Anda di halaman 1dari 10

TUGAS MAKALAH

GENDER DAN PEMBANGUNAN


GENDER DI BIDANG HUKUM

Disusun oleh:

1. Amalia Lutvita Nia (09311940000046)


2. Najwa Alyani (09311940000026)
3. Alvita Saffa (09311940000056)
4. Muhammad Akmalu Z (09311940000006)
5. Audi Andrianto (09311940000018)

Dosen oleh:

Windiani

INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA


MARET 2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan
hidayahnya sehingga tugas penyusunan makalah yang berjudul "Gender Di Bidang Hukum"
dapat diselesaikan.

Makalah ini disusun untuk diajukan sebagai salah satu tugas mata kuliah Gender dan
Pembangunan semester genap angkatan 2019. Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu
Windiani selaku dosen mata kuliah Gender dan Pembangunan yang telah membimbing kami
dalam penyelesaian makalah ini, kami juga berterima kasih kepada teman-teman yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini. Tanpa bantuan dari kalian mungkin makalah ini tidak
dapat terselesaiakan dengan tepat waktu.

Kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna,
sebagaimana peribahasa mengatakan Tak ada gading yang tak retak. Hal itu disebabkan karena
keterbatasan wawasan dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena itu. kami senantiasa
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca sekalian. Demi perbaikan makalah ini di masa yang
akan datang Akhirnya kamni beiharap mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca sekalian

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Maraknya isu-isu gender yang beredar di masyarakat memang sedang marak-maraknya


diperbincangkan. Dimulai dari pihak pemerintah yang mulai menerapkan kebijakan-
kebijakan sensitif gender hingga warga sipil yang mulai berani dalam menyuarakan
pendapat mengenai penyetaraan hak dan kewajiban perempuan dengan laki-laki dalam
segala aspek kehidupan.

Bila ditarik dari garis sejarah, munculnya ketidakseimbangan kedudukan antara


perempuan dan laki-laki memang sudah lama dilakukan. Perempuan ditempatkan pada
kedudukan terendah dan digambarkan seperti lemah, tidak bisa melakukan sesuatu, hanya
bisa melayani suami, dan hanya berputar pada ranah domestik saja. Sementara untuk laki-
laki cenderung digambarkan menguasai peran-peran penting dalam masyarakat. Hal-hal
inilah yang menyebabkan ketidaksetaraan gender antara laki-laki dengan perempuan.

Dampak dari ketidaksetaraan gender diantaranya adalah suboridnasi, stereotip gender,


kekerasan, dan marginalisasi yang banyak menimbulkan keresahan dan kerugian bagi diri
perempuan, apabila dilingkungan tersebut masih menggunakan budaya patriarki. Mengacu
pada Convention on the Elimination of All Form of Discrimination Against Women
(CEDAW) mengartikan bahwa:“ Setiap pembedaan, pengucilan, atau pembatasan yang
dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi
atau menghapuskan pengakuan, penikmatan, atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan
kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil, atau apapun
lainnya oleh wanita terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan pria dan
wanita”.

Mengingat kembali akan perjuangan feminis yang meminta bahwa perempuan juga bisa
bekerja pada sektor publik, tidah hanya mengurus pada sektor domestik saja. Maka dari itu,
perjuangan feminis harus didengungkan agar terlibat pada sektor politik, ekonomi, sosial,
dan hukum. Karena perempuan juga mampu terjun dalam kehidupan publik layaknya laki-
laki.

Berbicara mengenai hukum yang berjalan di Indonesia, tidak sedikit peraturan yang
berlaku dan dibuat oleh pemerintah merupakan cerminan dari pola pikir masyarakat
Indonesia sendiri. Seperti UU nomor 1 tahun 1974 mengenai pokok-pokok perkawinan yang
memuat peran perempuan dalam beberapa pasalnya, tergambarkan bahwa suami lebih
banyak bekerja pada sektor public dan isteri hanya bekerja di sektor domestik sebagai
pengurus rumah tangga dan keluarga. Hal ini yang akhirnya berdampak dan menjadi acuan
pada sektor ketenagakerjaan yang berpandangan negatif kepada perempuan, dan
mempersulit perempuan dalam memulai suatu pekerjaan.

