Anda di halaman 1dari 8

KESETARAAN GENDER

2.1 Pengertian Kesetaraan Gender dan Kaitannya Dengan SDGs


Kesetaraan gender (gender equality) merupakan konsep dikembangkan dengan mengacu
pada dua instrumen internasional yang mendasar dalam hal ini yakni Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa semua manusia dilahirkan bebas dan
sama. Dengan merujuk pada Deklarasi ini, Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan mencantumkan istilah “hak yang sama untuk laki-laki dan
perempuan” dan “kesetaraan hak laki-laki dan perempuan”. Konsep kesetaraan gender merujuk
pada kesetaraan penuh laki-laki dan perempuan untuk menikmati rangkaian lengkap hak-hak
politik , ekonomi , sipil , sosial dan budaya. Konsep ini juga merujuk pada situasi di mana tidak
ada individu yang ditolak aksesnya atas hak-hak tersebut, atau hak-hak tersebut dirampas dari
mereka, karena jenis kelamin mereka.
Kesetaraan gender merupakan salah satu hak asasi kita sebagai manusia. Hak untuk hidup
secara terhormat, bebas dari rasa ketakutan dan bebas menentukan pilihan hidup tidak hanya
diperuntukan bagi para laki-laki, perempuan pun mempunyai hak yang sama pada hakikatnya.
Sayangnya sampai saat ini, perempuan seringkali dianggap lemah dan hanya menjadi sosok
pelengkap. Terlebih lagi adanya pola berpikir bahwa peran perempuan hanya sebatas bekerja di
dapur, sumur, mengurus keluarga dan anak, sehingga pada akhirnya hal di luar itu menjadi tidak
penting. Sosok perempuan yang berprestasi dan bisa menyeimbangkan antara keluarga dan karir
menjadi sangat langka ditemukan. Perempuan seringkali takut untuk berkarir karena tuntutan
perannya sebagai ibu rumah tangga.
Data yang ada menunjukkan bahwa perempuan secara konsisten berada pada posisi yang
lebih dirugikan daripada laki-laki. Berikut adalah isu-isu utama/ sejumlah contoh kesenjangan
gender di berbagai sektor yang masih perlu diatasi :
1. Pola Pernikahan yang merugikan pihak perempuan
Pernikahan dini adalah suatu hal yang lazim di Indonesia, khususnya di daerah pedesaan.
Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa 2004 memperkirakan 13% dari perempuan
Indonesia menikah di umur 15 – 19 tahun. Dalam hukum Islam, laki-laki memang
diperbolehkan memperistri lebih dari satu orang. Akan tetapi, dalam Undang-Undang
Perkawinan Tahun 1974 menyatakan bahwa izin untuk memiliki banyak istri dapat
diberikan jika seseorang dapat memberikan bukti bahwa istri pertamanya tidak dapat
melaksanakan tanggung jawabnya sebagai istri. Pegawai Negeri Sipil (PNS) Indonesia
pun dilarang mempraktekkan poligami. Hukum perkawinan di Indonesia menganggap
pria sebagai kepala rumah tangga dan pencari nafkah keluarga. Sedangkan, tugas-tugas
rumah tangga termasuk membesarkan anak umumnya dilakukan oleh perempuan.
2. Kesenjangan Gender di pasar kerja
Adanya segmentasi jenis kelamin angkatan kerja, praktik penerimaan dan promosi
karyawan yang bersifat deskriminatif atas dasar gender membuat perempuan
terkonsentrasi dalam sejumlah kecil sektor perekonomian, umumnya pada pekerjaan-
pekerjaan berstatus lebih rendah daripada laki-laki. Asumsi masyarakat yang menyatakan
bahwa pekerjaan perempuan hanya sekedar tambahan peran dan tambahan penghasilan
keluarga juga menjadi salah satu sebab rendahnya tingkat partisipasi tenaga kerja
perempuan.
3. Kekerasan Fisik
Indonesia telah menetapkan berbagai undang-undang untuk melindungi perempuan dari
kekerasan fisik. Akan tetapi, terdapat beberapa bukti yang menunjukkan bahwa
kekerasan terhadap perempuan adalah umum di Indonesia. Menurut survey Demografi
dan Kesehatan 2003, hampir 25% perempuan yang pernah menikah menyetujui anggapan
bahwa suami dibenarkan dalam memukul istrinya karena salah satu alasan berikut: istri
berbeda pendapat, istri pergi tanpa memberitahu, istri mengabaikan anak, atau istri
menolak untuk melakukan hubungan intim dengan suami. Perdagangan perempuan dan
prostitusi juga merupakan ancaman serius bagi perempuan Indonesia, terutama mereka
yang miskin dan kurang berpendidikan. Meskipun pelecehan seksual dianggap kejahatan,
akan tetapi hal itu umum ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Departemen Kesehatan
Indonesia tahun 2004 menemukan bahwa 90% perempuan mengaku telah mengalami
beberapa bentuk pelecehan seksual di tempat kerja.
4. Hak Kepemilikan
Hukum Perdata di Indonesia menetapkan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki hak
kepemilikan yang sama. Perempuan di Indonesia memiliki hak hukum untuk akses ke
properti, tanah dan memiliki akses ke pinjaman bank dan kredit, meskipun terkadang
masih terdapat diskriminasi di beberapa bagian contohnya: suami berhak untuk memiliki
nomor pajak pribadi, sedangkan istri harus dimasukkan nomor pajak mereka dalam
catatan suami. Untuk meningkatkan kesadaran perempuan akan isu kesetaraan gender ini
