ketentuan umum;
materi pokok yang diatur; ketentuan pidana (jika memang diperlukan); ketentuan peralihan
(jika memang diperlukan); dan ketentuan penutup.[5] Materi muatan peraturan daerah dapat
mengatur adanya ketentuan pidana. Namun, berdasarkan pasal 15, Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, ketentuan pidana yang
menjadi materi muatan peraturan daerah dibatasi, yakni hanya dapat mengatur ketentuan
pidana berupa ancaman pidana paling lama 6 bulan kurungan penjara dan denda maksimal Rp.
50.000.000,00.
Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) dapat berasal dari DPRD atau kepala daerah
(gubernur, bupati, atau wali kota). Raperda yang disiapkan oleh Kepala Daerah disampaikan
kepada DPRD. Sedangkan Raperda Dprd yang muntahD dan Gubernur atau Bupati/Walikota
disampaikan oleh Pimpinan DPRD kepada Gubernur atau Bupati/Walikota untuk disahkan
menjadi Perda, dalam jangka waktu palinglambat 7 hari sejak tanggal persetujuan bersama.
Raperda tersebut disahkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota dengan menandatangani
dalam jangka waktu 30 hari sejak Raperda tersebut disetujui oleh DPRD dan Gubernur atau
Bupati/Walikota. Jika dalam waktu 30 hari sejak Raperda tersebut disetujui bersama tidak
ditandangani oleh Gubernur atau Bupati/Walikota, maka Raperda tersebut sah menjadi Perda
dan wajib diundangkan.
Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa seharusnya norma hukum yang hendak dituangkan
dalam rancangan Peraturan Perundang-undangan, benar-benar telah disusun berdasarkan
pemikiran yang matang dan perenungan yang memang mendalam, semata-mata untuk
kepentingan umum (public interest), bukan kepentingan pribadi atau golongan. Sistem
pemerintahan Indonesia mengenal adanya jenis pembagian kewenangan baik antara
kewenangan Pemerintah Pusat maupun kewenangan Pemerintah Daerah. Dalam pembentukan
produk hukum baik pusat maupun daerah, undangundang memberikan peranan dan fungsi
terhadap elemen pemerintahan baik yang dipusat maupun daerah.
Daerah diberikan wewenang untuk membentuk peraturan daerah sebagaimana diatur dan
dimaksud dalam Pasal 136 Undang-Undang nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah.
a. Perda ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD.
b. Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/
kabupaten/kota dan tugas pembantuan.
c. Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penjabaran lebih lanjut dari
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas
masing-masing daerah.
d. Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan kepentingan
umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
e. Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku setelah diundangkan dalam
lembaran daerah.
Pasal di atas menerangkan bagaimana kewenangan DPRD dalam membentuk suatu produk
hukum daerah berupa peraturan daerah (perda). Dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah, Perda mempunyai fungsi antara lain :
Selain agar peraturan daerah dapat dibentuk secara sistematis, juga untuk menghindari
banyaknya peraturuan daerah yang dicabut dan dibatalkan karena bertentangan dengan
peraturan yang tingkatannya lebih tinggi. Program legislasi daerah (Prolegda) merupakan
pedoman pengendali penyusunan peraturan daerah yang mengikat lembaga yang berwenang
yakni pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah untuk membentuk peraturan
daerah. Untuk itu prolegda dipandang penting untuk menjaga agar produk peraturan
perundang-undangan daerah tetap berada dalam kesatuan sistem hukum nasional. Hal ini
berarti bahwa idealnya sebelum peraturan daerah hendak dirancang sudah terlebih dahulu
harus ada rencana pembentukan peraturan daerah tersebut dalam prolegda, sehingga angka
pembatalan dapat lebih diminimalisir. Prolegda adalah instrument perencanaan program
pembentukan peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah kabupaten/kota yang disusun
secara terencana, terpadu dan sistematis.Secara operasional, prolegda memuat daftar
rancangan peraturan daerah yang disusun berdasarakan metode dan parameter tertentu
sebagai bagian integral dari sistem peraturan perundang-undangan. Hal ini menunjukkan
bahwa prolegda mempunyai kedudukan hukum yang penting dalam penyusunan peraturan
daerah ditingkatan provinsi dan kabupaten/kota, hanya saja arti penting kedudukan hukum
prolegda ini belum dipahami dengan baik oleh pemerintah daerah. Hal ini sesuai dengan Pasal
39 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang mengatur bahwa: “Perencanaan penyusunan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dilakukan dalam Prolegda Kabupaten/Kota”. Tahap
perencanaan merupakan langkah pertama yang dilakukan untuk mencapai tujuan
pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik. Salah satu kegiatan perencanaan
pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah penyusunan Naskah Akademik.