Contoh lainnya dalam hukum pidana material di dalam KUHP ataupun RUU yang
mengatur kekerasan seksual yang korbannya kerap lebih banyak perempuan. Secara umum
di dalam KUHP mengatur kekerasan yang berakibat pada perlukaan fisik saja, namun
didalam aturan tersebut menujukan untuk laki-laki maupun perempuan sebagai korban.
Tidak ada aturan yang secara spesifik mengatur perlindungan mengenai perempuan.
Padahal, selama ini yang banyak mengalami kasus kekerasan adalah perempuan.

Seiring dengan perkembangan zaman, pada dunia internasional mulai diterbitkan


beberapa aturan yang secara spesifik mengatur tentang perempuan. Salah satunya pada
Konvensi CEDAW dan ditandatanganinya Protokol Opsional CEDAW tentang
penghapusan segala bentuk tindakan diskriminatif dan kekerasan terhadap kaum perempuan
yang telah menjadi bagian dari kewajiban pemerintah untuk meratifikasi peraturan tersebut
mulai dari tingkat daerah hingga nasional. Kemudian pada tahun 2007-an dibentuknya Pokja
(Kelompok Kerja) Khusus Perempuan, aksi ini merupakan bentuk keseriusan pemerintah
dalam pemberdayaan perempuan melalui legislasi dan kebijakan publik. Hingga pada
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang mulai banyak
melakukan program-program dan aturan dalam peningkatan peran perempuan.

Namun upaya pemberdayan tersebut masih banyak menyisakan dilema dalam


masyarakat, baik secara yuridis ataupun adat-istiadat yang sudah lama menerapkan budaya
patriarki dalam ruang publik. Peran pemerintah dalam menerapkan kebijakan hukum sangat
diharapkan dapat mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut pada keadaan sekarang
ini. Makalah ini membahas mengenai bagaimana hukum dapat meratifikasi dalam
permasalahan gender yang ada di Indonesia, bagaimana keadaan yang terjadi setelah hukum
itu dibuat.

1.2 Identifikasi Masalah


BAB II
ISI

Budaya patriarki adalah suatu sistem yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang
kekuasaan utama dan mendominasi dalam kepemimpinan politik. Pada dasarnya kesetaraan
gender berhubungan langsung dengan keadilan gender, dalam arti lain kesetaraan gender
merupakan suatu keadaan dimana laki-laki dan perempuan disejajarkan sama baik dalam
keikutsertaan kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan, pertahanan dan
keamanan nasional kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut.