dan mengedukasi pekerja perempuan mengenai hak-haknya sebagai pekerja perempuan,
program kampanye Labour Rights For Women yang ditujukan bagi pekerja perempuan
muda tidak ada henti-hentinya menyuarakan dan mengedukasi perempuan. Lewat event
dan pelatihan Labour Rights For Women yang bertema “Gender Equality”, perempuan
diharapkan dapat lebih terpacu untuk membela hak mereka dalam kesempatan kerja/karir,
hak maternal dan keseimbangan antara keluarga dan karir.
Adapun keterkaitan kesetaraan gender dengan SDGs memiliki target-target seperti
berikut ini:
1. Mengakhiri segala bentuk diskriminasi terhadap semua perempuan dan anak perempuan
dimana saja.
2. Mengeliminasi segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan pada
ruang publik dan privat, termasuk perdagangan (trafficking) dan seksual dan bentuk
eksploitasi lainnya.
3. Menghapukan segalasemua praktek-praktek yang membahayakan, seperti perkawinan
anak, dini dan paksa dan sunat pada perempuan
4. Menyadari dan menghargai pelayanandan kerja domestik yang tidak dibayar melalui
penyediaan pelayanan publik, kebijakan perlindungan infrastruktur dan sosial serta
mendorong adanya tanggung jawab bersama didalam rumah tangga dan keluarga yang
pantas secara nasional
5. Memastikan bahwa semua perempuan dapat berpartisipasi penuh dan mendapat
kesempatan yang sama untuk kepemimpinan pada semua level pengambilan keputusan
dalam kehidupan politik, ekonomi dan public
6. Memastikan adanya akses universal terhadap kesehatan seksual dan reproduksi dan hak
reproduksi sebagaimana telah disepakati dalam Program Aksi Konferensi Internasional
mengenai Kependudukan dan Pembangunan dan Aksi Platform Beijing dan dokumen
hasil dari konferensi review keduanya
7. Melakukan reformasi untuk memberikan hak yang sama bagi perempuan terhadap
sumber-sumber ekonomi dan juga akses terhadap kepemilikan dan kontrol terhadap tanah
dan bentuk property lainnya pelayanan finansial, warisan dan sumber daya alam, sesuai
dengan hukum nasional
8. Memperbanyak penggunaan teknologi terapan, khususnya teknologi informasi dan
komunikasi, untuk mendukung pemberdayaan perempuan
9. Mengadopsi dan menguatkan kebijakan yang jelas dan penegakkan perundang-undangan
untuk mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan semua perempuan dan anak
perempuan pada semua level
2.2 Kodisi Kesetaraan Gender di Indonesia dan di Beberapa Negara
a) Kondisi Kesetaraan Gender di Indonesia
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang
Puspayoga menyebut tingkat kesetaraan gender di Indonesia masih rendah. Hal ini
tecermin dari indeks kesetaraan gender yang dirilis Badan Program Pembangunan PBB
(UNDP). Indonesia berada pada peringkat 103 dari 162 negara, atau terendah ketiga se-
ASEAN. Adapun mengacu data lain, seperti Indeks Pembangunan Gender (IPG) di
Indonesia per 2018 berada di angka 90,99. Kemudian, Indeks Pemberdayaan Gender
(IDG) berada pada angka 72,1. Menurutnya, kesetaraan gender berdampak langsung pada
target kesetaraan pembangunan. Ketimpangan gender pun semakin terlihat di masa
pandemi covid-19. Perempuan sebagai kelompok rentan yang seharusnya mendapatkan
perlindungan, harus menghadapi berbagai tantangan. Seperti, beban sebagai pendidik,
pencari nafkah, hingga ancaman kekerasan rumah tangga. Rumitnya perwujudan
kesetaraan gender di Indonesia berkaitan dengan timpangnya akses partisipasi kontrol,
serta kesempatan memperoleh manfaat antara perempuan dan laki-laki. Salah satunya
dipicu nilai patriarki dan konstruksi sosial di masyarakat.
Sebagai langkah nyata pemerintah dalam melaksanakan percepatan dan pemerataan
pembangunan di berbagai daerah di Indonesia, isu pengarusutamaan gender tertuang
dalam visi pembangunan nasional melalui penghapusan diskriminasi gender. Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 mencantumkan sasaran
pembangunan perspektif gender yaitu peningkatan kualitas hidup perempuan,
peningkatan peran perempuan di berbagai bidang kehidupan, pengintegrasian perspektif
gender di semua tahapan pembangunan, dan penguatan kelembagaan pengarusutamaan
gender, baik di level pusat maupun daerah.
b) Kesetaraan Gender di Beberapa Negara
Selama lima tahun berturut-turut, Islandia merupakan negara dengan kesenjangan gender
yang paling rendah, berdasarkan data Forum Ekonomi Dunia, WEF. Peringkat itu berarti
perempuan Islandia menikmati akses yang sama untuk pendidikan, kesehatan, dan juga
paling mungkin terlibat penuh dalam kehidupan politik dan ekonomi di negara itu. Di
kelompok atas itu, Islandia ditemani negara-negara tetangganya, seperti Finlandia,
Norwegia, dan Swedia, seperti terungkap dalam Laporan Kesenjangan Gender Global
2013.]Secara umum, kesenjangan kesetaraan gender di dunia mengecil pada tahun 2013,
dengan 86 negara dari total 136 negara yang disurvei -dan mencerminkan 93% penduduk
dunia- memperlihatkan peningkatan dalam kesetaraan gender.

