Anda di halaman 1dari 359

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945), Pasal 28 I (2) menyatakan

bahwa, “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar

apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat

diskriminatif itu.” Pasal 28C, 28D, 28H, dan 28I menyebutkan secara jelas hak-hak

setiap warga negara, termasuk perempuan untuk mengembangkan diri sebagai manusia

bermartabat. Hal ini berarti bahwa secara filosofis, Indonesia menjamin dan melindungi

tiap warga negaranya dari sikap atau tindakan diskriminatif tanpa membeda-bedakan

status sosial, ras, suku, budaya, agama, maupun jenis kelamin.

Karena tindakan diskriminatif yang menyebabkan penguasaan dan dominasi

terhadap salah satu kelompok warga tertentu merupakan sikap yang tidak

berperikemanusiaan dan berperikeadilan, sebagaimana dinyatakan dalam pembukaan

UUD 1945, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh

sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan....Dalam kenyataannya,

masih ada diskriminasi dan pembedaan terhadap perempuan baik sebagai warga negara

maupun sebagai manusia. Ini tergambar dalam pengakuan Indonesia di ranah

Internasional bahwa memang terdapat diskriminasi dalam berbagai bentuk terhadap

perempuan yang biasa disebut dengan ketidakadilan gender

Gender merupakan istilah yang diperkenalkan oleh para ilmuwan sosial untuk

menjelaskan perbedaan antara perempuan dan laki-laki yang bersifat bawaan sebagai

ciptaan Tuhan dan yang bersifat bentukan budaya yang dipelajari dan disosialisasikan

sejak kecil. Pembedaan ini dinilai penting, karena selama ini sering sekali mencampur

1
adukan ciri-ciri manusia yang bersifat kodrati dan yang bersifat bukan kodrati .

Perbedaan ini sangat membantu kita untuk memikirkan kembali tentang

pembedaan pembagian peran yang selama ini dianggap telah melekat pada manusia

perempuan dan laki-laki untuk membangun gambaran relasi gender yang dinamis dan

tepat serta cocok dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat.

Secara umum adanya gender telah melahirkan perbedaan peran, tanggung

jawab, fungsi dan bahkan ruang tempat dimana manusia beraktivitas. Sedemikian

rupanya perbedaan gender ini melekat pada cara pandang kita, sehingga kita sering lupa

seakan-akan hal itu merupakan sesuatu yang permanen dan abadi sebagaimana

permanen dan abadinya ciri biologis yang secara kodrati dimiliki oleh perempuan dan

laki-laki.

Kata gender dapat diartikan sebagai perbedaan peran, fungsi, status dan

tanggungjawab pada laki-laki dan perempuan sebagai hasil dari bentukan (konstruksi)

sosial budaya yang tertanam lewat proses sosialisasi dari satu generasi ke generasi

berikutnya, dengan demikian gender adalah hasil kesepakatan antar manusia yang tidak

bersifat kodrati, oleh karenanya gender bervariasi dari satu tempat ke tempat lain

dan dari satu waktu ke waktu berikutnya. Gender tidak bersifat kodrati, dapat berubah

dan dapat dipertukarkan pada manusia satu ke manusia lainnya tergantung waktu dan

budaya setempat.

Gender menyangkut aturan sosial yang berkaitan dengan jenis kelamin manusia

laki-laki dan perempuan. Perbedaan biologis dalam hal alat reproduksi antara laki-

laki dan perempuan memang membawa konsekuensi fungsi reproduksi yang berbeda,

namun kebudayaan yang dimotori oleh budaya patriarki1 menafsirkan perbedaan

1
Menurut Masudi, Patriarki berasal dari kata patri-arkat berarti struktur yang menempatkan peran
laki-laki sebagai penguasa tunggal, sentral dari segala-galanya, jadi budaya patriarki adalah budaya yang
dibangun atas dasar struktur dominasi dan sub ordinasi yang mengharuskan suatu hirarkhi dimana laki-laki
dan pandangan laki-laki menjadi suatu norma. https://phierda.wordpress.com. Budaya patriarki, diunduh
tanggal 17 januari 2015, pukul 11.20 Wib

2
biologis ini menjadi indikator kepantasan dalam berperilaku yang akhirnya berujung

pada pembatasan hak untuk akses, partisipasi, kontrol dan menikmati manfaat dari

sumberdaya dan informasi.

Sejarah pembedaan antara laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses

sosialisasi, penguatan dan konstruksi sosial kultural, keagamaan, bahkan melalui

kekuasaan negara lewat produk hukumnya. Melalui proses yang panjang, gender lambat

laun menjadi seolah-olah kodrat Tuhan atau ketentuan biologis yang tidak dapat diubah

lagi. Akibatnya, gender mempengaruhi keyakinan manusia serta budaya masyarakat

tentang bagaimana lelaki dan perempuan berpikir dan bertindak sesuai dengan

ketentuan sosial tersebut. Pembedaan yang dilakukan oleh aturan masyarakat itu

kemudian dianggap sebagai ketentuan Tuhan. Keyakinan pembagian itu selanjutnya

diwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya, penuh dengan proses, negosiasi,

resistensi maupun dominasi. Akhirnya lama kelamaan pembagian keyakinan gender

tersebut dianggap alamiah, normal dan kodrat sehingga bagi mereka yang mulai

melanggar dianggap tidak normal dan melanggar kodrat.

Persoalan gender bukanlah persoalan baru dalam kajian-kajian sosial, hukum,

keagamaan, maupun yang lainnya, namun demikian, kajian tentang gender masih

tetap aktual dan menarik, mengingat masih banyaknya masyarakat khususnya di

Indonesia yang belum memahami persoalan ini dan masih banyak terjadi berbagai

ketimpangan sehingga memunculkan terjadinya ketidakadilan gender yang dapat

menimpa laki-laki atau perempuan. Perbedaan gender sebenarnya tidak menjadi

masalah sejauh tidak menyebabkan ketidakadilan. Ketidakadilan gender merupakan

sistem atau struktur sosial dimana kaum laki-laki atau perempuan dapat menjadi

korbannya. Ketidakadilan tersebut termanifestasikan dalam bentuk marjinalisasi,

proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak perlu berpartisipasi

3
dalam pembuatan atau pengambilan keputusan politik, stereotip, diskriminasi dan

kekerasan2.

Sebagai negara hukum, seharusnya perlindungan terhadap hak asasi manusia

merupakan hal yang paling utama, pandangan F.J Stahl sebagaimana dikutip juga oleh

Yuslim3 mengemukakan unsur-unsur rechtstaat sebagai berikut:

1. Perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia


2. Pemisahan dan pembagian kekuasaan negara untuk menjamin hak-hak asasi
manusia
3. Pemerintahan berdasarkan peraturan
4. Adanya peradilan admnistrasi.

Ketidakadilan gender dapat menimpa kaum perempuan dan laki-laki, hanya saja,

berdasarkan data statistik, dari beberapa bentuk ketidakadilan tersebut lebih

didominasi oleh perempuan sebagai korban, sehingga kemudian memunculkan

gerakan-gerakan untuk membela hak-hak perempuan untuk memperoleh keadilan,

yang biasa disebut dengan gerakan feminis. Cukup banyak teori yang dikembangkan

oleh para ahli, terutama kaum feminis, untuk memperbincangkan masalah gender,

termasuk ketidakadilan berbasis gender sebagaimana terjadi di Indonesia.

Indonesia yang telah ikut meratifikasi Convention on the Elimination of All

Forms of Discrimination against Women (CEDAW) melalui UU Nomor 7 Tahun

1984 tentang Ratifikasi Konvensi tentang Penghapusan Segala Tindak Diskriminatif

terhadap Perempuan. Konvensi ini mendorong diberlakukannya peraturan Perundang-

undangan nasional yang melarang diskriminasi dan mengadopsi tindakan-tindakan

khusus sementara untuk mempercepat kesetaraan dan keadilan de facto antara laki-laki

dan perempuan, termasuk merubah praktik kebiasaan dan budaya yang didasarkan

pada inferioritas atau superioritas salah satu jenis kelamin atau peran sterotipe untuk

laki-laki dan perempuan.


2
Mansour Fakih, 1997, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, ,
hlm. 23
3
Yuslim, 2015, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 7

4
Paragraf  keenam dan ketujuh konsideran menimbang CEDAW dituliskan:

“bahwa diskriminasi terhadap perempuan melanggar prinsip-prinsip


persamaan hak dan penghargaan pada martabat manusia, merupakan hambatan bagi
partisipasi perempuan atas dasar kesetaraan dan keadilan dengan laki-laki dalam
kehidupan politik, sosial, ekonomi, dan budaya di negara mereka menghambat
pertumbuhan kemakmuran masyarakat dan keluarga serta mempersulit pengembangan
sepenuhnya dari potensi perempuan dalam pengabdian untuk negaranya dan untuk
kemanusiaan.”

Prihatin bahwa dalam situasi kemiskinan, perempuan mempunyai akses yang

paling sedikit terhadap makanan, kesehatan, pendidikan, pelatihan dan kesempatan

kerja serta kebutuhan lainnya. Makanya penting bagi seorang perancang

perundang-undangan untuk dapat  merumuskan prinsip-prinsip kesetaraan dan

keadilan gender dalam sistem hukum sehingga perlu disusun standar atau tolok ukur

yang dapat dijadikan sebagai alat/pisau analisis dalam setiap tahap pembentukan

peraturan perundang-undangan berupa prinsip yang didalamnya terdapat indikator-

indikator mengenai kesetaraan dan keadilan gender.

Adalah fakta yang tak dapat disangkal bahwa mayoritas penduduk

Indonesia beragama Islam, dan setiap muslim dituntut untuk yakin sepenuhnya bahwa

Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah yang ketentuan aturan didalamnya

sangat ideal dan sangat sempurna. Ajarannya mencakup semua tuntunan luhur bagi

kehidupan manusia di muka bumi dalam semua bidang kehidupan. Tujuan Islam

tidak lain agar manusia selamat dan bahagia dalam kehidupan dunia menuju kehidupan

akhirat yang kekal dan abadi. Tetapi para the founding fathers negara ini sepakat

menentukan ideologi negara berdasarkan Pancasila, bukan Islam.

Dalam perkembangannya, meskipun Indonesia bukan negara agama, namun

sepanjang sejarah bangsa ini dalam banyak aspek tidak dapat melepaskan diri dari

pengaruh ajaran Islam, terutama dalam aspek hukum. Implementasi syariat Islam

di Indonesia secara formal terwujud dalam berbagai bentuk perundang-undangan dan

5
kebijakan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Peraturan

perundang-undangan di tingkat pemerintah pusat, antara lain dapat disebutkan

sebagai berikut:

1. Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Inpres

Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI)

2. UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang telah diubah

dengan UU Nomor 3 Tahun 2006, kemudian di ubah lagi dengan UU Nomor 50

Tahun 2009

3. UU Nomor 7 Tahun 1999 tentang Haji; yang kemudian diganti dengan UU

Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji

4. UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat; yang telah diganti

dengan UU Nomor 23 Tahun 2011

5. UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf; dilanjutkan dengan dikeluarkannya

PP Nomor 42 Tahun 2006 tentang pelaksanaan UU tentang wakaf

6. UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang kemudian diubah dengan

UU Nomor 10 Tahun10 Tahun 1998 dan dikhususkan lagi dengan UU Nomor

21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

7. UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal

Awalnya, implementasi syariat Islam hanya dijumpai dalam kebijakan

dan perundang-undangan pemerintah pusat, namun, sejak diberlakukannya

kebijakan otonomi daerah (otoda) pada Tahun 2001, sejumlah pemerintah daerah

seakan berlomba mengimplementasikan syariat Islam dalam berbagai kebijakan,

mulai dari tingkat provinsi sampai ke peraturan desa (perdes). Ikrom dalam

penelitiannya menyatakan bahwa sejak otonomi daerah digulirkan, sampai akhir Juli

2007 tercatat lebih dari 113 produk kebijakan dalam berbagai bentuk seperti peraturan

6
daerah (perda), qanun, surat edaran, dan keputusan kepala desa. Produk kebijakan

daerah tersebut secara tegas berorientasi pada ajaran moral Islam sehingga pantas

dinamakan Perda Syariat Islam4.

Sayangnya, indikator keislaman yang ditampilkan itu lebih tertuju kepada hal-hal

yang bersifat sangat simbolistik, seperti memakai pakaian muslim (jilbab), wajib baca

tulis Al quran setelah magrib, tulisan arab pada kantor dan toko, memajang tulisan

kaligrafi a l-Qur’an, dan sebagainya. Mestinya, indikator keislaman yang

ditampilkan lebih mengacu kepada hal-hal substansial, seperti pelayanan publik

dalam bentuk pendidikan gratis, terutama bagi anak-anak terlantar, pelayanan rumah

sakit murah bagi penderita busung lapar, lansia, fakir miskin, dan penyandang cacat,

penyediaan sarana air bersih, serta perlindungan warga, khususnya kelompok rentan

dari semua bentuk diskriminasi, kekerasan dan eksploitasi sehingga mereka dapat juga

menikmati hidup yang lebih sejahtera, adil dan makmur5.

Dijumpai sejumlah peraturan daerah (perda) yang sepintas isinya tidak

mendiskreditkan perempuan, namun akhirnya menjadikan perempuan sebagai pihak

yang dirugikan, misalnya Perda Kota Bandar Lampung, Nomor 15 Tahun 2002

tentang Larangan Perbuatan Prostitusi dan Tuna Susila, Perda Kabupaten Lahat, Nomor

3 Tahun 2002 tentang Larangan Perbuatan Pelacuran dan Tuna Susila, Perda Kota

Mataram Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pencegahan Maksiat, Perda Kotamadya

Kupang, Nomor 39 Tahun 1999 tentang Penertiban Tempat Pelacuran.6

Terlihat bahwa upaya implementasi nilai-nilai syariat Islam kedalam

4
Muhammad Ikrom, Syariat Islam dalam Perspektif Gender dan Hak Asasi Manusia (HAM), Jurnal
Supremasi Hukum, Vol.2, no.1, Juni 2013, hlm. 175 , Ikrom berpendapat meskipun tidak ada Perda yang
secara tegas menyebut dirinya sebagai Perda Syariat, namun isinya secara eksplisit bernuansa syariat
Islam. Istilah Perda Syariat digunakan secara luas terhadap sejumlah Peraturan Daerah yang isinya
mengatur kehidupan masyarakat berdasarkan ketentuan ajaran tertentu, yakni ajaran Islam. Sayangnya
acuan Islam yang dipakai di sini, terbatas pada peraturan yang bersifat legal-formal dan sangat simbolistik..
5
. Ibid. hlm. 174
6
Ibid , hlm. 172-174

7
beberapa peraturan daerah di Indonesia selalu dimulai dengan mengontrol perempuan,

membatasi gerak dan aktivitas perempuan dan merumahkan kembali kaum perempuan.

Para pemerhati hak hak perempuan sepakat menyimpulkan bahwa isu perempuan

diperebutkan tidak lain karena tubuhnya merupakan perwujudan dari berbagai simbol

simbol kehidupan, simbol kekuasaan, simbol kebenaran, simbol moralitas, dan simbol

kemurnian ajaran agama, sebab menaklukkan perempuan berarti menguasai

kehidupan, mengontrol kekuasaan, membela kebenaran, menjaga moralitas, dan

mengembalikan kemurnian ajaran agama7

Gagasan kembali ke ajaran Islam yang diperjuangkan selalu bermakna kembali

kepada Islam tekstualis, yakni ajaran Islam yang bertumpu semata-mata pada teks dan

mengabaikan konteks historisnya, kembali kepada karakter ideologis yang statis,

ahistoris, sangat eksklusif, bias gender dan sarat nilai-nilai patriarki. Analisis terhadap

kasus-kasus hukum mengungkapkan bahwa ketimpangan gender dalam bidang

hukum dijumpai pada tiga aspek hukum sekaligus, yaitu pada materi hukum (content

of law), budaya hukum (culture of law) dan struktur hukumnya (structure of law). 8

Lebih parah lagi, karena perda-perda tersebut terkadang menyimpang dari esensi

ajaran Islam yang menempatkan manusia, perempuan dan laki-laki sama nilainya

sebagai makhluk terhormat dan bermartabat, serta memiliki hak dan kebebasan

dasar yang harus dihormati. Jika orientasi para penyelenggara pemerintahan, baik di

pusat maupun di daerah adalah menegakkan moralitas masyarakat, maka kebijakan

publik atau perda yang relevan dirumuskan diantaranya adalah kebijakan tentang

pemberantasan korupsi yang merugikan kepentingan banyak orang dan telah

menimbulkan ketidakadilan dan kebobrokan serius di masyarakat, pemberantasan buta

Ibid., hlm. 175


7

8
Kasus-kasus ketimpangan gender dalam bidang hukum di Indonesia dipaparkan secara rinci
dalam Nursyahbani Katjasungkana dan Mumtahanan, Kasus-Kasus Hukum Kekerasan Terhadap
Perempuan, Jakarta: LBH APIK, 2012.

8
huruf, pemberantasan penyakit menular dan penyakit berbahaya lainnya, pemberantasan

narkoba dan penaggulangan penularan HIV/Aids, juga penghapusan semua bentuk

pornografi, pemberantasan trafficking (perdagangan manusia, terutama anak dan

perempuan), penghapusan semua bentuk kekerasan, Pemberdayaan Masyarakat, yang

kesemuanya itu dapat meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia

IPM menjelaskan bagaimana penduduk dapat menikmati hasil pembangunan

dalam memperoleh akses pendidikan, kesehatan, pendapatan dan sebagainya. IPM

diperkenalkan oleh United Nations Development Programme (UNDP) pada Tahun

1990 dan dipublikasikan secara berkala dalam laporan Tahunan Human Development

Report (HDR)9. IPM di bentuk oleh 3 dimensi dasar yaitu10

1. Pengetahuan (indikator pendidikan)

2. Umur panjang dan hidup sehat (indikator kesehatan)

3. Standar hidup layak (indikator ekonomi dan sosial budaya)

Ketertinggalan satu kelompok dari kelompok lain ternyata dapat

memyebabkan rendahnya tingkat Indek Pembangunan Manusia (IPM). Dalam

laporan Human Development Indeks (HDI)), IPM Indonesia pada 2015 sebesar 0,689

berada di peringkat 113 dari 188 negara di dunia, turun dari posisi 110 pada Tahun

2014, Tahun 2016 turun dua tingkat ke peringkat 115, diTahun 2017 IPM Indonesia

turun lagi ke peringkat 116 dari 189 negara di dunia dengan nilai IPM 0,932. IPM

yang baik tidak bisa dicapai kalau setengah dari populasi tidak membaik (khususnya

perempuan) karena IPM merupakan gabungan dari Indeks Pemberdayaan Gender

(IPG) yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Data Tahun 2017 menunjukkan

bahwa nilai IPG untuk perempuan adalah 0,666 sedangkan IPG untuk laki laki 0,715.

Ketertinggalan ini multi dinamis dari sisi gender, perempuan aksesnya informasinya

9
https://www.bps.go.id/subjek/view/id/26, di akses pada 25 April , 2016,di akses pukul 10.53 Wib.
10
Ibid.

9
minim, tingkat pendidikan dan kesehatan yang rendah dan ini cenderung diteruskan

ke generasi selanjutnya 11.

Provinsi Aceh sebagai bagian dari negara Republik Indonesia memiliki

keistimewaan dalam mengurus rumah tangga daerahnya, salah satu bentuk

keistimewaan itu adalah pelaksanaan syariat Islam. Secara hukum pelaksanaan syariat

Islam di Aceh diawali dengan dikeluarkannya UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang

Pelaksanaan Keistimewaan Aceh (bidang agama, adat, pendidikan dan kebudayaan),

kemudian dipertegas oleh UU Nomor 22 Tahun 1999, tentang otonomi khusus 12,

selanjutnya dipertegas lagi, dengan ditandatanganinya UU Nomor 18 Tahun 2001

yang dikenal dengan UU Nanggroe Aceh Darussalam. Kemudian dijabarkan dalam

perda-perda yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah, hingga akhirnya pelaksanaan

Syari’at Islam di Aceh bisa dijalankan dan dikenal dengan penerapan Syari’at Islam

secara kaffah13, dengan beberapa qanun yang telah dikeluarkan.

Qanun sebagai peraturan perundang-undangan dibuat untuk

menyelenggarakan urusan Pemerintahan Aceh. Qanun merupakan bagian yang tidak

terpisahkan dari kesatuan sistem perundang-undangan Republik Indonesia. yang

diatur dalam tata urutannya menurut UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan, walaupun tidak disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1)

UU ini namun keberadaan qanun dapat ditelusuri dalam sumber hukum utama yaitu

Pasal 18 B ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa negara mengakui dan

11
http://mcnnindonesia.com/ekonomi/20170322182446-78202081/ , terakhir di unggah pada, 28
Desember, 2017, pukul 10.24 WIB
12
Rifyah Ka’bah, 2004, Penegakan Syari’at Islam di Indonesia, Khirul Bayan, Jakarta Selatan,
hlm.17.
13
Penerapan syari’at Islam secara kaffah sebagai salah satu misi Provinsi Aceh diartikan bahwa
pemerintah daerah mengatur semua perilaku masyarakat tanpa terkecuali. menurut Lilik Andaryuni, dalam
tulisannya Formalisasi Syariat Islam Di Indonesia, Telaah Atas Kanunisasi Hukum Islam Di Nanggroe Aceh
Darussalam, bahwa di sinilah letak ketidakjelasan penerapan syariat Islam di Aceh. Institusi negara dalam hal
ini pemerintah daerah Aceh telah masuk terlalu jauh dalam semua aspek kehidupan termasuk dalam hal yang
bersifat individual dan sosial, padahal seharusnya pemerintah daerah harus mempunyai kategorisasi dan
memilah-milah dalam bidang apa saja hukum Islam yang dapat diatur dalam sebuah qanun. Lihat Jurnal
Fenomena, vol. IV, No. 1, tahun 2012, hlm. 43

10
menghormati satuansatuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat

istimewa yang diatur dengan undang undang.

Berdasarkan UU Nomor 18 Tahun 2001 yang kemudian dicabut dengan UU

Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU Pemerintahan Aceh) di

tetapkan bahwa semua peraturan daerah yang ada dinyatakan sebagai Qanun Aceh.

Dalam penjelasan umum UU Pemerintahan Aceh ini disebutkan bahwa qanun adalah

peraturan daerah yang dapat mengenyampingkan perundang-undangan yang lain dengan

mengikuti asas Lex specialis derogaat lex generalis dan Mahkamah Agung berwenang

melakukan uji materil terhadap qanun. Karena itu qanun tidak boleh bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatnya 14 . berdasarkan

uraian tersebut dapat dipahami bahwa qanun Aceh berfungsi sebagai berikut:

a. Menyelenggarakan pengaturan hal-hal yang tidak bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (peraturan perundang-

undangan tingkat pusat)

b. Menyelenggarakan pengaturan hal-hal yang belum diatur dalam peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi.

Fungsi ini memperjelas ketentuan yang diatur dalam Pasal 270 ayat (1), (2) dan

(3) UU Pemerintahan Aceh yang menetapkan bahwa ketentuan pelaksanaan undang-

undang ini yang menyangkut kewenangan pemerintah ditetapkan dengan peraturan

perundang-undangan dan ketentuan yang menyangkut kewenangan pemerintah Provinsi

dan kabupaten kota ditetapkan dengan qanun.

Undang-undang lebih tinggi kedudukannya dari qanun, karena itu sesuai prinsip

hirarki peraturan perundang-undangan peraturan yang lebih rendah itu tidak boleh

bertentangan dengan peraturan yang derajatnya lebih tinggi, akan tetapi sebagai
14
Bagir Manan, dalam Daud Yoesoef , Qanun Sebagai Atuuran Pelaksana Peraturan Perundang-
undangan Atasan, Jurnal kanun No. 47 edisi Agustus 2009, hlm.182

11
konsekuensi diberikannya otonomi khusus kepada Aceh maka produk legislatif daerah

ini dapat saja menyimpang dari produk eksekutif di tingkat pusat, misalnya saja suatu

materi qanun yang telah ditetapkan secara sah ternyata bertentangan dengan materi

peraturan menteri ditingkat pusat maka pengadilan haruslah menertibkan bahwa qanun

itulah yang berlaku sepanjang untuk daerahnya.15

Islam memainkan peran penting dalam kehidupan masyarakat Aceh, sehingga

Islam menjadi identitas sebagai orang Aceh yang tidak bisa di pisahkan dalam segala

aspek kehidupan sehingga ada pepatah Aceh yang mengatakan Hukom ngon adat lage zat

ngon sifeut (hukum (Islam) dengan adat seperti zat dengan sifatnya), dengan kata lain

syariat Islam memang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Aceh. Terlepas dari

klaim C. Snouck Hurgronje bahwa dalam kehidupan hukum pada abad ke 19 bahwa

masyarakat Aceh mengacu pada adat dari pada Hukum Islam (hukom) karena hanya

beberapa bagian saja hukum adat itu dipengaruhi oleh hukum agama, yakni yang

berkaitan dengan kepercayaan dan kehidupan batiniah, seperti bidang keluarga,

perkawinan dan kewarisan. Sub-sub hukum ini mudah sekali dipengaruhi oleh hukum

agama karena berkaitan dengan doktrin benar atau salah, sah atau tidak sah. Jadi hukum

agama baru berlaku kalau telah diterima di dalam hukum adat.16

Untuk Aceh masalahnya menjadi menarik karena pasca bencana tsunami Tahun

2004 gerakan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender sangatlah kuat,

disamping itu adanya keinginan masyarakat untuk menegakkan syariat Islam, sehingga

perspektif gender yang juga diperjuangkan oleh para aktivis gender hendaknya selaras

dengan nilai-nilai keislaman dalam kehidupan masyarakat Aceh, karena hukum sebagai

perwujudan nilai-nilai mengandung arti bahwa kehadirannya adalah untuk melindungi

15
Jimly Asshiddiqie, 2000, Penataan Kembali Sumber Tertib Hukum RI Dalam Rangka Amandemen
Kedua UUD 1945, BP MPR-RI, Jakarta, hlm. 20
16
Yaswiman, 2001, Hukum Keluarga, Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat Dalam
Masyarakat Matrilineal Minangkabau, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, hlm. 16

12
dan memajukan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakatnya.

Kritik dari berbagai pihak kerap terjadi antara lain terkait penerapan asas keadilan

perspektif gender dalam substansi qanun di Aceh, misalnya dalam sejumlah ketentuan

menggunakan kata “setiap orang” atau “semua orang”, namun ketentuan tersebut

berimplikasi pada adanya penegakan yang berpotensi diskriminatif misalnya

terkait dengan penggunaan pakaian Islami, khususnya bagi perempuan. Ditambah lagi

dengan beberapa kebijakan dari kepala daerah misalnya pelarangan memakai celana bagi

perempuan (di Aceh Barat), duduk mengangkang diatas kendaraan bermotor (di Aceh

Utara), selain mampu baca al Quran calon pemimpin dan anggota dewan juga harus mampu

memimpin shalat berjamaah dan khutbah jum’at (di Aceh Besar), larangan pasangan duduk

semeja dengan bukan muhrim di restoran dan kafe (di Biruen)

Sebagai provinsi yang menerapkan prinsip syariah, seharusnya selain

mengandung nilai keislaman qanun Aceh juga seharusnya menyesuaikan dengan

perundang-undangan yang sudah ada yang sangat melindungi kepentingan perempuan.

Negara sudah menaruh perhatian besar terhadap kepentingan kaum perempuan

melalui berbagai kebijakan publik, mulai dari UUD 1945, UU Nomor 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Penghapusan Kekerasan

Dalam Rumah Tangga (KDRT), UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang ratifikasi CEDAW,

Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang pengarusutamaan Gender (PUG) dan

peraturan terkait lainnya, agar pembangunan yang dilakukan dapat memberikan rasa

keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat baik laki-laki maupun perempuan

yang akhirnya ikut meningkatkan Indeks Perberdayaan Manusia (IPM) di Aceh.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian tersebut diatas maka permasalahan yang diajukan dalam

13
disertasi yang berjudul “Penerapan Asas Keadilan Perspektif Gender Dalam

Qanun di Aceh” adalah:

1. Bagaimanakah perspektif gender dalam peraturan perundang-undangan?

2. Bagaimanakah keadilan perspektif gender dan kedudukan perempuan dalam

Islam?

3. Bagaimanakah penerapan asas keadilan perspektif gender dalam substansi

qanun di Aceh?

C. Keaslian Penelitian

Penelitian yang memfokuskan pada isu keadilan perspektif gender dalam

Qanun di Aceh, setelah melakukan penelusuran melalui kepustakaan dan sumber

internet diketahui bahwa penelitian dengan fokus diatas menurut hemat peneliti belum

pernah di teliti/ditemukan dalam sebuah disertasi, namun demikian, ada beberapa

penelitian disertasi terdahulu yang membahas topik yang sama namun memiliki

perbedaan yang signifikan, diantaranya:

1. Disertasi dengan judul “Penerapan Asas Keadilan Dalam Pengaturan

Pengelolalaan Sumber Daya Alam Dalam Kerangka Pembangunan

Berkelanjutan Di Aceh”. Yang diteliti oleh Yanis Rinaldi, Pada Program Pasca

Sarjana Universitas Andalas Padang Tahun 2015. Fokus penelitian ini ada pada

Bagaimana konsep keadilan dalam pengelolaan sumber daya alam, bagaiamana

penerapan asas keadilan dalam pengaturan pengelolaan sumber daya alam

dalam kaitan hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah dan

bagaimana penerapan asas keadilan dalam pengaturan pengelolaan sumber

daya alam dalam kaitan hubungan antara Pemerintah Aceh dengan Pemerintah

Kabupaten. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsep keadilan dalam

14
pengelolaan sumber daya alam terdiri dari 7 prinsip yang belum sepenuhnya

dijabarkan dalam qanun secara komprehensif.

2. Disertasi dengan judul “Konsep Keadilan Gender Perspektif Mansour Fakih

dan Relevansinya Dalam Pendidikan Islam”. Yang ditulis oleh Mutik Ullah,

dari UIN Sunan Ampel Surabaya Tahun 2010. Fokus penelitian ini ada pada

menganalisa konsep keadilan gender perspektif Mansour Fakih sudahkah relevan

dalam pendidikan Islam saat ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keadilan

gender dalam materi pendidikan perlu di transformasikan dalam semua materi

pendidikan untuk menumbuhkan sensitivitas gender.

3. Disertasi dengan Judul, Perspektif Jender Dalam Al-Qur’an, yang diteliti oleh

Nasaruddin Umar, Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun

1999. Fokus penelitian ini ada pada bagaimana al-Qur’an memposisikan faktor

biologis dan faktor non biologis dalam kaitan perbedaan laki-laki dan perempuan,

bagaimana memahami ayat-ayat gender yang diturunkan dalam satu kurun waktu

dan lingkup budaya tertentu, dan metode apa yang lebih relevan digunakan dalam

memahami ayat-ayat tersebut. Hasil penelitian menjelaskan metode penafsiran

terhadap kata dalam ayat ayat al quran menjadi salah satu faktor penyebab

terjadinya perbedaan perspektif gender.

Penelitian ini memiliki perbedaan dengan penelitian-penelitan sebelumnya.

Perbedaanya terletak pada: pertama, penelitian sebelumnya belum ada yang fokus pada

upaya mencari muatan materi keadilan perspektif gender dalam perundang-undangan

dan qanun; kedua, penelitian ini akan mengkaji perspektif keadilan gender dalam

perundang-undangan dan Hukum Islam untuk di jadikan indikator dalam penyusunan

peraturaan perundang-undangan Aceh (qanun) yang dalam penelitian sebelumnya

belum pernah dilakukan.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat dinyatakan bahwa penelitian mengenai


15
“penerapan asas keadilan perspektif gender dalam qanun di Aceh” belum pernah

dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama. Jadi, penelitian ini adalah asli

dan sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional dan objektif serta

terbuka, sebagai wujud implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah.

Dengan demikian, penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara

ilmiah.

D. Tujuan Penelitian

Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah penelitian, maka tujuan dari penulisan ini

adalah untuk, menganalisis, dan menjelaskan:

1. Perspektif gender dalam peraturan perundang-undangan

2. Keadilan perspektif gender dan kedudukan perempuan dalam Islam

3. Penerapan asas keadilan perspektif gender dalam substansi qanun di Aceh

E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis

maupun praktis.

1. Manfaat Teoritis

Temuan dari penelitian ini, secara teoritis diharapkan dapat memberikan

sumbangan pengetahuan baru bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya hukum

yang responsif gender, yang dimaksudkan dengan pengetahuan baru adalah rumusan

konsep keadilan perspektif gender dalam qanun di Aceh. Rumusan konsep keadilan

berpersepektif gender ini akan dijadikan sebagai dasar atau patokan dalam

menganalisis penerapan prinsip keadilan perspektif gender dalam pembentukan

peraturan perundang-undangan/qanun, baik yang dihasilkan oleh pemerintah provinsi

maupun pemerintah kabupaten/kota.

16
2. Manfaat Praktis

Secara Praktis, temuan dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan

masukan bagi para pemangku kepentingan, terutama pembentuk hukum dalam

merumuskan nilai-nilai keadilan perspektif gender kedalam peraturan perundang-

undangan dalam hal ini qanun yang mengatur kepentingan masyarakat secara umum

dan khususnya masyarakat Aceh

F. Landasan Teoritis dan Kerangka Konseptual

1. Landasan Teoritis

Untuk menjawab beberapa permasalahan yang berkaitan dengan penerapan

asas keadilan perspektif gender dalam penyusunan qanun di Aceh sebagaimana

disebutkan dalam perumusan masalah, digunakan beberapa landasan teori hukum.

Landasan teori hukum sebagaimana dijelaskan oleh Ronny Hanitijo Soemitro, bahwa

setiap penelitian haruslah disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis 17. Penggunaan

teori sebagai pisau analisis untuk menjelaskan, memecahkan, dan mengendalikan

masalah18. Berkaitan dengan teori hukum ini, Posner 19


mengemukakan ada dua

kegunaannya:

Pertama untuk mengungkapkan ruang gelap (dark corners) dari suatu sistem

hukum dan menunjukkan jalan arah perubahan konstruktif yang sangat bernilai

tentang unsur-unsur dari konsep hukum. Kedua untuk membantu menjawab

pertanyaan mendasar tentang sistem hukum yang intinya adalah pengetahuan

tentang sistem, yang berbeda maknanya dari sekedar mengetahui bagaimana

17
Ronny Hanitijo Soemitro, 1985, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 37
18
Darsono Prawironegoro, 2010, Filsafat Ilmu Kajian tentang Pengetahuan yang Disusun Secara
Sistematis dan Sistemik Dalam Membangun Ilmu Pengetahuan, Nusantara Consulting (NC), Jakarta, hlm. 540
19
Richard Posner, dalam Romli Atmasasmita, 2012, Teori Hukum Integratif, Rekonstruksi
Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif, Genta Publising, Yogyakarta, hlm.12.

17
menjalankannya dalam suatu sistem dimana praktisi hukum telah biasa

melakukannya. Adapun teori yang dimaksud dalam penelitian ini meliputi teori

keadilan, teori pembentukan perundang-undangan dan teori tujuan hukum Islam

(Maqasiduh syariah).

a . Teori Keadilan

Ukuran mengenai keadilan seringkali ditafsirkan berbeda-beda. Keadilan itu

pun berdimensi banyak dan dalam berbagai bidang, misalnya ekonomi, maupun

hukum. Berbicara mengenai keadilan merupakan hal yang senantiasa dijadikan topik

utama dalam setiap penyelesaian masalah yang berhubungan dengan penegakan

hukum

Perdebatan tentang keadilan telah melahirkan berbagai aliran pemikiran

hukum dan teori-teori sosial lainnya. Dua titik ekstrim keadilan, adalah keadilan yang

dipahami sebagai sesuatu yang irasional dan pada titik lain dipahami secara rasional,

t entu saja banyak varian-varian yang berada diantara kedua titik ekstrim tersebut.20

Teori Keadilan muncul dalam setiap mazhab perkembangan filsafat, diantaranya zaman

klasik, abad pertengahan, abad ke-20. Pada z aman k lasik tokohnya Plato dan

Aristoteles, abad pertengahan tokohnya Thomas Aquinas, abad ke- 20, tokohnya Hans

Kelsen, Gustav Radbruch, dan John Rawls.

Plato menyatakan bahwa hukum sebagai sarana keadilan. Ia merupakan

pemikir idealis abstrak yang mengakui kekuatan-kekuatan di luar kemampuan manusia

sehingga pemikiran irasional masuk dalam filsafatnya, termasuk masalah keadilan.

Pendapat Plato bahwa keadilan adalah diluar kemampuan manusia biasa. Sumber

ketidakadilan adalah adanya perubahan dalam masyarakat. Masyarakat memiliki

elemen-elemen prinsipal yang harus dipertahankan, yaitu:


20
Berbagai macam permasalahan keadilan dan kaitannya dengan hukum yang berkembang dari
berbagai aliran pemikiran, dapat di lihat pada buku W. Friedmann, Teori dan Filasafat Hukum; Susunan II,
(Legal Theory), diterjemahkan oleh Muhamad Arifin, cetakan Kedua, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada,
1994.

18
a. Pemilahan kelas-kelas yang tegas; misalnya kelas penguasa yang diisi oleh
para penggembala dan anjing penjaga harus dipisahkan secara tegas dengan
domba manusia.
b. Identifikasi takdir negara dengan takdir kelas penguasanya; perhatian khusus
terhadap kelas ini dan persatuannya; dan kepatuhan pada persatuannya, aturan-
aturan yang rigid bagi pemeliharaan dan pendidikan kelas ini, dan pengawasan
yang ketat serta kolektivisasi kepentingan-kepentingan anggotanya 21.
Dari elemen-elemen prinsipal ini, elemen-elemen lainnya dapat diturunkan,

seperti berikut ini:

a. kelas penguasa punya monopoli terhadap semua hal seperti


keuntungan dan latihan militer, dan hak memiliki senjata dan
menerima semua bentuk pendidikan, tetapi kelas penguasa ini tidak
diperkenankan berpartisipasi dalam aktivitas perekonomian, terutama dalam
usaha mencari penghasilan;
b. harus ada sensor terhadap semua aktivitas intelektual kelas penguasa, dan
propaganda terus-menerus yang bertujuan untuk menyeragamkan pikiran-
pikiran mereka. Semua inovasi dalam pendidikan, peraturan, dan agama
harus dicegah atau ditekan;
c. negara harus bersifat mandiri (self-sufficient). Negara harus bertujuan pada
autarki ekonomi, jika tidak demikian, para penguasa akan bergantung pada
para pedagang, atau justru para penguasa itu sendiri. menjadi pedagang.
Alternatif pertama akan melemahkan kekuasaan mereka, sedangkan alternatif
kedua akan melemahkan persatuan kelas penguasa dan stabilitas negaranya22.

Menurut Plato, untuk mewujudkan keadilan masyarakat harus dikembalikan

pada struktur aslinya, domba menjadi domba, penggembala menjadi penggembala.

Tugas ini adalah tugas negara untuk menghentikan perubahan. Dengan demikian

keadilan bukan mengenai hubungan antara individu melainkan hubungan individu dan

negara, yakni bagaimana individu melayani negara.

Keadilan juga dipahaminya secara metafisis. Keberadaannya sebagai kualitas

atau fungsi makhluk super manusia, yang sifatnya tidak dapat diamati oleh manusia.

Konsekuensinya ialah, bahwa realisasi keadilan digeser ke dunia lain, di luar

pengalaman manusia; dan akal manusia yang esensial bagi keadilan tunduk pada cara-

21
Konsepsi keadilan Plato dapat dilihat dalam bukunya The Republic terjemahan Benjamin
Jowett. Dalam bagian awal buku ini Plato mengetengahkan dialog antara Socrates dengan Glaucon
tentang makna keadilan
22
Karl R. Popper, Masyarakat Terbuka dan Musuh-Musuhnya (The Open Society and Its
Enemy), diterjemahkan oleh: Uzair Fauzan, 2002, Cetakan I, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, hlm. 110

19
cara Tuhan yang tidak dapat diubah atau keputusan-keputusan Tuhan yang tidak

dapat diduga23. Oleh karena inilah Plato mengungkapkan bahwa yang memimpin negara

seharusnya manusia super, yaitu the king of philosopher24 atau kaum aristokrat

(para filsuf)25 mereka adalah orang-orang bijaksana, maka di bawah pemerintahan

mereka dimungkinkan adanya partisipasi semua orang dalam gagasan keadilan.

Plato selanjutnya mengatakan, keadilan hanya ada di dalam hukum dan

perundang-undangan yang dibuat oleh para ahli yang khusus memikirkan hal itu.26

Hukum dalam teori Plato adalah instrumen untuk menghadirkan keadilan di

tengah-tengah ketidakadilan.27 Plato menggunakan istilah keadilan dengan kata Yunani

”dikaiosune” yang berarti lebih luas, yaitu mencakup moralitas individual dan

sosial.28

Disisi lain, doktrin-doktrin Aristoteles tidak hanya meletakkan dasar-dasar

bagi teori hukum, tetapi juga kepada filsafat barat pada umumnya. Pandangan-

pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa didapatkan dalam karyanya Nicomachea

Ethics, Politics, dan Rethoric. Buku Nicomachea Ethics sepenuhnya membahas

keadilan, yang berdasarkan filsafat umum Aristoteles, dianggap sebagai inti dari filsafat

hukumnya, karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan29.

23
W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum, (Legal Theory), Susunan I, diterjemahkan oleh
Mohamad Arifin, 1993, Cetakan kedua, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, hlm. 117.
24
Deliar Noer, 1997, Pemikiran Politik Di Negeri Barat, Cetakan II Edisi Revisi, Bandung,
Pustaka Mizan, hlm. 1-15
25
Bernard L. Tanya, dkk, 2010, Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan
Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, hlm. 40.
26
Dominikus Rato, 2010, Filsafat Hukum, Mencari, Menemukan, dan Memahami Hukum,
LaksBang Yustisia, Surabaya, hlm. 63.
27
Bernard L. Tanya, dkk, 2010, Op.Cit, hlm. 1.
28
Munir Fuady, 2010, Dinamika Teori Hukum, Ghalia Indonesia, Ciawi-Bogor, hlm. 92.
29
Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, dan Markus Y. Hage, Op.Cit. hlm. 24. Aristoteles,
sebagai murid Plato, pada dasarnya mengikuti pemikiran Plato ketika Aristoteles memulai mempersoalkan
tentang keadilan dan kaitannya dengan hukum positif, namun yang membedakan diantara mereka, bahwa
Plato dalam mendekati problem keadilan dengan sudut pandang yang bersumber dari inspirasi, sementara
Aristoteles mendekati dengan sudut pandang yang rasional, yang menghubungkan keduanya adalah, bahwa
keduanya sama-sama berupaya membangun konsep tentang nilai keutamaan (concept of virtue), yang
bertujuan untuk mengarahkan manusia kepada suatu kecondongan, yang pada dasarnya telah menjadi
problem utama dalam pemikiran Hukum Kodrat masa itu, tentang arah yang baik atau arah yang buruk,
berdasarkan nilai keadilan atau tiadanya keadilan

20
Hal yang sangat penting dari pandangannya adalah pendapat bahwa keadilan

mesti dipahami dalam pengertian kesetaraan dan keadilan. Keadilan itu adalah

persamaan tapi bukan penyamarataan. Aristoteles membuat pembedaan penting

antara kesetaraan numerik dan kesetaraan proporsional. Kesetaraan numerik

mempersamakan setiap manusia sebagai satu unit. Inilah yang sekarang dipahami

tentang kesetaraan dan yang dimaksudkan bahwa semua warga adalah sama di depan

hukum. Kesetaraan proporsional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai

dengan kemampuan dan prestasinya.