Menurut Indira Nurul A (Mahasiswa FH UI 2019), sudah banyak perempuan yang


menuntut bahwa perempuan juga bisa, tetapi dalam beberapa kewajiban perempuan masih
merasa bahwa ada laki-laki yang lebih bisa diandalkan masih banyak perempuan yang
merasa senang dengan keistimewaan atau hak khusus yang dimiliki oleh perempuan,
perempuan hanya menuntut tentang hak tetapi tidak untuk kewajiban. Masih banyak
perempuan yang belum dapat menerima kesetaraan gender, diri mereka sendiri yang merasa
belum siap. Di bidang pekerjaan sudah banyak upaya yang dilakukan oleh pemerintah
Indonesia seperti konferensi yang menjelaskan bahwa perempuan Indonesia berpotensi
untuk membangun Indonesia dibidang ekonomi, perempuan juga harus dapat mengeluarkan
pendapat mereka sama seperti laki-laki tetapi masih ada beberapa perempuan yang merasa
tidak percaya diri dengan potensi yang dimilikinya karena presepsinya sendiri, kepercayaan
diri dapat dibentuk dengan misal pembagian pekerjaan di rumah tangga antara suami dan
istri. Hukum di Indonesia sudah adil contohnya dalam pidana seseorang dihukum sebagai
manusia yang bersalah bukan memandang dia perempuan atapun laki-laki yang menjadi
faktor pemberat kecuali ada beberapa pasal yang dikhususkan untuk penghukuman laki-laki
dan menurutnya itu karena budaya Indonesia. Indonesia belum aware tentang kekerasan
pada perempuan padahal banyak sekali perempuan yang banyak menjadi korban kekerasaan
tetapi di Indonesia baru terfokus pada pemerkosaan, sebenarnya sudah ada beberapa upaya
seperti RUU tetapi ada pihak yang menolak dan menyatakan bahwa bertentangan dengan
pancasila, di sisi lain banyak lembaga yang mendukung dalam melindungi wanitia seperti
komnas perempuan ini merupakan upaya untuk keadilan perempuan. Kenapa dalam kasus
prostitusi lebih ditekankan kepada pekerjanya dibandingkan dengan penggunanya, hal
tersebut secara pidana jatuhnya pelacuran dan tidak bisa dituntut mana yang salah antara
pengguna dan si pekerja karena dua belah pihak ingin melakukan, di Indonesia yang
dipermasalahkan ialah mucikarinya menurut pasal 6 KUHP karena ia dianggap orang yang
memperoleh keuntungan dari prostitusi tersebut. Kalau menekankan bias gender dalam
permasalahan prostitusi itu tidak dan banyak orang yang salah mengerti dan menyalahkan
perempuannya, karena pekerja tersebut sadar bahwa tindakan yang ia lakukan secara tidak
langsung dapat juga melakukan perbuatan lainnya seperti membuat video yang melanggar
asusila.
Sedangkan menurut Bapak Tony Hanoraga S.H., MH. (Ketua ULH ITS), masalah
gender di Indonesia hukum sudah tidak ada diskriminasi tetapi dalam prakteknya masih ada
contohnya seperti terkait dengan aturan anggota DPR hukum sudah melindungi keterlibatan
perempuan tetapi dalam prakteknya masih banyak stereotype yang membuat munculnya
ketidak percayaan seseorang apakah perempuan dapat mengisi menjadi anggota legislatif,
contoh lain dalam ketenagakerjaan seperti cuti saat melahirkan dalam hukum seharusnya
mendapat jatah tiga bulan tetapi dalam prakteknya perempuan hanya diberi jatah satu bulan
dan diancam jika terlalu lama mengambil cuti karena melahirkan, pada intinya hukum
tentang kesetaraan gender di Indonesia sudah sangat diupayakan hanya saja dalam
prakteknya masih kurang ditaati dan dilaksanakan dengan baik. Kalau bicara tentang aturan
hukum di Indonesia sekarang sudah relatif adil jika dibandingan dengan Indonesia pada saat
belum merdeka, wanita tidak boleh membuat perjanjian tanpa seizin dari laki-laki dalam
suami istri untuk sekarang sudah relatif adil, TNI dan polisi pada jaman dahulu juga relatif
laki-laki tetapi sekarang tidak bahkan ada anggota khusus untuk perempuan. Banyak
kekerasan terhadap wanita dalam rumah tangga ataupun sehari-hari, dalam tindakan
kriminal yang banyak menjadi korban adalah wanita karena menganggap wanita lemah
tetapi kalau dalam rumah tangga jarang perempuan yang menjadi pelaku selalu yang
menjadi korban baik verbal ataupun fisik, dan dalam hukum juga sudah dilindungi. Dalam
kasus prostitusi contohnya kasus vanesha angel adalah penyedia atau mucikarinya yang
akan terkena hukum dan pelakunya belum tentu kena dapat menjadi saksi ataupun tersangka
dan pemesan tidak dikenai hukum seharusnya jika pelaku diproses pemesan juga harus
diproses karena kadang kita juga harus membedakan antara pemerkosaan atau suka sama
suka, jika suka sama suka tidak ada hukum tetapi adat yang berlaku. Dalam kasus vanesha
angel dia dianggap juga menjual diri dan membantu mucikari, hal tersebut yang membuat
vanesha ditangkap.