Berikut perbandingan beberapa negara dalam beberapa sektor kehidupan, seperti


kesehtaan, pendidikan, pekerjaan dan politik.

1. Eropa
Kawasan Eropa utara umumnya berada dalam keadaan yang lebih baik dibanding
negara-negara lain. WEF memperkirakan sebabnya adalah kebijakan yang membuat
warga menyeimbangkan pekerjaan dan kehidupan keluarga. Di Eropa selatan,
kesenjangan gender dalam bidang pendidikan malah terbalik di banding beberapa
tahun lalu karena perempuan mulai menikmati akses pendidikan. Bagaimanapun
tingkat partisipasi perempuan di lapangan kerja di kawasan ini masih rendah.

2. Asia
Filipina merupakan negara yang paling seimbang dari segi gender, dengan
tercapainya kesetaraan dalam sektor kesehatan dan pendidikan. Negara ini juga
memiliki tingkat partisipasi perempuan yang tinggi dalam bidang pekerjaan, menurut
WEF. Cina berada pada urutan 69, di atas India yang berada di peringkat 101.
Rendahnya peringkat India karena angka yang rendah dari WEF dalam sektor
pendidikan, kesehatan, dan ekonomi.
3. Amerika Tengah dan Latin
negara yang paling tinggi dalam kesetaraan gender adalah Nikaragua, Kuba, dan
Ekuador, yang masih dalam peringkat 25 dalam daftar secara menyeluruh. Posisi
Brasil tidak berubah dibanding tahun lalu, yaitu di peringkat 62.
4. Amerika Utara
Kanada dan Amerika Serikat berada pada peringkat 20 dan 23. Kanada mendapat
nilai yang baik untuk pendidikan namun kurang baik di bidang politik. Amerika
Serikat berada di bawah Kanada dalam politik namun lebih tinggi untuk kesehatan
dan ekonomi. Kedua negara bertetangga itu sama-sama memiliki nilai baik untuk
pendidikan.
5. Afrika Sub Sahara
Beberapa negara dengan kesenjangan gender yang terbesar ditemukan di wilayah ini,
dengan Chad dan Pantai Gading berada di bagian bawah peringkat menyeluruh.,
Afrika bagian selatan memiliki negara dengan tingkat partisipasi perempuan yang
tinggi dan keterlibatan politik, yang membantu mereka masuk dalam 30 negara atas.
Lesotho berada peringkat 16 sementara Afrika Selatan satu tingkat di bawah
Mozambik yang berada di peringkat 26.
6. Timur Tengah dan Afrika Utara
Kesenjangan gender yang paling besar ditemukan di kawasan ini namun situasinya
beragam dari satu negara dengan negara lain. Negara-negara Teluk, misalnya,
cenderung melakukan investasi besar untuk pendidikan perempuan sementara Uni
Emirat Arab kondisinya justru terbalik karena lebih banyak perempuan yang
menyelesaikan universitas dibanding laki-laki. Namun Yaman amat berbeda dengan
pendidikan perempuan yang amat rendah. Untuk menyusun peringkat kesetaraan
gender ini, WEF menciptakan indeks dari belasan perangkat data. Nilai 100 (100%)
mencerminkan kesetaraan dan nol atau (0%) berarti kesenjangan.
2.3 Faktor Penentu Kesetaraan Gender
 Faktor eksternal yang terdiri atas:
1. adanya sistem budaya patrilineal,
2. keterbatasan sarana dan prasarana,
3. faktor ekonomi,
4. tingkat pendidikan,
5. perbedaan fisik,
6. nilai sosial budaya
7. lingkungan