Lebih lanjut, keadilan menurut pandangan Aristoteles dibagi kedalam dua

macam keadilan, keadilan “distributief” dan keadilan “commutatief”. Keadilan

distributief ialah keadilan yang memberikan kepada tiap orang porsi menurut

pretasinya. Keadilan commutatief memberikan sama banyaknya kepada setiap orang

tanpa membeda-bedakan prestasinya dalam hal ini berkaitan dengan peranan tukar

menukar barang dan jasa30.

Selain keadilan berbasis kesamaan, Aristoteles juga mengajukan model keadilan

lain, yaitu keadilan distributif dan keadilan korektif. Keadilan distributif identik dengan

keadilan atas dasar kesamaan proporsional. Sedangkan keadilan korektif (remedial),

berfokus pada pembetulan sesuatu yang salah. Jika suatu perjanjian dilanggar atau

kesalahan dilakukan, maka keadilan korektif berupaya memberi kompensasi yang

memadai bagi pihak yang dirugikan. Singkatnya, keadilan korektif bertugas

membangun kembali kesetaraan31

Aristoteles32 dianggap sebagai filsuf pertama yang merumuskan arti keadilan, Ia

mengatakan bahwa kedilan adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi

30
L.J. Van Apeldoorn, 1996, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, cetakan kedua puluh
enam, Jakarta, hlm. 11-12
31
Bernard L. Tanya, dkk, Loc.Cit
32
Ibid

21
haknya fiat justitia bereat mundus33 . Keadilan berdasarkan falsafah umum

Aristoteles, harus dianggap sebagai inti daripada falsafah hukum, karena hukum

hanya dapat ditetapkan jika saling berhubungan dengan keadilan,34 yang utama

dalam pandangan beliau, keadilan mesti difahami dalam pengertian kesamaan, namun

Aristoteles membedakan antara kesamaan numerik dan kesamaan setara (proporsional).

Kesamaan numerik atau biasa dikenal dengan sebutan keadilan komutlatif (Justitia

Cummulativa) merujuk pada prinsip mempersamakan setiap manusia sebagai satu unit.

Inilah yang sekarang biasa difahami sebagai kesamaan. Seperti contohnya kesamaan

dalam konsep kedudukan semua warga adalah sama di depan hukum, sehingga

melahirkan prinsip “semua orang sederajat di hadapan hukum”.

Keadilan distributif (justitia distributiva) atau kesamaan, kesetaraan adalah suatu

keadilan yang memeberikan kepada setiap orang didasarkan atas jasa-jasanya atau

pembagian menurut haknya masing-masing, konsep keadilan ini melahirkan prinsip

“memberi setiap orang apa yang menjadi haknya” sesuai dengan usahanya, prestasinya,

dan sebagainya. Selain itu, Aristoteles juga berpandangan tentang keadilan korektif

(corrective justice) berhubung erat dengan situasi yang adil tetapi telah disalahgunakan

dan atau diganggu oleh pihak tertentu yang dianggap salah dari sisi undang-undang.

Konsep kedilan ini dikenali sebagai bersifat korektif yang memandang keadilan

difungsikan sebagai usaha untuk melakukan koreksi yang disebabkan oleh, misalnya,

pelanggaran kesepakatan. Koreksi demikian adalah diperlukan kerana

pelanggaran tersebut menyebabkan ketidaksetaraan.

Keadilan korektif berfokus kepada pembetulan sesuatu yang salah. Jika suatu

pelanggaran dilanggar atau kesalahan dilakukan, maka keadilan korektif berusaha

33
Dominikus Rato, Op. Cit., hlm.64
34
Carl Joachin Friedrich, 2004, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Terjemahan, Nuansa dan
Nusamedia, Bandung, hlm 24.

22
memberikan ganti rugi yang memadai kepada pihak yang dirugikan, jika suatu

kejahatan telah dilakukan, maka hukuman yang sepantasnya perlu diberikan kepada si

pelaku. Bagaimanapun, ketidakadilan akan mengakibatkan terganggunya kesetaraan

yang sudah mapan atau telah terbina. Keadilan korektif bertugas membangun kembali

kesetaraan dan keadilan tersebut. Dari pengertian „keadilan‟ yang demikian, maka

konsep ini dapat diamalkan dalam konteks undang-undang sipil dan pidana. Berkait erat

dengan masalah ini, maka hakim berfungsi sebagai pencari penyelesaian dengan

memerintahkan pembayaran ganti rugi, atau mengenakan denda dan hukuman,

sekiranya perlu dan bersesuaian.

Badariah menggambarkan keadilan corrective atau restitutive Aristoteles

sebagai konsep yang mengembalikan keadaan kepada kedudukan awal.35 Justeru itu,

keadilan dianggap sebagai kepatuhan kepada undang-undang. Namun keadilan jenis ini

tidak menjamin keadilan substantif disebabkan undang-undang itu sendiri mungkin

bersifat tidak adil atau menindas. Pandangan Aristoteles tentang keadilan distributif dan

korektif menunjukkan bahawa keadilan korektif merupakan bidang dan fungsi

pengadilan sedangkan keadilan distributif merupakan bidang dan fungsi pemerintah36

Pada abad pertengahan tokoh yang mengemukakan teori keadilan adalah

Thomas Aquinas (1225-1247). Abad pertengahan yang merupakan era dominasi agama.

Ia mendasarkan teorinya tentang hukum dalam konteks moral agama Kristen. Imperatif-

imperatif moral tersebut berpengaruh pula terhadap hukum. Menurutnya, tata hukum

harus dibangun dalam struktur yang berpuncak pada kehendak Tuhan. Dalam doktrin

Thomas Aquinas, konfigurasi tata hukum dimulai dari Lex Aeterna: hukum dan

kehendak Tuhan; Lex Naturalis: prinsip umum (hukum alam); Lex Devina: hukum

Tuhan yang ada dalam kitab suci; Lex Humane: hukum buatan manusia yang sesuai
35
Badariah Sahamid, 2005, Jurisprudens dan Teori Undang-undang Dalam Konteks Malaysia,
Sweet & Maxwell Asia, Petaling Jaya, Selangor, Malaysia, hlm. 190
36
Carl Op.Cit., hlm. 25.

23
dengan hukum alam37

Menurut Thomas Aquinas, hukum merupakan cerminan tatanan Ilahi. Legislasi

hanya memiliki fungsi untuk mengklarifikasi dan menjelaskan tatanan Ilahi itu,

Thomas Aquinas membedakan antara hukum yang berasal dari wahyu, dengan hukum

yang dijangkau oleh akal manusia. Hukum yang berasal dari wahyu disebut ius

divinum positum (hukum Ilahi positif). Sedangkan hukum yang ditemui lewat kegiatan

akal terdiri dari beberapa jenis, yakni: (1) ius naturale (hukum alam), ius gentium

(hukum bangsa-bangsa), (3) ius positivum humanum (hukum positif buatan

manusia)38.

Tentang keadilan Aquinas membedakan dalam tiga ketegori, yaitu: (1) Iustitia

distributiva (keadilan distributif), yang menunjukkan pada prinsip kepada yang sama

diberikan sama, kepada yang tidak sama diberikan yang tidak sama pula. Hal ini

dikenal dengan kederajatan geometri. (2) Iustitia commutativa (keadilan komutatif

atau tukar-menukar), menunjuk pada keadilan berdasarkan prinsip asimetris, yaitu

penyesuaian yang harus dilakukan apabila terjadi perbuatan yang tidak sesuai dengan

hukum; (3) Ius Legalis (keadilan hukum), yang menunjuk pada ketaatan terhadap

hukum. Bagi Aquinas, mentaati hukum bermakna sama dengan bersikap baik dalam

segala hal (dan diasumsikan hukum itu berisi kepentingan umum), maka keadilan

hukum disebut juga sebagai keadilan yang bersifat umum39.

Hans Kelsen, Gustav Radbruch, John Rawlsdan Nozick merupakan sebagian

dari tokoh pada abad ke-20 yang juga mengemukakan teori keadilan. Hans Kelsen

dalam bukunya General Theory of Law and State berpandangan bahwa hukum sebagai

tatanan sosial dapat dinyatakan adil apabila dapat mengatur perbuatan manusia dengan

37
Ibid., hlm. 58-59.
38
Ibid., hlm. 59.
39
Ibid..

24
cara yang memuaskan sehingga dapat menemukan kebahagian didalamnya40.

Kelsen mengemukakan keadilan sebagai pertimbangan nilai yang bersifat

subyektif. Walaupun suatu tatanan yang adil beranggapan bahwa suatu tatanan

bukan kebahagian setiap perorangan, melainkan kebahagian sebesar- besarnya bagi

sebanyak mungkin individu dalam arti kelompok, yakni terpenuhinya kebutuhan-

kebutuhan tertentu, yang oleh penguasa atau pembuat hukum, dianggap sebagai

kebutuhan-kebutuhan yang patut dipenuhi, seperti kebutuhan sandang, pangan dan

papan. Tetapi kebutuhan-kebutuhan manusia yang manakah yang patut

diutamakan. Hal ini dapat dijawab dengan menggunakan pengetahuan rasional,

yang merupakan sebuah pertimbangan nilai, ditentukan oleh faktor-faktor emosional

dan oleh sebab itu bersifat subyektif 41.

Sebagai penganut aliran positivisme, Hans Kelsen juga mengakui

bahwa keadilan mutlak berasal dari alam, yakni lahir dari hakikat suatu benda atau

hakikat manusia, dari penalaran manusia atau kehendak Tuhan. Pemikiran tersebut

diesensikan sebagai doktrin yang disebut hukum alam. Doktrin hukum alam

beranggapan bahwa ada suatu keteraturan hubungan manusia yang berbeda dari

hukum positif, yang lebih tinggi dan sepenuhnya sahih dan adil, karena berasal dari

alam, dari penalaran manusia atau kehendak Tuhan42 Ia juga mengakui kebenaran dari

hukum alam. Sehingga pemikirannya terhadap konsep keadilan menimbulkan dualisme

antara hukum positif dan hukum alam. Menurut Hans Kelsen:

“Dualisme antara hukum positif dan hukum alam menjadikan


karakteristik dari hukum alam mirip dengan dualisme metafisika tentang dunia realitas
dan dunia ide model Plato. Inti dari filsafat Plato ini adalah doktrinnya tentang dunia
ide. Yang mengandung karakteristik mendalam. Dunia dibagi menjadi dua bidang
yang berbeda: yang pertama adalah dunia kasat mata yang dapat ditangkap
melalui indera yang disebut realitas; yang kedua dunia ide yang tidak tampak”43
40
Hans Kelsen, 2011, General Theory of Law and State, diterjemahkan oleh Rasisul
Muttaqien, , Nusa Media, Bandung , hlm. 7
41
Ibid.
42
Ibid.
43
Ibid. hlm. 14

25
Ada dua hal mengenai konsep keadilan menurut Hans Kelsen.

Pertama, tentang keadilan dan perdamaian. Keadilan bersumber dari cita-cita

irasional. Keadilan dirasionalkan melalui pengetahuan yang dapat berwujud suatu

kepentingan-kepentingan yang pada akhirnya menimbulkan suatu konflik

kepentingan. Penyelesaian atas konflik kepentingan tersebut dapat dicapai melalui suatu

tatatanan yang memuaskan salah satu kepentingan dengan mengorbankan kepentingan

yang lain atau dengan berusaha mencapai suatu kompromi menuju suatu perdamaian

bagi semua kepentingan44.

Kedua, konsep keadilan dan legalitas. Keadilan menurutnya

bermaknakan legalitas. Suatu peraturan umum adalah “adil” jika ia benar- benar

diterapkan, sementara itu suatu peraturan umum adalah “tidak adil” jika diterapkan

pada suatu kasus dan tidak diterapkan pada kasus lain yang serupa45. Konsep keadilan

dan legalitas inilah yang diterapkan dalam hukum nasional bangsa Indonesia, yang

memaknai bahwa peraturan hukum nasional dapat dijadikan sebagai payung hukum

(law umbrella) bagi peraturan peraturan hukum nasional lainnya sesuai tingkat dan

derajatnya dan peraturan hukum itu memiliki daya ikat terhadap materi-materi yang

dimuat (materi muatan) dalam peraturan hukum tersebut.

Gustav Radbruch mematrikkan kembali nilai keadilan sebagai mahkota dari

setiap tata hukum46. Radbruch memandang sein dan sollen, “materi” dan “bentuk”,

sebagai dua sisi dari satu mata uang. Sementara, Stamler dan Hans Kelsen lebih

mementingkan dimensi formal atau bentuknya. Menurut Radbruch, “materi” mengisi

“bentuk” dan “bentuk” melindungi “materi”. Frasa itu yang digunakan Radbruch

untuk menggambarkan hukum dan keadilan. Nilai keadilan adalah “materi” yang harus

menjadi isi aturan hukum. Sedangkan aturan hukum adalah “bentuk” yang harus
44
Ibid., hlm. 16
45
Ibid.,
46
Bernard L. Tanya, dkk, Op.Cit, hlm. 129

26
melindungi nilai keadilan47

Hukum sebagai pengemban nilai keadilan, menurut Radbruch menjadi ukuran

bagi adil tidak adilnya tata hukum. Tidak hanya itu, nilai keadilan juga menjadi dasar

dari hukum sebagai hukum. Dengan demikian, keadilan memiliki sifat normatif

sekaligus konstitutif bagi hukum. Sifat normatif, karena berfungsi sebagai prasyarat

transendental yang mendasari tiap hukum positif yang bermartabat. Ia menjadi moral

hukum dan sekaligus tolok ukur sistem hukum positif. Kepada keadilanlah, hukum

positif berpangkal. Sedangkan konstitutif, karena keadilan harus menjadi unsur mutlak

bagi hukum sebagai hukum. Tanpa keadilan, sebuah aturan tidak pantas menjadi

hukum48

Pada abad modern salah seorang yang di anggap memiliki peran penting dalam

mengembangkan konsep keadilan adalah John Borden Rawls, (John Rawls) . Rawls

berpendapat bahwa keadilan adalah kebajikan utama dari hadirnya institusi-institusi

sosial (social institutions). Akan tetapi, kebajikan bagi seluruh masyarakat tidak dapat

mengenyampingkan atau menggugat rasa keadilan dari setiap orang yang telah

memperoleh rasa keadilan, khususnya masyarakat lemah pencari keadilan49.

Pandangan Rawls memposisikan adanya situasi yang sama dan sederajat

antara tiap-tiap individu di dalam masyarakat. Dalam teorinya disebut sebagai “Justice

as fairness”50. Menurut John Rawls, ada 3 (tiga) bentuk konsepsi keadilan:

a. maksimalisasi kebebasan (maximisation of liberty). Kebebasan hanya tunduk


pada pembatasan yang dimaksudkan untuk melindungi kebebasan itu sendiri.
Konsepsi kebebasan mengakui adanya hak-hak dasar, yaitu:
1) hak bebas berbicara dan berorganisasi, hak memilih dan dipilih untuk
menduduki jabatan publik, hak kebebasan berfikir, hak untuk memiliki
harta benda pribadi, kebebasan dari penangkapan/penahan secara sewenang-
wenang
2) hak-hak tersebut tidak boleh dikorbankan atas alasan
kepentingan masyarakat/negara
47
Ibid.
48
Ibid., hlm. 129-130.
49
Ibid., hlm. 139-140.
50
ibid.

27
b. Kesetaraan untuk semua (equality for all), dalam hal kebebasan dalam
kehidupan sosial dan dalam distribusi (pembagian) sumber daya sosial (social
goods), hanya tunduk pada pengecualian bahwa ketidaksetaraan
dibolehkan jika hal itu menghasilkan manfaat paling besar bagi mereka yang
paling tidak sejahtera dalam masyarakat.
c. kesetaraan dalam kesempatan dan penghapusan ketidaksetaraan dalam
kesempatan berdasarkan kekayaan dan kelahiran”51.

Rawls memberikan pandangannya untuk mencapai keadilan. Disyaratkan

sekaligus adanya unsur keadilan substantif (justice) yang mengacu kepada

hasil dan unsur keadilan prosedural (fairness). Atas dasar demikian muncullah

istilah justice as fairness, meskipun dari istilah justice as fairness tersebut

mengandung arti bahwa unsur fairness mendapat prioritas tertentu dari segi

metodologinya. Apabila unsur fairness sudah tercapai, maka keadilan sudah

terjadi. Dengan demikian unsur fairness atau keadilan prosedural sangat erat

hubungannya dengan keadilan substantif (justice)52.

Menurut Rawls, prinsip paling mendasar dari keadilan adalah bahwa setiap

orang memiliki hak yang sama dari posisi-posisi mereka yang wajar. Karena itu,

supaya keadilan dapat tercapai maka struktur konstitusi politik, ekonomi, dan

peraturan mengenai hak milik haruslah sama bagi semua orang. Teori keadilan

Rawls berangkat dari keyakinan intuitif yang dituangkannya dalam proposisi

panjang yang pokok-pokoknya adalah:

a. Keadilan merupakan keutamaan utama institusi sosial, seperti kebenaran pada

sistem berpikir kita. Hukum atau institusi-institusi betapa pun bagus dan

efisiennya apabila tidak adil haruslah diperbaiki atau dihapus. Benar dan adil

adalah hal yang tidak bisa dikompromikan.

b. Setiap orang memiliki hak yang tertanam pada prinsip keadilan yang tidak

boleh dilanggar sekalipun atas nama kepentingan umum. Keadilan tidak


51
Elwi Danil, tanpa tahun, Perkembangan Teori Dan Filsafat Hukum, Materi Kuliah pada
Program Doktor Ilmu Hukum Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang.
52
Ibid.

28
membenarkan dikorbankannya kepentingan seseorang atau sekelompok orang

demi kepentingan orang banyak.

c. Dalam masyarakat berkeadilan, kemerdekaan dengan sendirinya terjamin;

hak-hak yang dijamin oleh keadilan tidak bisa dijadikan mangsa tawar-

menawar politik atau hitung-hitungan kepentingan umum.

d. Ketidakadilan dapat ditoleransi hanya apabila diperlukan untuk menghindari

ketidakadilan yang lebih besar.

Bagi Rawls, konsepsi keadilan haruslah berperan menyediakan cara di dalam

mana institusi-institusi sosial utama mendistribusikan hak-hak fundamental dan

kewajiban, serta menentukan pembagian hasil-hasil dan kerja sama sosial.

Rangkuman pandangan Rawls tentang keadilan dapat dilihat dalam tabel berikut ini

Tabel 1.Pandangan John Rawls tentang keadilan

Pendapat Keterangan
Keadilan sebagai kontrak sosial yang S emua orang yang terlibat adalah sama
dibuat secara bersama-sama yang kedudukan dan kedudukannya sebagai
mengandung kesepakatan dan peraturan- orang yang bebas dan mandiri.
peraturan maupun hak-hak serta
kewajiban-kewajiban.

Keadilan sebagai kejujuran mengakui dan Setiap orang mempunyai hak yang sama
meletakkan prioritas kepada kebebasan atas kebebasan-kebebasan asas yang
serta peluang yang sama bagi semua orang paling luas yang sebanding dengan
kebebasan dasar yang sama bagi semua
orang .

Wujudnya ketidaksamaan sosial dan Masalah ketidaksamaan yang ada


ekonomis harus diatur sedemikian rupa terutamanya mesti menjamin agar pihak

29
sehingga kedua ketidaksamaan tersebut yang lemah lebih mendapatkan
berdampak: perhatian.

(a) terutama menguntungkan mereka yang


paling kurang beruntung dan
Ketidaksamaan sosial dan ekonomi
(b) terwujud pada kuasa yang terbuka yang dianggap adil, hanya disebabkan
bagi semua orang dalam keadaan yang oleh perbedaan kuasa dan kedudukan.
menjamin persamaan peluang yang Karena kekuasaan dan kedudukan
fair. mempunyai dampak sosial dan
ekonomis yang sebanding dengan itu.
Ketidaksamaan itu diperbolehkan hanya
jika menguntungkan semua pihak yang
terlibat di dalamnya, khususnya mereka
yang keadaannya kurang bernasib baik .
Perbedaan sosial dan ekonomi karena kekuasaan dan kedudukan itu baru
kekuasaan dan kedudukan, baru dianggap diakui kalau diperoleh melalui
adil kalau kekuasaan dan kedudukan itu keunggulan objektif dari orang yang
sendiri terbuka bagi semua orang bersangkutan.

Ketidaksamaan adalah adil kalau benar- Kelompok yang sejak awal tidak
benar bersifat ada sejak semula dan wajar bernasib baik, layak mendapat perhatian
diterima. istimewa demi menjamin keadilan

Pihak yang sejak semula bernasib baik


(bakat, keadaan keuangan, dan
sebagainya ) sepatutnya memperhatikan
kelompok yang bernasib tidak baik
Sumber: Data diolah

Dalam hukum Islam, perintah berlaku adil ditujukan kepada setiap hal tanpa

pandang bulu. perkataan yang benar harus disampaikan apa adanya walaupun perkataan

itu akan merugikan kerabat sendiri. keharusan berlaku adil pun harus ditegakkan dalam

keluarga dan masyarakat muslim itu sendiri, bahkan kepada orang kafir pun umat Islam

30
diperintahkan berlaku adil.53 Keadilan dalam sejarah perkembangan pemikiran Filasafat

Islam tidak terlepas dan persoalan kebebasan dan keterpaksaan yang menyebabkan para

Teolog muslim terbagi dalam dua kelompok54, yaitu Kaum Mu’tazilah yang membela

keadilan dan kebebasan, dan kelompok Asy’ari yang membela keadilan dan

keterpaksaan. Kaum Mu’tazilah yang membela keadilan berpendapat bahwa keadilan

memiliki hakikat yang tersendiri dan sepanjang Allah mahabijak dan adil, maka Allah

melaksanakan perbuatannya menurut kriteria keadilan manusia. Kaum Asy’ari

menafsirkan keadilan dengan tafsiran yang khas yang menyatakan Allah itu adil, tidak

berarti bahwa Allah mengikuti hukum-hukum yang sudah ada sebelumnya. Setiap yang

dilakukan oleh Allah adalah adil dan bukan setiap yang adil harus dilakukan oleh Allah,

dengan demikian keadilan bukan lah tolok ukur untuk perbuatan Allah melainkan

perbuatan Allahlah yang menjadi tolok ukur keadilan.

Konsepsi keadilan Islam menurut Qadri55 mempunyai arti yang lebih dalam

karena setiap orang harus berbuat atas nama Tuhan sebagai tempat bermuaranya segala

hal termasuk motivasi dan tindakan. Penyelenggaraan keadilan dalam Islam bersumber

pada Al-Qur’an serta kedaulatan rakyat atau komunitas Muslim yakni umat. Makna yang

terkandung pada konsepsi keadilan Islam ialah menempatkan sesuatu pada tempatnya,

membebankan sesuatu sesuai daya pikul seseorang, memberikan sesuatu yang memang

menjadi haknya dengan kadar yang seimbang.

Prinsip pokok keadilan digambarkan oleh Madjid Khadduri dengan

mengelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu aspek substantif dan dan prosedural yang

masing-masing meliputi satu aspek dan keadilan yang berbeda. Aspek substantif berupa
53
Juhaya S. Praja, 1995, Filsafat Hukum Islam, Pusat Penebitan Universitas LPPM UNISBA,
Bandung hlm. 73
54
Madjid Khadduri, 1999, Teologi Keadilan (Perspektf Islam), Risalah Gusti , Surabaya, hlm.119-
201.
55
A. Qadri, 1987, Sebuah Potret Teori dan Praktek Keadilan Dalam Sejarah Pemerintahan Muslim,
PLP2M, Yogyakarta, , hIm. 1

31
elemen-elemen keadilan dalam substansi syariat (keadilan substantif), sedangkan aspek

prosedural berupa elemen-elemen keadilan dalam hukum prosedural yang dilaksanakan

(keadilan prosedural). Manakala kaidah-kaidah prosedural diabaikan atau diaplikasikan

secara tidak tepat, maka ketidakadilan prosedural muncul. Adapun keadilan substantif

merupakan aspek internal dan suatu hukum di mana semua perbuatan yang wajib pasti

adil (karena firman Tuhan) dan yang haram pasti tidak adil (karena wahyu tidak mungkin

membebani orangorang yang beriman suatu kezaliman)

Murtadha Muthahhari 56
mengemukakan bahwa keadilan dikenal dalam empat

hal, pertama, adil bermakna keseimbangan dalam arti suatu masyarakat yang ingin tetap

bertahan dan mapan, maka masyarakat tersebut harus berada dalam keadaan seimbang,

di mana segala sesuatu yang ada di dalamnya harus eksis dengan kadar semestinya dan

bukan dengan kadar yang sama. Kedua, adil adalah persamaan penafian terhadap

perbedaan apa pun. Keadilan yang dimaksudkan adalah memelihara persamaan ketika

hak memilikinya sama, sebab keadilan mewajibkan persamaan seperti itu. Ketiga, adil

adalah memelihara hak-hak individu dan memberikan hak kepada setiap orang yang

berhak menerimanya. Keadilan seperti ini adalah keadilan sosial yang harus dihormati di

dalam hukum manusia dan setiap individu diperintahkan untuk menegakkannya.

Keempat, adil adalah memelihara hak atas berlanjutnya eksistensi.

Terkait masalah gender, teori-teori yang digunakan untuk melihat

permasalahan gender ini diadopsi dari teori-teori yang dikembangkan oleh para ahli

terutama bidang sosial kemasyarakatan dan kejiwaan. Karena itu teori-teori yang

digunakan untuk mendekati masalah gender ini banyak diambil dari teori-teori sosiologi

dan psikologi. Berawal dari teori Nature atau Biological Essensialism adalah sebuah

56
Murtadha Muthahhari, 1995, Keadilan Ilahi: Azas Pandangan Dunia Islam, Mizan, Bandung:,
hlm. 53-58.

32
teori umum yang beranggapan perbedaan fungsi serta peran antara laki-laki dan

perempuan disebabkan karena adanya perbedaan alamiah sebagaimana tercemin di

dalam perbedaan anatomi biologis kedua makhluk tersebut. Teori ini meyakini ada

hubungan yang kuat antara biologis (sex) dengan sifat atau karakter lekaki dan

perempuan57.

Teori Nurture adalah sebuah teori yang berpendapat bahwa perbedaan fungsi

dan peran antara laki-laki serta perempuan disebabkan oleh faktor budaya dalam suatu

masyarakat. Teori Nuture menolak teori Biological Essensialism, mereka meyakini

bahwa perbedaan sifat maskulin dan feminim bukan pengaruh biologi melainkan

kulturisasi58. Cukup banyak kemudian teori yang dikembangkan oleh para ahli,

terutama kaum feminis sebagi kritik terhadap teori yang ada untuk mengangkat

masalah ketidakadilan gender.

b. Teori Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dan mudah

diterapkan di masyarakat merupakan salah satu pilar utama bagi penyelenggaraan

suatu negara. Jika kita membicarakan ilmu perundang-undangan, maka membahas

pula proses pembentukan peraturan negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat

daerah. Agar pembentukan peraturan perundang-undangan dapat menghasilkan

sebuah peraturan perundang-undangan yang efektif dan dapat mencapai tujuan

sebagaimana diharapkan, maka pembentukannya perlu mendasarkan pada

Teori Pembentukan Perundang-undangan (Theories of Law Making)

Dalam kerangka “theories on the law making process”, menurut Otto,

dimungkinkan untuk mengenali faktor-faktor relevan yang mempengaruhi kualitas

57
Ratna Megawangi, 1999, Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender.
Cet. I , Mizan, Bandung. hlm. 94
58
Ibid.

33
hukum dan substansi undang-undang (the content of the law) sebagai berikut:

a. the synoptic policy-phases theory;


b. the agenda-bulding theory;
c. the elite ideology theory;
d. the bureau-politic theory or organisational politics theory;
e. the four rationalities theory.59

Sejalan dengan hal itu, agar peraturan yang dibentuk memenuhi kebutuhan

masyarakat, Van Apeldoorn mengingatakan agar pembentukannya memperhatikan

segala faktor yang merupakan dasar hubungan masyarakat, baik faktor ekonomi,

agama, kesusilaan, politik, maupun sosial kehidupan kemasyarakatan.60

Menurut I.C. Van Der Vlies d alam pembentukan peraturan

perundang-undangan yang baik diperlukan asas, Van Der Vlies membagi asas

pembentukan peraturan perundang-undangan menjadi 2 (dua) klasifikasi, yaitu

asas-asas yang formal dan asas-asas yang material. Asas-asas yang formal meliputi:

a. Asas tujuan yang jelas (beginsel van duideleijke doelstelling);


b. Asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste orgaan);
c. Asas perlunya pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel);
d. Asas dapatnya dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid);
e. Asas konsensus (het beginsel van consensus)61.

Sedangkan asas-asas material antara lain meliputi:


a. Asas tentang terminologi dan sistematika yang benar (het beginsel van
duidelijke terminologi en duidelijke systematiek);
b. Asas tentang dapat dikenali (het beginsel van de kenbaarheid);
c. Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het rechtsgelijk-heidsbeginsel);
d. Asas kepastian hukum (het rechtszekerheids beginsel);
e. Asas pelaksanakan hukum sesuai keadaan individual (het beginsel van de
individuele rechtbedeling)62.

Menurut Rosjidi selain mengenai asas, suatu perundang-undangan

59
Jan Michiel Otto dkk, dalam Yuliandri, 2013, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan Yang Baik Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, Cetakan ke 4, PT
Rajagrafindo persada, Jakarta, hlm. 28.
60
LJ. Van Apeldoorn, O p. C i t , hlm. 378.
61
I.C. Van Der Vlies, dalam Maria Farida Indrati Soeprapto, 2007, Ilmu Perundang-
undangan Proses dan Teknik Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 228.
62
ibid.

34
(undang-undang) harus memiliki landasan penyusun, yaitu63:

a. Landasan yuridis, berarti bahwa dalam membentuk undang-undang atau


suatu peraturan perundang-undangan, maka harus lahir dari pihak yang
mempunyai kewenangan membuatnya (landasan yuridis formal),
mengakuan terhadap jenis peraturan yang diberlakukan (landasan yuridis
material).
b. Landasan sosiologis berarti bahwa peraturan perundang-undangan yang
diberlakukan harus sesuai dengan keyakinan umum dan kesadaran hukum
masyarakatnya agar ketentuan tersebut dapat ditaati karena pemahaman
dan kesadaran hukum masyarakatnya sesuai dengan hal-hal yang diatur.
c. Landasan filosofis berarti bahwa hukum yang diberlakukan mencerminkan
filsafat hidup masyarakat (bangsa) di mana hukum tersebut diberlakukan
yang intinya berisi nilai-nilai moral, etika, budaya maupun keyakinan dari
bangsa tersebut, sebagaimana dikenal dalam adagium quid legex sine
moribus (apa jadinya hukum tanpa moralitas).

pembentukan peraturan perundang- undangan juga didukung oleh teori sistem

yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman. Menurut Friedman, sistem hukum

merupakan suatu sistem yang meliputi substansi hukum, struktur, dan budaya hukum 64.

Komponen substansi (Substance of legal system) berupa peraturan-peraturan hukum

dan keputusan yang dihasilkan pengadilan dan pembentuk undang-undang serta

pemerintah.

Komponen struktur (Structure of legal system) terdiri dari institusi pembuat

undang-undang, institusi pengadilan dengan strukturnya, institusi kejaksaan dengan

dengan strukturnya dan badan kepolisian negara yang berfungsi sebagai aparat penegak

hukum. Komponen kultur (Culture of legal system) terdiri dari seperangkat nilai-nilai

dan sikap-sikap yang berkaitan dengan hukum. Substansi hukum merupakan materi

hukum yang disusun dengan mempertimbangkan berbagai dimensi, seperti budaya, adat

istiadat, ajaran agama, ekonomi, politik dan kondisi masyarakat.65

63
Rosjidi Ranggawidjaja, 1998, Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia, Penerbit
Mandar Maju, Cetakan I, Bandung, hlm. 43 – 47.
64
Lawrence M. Friedman, “American Law: as an Intruduction” dalam Jurnal Keadilan Vol. 2,
No. 1 Tahun 2002, hlm. 48; Lawrence M. Friedman, “American Law: An Intruduction, (Hukum
Amerika) Sebuah Pengantar, Penerjemah: Whisnu Basuki, 2001, Tatanusa, Jakarta, hlm. 6-8.
65
Satjipto Rahardjo, 1986, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, hlm. 82-84

35
Berkenaan dengan hirarkhi norma, Hans Kelsen dalam Stufentheorie (jenjang

hukum) berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang- jenjang dan berlapis-

lapis dalam suatu hierarki (tata susunan) dalam arti suatu norma yang lebih tinggi

berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian

seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan

bersifat hipotetis dan fiktif, yaitu norma dasar (Grundnorm).

Norma dasar merupakan norma tertinggi dalam suatu sistem norma tersebut tidak

lagi dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi norma dasar itu

ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai norma dasar yang merupakan

gantungan bagi norma-norma yang berada di bawahnya, sehingga suatu norma

dasar itu dikatakan pre-supposed66

c. Teori Tujuan Hukum Islam (Maqashidus Syariah)

Meskipun Al-Qur’an adalah kebenaran abadi, namun penafsirannya tidaklah

abadi. Penafsiran selalu bersifat relatif. Perkembangan historis berbagai mazhab

fiqih merupakan bukti positif relativitas fiqh. Fiqh yang kita kenal sekarang

merupakan rekayasa cerdas pemikiran ulama abad pertengahan yang isinya,

antara lain mencakup tiga komponen dasar, yaitu masalah i’tiqadiyah (membahas

hubungan transendental manusia dengan Tuhan). ‘amaliyah (membahas hubungan

manusia dengan sesamanya, makhluk lain dan alam semesta), yang kemudian

berkembang menjadi ilmu syariah dalam arti sempit atau ilmu fiqh. Khuluqiyah

(membahas hubungan tingkah laku dan moral manusia dalam kehidupan dan

beragama)67.

66
Maria Farida Indrati Soeprapto, 2010, Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi, dan
Materi Muatan, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 41.
67
Suparman Usman, 2001, Hukum Islam, Asas-asas dan Pengantar Studi Islam dalam Tata Hukum
Indonesia, Gaya Media Pratama, Jakarta, hlm. 40-41, Suparman membagi Hukum syariah dalam arti sempit
kepada dua yaitu hukum hukum ibadat dalam arti khusus (fikih ibadat) dan hukum muamalat dalam arti luas
(Fikih Muamalat)

36
Perlu dipahami bahwa seorang faqih atau mufassir, seobyektif apapun dia, akan

sulit melepaskan diri dari pengaruh budaya, hukum dan tradisi yang berkembang

pada masa atau lingkungan di mana dia hidup. Karena itulah, pembukuan

pendapat-pendapat fiqh dalam suatu masyarakat yang bias gender tentu akan

melahirkan kitab-kitab fiqh yang memuat pandangan-pandangan keagamaan yang

tidak ramah terhadap perempuan (missoginis), yang menyebabkan tujuan dari

Hukum Islam sebagai rahmatan lil alamin sering terabaikan.

Istilah maqashid al-Syari’ah secara etimologi terdiri atas dua kata, yaitu

maqashid dan syari’ah. Kata maqashid merupakan bentuk jamak dari kata maqshid

yang berarti tujuan, arah terminal terakhir, tempat yang dituju 68. Sedangkan kata

syari’ah secara etimologi adalah jalan menuju sumber air. Jalan menuju sumber air ini

dapat pula dikatakan sebagai jalan ke arah sumber pokok kehidupan 69. Di dalam ayat

al-Qur’an terdapat istilah syari’ah diantaranya seperti di dalam Al Quran Surat (Q.S)

al-Jatsiyah ayat 18 yang berbunyi :

َ ‫ ْع أَ ْه‬ZZِ‫ا َوال تَتَّب‬ZZَ‫ر فَاتَّبِ ْعه‬ZZ


َ ‫وا َء الَّ ِذ‬ZZ
‫ين ال‬ َ َ‫ثُ َّم َج َع ْلن‬
ِ ‫ ِري َع ٍة ِم َن األ ْم‬ZZ‫اك َعلَى َش‬ZZ
َ ‫يَ ْعلَ ُم‬
‫ون‬
Artinya:
Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan

(agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu

orang-orang yang tidak mengetahui

Dalam hal ini, agama yang ditetapkan Allah untuk manusia disebut syari’ah,

dalam artian etimologi, karena umat Islam selalu melaluinya dalam kehidupannya di

dunia. Kesamaan syari’ah Islam dengan jalan air adalah dari segi bahwa siapa yang

68
Atabik Ali, dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, Multi Karya
Grafika, Yogyakarta, tanpa tahun, hlm. 93
69
Asafri Jaya Bakri, 1996, Konsep Maqashid Syari’ah Menurut Al- Syatibi, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hlm. 61

37
mengikuti syari’ah ia akan mengalir dan bersih jiwanya. Allah menjadikan air sebagai

penyebab kehidupan tumbuh-tumbuhan dan hewan sebagaimana Dia menjadikan

syari’ah sebagai penyebab kehidupan jiwa insani70. Syari’at menurut Yusuf Al-Qardhawi

adalah hukum yang ditetapkan oleh Allah bagi hamba-Nya tentang urusan agama. Atau

hukum agama yang ditetapkan dan diperintahkan oleh Allah, baik berupa ibadah (shaum,

shalat, haji, zakat, dan seluruh amal kebaikan) atau muamalah yang menggerakkan

kehidupan manusia (jual beli, nikah)71.

Dalam rangka menghadapi persoalan-persoalan fikih kontemporer, pengetahuan

tentang maqashid al-syari’ah mutlak diperlukan guna memahami hakikat dan

peranannya dalam hukum.

Adapun pengertian maqashid al-syari’ah secara etimologi berarti maksud dan

tujuan disyari’atkannya hukum dalam Islam Pengertian maqashid syari’ah secara

terminologi sebagaimana dikemukakan oleh Wahbah al-Zuhaili bahwa Masqahid al-

Syari’ah adalah memahami makna-makna dan tujuan-tujuan yang telah digariskan oleh

syar’i pada hukum-hukumnya dan keutamaannya. Atau tujuan-tujuan syari’at serta

rahasia-rahasia hukum yang telah ditetapkan oleh Allah pada setiap hukumnya. 72.

Kemudian Satria Effendi, dan M. Zein mengemukakan bahwa maqashid syari’ah

adalah tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum-hukum Islam. 73 Teori

maqashid syari’ah ini dikemukakan oleh Abi Ishaq al-Syathibi. Ajaran maqashid

syari’ah al-Syatibi, menurut Muhammad Khalid Mas’ud adalah upaya memantapkan

maslahat sebagai unsur penting dari tujuan-tujuan hukum 74. Agaknya tidak berlebihan

70
Amir Syarifuddin, 2005, Ushul Fiqh, Jilid. I. Logos Wacana Ilmu, Jakarta, hlm.1
71
Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqih Maqashid Syari’ah Moderasi Islam antara Aliran Tekstual dan Aliran
Liberal, Penerjemah H. Arif Munandar Riswanto, 2007, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, hlm. 12
72
Yurna Bachtiar dan Ahmad Azhar Basyir, 2000, Pembaruan Pemikiran Hukum Islam di Indonesia,
Quantum, Jakarta, hlm. 39
73
Satria Effendi, dan M. Zein, 2008, Ushul Fiqh, Kencana, Jakarta, hlm. 223.
74
Muhammad Khalid Mas’ud, dalam Ishaq,2014, Studi Perbandingan Tindak Pidana Zina Antara
UU Hukum Pidana Dengan Hukum Pidana Islam Dalam Upaya Memberikan Kontribusi Bagi Pembaruan
hukum Pidana Indonesia, Disertasi, Program Pasca Sarjana Universitas Andalas, padang, hlm.63

38
jika Wael B. Hallaq mengemukakan bahwa maqashid al-syari’ah al-Syatibi berupaya

mengekspresikan penekanan terhadap hubungan kandungan hukum Tuhan dengan

aspirasi hukum yang manusiawi75.

Dapat dikatakan bahwa kandungan teori maqashid al-Syari’ah adalah

kemaslahatan. Kemaslahatan itu ukurannya mengacu kepada doktrin Ushul Fiqh yang

dikenal dengan istilah kulliyat al-khams (universalitas yang lima) dan al-dharuriyat al-

khams (lima macam kepentingan vital), yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta76.

Untuk memelihara kelima pokok tersebut di atas, maka syari’ah diturunkan.

Setiap ayat hukum jika diteliti akan ditemukan alasan pembentukannya yang tidak lain

adalah untuk memelihara lima kepentingan pokok (al-dharuriyat al khams) tersebut.

Karena tanpa terpeliharanya lima kepentingan pokok ini, maka tidak akan tercapai

kehidupan manusia yang sempurna. Kemudian masing-masing dari kelima pokok

tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Memelihara agama (Hifzh al-Din).

Pemeliharaan agama merupakan tujuan pertama hukum Islam. Dikarenakan

agama merupakan pedoman hidup manusia. Agama merupakan suatu yang harus dimiliki

oleh manusia supaya martabatnya dapat terangkat lebih tinggi dari martabat makhluk

yang lain, dan juga untuk memenuhi hajat jiwanya. Untuk mewujudkan dan memelihara

agama, Islam mensyariátkan iman dan hukum pokok ajaran dasar Islam, seperti shalat,

puasa, zakat, dan haji77 Allah SWT menyuruh manusia untuk berjihad di jalan Allah

sebagaimana ditegaskan dalam Q.S At-Taubah ayat 41 yang berbunyi :

75
Ibid.
76
Wahbah Az -Zuhaili, Konsep Darurat Dalam Islam Studi Banding Dengan Hukum Positif,
Penerjemah, Said Agil Husain al-Munawar, dan M. Hadri Hasan, 1997, gaya Media Pratama, Jakarta, , hlm.
51.
77
Alaiddin Koto, 2004, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih (Suau Pengantar), Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hlm. 122.

39
ِ ِ‫ب‬Z ‫ ُك ْم ِفي َس‬Z ‫ا ْنفِرُوا ِخفَافًا َوثِقَاال َو َجا ِه ُدوا بِأ َ ْم َوالِ ُك ْم َوأَ ْنفُ ِس‬
‫ ٌر‬Z‫يل هَّللا ِ َذلِ ُك ْم َخ ْي‬
َ ‫لَ ُك ْم إِ ْن ُك ْنتُ ْم تَ ْعلَ ُم‬
‫ون‬
Artinya:
Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan atau pun merasa berat, dan
berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah
lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

Oleh karena itu, hukum Islam wajib melindungi agama yang dianut oleh

seseorang dan menjamin kemerdekaan setiap orang untuk beribadah menurut

keyakinannya. Sehingga Islam melarang menyebarkan aliran sesat dan atau

melecehkan/penistaan ajaran agama

2. Memelihara jiwa (Hifzh al-Nafs),

Pemeliharaan jiwa merupakan tujuan kedua hukum Islam. Dalam hal ini hak

pertama dan paling utama yang diperhatikan Islam adalah hak hidup, hak yang disucikan

dan tidak boleh dihancurkan kemuliaannya78 Manusia juga perlu berupaya dengan

melakukan segala sesuatu yang memungkinkan untuk meningkatkan kualitas hidup. Oleh

karena itu segala usaha yang mengarah pada pemeliharaan jiwa itu adalah perbuatan

baik, karenanya disuruh Allah SWT untuk melakukannya. Sebaliknya, segala sesuatu

yang dapat menghilangkan atau merusak jiwa adalah perbuatan buruk yang dilarang oleh

Allah SWT. Mengharamkan menghilangkan jiwa diri sendiri maupun orang lain tanpa

alasan yang benar. Dalam hal ini Allah SWT melarang membunuh tanpa hak (aborsi),

sebagaimana firman-Nya dalam Q.S Al-Án ám ayat 151, yang berbunyi:

‫ ِه لَ َعلَّ ُك ْم‬Z ِ‫ا ُك ْم ب‬Z ‫ص‬


َّ ‫ق َذلِ ُك ْم َو‬ ْ Zِ‫ َّر َم هَّللا ُ إِال ب‬Z‫س الَّتِي َح‬
ِّ ‫ال َح‬Z َ ‫وا النَّ ْف‬ZZُ‫َوال تَ ْقتُل‬
َ ُ‫تَ ْعقِل‬
‫ون‬
Artinya:

Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid al- Syariáh fi al- Islami, Penerjemah Khikmawati
78

Kuwais, 2009, Cetakan pertama, Amzah, Jakarta, hlm. 22.