Menurut Ibu Eni Mardiani (Polda Kalimantan Selatan), isu gender yang berkembang
pada saat ini tidak ada yang berubah sama saja seperti biasanya tetapi memang di Indonesia
dalam hukum tidak ada perbedaan antara perempuan dan laki-laki, dalam beberapa contoh
misalkan kalau kesempatan wanita untuk berkarier kurang diperhatikan tetapi dalam hukum
tidak ada yang berubah dan hukum di Indonesia sudah adil. Dalam kasus kekerasan kepada
wanita itu tidak boleh terjadi dan pemerintah sudah mengupayakan dengan membuat unit
BPA, dan dalam prostitusi online seharusnya semua terkena hukum baik perempuan ataupun
laki-laki. Pada intinya, hukum di Indonesia sudah mengupayakan dengan semaksimal
mungkin untuk penyamarataan gender tetapi dalam kehidupan sehari-hari masih banyak
yang tidak dipraktekan dengan baik dan masih banyak stereotype yang membuat pemikiran
bahwa wanita lemah.
BAB III
PENUTUP
1.1 Kesimpulan

Kasus pelanggaran HAM di Indonesia masih banyak dan masih belum terperhatikan secara
menyeluruh. Terutama kasus pelanggaran HAM terhadap perempuan. Kasus pelanggaran yang
sering dialami adalah KDRT dan pelecehan seksual di muka umum. Namun jika dilihat
kembali,belum ada peraturan khusus untuk perlindungan perempuan yang secara tegas. Hukum
di indonesia sudah peka terhadap gender namun implementasinya dimasyarakat dirasakan masih
sangat kurang karena pengaruh budaya yang sudah melekat dalam kehidupan di masyarakat.
Stereotipe yang berkembang dimasyarakat membuat hukum di Indonesia sulit dijalankan maka
dari itu perlunya kesadaran masyarakat terhadap pemahaman mengenai gender khususnya
anggapan-anggapan yang melemahkan perempuan.

1.2 Saran
Pemerintah harus membuat peraturan yang lebih tegas lagi mengenai hak- hak dan
perlindungan bagi perempuan. Selain itu,berikan penyuluhan kepada setiap perempuan mengenai
apa saja hak mereka dan tindakan apa yang harus di lakukan jika hak mereka di langgar. Pada
intinya lebih banyak lagi memberi pengertian HAM kepada masyarakat di Indonesia,agar kasus
pelanggaran HAM tidak terus meningkat setiap tahunya.

Narasumber 1
Dr. Tony Hanoraga S.H., MH.

Ketua ULH ITS

Narasumber 2

Eny Mardiani

Polda Kalimantan Selatan

Narasumber 3
Indira Nurul A

Mahasiswa FH UI 2019
DAFTAR PUSTAKA

Gandhi Lapian, 2012, Disiplin Hukum Yang Mewujudkan


Kesetaraan dan Keadilan Gender, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia
George Ritzer – Douglas J Goodman, 2005, Teori Sosiologi Modern,
Jakarta : Prenada Media
Julia Cleves Mosse, 2003, Gender dan Pembangunan, Yogyakarta :
Pustaka Pelajar
Niken Savitri, 2008, HAM Perempuan Kritik Teori Hukum Feminis
Terhadap KUHP, Jakarta : Refika Aditama
Ristina Yudhanti, 2014, Perempuan dalam Pusaran Hukum,
Yogyakarta : Thafa Media
Sulisyowati Irianto, 2006, Perempuan & Hukum Menuju Hukum
yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, Jakarta : Yayasan Obor
Indonesia

Anda mungkin juga menyukai