 Faktor internal yang terdiri dari:


1. tingkat kepercayaan diri yang rendah
2. memiliki perasaan tidak pantas
3. memiliki perasaan malu yang berlebihan
4. memiliki sifat mudah menyerah dan takut menghadapi tantangan
Permasalahan gender di Indonesia tidak hanya terjadi di lingkungan keluarga, tetapi juga di
lingkungan pekerjaan, pendidikan, kesehatan maupun politik. Hal ini terlihat dengan terbatasnya
peran wanita di lingkungan-lingkungan tersebut.
Faktor yang menjadi penentu dalam permasalahan gender bisa berasal dari luar maupun.
Faktor eksternalnya, antara lain:
 Budaya patrilineal
Indonesia merupakan negara yan masih menganut sistem budaya patrilineal, yaitu suatu
sistem yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan, yang artinya laki-laki
dipandang memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada wanita. Hal ini menyebabkan
wanita sering tidak diperhatikan hak-hak dan pendapatnya dan berkurangnya peran
wanita di segala aspek kehidupan bermasyarakat.
 Sarana dan prasarana
Keterbatasan sarana dan prasarana karena pembangunan yang tidak merata menyebabkan
masyarakat akan cenderung mendahulukan laki-laki dibandingkan perempuan untuk
mendapatkan kesempatan, contohnya dalam menempuh pendidikan.
 Faktor ekonomi
Masyarakat yang memiliki tingkat ekonomi yang rendah cenderung akan memberikan
kesempatan bagi anak laki-lakinya untuk memperoleh pendidikan yang lebih tingg karena
nantinya laki-laki akan menjadi tulang punggung keluarga.
 Tingkat pendidikan
Masih banyak orang tua yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah belum bisa
menerima dan mengerti tentang kesetaraan gender dan cenderung menganggap laki-laki
memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada perempuan.
 Perbedaan fisik
Perbedaan fisik antara perempuan dan laki-laki yang diperngaruhi oleh sistem reproduksi
dan hormon membuat masyarakat cenderung menilai laki-laki memiliki fisik yang lebih
kuat daripada wanita.
 Nilai sosial budaya
Masyarakat di beberapa daerah tertentu masih menganut nilai-nilai sosial dan budaya
yang membedakan antara laki-laki dan perempuan.
 Lingkungan
Lingkungan tempat tinggal terutama keluarga membentuk kepribadian dan karakter
seseorang yang mempengaruhi faktor-faktor internal seperti rasa percaya diri, perasaan
malu, perasaan tidak pantas dan perasaan mudah menyerah.  Berdasarkan nilai itu maka
disusunlah peringkat negara.