40
Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya)

melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar demikian itu yang diperintahkan

oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami (nya).

3. Memelihara akal (Hifzh al-‘Aql)

Pemeliharaan akal sangat dipentingkan oleh hukum Islam, karena akal merupakan

sumber hikmah atau pengetahuan, sinar hidayah, dan media kebahagiaan manusia di

dunia dan di akhirat. Tanpa akal, manusia tidak mungkin pula menjadi pelaku dan

pelaksana hukum Islam. Oleh karena itu, pemeliharaan akal menjadi salah satu tujuan

hukum Islam. Dengan demikian manusia dilarang berbuat sesuatu yang dapat

menghilangkan atau merusak akal, seperti penggunaan narkotika dan zat psikotropika

lainnya. Dalam hal ini Amir Syarifuddin mengemukakan bahwa segala perbuatan yang

mengarah pada kerusakan akal adalah perbuatan buruk; karenanya dilarang syara’ 79. Oleh

karena itu Allah SWT mensyari’atkan peraturan untuk manusia guna memelihara akal

yang sangat penting dan mengharamkan meminum minuman memabukkan dan segala

bentuk makanan, minuman yang dapat mengganggu akal. Hal ini telah diijelaskan di

dalam al-Qurán Surat al-Maidah ayat 90, yang berbunyi:

َ ‫ين آ َمنُوا إِنَّ َما ْال َخ ْم ُر َو ْال َمي ِْس ُر َواأل ْن‬
ْ ‫صابُ َو‬
ٌ‫األزال ُم ِرجْ س‬ َ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذ‬
َ ‫ان فَاجْ تَنِبُوهُ لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِح‬
‫ُون‬ ِ َ‫ِم ْن َع َم ِل ال َّش ْيط‬

Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,

(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk

perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat

keberuntungan.

79
Amir Syarifuddin, 2001, Ushul Fiqh Jilid 2, Cet. Kedua, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, hlm. 211.

41
Jika ketentuan ini tidak diindahkan, maka akan berakibat terancamnya eksistensi

akal80. Jadi penggunaan akal harus diarahkan pada sesuatu yang bermanfaat bagi

kepentingan hidup manusia dan tidak untuk hal-hal yang dapat merugikan kehidupan.

4. Memelihara keturunan (Hifzh al-Nasl)

Memelihara keturunan, seperti disyari’atkan nikah dan dilarang berzina. Kalau

kegiatan ini diabaikan, maka eksistensi keturunan akan terancam81. Oleh karena itu Islam

berupaya memelihara keturunan, Islam mengatur pernikahan dan mengharamkan atau

melarang berbuat zina, menetapkan siapa-siapa yang tidak boleh dikawini, bagaimana

cara-cara perkawinan itu dilakukan dan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi, sehingga

perkawinan itu dianggap sah dan percampuran antara lelaki dengan perempuan itu tidak

dianggap zina dan anak-anak yang lahir dari hubungan tersebut dianggap sah dan

menjadi keturunan sah dari ayahnya. Abdul Ghafur Ansori juga mengemukakan bahwa

Islam melarang menikah dan berhubungan kelamin dengan muhrimnya82. Apabila

kegiatan ini diabaikan, maka eksistensi keturunan akan terancam83.

5. Memelihara harta (Hifzh al- Mal).

Harta merupakan salah satu kebutuhan inti dalam kehidupan, dimana manusia

tidak akan bisa terpisah darinya. Manusia termotivasi untuk mencari harta demi menjaga

eksistensinya. Islam mensyaratkan kewajiban berusaha untuk memperoleh rizki 84,

kebebasan bermuamalah, pertukaran, perdagangan dan kerja sama dalam usaha Dalam

rangka memelihara harta Islam melarang penipuan, riba, serta melarang mengambil

harta orang lain dengan cara yang tidak sah, seperti mencuri. Allah SWT menetapkan

80
M Fathurrahman Djamil, 1997, Filsafat Hukum Islam Bagian Pertama, Logos Wacana Ilmu,
Jakarta, hlm. 129.
81
Mardani, 2010, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, hlm. 23.
82
Abdul Ghofur Anshori, 2006, Filsafat Hukum Sejarah, Aliran Dan Pemaknaan, (Yogyakarta :
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hlm. 105
83
Miftahul Huda, 2006, filsafat Hukum Islam Menggali Hakikat Sumber dan Tujuan Hukum Islam,
STAIN Ponorogo Press, hlm. 129
84
Abdul Ghofur Anshori, Op.Cit, hlm. 106.

42
hukuman potong tangan bagi pelaku pencurian. Hal ini dijelaskan di dalam Q.S. Al-

Maidah ayat 38, yaitu :

ُ ‫اال ِم َن هَّللا ِ َوهَّللا‬ZZ‫بَا نَ َك‬Z‫ا َك َس‬ZZ‫ َزا ًء بِ َم‬Z‫َّارقَةُ فَا ْقطَعُوا أَ ْي ِديَهُ َما َج‬
ِ ‫ق َوالس‬ ُ ‫َّار‬
ِ ‫َوالس‬
‫َع ِزي ٌز َح ِكي ٌم‬
Artinya:
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai
siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana

Teori maqashid syari'ah hanya dapat dilaksanakan oleh pihak pemerintah dan

masyarakat yang mengetahui dan memahami bahwa yang menciptakan manusia adalah

Allah SWT. Demikian juga yang menciptakan hukum-hukum yang termuat di dalam

Alqur’an adalah Allah SWT. Berkenaan pemikiran tersebut, akan muncul kesadaran

bahwa Allah SWT yang paling mengetahui tentang hukum yang dibutuhkan oleh

manusia, baik yang berhubungan dengan kehidupannya di dunia maupun di akhirat.

Kesadaran hukum pihak pemerintah dan masyarakat tersebut, akan melahirkan

keyakinan untuk menerapkan hukum Allah SWT, jika menginginkan terwujudnya

kemaslahatan bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu, pembaruan penafsiran

merupakan keniscayaan. Akan tetapi, pembaruan penafsiran harus tetap mengacu kepada

sumber-sumber hukum Islam utama, yakni Al-Qur`an dan Sunnah.

Berangkat dari teori Maqashid al-Syari`ah ini, Ibnu Muqaffa`

mengklasifikasikan ayat-ayat Al-Qur`an ke dalam dua kategori: ayat ushuliyah

yang bersifat universal dan ayat furu`iyah yang bersifat partikular karena

menjelaskan hal-hal yang spesifik Sayangnya umat Islam lebih banyak terjebak pada

implementasi ayat-ayat furu’iyah, dan mengabaikan ayat-ayat universal, tidak heran

jika penampilan umat Islam sering terkesan kaku, eksklusif, dan tidak ramah, terutama

kepada perempuan85. Bertitik tolak dari kerangka teoritis inilah penulisan ini
85
I

43
dilakukan.

2. Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual berisikan penjelasan tentaang hal-hal yang

berkenaan dengan konsep yang digunakan dalam penelitian ini. Konsep adalah suatu

bagian yang terpenting dalam perumusan suatu teori. Peranan konsep dalam penelitian

adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi (generalisasi)

dan realitas.

Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang

digeneralisasikan dalam hal-hal yang khusus yang disebut dengan definisi operasional.

Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian

antara penafsiran mendua dari suatu istilah yang dipakai. Berdasarkan tujuan

penelitian, maka variabel dari penelitian ini adalah: konsep keadilan perspektif

gender dan konsep qanun

a. Konsep Keadilan Perspektif Gender

Mengenai konsep keadilan, Cicero86 mengatakan tidaklah mungkin

mengingkari karakter hukum sebagai hukum yang tidak adil, sebab hukum seharusnya

adil. Keadilan merupakan persoalan yang fundamental dalam hukum87. Menurut

Miceli88 dan Minton89. keadilan harus diformulasikan pada tiga tingkatan, yaitu

kram, Op. Cit. hlm.199, ayat ushuliyah, bersifat universal karena menerangkan nilai-nilai utama
dalam Islam dan ayat furu`iyah yang bersifat partikular karena menjelaskan hal-hal yang spesifik. Contoh
kategori pertama adalah ayat-ayat yang berbicara soal keadilan, sedangkan kategori kedua adalah ayat-ayat
yang mengulas soal uqubat (bentuk-bentuk hukuman), dan hudud (bentuk-bentuk sanksi), serta ayat-
ayat yang berisi ketentuan perkawinan, waris, dan transaksi sosial.
86
Cicero, dalam Dominikus Rato, 2010, Filsafat Hukum Mencari, Menemukan dan Memahami
Hukum, LaksBang Yusticia, Yogyakarta, hlm. 59
87
Mustaqhfirin, Sistem Hukum Barat, Sistem Hukum Adat, Sistem Hukum Islam
Dalam Perspektif Filsafat Hukum Dan Sistem Hukum Islam Menuju Sebagai Sistem Hukum Nasional
Sebuah Ide Yang Harmoni, Makalah, Disampaikan pada pertemuan Nasional BKSPTIS di UNISBA
Bandung, 18 Oktober 2011
88
Miceli, M.P., Jung, dalam Yanis Rinaldi, Penerapan Asas Keadilan Dalam Pengaturan
Pengelolaan Sumber Daya Alam Dalam kerangka Pembangunan Berkelanjutan di Aceh, Disertasi, Program
Pasca sarjana Universitas Andalas Padang, 2015, hlm. 68
89
ibid.

44
outcome, prosedur, dan sistem.

Menurut Sudikno Mertokusumo, hakikat keadilan adalah penilaian terhadap

suatu perlakukan atau tindakan dengan mengkajinya dengan suatu norma yang menurut

pandangannya subyektif (subyektif untuk kepentingan kelompoknya, golongannya, dan

sebagainya) melebihi norma-norma lain.90 Keadilan hanya bisa dipahami jika ia

diposisikan sebagai keadaan yang hendak diwujudkan oleh hukum. Upaya untuk

mewujudkan keadilan dalam hukum merupakan proses yang dinamis yang memakan

banyak waktu. Upaya ini seringkali juga didominasi oleh kekuatan-kekuatan yang

bertarung dalam kerangka umum tatanan politik untuk mengaktualisasikannya91.

Dalam tataran hukum Indonesia, pandangan keadilan bersumber pada dasar

negara. Pancasila sebagai dasar negara atau falsafah negara (filosofische grondslag)

tetap dipertahankan. Secara aksiologis, bangsa Indonesia merupakan pendukung nilai-

nilai Pancasila (subscriber of values Pancasila). Adil menurut konsepsi hukum nasional

yang bersumber pada Pancasila, yakni:92

1) adil ialah meletakkan sesuatu pada tempatnya.


2) adil ialah menerima hak tanpa lebih dan memberikan orang lain tanpa
kurang.
3) adil ialah memberikan hak setiap yang berhak secara lengkap tanpa lebih
tanpa kurang antara sesama yang berhak dalam keadaan yang sama, dan
penghukuman orang jahat atau yang melanggar hukum, sesuai dengan
kesalahan dan pelanggaran

Konsep keadilan terus berkembang, terkait dengan masalah gender maka

muncullah konsep keadilan perspektif gender.

Gender sering diidentikkan dengan jenis kelamin (sex), padahal gender berbeda

dengan jenis kelamin. Gender sering juga dipahami sebagai pemberian dari Tuhan atau

kodrat Ilahi, padahal gender tidak semata-mata demikian. Secara etimologis kata gender

berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin93 Kata ‘gender’ bisa diartikan
90
Sudikno Mertokusumo, 1999, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta,hlm. 65.
91
Carl Joachim Friedrich, Op.Cit., hlm. 239
92
Kahar Masyhur, 1985, Membina Moral dan Akhlaq, Kalam Mulia, Jakarta, hlm.71
93
John M. Echols dan Hassan Shadily, 1983, Kamus Inggris Indonesia, Gramedia Jakarta, Cet. XII.,
hlm. 265.

45
sebagai ‘perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dalam hal nilai

dan perilaku94, pembedaan laki-laki dan perempuan itu dilihat dari konstruksi sosial

budaya. Lebih tegas lagi disebutkan dalam Women’s Studies Encyclopedia

sebagaimana dikutip oleh Musdah Mulia, bahwa gender adalah suatu konsep kultural

yang dipakai untuk membedakan peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional

antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat95. Gender

memiliki kedudukan yang penting dalam kehidupan seseorang dan dapat

menentukan pengalaman hidup yang akan ditempuhnya. Gender dapat menentukan

akses seseorang terhadap pendidikan, dunia kerja, dan sektor-sektor publik lainnya96.

Gender juga dapat menentukan kesehatan, harapan hidup, dan kebebasan gerak

seseorang. Jelasnya, gender akan menentukan hubungan dan kemampuan

seseorang untuk membuat keputusan dan bertindak secara otonom97.

Menurut konsep gender sesuatu itu dikatakan berkeadilan apabila salah satu

jenis kelamin tdiak dirugikan, salah satu jenis kelamin tdiak dibedakan derajatnya, salah

satu jenis kelamin tdiak dianggap tidak mampu, salah satu jenis kelamin tdiak

diperlakukan lebih rendah, dan salah satu jenis kelamin tdiak mengalami perlakuan tidak

adil karena jenis kelaminnya sehingga tidak bisa mendapatkan akses, partisipasi, kontrol

dan manfaat yang sama dalam penggunaan sumber daya dan pembangunan.

b. Konsep Qanun

Kanun atau qanun berasal dari bahasa Yunani, masuk menjadi bahasa Arab

melalui bahasa Suryani, yang berarti alat pengukur, kemudian diartikan sebagai

94
Victoria Neufeldt (ed.), 1984 , Webster’s New World Dictionary. New York, Webster’s New
World Clevenland., hlm. 56, dalam, Ratna Tiharita Setiawardhani. “Peran Perempuan dalam Perspektif Islam
Konteks Kekinian” dalam INSANCITA: Journal of Islamic Studies in Indonesia and Southeast Asia, Vol.1,
February, Minda Masagi Press, Bandung, 2016, hlm.17
95.
Siti Musdah Mulia, 2004, Islam Menggugat Poligami. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Cet. I.
hlm. 4
96
Nasaruddin Umar, 1999, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Qur’an. Cet 1, Paramadina
Jakarta, hlm. 34
97
Ibid

46
“kaidah.” Dalam bahasa Arab kata kerjanya qanna yang artinya membuat hukum (to

make law, to legislate), atau membuat undang-undang (to legislate). Kemudian qanun

diartikan sebagai hukum (law), peraturan (rule, regulation), undang-undang (statute,

code).98 Dalam bahasa Inggris, qanun disebut canon, yang antara lain, sinonim artinya

dengan peraturan (regulation, rule atau ordinance), hukum (law), norma (norm),

undang-undang (statute atau code), dan peraturan dasar (basic rule).99 Pada sumber

yang lain dikatakan, bahwa kanon berasal dari kata Yunani Kuno, yang berarti buluh.

Karena pemakaian “buluh” dalam kehidupan sehari-hari pada zaman itu adalah untuk

mengukur, maka kanon juga berarti sebatang tongkat/kayu pengukur atau penggaris.100

Sebutan qanun atau al-qanun tertuju pada hukum yang dibuat oleh

manusia atau disebut juga hukum konvensional. Abdul Kareem menyebutkan, hukum

konvensional/al qanun al wadh’iy adalah hukum yang dihasilkan oleh (kehendak)

manusia, sebagai lawan dari hukum yang bersumber dari tuhan/al qawaaniin/al syara’i

al Ilahiyyah. Namun dalam perkembangannya mengarah pada hukum yang sedang

berlaku di suatu negara pada waktu tertentu, atau menunjuk pada makna hukum
101
positif . Dalam perkembangannya penggunaan kata qanun, menurut Subhi

Mahmassani, 102 memiliki 3 (tiga) makna:

1. Kumpulan peraturan-peraturan hukum atau undang-undang (kitab undang-

undang). Istilah ini antara lain, digunakan untuk menyebut Kanun Pidana

Usmani (KUH Pidana Turki Usmani), Kanun Perdata Libanon (KUH Perdata
98
A. Qadri Azizy, 2004, Eklektisisme Hukum Nasional, Kompetisi Antara Hukum Islam dan
Hukum Umum, Gama Media, Yogyakarta, , hlm. 57-58.
99
Ahmad Sukardja dan Mujar Ibnu Syarif, 2012, Tiga Kategori Hukum: Syariat, Fikih, dan
Kanun, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 120
100
Dalam Mohd. Din, Op.Cit, hlm. 12.

101
Ibid.
102
Dalam Ahmad Sukardja dan Mujar Ibnu Syarif, Op.Cit, hlm. 122

47
Libanon), dan lain-lain

2. Sinonim bagi kata hukum, sehingga istilah ilmu kanun sama artinya dengan ilmu

hukum. Karena itu, kanun Inggris misalnya, sama artinya dengan hukum

Inggris, kanun Islam sama dengan hukum Islam dan lain-lain;

3. Sinonim bagi kata undang-undang.

Perbedaan pengertian yang ketiga ini dengan yang pertama adalah bahwa

yang pertama itu lebih umum dan mencakup banyak hal. Sedangkan yang

ketiga ini khusus untuk permasalahan tertentu saja, misalnya, kanun

perkawinan sama artinya dengan undang-undang perkawinan. Kanun dalam

pengertian ini biasanya hanya mengenai hukum yang berkaitan dengan mu’amalat,

bukan ibadah, dan mempunyai kekuatan hukum yang pelaksanaannya tergantung

negara. Sebagai contoh penerapan otonomi khusus di Aceh yang salah satu

kekhususannya adalah penerapan syariat Islam. Syariat islam di Aceh di laksanakan

dalam peraturan daerah (qanun) yang ditetapkan oleh Pemerintah Aceh dan Dewan

Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Perda syariah (qanun) ini sangat berbeda dengan

peraturan-peraturan lainnya, selain proses pembuatannya yang mengikutsertakan

ulama-ulama, dasar pembentukannya juga berbeda103. Hukum-hukum yang umum

(kulliyah) yang menjadi nash-nash hukum di dalam  Syari’at Islam itu adalah sebagai

“qawa’id ‘ammah” (aturan umum) untuk menyusun UU Islam. Atas dasar qawa’id

‘ammah inilah  Syari’at Islam berjalan dengan memberikan mandat yang sepenuhnya

kepada “Uli al-Amr” (Raja atau Pemerintah) untuk melaksanakan hukum-hukum

tersebut dengan mengikuti saluran dasar dan nash-nash yang telah ditentukan di

103
Husni Jalil, artikel: Implementasi Syariat Islam Berdasarkan Otonomi khusus Aceh Dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia https://regafelix.wordpress.com/2011/12/15/eksistensi-perda-syariah-
dalam-sistem-hukum-nasional/ terakhir di akses pada 20 Februari 2016, pukul 11.30 Wib

48
dalam  Syari’at Islam melalui al-Qur’an dan Sunnah yang menjadi sumber utama

pembentukan hukum104.

Berdasarkan Pasal 1 angka 21 UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang

Pemerintahan Aceh, qanun adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan

daerah yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat di

Provinsi Aceh. Qanun Aceh, yang berlaku di seluruh wilayah Provinsi Aceh. Qanun

Aceh disahkan oleh Gubernur setelah mendapat persetujuan dengan Dewan

Perwakilan Rakyat Aceh. Qanun Kabupaten/Kota, yang berlaku di kabupaten/kota

tersebut. Qanun kabupaten/kota disahkan oleh bupati/wali kota setelah mendapat

persetujuan bersama dengan DPRK (Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten atau

Dewan Perwakilan Rakyat Kota). Masukan substansi  Syari’at Islam sebagai bahan

pembuatan qanun berasal dari Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU),    sebagai

badan normatif yang memiliki kedudukan sebagai mitra sejajar dengan Pemerintahan

Aceh105. Masukan pertimbangan dan saran   oleh MPU ditujukan terhadap kebijakan

daerah, agar kebijakan  yang dikeluarkan Pemerintahan Aceh tidak menyimpang dari

prinsip-prinsip utama Syariat yaitu al adalah (keadilan), al musawa (persamaan) al

musyawarah (musyawarah).

G. Metode Penelitian

1. Tipe penelitian

S
orjono Soekanto berpendapat bahwa penelitian yang berkaitan dengan

asas-asas hukum atau kaedah-kaedah hukum termasuk dalam kategori penelitian

104
ibid.
105
. Ibid.

49
hukum normatif. 106
dan berada dalam tataran filsafat hukum.107 Penelitian

hukum normatif adalah penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai

sebuah bangunan sisten norma. Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai

asas- asas, norma, kaidah dari peraturan perundangan, putusan pengadilan,

perjanjian serta doktrin (ajaran).108

Oleh karena penelitian ini melakukan perkajian terhadap penerapan asas

keadilan perspektif gender dalam penyusunan qanun di Aceh, maka penelitian ini

dapat dikatagorikan sebagai penelitian hukum normatif (legal research).

Penelitian hukum normatif ini dilakukan (terutama) terhadap bahan hukum

primer, sekunder dan tersier, sepanjang mengandung kaidah-kaidah hukum.109

2. Jenis pendekatan

P
enelitian tentang penerapan asas keadilan perspektif gender dalam qanun di

Aceh merupakan penelitian hukum normatif, karena itu pendekatan yang

digunakan adalah pendekatan undang-undang (statute approach). 110 Dalam

pendekatan ini, yang dilakukan adalah mengungkapkan kenyataan secara

sistematis dan konsisten terhadap substansi yang dikandung oleh berbagai

peraturan perundang-undangan dalam hal ini terkait juga qanun di provinsi Aceh.

Untuk dapat mengungkapkan ada atau tidaknya norma keadilan perspektif gender

maka dilakukan juga dengan menggunakan pendekatan historis. Perlunya

menggunakan pendekatan historis dalam penelitian ini didasarkan pada

pandangan Sunaryati Hartono, yang mengatakan bahwa apabila meneliti sejarah


106
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2010, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
Rajawali Pers, Jakarta, hlm.62.
107
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, hlm. 77.
108
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 34.
109
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op.Cit, hlm. 62
110
C.F.G. Sunaryati Hartono, 2006, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20,
Alumni, Bandung, , hlm. 142

50
norma hukum, metode yang digunakan adalah metode metode historis.111

Pendekatan historis dilakukan untuk memahami perubahan dan perkembangan

filosofi yang melandasi aturan hukum, pendekatan historis juga dipakai untuk

mengadakan identifikasi terhadap tahap-tahap perkembangan hukum, khususnya

perkembangan perundang-undangan.

3. Cara pengumpulan bahan hukum

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum

doktrinal. Sumber-sumber data yang digunakan dalam penelitian hukum

normatif adalah hanya data sekunder,112 sehingga biasanya disebut sebagai bahan

hukum saja, maka pengumpulan bahan hukumnya dilakukan melalui kajian

kepustakaan (library research). Adapun bahan hukum yang dikumpulkan

melalui kajian pustaka meliputi:

a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang secara langsung berkaitan

dengan pengaturan tentang keadilan gender dalam hukum. Adapun bahan

hukum primer yang berkaitan langsung tersebut meliputi:

1) UUD 1945

2) UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi CEDAW

3) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

4) UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh

5) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan

6) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

111
Ibid., hlm. 144-145
112
Soejono dan Abdurrahman, 2005, Metode Penelitian, Suatu Pemikiran dan Penerapan,
Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 56. Bagi penelitian hukum normatif, bahan-bahan primer terdiri atas
undang-undang dasar, dan berbagai dokumen resmi yang memuat ketentuan hukum

51
7) UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

8) Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2009 tentang Pemberdayaan dan Perlindungan

Perempuan

9) Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pembentukan

Qanun

10) Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2010 tentang Kesehatan

11) Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2015 tentang perubahan Qanun Nomor 11

Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan

Disamping peraturan perundang-undangan bahan hukum primer yang diteliti

dalam penelitian ini adalah konvensi-konvensi yang terkait dengan obyek penelitian

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan terhadap bahan

hukum primer. Adapun bahan hukum sekunder tersebut meliputi; buku-buku

teks, hasil penelitian sebelumnya, makalah, artikel, jurnal dan dokumen lain

yang berkaitan dengan objek penelitian. Bahan hukum sekunder ini dijadikan

sebagai petunjuk dalam melaksanakan penelitian.113

c. Bahan non hukum yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk terhadap

bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Adapun bahan non hukum

tersebut antara lain kamus, ensiklopedia, majalah hukum dan sebagainya.

Upaya untuk mendapatkan bahan hukum primer, sekunder dan non hukum

ini dilakukan dengan penelusuran baik secara konvensional maupun dengan

teknologi elektronik (situs internet). Penelusuran secara konvensional

dilakukan dengan mendatangi perpustakaan dan instansi yang terkait dengan objek

penelitian ini, sedangkan penelusuran dengan teknologi elektronik dilakukan

dengan mengunduh berbagai situs internet yang ada kaitannya dengan

pengaturan hukum bidang keadilan, gender dan hukum Islam


113
Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit., hlm. 155

52
4. Analisis bahan hukum

Analisis diartikan sebagai suatu proses penguraian secara sistematis dan

konsisten terhadap gejala-gejala tertentu.114 Analisis yang dimaksudkan di sini

adalah analisis terhadap bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan

bahan non hukum. Mengingat penelitian ini termasuk dalam katagori penelitian

hukum normatif, maka analisis bahan hukum tersebut dilakukan dengan analisis

normatif kualitatif.115 Fokus dalam analisis normatif kualitatif ini adalah pada

kajian yang berkaitan dengan muatan substansi (materi) peraturan perundang-

undangan (qanun) kesehatan, pendidikan dan ketenagakerjaan

Fokus kajian muatan qanun ini akan dikaitkan dengan hukum yang sedang

berlaku dan hukum yang pernah berlaku. Hasil dari analisis kualitatif ini nantinya

akan dideskripsikan dalam bentuk pemaparan pemikiran teoritik. Pemikiran teoritik

yang dimaksudkan di sini adalah pemikiran yang berkaitan keadilan perspektif

gender serta tujuan syariat Islam itu sendiri (Maqasidus Syariah).

H. Sistematika Penulisan

Disertasi ini ditulis dalam 6 (enam) bab. Bab I merupakan pendahuluan

yang terdiri dari latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan

manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian, Landasan teoritis dan kerangka

konseptual, metode penelitian, keaslian penelitian serta sistematika penulisan.

Bab II merupakan tinjauan pustaka. Tentang Keadilan Perspektif Gender

Pembentukan Hukum, dalam bab ini akan di bahas tentang definisi gender,

kesetaraan dan keadilan gender, hukum berkeadilan gender, teori-teori feminis,

perjuangan untuk kesetaran dan keadilan gender, Pengarusutamaan gender (PUG) ,

Affirmative action ,

114
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op.Cit, hlm. 63
115
Soejono dan Abdurrahman, Op.Cit, hal 56.

53
Bab III merupakan hasil penelitian dan pembahasan dari permasalahan

pertama yaitu perspektif gender dalam peraturan perundang-undangan. Dalam bab

ini akan di bahas tentang, asas-asas dalam pembentukan peraturan perundang-

undangan tujuan dan materi muatan peraturan perundang-undangan, prinsip

kesetaraan dan keadilan gender dalam CEDAW. Indikator kesetaraan dan keadilan

gender dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Pengintegrasian

kesetaraan dan keadilan gender dalam pembentukan peraturan perundang-undangan

Bab IV merupakan hasil penelitian dan pembahasan dari permasalahan kedua

yaitu perspektif keadilan gender dan kedudukan perempuan dalam Islam. Dalam bab

ini akan dibahas tentang perempuan dan hukum, keadilan dalam hukum Islam,

keadilan perpektif gender dalam pandangan Islam, Feminis Muslim dan pemikiran

untuk kesetaraan dan keadilan, otonomi khusus dan penerapan syariat Islam di Aceh

Bab V merupakan hasil penelitian dan pembahasan dari permasalahan ketiga

yaitu Penjabaran prinsip keadilan perspektif gender pada qanun di Aceh. Dalam bab

ini akan dibahas tentang, pengertian qanun, gambaran umum dan penjabaran asas

keadilan perspektif gender dalam Qanun Pendidikan di Aceh, gambaran umum dan

penjabaran asas keadilan perspektif gender dalam Qanun Kesehatan di Aceh

Diakhiri dengan Bab VI sebagai Penutup. Bab ini berisikan kesimpulan dan

saran. Pada bagian kesimpulan akan disampaikan hasil temuan dari penelitian ini,

berupa rumusan perspektif gender dalam peraturan perundang-undangan, Perspektif

keadilan gender dan kedudukan perempuan dalam Islam dan Penjabaran prinsip

keadilan perspektif gender dalam qanun di Aceh. Sedangkan pada bagian saran akan

diberikan beberapa saran terkait penerapan asas keadilan perspektif gender dalam

54
muatan qanun-qanun di Aceh

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
KEADILAN PERSPEKTIF GENDER DALAM PEMBENTUKAN HUKUM

A. Defenisi Gender

55
Sejak dua dasawarsa terakhir, kata gender memasuki bahasan dalam berbagai

seminar, diskusi maupun tulisan di seputar perubahan sosial dan pembangunan dunia

ketiga termasuk di Indonesia. Istilah gender lazim dipergunakan dikantor

Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan instansi dibawahnya. Sekalipun

demikian kebanyakan orang masih belum memahami gender dengan pemahaman

yang benar, sebab dalam kamus bahasa Indonesia antara gender dengan seks belum

mempunyai perbedaan pengertian yang transparan.

Studi mengenai gender memiliki akar pada antropologi feminis dan untuk

alasan inilah istilah gender sering disalah pahami sebagai konsep ekslusif feminis.

Studi gender pada dasarnya memperhatikan kontruksi budaya dari dua makhluk hidup

laki-laki dan perempuan. Mereka menguji perbedaan dan persamaan pengalaman serta

interprestasi keduanya dalam berbagai konteks, mengambil artian fundamental atas

persepsi mereka terhadap berbagai jenis hubungan sosial116. Gender sering diartikan

dan atau dipertentangkan dengan seks, yang secara biologis di definisikan dalam

kategori laki-laki dan perempuan. Secara awam keduanya bisa diterjemahkan sebagi

jenis kelamin, namun konotasi keduanya beda.

Seks secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki

dan perempuan dari segi anatomi biologi. Artinya, istilah tersebut lebih banyak

berkonsentrasi pada aspek biologi seseorang, meliputi perbedaan komposisi kimia dan

hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi, dan karakteristik biologis lainnya.

Pengertian sex merupakan penafsiran atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang

ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu, dengan (alat)

tanda-tanda tertentu pula. Alat-alat tersebut selalu melekat pada manusia selamanya,

tidak dapat dipertukarkan, bersifat permanen, dan dapat dikenali semenjak manusia

116
Dimitra Gefou, 2008, dalam Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, edisi kedua, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hlm. 391

56
lahir. Itulah yang disebut dengan ketentuan Tuhan atau kodrat. Dari sini melahirkan

istilah identitas jenis kelamin117.

Di sisi lain istilah gender lebih berkonsentrasi kepada aspek sosial budaya,

psikologis, dan aspek-aspek non biologis lainnya 118, sementara itu, pengertian gender

sebagaimana diungkapkan oleh Mansour Fakih adalah suatu sifat yang melekat pada

kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural,

misalnya, perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, dan keibuan,

sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa119. Sifat-sifat

tersebut sebenarnya dapat dipertukarkan, artinya ada laki-laki yang memiliki sifat

emosional, lemah lembut, dan keibuan dan ada juga perempuan yang kuat, rasional,

dan perkasa. Jadi seks bersifat kodrati, dan gender bersifat non kodrati. Gender dalam

arti tersebut mengidentifikasikan laki-laki dan perempuan dari sudut nonbiologis.

Jadi, istilah gender digunakan berbeda dengan sex. Gender digunakan untuk

mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial-budaya.

Sementara sex digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan

dari segi anatomi biologi. Istilah sex lebih banyak berkonsentrasi pada aspek biologi

seseorang, meliputi perbedaan komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi

fisik, reproduksi, dan karakteristik biologis lainnya. Sementara itu, gender lebih

banyak berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya, psikologis, dan aspek-aspek

non-biologis lainnya.120 Perbedaan tersebut melahirkan pemisahan fungsi dan

tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki bertugas mengurusi urusan

luar rumah dan perempuan bertugas mengurusi urusan dalam rumah yang

dikenal sebagai masyarakat pemburu (hunter) dan peramu (gatherer) dalam

117
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender... Op.Cit., hlm. 35.
118
ibid.
119
Mansour Fakih, 1997, Analisis Gender... Op.Cit., hlm.9
120
Nasaruddin Umar, Loc.Cit.

57
masyarakat tradisional dan sektor publik dan sektor domestik dalam masyarakat

modern. Perbedaan gender (gender differences) pada proses berikutnya melahirkan

peran gender (gender role) dan dianggap tidak menimbulkan masalah, maka tak

pernah digugat. Akan tetapi yang menjadi masalah dan perlu digugat adalah struktur

ketidakadilan yang ditimbulkan oleh peran gender dan perbedaan gender121.

Gender melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan, dikonstruksi secara

sosial maupun kultural, sehingga perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik,

emosional dan keibuan. Sementara laki-laki harus kuat, rasional, jantan perkasa.

Padahal ciri dari sifat itu merupakan sifat-sifat yang dapat dimiliki oleh kedua belah

fihak. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, dan keibuan. Sementara

itu juga, ada perempuan yang kuat, rasional dan perkasa. Perbedaan gender (gender

differences) antara manusia laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang

panjang.

Proses selanjutnya perbedaan gender dianggap suatu ketentuan Tuhan yang

tidak dapat diubah sehingga perbedaan tersebut dianggap kodrati. Perubahan ciri dari

sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain.

Dari sini melahirkan istilah identitas gender. Penggunaan istilah gender dalam makna

tersebut mulai sering digunakan di awal tahun 1977, ketika sekelompok feminis

di London tidak lagi memakai isu-isu lama seperti patriarchal atau sexist, tetapi

menggantinya dengan wacana gender (gender discourse)122. Istilah pemaknaan gender

saat ini dapat dibedakan menjadi beberapa pengertian123, yakni:

1. Gender sebagai istilah asing dengan makna tertentu

121
Nur Ahmad Fadhil Lubis, 2003, Yurisprudensi Emansipatif: Cita Pustaka Media, Bandung,
hlm. 47 .
122
Nasaruddin Umar, Op.Cit, hlm.34
123
Heddy Shri Ahimsa dalam Mufidah, 2004, Paradigma Gender, Bayumedia Publishing, Malang, ,
hlm. 4-7

58
Pada konteks ini sering terjadi perbedaan persepsi karena gender berasal

dari bahasa asing yang sulit dicari padan katanya. Berbeda dengan kata demokrasi,

politik, ekonomi dan sebagainya mudah untuk diterima karena tidak menimbulkan

dampak pada terusiknya status dan peran laki-laki yang sejak semula telah

diunggulkan oleh konstruksi budaya. Sehingga pendefinisian kata gender selalu di

perbandingakan dengan kata sex. Perbedaan manusia berdasar jenis kelamin (sex)

dikenal sebagai sexual differentiation, pembedaan seksual. Sedang “gender”

sebagai istilah adalah hasil atau akibat dari pembedaan atas dasar jenis kelamin

tersebut. Sehingga tidak heran ketika perempuan sendiri sering menolak “gender”

karena dianggap melampaui tatanan kehidupan dalam masyarakat.

Sebagai sebuah istilah, pada akhirnya muncul berbagai definisi gender

yang di berikan oleh para pemerhati gender sebagaimana tersebut diatas,

Berdasarkan lampiran Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2000

tentang Pedoman Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional

menyatakan bahwa yang dimaksud dengan gender adalah konsep yang mengacu

pada peran-peran dan tanggungjawab laki-laki dan perempuan yang terjadi akibat

dari dapat berubah oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat.

Sedangkan Kementrian Pemberdayaan Perempuan memberikan definisi

gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam peran, fungsi,hak,

tanggung jawab, dan perilaku yang dibentuk oleh tata nilai sosial, budaya dan

59
adat istiadat dari kelompok masyarakat yang dapat berubah menurut waktu

serta kondisi setempat. Tanggung jawab dan perilaku yang dibentuk oleh tata nilai

sosial, budaya dan adat istiadat dari kelompok masyarakat yang dapat berubah

menurut waktu serta kondisi setempat124.

2.   Gender sebagai fenomena sosial-budaya

Gender sebagai fenomena sosial berarti sebab akibat atau implikasi sosial

(kemasyarakatan) yang muncul dalam masyarakat karena pembedaan yang

didasarkan pada perbedaan jenis kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan. Akibat-

akibat sosial ini bisa berupa pembagian kerja, sistem penggajian, proses sosialisasi

dan sebagainya. Gender sebagai fenomena budaya berarti akibat-akibat atau

implikasi dalam budaya (yaitu pada pola dan isi pemikiran) yang muncul dalam

masyarakat karena adanya klasifikasi dualistis yang didasarkan pada perbedaan

antara laki dan perempuan125. Sehingga dikenal adanya budaya pathriarki, yang

menempatkan laki-laki pada posisi dominan dalam segala hal.

3.  Gender sebagai kesadaran sosial

Gender juga perlu dipahami sebagai kesadaran sosial. Setiap orang yang

mengetahui ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan tidak selalu menyadari

bahwa hal itu merupakan sesuatu yang bersifat sosial maupun kultural. Gender

sebagai kesadaran sosial adalah kesadaran di kalangan warga masyarakat bahwa


124
Herien Puspitawati, makalah Kesetaraan Gender Bidang pendidikan, Disampaikan pada
Rapat Koordinasi PUG di Banda Aceh, Kamis, 22 Maret 2012
125
Hamim Ilyas dkk, 2008, Perempuan Tertindas? Kajian Hadis-Hadis Misoginis, Elsaq
Press, Cet III , Yogyakarta, hlm. 11-12

60
hal-hal yang berasal atau diturunkan dari pembedaan antara laki-laki dan

perempuan adalah hal-hal yang bersifat sosial budaya atau merupakan sesuatu yang

dibentuk oleh tatanan. Disini warga masyarakat mulai menyadari bahwa

pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan misalnya bukanlah sesuatu yang

alami, atau yang telah ditakdirkan, yang diterima begitu saja, tetapi merupakan

produk sejarah adaptasi atau karena hubungan masyarakat dengan lingkungan. Dari

sinilah kemudian muncul gerakan-gerakan yang membela kepentingan kelompok

yang tertinggal.

4  Gender sebagai persoalan sosial budaya

Pembedaan laki-laki dan perempuan bukan merupakan masalah bagi

kebanyakan orang, tetapi pembedaan ini menjadi masalah ketika menghasilkan

ketidaksetaraan, dimana laki-laki memperoleh dan menikmati kedudukan yang

lebih baik dan menguntungkan daripada perempuan. Jadi yang menjadi persoalan

bukan hanya perbedaan laki-laki dan perempuan. Lebih jauh, pembedaan laki-laki

dan perempuan telah menjadi landasan ketidaksetaraan tersebut, karena masyarakat

memandang perempuan lebih rendah dari pada laki-laki. Gender sebagai persoalan

sosial-budaya adalah ketidaksetaraan gender yang menghasilkan berbagai bentuk

ketidakadilan dan penindasan berdasar jenis kelamin, dan perempuan merupakan

pihak yang lebih rentan sebagai korban. Semuanya ini merupakan kenyataan yang

dibentuk oleh tatanan sosial, budaya dan sejarah, karena itu sebenarnya dapat dan

61
perlu dirubah. Perubahan ini tentu saja tidak mudah, karena untuk dapat

melakukannya diperlukan analisis serta penarikan kesimpulan yang tepat. Disinilah

gender sebagai alat analisis menjadi penting peranannya.

5.  Gender sebagai sebuah konsep untuk analisis

Dalam ilmu sosial, defisini gender tidak lepas dari asumsi-asumsi dasar

yang ada pada sebuah paradigma, dimana konsep analisis merupakan salah satu

komponennya. Asumsi-asumsi dasar itu umumnya, merupakan pandangan-

pandangan filosofis dan juga ideologis, yang menjadi persoalan, definisi mana

yang akan digunakan, misalnya, konsep gender didefinisikan sebagai hasil atau

akibat dari pembedaan atas dasar jenis kelamin atau yang lainnya, sesuai dengan

paradigma yang digunakan dalam penelitian. Gender sebagai konsep untuk

analisis merupakan gender yang digunakan oleh seorang ilmuwan dalam

mempelajari gender sebagai fenomena sosial budaya. Sehingga kemudian

memunculkan berbagai tehnik analisis gender untuk dijadikan alat atau pisau

analisis berbagai issue gender yang biasanya digunakan sebagai langkah awal

dalam rangka menyusun kebijakan program dan kegiatan yang responsif gender.

62
Ada beberapa model teknik analisis gender yang pernah dikembangkan

oleh para Ahli, antara lain126: Model Harvard127, Model Moser128, Model

SWOT129, Model GAP130, Model ProBA131. dan beberapa model lainnya.

6.   Gender sebagai sebuah perspektif untuk memandang suatu realitas gerakan

Dalam term ini, gender menjadi sebuah paradigma atau kerangka teori

lengkap dengan asumsi dasar, model, dan konsep-konsepnya. Seorang peneliti

menggunakan ideologi gender untuk mengungkap pembagian peran atas dasar

jenis kelamin serta implikasi-implikasi sosial budayanya, termasuk ketidakadilan

yang ditimbulkannya. Penelitian yang dilakukan dengan perspektif gender akan

menonjolkan aspek kesetaraan dan keadilan dan kadang-kadang menjadi bias

perempuan, karena kenyataan menuntut demikian. Misalnya apakah kategori-

kategori dalam kehidupan dimasyarakat menimbulkan ketidakadilan gender,

bagian-bagian mana saja, dan pihak mana yang lebih diuntungkan Dalam hal ini,

peneliti dituntut untuk memiliki sensitivitas gender yang baik.