Pentingnya Naskah Akademik sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum.
Pembentukan peraturan daerah yang baik diakomodir dalam Pasal 15, Pasal 17 dan Pasal 19
Permendagri No. 53 Tahun 2011, secara lengkap sebagai berikut: Pasal 15 Penyusunan produk
hukum daerah yang bersifat pengaturan berbentuk Perda atau nama lainnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 huruf a dilakukan berdasarkan Prolegda. Paragraf 1 Persiapan
Penyusunan Perda di Lingkungan Pemerintah Daerah Pasal 17 (1) Pimpinan SKPD menyusun
Rancangan Perda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 disertai naskah akademik dan/atau
penjelasan atau keterangan yang memuat pokok pikiran dan materi muatan yang diatur. (2)
Rancangan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada biro hukum provinsi
atau bagian hukum kabupaten/kota. Pasal 19 (1) Rancangan Perda yang disertai naskah
akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) telah melalui pengkajian dan
penyelarasan, yang terdiri atas: b. latar belakang dan tujuan penyusunan; c. sasaran yang akan
diwujudkan; d. pokok pikiran, ruang lingkup, atau objek yang akan diatur; dan e. jangkauan
dan arah pengaturan. (2) Naskah akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan
sistematika sebagai berikut:
1) Judul
2) Kata pengantar
3) Daftar isi
4) BAB I : Pendahuluan
5) BAB II : Kajian teoritis dan praktik empiris
6) BAB III : Evaluasi dan analis peraturan perundang-undangan terkait
7) BAB IV : Landasan filosofis, sosiologis dan yuridis
8) BAB V : Jangkauan, arah pengaturan dan ruang lingkup materi muatan perda
9) BAB VI : Penutup
Berdasarkan ketentuan di atas, naskah akademik merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari penyusunan sebuah rancangan peraturan perundang-undangan. Selama ini naskah
akademik sering kurang diperhatikan, sehingga sekalipun sudah di arahkan bahwa setiap
peraturan perundang-undangan terutama UndangUndang dan Perda harus disertai naskah
akademik. Dalam praktiknya, naskah akademik sering dijadikan sebagai landasan dalam
pembentukan suatu peraturan perundang-undangan. Secara normatif, tidak ada keharusan
bahwa persiapan rancangan peraturan perundang-undangan harus disertai dengan Naskah
Akademik. Misalnya, Pasal 5 Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara
Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden
(Perpres No 68/2005) hanya menyatakan bahwa pemrakarsa dalam menyusun RUU dapat
terlebih dahulu menyusun Naskah Akademik mengenai materi yang akan diatur dalam RUU.
Kemudian, penyusunan Naskah Akademik dilakukan oleh pemrakarsa bersama-sama dengan
departemen yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan dan
pelaksanaannya dapat diserahkan kepada perguruan tinggi atau pihak ketiga lainnya yang
mempunyai keahlian untuk itu.