2.4 Kebijakan Kesetaraan Gender di Indonesia dan Beberapa Negara


Dalam beberapa tahun terakhir, kebijakan luar negeri Indonesia aktif mendorong
implementasi kesetaraan gender dalam hubungan internasional. Indonesia, misalnya, mendorong
peningkatan jumlah perempuan di pasukan penjaga perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB). Namun, kebijakan luar negeri pro kesetaraan gender tersebut tidak diikuti oleh upaya
serupa di dalam negeri. Sebelum abad ke-19, perempuan telah memiliki peran diplomatik.
Namun, profesionalisasi dan modernisasi diplomasi di abad ke-20 meminggirkan perempuan dari
dunia diplomasi. Masuknya ide-ide feminis ke dalam kebijakan luar negeri dalam beberapa tahun
terakhir mengubah situasi tersebut. Pengarusutamaan kesetaraan gender menjadi norma baru di
dalam kebijakan luar negeri.
Perubahan ini melahirkan kebijakan luar negeri berbasis gender di Swedia, Kanada, Perancis,
dan Meksiko. Sebagai contoh, Swedia mendorong partisipasi perempuan yang lebih besar dalam
proses perdamaian di Amerika Latin, Timur Tengah, dan Afrika. Swedia juga berusaha
memperkuat peran dan hak-hak pekerja perempuan di Kroasia, Kamboja, Turki, dan Polandia
melalui kerjasama bilateral. Di dunia, jumlah perempuan menjabat menteri luar negeri juga
meningkat signifikan dalam 20 tahun terakhir.
Dalam pengamatan saya, sejak 2000 hingga 2020, perempuan dari berbagai belahan
dunia telah menduduki posisi tersebut sebanyak 195 kali. Sementara, di periode 1947 hingga
1999, perempuan hanya menduduki jabatan tersebut sebanyak 51 kali.
Indonesia telah berusaha menyelaraskan kebijakan luar negerinya dengan prinsip dan norma
kesetaraan gender. Dalam kebijakan luar negeri yang pro kesetaraan gender ini, Indonesia fokus
pada peningkatan peran perempuan sebagai agen perdamaian serta memperbesar jumlah personil
perempuan pasukan penjaga perdamaian PBB.
Untuk meningkatkan peran perempuan dalam proses perdamaian, tahun 2019, Indonesia
menyelenggarakan pelatihan regional peningkatan kapasitas diplomat perempuan dalam
menganalisis dan mencegah konflik, dan membangun perdamaian pascakonflik.Pada tahun yang
sama, Indonesia juga melaksanakan Dialogue on the Role of Women in Building and Sustaining
Peace untuk mendorong dan meningkatkan peran serta kapasitas perempuan Afghanistan dalam
proses perdamaian di negara mereka. Kegiatan ini diikuti oleh penyelenggaraan Afghanistan-
Indonesia Women’s Solidarity Network di Kabul, Afghanistan, tahun 2020. Sementara, untuk
meningkatkan peran perempuan di pasukan perdamaian PBB, Indonesia memulainya dengan
mengirimkan personil perempuan sebagai pengamat militer pada misi PBB di Kongo tahun
2005. Indonesia menargetkan untuk meningkatkan jumlah personil perempuan pasukan
perdamaiannya dari 4% menjadi 7%.
Secara global, jumlah personil perempuan pasukan perdamaian PBB hanya 6,4% dari 82.245
personil pasukan perdamaian PBB. Jumlah ini jauh dari harapan negara-negara anggota PBB,
yaitu minimal 20% .

Untuk mewujudkannya, Indonesia mengajukan resolusi penambahan personil perempuan


pasukan perdamaian PBB saat menjabat Presidensi Dewan Keamanan PBB (DK PBB) Agustus
2020. Resolusi ini disahkan oleh DK PBB pada 28 Agustus 2020 dan menjadi Resolusi 2538.
Ada tiga faktor yang mempengaruhi orientasi feminis Indonesia tersebut.
 Pertama, adanya tren internasional untuk mengadopsi ide-ide feminis ke dalam kebijakan
luar negeri. Selain, kebutuhan penerapan Resolusi 1325 terkait perempuan, perdamaian,
dan keamanan yang telah diadopsi oleh Indonesia.
 Kedua, adanya Instruksi Presiden No 9 tahun 2000 yang menginstruksikan penerapan
pengarusutamaan gender di seluruh kementerian dan lembaga negara. Ketiga, faktor latar
belakang Retno Marsudi, yang menjabat Menteri Luar Negeri sejak 2014. Retno
memiliki pendidikan, pengalaman, dan perhatian pada isu hak asasi manusia (HAM) dan
gender.
Ia menyelesaikan pendidikan magisternya di bidang undang-undang Uni Eropa di The Hague
University of Applied Sciences, Belanda, dan juga belajar HAM di University of Oslo,
Norwegia. Tahun 2004, ia terlibat di Tim Pencari Fakta Munir S. Thalib. Perhatiannya pada isu
gender terlihat dari tulisannya berjudul “Indonesian female diplomats and gender mainstreaming
in diplomacy” yang dimuat oleh The Jakarta Post tahun 2005.

https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/31/1696/gender-dan-perjalanan-indonesia-
menuju-kesetaraan
Sumber: https://mediaindonesia.com/humaniora/351154/kesetaraan-gender-di-indonesia-masih-
rendah
http://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/69937
https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/ini-pentingnya-kesetaraan-gender-untuk-sebuah-
negara/
https://m-edukasi.kemdikbud.go.id/medukasi/produk-
files/kontenkm/km2016/KM201628/materi3.html

Anda mungkin juga menyukai