126
Kementrian Pemberdayaan Perempuan , 2005, Bahan Pembelajaran Pengarusutamaan Gender,
Jakarta, hlm.98
127
Kerangka analisis Harvard, dikembangkan oleh Harvard Institute for International Development
bekerjasama dengan kantor Women In Development (WID) – USAID, metode ini didasarkan pendekatan
efisiensi WID yang merupakan kerangka analisis gender dan Perencanaan gender yang paling awal, ibid. hlm.
99
128
Teknik analisis model Moser didasarkan pada pendapat bahwaperencanaan gender bersifat teknis
dan politis, kerangka ini mengasumsikan adanya konflik dalam proses perencanaan dan proses transformasi
serta mencirikan perencanaan sebagai suatu debat, ibid. hlm. 100
129
Teknik ini merupakan suatu teknik analisis manajemen dengan cara mengidentifikasi secara
internal mengenai kekuatan (Strengthen) dan kelemahan (Weakness) dan secara eksternal mengenai peluang
(Opportunity) dan ancaman (Threat), ibid. hlm. 104
130
Model GAP adalah metode analisis untuk mengetahui kesenjangan gender dengan melihat aspek
akses, peran, manfaat dan kontrol, yang diperoleh laki-laki dan perempuan dalam program-program
pembangunan yang menjadii pokok bahasan, mulai dari aspek kebijakan sampai dengan monitoring dan
evaluasi. ibid. hlm. 107
131
Adalah tehnik analisis berbasis masalah, merupakan rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk
menetapkan/merumuskan masalah gender yang terjadi di tiap instansi atau wilayah, . ibid. hlm. 109

63
Berdasarkan definisi-definisi tersebut, tidak ada suatu kalimat yang

dapat memberikan gambaran secara utuh makna kata gender, karena sangat

tergantung dari sudut pandang mana gender itu akan dibahas, sehingga di

Indonesia kata gender tetap dipakai sebagaimana aslinya karena dianggap tidak

ada padanan kata yang sesuai yang bisa memberikan makna yang utuh. Walaupu

demikian studi gender lebih menekankan perkembangan aspek maskulinitas

(masculinity atau rujuliyah) dan feminitas (feminity atau nisa’iyah),

sedangkan studi seks lebih menitikberatkan pada perkembangan aspek biologis

dan komposisi kimia dalam tubuh laki-laki (maleness atau dzukuriyah) dan

perempuan (femaleness atau umutsah)132. Karena gender mengacu pada

perilaku dan harapan yang dipelajari secara sosial yang membedakan antara

maskulinitas dan feminitas. Anggapan bahwa laki-laki lebih diistimewakan

daripada perempuan di mana kualitas maskulinitas (rasionalitas, ambisi, dan

kekuasaan) diberikan nilai lebih daripada kualitas feminitas (emosionalitas,

kapasitas, dan kelemahan). Perspektif ini menyebabkan posisi perempuan

yang rendah dalam sistem ekonomi dan politik, gender juga menganalisis hal

yang cenderung menyebabkan hierarki gender133. Sehingga gerakan kesetaraan

dan keadilan gender menginginkan adanya pengakuan terhadap kontribusi

perempuan dalam berbagai aspek yang dianggap hanya milik laki-laki. Hal ini

132
Ibid., hlm. 35-36.
133
Jackson, R., & Sorensen, G, Pengantar Studi Hubungan Internasional, 2005, terjemahan D.
Suryadipura, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 332-333.

64
menyebabkan bertambahnya aktor dari yang semula hanya didominasi oleh kaum

lelaki, kemudian menjadi semakin plural dengan adanya campur tangan

perempuan di dalamnya.

Untuk memperjelas konsep seks dan gender, ada baiknya melihat

pendapat Unger134 sebagaimana di kutip oleh Handayani yang mengemukakan

beberapa perbedaan:

1) Sumber pembeda

Seks bersumber dari Tuhan (kodrati), sedangkan sumber pembeda

gender adalah manusia (masyarakat).

2) Visi dan misi

Visi dan misi seks adalah kesetaraan dan keadilan, sedangkan visi dan misi

gender adalah kebiasaan.

3) Unsur pembeda

Unsur pembeda seks adalah alat reproduksi (biologis), sedangkan unsur

pembeda gender adalah kebudayaan (tingkah laku).

4) Sifat

Seks bersifat kodrat, tertentu dan tidak dapat dipertukarkan. Sedangkan

gender bersifat harkat, martabat dan dapat dipertukarkan.

5) Dampak

Seks membawa dampak berupa terciptanya nilai-nilai kesempurnaan,

kenikmatan, kedamaian dan sebagainya, sehingga menguntungkan

kedua belah pihak. Sedangkan gender membawa dampak terciptanya

ketentuan tentang “pantas” atau “tidak pantas”, misalnya laki-laki pantas


134
Handayani Trisakti dan Sugiarti, 2006, Konsep dan Teknik Penelitian Gender, Edisi
Revisi, Cetakan Kedua, UMM Press, Malang, hlm. 6

65
menjadi pemimpin dan perempuan pantas dipimpin. Sehingga sering

merugikan salah satu pihak, yaitu perempuan.

6) Keberlakuan

Seks berlaku sepanjang masa dan dimana saja, serta tidak mengenal

pembedaan kelas. Sedangkan gender dapat berubah, musiman dan berbeda

antar kelas.

B. Kesetaraan dan keadilan Gender

Berdasarkan ketentuan umum dalam lampiran Instruksi Presiden Republik

Indonesia Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pedoman Pengarusutamaan Gender dalam

Pembangunan Nasional, bahwa yang dimaksud dengan kesetaraan dan keadilan

gender adalah : kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh

kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia agar mampu berperan dan

berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan

keamanan nasional, dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut.

Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak

melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities), namun yang menjadi

persoalan ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik

bagi kaum laki-laki dan terutama bagi kaum perempuan. Ketidakadilan gender

merupakan sistem dan struktur di mana baik kaum laki-laki dan perempuan menjadi

korban dari sistem tersebut. Beberapa teori mengenai kesetaraan dan keadilan peran

laki-laki dan perempuan yang umumnya dikemukakan oleh para feminis

kontemporer didasarkan pada pertanyaan mendasar tentang apa sebenarnya peran

perempuan.

Secara esensial ada empat sudut pandang yang menjadi dasar untuk

66
menjawab pertanyaan tersebut. Pertama, bahwa posisi dan pengalaman perempuan

dari kebanyakan situasi berbeda dari yang dialami laki-laki dalam situasi itu.

Kedua, posisi perempuan dalam kebanyakan situasi tak hanya berbeda, tetapi juga

kurang menguntungkan atau tak setara dibandingkan dengan laki-laki. Ketiga,

bahwa situasi perempuan harus pula dipahami dari sudut hubungan kekuasaan

langsung antara laki-laki dan perempuan. Perempuan ditindas, dalam arti dikekang,

disubordinasikan, dibentuk, dan digunakan, serta disalahgunakan oleh laki-laki.

Keempat perempuan mengalami perbedaan, ketimpangan dan berbagai penindasan

berdasarkan posisi total mereka dalam susunan stratifikasi atau faktor penindasan

dan hak istimewa berdasar kelas, ras, etnisitas, umur, status perkawinan, dan posisi

global135.

Perjuangan kesetaraan hak oleh kaum perempuan terkadang menimbulkan bias,

misalnya terhadap lembaga perkawinan. Lebih lanjut menurut Ritzer dan Goodman

di sebuah masyarakat akan terdapat dua bentuk lembaga perkawinan: Pertama,

perkawinan yang di dalamnya laki-laki berpegang pada keyakinan tentang adanya

ketidakleluasaan dan beban tanggung jawab meski memperoleh apa-apa yang

ditetapkan norma seperti wewenang, kebebasan, dan hak untuk mendapatkan

pemeliharaan, pelayanan kasih sayang dan seksual dari isteri. Kedua, perkawinan di

mana perempuan menguatkan keyakinan tentang pemenuhan meski secara normatif

mengalami ketidakberdayaan dan ketergantungan, suatu kewajiban untuk

memberikan pelayanan urusan rumah tangga, kasih sayang, dan seksual, dan

secara bertahap mengurangi kebebasan dimasa remaja sebelum kawin. 136 Sehingga

bagi pendukung Feminis Radikal menganggap lembaga perkawinan adalah

penyebab perermpuan kehilangan hak-haknya dan ketidakberdayaan.


135
George Ritzer and Douglas J. Goodman, Modern Sociological Theory, terjemahan
Alimandan, 2003, Teori Sosiologi Modern, Prenada Media , Jakarta, hlm. 414-416
136
Ibid, hlm. 424

67
Kesetaraan dan keadilan antara laki-laki dan perempuan dalam sebuah

keluarga, bukan berarti memposisikan laki-laki dan perempuan harus diperlakukan

sama. Memperlakukan laki-laki dan perempuan secara sama dalam semua keadaan

justru menimbulkan bias jender. Memperlakukan sama antara laki-laki dan

perempuan dalam kerja rumah tangga pada satu keadaan, misalnya, suami juga

berkewajiban mengurus anaknya, sama halnya istri mempunyai kewajiban

mengurus anaknya. Artinya kewajiban mengurus anak tidak mutlak menjadi

kewajiban istri semata, tetapi merupakan kewajiban bersama.

Sementara itu pemikiran Islam tradisional yang direfleksikan oleh kitab-kitab

fiqh secara general memberikan keterbatasan peran perempuan sebagai istri dan ibu.

Menurut pemikiran Islam tradisional tersebut bahwa prinsip utamanya adalah bahwa

laki-laki adalah kepala keluarga dan bertanggung jawab terhadap persoalan-

persoalan luar rumah, sedangkan perempuan sebagai istri, bertanggung jawab untuk

membesarkan anak dan pelayanan-pelayanan domestik lainnya. Perbedaan ini

menjadi titik tolak ukur dari perbedaan peran laki-laki dan perempuan yang

didukung pula dengan keterangan dalam Q.S. An-nisa ayat 34, yang artinya: Laki-

laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan

sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena

mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari sebagian harta mereka.

Tafsiran ayat tersebut tentunya menimbulkan penafsiran bahwa lelaki

merupakan pemimpin perempuan karena istrinya harus patuh pada suami dan suami

mempunyai hak untuk mendisiplinkan istri.137. Berdasarkan pandangan teks dan

literature Islam klasik tersebut masih terlihat bahwa kaum perempuan masih

termarjinalkan, atau dengan kata lain perempuan masih berada di bawah dominasi
137
Faisar Ananda Arfa, 2004, Wanita dalam Konsep Islam Modernis, Pustaka Firdaus, Jakarta,
hlm.11.

68
laki-laki. Oleh karenanya, wacana atau konstruk perempuan harus menurut kehendak

teks. Tak dapat dipungkiri bahwa penafsiran ulama-ulama klasik tentang konsep

persamaan laki-laki dan perempuan jika dilihat dari perspektif saat ini bisa saja

dinilai sebagai bias. Sebab penafsiran-penafsiran masa lampau itu tidak dapat

dilepaskan dengan konteks sosio-historis saat itu, karena adanya kewajiban bagi laki-

laki untuk memberikan nafkah keluarga menjadi penyebab superioritas

mendominasinya keputusan laki-laki dalam sebuah keluarga. Sebagai kepala

keluarga laki-lakilah penentu dan pemutus segala permasalahan yang berkaitan

dengan keluarga. Konsep penting yang perlu dipahami dalam rangka membahas

hubungan kaum kaum perempuan dan laki-laki adalah membedakan antara konsep

sex (jenis kelamin) dan konsep gender. Pemahaman dan pebedaan antara kedua

konsep tersebut sangat diperlukan dalam melakukan analisis untuk memahami

persoalan-persoalan ketidakadilan sosial yang menimpa kaum perempuan.

Pengungkapan masalah kaum perempuan dengan menggunakan analisis

gender sering menghadapi perlawanan (resistance), baik dari kalangan kaum laki-

laki ataupun kaum perempuan sendiri. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh, pertama,

mempertanyakan status kaum perempuan pada dasarnya adalah mempersoalkan

sistem dan struktur yang telah mapan, kedua, mendiskusikan soal gender berarti

membahas hubungan kekuasaan yang sifatnya sangat pribadi, yakni menyangkut dan

melibatkan individu kita masing.138. Oleh karena itu pemahaman atas konsep gender

sesungguhnya merupakan isu mendasar dalam rangka menjelaskan masalah

kesetaraan dan keadilan hubungan, kedudukan, peran dan tanggung jawab antara

kaum perempuan dan laki-laki. Hal ini disebabkan karena ada kaitan yang erat

antara perbedaan gender (gender differences) dan ketidakadilan gender (gender

138
Mansour Fakih, Op, Cit., hlm. 5-6

69
inequalities) dengan struktur ketidakadilan masyarakat secara luas. Pemahaman atas

konsep gender sangatlah diperlukan mengingat dari konsep ini telah melahirkan

beberapa teori untuk memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender

Istilah keadilan senantiasa dipertentangkan dengan istilah ketidakadilan,

dimana ada konsep keadilan maka disitu pun ada konsep ketidakadilan. Biasanya

keduanya disandingkan dan dalam konteks kajian hukum, ada banyak contoh

ketidakadilan yang merupakan antithese dari keadilan, dalam bidang hukum misalnya

di Indonesia, seperti : ketidakadilan dalam kasus Poso, ketidakaadilan terhadap rakyat

kecil, ketidakadilan dalam kasus Prita, ketidakadilan pemberitaan di media,

ketidakadilan pembagian Bantuan Langsung Tunai (BLT), ketidakadilan gender

dalam masyarakat di daerah, ketidakadilan dalam pemecahan masalah hukum, dan

sebagainya. Bahkan Susanto membahas sesuatu yang tidak biasa dalam memaknai

keadilan, yang terkait dengan substansi yang ada di dalamnya bahwa keadilan akan

dibenturkan dengan keraguan dan ketidakadilan, sesungguhnya keadilan tidak akan

berdaya tanpa ketidakadilan dan keraguan139.

Dalam perkembangan pemikiran filsafat hukum dan teori hukum, tentu

tidak lepas dari konsep keadilan. Konsep keadilan tindak menjadi monopoli pemikiran

satu orang ahli saja. Banyak  para pakar dari berbegai didiplin ilmu memberikan

jawaban apa itu keadilan. Plato, Aristoteles, Thomas Aquinas, John Rawls, R.

Nozick dan Posner adalah sebagian nama yang memberikan jawaban tentang konsep

keadilan. Ukuran mengenai keadilan seringkali ditafsirkan berbeda-beda. Keadilan

itu sendiri pun berdimensi banyak, dalam berbagai bidang, misalnya ekonomi,

maupun hukum. Dewasa ini, berbicara mengenai keadilan merupakan hal yang

senantiasa dijadikan topik utama dalam setiap penyelesaian masalah yang


139
Inge Dwisvimiar, Keadilan Dalam Perspektif Filsafat Ilmu Hukum, Jurnal Dinamika Hukum,
universitas Jenderal Soedirman, Volume 11 No. 3, 2011, hlm. 503

70
berhubungan dengan penegakan hukum. Sampai saat ini barangkali tidak ada

seruan yang lebih lantang daripada seruan keadilan dan tidak ada gerakan yang lebih

berani dilakukan daripada gerakan melawan ketidakadilan.

Bicara tentang keadilan, mirip cerita gajah yang diteliti oleh para orang

buta, setiap peneliti merasakan bagian yang berbeda, sehingga masing-masing

menggambarkan makhluk ini dengan cara yang berbeda-beda pula, begitu pula

dengan keadilan yang tak pernah bisa dikenali seluruhnya oleh deskripsi individual

manapun karena setiap individu hanya menawarkan sesuatu bagi pendefinisiannya.

Keadilan merupakan konsep yang abstrak sehingga susah untuk didefenisikan secara

komprehensif dan rinci tetapi cuma dapat dirasakan dan dilihat dampaknya secara

nyata140.

Menurut Soekanto141. ada dua kutub citra keadilan yang harus melekat pada

setiap tindakan yang hendak dikatakan sebagai perbuatan adil Pertama naminem

laedere, yakni jangan merugikan orang lain. Secara luas ini berarti bahwa apa yang

anda tidak ingin alami janganlah menyebabkan orang lain mengalaminya. Ini

merupakan sendi equality yang ditujuakan kepada umum sebagai asas dalam

pergaulan hidup. Kedua suum cuique tribuere artinya bertindaklah sebanding. Secara

luas ini berarti apa yang boleh anda dapat maka biarkanlah orang lain berusaha

mendapatkannya, ini merupakan sendi equity yang diarahkan pada penyamaan apa

yang tidak berbeda dan membedakan apa yang memang tidak sama.

Bagi kebanyakan orang, keadilan adalah prinsip umum bahwa individu-

individu seharusnya menerima apa yang sepantasnya mereka terima, sebagian

menyebutnya dengan istilah legal justice, atau keadilan hukum yang merujuk pada

140
Nurdin, “Konsep keadilan dan kedaulatan Dalam Perspektif Islam dan Barat, Media Syari’ah, Jurnal
Hukum Islam dan Pranata Sosial, Vol. XIII No. 1 Januari – Juni 2011, hlm. 21
141
Abdul ghofur Anshori, Filsafat Hukum Sejarah, ..., Op,Cit., hlm. 51

71
pelaksanaan hukum melalui prinsip-prinsip yang ditentukan dalam negara hukum 142.

Banyaknya kasus hukum yang tidak terselesaikan karena ditarik ke masalah politik.

Kebenaran hukum dan keadilan dimanipulasi dengan cara yang sistematik sehingga

peradilan tidak menemukan keadaan yang sebenarnya. Kebijaksanaan pemerintah

tidak mampu membawa hukum menjadi “panglima” dalam menentukan keadilan,

sebab hukum dikebiri oleh sekelompok orang yang mampu membelinya atau

orang yang memiliki kekuasaan yang lebih tinggi 143.

Akses terhadap keadilan, merupakan salah satu pemenuhan Hak Asasi

Manusia yang harus dirasakan manfaatnya oleh setiap warga negara dan merupakan

kewajiban negara untuk memenuhinya, namun,  diskriminasi dan hambatan pada

akses keadilan masih dialami oleh sebagian besar warga negara, salah satunya

dirasakan oleh kelompok perempuan, sehingga kemudian muncul kritik terhadap tata

hukum yang sudah ada.

Dalam studi gender pembedaan yang didasarkan pada jenis kelamin (sex)

seringkali dimaknai sebagai ketidakadilan gender, karena identitas gender tidak

semata-mata ditentukan oleh atribut biologis, sex atau jenis kelamin, tetapi atribut

biologis tersebut ternyata dapat melahirkan beban gender. Begitu seorang janin/bayi

diketahui atribut biologisnya yaitu sex atau jenis kelaminnya, maka sejak saat itu pula

terjadi konstruksi budaya terhadap janin atau bayi tersebut. Ada pembakuan peran

yang dilakukan oleh masyarakat tentang apa yang harus dilakukan atau tidak boleh

dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang semata-mata menurut masyarakat adalah

karena alasan keperempuanannya atau kelelakiannya. Pembakuan peran gender ini

142
Agus Santoso, 2012, Hukum, Moral dan Keadilan, Sebuah kajian Filsafat, Edisi pertama,
kencana, Jakarta, hlm. 85
143
Muchsan, 1985, Hukum Tata Pemerintahan, Penerbit Liberty, Yogyakarta, hlm. 42.
Bandingkan dengan M. Husni, “Moral dan Keadilan Sebagai Landasan Penegakan Hukum Yang
Responsif”, Jurnal Equality Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Vol. 11 (1) Februari 2006, hlm.
1-7

72
pada dasarnya sepanjang tidak menimbulkan ketidakadilan bukanlah merupakan suatu

persoalan. Hanya saja ketika pembakuan peran tersebut menimbulkan hilangnya

kesempatan dari salah satu pihak untuk mengembangkan diri, menentukan nilai-nilai

kehidupan dan harkat martabatnya sebagai manusia yang hakiki, maka hal tersebut

akan menimbulkan persoalan atau ketidakadilan.

Bentuk-bentuk ketidakadilan gender yang sering dikemukakan adalah144:

1. Pemiskinan (marginalisasi).

Prosese marjinalisasi yang menyebabkan kemiskinan banyak terjadi

dalam masyarakat di negara berkembang145, namun pemiskinan atas perempuan

maupun atas laki-laki yang disebabkan karena jenis kelaminnya adalah salah satu

bentuk ketidakadilan berbasis gender, pemiskinan ini dapat dilihat dari segi

ekonomi dengan adanya perbedaan upah bagi buruh laki-laki dan buruh

perempuan untuk pekerjaan yang sejenis, pemiskinan dalam hal peluang untuk

mendapatkan pendidikan, kecilnya peluang bagi perempuan untuk mendapatkan

pinjaman modal usaha di lembaga perbankan, dan lain-lain.

2. Penomorduaan (sub ordinasi)

Sub ordinasi pada dasarnya adalah keyakinan bahwa salah satu jenis

kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibandig jenis kelamin lainnya,

sudah sejak dulu sub ordinasi ini merupakan salah satu bentuk yang penempatan

perempuan di bawah kepemilikan/penguasaan laki-laki. Kondisi ini telah

menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting sehingga jika karena

kemampuannya ia bisa menempati posisi penting sebai pimpinan, maka

bawahannya yang berjenis kelamin laki-laki seringkali merasa tertekan, atau

144
Kementrian pemberdayaan Perempuan, 2005, Panduan dan Bunga Rampai Pengarusutamaan
Gender, Jakarta, , hlm. 35-37
145
Ibid. hlm. 35

73
membuat laki-laki merasa kurang laki-laki146. Perempuan sering dianggap sebagai

warga negara kelas dua sehingga fasilitas publik yang berhubungan dengan

kebutuhan dasar perempuan seringkali tidak tersediakan dengan baik, misalnya

kebutuhan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi, fasilitas umum

yang baik dan bersih, kesempatan untuk menjadi pemimpin, dan lain-lain. Sub

ordinasi perempuan terjadi dalam berbagai bentuk yang berbeda dari waktu ke

waktu dan dari tempat ke tempat147

3. Kekerasan (violence)

Kekerasan adalah suatu serangan terhadap fisik maupun integritas

mental psikologi seseorang148, oleh karena itu kekerasan dapat dibedakan menjadi

beberapa jenis, yaitu149:

a. Kekerasan fisik

Adalah bentuk kekerasan yang mengakibatkanrasa sakit atau yang

berpotensi menyebabkan jatuh sakit, luka-luka seperti: menampar, memukul,

menyundut dengan rokok, mencekik, dan lain-lain.

b. Kekerasan psikis

Merupakan perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, malu, sedih

hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak atau

mengambil keputusan, misalnya: memaki, merendahkan, mengancam,

menyepelekan, mengisolasi, dan lain-lain.

c. Kekerasan Seksual:

Yaitu tindakan yang meliputi pemaksaan hubungan seksual dan atau

posisi hubungan seksual tertentu dan pelecehan, perkosaan, pencabulan, tidak

146
Ibid, hlm. 36
147
Mansour Fakih, Op.Cit, hlm.14
148
Agnes Widanti, 2005, Hukum Berkeadilan jender, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hlm.176
149
Badan pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Aceh, 2013, Mengenal Kekerasan
Terhadap Perempuan Dan Anak Serta Mekanisme Penanganannya, BP3A, Banda Aceh, hlm.5

74
memberikan nafkah bathin, dan lain-lain. Termasuk juga dalam kekerasan

seksual yaitu eksploitasi seksual dalam prostitusi atau pornografi, pemaksaan

untuk melihat kegiatan seksual, Memperlihatkan kemaluan kepada anak untuk

tujuan stimulasi dan kepuasan seksual, incest dan sodomi150.

d. Kekerasan ekonomi:

Yaitu bentuk-bentuk perbuatan yang menciptakan proses

ketergantungan secara ekonomi dalam rumah tangga, tidak memberi nafkah,

melarang bekerja, memaksa untuk bekerja, tidak merawat dan memenuhi

kebutuhan dasar selaku penanggung jawab keluarga, dan lain-lain.

4. Beban berlebihan (dauble burden)

Yaitu beban kerja yang harus dijalankan oleh salah satu jenis kelamin

tertentu, dalam ruah tangga pada umumnya beberapa jenis kegiatan dilakukan

oleh laki-laki dan beberapa yang lain dilakukan perempuan, namun beban

berlebihan biasanya menimpa perempuan karena adanya pembakuan peran

gender bahwa tugas domestik merupakan tanggung jawab perempuan, sementara

tugas publik seringkali juga dilakukan oleh perempuan. Berbagai observasi

menunjukkan perempuan mengerjakan hampir 90% dari pekerjaan dalam rumah

tangga, sehingga bagi mereka yang juga bekerja di luar rumah, selain bekerja di

wilayah publik perempuan juga harus mengerjakan pekerjaan domestik151

5. Pelebelan (streotype)

Pemberian cap atau label kepada laki-laki maupun perempuan yang

berperilaku tidak sesuai dengan konsep yang dibangun oleh masyarakat. Misalnya

perempuan yang sering keluar malam dicap sebagai bukan perempuan baik-baik,

150
Ibid, hlm. 6
151
Kementrian Pemberdayaan Perempuan, Op.Cit. hlm. 38

75
laki-laki yang sering membantu menjaga anak dicap sebagai suami yang takut

pada istri. Bentuk-bentuk ketidakadilan gender ini dapat dikembangkan sesuai

dengan kepekaan kita dalam menilai sebuah ketidakadilan. Peluang untuk

timbulnya ketidakadilan gender erat kaitannya dengan konsep yang dibangun

oleh masyarakat untuk menggambarkan pola hubungan antara laki-laki dan

perempuan. Apabila konsep itu dibangun dengan ketidaksetaraan karena

berpegang pada budaya patriarkhi yang sangat mengagungkan laki-laki,

bersumber dari penafsiran-penafsiran agama yang bias dan hanya meniru pola-

pola hubungan yang selama ini sudah ada dalam masyarakat tanpa mengkritisi

atau mengkaji kembali apakah konsep tersebut masih sesuai atau tidak dengan

perkembangan dan kemajuan zaman yang secara nyata telah membawa pengaruh

besar dalam membuka ruang untuk berperan bagi laki-laki dan perempuan, maka

peluang terjadinya ketidakadilan gender semakin besar.

Mengutip tulisan Anthony Synnot152, pada awalnya, hanya ada laki-laki.

Perempuan adalah hasil kutukan Zeus yang marah pada para titan yang mencuri

api milik para dewa, lewat tokoh simbolik Pandora (perempuan pertama di

dunia), kaum hawa digambarkan sebagai sebuah “kejahatan, kutukan terburuk,

jebakan dan tak berpengharapan” dan sesuatu yang mematikan laki-laki. Zeus

membalas dendam sehingga perempuan dibuatnya menjadi penyebab keruntuhan

dunia. Hal yang hampir sama dinyatakan Plato dalam Timaeus-nya, yang juga

menceritakan perempuan sebagai sesuatu yang buruk, pada awalnya menurut

Plato, hanya ada laki-laki, perempuan merupakan jelmaan laki-laki yang

hidupnya jahat, menurut Plato jika laki-laki hidupnya baik maka setelah

meninggal ia akan berdiam dalam bintang tempatnya berasal yaitu suatu tempat

yang penuh dengan berkah dan kesukaan. Sebaliknya jika hidupnya jahat ia akan
152
Ibid.

76
berubah menjadi perempuan153. Jadi perempuan adalah laki-laki jahat yang telah

meninggal.

Beberapa pendapat para filsuf juga menempatkan perempuan pada posisi

yang sub ordinasi dan melemahkan, serta merendahkan perempuan. Gadis Arivia

menyimpulkan beberapa pendapat para filsuf laki-laki tentang perempuan dan

berdampak pada kehidupan perempuan154, sebagaimana tabel berikut:

Tabel.1
pendapat para filsuf laki-laki tentang perempuan dan berdampak pada kehidupan
perempuan
Nama Karya Konsep Manusia Perempuan dan Dampak pada
Filsuf Perempuan Bidang Publik Kehidupan
No Perempuan secara
Sosial/Masyarakat
1 Plato The Republic: Perempuan harus Tidak memiliki Perempuan tidak
The Dialogues diawasi seperti seni perang perlu mempunyai
of Plato ternak. Perempuan = akses pendidikan,
binatang terdifinisi sebagai
mesin produksi
anak.
2 Aristoteles Biologi De materi = perempuan Negara diatur Hak reproduksi
Generatione Bentuk = laki-laki seperti terpasung
Anemalium laki-laki = pemimpin manajement
perempuan = domestik: tuan
dipimpin, non rasio, dan budak.
defect male menekankan
relasi ini
3 Thomas Summa Defect male, bukan karena tidak
Aquinas Theologia ciptaan dari produksi sempurna lebih
pertama seperti baik berada di
halnya laki-laki yang bidang yang tidak
merupakan Produksi penting (privat)
pertama
4 Descrates Discourse on Bukan makhluk Tidak mampu
Method and rasional, tidak untuk bidang ilmu
Meditations on berepistimologi pengetahuan
first
Philosophy
5 Francis Of Marriage memiliki ciri buruk Menghalagi Tidak layak
Bacon and Single Life (suka korupsi) kesuksesan laki- menjabat di bidang
laki publik
6 John Maternity, Egaliter perempuan kesetaraan dan hak sama dengan
locke Paternity and berkuasa atas anak, keadilan laki-laki dalam
The origin of diciptakan sama mengasuh anak
political dengan laki-laki
Power. The
Second
Treatise of

153
Ibid.hlm. 86
154
Gadis Arivia, 2003, Filsafat Berperspektif Feminis, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta, hlm. 75-
76

77
Civil
Goverment
7 Jean A Discourse on meminggirkan tidak mempunyai
Jacques Political mereka dari hak sipil
Economy otoritas (decision
Rousseau making)
8 Immanuel observations Mempunyai Lemah dalam etika
Kant on the Feeling perasaan kuat
of the Beautiful tentang kecantikan,
and the keanggunan dan
sublime sebaginya. Kurang
dalam aspek
kognitif. Tidak dapat
memutuskan
tindakan moral
9 Arthur On Women Kekanak-kanakan, Tidak rasional, Tidak dapat
Scopenhauer sembrono, picik. tidak mampu berlaku adil
Makhluk inferior. memutuskan
Tidak memiliki rasa persoalan secara
keadilan. Tidak adil. Tidak
Obyektif. berbakat dalam
Berbohong estetika karena
kurang intelek
10 John The Subjection laki-laki dan kesetaraan dan diakui sebagai
Stuart of Women perempuan keadilan manusia yang
mempunyai hak mempunyai hak-
Mill sama hak sipil
11 Fredrich Thus Spake Lemah. Mentalitas Pencuri Mempunyai nilai
Nietzshe Zarathustra budak lebih rendah dari
laki-laki.
Kekerasan
terhadap
perempuan
12 Jean paul Being and Etre-en-soi Tidak dapat perempuan=esensi
Sartre Nothingness Sebagai pelampiasan “mengisi” lubang laki-laki=eksistensi
kekerasan
13 Gilles Anti-Oedipus “Menjadi” Subyek perempuan
Deluze Capitalism and tidak ada
Shzizophrenia
14 Jean Seduction Rayuan yang berada Perempuan sebagai
Baudrillard di Permukaan subyek bukan
obyek
Sumber : Gadis Arivia. Hlm. 75-76

Dari bagan diatas dapat dilihat bahwa adanya pemikiran-pemikiran filsuf

laki-laki sepanjang jaman yang juga merendahkan perempuan, karenanya tidak

mengherankan bila filsuf-filsuf perempuan kontemporer menuduh bahwa

sepanjang jaman telah ada siasat dari para filsuf laki-laki untuk menindas

perempuan. Para feminis menunjukkan bahwa sistem patriarkhal yang telah

dibangun jauh sebelum sistem filosofi yang mapan telah mempengaruhi

pemikiran sebagian besar filsuf-filsuf yang berpengaruh sepanjang jaman ini. Jika

78
kondisi ketidakadilan seperti ini terus berkembang, maka adalah sangat wajar jika

muncul keinginan untuk melakukan penataan ulang terhadap sendi-sendi

kehidupan manusia khususnya dalam membangun pola relasi antara laki-laki dan

perempuan yang lebih berkeadilan.

Memang tidak semua filsuf dapat dikatakan mempunyai pandangan yang

bias gender, pada kenyataannya ada beberapa filsuf yang melalui tulisan-

tulisannya memelopori soal kesetaraan dan keadilan gender. Bahkan menurut

pendapat Gadis, Plato termasuk seorang filsuf yang ambigu dalam

mendefinisikan perempuan. Disatu pihak bila ia mendefinisikan perempuan

sebagai kelompok (dalam karyanya Republic), maka ia cenderung

menstereotipkan perempuan sebagai makhluk inferior, dan karenanya tidak akan

mungkin mempunyai kualitas sebagai pemimpin. Dipihak lain bila Plato melihat

perempuan sebagai penjaga negara atau pemelihara keluarga, maka ia melihat

perempuan sebagai makhluk yang mempunyai jiwa mulia155 .

Bila perempuan sebelumnya sepanjang sejarah selalu didefinisikan oleh

laki-laki, maka akhir abad 19 dan memasuki abad 20, pergerakan-pergerakan

perempuan mulai mengental dan melahirkan serta mewariskan definisi yang baru.

Para feminis (baik laki-laki maupun perempuan) yang aktif bergerak untuk

memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender mencoba mendefinisikan

perempuan melalui pendekatan-pendekatan kesadaran feminis dan memunculkan

teori-teori. Para feminis berusaha menunjukkan bahwa sistem patriarkhal

mempunyai andil yang besar dalam menghambat kemajuan-kemajuan

perempuan.

Para pionir pejuang hak-hak perempuan mengemukakan bahwa berbagai

analisa ketertindasan perempuan selama ini dilakukan di luar ruang-ruang


155
Ibid, hlm. 29

79
akademis. Permasalahan penindasan terhadap perempuan dalam kaitannya

dengan soal seksualitas, keluarga kerja, hukum, politik, budaya dan seni sejauh

ini tidak dilakukan melalaui kajian atau studi tapi justru lewat sebuah perjuangan

gerakan perempuan156, salah satunya melalui pemikiran-pemikiran kritis yang

dikembangkan kemudian untuk memperjuangkan hak-hak mereka.

C. Hukum Berkeadilan Gender

Teori hukum feminis kritis yang dikembangkan dalam kajian feminis

jurisprudence mengatakan bahwa perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi

masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities),

namun yang menjadi persoalan ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai

ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki dan terutama bagi kaum perempuan.

Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur di mana baik kaum laki-laki

dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut. Ketidakadilan gender

termanifestasikan dalam pelbagai bentuk ketidakadilan yakni: marginalisasi atau

proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam

keputusan publik, pembentukan sterotipe atau melalui pelabelan negatif, kekerasan

(violence), beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (burden), serta sosialisasi

ideologi nilai peran gender.157 Dalam pergaulan sehari-hari dalam masyarakat

yang menganut perbedaan gender, ada nilai tatakrama dan norma hukum yang

membedakan peran laki-laki dan perempuan. Setiap orang seolah-olah dituntut

mempunyai perasaan gender (gender feeling) dalam pergaulan, sehingga jika

seseorang menyalahi nilai, norma dan perasaan tersebut maka yang bersangkutan

156
Ibid, hlm. 81
157
Ibid., hlm. 12.

80
akan menghadapi risiko di dalam masyarakat.

Predikat laki-laki dan perempuan dianggap sebagai simbol status. Laki-laki

diidentifikasi sebagai orang yang memiliki karekteristik kejantanan (masculinity),

sedangkan perempuan diidentifikasi sebagai orang yang memiliki karekteristik

kewanitaan (femininity). Perempuan dipersepsikan sebagai wanita cantik, langsing,

dan lembut, sebaliknya laki-laki dipersepsikan sebagai manusia perkasa, tegar dan

agresif. Dominasi laki-laki dalam masyarakat bukan hanya karena mereka

jantan, lebih dari itu karena mereka mempunyai banyak akses kepada

kekuasaan untuk memperoleh status. Mereka misalnya mengontrol lembaga-

lembaga legislatif, dominan di lembaga-lembaga hukum dan peradilan,

pemilik sumber-sumber produksi, menguasai organisasi keagamaan, organisasi

profesi dan lembaga-lembaga pendidikan tinggi. Sementara perempuan

ditempatkan pada posisi inferior. Peran mereka terbatas sehingga akses untuk

memperoleh kekuasaan juga terbatas, akibatnya perempuan mendapatkan status lebih

rendah dari laki-laki. Sebagai ibu atau sebagai istri mereka memperoleh kesempatan

yang terbatas untuk berkarya di luar rumah. Penghasilan mereka sangat tergantung

pada kerelaan laki-laki, meskipun bersama dengan anggota keluarganya merasakan

perlindungan yang diperoleh dari suaminya, hak-hak yang diperolehnya jauh

lebih terbatas daripada hak-hak yang dimiliki suaminya.158

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada dasarnya peran gender tidak

datang dan berdiri dengan sendirinya, melainkan terkait dengan identitas dan

berbagai karakteristik yang diasumsikan masyarakat kepada laki-laki dan

perempuan. Sebab terjadinya ketimpangan status antara laki-laki dan perempuan

lebih dari sekedar perbedaan fisik biologis tetapi segenap nilai sosial budaya yang

hidup dalam masyarakat turut memberikan andil.


158
Nasaruddin Umar, Op.Cit., hlm..75.

81
Menurut Budhy Munawar Rachman, terjadinya penindasan terhadap kaum

perempuan salah satunya disebabkan tema patriarkhi (kekuasaan kaum laki-laki),

yang hal ini menjadi agenda yang paling besar digugat oleh kaum feminisme Islam.

Karena patriarhki dari sudut feminisme dianggap sebagai asal usul dari seluruh

kecenderungan misoginis (kebencian terhadap kaum perempuan) yang mendasari

penulisan-penulisan teks keagamaan yang bias kepentingan laki-laki.159 Kekerasan

terhadap perempuan selalu terjadi di antaranya disebabkan beberapa faktor yaitu:

a. Ideologi patriarkhi dan budaya patriarkhi. Di mana laki-laki superior


(penguasa perempuan) dan perempuan inferior

b. Faktor struktur hukum yang meliputi substansi hukum (berisi semua


peraturan perundang-undangan) baik tertulis maupun tidak tertulis yang
berlaku bagi lembaga tinggi negara maupun warga negara, struktur hukum
(penegak hukum, polisi, jaksa, hakim, pengacara dan prosedur
penegakannya), budaya hukum,
c. Faktor interpretasi agama dan budaya160

Konsep patriarki berbeda dengan patrilinial. Patrilinial diartikan sebagai

budaya di mana masyarakatnya mengikuti garis laki-laki seperti anak bergaris

keturunan ayah, contohnya Habsah Khalik; Khalik adalah nama ayah dari Habsah.

Sementara patriarki memiliki makna lain yang secara harfiah berarti “kekuasaan

bapak” (role of the father) atau “partiakh” yang ditujukan untuk pelabelan sebuah

“keluarga yang dikuasai oleh kaum laki-laki”. Secara terminologi kata patriarki

digunakan untuk pemahaman kekuasaan laki-laki, hubungan kekuasaan dengan

apa laki-laki menguasai perempuan,serta sistem yang membuat perempuan tetap

dikuasai melalui bermacam-macam cara 161.

Lebih lanjut menurut Budy secara etimologis konsep tersebut berkaitan

159
Budhy Munawar Rachman, 2003, Islam Pluralis Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, Jakarta
Paramadina hlm. 394
160
Elfi Muawanah, 2006, Menuju Kesetaraan Gender, Kutub Minar, Malang, hlm. 144.
161
Kamala Bashin, What is Patriarchy dalam Nursyahbani Katjasungkana, 1996,
“Menggugat Patriarki”, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, hlm. 29.

82
dengan sistem sosial, dimana sang ayah menguasai semua anggota

keluarganya, harta miliknya serta sumber-sumber ekonomi. Ia juga yang

membuat semua keputusan penting keluarga. Sistem berdasarkan patriarkhi

ini biasanya mengasingkan perempuan di rumah, dengan demikian laki-laki

lebih bisa menguasai kaum perempuan. Sementara itu pengasingan

perempuan di rumah menjadikan perempuan tidak mandiri secara ekonomis

dan selanjutnya tergantung secara psikologis 162.

Norma-norma moral, sosial dan hukum pun lebih banyak memberi hak

kepada kaum laki-laki daripada kaum perempuan, justru karena alasan bahwa kaum

laki-laki memang lebih bernilai secara publik daripada perempuan. Dalam

perkembangannya patriarkhi ini sekarang telah menjadi istilah terhadap semua

sistem kekeluargaan maupun sosial, politik dan keagamaan yang merendahkan,

bahkan menindas kaum perempuan mulai dari lingkungan rumah tangga

hingga masyarakat.163 Pada dasarnya semangat hubungan antara laki-laki dan

perempuan dalam Islam bersifat adil (equal). Oleh karena itu subordinasi terhadap

kaum perempuan merupakan suatu keyakinan yang berkembang di masyarakat

yang tidak sesuai atau bertentangan dengan semangat keadilan.

Bahwa hukum menunjukkan sejumlah keterbatasan atau keterikatan pada

realitas nilai-nilai sosial164. Keterbatasan-keterbatasan tersebut adalah: pertaman

dalam kenyataan rumusan hukum adalah phallocentric (dominasi laki-laki),

sebagaimana dikatakan oleh Ngaire Naffine165

The law is seen to be gendered because it takes up abstract characteristic in


particular ways, while carefully avoiding sexual specitivitiy or overt discrimination
on the basic of sex. Using the style of thinking, we could even say that the law
162
Budhy Munawar Rachman , Loc.cit.
163
Ibid, hlm.396
164
Agnes Widanti,, Hukum Berkeadilan Jender, Op.Cit., hlm. 27
165
Ngaire Naffine, 1997, Sexing the Subyect of Law. Sexing Law, Sweet & Maxwell Ltd, London,
hlm. 28

83
prohibits sex discrimination, but enterenches, assumes, and often requires gender
discrimination. Overt discrimination by law on the basisi of sex has been more or
less elliminated with the attainment by women of full formal status as legal person
able to own property, to letigate as individuals, to vote, and so forth

Ketidak seimbangan hubungan laki-laki dan perempuan yang dikenal sebagai

sistem patriarkal, dimana perempuan tersubordinasi, kekuatan sistem patriarkal ini

sulit dipahami karena merembes ke semua arah dan begitu mempengaruhi pemikiran-

pemikiran manusia yang paling dasar tentang hakekat manusia sehingga tampak

seperti hukum alam, status quo ini lebih menjurus ke predominasi.

Kedua keterbatasan terkait dengan proses kerja dalam struktur hukum

menjadi masalah bagi feminis dalam memperjuangkan hak-hak perempuan, sehingga

keberhasilan mempertahankan hak-hak perempuan bukanlah hal yang mudah, ketiga

adalah keerbatasan yang berkaitan dengan batasan pengadilan yang menfokuskan

pada yang rasional dan logis (masuk akal) saja 166. Ketidakadilan gender yang

disebabkan ketidak seimbangan dinamis hubungan laki-laki dan perempuan

merupakan ketidakadilan sosial. Artinya ketidakadilan yang disebabkan oleh

struktur-struktur kekuasaan dalam masyarakat. Struktur-struktur tersebut terdapat

dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum dan ideologis dalam

masyarakat.

Manifestasi ketidakadilan gender terjadi di berbagai tingkatan yaitu, tingkat

keluarga, tingkat masyarakat, tempat kerja, adat istiadat masyarakat, kultur suku-

suku maupun tafsiran agama. Ditingkat negara ketidakadilan gender mengakibatkan

banyak produk hukum negara yang bias gender, dan yang paling sulit diubah adalah

ketidakadilan gender yag telah mengakar dan menjadi ideologi bagi kaum perempuan

maupun laki-laki167. Dalam kebudayaan China dikenal Yin dan Yang. Pada awal

166
Agnes Widanti, Loc.Cit.
167
Frans Magnis Suseno, 1994, Etika Politik, Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan modern,
Gramedia, Jakarta, hlm.325-333

84
kebudayaan China Yin di asosiasikan dengan keperempuanan dan Yang dengan

kejantanan. Menurut Pokert sebagaimana dikutip oleh F. Capra bahwa Yin

berhubungan dengan semua yang bersifat kontradiktif, konservatif dan responsif,

sedangkan Yang menyiratkan semua yang bersifat ekspansif, agresif dan menuntut.