Naskah Akademik sekurang-kurangnya memuat 8 dasar filosofis, sosiologis, yuridis tentang
pokok dan lingkup materi yang akan diatur. Tidak adanya keharusan untuk menyertakan
Naskah Akademik dalam Perpres No 68/2005 tidak dapat dilepaskan dari UU No 10/2004.
Sebagaimana diketahui, UU No 10/2004 tidak mengharuskan Naskah Akademik sebagai bagian
proses penyusunan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, dikaitkan dengan
urgensi Naskah Akademik dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, terjadi
kemunduran dalam signifikan dalam menempatkan Naskah Akademik.
Berdasarkan hal tersebut, maka semestinya naskah akademik merupakan naskah hasil
penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah
tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah
tersebut dalam suatu rancangan peraturan perundangundangan sebagai solusi terhadap
permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat. Dengan adanya naskah akademik RUU atau
Raperda, sebuah RUU atau Raperda dapat terhindar dari penyusunan yang “asal jadi” atau
tidak jelas konsepsinya.
Salah satu contohnya adalah Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 276 Tahun 2009
tentang pembatalan Pasal 15 ayat (2) huruf b Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Selatan
Nomor 21 tahun 2001 tentang Retribusi Izin Pemutaran Film Keliling, Film Komersial, Usaha
Rental, VCD, Video dan Rental Video Game. Pertimbangan menteri dalam negeri membatalkan
peraturan daerah tersebut yaitu bahwa Pasal 15 ayat (2) huruf b Peraturan Daerah Kabupaten
Lampung Selatan Nomor 21 Tahun 2001 tentang Retribusi Izin Pemutaran Film Keliling, Film
Komersial, Usaha Rental, Vcd, Video dan Rental Video Game bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi. Karena itu, perlu ada penguatan posisi naskah
akademik sebagai prasyarat dalam penyusunan peraturan perundang-undangan. Naskah
akademik benar-benar menjadi dasar ilmiah pembentukan rancangan peraturan perundang-
undangan, sehingga naskah RUU dapat disusun secara lebih objektif dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Selanjutnya, perlu ada kesamaan dalam hal teknis penyusunan naskah akademik serta materi
muatannya, sehingga naskah akademik benar-benar dapat dibuat secara lebih utuh, sistematis,
dan objektif sebagai landasan teoritik dan praktis dalam pembentukan suatu peraturan
perundang-undangan.
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan campuran (mix methode) antara kualitatif dan
kuantitatif dengan menggunakan data primer dan sekunder.
Penelitian kuantitatif adalah suatu proses menemukan pengetahuan yang menggunakan data
berupa angka sebagai alat menganalisis keterangan mengenai apa yang ingin diketahui.
(Kasiram (2008: 149) dalam bukunya Metodologi Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif).
Penelitian kuantitatif didasarkan pada asumsi sebagai berikut (Nana Sudjana dan Ibrahim,
2001; Del Siegle, 2005, dan Johnson, 2005).
Karakteristik penelitian kuantitatif adalah sebagai berikut (Nana Sudjana dan Ibrahim, 2001:
6-7; Suharsimi Arikunto, 2002 : 11; Johnson, 2005; dan Kasiram 2008: 149-150):
a. Menggunakan pola berpikir deduktif (rasional – empiris atau top-down), yang
berusaha memahami suatu fenomena dengan cara menggunakan konsep-konsep
yang umum untuk menjelaskan fenomena-fenomena yang bersifat khusus.
b. Logika yang dipakai adalah logika positivistik dan menghundari hal-hal yang
bersifat subjektif.
c. Proses penelitian mengikuti prosedur yang telah direncanakan.
d. Tujuan dari penelitian kuantitatif adalah untuk menyususun ilmu nomotetik yaitu
ilmu yang berupaya membuat hokum-hukum dari generalisasinya.
e. Subjek yang diteliti, data yang dikumpulkan, dan sumber data yang dibutuhkan,
serta alat pengumpul data yang dipakai sesuai dengan apa yang telah direncanakan
sebelumnya.