Pengaitan lebih jauh meliputi

Yin Yang

Bumi Langit
Bulan Matahari
Malam Siang
Musim Dingin Musim panas
Kelembapan Kekeringan
Kesejukan Kehangatan
Bagian dalam Bagian luar

Semua laki-laki atau perempuan melewati fase-fase Yin dan Yang, Capra

menambahkan bahwa yang baik bukanlah Ying atau Yang, tapi keseimbangan

dinamis diantara keduanya168, begitu juga dengan hukum, hukum berkeadilan gender

dirumuskan sebagai hukum (baik hukum negara maupun hukum masyarakat atau

norma-norma dalam masyarakat) yang memungkinkan keseimbangan dinamis antara

laki-laki dan perempuan dalam stuktur-struktur kekuasaan pada masyarakat dan

negara, sehingga penerapan nilai-nilai keadilan dapat dirasakan oleh semua.

Menelaah dan memahami pengertian keadilan memang tidak begitu sulit,

karena terdapat beberapa perumusan sederhana yang dapat menjawab tentang

pengertian kedilan. Namun untuk untuk memahami tentang makna keadilan tidaklah

semudah membaca teks pengertian yang telah diberikan oleh para pakar, karena

ketika bicara terkait dengan makna dari keadilan berarti kita sudah bergerak dalam

tataran filosofis yang perlu perenungan secara mendalam sampai hakikat yang paling

dalam169.
168
F. Capra, 1997, Titik Balik peradaban; Sains Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan
( terjemahan oleh M. Thojibi) Yayasan bentang Budaya, Yogyakarta, hlm. 12-14
169
Angkasa, Filsafat hukum, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, 2010, hlm. 105

85
Dalam kajian falsafah undang-undang, pembahasan keadilan merupakan

aspek yang paling menonjol dibandingkan dengan masalah lain. Banyaknya

pandangan dan tafsiran tentang keadilan sebenarnya saling melengkapi, namun

sebagian lain terdapat pula pandangan yang bertentangan. Pandangan tentang konsep

keadilan yang dapat saling melengkapi antaranya Aristoteles dan Rawls. Sedangkan

contoh konsep yang betentangan ialah Rawls dan Nozick.

P
ertentangan ini disebabkan penekanan yang diberikan oleh kedua-dua

kelompok pakar tersebut terhadap keadilan adalah berbeda. Pada umumnya orang

cenderung memberi makna tentang keadilan dalam perspektif dirinya. Namun

demikian, cara lebih mudah bagi memahami keadilan ialah jika keadilan diposisikan

sebagai keadaan yang hendak diwujudkan oleh undang-undang. Usaha

untuk mewujudkan keadilan dalam undang-undang tersebut merupakan proses

yang dinamis yang menimbulkan banyak akibat. Hal ini disebabkan keadilan

berhubungan erat dengan berbagai kepentingan yang sama. Teori-teori hukum alam

sejak Socrates sehingga Francois Geny, tetap mempertahankan konsep keadilan

sebagai mahkota daripada undang-undang. Justru, teori hukum alam juga

mengutamakan “the search for justice”170.

Berbagai teori mengenai keadilan dan masyarakat yang adil, banyak

dikaitkan dengan hak dan kebebasan, peluang kekuasaan, pendapatan dan

kemakmuran. Plato mempunyai pandangan bahawa sebuah masyarakat yang adil

adalah masyarakat di mana setiap individu mempunyai tempat yang dikhususkan

untuknya dan ia melaksanakan kewajiban menurut kemampuan yang telah

dikurniakan kepadanya sejak awal171, Plato mcnganggap keadilan sebagai salah satu

170
Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam lintasan sejarah, Op.Cit., hlm.196.
171
Badariah Sahamid, Jurisprudens dan Teori Undang-undang ..., Op.Cit., hlm 186-187.

86
daripada sifat kebaikan utama (principal virtues), yang lain adalah kesederhanaan,

kebijaksanaan dan keberanian. Seorang yang adil, mematuhi undang-undang,

seorang yang tidak adil, mengingkarmya. Seorang yang adil juga mempunyai

disiplin dan dikuasai oleh akal.

Berdasarkan pemikiran Aristoteles, keadilan dapat dibagi kepada tiga yaitu:


172
keadilan legal, keadilan distributif dan korektif serta keadilan komutatif.

Pertama, keadilan legal mencakup hubungan antara seseorang atau kumpulan

masyarakat dengan negara173. Bagi perseorangan maupun kumpulan, pada asasnya

menghendaki wujudnya hak dan pelayanan yang sama, oleh karena itu, negara

wajib memberikan pelayanan yang sama. Selain itu, setiap warga negara secara

bersama harus taat kepada undang- undang negara itu. Karena keadilan legal

adalah keadilan berdasarkan hukum atau undang-undang yang objeknya adalah

tata masyarakat. Tata masyarakat ini dilindungi oleh undang-undang, tujuan

keadilan legal adalah perwujudan kebaikan bersama (bonum commune). Keadilan

legal akan terwujud ketika warga masyarakat melaksanakan undang-undang dan

penguasa setia melaksanakan undang-undang itu.

Dalam konteks keadilan berperspektif gender, ini berarti setiap manusia

baik laki-laki maupun perempuan terjamin haknya dalam undang-undang, negara

harus menjamin tidak akan terjadi tindakan yang diskriminatif dalam pelaksanaan

undang –undang tersebut, juga harus menjamin agar kelompok yang teringgal

mendapat perhatian khusus.

174
Kedua, keadilan distributif dan korektif adalah berkait dengan

pembahagian asset kekayaan dan penghormatan dalam sebuah komunitas. Tujuan

172
Neni Sri Imaniyati, 2009, Hukum Bisnis Telaah Tentang Pelaku dan Kegiatan Ekonomi, Graha
Ilmu, Yogyakarta, hlm 7.
173
Ibid. hlm. 13
174
Ibid., hlm. 15

87
keadilan ini adalah tercapainya keseimbangan walaupun bukan melalui pembagian

yang sama rata. Keseimbangan ini mencakupi juga perlakuan yang sama kepada

setiap orang dalam memberikan yang baik dan bermanfaat serta dalam melibatkan

setiap orang untuk ikut menanggung hal-hal yang tidak menguntungkan. Hal yang

penting dalam konsep keadilan ini adalah bahawa imbalan yang sama-rata diberikan

ke atas pencapaian yang sama rata juga.

Selain itu, Aristoteles juga berpandangan tentang keadilan korektif

(corrective justice) berhubung erat dengan situasi yang adil tetapi telah

disalahgunakan dan atau diganggu oleh pihak tertentu yang dianggap salah dari sisi

undang-undang. Konsep kedilan ini dikenali sebagai bersifat korektif yang

memandang keadilan difungsikan sebagai usaha untuk melakukan koreksi yang

disebabkan oleh, misalnya, pelanggaran kesepakatan. Koreksi demikian adalah

diperlukan kerana pelanggaran tersebut menyebabkan ketidaksetaraan. Oleh itu,

keadilan korektif berfokus kepada pembetulan sesuatu yang salah. Jika suatu

pelanggaran dilanggar atau kesalahan dilakukan, maka keadilan korektif berusaha

memberikan ganti rugi yang memadai kepada pihak yang dirugikan, jika suatu

kejahatan telah dilakukan, maka hukuman yang sepantasnya perlu diberikan kepada

si pelaku. Bagaimanapun, ketidakadilan akan mengakibatkan terganggunya

kesetaraan dan keadilan yang sudah mapan atau telah terbina.

Keadilan korektif bertugas membangun kembali kesetaraan dan keadilan

tersebut. Dari pengertian „keadilan‟ yang demikian, maka konsep ini dapat

diamalkan dalam konteks undang-undang sipil dan pidana. Berkait erat dengan

masalah ini, maka hakim berfungsi sebagai pencari penyelesaian dengan

memerintahkan pembayaran ganti rugi, atau mengenakan denda dan hukuman,

sekiranya perlu dan bersesuaian. Badariah menggambarkan keadilan corrective atau

88
restitutive Aristoteles sebagai konsep yang mengembalikan keadaan kepada

kedudukan awal.175 Justeru itu, keadilan dianggap sebagai kepatuhan kepada undang-

undang. Namun keadilan jenis ini tidak menjamin keadilan substantif disebabkan

undang-undang itu sendiri mungkin bersifat tidak adil atau menindas. Pandangan

Aristoteles tentang keadilan distributif dan korektif menunjukkan bahawa keadilan

korektif merupakan bidang dan fungsi pengadilan sedangkan keadilan distributif

merupakan bidang dan fungsi pemerintah176

Ketiga, keadilan komutatif,177 yang disebut juga keadilan perjanjian atau

keadilan tukar, menuntut agar setiap orang menepati apa yang telah dijanjikannya.

Keadilan yang memeberikan kepada masing-masing orang apa yang menjadi

bagiannya. Dalam Black’s Law Dictionary memberikan pengertian keadilan

komutatif sebagai Concern with the relation person and esp. With fairness in the

exchange of goods and the fulfillment of contractual obligation 178. Keadilan

komutatif berkenaan dengan hubungan antar orang/antar individu. Disini

ditekankan agar prestasi sama nilainya dengan kontra prestasi.

Dalam konteks keadilan berperspektif gender, ini berarti setiap manusia

baik laki-laki maupun perempuan yang terlibat dalam suatu aktivitas usaha berhak

memperoleh apa yang menjadi haknya setimpal dengan usaha yang telah

dikeluarkannya, serta kemampuan dan risiko yang ditanggungnya. Dengan demikian

setiap orang sesuai dengan kemampuannya menyumbangkan peranan dalam aktivits

175
Badariah Sahamid, Jurisprudens dan Teori Undang-undang ..., Op.Cit., hlm. 190
176
Carl Joachin Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Op. Cit., hlm. 25.
177
Keadilan komutatif ini merupakan prinsip dasar yang menjiwai hubungan ekonomi dalam
masyarakat primitif. Dalam masyarakat primitif yang belum mengenal ekonomi wang, keadilan komutatif
menjadi prinsip dasar hubungan mereka. Dengan hubungan barter yang berlangsung ekonomis, setiap pihak
tahu secara baik bahawa ia patut memberikan kepada pihak lain barang yang sama nilainya dengan apa
yang diperolehnya dari pihak lain itu. Neni Sri Imaniyati, Hukum Bisnis Telaah Tentang Pelaku dan
Kegiatan Ekonomi, Op.Cit., hlm 10-12.
178
Bryan A Garner (ed), Black’s Law Dictionary, 2009, Nine Edition, Thomson Reuters, USA, hlm.
942

89
apapun . Distribusi yang adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai degan

nilai kebaikannya, yaitu kemanfaatannya bagi masyarakat.

Thomas Aquinas179 juga membedakan keadilan alam 3 (tiga) kategori yaitu

keadilan distributif (iustitia distributiva), adalah keadilan yang menunjuk kepada

yang sama diberikan sama, kepada yang tidak sama diberikan yang tidak sama pula,

ini disebut kesederajatan geometris. Keadilan Komutatif (iustitia commutativa)

adalah keadilan yang menunjuk pada keadilan berdasarkan prinsip asimetris, yaitu

penyesuaian yang harus dilakukan apabila terjadi perbuatan yang tidak sesuai

dengan hukum. Keadilan hukum ( iustitia legalis), adalah keadilan yang menunjuk

pada ketaatan pada aturan hukum. Bagi Aquinas menaati hukum bermakna sama

dengan bersikap baik dalam segala hal (diasumsikan hukum itu berisi kepentingan

umum), maka keadilan hukum disebut juga sebagai keadilan umum 180

Di sisi lain, Kelsen mengambil pendekatan yang positif kepada keadilan. Ia

menganggap keadilan sebagai suatu ciri yang mungkin boleh tetapi tidak perlu yang

menguasai hubungan sesama manusia (a possible but not a necessary quality of a

social order regulating the mutual relations of men), menurut Kelsen, keadilan

tingkah laku seseorang bergantung kepada kepatuhan kepada norma-norma

masyarakat yang sepatutnya adil. Kelsen menolak pendekatan metafisika atau

keagamaan Plato yang membawa maksud bahawa keadilan itu adalah sama dengan

sesuatu yang baik. la juga menolak konsep keadilan yang berdasarkan akal. Seperti

menurut Aristoteles, "justice is to give to each his due" karena menurut Kelsen, ia

boleh digunakan untuk memberi justifikasi kepada bentuk-bentuk masyarakat,

ada kapitalis, komunis, atau demokrasi 181.

Pendapat John Rawls, menjadi salah satu ahli yang selalu menjadi rujukan
179
Bernard L Tanya, Op.Cit. hlm.59
180
Ibid, hlm. 60
181
Ibid, hlm. 177

90
baik ilmu filsafat, hukum, ekonomi, dan politik di seluruh belahan dunia, tidak akan

melewati teori yang dikemukakan oleh John Rawls. Terutama melalui karyanya yang

berjudul A Theory of Justice, Rawls dipercaya sebagai salah seorang yang memberi

pengaruh pemikiran cukup besar terhadap diskursus mengenai nilai-nilai keadilan

hingga saat ini.

Keadilan sebagai fairness, yang diperkenalkan oleh John Rawls. Rawls

menyatakan bahawa prinsip keadilan pada asasnya merupakan hasil persetujuan


182
dan tawar menawar yang fair, pendapat Rawls mengenai keadilan ini juga

dikenali sebagai teori kontrak sosial tentang keadilan. Beberapa prinsip daripada

pandangan Rawls antaranya: pertama, teori ini dibina dengan mengandaikan bahawa

setiap orang mempunyai kedudukan yang sama, bebas dan berdikari serta secara

bersama-sama membuat suatu perjanjian yang membuat kesepakatan dan

peraturan-peraturan. Oleh itu, setiap pihak yang duduk dalam perundingan

itu mempunyai darjat dan kedudukan yang sama baik dalam hak maupun

kewajibannya. Perjanjian tersebut mengandungi prinsip yang mengatur hak

dan kewajiban semua orang serta keuntungan-keuntungan sosial lainnya 183.

Berdasarkan pandangan pertama daripada Rawls, terdapat dua prinsip

pokok yang mengatur keadilan tersebut, yaitu:

a. setiap orang mempunyai hak yang sama atas kebebasan- kebebasan asas

yang paling luas yang sebanding dengan kebebasan dasar yang serupa bagi

semua orang lainnya;

b. ketidaksamaan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga

kedua ketidaksamaan tersebut mempunyai dampak d i antaranya:

182
John Rawls, A Theory of Justice, Op.Cit., hlm 14. Lihat juga Siti Malikhatun, 2010, Penemuan
Hukum Dalam Konteks Pencarian Keadilan, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang,, hlm 7.
183
Ibid, hlm 72.

91
1). terutama menguntungkan mereka yang paling kurang beruntung

2). terbuka bagi semua orang dalam keadaan yang menjamin persamaan

peluang yang adil.

Oleh karena itu, menurut pandangan ini, utamanya adalah bahwa keadilan

yang berkepatutan mengakui dan meletakkan prioritas kepada kebebasan serta

peluang yang sama bagi semua orang. Memandang hanya atas kebebasan dan

peluang yang sama bagi semua orang baru dapat diharapkan terwujudnya suatu

situasi yang adil yang memungkinkan semua orang dapat memperoleh apa yang

diperlukan. Dalam pandangan ini juga Rawls menekankan bahawa setiap orang

mempunyai kedudukan dan martabat yang sama.

Kedua, Rawls bersikap realistis dengan mengakui bahawa biarpun

semua orang sebagai manusia mempunyai kedudukan dan martabat yang sama,

dalam kenyataannya tidak dapat dielakkan terjadinya ketidaksamaan sosial dan

ekonomi. Namun, ketidaksamaan itu diperbolehkan hanya jika menguntungkan

semua pihak yang terlibat di dalamnya, khususnya mereka yang bernasib kurang

baik. Ini menunjukkan bahwa dalam kebebasan dan peluang yang sama bagi semua

orang, diharapkan bawa semua orang akan mendapatkan keuntungan yang sama

sama maksimum. Namun, jika terdapat ketidaksamaan, maka ketidaksamaan itu

sebaiknya harus menjamin agar pihak yang lemah lebih diberikan perhatian. Dengan

demikian, inti daripada konsep the difference principle, adalah bahawa perbedaan

sosial dan ekonomi perlu diatur agar memberikan manfaat yang paling besar bagi

mereka yang paling kurang beruntung.

Ketiga, Rawls menerima adanya ketidaksamaan sosial dan ekonomi, dan

itu dianggap adil, hanya kalau ketidaksamaan itu disebabkan oleh perbedaan

kekuasaan dan kedudukan. Rawls mengakui bahawa perbedaan kekuasaan dan

92
kedudukan dengan sendirinya akan membawa konsekuensi perbedaan sosial dan

ekonomi. Di balik itu, menurut Rawls kekuasaan dan kedudukan mempunyai

dampak sosial dan ekonomi yang sebanding dengan itu, dan inilah yang diakui

dan diterima sebagai adil.

Keempat, dalam prinsip-prinsip Rawls terdapat konsep yang sangat penting,

bahawa perbedaan sosial dan ekonomi kerana kekuasaan dan kedudukan, baru

dianggap adil kalau kekuasan dan kedudukan itu sendiri terbuka bagi semua orang.

Rawls juga mengakui bahwa dalam prakteknya, akan terjadi ketidaksamaan sosial

dan ekonomi. Oleh karena itu, ketidaksamaan tersebut baru adil kalau benar-benar

bersifat awal, alamiah dan wajar diterima. Ketidaksamaan adalah adil kalau

benar-benar didasarkan kepada ketulusan objektif yang memberi peluang sama bagi

semua orang. Namun, karena keadaan awal yang tidak sama, Rawls

menginginkan agar kelompok yang sejak semula tidak bernasib baik, juga akan

mendapat perhatian istimewa demi menjamin keadaan yang benar-benar adil.

Secara tersirat Rawls menghendaki agar pihak yang sejak awal bernasib baik

(bakat, keadaan keuangan, dan sebagainya) sepatutnya perlu memperhatikan

kelompok yang tidak bernasib baik. Dalam situasi seperti itulah keadilan akan

benar-benar terjamin.

Pandangan keadilan Rawls, pada asasnya menerima adanya perbedaan,

kerana kedudukan dan kekuasaan yang berguna bagi ekonomi yang efisien, namun

di pihak lain, ia mengharapkan agar perbedaan ini diatur supaya menguntungkan

bagi yang kurang bernasib baik. Dalam konteks keadilan berperspektif gender

konsep keadilan Rawls ini selaras dengan falsafah perlindungan pihak yang teringgal

yang memberikan perhatian kepada keompok-kelompok rentan disebabkan

kedudukan perempuan (untuk saat ini) yang cenderung tertinggal dibanding laki-

93
laki. Sehingga andangan Rawls ini dapat dirujukkan sebagai justifikasi bagi perlunya

tindakan afirmasi untuk melindungi kepentingan perempuan.

Menurut Rawls, prinsip paling mendasar dari keadilan adalah bahwa setiap

orang memiliki hak yang sama dari posisi-posisi mereka yang wajar. Karena itu,

supaya keadilan dapat tercapai maka struktur konstitusi politik, ekonomi, dan

peraturan mengenai hak milik haruslah sama bagi semua orang. Situasi seperti ini

disebut “kabut ketidaktahuan” (veil of ignorance), di mana setiap orang harus

mengesampingkan atribut-atribut yang membedakannya dengan orang-orang lain,

seperti kemampuan, kekayaan, posisi sosial, pandangan religius dan filosofis,

maupun konsepsi tentang nilai. Untuk mengukuhkan situasi adil tersebut perlu ada

jaminan terhadp sejumlah hak dasar yang berlaku bagi semua, seperti kebebasan

untuk berpendapat, kebebasan berpikir, kebebasan berserikat, kebebasan berpolitik,

dan kebebasan di mata hukum. Pada dasarnya, teori keadilan Rawls hendak

mengatasi dua hal yaitu utilitarianisme dan menyelesaikan kontroversi mengenai

dilema antara liberty (kemerdekaan) dan equality (kesamaan) yang selama ini

dianggap tidak mungkin untuk disatukan.

Menurut Rawls, konsepsi keadilan haruslah memenuhi syarat-syarat formal

konsepsi yang hak, yaitu184:

a. prinsip itu haruslah umum bentuknya,

b. universal aplikasinya,

c. diakui secara publik,

d. berurutan secara leksikal,

Secara ringkas dirumuskan bahwa suatu konsepsi yang hak adalah suatu

184
Ibid. hlm.75

94
perangkat prinsip yang umum bentuknya dan universal aplikasinya, diakui secara

publik sebagai mahkamah terakhir bagi penyelesaian klaim-klaim moral yang saling

berkonflik. Adapun strategi yang digunakan adalahapa yang disebut Rawls sebagai

“rasionalitas asas maximun”. Menurut Rawls, meskipun berada dalam veil of

ignorence, mereka yang terlibat dalam kontrak bukanlah orang-orang yang

kehilangan rasionalitas serta masih mempunyai perangkat preferensi yang koheren di

antara pilihan-pilihan yang terbuka buat mereka. Dengan kata lain, mereka

mengetahui bagaimana mengurutkan pilihan-pilihan, serta tahu bahwa mereka harus

melindungi kemerdekaan, meluaskan kesempatan, meningkatkan cara guna

memajukan tujuan-tujuan. Misalnya, adalah rasional bahwa mereka tidak akan

mengusulkan memberi hak-hak istimewa karena alasan etnis atau asal kelahiran

karena mereka tidak mengetahui apakah mereka kelak akan menjadi bagian dari

kelompok yang diuntungkan atau justru dirugikan oleh adanya hak-hak istimewa

tersebut.

Rawls berusaha menunjukan bahwa dua prinsip keadilannya tidak saja

memenuhi rasa keadilan setiap orang, tapi juga rasional. Bagi Rawls, antara rasa

keadilan dan rasionalitas tidak ada pertentangan. Sebab, sebagai makhluk moral,
185
manusia memiliki dua kemampuan sekaligus, satu sama lain saling melengkapi ,

Pertama kemampuan mempunyai konsep yang-baik, dan kedua kemampuan

mempunyai rasa keadilan. Dalam kerangka ini, nikmat-nikmat (benefits) dan beban-

beban (burdens), hak-hak (rights) dan kewajiban (duties), kepentingan diri (self-

interest) dan kepentingan bersama (common interest), saling terkait dan tertanam

bersama dalam satu subjek. Dengan kata lain, mengejar kepentingan diri sudah

niscaya terkait dengan mengejar keadilan.

Di sisi lain, keadilan menurut Robert Nozick menggambarkan kedudukan


185
Ibid. hlm.81

95
yang amat liberal terhadap hak-hak individu. Ia mempertahankan hak setiap

individu berdasarkan hasil usahanya, upaya atau nasibnya, asalkan hasil tersebut

diperolehi dengan sah. Nozick lebih mementingkan hak individu daripada hak

masyarakat. Teori keadilan ini dikenal pula sebagai The Entitlement Theor y186.

Seperti juga Rawls, Nozick menggunakan idea kontrak sosial tetapi dengan cara

yang berbeda dengan cara Rawls, di dalam State of Natur’ yaitu manusia dalam

kedudukan asli, setiap individu mempunyai hak dasar jadi yang tidak boleh dicabut

oleh individu atau negara. Hak tersebut berupa hak kepada nyawa (hak hidup),

kebebasan dan harta. Pandangan inilah yang membedakan antara kedua-dua

pakar tersebut, di mana Rawls mengutamakan keadilan sosial, sedangkan Robert

Nozick mempertahankan keadilan individu.

Secara garis besar perbedaan antara Rawls dan Nozick ada pada 3 bidang

yaitu pertama tentang moral principles. Nozik menekankan pada self ownership,

dimana segara sumber daya yang dimiliki individu adalah hak sepenuhnya bagi

individu itu termasuk apa yang dihasilkan dari sumber daya yang ia miliki,

sedangkan Rawls menekankan bahwa segala sumber daya yang dimiliki oleh

individu sifatnya arbitrer, atau dengan kata lain tidak dimiliki sepenuhnya karena itu

merupakan kebetulan/ keberuntungan (natural lotery). Perbedaan kedua adalah

berkaitan dengan aturan (roles). Nozick mengatakan bahwa sesuatu perbuatan

disebut adil jika memenuhi dalam arti akusisi atau individu dapat

menggunakan resource tanpa merugikan keuntungan orang lain. sedangkan Rawls

tetap memegang keyakinan dengan prinsip perbedaannya, dimana ekspektasi orang

yang beruntung juga harus meningkankan ekspektasi orang yang paling tidak

beruntung. Perbedaan ketiga berkaitan dengan distribusi, bagi Nozick sebuah

186
Robert Nozick, Anarchy, State and Utopia, Op.Cit, hlm. 32

96
distribusi sah jika beranjak dari klaim yang sah atas barang/ talenta (bisa diserahkan,

dipertukarkan, diperdagangkan). Sedangkan Rawls melihat pola distribusi sah jika

primary goods teristribusi secara merata/ sempurna, atau dengan kata lain

keberuntungan orang yang beruntung harus mengangkat juga orang yang paling tidak

beruntung.

Terhadap pandangan-pandangan Nozick di atas dapat diketahui bahawa

pada dasarnya dalam beberapa masalah utama, bertentangan dengan kebanyakan

teori-teori keadilan yang mencoba untuk mengimbangkan kebebasan dengan

pemerataan. Nozick terlalu menekankan hak individu melampaui hak masyarakat.

Teori Nozick dikatakan telah mengutarakan satu impian kebebasan kapitalis, dan

bukan satu teori keadilan.

D. Teori-teori Feminis

Rosemarie Putnam Tong187 mengemukakan tiga gelombang feminisme.

Menurut Tong, gelombang pertama dimulai pada sekitar tahun 1800-an, dan

merupakan dasar bagi gerakan-gerakan perempuan berikutnya. Teori-teori yang

digunakan untuk melihat permasalahan gender diadopsi dari teori-teori yang

dikembangkan oleh para ahli dalam bidang-bidang yang terkait dengan

permasalahan gender, terutama bidang sosial kemasyarakatan dan kejiwaan. Karena

itu teori-teori yang digunakan untuk mendekati masalah gender ini banyak diambil

dari teori-teori sosiologi dan psikologi. Sebagaimana telah ditulis sebelumnya secara

garis besar teori teori tersebut diawali oleh dua teori besar188, yaitu teori nurture dan

teori nature yang kemudian mempengaruhi dan melahirkan pendapat para ahli

lainnya, dan memunculkan gerakan-gerakan untuk memperjuangkan kesetaraan dan

187
Putnam tong, dalam Gadis Arivia. Op.Cit, hlm.84
188
Kementrian pemberdayaan Perempuan, Op.Cit. hlm.24-26

97
keadilan gender.

1. Teori Nurture

Menurut teori nurture, adanya perbedaan perempuan dan laki-laki pada

hakikatnya adalah hasil konstruksi sosial budaya sehingga menghasilkan peran

dan tugas yang berbeda. Perbedaan tersebut menyebabkan perempuan selalu

tertinggal dan terabaikan peran dan konstribusinya dalam hidup berkeuarga,

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Perjuangan untuk persamaan

dipelopori oleh orang-orang yang konsen memperjuangkan kesetaraan dan

keadilan perempuan dan laki-laki (kaum feminis) yang cenderung mengejar

kesamaan atau fifty-fifty yang kemudian dikenal dengan istilah kesamaan

kuantitas (perfect equality). Perjuangan tersebut sulit dicapai karena berbagai

hambatan, baik dari nilai agama maupun budaya. Karena itu, aliran nurture

melahirkan paham sosial konflik 189 banyak dianut masyarakat sosialis komunis

yang menghilangkan strata penduduk, (egalitarian) yang memperjuangkan

kesamaan proporsional dalam segala aktivitas masyarakat seperti di tingkatan

manajer, menteri, militer, DPR, partai politik, dan bidang lainnya. Untuk

mencapai tujuan tersebut, dibuatlah program khusus (affirmatif action) guna

memberikan peluang bagi pemberdayaan perempuan yang kadangkala berakibat

timbulnya reaksi negatif dari kaum laki - laki karena apriori terhadap

perjuangan tersebut yang dikenal dengan perilaku male backlash.

2. Teori Nature

189
Yaitu konsep yang di ilhami oleh ajaran Karl Marx (1818-1883) dan Machiavelli (1469-1527)
kemudian dilanjutkan oleh David Locwood (1957) konsep sosial konflik menempatkan kaum laki-laki sebagai
kaum penindas (borjois) dan perempuan sebagai kaum tertindas (proletar). Bagi kaum proletar tak ada pilihan
lain kecuali dengan perjuangan menyingkirkan penindas demi untuk mencapai kebebasan dan persamaan.
Kementrian Pemberdayaan Perempuan, Ibid, hlm. 24, hal yang hampir sama juga di tuliskan oleh Theo
Huijbers dalam buku Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, penerbit Kanisius Yogyakarta, 1982, hlm. 112

98
Menurut teori nature, adanya perbedaan perempuan dan laki-laki adalah

kodrat sehingga tidak dapat berubah dan bersifat universal. Perbedaan biologis ini

memberikan indikasi dan implikasi bahwa di antara kedua jenis tersebut

memiliki peran dan tugas yang berbeda. Manusia, baik perempuan maupun laki-

laki, memiliki perbedaan kodrat sesuai dengan fungsinya masing-masing.Dalam

kehidupan sosial, ada pembagian tugas (division of labour), begitu pula dalam

kehidupan keluarga karena tidaklah mungkin sebuah kapal dikomandani oleh dua

nakhoda.

Aliran ini melahirkan paham struktural fungsional yang menerima

perbedaan peran, asal dilakukan secara demokratis dan dilandasi oleh

kesepakatan (komitmen) antara suami-isteri dalam keluarga, atau antara

perempuan dan laki-laki dalam kehidupan masyarakat. Paham ini diajarkan oleh

Socrates dan Plato, yang kemudian di perbarui oleh August Comte (1798-1857),

Emile Durkheim (1858-1917) dan Herbert Spencer (1820-1930). Talcott Persons

(1902-1979) dan Bales berpendapat bahwa keluarga adalah sebagai unit sosial yang

memberikan perbedaan peran suami dan isteri untuk saling melengkapi dan saling

membantu satu sama lain. Keharmonisan hidup hanya dapat diciptakan bila

terjadi pembagian peran dan tugas yang serasi antara perempuan dan laki-laki, dan

hal ini dimulai sejak dini melalui pola pendidikan dan pengasuhan anak dalam

keluarga. Aliran ini melahirkan paham struktural fungsional yang menerima

perbedaan peran asal dilakukan secara demokratis dan dilandasi oleh kesepakatan

dan komitmen antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan masyarakat.

3. Teori Equilibrium.

Disamping kedua aliran tersebut, terdapat paham kompromistis yang

99
dikenal dengan keseimbangan (equilibrium) yang menekankan pada konsep

kemitraan dan keharmonisan dalam hubungan antara perempuan dan laki-laki.

Pandangan ini tidak mempertentangkan antara kaum perempuan dan laki-laki

karena keduanya harus bekerjasama dalam kemitraan dan keharmonisan dalam

kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, dan berbangsa. Karena itu, penerapan

kesetaraan dan keadilan gender harus memperhatikan masalah kontekstual

(yang ada pada tempat dan waktu tertentu) dan situasional (sesuai

situasi/keadaan), bukan berdasarkan perhitungan secara matematis

(jumlah/quota) dan tidak bersifat universal 190.

Selanjutnya cukup banyak teori yang dikembangkan oleh para ahli,

terutama kaum feminis, untuk memperbincangkan masalah gender, tetapi

dalam desertasi ini akan dikemukakan beberapa saja yang dianggap penting dan

cukup berpengaruh dalam gerakan untuk memperjuangkan kesetaraan dan

keadilan gender.

4. Teori Sosial-Konflik

Menurut Lockwood, suasana konflik akan selalu mewarnai

masyarakat, terutama dalam hal distribusi sumber daya yang terbatas. Sifat

pementingan diri, menurutnya, akan menyebabkan diferensiasi kekuasaan yang

ada menimbulkan sekelompok orang menindas kelompok lainnya. Perbedaan

kepentingan dan pertentangan antar individu pada akhirnya dapat menimbulkan

konflik dalam suatu organisasi atau masyarakat 191.

Dalam masalah gender, teori sosial-konflik terkadang diidentikkan

dengan teori Marx, karena begitu kuatnya pengaruh Marx di dalamnya. Marx

yang kemudian dilengkapi oleh F. Engels, mengemukakan suatu gagasan menarik

190
Sri Soendari Sasongko, 2009, Konsep dan Teori Gender, BKKBN, Jakarta, hlm 20
191
Ratna Megawangi, Op.Cit, hlm. 76.

100
bahwa perbedaan dan ketimpangan gender antara laki-laki dan perempuan tidak

disebabkan oleh perbedaan biologis, tetapi merupakan bagian dari penindasan

kelas yang berkuasa dalam relasi produksi yang diterapkan dalam konsep

keluarga.

Teori ini selanjutnya dikembangkan oleh para pengikut Marx seperti F.

Engels, R. Dahrendorf, dan Randall Collins. Menurut Engels, perkembangan

akumulasi harta benda pribadi dan kontrol laki-laki terhadap produksi

merupakan sebab paling mendasar terjadinya subordinasi perempuan. Seolah-olah

Engels mengatakan bahwa keunggulan laki-laki atas perempuan adalah hasil

keunggulan kaum kapitalis atas kaum pekerja. Penurunan status perempuan

mempunyai korelasi dengan perkembangan produksi perdagangan 192.

Keragaman biologis yang menciptakan peran gender dianggap

konstruksi budaya, sosialisasi kapitalisme, atau patriarkat. Menurut para

feminis Marxis dan sosialis institusi yang paling eksis dalam melanggengkan

peran gender adalah keluarga dan agama, sehingga usaha untuk menciptakan

perfect equality (kesetaraan dan keadilan gender 50/50) adalah dengan

menghilangkan peran biologis gender, yaitu dengan usaha radikal untuk

mengubah pola pikir dan struktur keluarga yang menciptakannya. Teori sosial-

konflik ini juga mendapat kritik dari sejumlah pakar, terutama karena teori ini

terlalu menekankan faktor ekonomi sebagai basis ketidakadilan yang selanjutnya

melahirkan konflik. Dahrendorf dan R. Collins, yang tidak sepenuhnya setuju

dengan Marx dan Engels, menganggap konflik tidak hanya terjadi karena

perjuangan kelas dan ketegangan antara pemilik dan pekerja, tetapi juga

disebabkan oleh beberapa faktor lain, termasuk ketegangan antara orang tua dan

anak, suami dan isteri, senior dan yunior, laki-laki dan perempuan, dan lain
192
Nasaruddin Umar, Op.Cit hlm. 62.

101
sebagainya193 Meskipun demikian, teori ini banyak diikuti oleh para feminis yang

kemudian memunculkan gerakan-gerakan feminis.

5. Teori Struktural-Fungsional

Teori atau pendekatan struktural-fungsional merupakan teori sosiologi

yang diterapkan dalam melihat institusi keluarga. Teori ini berangkat dari asumsi

bahwa suatu masyarakat terdiri atas beberapa bagian yang saling memengaruhi.

Teori ini mencari unsur-unsur mendasar yang berpengaruh di dalam suatu

masyarakat, mengidentifikasi fungsi setiap unsur, dan menerangkan

bagaimana fungsi unsur-unsur tersebut dalam masyarakat.

R. Daqhrendolf, salah seorang pendukung teori ini meringkaskan

prinsip- prinsip teori ini sebagai berikut:

1) suatu masyarakat aadalah suatu kesatuan dari berbagai bagian.


2) sistem sistem sosial senantiasa terpelihara karena mempunyai perangkat
mekanisme kontrol.
3) ada bagian-bagian yang tidak berfungsi tetapi bagian-bagian itu dapat
dipelihara dengan sendirinya atau hal itu melembaga dalam waktu yang
cukup lama.
4) perubahan terjadi secaraberangsur-angsur.
5) integrasi sosial di capai melalui persepakatan mayoritas anggota masyarakat
terhadap seperangkat nilai. Sistem nilai adalah bagian yang paling stabil
dalam suatu sistem masyarakat 194

Banyak sosiolog yang mengembangkan teori ini dalam kehidupan

keluarga pada abad ke-20, di antaranya adalah William F. Ogburn dan Talcott

Parsons195. Teori struktural-fungsional mengakui adanya segala keragaman dalam

kehidupan sosial. Keragaman ini merupakan sumber utama dari adanya

struktur masyarakat dan menentukan keragaman fungsi sesuai dengan posisi

seseorang dalam struktur sebuah sistem. Sebagai contoh, dalam sebuah organisasi

sosial pasti ada anggota yang mampu menjadi pemimpin, ada yang menjadi

193
Ibid, hlm. 64.
194
Nasaruddin, Op.Cit, hlm. 52
195
Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda..., Op.Cit., hlm. 56

102
sekretaris atau bendahara, dan ada yang menjadi anggota biasa. Perbedaan

fungsi ini bertujuan untuk mencapai tujuan organisasi, bukan untuk kepentingan

individu. Struktur dan fungsi dalam sebuah organisasi ini tidak dapat dilepaskan

dari pengaruh budaya, norma, dan nilai-nilai yang melandasi sistem

masyarakat196.

Menurut para penganutnya, teori struktural-fungsional tetap relevan

diterapkan dalam masyarakat modern. Talcott Parsons dan Bales menilai

bahwa pembagian peran secara seksual adalah suatu yang wajar197 Dengan

pembagian kerja yang seimbang, hubungan suami-isteri bisa berjalan dengan

baik. Jika terjadi penyimpangan atau tumpang tindih antar fungsi, maka sistem

keutuhan keluarga akan mengalami ketidakseimbangan. Keseimbangan akan

terwujud bila tradisi peran gender senantiasa mengacu kepada posisi semula.

Teori struktural-fungsional ini mendapat kecaman dari kaum feminis, karena

dianggap membenarkan praktik yang selalu mengaitkan peran sosial dengan jenis

kelamin. Laki-laki diposisikan dalam urusan publik dan perempuan

diposisikan dalam urusan domistik, terutama dalam masalah reproduksi. Menurut

Sylvia Walby teori ini akan ditinggalkan secara total dalam masyarakat modern.

Sedang Lindsey menilai teori ini akan melanggengkan dominasi laki-laki dalam

stratifikasi gender di tengah-tengah masyarakat198. Meskipun teori ini banyak

memeroleh kritikan dan kecaman, teori ini masih tetap bertahan terutama karena

didukung oleh masyarakat industri yang cenderung tetap memertahankan prinsip-

prinsip ekonomi industri yang menekankan aspek produktivitas.

6. Teori Sosio Biologis


196.
Ibid
197
Nasaruddin, Op.Cit, hlm. 53.
198
Ibid

103
Teori ini juga mencoba mengelaborasikan teori nature dan nurture, teori

ini beranggapan bahwa faktor biologis dan faktor sosial budaya menyebabkan

laki-laki lebih unggul daripada perempuan. Fungsi reproduksi perempuan

yangnlebih rumit dianggap sebagai penghambat untuk mengakses kedunia publik,

berbeda dengan laki-laki tidak mengalami hambatankarena faktor tersebut 199.

Teori yang dikembangkan oleh Pierre van den Berghe, lionel Tiger dan Robin

Fox pada intinya beranggapan bahwa semua pengaturan peran jenis kelamin

tercermin dari biogram dasar yang diwarisi manusia modern dari nenek moyang

mereka, penelitian lintas budaya atas perbedaan jenis kelamin dan penelitian atas

pengaruh jenis kelamin dalam perkembangan perilaku manusia semuanya

memperkuat kesimpulan bahwa biologi manusiaadalah suatu komponen penting

dalam perilaku yang berbeda antara laki-laki dan perempuan.

Dalam dunia hewanpun, jantan memperlihatkan perilaku lebih kasar,

mengancam, dan unggul daripada betina. Kenyataan lain bahwa laki-laki

umumnya lebih besar dan kuat fisiknya secara konstan dibandingkan perempuan

yang sewaktu-waktu harus mengandung dan mengalami menstruasi. Kenyataan

ini memainkan peranan penting dalam aspek pembagian kerja menurut jenis

kelamin. Masyarakat akan lebih diuntungkan kalau laki-laki bertugas sebagai

pemburu daripada perempuan, disisi lain, mengandung, melahirkan dan menyusui

adalah tugas perempuan yang tidak dapat digantikan oleh kaum lelaki, atas dasar

praktis ini berbagai kelompok masyarakat mengadakan pembagian kerja, laki-laki

lebih tepat sebagai pemburu (pencari nafkah) dan perempuan lebih tepat bertugas

disekitar rumah200

7. Teori Psikoanalisa/identifikasi
199
Nasruddin umar, Op.Cit., hlm.7
200
Stepen K. Sanderson, 1993, Sosiologi Makro: Sebuah Pendekatan Terhadap RealitasSosial,
terjemahan Farid Wajdi dan S. Meno, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 409

104
Teori ini dikenal juga dengan teori adaptasi awal, pertama kali

diperkenalkan oleh Sigmund Freud (1856-1939). Teori ini mengungkapkan

bahwa perilaku dan kepribadian laki-laki dan perempuan sejak awal ditentukan

oleh perkembangan seksualitas. Freud menjelaskan kepribadian seseorang

tersusun di atas tiga struktur, yaitu id, ego, dan superego. Tingkah laku seseorang

menurut Freud ditentukan oleh interaksi ketiga struktur itu. Id sebagai

pembawaan sifat-sifat fisik biologis sejak lahir. Id bagaikan sumber energi

yang memberikan kekuatan terhadap kedua sumber lainnya. Ego bekerja dalam

lingkup rasional dan berupaya menjinakkan keinginan agresif dari id. Ego

berusaha mengatur hubungan antara keinginan subjektif individual dan tuntutan

objektif realitas sosial. Superego berfungsi sebagai aspek moral dalam

kepribadian dan selalu mengingatkan ego agar senantiasa menjalankan fungsinya

mengontrol id 201. Individu yang normal ialah ketika ketiga struktur tersebut

bekerja secara proporsional, kalau satu diantaranya lebih dominan maka pribadi

yang bersangkutan akan mengalami masalah. Perbedaan ini melahirkan

pembedaan formasi sosial berdasarkan identitas gender, yakni bersifat laki-laki

dan perempuan202. Menurut Freud kondisi biologis seseorang adalah masalah

takdir yang tidak dapat dirubah.

Sejak anak berusia 3-6 tahun anak perempuan sudah menyadari bahwa

pada dirinya ada sesuatu yang kurang di banding anak laki-laki , menurut Freud

kenyataan bahwa anak laki-laki memiliki alat kelamin yang menonjol yang tidak

dimiliki anak perempuan ternyata menimbulkan masalah kecemburuan alat

kelamin yang mempunyai impilikasi lebih jauh, yaitu anak laki-laki merasa

superior dan anak perempuan merasa inferior203. Kesimpulan ini dapat difahami
201
Nasaruddin Umar, Op.Cit, hlm.46.
202
Ibid, hal.41
203
Ibid, hlm.48

105
melalui pernyataan Freud sebagai berikut :

She has seen it and knows she is without it and want to have Pit. The hope of
someday obtaining a penis in spite of everything and so become like a man
many persistto an incredibly late age and may become a motive for the
strangest and otherwise unaccountable actions, or again a process may set in
wich might be described as a denial ... a girl may refuse to accept the fact of
being castrated, may harden herself in the conviction that she does possess a
penis and may subsequently be compelled to beha as though she were a
man204.

Pendapat Freud ini mendapat protes keras dari kaum feminis, terutama

karena Freud mengungkapkan kekurangan alat kelamin perempuan tanpa rasa

malu. Teori psikoanalisa Freud banyak yang didramatisasi kalangan feminis.

Freud sendiri menganggap kalau pendapatnya masih tentatif dan masih

terbuka untuk dikritik. Freud tidak sama sekali menyudutkan kaum

perempuan. Teorinya lebih banyak didasarkan pada hasil penelitiannya secara

ilmiah. Sikap feminis yang akademisi seperti Nancy Chodorow, Juliet Mitchell

dan karen Horney dapat di nili bijaksana karena tidak serta merta menolak

teori Freud, tetapi berupaya menyempurnakan metode analisa yang digunakan

Freud dalam menarik kesimpulan 205. Untuk itu teori Freud ini justeru dapat

dijadikan pijakan dalam mengembangkan gerakan feminisme dalam rangka

mencapai keadilan gender.

E. Perjuangan Untuk Kesetaraan dan keadilan Gender

Dalam sejarah dan perkembangan teori feminis menurut Rosemarie Putnam

Tong206 mengemukakan tiga gelombang gerakan feminisme. Menurut Tong,

204
Sigmund Freud, dalam J. Starchey, 1975, The Standard Edition of Complete Psychological Work
of Sigmund Freud, , Hogarth Press and the Institute of Psycho-Analysis, London, hlm.31-32
205
Linda L. Lindsey, 1990, Gender roles : Sociological perspective, Prantice Hall, New jersey,
hlm. 30
206
Putnam tong, dalam Gadis Arivia, 2003, Filsafat Berperspektif Feminis, Yayasan Jurnal
Perempuan, Jakarta, hlm.84

106
gelombang pertama dimulai pada sekitar tahun 1800-an, dan merupakan dasar

bagi gerakan-gerakan perempuan berikutnya. Pada fase ini, para perempuan sibuk

sebagai aktifis gerakan perempuan. Gelombang kedua berkembang di tahun

1960-an, yang ditandai dengan pencarian representasi citra perempuan dan

kedudukan perempuan oleh kaum feminis. Pada masa inilah teori-teori mengenai

kesetaraan dan keadilan perempuan mulai tumbuh. Gelombang ketiga ditengarai

dengan pengkolaborasian teori mengenai kesetaraan dan keadilan perempuan dengan

pemikiran kontemporer, yang kemudian melahirkan teori feminis yang beraneka

ragam.

Menurut Gerda Lerner207 terdapat beberapa definisi mengenai istilah

feminisme, Diantaranya :

a. feminisme adalah sebuah doktrin yang menyokong hak-hak sosial dan


politik yang setara bagi perempuan;
b. menyusun suatu deklarasi perempuan sebagai sebuah kelompok dan
sejumlah teori yang telah diciptakan oleh perempuan;
c. kepercayaan pada perlunya perubahan sosial yang luas yang berfungsi
untuk meningkatkan daya perempuan.

Lebih lanjut Lerner mengemukakan bahwa feminisme dapat mencakup

baik gerakan hak-hak perempuan maupun emansipasi perempuan. Ia

mendefinisikan kedua posisi tersebut sebagai gerakan hak-hak perempuan berarti

sebuah gerakan yang peduli dengan pemenangan bagi kesetaraan dan

keadilan perempuan dengan laki-laki dalam semua aspek masyarakat dan memberi

mereka akses pada semua hak-hak dan kesempatan-kesempatan yang dinikmati laki-

laki dalam institusi-institusi dari masyarakat tersebut208. Oleh karena itu, gerakan

hak-hak perempuan serupa dengan gerakan hak-hak sipil dalam menginginkan

partisipasi setara bagi perempuan dalam status quo, Gerakan hak-hak perempuan dan

207
Gerda Lerner, 1986, The Creation of Patriarchy, Oxford University Press, New York, hlm. 236
208
Ibid, hlm. 238

107
hak pilih bagi perempuan adalah contohnya. Sehingga dengan demikian, istilah

emansipasi perempuan berarti bebas dari pembatasan yang menindas yang

dikenakan oleh seks, penentuan diri dan otonomi.

Bebas dari pembatasan yang menindas yang dikenakan oleh seks berarti

bebas dari pembatasan biologis dan kemasyarakatan. Penentuan diri berarti

seseorang bebas untuk memutuskan nasibnya sendiri, bebas untuk mendefinisikan

peran sosial seseorang, memiliki kebebasan untuk membuat keputusan berkenaan

dengan tubuh seseorang. Otonomi berarti seseorang mendapatkan statusnya

sendiri, tidak dilahirkan ke dalamnya atau menikahinya, sehingga berarti juga

kemandirian finansial, bebas untuk memilih gaya hidup, yang semuanya secara tidak

langsung berarti sebuah transformasi radikal dari lembaga-lembaga, nilai- nilai dan

teori-toeri yang ada. Seiring perjalanan waktu, timbul berbagai macam aliran dari

gerakan feminisme.

1) Feminisme Liberal

Aliran ini berasumsi bahwa pada dasarnya tidak ada perbedaan antara laki-

laki dan perempuan. Karena itu perempuan harus mempunyai hak yang sama

dengan laki-laki. Meskipun demikian, kelompok feminis liberal menolak

persamaan secara menyeluruh antara laki-laki dan perempuan. Dalam beberapa

hal masih tetap ada pembedaan (distinction) antara laki-laki dan perempuan.

Bagaimanapun juga, fungsi organ reproduksi bagi perempuan membawa

konsekuensi logis dalam kehidupan bermasyarakat209.

Pengikut aliran ini menghendaki agar perempuan diintegrasikan secara

total dalam semua peran, termasuk bekerja di luar rumah. Dengan demikian, tidak

ada lagi suatu kelompok jenis kelamin yang lebih dominan. Organ reproduksi

bukan merupakan penghalang bagi perempuan untuk memasuki peran-peran di


209
Ratna Megawangi, Op.Cit, hlm. 228.

108
sektor publik. Alison Jaggar dalam tulisannya yang berjudul On Sexual

Equality sebagaimana di kutip oleh Arivia210, menyatakan bahwa kaum liberalis

mendefinisikan rasionalitas ke dalam berbagai aspek termasuk moralitas dan

kearifan. Apabila penalaran diterjemahkan sebagai sebuah kemampuan untuk

memilih cara yang terbaik untuk mencapai tujuan yang diinginkan, maka

pemenuhan diri hadir. Dengan demikian, sebagai konsekuensinya, liberalisme

menekankan bahwa setiap individu dapat mempraktekkan otonominya.

Kaum liberalis dapat dibedakan menjadi dua tipe, yaitu liberalis klasik dan

liberalis egaliterian. Liberalis klasik mengharapkan perlindungan negara

dalam hal kebebasan sipil, seperti hak kepemilikan, hak untuk memilih, hak

untuk mengemukakan pendapat, hak untuk memeluk suatu agama, dan hak

untuk berorganisasi. Sedangkan mengenai isu pasar bebas, liberalis klasik

menghendaki agar setiap individu diberi kesempatan yang sama untuk mencari

keuntungan. Di pihak lain, kaum liberalis egaliterian mengusulkan bahwa

idealnya negara seharusnya hanya berfokus pada keadilan ekonomi dan bukan

pada kebebasan sipil. Menurut paham ini, setiap individu memasuki pasar

dengan terlebih dahulu memiliki modal, misalnya materi ataupun koneksi,

talenta dan juga keberuntungan.

Feminisme liberal melandaskan idealisme fundamentalnya pada pemikiran

bahwa manusia bersifat otonomi dan diarahkan oleh penalaran yang menjadikan

manusia mengerti akan prinsip-prinsip moralitas dan kebebasan individu.

Feminisme liberal mengangkat isu-isu yang berkaitan dengan akses pada

pendidikan, kebijakan yang bias gender, hak-hak politis dan sipil211 .

2) Teori Feminisme Marxis dan Sosialis

210
Gadis Arivia, Op.Cit . hlm 87-99
211
Ibid.

109
Feminisme ini bertujuan mengadakan restrukturisasi masyarakat agar

tercapai kesetaraan dan keadilan gender. Ketimpangan gender disebabkan oleh

sistem kapitalisme yang menimbulkan kelas-kelas dan division of labour,

termasuk di dalam keluarga. Gerakan kelompok ini mengadopsi teori praxis

Marxisme212. Berbeda dengan aliran sosial-konflik, aliran ini tidak terlalu

menekankan pada faktor akumulasi modal atau pemilikan harta pribadi

sebagai kerangka dasar ideologi. aliran ini lebih menyoroti faktor seksualitas dan

gender dalam kerangka dasar ideologinya.

Meskipun terdapat sejumlah persamaan antara feminisme Marxis dan

sosialis, akan tetapi antara keduanya terdapat perbedaan yang tegas. Feminis

sosialis menekankan bahwa penindasan gender disamping penindasan kelas

adalah merupakan sumber penindasan perempuan. Sebaliknya, feminis Marxis

berargumentasi bahwa sistem kelas bertanggungjawab terhadap diskriminasi

fungsi dan status. Feminis Marxis percaya bahwa perempuan borjuis tidak

mengalami penindasan seperti yang dialami perempuan proletar. Penindasan

perempuan juga terlihat melalui produk-produk politik, struktur sosiologis dan

ekonomis yang secara erat bergandengan tangan dengan sistem kapitalisme.

Seperti halnya Marxisme, feminis Marxis memperdebatkan bahwa

eksistensi sosial menentukan kesadaran diri. Perempuan tidak dapat

mengembangkan dirinya apabila secara sosial dan ekonomi tergantung pada laki-

laki. Untuk mengerti tentang penindasan perempuan, relasi antara status kerja

perempuan dan citra diri mereka dianalisa. Feminis Marxis ataupun sosialis

mencuatkan isu pada kesenjangan ekonomi, hak milik properti, kehidupan

keluarga dan domestik di bawah sistem kapitalisme dan kampanye tentang


212
yaitu teori penyadaran pada kelompok tertindas, agar kaum perempuan sadar bahwa mereka
merupakan ‘kelas’ yang tidak diuntungkan. Proses penyadaran ini adalah usaha untuk membangkitkan rasa
emosi para perempuan agar bangkit untuk merubah keadaan, Ratna Megawangi, Op.Cit. hlm. 225.

110
pemberian upah bagi pekerjaan-pekerjaan domestik.

Gerakan ini dikritik karena hanya melihat relasi kekeluargaan yang semata-

mata eksploitasi kapitalisme, dimana perempuan memberikan tenaganya secara

gratis. Feminis Marxis dan sosialis mengabaikan unsur- unsur cinta, rasa aman

dan rasa nyaman, yang padahal juga berperan penting dalam pembentukan

sebuah keluarga. Ideologi ini hanya menekankan fokus pada eksploitasi dalam

kapitalisme dan ekonomi. Bukan memberi perhatian lebih pada masalah gender,

justru berkonsentrasi pada analisis kelas213. Menurut Rosemary Hennesy dan

Chrys Ingraham 214, feminisme Marxis dan sosialis melihat budaya sebagai suatu

arena produksi sosial, arena dimana feminis berjuang daripada melihat budaya

sebagai suatu kehidupan sosial secara keseluruhan. Aliran ini juga tidak luput dari

kritikan, karena berakibat peremuan terlalu melupakan pekerjaan domistik.

3) Feminisme Radikal

Aliran ini berkembang pesat di Amerika Serikat pada kurun waktu 1960-an

dan 1970-an. Meskipun gerakan aliran ini hampir sama dengan feminisme

Marxis-sosialis, kelompok ini lebih memfokuskan serangannya pada keberadaan

institusi keluarga dan sistem patriarki. Keluarga dianggapnya sebagai institusi

yang melegitimasi dominasi laki-laki (patriarki), sehingga perempuan tertindas.

Feminisme ini cenderung membenci laki-laki sebagai individu dan mengajak

perempuan untuk mandiri, bahkan tanpa perlu keberadaan laki-laki dalam

kehidupan perempuan.

Elsa Gidlow mengemukakan bahwa menjadi lesbian adalah telah

terbebas dari dominasi laki-laki, baik internal maupun eksternal. Martha Shelley

selanjutnya memperkuat bahwa perempuan lesbian perlu dijadikan model sebagai


213
Gadis Arivia,.Op.Cit hlm 152
214
Rosemary Hennessy dan Chrys Ingraham, 1997, Materialist Feminism: A Reader in Class,
Difference and Women`s Lives, Routledge, New York, hlm.4

111
perempuan mandiri215. Karena keradikalannya, teori ini mendapat kritikan yang

tajam, bukan saja dari kalangan sosiolog, tetapi juga dari kalangan feminis

sendiri. Tokoh feminis liberal tidak setuju sepenuhnya dengan teori ini.

Persamaan total antara laki-laki dan perempuan pada akhirnya akan merugikan

perempuan sendiri. Laki-laki yang tidak terbebani oleh masalah reproduksi akan

sulit diimbangi oleh perempuan yang tidak bisa lepas dari beban ini.
2 1 6
Menurut Arivia inti gerakan feminis radikal adalah isu mengenai

penindasan perempuan. Mereka mencurigai bahwa penindasan tersebut

disebabkan oleh adanya pemisahan antara lingkup privat dan lingkup publik,

yang berarti bahwa lingkup privat dinilai lebih rendah daripada lingkup

publik, dimana kondisi ini memungkinkan tumbuh suburnya patriarki. Dalam

konsep feminisme radikal, tubuh dan seksualitas memegang esensi yang

sangat penting. Hal ini terkait dengan pemahaman bahwa penindasan diawali

melalui dominasi atas seksualitas perempuan dalam lingkup privat. Kaum feminis

radikal meneriakkan slogan bahwa “yang pribadi adalah politis”, yang berarti

penindasan dalam lingkup privat adalah merupakan penindasan dalam lingkup

publik.

Feminis radikal memberikan prioritas pada upaya untuk memenangkan isu-

isu tentang kesehatan, misalnya perdebatan mengenai aborsi dan penggunaan alat

kontrasepsi yang aman. Mereka ingin menyadarkan perempuan bahwa

“perempuan adalah pemilik atas tubuh mereka sendiri”, mereka memiliki hak

untuk memutuskan segala sesuatu yang berkaitan dengan tubuh mereka, termasuk

dalam hal kesehatan dan reproduksi.


217
Rochelle Gatlin menerangkan korelasi antara feminisme liberal dan
215
Ratna Megawangi, Op.Cit. hlm. 226
216
Gadis Arivia, Op.Cit, hlm.100-110
217
Gatlin, Rochelle, American Women ..., Op.Cit., hlm.121

112
perubahannya menjadi feminisme radikal. Ia mendefinisikan feminis liberal

adalah kaum liberal yang potensial. Akan tetapi banyak liberalis yang tidak

menyadari hal ini dan menyangkal bahwa liberalisme yang mereka dukung

adalah sebuah ideologi politis seperti lainnya. Mereka sering tidak sadar bahwa

nilai-nilai liberal dari hak-hak individual dan kesetaraan dan keadilan kesempatan

sesungguhnya berkontradiksi dengan pengakuan feminis mereka bahwa

perempuan adalah sebuah kelas seks yang kondisi umumnya ditentukan

secara sosial dan bukan secara individual.

Para feminis radikal juga memberi perhatian khusus pada isu tentang

kekerasan laki-laki terhadap perempuan. Dominasi laki-laki dalam sistem

patriarki membuat kekerasan yang menimpa perempuan, seperti pemerkosaan,

kekerasan dalam rumah tangga, pornografi, pelecehan seksual, menjadi

tampak alami dan “layak”. Sejalan dengan pemahaman ini, tercipta pula dikotomi

mengenai good girls dan bad girls. Apabila seorang perempuan berperilaku

baik, terhormat, dan patuh, maka ia tidak akan dicelakai.

Mengingat bahwa dalam sistem patriarkhi laki-lakilah yang memegang

kendali kekuasaan dan dominasi, maka adalah juga laki-laki yang berhak

memberikan definisi mengenai perilaku yang “dapat diterima” dan “pantas”, atau

dengan kata lain, seorang perempuan harus bertindak tanduk dalam suatu pola

perilaku untuk memenuhi cita rasa laki-laki dan untuk menyenangkan mereka

agar memperoleh posisi yang aman dan nyaman. Dalam hubungan laki-laki

dan perempuan yang demikian, terdapat suatu pola superordinat - subordinat,

pengampu-diampu, suatu target yang sangat ingin dihapuskan oleh feminis

radikal.

Selanjutnya, terdapat perpecahan dalam feminis radikal, yaitu radikal

113
libertarian dan radikal kultural218. Feminisme radikal libertarian memberikan

perhatian lebih pada konsep isu-isu feminin, pada hak-hak reproduksi dan peran

seksual. Menurut kelompok ini, solusi atas masalah ini adalah dengan

mengembangkan ide androgini, yaitu sebuah model yang mempromosikan

pembentukan manusia seutuhnya dengan karateristik maskulin-feminin.

Di lain pihak, feminis radikal kultural bersikeras pada proposisi yang

menyatakan bahwa perempuan seharusnya tidak seperti laki-laki, dan tidak perlu

bagi perempuan untuk berperilaku seperti laki-laki. Kaum feminis radikal

kultural mencegah penerapan nilai-nilai maskulin yang secara kultural dikenakan

pada pria, misalnya kebebasan, otonomi, intelektual, kehendak, kirarki, dominasi,

budaya, transendensi, perang dan kematian.

Perbedaan antara feminisme radikal libertarian dengan feminisme radikal

kultural mengungkapkan adanya perbedaan sudut pandang yang tajam antara

keduanya mengenai reproduksi. Dimana pertentangannya memperdebatkan

apakah reproduksi merupakan sumber “penindasan perempuan atau “kekuatan

perempuan 219.Meskipun demikian, terdapat satu hal yang mengikat ide radikal

feminisme, yaitu pada pemahaman dasar bahwa sistem gender adalah basis dari

penindasan perempuan. Feminis mengangkat isu-isu tentang seksisme, patriarkhi,

hak-hak reproduksi, kekuatan hubungan laki-laki dan perempuan, dikotomi antara

ranah privat dan ranah publik.

4) Aliran Ekofeminisme

Penganut faham ekofeminisme muncul karena ketidakpuasan akan arah

perkembangan ekologi dunia yang semakin bobrok. Penganut aliran ini

mempunyai konsep yang bertolak belakang dengan tiga aliran feminisme modern

218
Gadis Arivia, Op.Cit., hlm. 108-110
219
Ibid., hlm.109

114
seperti di atas. paham feminisme modern berasumsi bahwa individu adalah

makhluk otonom yang lepas dari pengaruh lingkungannya dan berhak

menentukan jalan hidupnya sendiri. Sedang penganut paham ekofeminisme

melihat individu secara lebih komprehensif, yaitu sebagai makhluk yang terikat

dan berinteraksi dengan lingkungannya220.

Menurut aliran ini, apa yang terjadi setelah para perempuan masuk ke dunia

maskulin yang tadinya didominasi oleh laki-laki adalah tidak lagi menonjolkan

kualitas femininnya, tetapi justeru menjadi male clone (tiruan laki-laki) dan

masuk dalam perangkap sistem maskulin yang hierarkhis. Masuknya perempuan

ke dunia maskulin (dunia publik umumnya) telah menyebabkan peradaban

modern semakin dominan diwarnai oleh kualitas maskulin. Akibatnya, yang

terlihat adalah kompetisi, self-centered, dominasi, dan eksploitasi. Contoh nyata

dari cerminan memudarnya kualitas feminin (cinta, pengasuhan, dan

pemeliharaan) dalam masyarakat adalah semakin rusaknya alam, meningkatnya

kriminalitas, menurunnya solidaritas sosial, dan semakin banyaknya perempuan

yang menelantarkan anak-anaknya221.


222
Mary Daly mengingatkan perempuan untuk waspada terhadap metode-

metode mistifikasi laki-laki. Ia mengklasifikasikan mistifikasi ini ke dalam empat

cara, yaitu penghapusan (erasure), pembalikan (resersal), polarisasi yang salah

(false polarization) serta memecah belah dan menaklukkan (divide and conquer).

Metode penghapusan terlihat dari adanya penghapusan fakta pembunuhan jutaan

perempuan yang disangka sebagai tukang sihir dalam pengetahuan patriarkhi.

Metode pembalikan tercermin dalam mitos-mitos yang patriarkhi,misalnya Adam-

Hawa, Zeus-Athena.
220
Ibid, hlm. 189
221
Ibid, hlm. 183
222
Mary Daly, 1978, Gyn/Ecology : The Metaethics of Radical Feminism, Beacon, Boston, hlm. 8

115
Metode polarisasi yang salah terimplikasi dalam feminisme menurut definisi

laki-laki yang dipertentangkan dengan seksisme menurut definisi laki-laki dalam

media patriarkhi. Sedangkan metode memecah belah dan menaklukkan

terimplementasi dalam bentuk adanya perempuan rendah yang dilatih untuk

membunuh feminis dalam profesi yang patriarkhis. Selanjutnya Daly menegaskan

bahwa budaya maskulin membawa degradasi bagi kemanusiaan, dalam

pemahaman bahwa sistem patriarkhi yang mengagungkan kekuasaan, eksploratif,

destruktif dan menguasai. Apabila sistem patriarkhi dipertentangkan dengan

sistem matriarkhi yang lembut, kebersamaan dan menyayangi, maka alam akan

terjaga dan lestari dalam sistem matriarkhi. Menurut Susan Grifin dalam

Arivia223, perempuan mempunyai kemampuan terhadap pelestarian alam karena

pada dasarnya perempuan mencintai kelangsungan hidup dan bukannya kematian.

Perempuanlah yang melahirkan anak, maka ia mengenal betul arti kehidupan.

5) Feminisme Teologis.

Gerakan penganut aliran teologis ini dikembangkan berdasarkan paham

teologi pembebasan yang menyatakan bahwa sistem masyarakat dibangun

berdasarkan ideologi, agama, dan norma-norma masyarakat. Mereka berpendapat

bahwa penyebab tertindasnya perempuan oleh laki-laki adalah teologi atau

ideologi masyarakat yang menempatkan perempuan di bawah laki-laki

(subordinasi)224.

Dengan demikian dapat ditarik garis besar, sebenarnya aliran-aliran

feminisme muncul karena adanya ketimpangan gender atau gender gap yang

berkaitan dengan peran dan kedudukan laki-laki dan perempuan dalam keluarga dan

masyarakat. Untuk mencapai pembangunan yang berkeadilan dan berkesetaraan dan


Gadis Arivia, Op.Cit. hlm.146
223

224
Abdul karim, Kerangka Studi Feminis (Model Penelitian Kualitatif Tentang Perempuan dalam
Koridor Sosial Keagamaan), Jurnal Fitrah, Volume 1, No. 2, Juni 2014, hlm.65

116
keadilan gender (gender equality) dan keadilan gender (gender equity), maka harus

ada relasi gender yang harmonis antara laki-laki dan perempuan

F. Pengarusutaman Gender (PUG)

Istilah pengarusutamaan gender (Gender Mainstreaming) atau biasa disingkat

dengan PUG telah menjadi kosa kata standar dalam kamus pembangunan,

merupakan suatu strategi agar keprihatinan dan pengalaman perempuan dan laki-laki

menjadi suatu dimensi integral dari perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan

penilaian kebijakan dan pemograman didalam bidak politik, hukum ekonomi dan

sosial sehingga perempuan dan laki-laki sama-sama menikmati manfaatnya.

Pengarusutamaan gender masuk kedalam khasanah pembangunan hanya baru

belakangan ini, kurang lebih satu setengah dasawarsa yang lalu. Pada waktu

konferensi wanita sedunia di Nairobi tahun 1985, istilah itu masuk ke dalam diskusi-

diskusi yang membicarakan wanita dan pembangunan, meskipun demikian

penggunaannya tidak sampai meluas. Kurang lebih satu dasawarsa kemudian, di

bulan Juni 1994, “the Jakarta Plan of Action (JPA) for the Advencement of women in

Asia and Pacific, diadopsi oleh konferensi Tingkat Menteri Asia Pacific kedua

mengenai wanita dalam pembangunan, di sini istilah Pengarusutamaan Gender

muncul dalam program aksi, dalam kata-kata yang menekankan “mainstream Gender

concern in public policies and programes. Satu tahun kemudian, di konferensi

Wanita Sedunia yang diselenggarakan di Beijing 1995 225, istilah gender

mainstraming muncul lagi di Beijing Platform of Action, kali ini semua negara-

negara peserta termasuk Indonesia dan agen-agen pembangunan yang hadir pada

konferensi itu, secara eksplisit menerima mandat untuk mengimplementasikan

Pengarusutamaan gender di negara masing-masing.

225
Hartian Silawati, Pengarusutamaan Gender Mulai Dari mana, Jurnal perempuan, No. 50 Tahun
2006, hlm.20-22

117
Menurut Teresa Rees ada tiga prinsip di belakang PUG yaitu:226

a. Menempatkan individu sebagai manusia seutuhnya.

Prinsip ini berasal dari paradigma politics of difference (politik perbedaan

yang melihat laki-laki dan perempuan sebagai orang yang mampu memikul

tanggung jawab masing masing. Kemanusiaan laki-laki dan perempuan harus

mendapakan penghargaan dan penghormatan yang sama karena mereka sama-

sama lahir sebagai manusia yang berhak untuk hidup dengan mulia dan memiliki

hak-hak dasar yang harus dilindungi.

b. Demokrasi

Demokrasi berarti keterlibatan anggota masyarakat sipil dalam proses-

proses pemerintahan, juga meningkatkan partisipasi masyarakat sipil dlam

membangun dan merancang kegiatan yang dapat mempengarauhi hidup mereka.

Sehingg diperlukan adanya forum-forum dimana perempuan dan laki-laki dapat

menyuarakan kebutuhan dan aspirasinya.

c. Fairness, justice and equity

Inti dari prinsip Fairness, justice and equity (pemerataan, penegakan

hukum dan kesetaraan dan keadilan) ini adalah yang disebut keadilan sosial.

Inilah alasan utama mengapa PUG harus dilakukan, tanpanya PUG tidak lebih

dari perubahan manajemen yang tetap berorientasi pada keuntungan

pembangunan itu sendiri, daripada mengupayakan keadilan bagi warga.

Dari tiga prinsip di atas jelaslah bahwa keadilan berperspektif gender adalah

nilai fundamental dalam pemenuhan dan promosi hak-hak manusia juga.

Mengarusutamakan keadilan gender berarti membawa laki-laki dan perempuan

dalam proses pengambilan keputusan tentang alokasi sumber daya dan manfaat

226
Ibid hlm. 21-22

118
pembangunan.

Di Indonesia pelaksanaan PUG baru mempunyai dasar hukum dengan

dikeluarkannya Inpres Nomor 9 Tahun 2000 Tentang PUG Dalam Pembangunan

Nasional, delapan tahun kemudian berdasarkan Permendagri Nomor 15 tahun 2008

tentang Pedoman Umum Pelaksanaan PUG di Daerah mengharuskan untuk

mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan,

penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan, program, dan

kegiatan pembangunan di daerah. Pengarusutamaan gender menjadi penting karena

PUG merupakan salah satu strategi untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender

melalui pengintegrasian pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan permasalahan

perempuan/laki-laki ke dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan

evaluasi dari seluruh kebijakan/program /kegiatan di berbagai aspek kehidupan dan

pembangunan. Tujuan yang diharapkan dari pelaksanaan PUG adalah agar

terwujudnya Kesetaraan dan keadilan Gender (KKG).

Pengarusutamaan gender (PUG) merupakan strategi untuk mengurangi

kesenjangan gender dan mencapai kesetaraan dan keadilan gender dengan cara

menggunakan perspektif gender dalam proses pembangunan. PUG merupakan

proses untuk menjamin perempuan dan laki-laki mempunyai akses dan kontrol

terhadap sumber daya, memperoleh manfaat pembangunan dan pengambilan

keputusan yang sama di semua tahapan proses pembangunan dan seluruh proyek,

program, dan kebijakan pemerintah sebagaiman di instruksikan oleh Instruksi

Presiden (Inpres) no. 9 tahun 2000 tentang PUG dalam Pembangunan Nasional.

Berdasarkan ketentuan umum dalam lampiran Instruksi Presiden (Inpres) no. 9

tahun 2000 tentang Pedoman PUG dalam Pembangunan Nasional menyatakan

bahwa : Pengarusutamaan gender adalah strategi yang di bangun untuk

119
mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan,

penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program

pembangunan nasional.

Jadi PUG merupakan strategi lintas bidang bersama dengan

pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan dan pengarusutamaan tata kelola

pemerintahan yang baik, yang berfungsi sebagai227:

a. Landasan operasional bagi seluruh pelaksanaan pembangunan yang tertuang

dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).

b. Prinsip-prinsip pengarusutamaan ini diarahkan untuk dapat tercermin di dalam

keluaran pada kebijakan pembangunan.

c. Prinsip-prinsip pengarusutamaan akan menjadi jiwa dan semangat yang

mewarnai berbagai kebijakan pembangunan di setiap bidang pembangunan.

Hal ini perlu dipahami oleh setiap orang untuk membedakan antara konsep

PUG dengan Pemberdayaan Perempuan. Konsep Pemberdayaan Perempuan

merupakan strategi afirmasi untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender yang

bertujuan untuk:

a. meningkatkan kualitas hidup dan peran perempuan dalam berbagai bidang

pembangunan

b. meningkatkan pemenuhan hak-hak perempuan atas perlindungan dari tindak

kekerasan.

c. Biasanya berwujud program dan kegiatan untuk memenuhi kebutuhan praktis

maupun strategis khusus perempuan, misalnya: penguatan kapasitas perempuan

227
Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2011, Perencanaan dan
Penganggaran Daerah yang Responsif Gender (PPRG), Jakarta, hlm.49

120
calon legislatif, penyediaan layanan bagi perempuan korban kekerasan dalam

rumah tangga

Pengelolaan Pemberdayaan Perempuan di tingkat nasional berada pada

kementrian, sedangkan dalam konteks otonomi daerah, pemberdayaan perempuan

merupakan salah satu urusan wajib daerah yang pengelolaannya diserahkan kepada

Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang dibentuk oleh masing-masing

daerah (UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah). Pada prinsipnya, PUG

dan pemberdayaan perempuan sama-sama bertujuan untuk mewujudkan kesetaraan

dan keadilan antara laki-laki dan perempuan. Dalam konteks otonomi daerah, PUG

tetap menjadi isu lintas bidang yang mewarnai seluruh kebijakan, program, dan

kegiatan semua SKPD atau sektor. Dengan kata lain, implementasi strategi PUG

menjadi tanggung jawab seluruh SKPD. Manifestasi PUG bisa berwujud kegiatan

khusus perempuan di sektor tersebut maupun tercermin dari indikator kinerja hasil

sektor masing-masing. Sedangkan pemberdayaan perempuan merupakan salah satu

urusan wajib daerah yang fungsinya harus dikerjakan oleh daerah melalui suatu

organisasi maupun SKPD yang ditugasi untuk melakukan fungsi tersebut.

Ruang lingkup PUG meliputi seluruh perencanaan, penyusunan,

pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi kebijakan dan program pembangunan

nasional, sebagaimana penjelasan berikut ini228.

a. Perencanaan

Perencanaan merupakan upaya untuk mencapai tujuan secara rasional

baik dalam tahapan membuat kebijakan maupun program, di tingkat

nasional,propinsi maupun kabupaten/kota. Perencanaan kebijakan merupakan

228
Kementria Pemberdayaan Perempuan, 2005, Bahan Pembelajaran Pengarusutamaan Gender,
Jakarta, hlm. 27-32

121
penentuan tujuan dan sasaran pembangunan, sedangkan perencanaan

program merupakan operasional dari kewenangan pemerintah yang

dilakukan pada setiap lingkup pemerintahan di berbagai tingkatan wilayah.

Perencanaan yang responsif gender adalah perencanaan yang dibuat oleh

seluruh lembaga pemerintah, organisasi profesi, masyarakat dan yang lainnya

yang disusun dengan mempertimbangkan empat aspek seperti: peran, akses,

manfaat dan kontrol yang dilakukan secara setara antara perempuan dan laki-

laki. Perencanaan program dilakukan setiap tahun dalam rangka menjabarkan

kebijakan yang telah ditetapkan RKP (Rencana Kerja Pemerintah), dan

“Koreksi” dapat saja dilakukan dalam kurun waktu tersebut apabila dirasa

ada kekeliruan.

b. Pelaksanaan.

Pada tahap pelaksanaan agar mempertimbangkan aspek perencanaan

tersebut di atas, apakah dalam setiap kegiatan perempuan dan laki-laki

mendapat peran, akses, manfaat dan kontrol yang sama dan perlu didukung

dengan menyiapkan hal-hal sebagai berikut :

1). kemampuan para pelaksana Pengarusutamaan Gender;

2). Penyusunan perangkat analisis, pemantauan dan penilaian;

3). Pembentukan mekanisme dan pelaksanaan PUG, antara lain :

a). Forum Komunikasi

b). Kelompok Kerja

c). Panitia Pengarah (Stering Committee)

d). Tim Penggerak PUG

4). Pembentukan kebijakan formal yang mampu mengembangkan

komitmen jajaran pemerintah dan swasta serta disemua tingkatan,

122
propinsi, kabupaten kota.

5). Pembentukan mekanisme jejaring kerja yang melibatkan semua

stakeholders dalam proses PUG.

6). Pembentukan kelembagaan PUG pada instansi pemerintah di setiap

wilayah.

PUG adalah konsep dan strategi yang masih sulit dipahami229, Ia sering

dipahami sebagai program/kegiatan, maka implementasi strateginya pun

dianggap memerlukan anggaran khusus pula, sehingga di wilayah yang

anggaran belanja daerahnya sangat terbatas tuntutan alokasi program PUG ini

jadi sulit terpenuhi, padahal sebenarnya tidak perlu menciptakan

program/kegiatan baru, melainkan cukup melakukan intervensi pada

penyususnan kegiatan yang sudah ada.

c. Pemantauan dan evaluasi.

Pemantauan dan evaluasi yang dilakukan terhadap berbagai

kebijakan, program dan kegiatan yang sudah disusun (direncanakan) perlu

dipantau dan dievaluasi dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

1). Dapat dipertanggung jawabkan

2). Tepat waktu

3). Sederhana; efektif dan efisien (tepat guna)

4). Transparan, dapat dipercaya dengan data yang valid

5). Menggunakan data terpilah menurut jenis kelamin

6). Adanya indikator dan tolak ukur.

Berdasarkan uraian di atas, maka dalam mensosialisasikan pelaksanaan

pengarusutamaan gender (PUG) dan penerapannya di Indonesia perlu menerapkan

prinsip-prinsip sebagai berikut:


229
Hartian Salawati, Op.Cit, hlm. 30

123
1. Pluralistis

2. Bukan pendekatan konflik

3. Melalui proses sosialisasi dan advokasi

4. Menjunjung Nilai HAM dan Demokratisasi

Pendekatan PUG di Indonesia sebaiknya tidak melalui

pertentangan-pertentangan dan penekanan-penekanan, sehingga ada

kelompok-kelompok yang merasa dirugikan. PUG di Indonesia penerapannya

akan selalu menjunjung nilai-nilai Hak Azazi Manusia ( H A M ) dan

demokratis, sehingga akan diterima oleh lapisan masyarakat tanpa ada

penekanan-penekanan.

G. Affirmative action

Affirmative action dapat diartikan sebagai “A policy or a program

that seeks to redress past discrimination through active measures to ensure

equal opportunity, as in education and employment.230 (Kebijakan atau

program yang berusaha untuk memperbaiki tindakan diskriminasi yang terjadi

pada masa lalu melalui tindakan aktif untuk menjamin kesempatan yang sama,

seperti dalam pendidikan dan pekerjaan). Istilah affirmative action juga dikenal

dengan sebutan reservation di India, positive discrimination di United

Kingdom dan employmentequity di Kanada.

Affirmative action merupakan kebijakan khusus yang bersifat

sementara dari sekian banyak kebijakan untuk meningkatkan peran serta

perempuan dalam dunia sosial, ekonomi dan politik. Sebenarnya masih ada

230
http://www.answers.com/topic/affirmative-action. (terakhir kali di kunjungi pada tanggal 26
September, 2015, pukul :14:33 wib)

124
banyak hal yang bisa dilakukan terkait kebijakan affirmative action bidang

politik, antara lain seperti yang diterangkan Pippa Norris, bahwa kebijakan

affirmative selain menempatkan perempuan dalam daftar calon anggota legislatif

sebagai calon potensial, bisa juga dilakukan dengan memberikan pelatihan

khusus, dukungan pendanaan dan publikasi berimbang terhadap calon

perempuan tersebut.231 Tentu saja terminal akhir dari affirmative action itu

adalah meningkatkan keterwakilan politik perempuan dan tercapainya kesetaraan

dan keadilan gender. Affirmative action berarti langkah-langkah positif yang

diambil untuk meningkatkan representasi perempuan dan kaum minoritas

dalam bidang pekerjaan, pendidikan, dan bisnis yang sudah menjadi

permasalahan dari dulu. Ketika langkah-langkah tersebut melibatkan pilihan-

pilihan khusus berdasarkan ras, gender, atau etnis tertentu, maka langkah-

langkah tersebut menimbulkan kontroversi.232

Dalam sejarahnya, kebijakan affirmative action muncul pertama kali

di Amerika Serikat sebagai reaksi atas praktik-praktik diskriminasi yang terjadi

pada masa lalu, terutama di bidang pendidikan dan pekerjaan. Presiden

John F.Kennedy pada 1961 mengeluarkan excecutive order untuk menjamin

agar setiap orang diperlakukan setara tanpa melihat ras, etnik, jender, agama,

atau asal-usul kebangsaan untuk masuk universitas atau melamar pekerjaan .233

231
http://en.wikipedia.org/wiki/Affirmative_action, (terakhir kali di kunjungi pada 26 September 2015,
pukul, 14: 56 wib)
232
Stanford Encyclopedia of Philosophy, Affirmative Action, First published Fri Dec 28, 2001;
substantive revision Wed Apr 1, 2009, http:// plato.stanford.edu/entries/affirmative- action/#Bib,
(terakhir kali di kunjungi pada 27 September 2015 pukul 09;37wib

http://www.inmotionmagazine.com/aahist.html, (terakhir kali di kunjungi pada 26 September


233

2015, pukul 09:55 wib

125
Sebagaimana diungkapkan oleh Ani Widyani,234 bahwa pada awalnya

affirmative action dirancang untuk menanggapi kondisi ekonomi

kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat. Tujuannya saat itu adalah

untuk memperbaiki posisi dan kedudukan ekonomi perempuan atau

kelompok kulit berwarna di Amerika sebagai dampak dari kebijakan

segresasi dan diskriminasi yang menimpa mereka.

Implikasi atas berbagai macam diskriminasi terhadap kelompok

minoritas yang terjadi selama kurun waktu yang relatif lama itu telah

menyebabkan mereka tertinggal dalam segala aspek baik di bidang

ekonomi maupun partisipasi di bidang politik. Untuk mengakselerasi dan

menciptakan kesetaraan dan keadilan kelompok marjinal tersebut akibat

ketidakadilan yang dialaminya, maka berbagai macam hal dilakukan.

Termasuk diantaranya adalah dengan mengeluarkan kebijakan affirmative

action yaitu memberikan hak istimewa kepada kelompok minoritas agar

mampu sejajar kedudukannya dengan kelompok-kelompok lain dalam jangka

waktu tertentu sampai kesetaraan dan keadilan itu tejadi. Kebijakan

diskriminatif positif yang bersifat sementara ini dibolehkan oleh hukum

sebagaimana bunyi Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 menetapkan, “Setiap orang

berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh

kesempatan dan manfaat dan Pasal 4 Konvensi Penghapusan Segala Bentuk

Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) yang menegaskan bahwa:

“Penggunaan langkah sementara yang dilakukan pemerintah untuk memacu


kesetaraan dan keadilan laki-laki dan perempuan secara de facto tidak dianggap
diskriminasi. Tetapi hal itu tidak boleh dilanggengkan karena sama dengan
234
Ani Widyani, 2005, Politik Perempuan Bukan Gerhana: Esai-Esai Pilihan, Penerbit Buku
Kompas, Jakarta, hlm. 100

126
memelihara ketidaksetaraan dan standar yang berbeda. Langkah itu harus segera
dihentikan ketika tujuan dari kesetaraan dan keadilan, kesempatan dan tindakan
telah tercapai”.

Secara teoritik, kebijakan affirmasi ini tidak ada yang

menentangnya. Namun dalam praktek sering muncul perdebatan

terutama bila kebijakan affirmative action itu diterjemahkan menjadi

penentuan kuota tertentu. Memang ketika berbicara affirmative action, maka

persoalan yang terkait di dalamnya adalah persoalan kuota yang di banyak

negara banyak dipakai sebagai salah satu cara untuk mengejewantahkan

adanya kebijakan affirmative action ini. Para pejuang dan pembela hak-hak

perempuan menganggap bahwa kebijakan kuota bisa menjadi salah satu

alternatif yang efektif bagi terciptanya kesetaraan dan keadilan kaum minoritas

(perempuan) di parlemen. Penegasan tentang prosentasi kuota bagi perempuan

dianggap adil karena berbagai keterbatasan yang dimiliki oleh perempuan

akibat perlakuan diskriminatif membuat perempuan tidak bisa

berkompetisi dengan laki-laki dengan start yang bersamaan. Sehingga

kuota diperlukan untuk menutupi kekurangan tersebut.

Menurut Ani Soetjipto, kuota adalah salah satu mekanisme yang

populer dan biasa digunakan dalam pelaksanaan kebijakan afirmatif. Cara

ini efektif membuka pintu lebih banyak bagi perempuan untuk berpartisipasi di

arena politik dan mempersempit gender gap dalam waktu singkat .235

Sebanyak 187 negara di dunia mempraktikkannya. Tidak ada yang salah jika

Indonesia juga menggunakan mekanisme kuota sebagai salah satu cara

pelaksanaan kebijakan afirmatif. Di sisi lain tidak sedikit pula kelompok-

kelompok yang menentang kebijakan kuota ini dengan alasan melanggar


235
Ani Soetjipto, Kebijakan Afirmatif bagi Perempuan, Kompas, Selasa, 10 Februari 2014, hlm.
4

127
asas persamaan di depan hukum (equality before the law) dan cenderung

diskriminatif.

Padahal, kalau mengingat semangat awal adanya affirmative action

itu adalah untuk menciptakan kesetaraan dan keadilan. Sehingga, dengan

adanya kuota ini justru bertolak belakang dengan cita-cita awal affirmative

action tersebut. Amich Alhumami236 menegaskan bahwa:

“kebijakan afirmatif tidak paralel dengan kuota bagi kaum perempuan


atau kelompok minoritas. Ada perbedaan fundamental antara tujuan
kebijakan afirmatif dan kuota. Tujuan utama kebijakan afirmatif adalah
pelibatan sekelompok orang, yang semula tereksklusi dan kurang
terwakili di arena publik, tanpa pembatasan dan hanya didasarkan
kualifikasi individual. Sistem kuota adalah court assigned to redress a
pattern of discriminatory hiring. Karena itu, kebijakan afirmatif tak bisa
dijadikan dasar untuk mengangkat seseorang yang tak memenuhi standar
kualifikasi dan tak layak menduduki posisi di lembaga publik. Kebijakan
afirmatif tidak menoleransi seseorang dengan kemampuan minimal dan
berkapasitas rendah dengan pertimbangan jender atau keragaman sosial
budaya guna menempati jabatan publik”.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bangsa Indonesia telah

berkomitmen untuk terus mendukung terhadap upaya-upaya dalam rangka

memajukan kesetaraan dan keadilan gender di berbagai bidang salah satunya dalam

ranah politik upaya yang dilakukan adalah memasukkan ketentuan affirmative

action dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum

(UU Pemilu) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,

dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pasal 55 ayat 2 UU Pemilu berbunyi “Di

dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam setiap 3 (tiga)

orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal

calon”. Bahkan UU ini telah memberikan keistimewaan kepada kaum hawa sejak proses

pengajuan daftar bakal calon legislatif (caleg) oleh partai politik peserta pemilu yang

menganjurkan bagi setiap Parpol untuk memenuhi 30% calegnya harusberasal dari
236
Inno Jemabut, Dampak Suara Terbanyak, Kuota Perempuan 30 Persen Sulit
Direalisasikan, Sinar Harapan, Selasa, 30 Desember 2008, hlm. 3

128
perempuan. Selengkapnya Pasal 53 menyatakan “Daftar bakal calon sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 52 memuat paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus)

keterwakilan perempuan”. Kebijakan ini dimaksudkan untuk mendorong kesetaraan

keterwakilan perempuan dan laki-laki di parlemen.