f. Pengumpulan data dilakukan melalui pengukuran dengan mengguna-kan alat yang
objektif dan baku.
g. Melibatkan penghitungan angka atau kuantifikasi data.
h. Peneliti menempatkan diri secara terpisah dengan objek penelitian, dalam arti
dirinya tidak terlibat secara emosional dengan subjek penelitian.
i. Analisis data dilakukan setelah semua data terkumpul.
j. Dalam analisis data, peneliti dituntut memahami teknik-teknik statistik.
k. Hasil penelitian berupa generalisasi dan prediksi, lepas dari konteks waktu dan
situasi.
l. Penelitian jenis kuantitatif disebut juga penelitian ilmiah
a. Identifikasi permasalahan
b. Studi literatur.
c. Pengembangan kerangka konsep
d. Identifikasi dan definisi variabel, hipotesis, dan pertanyaan penelitian.
e. Pengembangan disain penelitian.
f. Teknik sampling.
g. Pengumpulan dan kuantifikasi data.
h. Analisis data.
i. Interpretasi dan komunikasi hasil penelitian.
Dalam melakukan penelitian, peneliti dapat menggunakan metoda dan rancangan (design)
tertentu dengan mempertimbangkan tujuan penelitian dan sifat masalah yang dihadapi.
Berdasarkan sifat-sifat permasalahannya, penelitian kuantitatif dapat dibedakan menjadi
beberapa tipe sebagai berikut (Suryabrata, 2000 : 15 dan Sudarwan Danim dan Darwis, 2003 :
69 – 78).
a. Penelitian deskriptif
b. Penelitian korelational
c. Penelitian kausal komparatif
d. Penelitian tindakan
e. Penelitian perkembangan
f. Penelitian eksperimen
Metode yang dipergunakan dalam penelitian kuantitatif, khususnya kuantitatif analitik adalah
metode deduktif. Dalam metoda ini teori ilmiah yang telah diterima kebenarannya dijadikan
acuan dalam mencari kebenaran selanjutnya.
Jujun S. Suriasumantri dalam bukunya Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial, dan Politik (2000:
6) menyatakan bahwa pada dasarnya metoda ilmiah merupakan cara ilmu memperoleh dan
menyusun tubuh pengetahuannya berdasarkan : a) kerangka pemikiran yang bersifat logis
dengan argumentasi yang bersifat konsisten dengan pengetahuan sebelumnya yang telah
berhasil disusun; b) menjabarkan hipotesis yang merupakan deduksi dari kerangka pemikiran
tersebut; dan c) melakukan verifikasi terhadap hipotesis termaksud untuk menguji kebenaran
pernyataannya secara faktual.
Selanjutnya Jujun menyatakan bahwa kerangka berpikir ilmiah yang berintikan proses logico-
hypothetico-verifikatif ini pada dasarnya terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut
(Suriasumantri, 2005 : 127-128).
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objek
alamiah, dimana peneliti merupakan instrumen kunci (Sugiyono, 2005). Perbedaannya dengan
penelitian kuantitatif adalah penelitian ini berangkat dari data, memanfaatkan teori yang ada
sebagai bahan penjelas dan berakhir dengan sebuah teori.
Moleong setelah melakukan analisis terhadap beberapa definisi penelitian kualitatif kemudian
membuat definisi sendiri sebagai sintesis dari pokok-pokok pengertian penelitian kualitatif.
Menurut Moleong (2005:6), penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk
memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku,
persepsi, motivasi, tindakan, dll secara holistic, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-
kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai
metode alamiah.
Pada kesempatan ini saya akan jelaskan secara mendalam tentang teori penelitian kualitatif,
tujuan, jenis dan cara penelitiannya. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang digunakan
untuk meneliti pada kondisi objek alamiah, dimana peneliti merupakan instrumen kunci
(Sugiyono, 2005). Perbedaannya dengan penelitian kuantitatif adalah penelitian ini berangkat
dari data, memanfaatkan teori yang ada sebagai bahan penjelas dan berakhir dengan sebuah
teori.