Tindakan affirmasi merupakan sarana/cara yang dapat dan harus

digunakan untuk mengatasi masalah ketidakberuntungan perempuan. Hukum

internasional dan undang- undang India mengakui adanya ”diskriminasi korektif”

atau ”diskriminasi penyeimbang” seperti itu237. Tindakan affirmasi didasarkan pada

pemahaman bahwa kesetaraan dan nondiskriminasi tidak berarti perlakuan yang

sama. Pasal 4 dan ketentuan tematik CEDAW mewajibkan negara pihak untuk

menghapus diskriminasi yang kini dihadapi atau di masa lalu dengan

mengambil langkah-langkah khusus, baik yang bersifat sementara maupun

berkelanjutan. Sebagai contoh, ketidakberuntungan historis dalam hal partisipasi

politik dapat diatasi dengan penentuan quota atau penyediaan tempat dan cara

sementara yang memungkinkan tercapainya hasil dari kesetaraan dan keadilan.

Kebijakan yang ditentukan untuk menyediakan pekerjaan dan kenaikan

pangkat bagi perempuan dalam situasi dimana perempuan kurang terwakili, yang

disebabkan karena ketidakberuntungan historis atau prasangka yang sudah lama

berakar, juga merupakan suatu bentuk tindakan afirmasi Pasal 4 mencakup langkah

khusus untuk tidak hanya memecahkan masalah diskriminasi historis ataupun yang

kini dihadapi, tetapi juga kondisi yang menyangkut kebutuhan biologis dan

psikologis perempuan, seperti fungsi mengandung dan melahirkan anak


237
Walaupun istilah diskriminasi positif biasa dipakai untuk menyebutkan tindakan affirmatif,
Rekomendasi Umum no. 25 menyatakan kecenderungan pemakaian istilah diskriminasi 'korektif' atau
'kompensatoris' ketimbang diskriminasi 'positif'. Privilege must be distinguished from corrective or positive
discrimination. Whereas privilege is based on social convention and tradition, positive discrimination is
based on the rationale that historical barriers faced by certain groups on any enumerated ground of
discrimination must be overcome and eliminated.

129
(maternity). Langkah-langkah khusus tersebut tidak bersifat sementara tetapi

berkelanjutan. Suatu langkah khusus, apakah sementara atau berkelanjutan,

penting untuk menyeimbangkan keadaan yang tidak seimbang (uneven playing

field).

Istilah langkah khusus tidak terkait dengan kebutuhan perempuan, karena

hal ini kadang- kadang membuat perempuan dan kelompok lain yang

terdiskriminasi sebagai lemah, rentan dan memerlukan langkah ekstra dan

khusus . Istilah ‘khusus’ tidak terkait dengan kelemahan tetapi langkah-tindak yang

diperlukan untuk mengatasi diskriminasi; tetapi terkait dengan tujuan khusus yang

ingin dicapai. Kata 'sementara' tidak berarti suatu kurun waktu yang ditentukan

terlebih dahulu, tetapi bahwa diskriminasi dapat digantikan dan dihapuskan dengan

melaksanakan langkah-langkah khusus. Karenanya, langkah sementara akan terus

dilanjutkan sampai ketidaksetaraan berhasil diatasi238.

BAB III

PERSPEKTIF GENDER DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

A. Asas-Asas Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Kata asas berasal dari bahasa Arab asaasun artinya dasar, basis,

prinsip, aturan-aturan dan pondasi.239 Dalam terminologi Bahasa Indonesia, asas

diartikan sebagai dasar, alas, atau pondamen, dan diartikan pula sebagai sesuatu

238
UNIFEM, CEDAW, Restoring Rights to Women, Partners Of Law In Development, (PLD), New
Delhi , 2004, Terjemahan Aunul Fauzi dalam CEDAW, Mengembalikan Hak-hak perempuan , hlm. 34
239
Hasanuddin AF dkk, 2004, Pengantar Ilmu Hukum, Pustaka Al Husna Baru dan UIN Jakarta
Press, Jakarta, hlm. 213.

130
kebenaran yang menjadi pokok dasar atau tumpuan berpikir atau berpendapat, dan

sebagainya. 240
Sedangkan menurut Roscoe Pound, 241asas diartikan sebagai titik tolak

yang memiliki otorita bagi argumentasi hukum, yang berdasarkan akal/rasionalitas.

Dalam bahasa Inggris asas diartikan sebagai Principle yang

mengandung arti:

“A fundamental truth or doctrine, as of law; a comprehensive rule of doctrine


which furnishes a basic or origin for other;asettled rule of action,
procedure, or legal determination. A truth or proposition so clear that it can
not be proved or contradicted unless by a proposition which still clearer.
That which constitutes the essence of a body or its constituent parts. That
which pertains to the theoretical part of a sciense”242

Berdasarkan terjemahan asas sebagai principle sebagaimana disebutkan di

atas, maka asas dapat disamakan dengan prinsip. Oleh Jeremy Bentham, 243 prinsip ini

diartikan sebagai suatu gagasan primer yang menjadi titik tolak atau dasar-dasar untuk

suatu sistem penalaran. Bagi hukum, asas (legal principle) adalah prinsip-prinsip yang

dianggap dasar atau fundamental atau juga dapat disebut sebagai pengertian dan nilai-

nilai yang menjadi titik tolak berpikir tentang hukum, pembentukan dan interpretasi

terhadap undang-undang. 244

245
Selanjutnya menurut Paul Scholten, asas hukum ini diartikan sebagai

pikiran-pikiran dasar yang terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum masing-

240
WJS. Poerwadarminta, 2006, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hlm. 63.
241
Roscoe Pound, dalam Achmad Ali, 2002, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan
Sosiologis), Gunung Agung, Jakarta, hlm. 18.
242
Henry Campbell, 1998, Black Law Dictionary, hlm. 824.
243
Jeremy Bentham, 2006, Teori Perundang-Undangan. Prinsip-Prinsip Legislasi, Hukum
Perdata dan Hukum Pidana, Nusa Media dan Nuansa, Bandung, hlm. 26.
244
Theo Huijbers, 1995, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 81. Asas hukum (legal
Principle) ini merupakan hal yang sangat esensial dari hukum. Asas hukum ini baik yang mengendap di
dalam maupun yang dibelakang dari bangunan tatanan hukum positif. Misal, asas keadilan turunan dari
asas kesetimbangan, asas kemanfaatan turunan dari asas kesejahteraan (kepentingan) sosial dan asas
kepastian hukum turunan dari asas legalitas dan asas-asas yang lainnya. Herman Bakir, Kastil Teori
Hukum, Indeks, Jakarta: 2005, hlm. 36-37
245
Yuliandri, Op.Cit, hlm. 19.

131
masing, yang dirumuskan dalam aturan perundang-undangan dan putusan-putusan

hakim. Asas hukum merupakan unsur yang penting dan pokok dari peraturan hukum,

dan ia juga merupakan jantungnya peraturan hukum, karena ia merupakan landasan

yang paling luas bagi lahirnya peraturan hukum atau ratio logisnya suatu peraturan

hukum.246 Oleh karena itu dalam hukum, asas ini sangat dibutuhkan

keberadaannya, karena disadari bahwa tidak mungkin kaidah dilaksanakan secara

tepat terhadap setiap detil situasi yang bertalian dengan fakta.247

Scholten juga menegaskan bahwa asas hukum (rechtsbeginsel) bukanlah

sebuah aturan hukum (rechtsregel), asas hukum bukanlah hukum, namun hukum tidak

akan dapat dimengerti tanpa adanya asas-asas tersebut, sehingga adalah menjadi tugas

ilmu pengertahuan hukum untuk menelusuri dan mencari asas hukum itu dalam hukum

positif248. Norma hukum merupakan aturan, pola atau standar yang sifatnya mengatur

yang perlu di ikuti, menurut Kelsen fungsi norma hukum antara lain memerintah

(Gebieten), melarang (Verbieten), menguasakan (ermachtigen), membolehkan

(erlauben) dan menyimpang dari ketentuan249

Menurut JJ Van Eikima Hommes,250 asas hukum tidak boleh dianggap

sebagai norma-norma hukum yang konkret akan tetapi harus dipandang sebagai dasar-

dasar umum atau petunjuk-petunjuk bagi hukum yang berlaku. Oleh karena itu, asas
. .
hukum harus dikonkretisasikan 251 Norma hukum yang tidak sesuai dengan asas

hukum tidak boleh dianggap sebagai hukum.252 Untuk memahami hukum suatu

246
Satjipto Rahardjo, 2006, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 81.
247
Achmad Ali, Op.Cit. hlm. 19.
248
Paul Scholten, dalam CST Kansil dkk, 2005, Kemahiran Membuat Peraturan Perundang-
undangan, PT Perca, Jakarta Timur, hlm.53
249
Ibid, hlm 54
250
Hasanuddin AF dkk, Op.Cit., hlm. 213
251
J.J.H. Bruggink, 1999, Refleksi Tentang Hukum, terjemahan Arief Sidharta, Citra Aditya
Bakti, Bandung, hlm. 132.
252
Mahadi, 2003, Falsafah Hukum, Suatu Pengantar, Alumni, Bandung, hlm. 94.

132
bangsa dengan sebaik-baiknya tidak bisa hanya melihat pada peraturan-peraturan

hukumnya saja, melainkan harus menggali sampai kepada asas-asas hukumnya. 253 Oleh

karena itu antara asas hukum dan norma hukum tidaklah dapat dipisahkan satu

sama lainnya di dalam pembentukan hukum.254 Suatu aturan tanpa ada asas-asas

hukum dalam norma yang diaturnya menurut JJ Van Eikema Hommes

sebagaimana dikutip Soerjono Soekanto, 255 akan kehilangan kekuatan mengikatnya,

dan asas-asas hukum yang sudah diterapkan dalam suatu peraturan hukum tidak

akan hilang kekuatannya, akan tetapi tetap dapat diterapkan pada peraturan

perundang-undangan lain yang ada kaitan dengan asas hukum tersebut.256

Dalam pembentukan hukum, asas-asas hukum mempunyai arti yang sangat

penting, karena asas-asas hukum ini akan memberikan landasan secara garis besar

mengenai ketentuan-ketentuan yang perlu dituangkan di dalam aturan hukum. 257

Bahkan menurut Lacey, 258


dalam “A dictionary of philosophy,” sebagaimana di

kutip oleh Mahadi, asas adalah suatu hukum yang tinggi letaknya, dan padanya dapat

digantungkan, disandarkan, disendikan banyak hukum-hukum yang lain. Oleh karena

itu dalam pembentukan hukum perlu berorientasi pada asas-asas hukum atau dengan

kata lain asas hukum merupakan dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum

positif.259.

Asas hukum, baik sebagai norma penguji maupun sebagai pokok pikiran

253
Satjipto Rahardjo, Op.Cit. hlm. 47.
254
Jazim Hamidi dan Kemilau Mutik, 2011, Legislative Drafting, Seri Naskah Akademik
Pembentukan Perda, Total Media, Yogyakarta, hlm. 21
255
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2010, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali Pers,
Jakarta,.
hlm. 64.
256
Muhammad Erwin, 2008, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Kebijaksanaan Pembangunan
Lingkungan Hidup, PT. Refika Aditama, Bandung, hlm. 49.
257
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, hlm.79.
258
Mahadi, Falsafah Hukum, Op.Cit., hlm. 120.
259
Chairul Arrasjid, 2004, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 37

133
yang melandasi sistem hukum yang nyata berfungsi sebagai hukum positif. Oleh

Scolten, 260 asas hukum digambarkan sebagai “pokok-pokok pikiran yang melandasi dan

melatarbelakangi setiap ketentuan perundang-undangan maupun putusan-putusan

pengadilan di dalam suatu sistem hukum.” Oleh karena itu fungsi asas-asas hukum di

sini adalah untuk sejauh mungkin menjaga dan mewujudnyatakan standar nilai

(waardenmaatstaven) atau sebagai tolak ukur yang tersembunyi di dalam atau

melandasi norma-norma yang tercakup di dalam hukum positif serta hukum

dalam praktik.

Asas hukum dapat saja menjadi dasar dari beberapa ketentuan hukum,

sekumpulan peraturan, bahkan melandasi stelsel atau sistem hukum.261 Selanjutnya

menurut Bruggink,262 asas-asas hukum memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai pondasi

(fundament) dari sistem hukum positif dan sebagai alat uji kritis terhadap sistem hukum

positif. Selanjutnya menurut Sunaryati Hartono,263 asas hukum mempunyai sifat dan

fungsi sebagai faktor pengintegrasian yang memadukan peraturan-peraturan yang

cerai berai menjadi satu sistem atau bagian hukum yang bulat. Bahkan dapat menjadi

faktor penyeleksi yang menetukan peraturan mana yang dapat masuk atau dimasukkan

ke dalam sistem, bagian atau bidang hukum tertentu, dan mana yang harus ditolak.

Selain itu juga asas dapat berfungsi sebagai saluran bagi masuknya ide serta sekalian

kekayaan kultural suatu bangsa ke dalam sistem hukumnya.

Secara khusus asas-asas hukum nasional itu mempunyai beberapa

peranan:264
1. Memberikan sukma atau ruh kepada sistem hukum nasional yang menunjukkan
260
Herlien Budiono, Dalam Elly Erawati, Bayu Seto Hardjowahono dan Ida Susanti (editor),
2011, Beberapa Pemikiran tentang Pembangunan Sistem Hukum Nasional Indonesia, Liber Amicorum Untuk
Prof. Dr. CFG. Sunaryati Hartono, S.H., Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 292-293
261
Ibid, hlm. 293.
262
Ibid
263
Ibid, hlm. 39-40.
264
Ibid, hlm. 43-44.

134
semangat dan jiwa sistem hukum nasional;

2. Secara lebih konkrit, asas-asas hukum nasional memberikan pengarahan

pada pembentukan hukum (badan legislatif), penggali hukum (peradilan),

maupun pelaksana hukum mengenai apa yang wajib, diperbolehkan, atau

dilarang dilakukan oleh pemerintah, peradilan, maupun warga negara;

3. Memberikan rambu-rambu sebagai batas-batas sampai dimana diperlukan

kebebasan dalam pelaksanaan kekuasaan oleh pemerintah atau sampai batas

mana kebebasan hakim dan warga negara masih dapat dibenarkan, dalam

rangka kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam pembentukannya supaya peraturan perundang-undangan itu baik,

maka menurut Van der Vlies,265 ada dua asas yang harus diperhatikan yaitu asas

formal dan asas materil. Asas formal meliputi:

1. Asas tujuan yang jelas, meliputi ketepatan letak peraturan perundang-

undangan dalam kerangka kebijakan umum pemerintahan, tujuan khusus

peraturan yang akan dibentuk dan tujuan dari bagian-bagian yang akan

dibentuk tersebut;

2. Asas organ atau lembaga yang tepat. Untuk menegaskan kejelasan organ

yang menetapkan peraturan perundang-undangan;

3. Asas perlunya pengaturan, sebagai prinsip yang menjelaskan berbagai alternatif

maupun relevansi dibentuknya peraturan untuk menyelesaikan problem;

4. Asas dapat dilaksanakan, sebuah peraturan yang dibentuk seharusnya dapat

ditegakkan secara efisien dan efektif;

5. Asas konsensus, merupakan kesepakatan rakyat untuk melaksanakan kewajiban

yang ditimbulkan oleh suatu peraturan secara konsekuen;

Jazim Hamidi dan Kemilau Mutik, 2010, Civic Education, Antara Realitas Politik dan
265

Implementasi Hukumnya, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 23

135
Sedangkan asas materil meliputi:

1. Asas tentang terminologi dan sistematika yang benar artinya peraturan

hendaknya dapat dipahami oleh rakyat;

2. Asas perlakuan yang sama dalam hukum, asas ini dipakai untuk mencegah

. Asas kepastian hukum artinya, peraturan yang dibuat mengandung

konsistensi walaupun diimplementasikan dalam waktu dan ruang yang

berbeda;

4. Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual. Asas ini bermaksud

memberikan penyelesaian yang khusus bagi hal-hal atau keadaan-

keadaan tertentu yang menyangkut kepentingan individual.

266
Selanjutnya menurut Suhariyono, asas-asas pembentukan peraturan

perundang-undangan yang baik adalah:

1. Kejelasan tujuan (setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus

mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai);

2. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat (setiap jenis peraturan

perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan

perundang-undangan yang berwenang. Peraturan perundang- undangan tersebut

dapat dibatalkan atau batal demi hukum, apabila dibuat oleh lembaga/pejabat

yang tidak berwenang);

3. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan (dalam pembentukan peraturan

perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang

tepat dengan jenis peraturan perundang- undangannya);

4. Dapat dilaksanakan (setiap pembentukan peraturan perundang- undangan

266
Suhariyono, Peningkatan Kualitas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Di
Indonesia, Jurnal Legislasi Indonesia, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian
Hukum Dan Hak Asasi Manusia RI, Vol. 4. No. 2, Juni, 2007, hlm. 42-43.

136
harus memperhitungkan efektivitas peraturan perundang- undangan tersebut di

dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis); praktek

ketidakadilan dalam memperoleh pelayanan hukum;

5. Kedayagunaan dan kehasilgunaan (setiap peraturan perundang-undangan dibuat

karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur

kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara);

6. Kejelasan rumusan (setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi

persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, dan

pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya yang jelas dan mudah

dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam

pelaksanaannya);

7. Keterbukaan (dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan mulai

dari perencanaan, persiapan, penyusunan dan pembahasan bersifat transparan

dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai

kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses

pembuatan peraturan perundang-undangan tersebut).

Menurut Leden Marpaung,267 dalam pembentukan hukum, ada beberapa asas

yang tidak dapat diabaikan, asas-asas tersebut meliputi:

1. Asas-asas hukum (principles of legality), antara lain: suatu sistem hukum harus

memuat peraturan-peraturan, harus diumumkan, disusun dalam rumusan yang

dapat dimengerti, tidak boleh berlaku surut, tidak saling bertentangan, tidak

boleh ada kebiasaan untuk sering berubah, dan harus ada kecocokan antar

peraturan dengan peraturan pelaksananya;

2. Asas-asas perundang-undangan, antara lain: tidak dapat diganggu gugat, yang

267
Leden Marpaung, 1999, Menggapai Tertib Hukum di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 71.

137
lebih tinggi mempunyai kedudukan yang lebih tinggi, yang berlaku belakangan

membatalkan yang terdahulu, yang bersifat khusus mengeyampingkan

yang bersifat umum, sarana untuk mencapai kesejahteraan spritual dan

material memuat pelestarian dan perubahan;

3. Asas-asas Undang-Undang Dasar 1945 antara lain: asas negara hukum,

asas kedaulatan rakyat, asas konstitusional, dan kekuasaan kehakiman yang

merdeka;

4. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal.

Selanjutnya menurut Sunaryati Hartono,268 dalam proses pembentukan

peraturan perundang-undangan juga perlu dilandasi oleh asas-asas hukum. Asas-asas

hukum dalam konteks ini adalah:

1. Asas bahwa dalam membentuk peraturan perundang-undangan haruslah

menggunakan pendekatan yang bersifat antisipatoris dan futorologis karena hal

ini sangat penting di dalam proses perubahan sosial yang berlangsung cepat

akibat dari proses pembangunan yang berencana;

2. Asas bahwa undang-undang hanya memuat ketentuan dan asas hukum yang

bersifat umum, bukan mengatur sesuatu secara sangat rinci. Peraturan hukum

yang dimaksudkan untuk diterapkan pada masalah-masalah hukum yang konkret

sebaiknya dibuat dalam bentuk peraturan perundang-undangan di bawah

undang-undang;

3. Asas bahwa proses, metode, dan teknik pembentukan peraturan perundang-

undangan harus mampu memberikan kesempatan untuk diadakannya perubahan

secara periodik sekalipun asas-asas hukum dalam peraturan yang diubah itu

masih tetap berlaku;

268
Ibid, hlm. 46-47

138
4. Asas bahwa sebaiknya suatu rancangan undang-undang dilengkapi dengan

semua peraturan pelaksanaannya sebagai satu paket, baru kemudian diserahkan

oleh pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat;

5. Asas bahwa undang-undang tidak boleh berlaku surut, kecuali apabila

dengan tegas dinyatakan demikian oleh undang-undang yang bersangkutan

berdasarkan alasan-alasan yang sah.

Menurut ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dalam membentuk Peraturan Perundang

undangan harus memperhatikan asas-asas:

1. Asas kejelasan tujuan” adalah bahwa setiap pembentukan peraturan

perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai;

2. Asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat adalah bahwa setiap jenis

peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat

pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang. Peraturan

perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila

dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang;

3. Asas kesesuaian antara jenis, hierarkhis, dan materi muatan” adalah bahwa

dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar

memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarkhis

peraturan perundang-undangan;

4. Asas dapat dilaksanakan adalah bahwa setiap pembentukan peraturan

perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas peraturan

perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis,

sosiologis, maupun yuridis.

5. asas kedayagunaan dan kehasilgunaan” adalah bahwa setiap peraturan

139
perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan

bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan

bernegara;

6. Asas kejelasan rumusan adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan

harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang- undangan,

sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah

dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam

pelaksanaannya;

7. Asas keterbukaan adalah bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-

undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau

penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan

demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-

luasnya untuk memberikan masukan dalam pembentukan peraturan perundang-

undangan.

Selanjutnya dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

disebutkan bahwa materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan

asas:

1. Asas pengayoman adalah bahwa setiap materi muatan peraturan

perundang-undangan harus berfungsi memberikan pelindungan untuk

menciptakan ketentraman masyarakat;

2. Asas kemanusiaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan

perundang-undangan harus mencerminkan pelindungan dan penghormatan hak

asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk

Indonesia secara proporsional;

3. Asas kebangsaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-

140
undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang

majemuk dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia;

4. Asas kekeluargaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan

perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai

mufakat dalam setiap pengambilan keputusan:

5. Asas kenusantaraan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan

perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah

Indonesia dan materi muatan peraturan perundang-undangan yang dibuat di

daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan

Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

6. Asas bhinneka tunggal ika adalah bahwa materi muatan peraturan

perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku

dan golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;

7. Asas keadilan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-

undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap

warga Negara;

B. Tujuan Pembentukan dan Materi Peraturan Perundang-undangan

1. Tujuan Pembentukan Peraturan Perundang-Undang

Pembentukan undang-undang pada hakikatnya adalah pembentukan norma-

norma hukum, yang berwenang melakukan pembentukan undang-undang di sini

adalah negara, yang kemudian menjadi hukum bagi negara tersebut. Dalam setiap

hukum yang dibentuk oleh negara akan selalu mempunyai tujuan. Achmad Ali

membagi tujuan hukum ke dalam tiga teori269:

269
Achmad Ali, 2012, Menguak Teori Hukum (Legal Theory dan Teori Peradilan (Judicial
Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Kencana, Jakarta, hlm. 212.

141
1. Teori Barat:

a. Teori klasik (teori etis, teori utilistis dan teori legalistik)

b. Teori modern (teori prioritas baku dan teori prioritas kasuistik).

Dalam teori hukum barat ini, tujuan hukum itu adalah mewujudkan

keadilan (justice), kemanfaatan (utility) dan kepastian hukum (legal certainty).

2. Teori Timur.

Pada teori timur ini, pada umumnya tidak menempatkan “kepastian”,

sebagai tujuan hukum, tetapi tujuan hukum ditekankan pada keadilan adalah

keharmonisan, dan keharmonisan adalah kedamaian.

3. Teori Hukum Islam

Dalam teori hukum Islam, pada prinsipnya tujuan hukum itu adalah

perwujudan kemanfaatan kepada seluruh umat manusia, baik kemanfaatan

kehidupan di dunia maupun akhirat.

Tujuan hukum sebagaimana yang disebutkan dalam teori Barat sejalan dengan

pendapat Jimly Asshiddiqie, yang mengatakan tujuan dibentuknya hukum oleh negara

adalah untuk mewujudkan kepastian, keadilan dan kebergunaan. Artinya, setiap norma

hukum haruslah menghasilkan keseimbangan antara nilai kepastian (certainty,

zekerheid), keadilan (equity, billijkheid, evenredigheid) dan kebergunaan (utility).270

Apabila tujuan hukum semata-mata hanya untuk mewujudkan keadilan

saja, maka tidak seimbang hingga akan bertentangan dengan kenyataan, sebaliknya

juga akan terjadi kesenjangan jika tujuan hukum hanya untuk mewujudkan kefaedahan,

karena ia akan bertentangan dengan nilai keadilan. Begitu pula jika tujuan hukum

hanya untuk mewujudkan kepastian hukum, maka ia akan menggeser nilai keadilan

270
Jimly Assiddiqie, Perihal Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta, 2005, hlm. 4.

142
dan kegunaan dalam masyarakat. 271 Oleh karena itu dalam setiap pembentukan

hukum, terutama yang berkaitan dengan peraturan perundang-undangan bidang

sumberdaya alam haruslah dapat memberikan kepastian, keadilan dan kemamfaatan.

Berkaitan dengan kepastian hukum (rechtzeker heid), menurut Utrecht, hukum

bertugas untuk menjamin adanya kepastian hukum. Hukum itu harus berjalan sesuai

dengan ketentuannya karena kepastian hukum dalam hubungannya antara manusia

harus diutamakan. Kepastian hukum di sini menuntut supaya dalam peraturan

perundang-undangan tidak terdapat ketentuan-ketentuan yang bertentangan dan


.
tidak terdapat istilah-istilah yang menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda272

Tertib hukum (rechtsordnung) oleh A Hamid S. Attamimi diartikan sebagai suatu

kesatuan hukum objektif, yang keluar tidak tergantung pada hukum yang lain, dan ke

dalam menentukan semua pembentukan hukum dalam kesatuan tertib hukum tersebut.

Rumusan ini sangat penting bagi menentukan ada atau tidak adanya kesatuan yuridis

dalam suatu tertib hukum. 273

Dilihat dari sisi keadilan, menurut Mochtar Kusumaatmadja dan Arief

Sidharta, tujuan hukum tidak dapat dilepaskan dari tujuan akhir dari hidup

bermasyarakat dan tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai dan falsafah hidup yang

menjadi dasar hidup masyarakat, yang akhirnya bermuara pada keadilan.274

Keadilan di sini, menurut Aristoteles adalah Iustitia est constans et perpetua voluntas

ius sun cuiquetribuere, artinya memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi

bagian atau haknya.275 Ariestoteles membagi keadilan dalam dua macam yaitu keadilan
271
Chairul Arrasjid, Op. Cit., hlm. 47.
272
ibid, hlm. 42dan 45.
273
A. Hamid S. Attamimi dalam Faisal A. Rani, 2009, Fungsi dan Kedudukan Mahkamah Agung
Sebagai Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Sesuai Dengan Paham Negara Hukum,
Syiah Kuala University Press, Banda Aceh, hlm.20.
274
Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta, 2000, Pengantar Ilmu Hukum Suatu Pengenalan
Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, hlm. 52.
275
Dudu Duswara Machmudin, 2003, Pengantar Ilmu Hukum, Sebuah Sketsa, Refika Aditama,

143
distributif (distributief) dan komutatif (commutatief). Keadilan distributif adalah

keadilan yang memberikan kepada tiap orang jatah menurut jasanya. Ia tidak menuntut

supaya tiap-tiap orang mendapat bagian yang sama banyaknya, bukan persamaan,

melainkan kesebandingan. Sedangkan keadilan komutatif adalah keadilan yang

memberikan jatah kepada setiap orang sama banyaknya tanpa harus mengingat jasa-jasa

perseorangan.276

Tujuan hukum selain untuk kepastian dan keadilan juga untuk kegunaan.

Menurut Jeremy Bentham sebagai pelopor teori utility, tujuan hukum adalah untuk

mencapai kebahagian. Hal ini terlihat dari ungkapannya “ the greatest happiness of
277
the greatest number . Ukuran baik buruknya perbuatan manusia tergantung pada

apakah perbuatan itu mendatangkan kebahagiaan ataukah tidak. Sehingga

kebahagian terbesar untuk sebagian besar orang dijadikan sebagai alat untuk

mengukur kebenaran dan kesalahan. Lebih lanjut menurut Jeremy Bentham tujuan

dibuatnya aturan hukum adalah untuk keamanan dan kebebasan. Hanya dengan

kebebasan dan keamanan yang cukup terjamin, individu tersebut dapat maksimal
278
meraih kebahagiaan . Pembentuk hukum yang ingin menjamin kebahagian

masyarakat haruslah mengutamakan keamanan.. Meskipun kebebasan merupakan

bagian yang sangat penting, tetapi harus mengalah pada keamanan, artinya apabila

harus dipilih mana yang didahulukan antara kebebasan atau keamanan, maka

menurut Jeremy Bentham keamananlah yang harus diprioritaskan, karena hukum

tidak dapat dibuat kecuali harus mengorbankan kebebasan.

2. Materi Peraturan Perundang-undangan

Bandung hlm,. 23-24.


276
Ibid
277
Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit. hlm. 119.
278
Bernard L. Tanya dkk, Op. Cit. , hlm. 91

144
Supaya suatu peraturan perundang-undangan dapat berfungsi dengan

baik, maka dalam pembentukannya haruslah memperhatikan muatan dasar yang

berlaku. Dalam ilmu perundang-undangan dikenal adanya landasan yang mendasari

keberlakuan suatu peraturan perundang-undangan. Landasan- landasan

dimaksud meliputi:

a. Landasan filosofis yaitu rumusan peraturan perundang-undangan harus

mendapatkan pembenaran (rechtvaardiging) yang sesuai dengan cita- cita

kebenaran (idée der gerechtgheid), dan cita-cita keadilan (idée der

gerechtigheid) dan cita-cita kesusilaan (idée der zedelijkheid).279 Pancasila

merupakan dasar landasan filosofis untuk semua produk undang-undang

Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945280

b. Landasan sosiologis yaitu suatu peraturan perundang-undangan harus sesuai

dengan keyakinan umum atau kesadaran hukum masyarakat (sesuai dengan

hukum yang hidup (living law) di masyarakat 281

c. Landasan yuridis yaitu suatu peraturan perundang-undangan harus

mempunyai landasan hukum atau dasar hukum atau legalitas yang

terdapat dalam ketentuan lain yang lebih tinggi;282

d. Landasan politis yaitu adanya sistem rujukan konstitusional menurut cita-cita

dan norma dasar yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar 1945

sebagai sumber kebijakan pokok atau sumber politik hukum yang

melandasi pembentukan undang-undang yang bersangkutan. 283 Landasan

politik ini merupakan ruh untuk memberi proteksi struktural (vertikal)

279
Jazim Hamidi, dkk, 2011, Optik Hukum Perda Bermasalah, Menggagas Perda Yang
Responsif dan Berkesinambungan, Prestasi Pustakaraya, Jakarta, hlm. 7-8.
280
Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang..., Op.Ci,t. hlm. 171.
281
Jazim Hamidi dkk, Op.Cit, hlm. 7-8.
282
. ibid
283
Jimly Asshiddiqie, dalam Yuliandri, Op. Cit., hlm.30.

145
dan kemasyarakatan (horizontal) guna mencegah kemungkinan kekacauan

sistem pada kebijakan publik dan kegelisahan dalam masyarakat;284

e. Landasan administratif (sifatnya fakultatif atau sesuai kebutuhan) yaitu

landasan yang berisi pencantuman rujukan dalam hal adanya perintah untuk

mengatur secara administratif.285

Menurut Jimly Assiddiqie, setiap norma hukum yang baik selalu

dipersyaratkan adanya 5 (lima) landasan keberlakuan yang disebutkan di atas yaitu

landasan filosofis, sosiologis, yuridis, politis dan administratif. Landasan filosofis,

sosiologis, yuridis dan politis bersifat mutlak, sedangkan landasan administratif

bersifat fakultatif karena tergantung pada kebutuhan.286 Sedangkan Menurut

Solly Lubis, 28 7 hanya ada 3 (tiga) landasan dalam pembuatan peraturan perundang-

undangan, yakni:

a. Landasan filosofis, yaitu dasar filsafat atau pandangan atau ide yang

menjadi dasar cita-cita sewaktu menuangkan hasrat dan kebijaksanaan

(pemerintahan) ke dalam suatu perencanaan atau draf peraturan negara.

Misalnya Pancasila menjadi dasar filsafat perundang-undangan. Pada prinsipnya

tidak dibuat suatu peraturan yang bertentangan dengan filsafat ini;

b. Landasan yuridis, ialah ketentuan hukum yang menjadi dasar hukum

(rechtsground) bagi pembuatan suatu peraturan, misalnya UUD 1945

menjadi landasan yuridis bagi pembuatan undang-undanag organik.

Selanjutnya undang-undang itu menjadi landasan yuridis bagi pembuatan

284
Supardan Modeong, Teknik Perundang-Undangan di Indonesia, Perca, Jakarta, hlm.70.
285
Jimly Asshiddiqie, dalam Yuliandri, Op.Cit. hlm. 30.
286
Jimly Asshiddiqie, Perihal...,Op.Cit, hlm. 170.
287
Solly Lubis, dalam Sophia Hadyanto (editor), 2010, Paradigma Kebijakan Hukum Pasca
Reformasi, Da
lam Rangka Ultah ke-80 Prof. Solly Lubis, Sofmedia, Jakarta, hlm. 190.

146
peraturan pemerintah, ataupun perda ;

c. Landasan politis, ialah garis kebijakan politik yang menjadi dasar

selanjutnya bagi kebijakan-kebijakan dan pengarahan keterlaksanaan

pemerintahan negara.

Lain halnya dengan ketentuan yang terdapat dalam lampiran Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan yang menyebutkan, bahwa landasan dalam pembentukan peraturan

perundang-undangan meliputi; landasan filosofis, landasan yuridis, dan landasan

sosiologis. Dalam lampiran tersebut dikatakan, bahwa pokok pikiran pada konsiderans

Undang-Undang, Perda Provinsi, atau Perda Kabupaten/Kota memuat unsur

filosofis, sosiologis, dan yuridis yang menjadi pertimbangan dan alasan

pembentukannya yang penulisannya ditempatkan secara berurutan dari filosofis,

sosiologis, dan yuridis.

Pada unsur filosofis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk

mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi

suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pada unsur

sosiologis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan

masyarakat dalam berbagai aspek. Sedangkan pada unsur yuridis menggambarkan

bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi

kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan

diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan

masyarakat.

Dengan tidak mengurangi arti pentingnya landasan-landasan sebagaimana di

sebutkan di atas, dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, dasar yuridis

147
sangatlah penting, hal ini disebabkan landasan yuridis akan menunjukkan hal-hal

sebagai berikut:288

a. Keharusan kewenangan dari pembuat peraturan perundangan, dimana setiap

bentuk peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh badan atau pejabat

yang berwenang. Apabila hal ini tidak dilakukan, maka peraturan

perundang-undangan itu batal demi hukum (van rechtswegenletig).

Dianggap tidak pernah ada dan segala akibatnya batal demi hukum. Misalnya

peraturan perundang-undangan formal harus dibuat secara bersama-sama antara

Presiden dengan Dewan Perwakilan Rakyat, Jika tidak maka Undang-Undang

tersebut batal demi hukum;

b. Keharusan kesesuaian antara bentuk atau jenis peraturan perundang-

undangan dengan materi yang diatur, terutama jika diperintahkan oleh

peraturan perundang-undangan yang tingkatnya lebih tinggi atau oleh peraturan

perundang-undangan yang tingkatnya sederajat. Apabila ada ketidaksesuaian,

maka hal ini menjadi alasan pembatalan. Misalnya kalau Undang-Undang

Dasar 1945 atau undang-undang terdahulu menyatakan bahwa sesuatu harus

diatur oleh undang-undang, maka dalam bentuk undang-undanglah hal itu

diatur. Kalau diatur dalam bentuk lain misalnya keputusan presiden, maka

keputusan tersebut dapat dibatalkan;

c. Keharusan untuk mengikuti prosedur tertentu, apabila tidak, maka peraturan

perundang-undangan itu mungkin batal demi hukum atau belum

mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Misalnya perda dibuat bersama-

sama antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan kepala daerah

tanpa mencantumkan persetujuan DPRD, maka batal demi hukum;

288
Dudu Duswara Machmudin, Op.Cit,

148
d. Keharusan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang

lebih tinggi derajatnya. Suatu undang-undang tidak boleh mengandung kaidah

yang bertentangan dengan undang-undang dasar.

Hal yang senada sebagaimana pendapat Bagir Manan, bahwa suatu

Peraturan Perundang-undangan yang baik setidaknya didasari pada 3 (tiga) hal,

yakni:289

a. Dasar Yuridis (juridishe gelding), yakni pertama, keharusan adanya

kewenangan dari pembuat Peraturan Perundang-undangan. Setiap Peraturan

Perundang-undangan harus dibuat oleh badan atau pejabat yang berwenang.

Kalau tidak, Peraturan Perundang-undangan itu batal demi hukum (van

rechtswegenietig). Dianggap tidak pernah ada dan segala akibatnya batal secara

hukum. Misalnya, undang-undang dalam arti formal (wet in

formelezin) dibuat oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Setiap undang-

undang yang tidak merupakan produk besama antara Presiden dan DPR

adalah batal demi hukum. Begitu pula Keputusan Menteri, Peraturan Daerah dan

sebagainya harus pula menunjukkan kewenangan pembuatnya. Kedua, keharusan

adanya kesesuaian bentuk atau jenis Peraturan Perundang- undangan dengan

materi yang diatur, terutama kalau diperintahkan oleh Peraturan Perundang-

undangan tingkat lebih tinggi atau sederajat. Ketidak sesuaian bentuk ini dapat

menjadi alasan untuk membatalkan Peraturan Perundang-undangan tersebut.

Misalnya kalau UUD 1945 atau undang- undang terdahulu menyatakan bahwa

sesuatu diatur dengan undang-undang, maka hanya dalam bentuk undang-

undang hal itu diatur. Kalau diatur dalam bentuk lain misalnya Keputusan

Presiden, maka Keputusan Presiden tersebut dapat dibatalkan (vernietigbaar).

289
Bagir Manan, 2004, Teori dan Politik Konstitusi, Fakultas Hukum UII Press, Yogyakarta, hlm.
32

149
Ketiga, keharusan mengikuti tata cara tertentu. Apabila tata cara tersebut

tidak diikuti, Peraturan Perundang- undangan mungkin batal demi hukum atau

tidak/belum mempunyai kekuatan hukum mengikat. Peraturan Daerah dibuat oleh

Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD. Kalau ada Peraturan Daerah tanpa

(mencantumkan) persetujuan DPRD maka batal demi hukum. Dalam undang-

undang tentang pengundangan (pengumuman) bahwa setiap undang-undang harus

diundangkan dalam Lembaran Negara sebagai satu-satunya cara untuk

mempunyai kekuatan mengikat. Selama pengundangan belum dilakukan,

maka undang-undang tersebut belum mengikat. Keempat, keharusan tidak

bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi

tingkatannya. Suatu undang-undang tidak boleh mengandung kaidah yang

bertentangan dengan UUD. Demikian pula seterusnya sampai pada peraturan

perndang-undangan tingkat lebih bawah.

b. Dasar Sosiologis (sociologische gelding), yakni mencerminkan kenyataan

yang hidup dalam masyarakat. Dalam satu masyarakat industri, hukumnya (baca:

Peraturan Perundang-undangannya) harus sesuai dengan kenyataan- kenyataan

yang ada dalam masyarakat industri tersebut. Kenyataan itu dapat berupa

kebutuhan atau tuntutan atau masalah-masalah yang dihadapi seperti masalah

perburuhan, hubungan majikan-buruh, dan lain sebagainya.

c. Dasar Filosofis, bahwa setiap masyarakat selalu mempunyai cita hukum

(rechtsidee) yaitu apa yang mereka harapkan dari hukum (baca: Peraturan

Perundang-undangan), misalnya untuk menjamin keadilan, ketertiban,

kesejahteraan dan sebagainya. Rechtidee tersebut tumbuh dari sistem nilai

mereka mengenai baik dan buruk, pandangan mereka mengenai hubungan

individual dan kemasyarakatan, tentang kebendaan, tentang kedudukan

150
wanita, tentang dunia gaib dan lain sebagainya Semuanya ini bersifat

filosofis, artinya menyangkut pandangan mengenai inti atau hakekat sesuatu.

Hukum diharapkan mencerminkan sistem nilai tersebut baik sebagai sarana yan

melindungi nilai-nilai maupun sebagai sarana mewujudkannya dalam tingkah

laku masyarakat. Nilai-nilai ini ada yang dibiarkan dalam masyarakat, sehingga

setiap pembentukan hukum atau Peraturan Perundang-undangan harus dapat

menangkapnya setiap kali akan membentuk hukum atau Peraturan

Perundang-undangan. Tetapi ada kalanya sistem nilai tersebut telah terangkum

secara sistematik dalam satu rangkuman baik berupa teori-teori filsafat maupun

dalam doktrin-doktrin filsafat resmi seperti Pancasila.

Dengan demikian, setiap pembentukan hukum atau Peraturan Perundang-

undangan sudah semestinya memperhatikan sungguh- sungguh rechts idee yang

terkandung dalam Pancasila.Peraturan Perundang-undangan merupakan hasil karya

atau produk hukum dari lembaga dan atau pejabat negara yang mempunyai

(menjalankan) fungsi legislatif sesuai dengan tata cara yang berlaku. Mahfud MD

membedakan secara tajam karakter produk hukum antara produk hukum yang

responsive/populistik dengan produk hukum konservatif/ortodoks/elitis.

Produk hukum responsive/populistik adalah produk hukum yang

mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan mayarakat. Dalam proses

pembuatannya memberikan peranan besar dan partisipasi penuh kelompok-kelompok

sosial atau individu di dalam masyarakat. Hasilnya bersifat responsive terhadap

tuntutan-tuntutan kelompok sosial atau individu dalam masyarakat. Produk hukum

konservatif/ortodoks/elitis adalah produk hukum yang isinya lebih mencerminkan visi

sosial elit politik, lebih mencerminkan keinginan pemerintah, bersifat positivis-

instrumentalis, yakni menjadi alat pelaksana ideologi dan program negara.

151
Berlawanan dengan hukum responsive, hukum ortodoks lebih tertutup terhadap

tuntutan-tuntutan kelompok maupun individu-individu di dalam masyarakat. Dalam

pembuatannya peranan dan partisipasi masyarakat relatif kecil.

Untuk mengkualifikasi apakah suatu produk hukum responsive atau

konservatif, indikator yang dipakai adalah proses pembuatan hukum, sifat fungsi

hukum, dan kemungkinan penafsiran atas sebuah produk hukum. Produk hukum yang

berkarakter responsive, proses pembuatannya bersifat parisipatif, yakni

mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi masyarakat melalui kelompok-

kelompok sosial dan individu di dalam masyarakat. Sedangkan proses pembuaan

hukum yang berkarakter ortodoks bersifat sentralistik dalam arti lebih didominasi oleh

lembaga negara terutama pemegang kekuasaan eksekutif.

Dilihat dari fungsinya maka hukum yang berkarakter responsive bersifat

aspiratif. Artinya memuat materi-materi yang secara umum sesuai dngan aspirasi atau

kehendak masyarakat yang dilayaninya. Sehingga produk hukum itu dapat dipandang

sebagai kristalisasi dari kehendak masyarakat. Sedangkan hukum yang berkarakter

ortodoks bersifat positivis-instrumentalis. Artinya memuat materi yang lebih

merefleksikan visi sosial dan politik pemegang kekuasaan atau memuat materi yang

lebih merupakan alat untuk mewujudkan kehendak dan kepentingan program

pemerintah.