Moleong setelah melakukan analisis terhadap beberapa definisi penelitian kualitatif kemudian
membuat definisi sendiri sebagai sintesis dari pokok-pokok pengertian penelitian kualitatif.
Menurut Moleong (2005:6), penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk
memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku,
persepsi, motivasi, tindakan, dll secara holistic, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-
kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai
metode alamiah.
Menurut Saryono (2010), Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang digunakan untuk
menyelidiki, menemukan, menggambarkan, dan menjelaskan kualitas atau keistimewaan dari
pengaruh social yang tidak dapat dijelaskan, diukur atau digambarkan melalui pendekatan
kuantitatif.
Menurut Sugiyono (2011), metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang
berlandaskan pada filsafat post positivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek
yang alamiah, (sebagai lawannya eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci,
pengambilan sampel sumber data dilakukan secara purposive dan snowball, teknik
pengumpulan dengan tri-anggulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif atau kualitatif,
dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi.
Agar para pembaca memahami maknasesungguhnya dari bahasan kali ini, maka akan kita
bahas sedikit tentang perbedaan penelitian kualitatif dengan kuantitatif. Perbedaan yang
paling mendasar antara penelitian kualitatif dan kuantitatif adalah alur teori serta data. Di
dalam penelitian kuantitatif, penelitian bermula dari teori yang dibuktikan dengan data
lapangan. Sebailknya, di dalam penelitian kualitatif, penelitian berangkat dari data lapangan
dan menggunakan teori yang sudah ada sebagai pendukung, kemudian hasilnya akan
memunculkan teori dari data-data tersebut.
Menurut Williams (1988), ada 5 pandangan dasar perbedaan antara pendekatan kuantitatif
dan kualitatif. Kelima pendangan dasar perbedaan tersebut antara lain:
Menurut Kriyantono, tujuan penelitian kualitatif adalah untuk menjelaskan suatu fenomena
dengan sedalam-dalamnya dengan cara pengumpulan data yang sedalam-dalamnya pula, yang
menunjukkan pentingnya kedalaman dan detail suatu data yang diteliti.
Pada penelitian kualitatif, semakin mendalam, teliti, dan tergali suatu data yang didapatkan,
maka bisa diartikan pula bahwa semakin baik kualitas penelitian tersebut. Maka dari segi
besarnya responden atau objek penelitian, metode penelitian kualitatif memiliki objek yang
lebih sedikit dibandingkan dengan penelitian kuantitatif, sebab lebih mengedepankan
kedalaman data, bukan kuantitas data.
Anggapan yang mendasari penelitian jenis kualitatif adalah bahwa kenyataan sebagai suatu
yang berdimensi jamak, kesatuan, dan berubah-ubah (Nana Sudjana dan Ibrahim, 2001: 7).
Oleh karena itu tidak mungkin dapat disusun rancangan penelitian yang terinci dan fixed
sebelumnya. Rancangan penelitian berkembang selama proses penelitian berlangsung.
Penelitian jenis kualitatif disebut juga penelitian naturalistik, metode fenomenologis, metode
impresionistik, dan metode post positivistic. Adapun karakteristik penelitian jenis ini adalah
sebagai berikut (Sujana dan Ibrahim, 2001: 6-7; Suharsimi Arikunto, 2002: 11-12; Moleong,
2005: 8-11; Johnson, 2005, dan Kasiram, 2008: 154-155).
Prosedur pelaksanaan penelitian kualitatif bersifat fleksibel sesuai dengan kebutuhan, serta
situasi dan kondisi di lapangan. Secara garis besar tahapan penelitian jenis kualitatif adalah
sebagai berikut (Sudarwan Danim dan Darwis, 2003 : 80)
Fenomenologi
Penelitian fenomenologi dapat dimulai dengan memperhatikan dan menelaah fokus fenomena
yang akan diteliti, yang melihat berbagai aspek subjektif dari perilaku objek. Selanjutnya,
peneliti melakukan penggalian data berupa bagaimana pemaknaan objek dalam memberikan
arti terhadap fenomena yang terkait. Penggalian data tersebut dilakukan dengan melakukan
wawancara yang mendalam kepada objek atau informan didalam penelitian, serta dengan
melakukan observasi secara langsung mengenai bagaimana objek penelitian
menginterpretasikan pengalamannya kepada orang lain.
Etnografi
Ethnography: is the form of qualitative research that focuses on describing the culture of a
group of people.
Metode penelitian etnografi adalah penelitian yang memiliki tujuan untuk mengkaji bentuk
dan fungsi bahasa yang tersedia dalam budaya yang selanjutnya digunakan untuk
berkomunikasi oleh individu didalamnya. Serta melihat bagaimana bentuk dan fungsi bahasa
tersebut menjadi bagian dari kehidupan sebuah masyarakat.
Metode etnografi menginterpretasikan kelompok sosial, sistem yang berlaku dan peran yang
dijalankan, serta interaksi sosial yang terjadi dalam suatu masyarakat. Metode etnografi
biasanya digunakan untuk berfokus pada kegiatan atau ritual tertentu didalam masyarakat,
bahasa, kepercayaan, cara-cara hidup dan lain sebagainya.
Studi Kasus
Case study research: is a form of qualitative research that focused on providing a detailed
account of one or more cases.
Metode penelitian studi kasus meneliti suatu kasus atau fenomena tertentu yang ada didalam
masyarakat yang dilakukan secara mendalam untuk mempelajari latar belakang, keadaan, dan
interaksi yang terjadi.
Studi kasus dilakukan pada suatu kesatuan sistem yang bisa berupa suatu program, kegiatan,
peristiwa, atau sekelompok individu yang ada pada keadaan atau kondisi-kondisi tertentu.
Grounded theory: is a qualitative approach to generating and developing a theory form data
that the researcher collects.
Penelitian Kualitatif Metode Teori Dasar adalah penelitian yang dilakukan untuk menemukan
suatu teori atau untuk menguatkan teori yang sudah ada dengan mengkaji prinsip dan kaidah
dasar yang ada. Selanjutnya dibuat kesimpulan dasar yang membentuk prinsip dasar dari
suatu teori.
Dalam melakukan metode teori dasar ini, peneliti perlu memilah mana fenomena yang dapat
dikatakan fenomena inti dan mana yang bukan untuk dapat diambil dan dibentuk suatu teori.
Pengumpulan data metode teori dasar ini dilakukan dengan observasi, studi lapangan,
pembandingan antara kategori, fenomena, dan situasi berdasarkan berbagai penilaian, seperti
kajian induktif, deduktif, dan verifikasi hingga datanya bersifat jenuh.
Metode Historis
Penelitian metode historis adalah penelitian yang memiliki fokus penelitian berupa peristiwa-
peristiwa yang sudah berlalu dan melakukan rekonstruksi masa lalu dengan sumber data atau
saksi sejarah yang masih ada hingga saat ini.
Sumber data tersebut bisa diperoleh dari berbagai catatan sejarah, artefak, laporan verbal,
maupun saksi hidup yang dapat dipertanggungjawabkan kebenaran kesaksiannya.
Karena mengkaji peristiwa-peristiwa yang telah berlalu, maka ciri khas dari penelitian metode
historis ialah waktu. Dimana fenomena dilihat perkembangan atau perubahannya berdasarkan
pergeseran waktu.
1. Mengangkat permasalahan.
2. Memunculkan pertanyaan penelitian.
3. Mengumpulkan data yang relevan.
4. Melakukan analisis data.
5. Menjawab pertayaan penelitian.
Pengumpulan data primer dilakukan dengan metode wawancara dan/ atau kuisioner
sedangkan pengumpulan data sekunder diperoleh dari instansi terkait serta dari penelitian
terdahulu.
Data primer adalah data yang diperoleh peneliti secara langsung (dari tangan pertama),
sementara data sekunder adalah data yang diperoleh peneliti dari sumber yang sudah ada.
Contoh data primer adalah data yang diperoleh dari responden melalui kuesioner, kelompok
fokus, dan panel, atau juga data hasil wawancara peneliti dengan nara sumber. Contoh data
sekunder misalnya catatan atau dokumentasi perusahaan berupa absensi, gaji, laporan
keuangan publikasi perusahaan, laporan pemerintah, data yang diperoleh dari majalah, dan
lain sebagainya
Metode pengumpulan data primer dilakukan dengan cara survei dan wawancara, sedangkan
pengumpulan data sekunder diperoleh dari instansi terkait serta dari penelitian terdahulu.
1.8. KELUARAN
Adapun Keluaran dalam kegiatan ini adalah : a. Laporan Pendahuluan diserahkan sebanyak 5
eksemplar. b. Laporan Antara diserahkan sebanyak 5 eksemplar. c. Naskah Akademik Raperda
tentang Pengarusutamaan Gender disertai dengan Draf Raperda tentang Pengarusutamaan
Gender diserahkan sebanyak 5 eksemplar. d. Laporan Akhir Penyusunan Naskah Akademik
sebanyak 5 buah. e. Flashdisk File digital Naskah Akademik disertai Draf Raperda diserahkan
sebanyak 2 buah.
BAB II
RENCANA KERJA
Pada bulan kedua, dilaksanakan rapat-rapat penyusunan materi teknis Naskah Akademik
bersama tim fasilitasi. Pada pekan keenam dilakukan FGD pertama bersama alat kelengkapan
DPRD DIY dan SKPD terkait dari seluruh kota/kabupaten di DIY. Setelah FGD pertama,
dilanjutkan rapat penyempurnaan Naskah Akademik dan tindak lanjut hasil FGD. Naskah
Akademik ditargetkan mencapai final pada pekan kedelapan. Dengan finalnya Naskah
Akademik, di pekan terakhir bulan kedua ini juga akan dilakukan ekspose laporan antara.
Setelah finalisasi Naskah Akademik dan laporan antara, di pekan kedelapan akan dimulai rapat
penyusunan draf Raperda.
Pada bulan ketiga, dilakukan rapat-rapat penyusunan draf Raperda. Pada akhir bulan yaitu
pekan kedua belas, dijadwalkan FGD kedua, yaitu forum untuk dengar pendapat dan
pengumpulan informasi serta aspirasi untuk penyusunan draf Raperda. FGD dilakukan dengan
peserta alat kelengkapan DPRD DIY dan SKPD terkait dari kota/kabupaten dan Provinsi DIY.
Setelah FGD, dilakukan rapat pembahasan hasil FGD, termasuk tindak lanjutnya terkait draf
Raperda yang disusun. Rapat ini akan terus dilakukan untuk melakukan penyempurnaan
terhadap draf Raperda yang disusun.
Pada bulan keempat, dilakukan finalisasi Naskah Akademik dan Draf Raperda serta
penyusunan laporan akhir. Penyerahan seluruh laporan, Naskah Akademik dan Draf Raperda,
serta seluruh dokumentasi penelitian yang dikehendaki oleh PPK dilakukan maksimal pada
pekan keenambelas.
Dengan perencanaan seperti tersebut di atas, diharapkan pekerjaan berlangsung sesuai jadwal
dalam jangka waktu yang telah ditentukan.
Adapun rencana pekerjaan ini disederhanakan melalui diagram alir sebagai berikut:
Start
Laporan
Persiapan dan
pendahuluan
mobilisasi tim
FGD I
Laporan
antara
Penyusunan Naskah
Akademik
FGD II
Penyusunan Draf
Raperda
tidak
Disetujui
ya
End
2.3. DAFTAR HASIL PEKERJAAN
Adapun hasil dari pekerjaan ini yaitu:
1. Laporan pendahuluan
2. Laporan antara
3. Laporan akhir
4. Naskah Akademik Raperda tentang Pengarusutamaan Gender
5. Raperda tentang Pengarusutamaan Gender
6. Dokumentasi penelitian yang dibutuhkan oleh PPK
BAB III
ORGANISASI DAN RENCANA PENGGUNAAN TENAGA AHLI
Struktur organisasi dan rincian personil pada kegiatan ini dapat dilihat pada bagan berikut:
2 Galih
Ahli Pem a. Melakukan studi pustaka yang 3,5
Prabani
Mud bang mutakhir terkait dengan isu
ngrum,
a S.Sos.,M. unan Pengarusutamaan Gender, baik dalam
bida A Sosi skala global, nasional, dan lokal untuk
ng al mendukung penyusunan Naskah
Pem dan Akademik dan Raperda
Pengarusutamaan Gender.
bang Kese
b. Melaksanakan studi dan analisis
unan jahte
terkait Pengarusutamaan Gender
Sosi raan
melalui studi dan pengumpulan data
al
serta analisis mengenai konsep-
dan
konsep gender dan pengembangan
Kese
alat analisis gender.
jahte
c. Melaksanakan kegiatan penelitian
raan
bersama Tim untuk basis
penyusunan Naskah Akademik dan
Raperda.
d. Merancang kebijakan yang mampu
menjawab hal-hal yang ditemukan
dalam poin b dan c.
e. Membantu pelaksanaan
penyusunan Naskah Akademik
Pengarusutamaan Gender
f. sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011.
g. Membantu pelaksanaan penyusunan
Draf Raperda dalam bentuk rumusan
Pasal-pasal. g. Membantu Ketua Tim
dalam penyusunan Laporan
Pendahuluan, dan Laporan Akhir.
3 Ahli Sri Adminis a. Melakukan studi pustaka yang 3,5
Muda Lestari trasi
mutakhir terkait dengan isu
bidang Harjanta Negara
Adminis ., S.IP., Pengarusutamaan Gender baik
trasi M.Si dalam skala global, nasional, dan
Negara lokal untuk mendukung penyusunan
Naskah Akademik dan Raperda
Pengarusutamaan Gender.
b. Melaksanakan studi dan analisis
terkait Pengarusutamaan Gender
melalui studi dan pengumpulan data
serta analisis mengenai advokasi
dan sosialisasi gender serta hal- hal
lain yang diminta dalam Kerangka
Acuan Kerja.
c. Melaksanakan kegiatan penelitian
bersama Tim untuk basis
penyusunan Naskah Akademik dan
Raperda.
d. Merancang kebijakan yang mampu
menjawab hal-hal yang ditemukan
dalam poin b dan c.
e. Membantu pelaksanaan
penyusunan Naskah Akademik
Pengarusutamaan Gender sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011.
f. Membantu pelaksanaan penyusunan
Draf Raperda dalam bentuk rumusan
Pasal-pasal.
g. Membantu Ketua Tim dalam
penyusunan Laporan Pendahuluan,
dan Laporan Akhir.
Posisi Jumlah
Nama Lingkup
No Diusulka Uraian Pekerjaan Orang
Personel Keahlian
n Bulan
Nurlaili
Dwi
Asisten Hukum 3,5
Kurnia,
MH
Surveyo 1. Asfar Survei 5
r S.
Yoga,
ST
2. Fad
mi
Dwi
Rach
maw
ati,
S.Ak
3. Luthf
i
Alfik
ri
Kusti
yo,
ST
4. Azza
m
Ghoz
i
Ahm
ad,
S.Si
5. Kurn
ia
Adhi
Putr
a, S.T