Jika dilihat dari segi penafsiran maka produk hukum yang berkarakter

responsif/populistik biasanya memberi sedikit peluang bagi pemerintah untuk

membuat penafsiran sendiri melalui berbagai peraturan pelaksanaan dan peluang yang

sempit itupun hanya berlaku untuk hal-hal yang betul-betul bersifat teknis. Sedangkan

produk hukum yang berkarakter ortodoks/ konserfatif/ elitis memberi peluang luas

kepada pemerintah untuk membuat berbagai interpretasi dengan berbagai peraturan

152
lanjutan yang berdasarkan visi sepihak dari pemerintah dan tidak sekedar masalah

teknis. Oleh sebab itu, produk hukum yang berkarakter responsive biasanya memuat

hal-hal penting secara cukup rinci sehingga sulit bagi pemerintah untuk membuat

penafsiran sendiri. Sedangkan produk hukum yang berkarakter ortodoks biasanya

cenderung memuat materi singkat dan pokok-pokoknya saja untuk kemudian memberi

peluang yang luas bagi pemerintah untuk mengatur berdasarkan visi dan kekuatan

politiknya.

kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan adalah materi muatan

peraturan perundang-undangan sehingga suatu peraturan perundang-undangan tidak

boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang antara lain

agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial, bahwa materi muatan setiap

peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan

keselarasan antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan dan

negara. Hukum yang disebut sebagai peraturan perundang-undangan memiliki ciri-

ciri290:

1. Bersifat umum dan konprehensif, kebalikan dari sifat yang khusus dan
terbatas;
2. Bersifat universal, dibuat untuk menghadapi peristiwa dimasa yang
akan datang yang belum jelas bentuk konkretnya, karenanya tidak
dibuat untuk mengatasi peristiwa tertentu saja;
3. Memiliki kekuatan untuk mengoreksi dan memperbaiki dirinya sendiri,
berupa adanya klausul yang memungkinkan dilakukan peninjauan
kembali291

Meskipun peraturan perundang-undangan bersifat umum, konprehensif dan

universal sebagaimana disebutkan di atas, peraturan perundang-undangan

290
Ibid, hlm. 53
291
Dalam Ridwan HR. 2006, Hukum Administrasi Negara, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm.
98. Perubahan hukum dapat terjadi dalam 2 (dua) bentuk yaitu bentuk yang pertama masyarakat
berubah terlebih dahulu, baru hukum datang mengesahkan perubahan itu, sedangkan yang kedua hukum
adalah alat untuk mengubah masyarakat ke arah yang lebih baik (law as a tool of social engineering). Lihat
juga Abdul Manan, 2009, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta, hlm. 10-11

153
mempunyai jangkauan yang terbatas, hal ini dikarenakan pada saat pembentukannya

dipengaruhi oleh berbagai unsur politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan

keamanan (hankam). Oleh karena itu mudah sekali ketinggalan (out of date) bila

dibandingkan dengan perubahan masyarakat yang begitu cepat. Untuk itu

supaya peraturan perundang-undangan memenuhi kebutuhan masyarakat

menurut Van Apeldoorn, 292 dalam pembentukannya haruslah memperhatikan segala

faktor yang merupakan dasar hubungan masyarakat, baik faktor ekonomi, agama,

kesusilaan, politik, maupun sosial kehidupan kemasyarakatan.

Menurut Meuwissen293, peraturan perundang-undangan merupakan jenis

pembentukan hukum yang paling penting dan modern. Pada peraturan perundang-

undangan diciptakan suatu model perilaku abstrak, yang diharapkan dapat

dipergunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah kemasyarakatan yang konkret.

Meuwissen menambahkan bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-

undangan ini ada dua momen sentral, momen tersebut meliputi:

1. Momen politik idiil.

Proses pembentukan perundang-undangan adalah tindakan politik,

perundang-undangan adalah tujuan dari hasil proses-proses politik. Tetapi

sesungguhnya perundang-undangan bukan sekedar endapan dari konstelasi politik

empirical, melainkan juga memiliki aspek normatif. Unsur idiill perundang-

undangan mengimplikasikan bahwa ia merealisasikan apa yang menurut asas-asas

hukum (ide hukum, cita hukum) seharusnya direalisasikan.

2. Momen yuridis-tekhnikal.

Pembentukan hukum melalui pembentukan peraturan perundang- undangan


292
LJ. Van Apeldoor, 2001, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 378.
293
Meuwissen, 2012, dalam Otong Rosadi dan Andi Desmon, Studi Politik Hukum, Suatu optik
Ilmu Hukum, Thafa Media, Yogyakarta, hlm. 125-126.

154
mengandalkan kemampuan untuk merumuskan pemahaman- pemahaman umum

(berupa prinsip-prinsip, asas-asas dan pengertian umum) ke dalam naskah-naskah

normatif yang konkret (teks-teks, kalimat-kalimat dan pasal-pasal). Dalam

penyusunan peraturan perundang-undangan (legal drafting) disini diperlukan

keahlian dan pemahaman hukum yang baik.

Bertolak dari pendapat Meuwissen tersebut di atas, dalam pembentukan


294
hukum seyogyan ya memperhatikan momen idiil, yang akan diturunkan pada

momen normatif, kemudian akan berinteraksi dengan momen politik. Hasil

interaksi dialektik akan diakomodir dalam momen teknikal untuk menjadi

peraturan perundang-undangan. Selain beberapa momen sebagaimana disebutkan


295
di atas, menurut Bagir Manan dalam pembentukan peraturan perundang-

undangan ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan, yaitu:

1. Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kedudukan nya dapat

dijadikan landasan atau dasar hukum bagi peraturan perundang-undangan

yang lebih rendah atau berada di bawahnya;

2. Peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah harus

bersumber atau memiliki dasar hukum dari peraturan perundang- undangan yang

tingkat lebih tinggi;

3. Isi atau muatan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak

boleh menyimpang atau bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi tingkatannya;

4. Suatu peraturan perundang-undangan hanya dapat dicabut, diganti atau

diubah dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau paling

294
Jazim Hamidi dan Kemilau Mutik, Op.Cit, hlm. 23.
Bagir Manan, Op. Cit., hlm. 133.
295

155
tidak dengan yang sederajat;

5. Peraturan perundang-undangan yang sejenis apabila mengatur materi yang

sama, peraturan yang terbaru harus diberlakukan walaupun tidak dengan secara

tegas dinyatakan bahwa peraturan yang lama itu dicabut; dan

6. Peraturan yang mengatur materi yang lebih khusus harus diutamakan dari

peraturan perundang-undangan yang lebih umum.

Khusus untuk pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia

selain beberapa momen dan prinsip yang disebutkan di atas perlu juga berpegang pada

beberapa hal yaitu:296

1. Kesetiaan kepada cita-cita sumpah pemuda, proklamasi kemerdekaan 17

Agustus 1945, dan nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam Pancasila, serta

nilai-nilai konstitusional sebagaimana terkmatub dalam UUD Negara Republik

Indonesia Tahun 1945;

2. Terselenggaranya negara hukum Indonesia yang demokratis, adil, sejahtera, dan

damai;

3. Dikembangkannya norma-norma hukum dan pranata hukum baru dalam

rangka mendukung dan melandasi masyarakat secara berkelanjutan, tertib,

lancar, dan damai serta mengayomi seluruh tumpah darah dan segenap

bangsa Indonesia.

Hukum yang dibentuk oleh suatu masyarakat tertentu akan memperlihatkan ciri-

ciri khas, sesuai dengan situasi masyarakatnya. Peraturan daerah (perda) adalah

peraturan perundang-undangan yang tertinggi di daerah. Materi muatan Peraturan

daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. “Prolegnas Tahun 2005-2009. Makalah Seminar
296

Implementasi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dalam Legislasi Daerah Berdasarkan Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004”, Surabaya, 25 Mei 2005. hlm. 2. Lihat juga Pataniari Siahaan, 2012. Politik
Hukum Pembentukan Undang-Undang Pasca Amandemen UUD 1945, Konpress, Jakarta, hlm. 354

156
dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih

lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Menurut Irawan Soejito, untuk

membuat suatu peraturan perundang-undangan daerah yang lebih baik diperlukan

persiapan-persiapan yaitu: 297

1. Pengetahuan yang mendalam dari materi yang akan diatur

2. Pengetahuan akan daya upaya yang tepat untuk mencegah penghindaran diri dari

ketentuan-ketentuan peraturan itu

3. Kecakapan untuk mencari intisari dari kumpulan-kumpulan fakta yang sudah

tumbuh sejak lama

4. Keahlian untuk menuangkan dalam peraturan yang singkat, jelas, agar maksud dari

peraturan itu dapat dicapai dengan sebaik-baiknya.

Pengintegrasian perspektif gender dalam peraturan perundang-undangan

termasuk peraturan daerah atau kebijakan teknis operasional untuk mewujudkan

kesejahteraan dan ketentraman tentu sangat diharapkan agar substansinya

memperhatikan dan mempertimbangkan berbagai persoalan, aspirasi, dan kebutuhan

masyarakat yang sangat heterogen termasuk kebutuhan spesifik laki-laki dan

perempuan serta kelompok rentan lainnya. Terwujudnya ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berkesetaraan dan keadilan dan berkeadilan gender bukan

saja mengakomodasi kebutuhan spesifik gender tapi mampu juga untuk mencerminkan

pengaturan yang transformatif gender, berorientasi pada aspek perlindungan dan

pemulihan atas praktek ketidakadilan gender.

C. Prinsip Kesetaraan dan keadilan Gender Dalam Convention on the Elimination

of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW)

297
Irawan Soejito, 1978, Tehnik Membuat Peraturan Daerah, Bina Aksara, Jakarta, hlm. 3

157
Hak asasi manusia merupakan hak yang dimiliki setiap manusia, laki-

laki maupun perempuan, adalah manusia. Hak asasi bertujuan menjamin

martabat setiap orang. Hak asasi memberikan kekuatan moral untuk menjamin dan

melindungi martabat manusia berdasarkan hukum, bukan atas dasar kehendak,

keadaan, ataupun kecenderungan politik tertentu. Hak-hak dan kebebasan

tersebut memiliki ciri-ciri berikut:298 tidak dapat dicabut/dibatalkan (inalienable),

universal, saling terkait satu sama lain (interconnected) dan tidak dapat dipisah-

pisahkan (indivisible). Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa setiap manusia

memiliki sekaligus hak atas kebebasan, rasa aman, dan standar hidup yang layak.

Perlindungan terhadap hak-hak perempuan termuat dalam banyak instrumen

dan hukum internasional di antaranya adalah Convention on the Elimination of All

Forms of Discrimination against Women (CEDAW), atau konvensi penghapusan

segala bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, sebuah Traktat Perserikatan

Bangsa-Bangsa (PBB) yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1979.

Indonesia ikut meratifikasi konvensi CEDAW melalui UU Nomor 7 Tahun 1984

tentang Ratifikasi Konvensi tentang Penghapusan Segala Tindak Diskriminatif

terhadap Perempuan (CEDAW Convention). Konvensi mendorong diberlakukannya

peraturan Perundang-undangan nasional yang melarang diskriminasi dan mengadopsi

tindakan-tindakan khusus sementara untuk mempercepat kesetaraan dan keadilan de

facto antara laki-laki dan perempuan, termasuk merubah praktik kebiasaan dan budaya

yang didasarkan pada inferioritas atau superioritas salah satu jenis kelamin atau peran

sterotipe untuk laki-laki dan perempuan.

Pada awalnya Konvensi ini ditandatangani oleh 64 negara di bulan Juli tahun

berikutnya. CEDAW menetapkan secara universal prinsip-prinsip persamaan hak

antara laki-laki dan perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, disemua
298
UNIFEM, Cedaw...Op.Cit., hlm.11

158
bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan sipil Sebuah protokol opsional   disusun

kemudian untuk mengatur mekanisme pertanggunggugatan negara-negara terhadap

traktat tersebut. Sejak saat itu ada beberapa deklarasi internasional dan perjanjian yang

telah digunakan sebagai standar untuk mengukur kemajuan dalam urusan perempuan.

Termasuk di antaranya Deklarasi Beijing dan Landasan Aksi (1995) serta Tujuan

Pembangunan Milenum/MDGs (2001) yang memuat pertimbangan-pertimbangan

keadilan gender terdapat pada hampir setengah dari keseluruhan klausal.

Adanya pengaturan sistem dan mekanisme penerapan strategi

pengarusutamaan gender dalam pelaksanaan peran dan fungsi lembaga negara baik

dalam fungsi pemerintahan, fungsi legislatif dan fungsi yudikatif melalui strategi

pengarus-utamaan gender dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender melalui

pendekatan-pendekatan yang harus dibangun sesuai peran, fungsi dan kewenangannya

masing-masing dan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait serta membangun

budaya masyarakat yang responsif gender dengan mengintegrasikan permasalahan,

kebutuhan dan menampung aspirasi yang responsif gender kedalam kebijakan

program dan pelaksanaan kegiatan pembangunan nasional. Adapun tujuan kesetaraan

dan keadilan gender adalah untuk mewujudkan keadilan gender dalam pemenuhan hak

azasi manusia di semua bidang, menyelenggarakan tindakan khusus sementara guna

mempercepat tercapainya persamaan substantif di segala bidang kehidupan,

menyelenggarakan upaya pemenuhan hak perempuan atas perlindungan kesehatan

reproduksi, menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, menghapus

prasangka, kebiasaan dan segala praktek lainnya yang didasarkan atas inferioritas dan

superioritas salah satu jenis kelamin atau berdasarkan peranan stereotipe bagi

perempuan dan laki-laki.

Oleh karena itu perlu adanya pemahaman penggunaan prinsip kesetaraan dan

159
keadilan gender dalam pembentukan perundang-undangan sebagai upaya penegakan

penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia dalam berbagai

peraturan perundang-undangan serta kebijakan operasionalnya, dengan menyusun

prinsip kesetaraan dan keadilan gender untuk di integrasikan dalam pembentukan

peraturan perundang-undangan. Berbeda dengan instrumen hak asasi manusia pada

umumnya yang menyatakan bahwa 'diskriminasi berdasarkan jenis kelamin' dalam

arti netral/umum, CEDAW menyatakan bahwa perempuan adalah kelompok

yang dirugikan karena tindak diskriminasi berdasarkan jenis kelamin.

CEDAW lebih memberikan perhatian pada adanya tekanan sosial dan

budaya pada perlakuan diskriminasi terhadap perempuan, dan dengan

demikian memperluas aplikasi hak asasi manusia ke dalam ruang privat

perempuan. Lebih penting lagi, adalah ditunjukannya kaitan antara ruang publik

dengan ruang privat perempuan, dan lebih penting lagi ialah diberikannya tekanan

pada kaitan antara ruang publik dan ruang privat. Sumber dari dasar ideologi

ketidaksetaraan perempuan dalam keluarga, tempat kerja, dan dalam kehidupan

publik adalah konstruksi sosial, atau anggapan sosial dan budaya yang dibangun

mengenai kemampuan dan peran perempuan.

Paragraf  keenam dan ketujuh konsiderans menimbang Konvensi CEDAW


dituliskan bahwa diskriminasi terhadap perempuan melanggar prinsip-prinsip
persamaan hak dan penghargaan pada martabat manusia, merupakan hambatan bagi
partisipasi perempuan atas dasar kesetaraan dan keadilan dengan laki-laki dalam
kehidupan politik, sosial, ekonomi, dan budaya di negara mereka menghambat
pertumbuhan kemakmuran masyarakat dan keluarga serta mempersulit
pengembangan sepenuhnya dari potensi perempuan dalam pengabdian untuk
negaranya dan untuk kemanusiaan.

Prihatin bahwa dalam situasi kemiskinan, perempuan mempunyai akses yang

paling sedikit terhadap makanan, kesehatan, pendidikan, pelatihan dan kesempatan

kerja serta kebutuhan lainnya. Makanya penting bagi seorang perancang

perundang-undangan untuk dapat  merumuskan prinsip-prinsip kesetaraan dan

160
keadilan gender dalam sistem hukum sehingga perlu disusun standar atau tolok ukur

yang dapat dijadikan sebagai alat/pisau analisis dalam setiap tahap pembentukan

peraturan perundang-undangan berupa prinsip yang didalamnya terdapat indikator-

indikator mengenai kesetaraan dan keadilan gender.

Ketentuan kesetaraan dan keadilan dalam CEDAW tercermin dalam Pasal 6

sampai dengan Pasal 16, yaitu299:

1. Penghapusan perdagangan orang dan eksploitasi perempuan (Pasal 6)

2. Kesetaraan dan keadilan dalam kehidupan publik dan politik (Pasal 7)

3. Keterwakilan perempuan di ranah internasional (Pasal 8)

4. Kewarganegaraan (Pasal 9)

5. Pendidikan (Pasal 10)

6. Ketenagakerjaan (Pasal 11)

7. Kesehatan (Pasal 12)

8. Kehidupan ekonomi dan sosial (Pasal 13)

9. Hak perempuan pedesaan (Pasal 14)

10. Persamaan di depan hukum (Pasal 15)

11. Persamaan dalam perkawinan dan keluarga (Pasal 16)

Dalam berbagai perjanjian internasional, konvensi dan deklarasi mengenai

hak asasi manusia, bahwa muatan mengenai kewajiban untuk menghapus diskriminasi

atas dasar perbedaan jenis kelamin telah menjadi salah satu misi yang melekat dalam

rangka mencapai kesetaraan dan keadilan gender. Konvensi CEDAW merupakan salah

satu konvensi internasional yang khusus mengenai hak perempuan dengan pendekatan

prinsip kesetaraan dan keadilan subtantif, non diskrimanif dan kewajiban negara,

karena Indonesia ikut meratifikasi konvensi CEDAW melalui UU Nomor 7 Tahun

1984 maka Indonesia terikat untuk melaksanakan prinsip yang ada dalam CEDAW
299
Ibid, hlm. 21

161
tersebut. Di dalam ketiga prinsip itulah terletak prisma hak asasi perempuan yang

menjadi lensa untuk memeriksa, mengoreksi, dan menghapus segala bentuk

diskriminasi gender300. Berikut dijelaskan ketiga prinsip yang di muat dalam CEDAW

yaitu:

1. Prinsip Kesetaraan Substantif

Apa arti cita-cita atau aspirasi kesetaraan dalam dunia dimana manusia

dilahirkan dengan perbedaan jenis kelamin, kemampuan dan ketidakmampuan

fisik, ukuran dan warna, kondisi kehidupan dalam budaya dimana mereka

dilahirkan, status ekonomi dan sistem politik tempat mereka hidup, maupun

keistimewaan dan ketidakberuntungan yang ditimbulkan oleh atribut-atribut

tersebut, dan a pa yang ingin dicapai dengan kesetaraan apakah ingin membuat

semua manusia menerima satu jenis pengelompokan saja ataukah agar

manusia dapat menggunakan kemampuannya untuk mendorong dan memperluas

guna melaksanakan dan mewujudkan pilihan dan haknya.

Dengan kata lain, apakah kesetaraan akan menentukan hasil yang dicapai

ataukah suatu proses yang menjadi alat untuk memperluas kesempatan bagi

orang-orang dalam memilih dan menentukan hasil. Permasalahan utama di sini

adalah makna istilah kesetaraan. Pendekatan yang tradisional dan yang paling

umum ialah memberikan arti kesetaraan sebagai memperlakukan seperti sama.

Tujuan utamanya adalah menghindarkan adanya perlakuan berbeda

terhadap orang-orang dalam situasi yang sama. Perlakuan yang berbeda itu

dianggap sebagai suatu masalah tersendiri, terutama karena memperlakukan

anggota suatu kelompok yang sama secara berbeda-beda, bukan melindungi

orang-orang dalam kelompok yang sama atas keuntungan atau kerugian yang

300
Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, 2011.,
Parameter Kesetaraan Gender Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Jakarta, hlm. 26

162
timbul dengan cara yang tidak semestinya. Secara logika, pembedaan

perlakuan di hadapan hukum dibolehkan bagi mereka yang tidak sama atau

mereka yang berada dalam situasi yang berbeda301. Tantangan utama dalam

operasionalisasi pendekatan ini adalah penentuan apakah suatu kelompok itu

sama atau berbeda. Identifikasi perbedaan di dalam suatu kelompok, bukan

perbedaan asal muasal, dasar dan akibat dari perbedaan-perbedaan tersebut,

dianggap sebagai hal utama dalam implementasi persamaan. Jika perbedaan

diakui atau diterima, maka perbedaan perlakuan akan diberikan.

Sebaliknya, bila perbedaan tidak terlihat, maka perbedaan perlakuan tidak boleh

dilakukan.

Berdasarkan pada pemahaman tradisional tersebut terdapat dua

pendekatan yang biasa diterapkan dalam kesetaraan dan keadilan gender.

Pendekatan pertama menafikan perbedaan gender antara laki-laki dan

perempuan dan memperlakukan mereka sama, yang kedua menerima

perbedaan tersebut dan memperkuatnya dengan pemberian perlakuan yang

berbeda-beda. Berkaitan dengan kesetaraan perempuan, kedua praktek yang

dominan ini disebut model kesetaraan formal dan proteksionis. Di samping itu,

terdapat pendekatan ketiga, yaitu yang berfokus pada asumsi-asumsi di balik

pembedaan tersebut serta dampaknya terhadap perempuan, yang membantu

mengidentifikasi dan mengoreksi ketidakberuntungan. Pendekatan ini disebut


302
pendekatan korektif atau model kesetaraan substantif dan merupakan

pendekatan yang diadopsi oleh CEDAW. Selanjutnya akan dijelaskan ketiga

pendekatan tersebut, membandingkan perbedaan masing-masing untuk

memperdalam pemahaman konseptual tentang kesetaraan dan keadilan bagi


301
UNIFEM, Cedaw...Op.Cit., hlm.124

302
Ibid, hlm. 24-26

163
perempuan yang diadopsi di dalam CEDAW.

a. Pendekatan Formal

Pend
ekatan formal atau pendekatan kesamaan (sameness)

memperlakukan perempuan sama dengan laki-laki. Pendekatan ini percaya

bahwa setiap pengakuan atas perbedaan gender dalam hukum berarti

pengakuan terhadap adanya stereotip negatif yang dilekatkan kepada

perempuan yang memperkuat posisi subordinasi mereka terhadap laki- laki.

Tujuan utama yang ingin dicapai adalah perlakuan yang sama bukan

persamaan hasil. Karena perempuan dan laki-laki dianggap sama, legislasi

yang memperlakukan perempuan berbeda dianggap melanggar prinsip

kesetaraan dan keadilan. Dengan demikian, hukum harus netral gender dan

aturan harus didasarkan pada satu standar. Namun, pendekatan ini memiliki

kekurangan karena tidak mempertimbangkan perbedaan biologis dan

perbedaan gender serta ketidakberuntungan atau kerugian yang diderita

perempuan dalam jangka panjang.303

Dengan tujuan memperlakukan laki-laki dan perempuan secara

sama, pendekatan ini menyuburkan buta gender (gender blindnes) yang akan

memperkuat standar dominan yang hanya didasarkan pada pengalaman dan

kepentingan laki-laki. Keunggulan laki-laki dalam pembuatan hukum dan

ideolgi gender berperan secara berbarengan dalam pembentukan dan

pelestarian standar laki-laki. Akibatnya, akan muncul beban tambahan bagi

perempuan, yaitu keharusan untuk memenuhi standar laki-laki. Padahal dalam

kenyataannya, perempuan memiliki realitas sosial dan ekonomi yang tidak

303
Perbedaan gender merupakan perbedaan yang diciptakan secara sosial antara laki-laki dan
perempuan didukung oleh ideologi dan dilanjutkan oleh proses-proses sosial. Perbedaan gender berbeda
dengan perbedaan jenis kelamin, yang bersifat biologis

164
sama dengan laki-laki. Karena tidak diuntungkan oleh adanya peran,

tanggungjawab, dan sumber daya gender, maka hanya sedikit saja perempuan

yang akan dapat mencapai standar laki-laki.

b. Pendekatan proteksionis

Model berbeda atau proteksionis melihat laki-laki dan

perempuan sebagai terkondisikan berbeda dan dengan demikian tidak

memerlukan perlakuan yang sama. Model ini menganggap perbedaan

biologis dan asumsi-asumsi sosial sebagai standar peran dan kapasitas

yang dilekatkan pada laki-laki dan perempuan. Perbedaan-perbedaan tersebut

membenarkan perbedaan perlakuan terhadap laki-laki dan perempuan.

Undang- undang Dasar India adalah salah satu contoh yang dipengaruhi

oleh interpretasi arti kesetaraan seperti ini.

Masalah dalam pendekatan ini bukan pada pengakuan atas

perbedaan, tetapi pada bagaimana memperlakukan perbedaan. Pendekatan ini

menganggap perempuan sebagai kelompok yang berbeda dengan laki-laki

bedasarkan asumsi sosial yang menganggap perempuan sebagai lemah,

subordinat dan memerlukan perlindungan. Perbedaan perlakuan dalam

pendekatan ini didasarkan pada asumsi seperti itu. Pendekatan ini tidak

berfokus pada hal-hal eksternal, struktural atau sistemik yang menyebabkan

terjadinya subordinasi perempuan. Karenanya, dalam melakukan koreksi,

pendekatan ini mendukung nilai-nilai gender negatif yang dilekatkan pada

perempuan. Inilah yang disebut proteksionis karena menganggap

subordinasi perempuan sebagai hal yang alami, inheren, dan tidak dapat

dirubah, bukan menentang asumsi-asumsi tentang perempuan yang sudah

dianggap lazim.

165
c. pendekatan korektif

Pendekatan ketiga adalah pendekatan substantif atau korektif.

Pendekatan ini tidak hanya berfokus pada perlakuan yang sama di

hadapan hukum, tetapi kesetaraan dalam arti dampak aktual dari hukum.

Definisi kesetaraan dan keadilan substantif mempertimbangkan dan

memberikan fokus pada keragaman, perbedaan, ketidakberuntungan dan

diskriminasi. Pendekatan ini mengakui perbedaan antara laki-laki dan

perempuan, tetapi bukan dalam arti menerima perbedaan sebagai sesuatu

yang sudah dari sananya. Sebaliknya, pendekatan ini meneliti asumsi-

asumsi di balik perbedaan-perbedaan tersebut dalam usahanya

menganalisa dan menilai ketidakberuntungan yang timbul.

Pendekatan ini berusaha mengembangkan perlakuan yang berbeda

atau respon yang membongkar ketidakberuntungan tersebut. Pendekatan

substantif berusaha menghapus diskriminasi yang diderita oleh kelompok-

kelompok yang tidak beruntung pada tingkat individu, kelembagaan, dan

sistem, melalui tindakan-tindakan korektif dan positif. Perhatian utamanya

adalah memastikan agar hukum melakukan koreksi atas

ketidakseimbangan yang ada dan memberi pengaruh pada hasilnya dengan

memastikan adanya persamaan kesempatan, akses, dan manfaat bagi

perempuan. Untuk itu, pendekatan ini berusaha merubah paradigma dari

perlakuan yang sama menjadi persamaan hasil (equality of outcomes).

Respon proteksionis berbeda dengan korektif walaupun keduanya dapat

menghasilkan ketentuan-ketentuan khusus bagi perempuan.

166
Protektionis cenderung tidak melibatkan perempuan dalam wilayah-

wilayah yang tidak aman atau tidak cocok bagi perempuan. Sebaliknya,

pendekatan substantif memfasilitasi kesetaraan dan keadilan dalam

kesempatan dengan cara memperkuat kemampuan perempuan dalam

memperluas pilihan mereka di wilayah non tradisional, dan dengan

memberlakukan langkah-langkah khusus untuk mengatasi kekurangan-

kekurangan yang mungkin mereka hadapi. Sebagai contoh, kasus seorang

perempuan yang bekerja sebagai penjaga dalam penjara untuk penjahat

berat dan penjahat seks.304 Respon proteksionis adalah memindahkan

perempuan itu dari pekerjaan tersebut karena dianggap berbahaya bagi

perempuan. Pendekatan formal tidak akan mempedulikan kemungkinan

adanya bahaya khusus bagi perempuan dan membolehkan perempuan bekerja

di tempat tersebut dengan resiko ditanggung sendiri. Pendekatan korektif

akan mempelajari resiko khusus atau umum, dan menerapkan langkah-

langkah pengamanan khusus untuk melindungi perempuan dan dengan

demikian memastikan kesempatan kerja yang sama bagi laki-laki dan

perempuan. Fokusnya adalah penanganan resiko bagi perempuan

ketimbang tidak membolehkan perempuan atau tidak mempedulikan resiko-

resiko khusus yang mungkin dihadapi perempuan. Pendekatan proteksionis

sebenarnya mengekalkan diskriminasi gender dalam hukum atas nama

perlindungan perempuan ketimbang mempertanyakan sumber penyebab

diskriminasi.

CEDAW mengadopsi model kesetaraaan substantif. Tujuan


304
Studi kasus didasarkan pada 'Dothard v. Rawlinson', 433 U.S. 321 (1997), Building Capacity
for Change: Training Mannual on the Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination
Against Women, IWRAW, Asia Pacific, 2001. Ibid, hlm.26

167
kesetaraan dan keadilan menurut CEDAW adalah menghasilkan keluaran

untuk memastikan persamaan kesempatan (hukum, kebijakan,

program), kesetaraan dan keadilan dalam akses, dan kesetaraan dan

keadilan dalam memperoleh manfaat nyata/riil. Konvensi mewajibkan

setiap negara untuk memastikan dicapainya persamaan dalam hasil (equality

of outcomes), dan dengan demikian, memberikan kewajiban kepada negara

untuk menunjukkan adanya capaian, atau hasil nyata yang dinikmati.

Dengan kata lain, Konvensi lebih memperhatikan kesetaraan dalam akses

dan kesetaraan manfaat, ketimbang kesetaraan perlakuan

2. Prinsip Non Diskriminasi

Diskriminasi dilarang dalam lebih dari satu traktat hak asasi manusia.

Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) melarang

pembedaan berdasarkan ras, warna, jenis kelamin, dan bahasa sebagai

jaminan atas hak individu. Pembedaan dalam pemberian hak atas dasar

yang manapun merupakan tindakan diskriminatif dan bukan perlakuan

berbeda yang memfasilitasi kesetaraan pengakuan, penikmatan, dan penerapan

hak yang sama bagi semua. Kapan perbedaan perlakuan dianggap sebagai

sebab diskriminasi, CEDAW memberikan arti yang lebih komprehensif

tentang diskriminasi pada Pasal 1:

Dalam Konvensi ini istilah diskriminasi terhadap perempuan berarti


setiap pembedaan, pengucilan, atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis
kelamin yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau
menghapuskan pengakuan, penikmatan, atau penggunaan hak asasi manusia
dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya,
sipil atau apapun lainnya bagi kaum perempuan terlepas dari status pekawinan
mereka atas dasar persamaan laki-laki dan perempuan.

Walaupun pasal di atas dengan jelas menjabarkan definisi

diskriminasi, kedalaman dan cakupannya lebih dapat dipahami melalui

168
ketentuan-ketentuan substantif Konvensi. Pasal 4 menentukan

diskriminasi positif atau korektif' sebagai aspek penting penghapusan

diskriminasi dan Rekomendasi Umum 19 memperluas cakupannya dengan

memasukkan bentuk-bentuk kekerasan khusus gender (gender-specific

forms of violence). Pelaksanaan dan kewajiban yang diembannya meliputi

ranah publik dan ranah privat dan juga negara dan bukan-negara sebagai

pelaku.

Definisi dalam Pasal 1 dapat juga diaplikasikan pada diskriminasi

yang dijabarkan dalam ICCPR. Menurut CEDAW, diskriminasi terjadi bila ada

elemen-elemen berikut yang berkaitan satu dengan lainnya yaitu:

a. Ideologi

Yang di maksud dengan ideologi disini adalah asumsi-asumsi

berbasis gender tentang peran dan kemampuan p erempuan. Diskriminasi

yang ditentukan dalam CEDAW tidak terbatas pada pembedaan perlakuan

yang didasarkan hanya pada jenis kelamin tetapi juga diskriminasi yang

bersumber dari asumsi-asumsi sosial budaya negatif yang dilekatkan

pada keadaan karena dia adalah perempuan atau yang disebut ideologi

gender. Konstruksi ideologis peran dan kemampuan perempuan

mempengaruhi akses perempuan dalam memperoleh berbagai kesempatan

di berbagai tingkatan, baik individu, kelembagaan, dan sistem.

Sebagai contoh, kenyataan bahwa pekerjaan yang dilakukan

perempuan sebagian besar adalah pekerjaan-pekerjaan tertentu saja dan di

sisi lain tidak adanya perempuan dalam jenis-jenis pekerjaan lainnya

merupakan akibat dari asumsi-asumsi ideologi bahwa perempuan hanya

cocok untuk pekerjaan tertentu saja. Bahwa perempuan lebih banyak

169
mengerjakan pekerjaan pengasuhan, pelayanan dan pekerjaan-pekerjaan

subordinat lainnya didasarkan pada pilihan dan kesempatan yang diberikan

kepada perempuan pada lingkup pekerjaan tersebut, dan bukan karena

perempuan tidak mampu atau tidak berminat untuk pekerjaan lain. Asumsi

gender seperti ini telah membatasi kesetaraan kesempatan bagi perempuan

di tempat kerja.

b. Tindakan

Asumsi berbasis gender telah memberikan dampak negatif pada hak

dan kebebasan perempuan dan menjadi sebab adanya diskriminasi dalam

hal-hal sebagai berikut:

1) Perbedaan perlakuan terhadap perempuan dibandingkan dengan laki-

laki. Dalam Pasal 1 CEDAW, perbedaan perlakuan terhadap laki-

laki dan perempuan tidak dengan sendirinya disebut sebagai

diskriminasi, tetapi diskriminasi terjadi bila perbedaan perlakuan

tersebut menimbulkan pengurangan atau penghapusan hak dan

kebebasan perempuan. Dengan demikian, tindakan afirmasi untuk

mengoreksi ketidakberuntungan yang dialami perempuan pada saat ini

(contemporary) atau yang sudah lama berlangsung (historic)

sebagai upaya untuk mencapai kesetaraan dan keadilan substantif

tidak masuk dalam cakupan definisi ini.

2) Pembatasan hak dan kebebasan perempuan. Pembatasan berarti

pengurangan ataupembatasan yang dipaksakan pada hal yang diakui

sebagai hak. Pembatasan jam kerja, pembatasan gerak/mobilitas,

bekerja atau pindah kerja harus dengan izin suami atau penanggung

jawab lainnya merupakan contoh diskriminasi seperti ini.

170
3) Pengucilan. Pengucilan adalah pengingkaran hak dan kebebasan

perempuan berdasarkan jenis kelamin atau asumsi-asumsi gender.

Contoh dari pengucilan seperti ini adalah tidak membolehkan

perempuan ditahbiskan sebagai pemimpin menurut ketentuan agama,

mewarisi harta pusaka, memilih, atau menduduki posisi tertentu.

Terjadinya perubahan kebijakan dapat menyebabkan perubahan dari

satu bentuk diskriminasi ke bentuk yang lain, atau bahkan dapat

mengakibatkan ketiga bentuk diskriminasi tersebut berlaku secara

bersamaan.

Sebagai contoh, sesudah revolusi 1979 di Iran, perempuan

dilarang berpartisipasi dalam semua jenis olah raga. Tetapi

kemudian, para pemimpin politik membolehkan perempuan

berpartisipasi dalam berbagai jenis olah raga, kecuali sepak bola, tetapi

dengan syarat mereka harus berpakaian sederhana dan badan tertutup

semuanya. Namun, syarat tersebut tidak berlaku bagi perempuan yang

berolah raga di dalam fasilitas privat atau fasilitas terpisah laki dan

perempuan305 . Contoh ini dengan jelas merefleksikan adanya perubahan,

dari situasi pengucilan terhadap semua jenis olah raga ke dalam situasi

dimana tiga jenis bentuk diskriminasi, yaitu pengucilan, pembatasan dan

perbedaan perlakuan, dilakukan secara bersamaan.

c. Niat.

Dalam hal niat dikenal adanya diskriminasi langsung atau tidak

langsung. Diskriminasi langsung adalah hasil dari tindakan-tindakan

yang dirancang dan dimaksudkan untuk memperlakukan perempuan

secara berbeda. Sebuah perundangan yang memberikan hak perwalian


305
Ibid, hlm. 29

171
kepada bapak dan melimpahkan hak tersebut kepada ibu hanya bila

bapak tidak ada makna sebenarnya atau secara fungsional

mensubordinasi perempuan dalam kapasitasnya sebagai ibu terhadap laki-laki

dalam kapasitasnya sebagai bapak.

CEDAW mencakup diskriminasi tidak langsung yang merupakan akibat

dari apa yang kelihatannya sebagai netral, atau persyaratan yang mempunyai

dampak diskriminatif terhadap perempuan, walaupun tidak dimaksudkan

sebagai tindak diskriminasi. Diskriminasi tidak langsung merupakan akibat

dari suatu tindakan yang dilakukan atau tidak dilakukan karena menganggap

bahwa dalam suatu keadaan tertentu laki-laki dan perempuan adalah sama,

padahal tidak demikian halnya. Dengan demikian, maka standar laki-laki

diterapkan terhadap perempuan, suatu standar yang tidak memungkinkan atau

menghilangkan hak perempuan untuk memperoleh kesempatan sama. Sebagai

contoh, persyaratan mendapat kredit keuangan yang mengharuskan adanya

agunan berupa harta tak bergerak atau tanah. Dalam konteks atau keadaan

dimana hak waris perempuan dibatasi berdasarkan kaidah hukum atau budaya,

akan menafikan atau menghalangi hak perempuan untuk memperoleh kredit

keuangan, walaupuan pengucilan semacam itu sebenarnya tidak dimaksudkan

d. Akibat

Berbagai tindakan pembedaan perlakuan, pengucilan atau

pembatasan hak disebut diskriminasi tidak hanya karena tindakan

tersebut didasarkan pada asumsi berbasis gender, tetapi juga bila tindakan

itu mengakibatkan pengurangan atau penghapusan pengakuan, penikmatan,

dan penerapan hak asasi manusia serta kebebasan dasar perempuan.

Pengurangan terjadi bila pembatasan atau persyaratan dilekatkan pada hak,

172
yang mengakibatkan terbatasnya atau hilangnya pengakuan akan hak

tersebut serta kemampuan untuk menuntutnya. Penghapusan

merupakan pencabutan hak dan kebebasan perempuan dalam bentuk

penolakan atas hak itu atau tidak adanya lingkungan dan mekanisme yang

memungkinkan perempuan untuk menegaskan atau menuntut hak mereka.

Suatu keputusan dianggap diskriminatif jika keputusan tersebut

berdampak pada hak asasi perempuan dan kebebasan dasar dengan cara306:

1) pengurangan atau penghapusan pengakuannya

2) pengurangan atau penghapusan penikmatannya

3 ) pengurangan atau penghapusan penggunaannya

3. Prinsip Kewajiban Negara

Kewajiban negara tidak boleh dipandang hanya sebagai satu elemen dari

traktat tetapi merupakan konsep penting dan integral dari kerangka

kesetaraan dan non-diskriminasi yang dikandung dalam Konvensi. Di

samping sebagai pendukung konstruksi kesetaraan dan non-diskriminasi

terhadap perempuan, kewajiban negara menggunakan definisi kesetaraan dan

keadilan dan non-diskriminasi terhadap perempuan dalam menentukan cakupan

pelaksanaannya. Kaitan antara kewajiban negara, kesetaraan dan non-

diskriminasi memiliki sifat interaktif, ketiganya merupakan perpaduan yang

membangun pendekatan mengenai hak asasi perempuan.

Pasal-pasal penting yang menjelaskan cakupan kewajiban negara

adalah Pasal 1 sampai Pasal 4. Cakupan kewajiban negara yang terdapat

dalam definisi diskriminasi pada Pasal 1 termasuk diskriminasi di bidang

politik, sosial, ekonomi, budaya, sipil dan bidang- bidang lainnya. Pasal 2

(f) dan 5 menegaskan kewajiban negara dalam kaitannya dengan praktek-


306
Ibid, hlm. 30

173
praktek diskriminatif yang berasal dari norma-norma sosial dan

hukum kebiasaandengan jelas memperluas tanggung jawab negara ke dalam

lingkup yang lebih luas daripada apa yang pada umumnya diterima dalam

hukum nasional.

Pasal 2 dan 3 menjelaskan kewajiban negara dalam kaitannya dengan

penghapusan diskriminasi dan memastikan kesetaraan substantif. Untuk itu,

Pasal 2 (e) memberikan tanggung jawab kepada negara untuk menghapus

diskriminasi yang dilakukan oleh setiap orang, lembaga atau perusahaan

memasukan pelaku privat, individu atau kelompok, ke dalam cakupannya.

Kedua Pasal tersebut memasukan langkah korektif, program, hukum,

kebijakan dan setiap tindakan yang diambil dalam cakupan kewajiban

yang diemban negara. Pada akhirnya, Pasal 4 memperluas tanggung jawab

negara, tidak hanya pada tindakan formal tetapi pada hasil-hasil yang dicapai

di lapangan, dan merekomendasikan tindakan afirmasi untuk mempercepat

terjadinya kesetaraan dan keadilan.

Masing-masing elemen kewajiban negara dengan mengacu pada

pasal-pasal terkait, dibahas di bawah ini:

a. Kewajiban Menyediakan Perangkat dan Kewajiban Mendapat Hasil Nyata

CEDAW menggarisbawahi dua jenis kewajiban, kewajiban untuk

menentukan langkah tindak dan hasil yang nyata. Yang pertama adalah

kewajiban untuk menciptakan perangkat (means), dengan memanfaatkan

sumber daya yang dimiliki negara, untuk mewujudkan kesetaraan dan

keadilan. Implisit dalam kewajiban ini adalah tuntutan perempuan

terhadap alokasi atau redistribusi sumberdaya nasional untuk menciptakan

kerangka kesetaraan dan keadilan substantif. CEDAW memahami bahwa

174
perbedaan gender membatasi dan menghalangi status, kesempatan, akses

dan sumber daya perempuan. CEDAW menyatakan bahwa kebijakan dan

hukum negara dapat mengatasi ketidakseimbangan seperti itu melalui

pelaksanaan langkah-langkah korektif atau perbaikan. Sumberdaya negara

normatif, kelembagaan, kebijakan dan yang paling penting, perbaikan

harus ditujukan untuk memenuhi kewajiban menentukan langkah-tindak

dan penyediaan perangkat untuk memastikan kesetaraan dan keadilan dalam

kesempatan, akses dan manfaat bagi perempuan.

Kewajiban kedua yang ditentukan CEDAW adalah lebih

luas daripada hanya menyediakan perangkat untuk memastikan

adanya persamaan hasil (kewajiban memberikan hasil nyata). Dalam

konteks partisipasi politik, berdasarkan hukum formal atau de jure,

perempuan memiliki hak untuk memilih. Namun, kenyataan di lapangan

atau situasi de facto mungkin sangat berbeda jika perempuan tidak dapat

melaksanakan hak itu secara efektif, yaitu yang didasarkan atas

pengetahuan dan pertimbangan yang bebas. Sekurang-kurangnya

diperlukan informasi pendaftaran pemilih perempuan, nama calon, partai

politik, dan aspek-aspek sejenis yang menentukan pelaksanaan hak pilih307

Pasal 4 menyatakan kewajiban hasil nyata itu dengan memberikan

tekanan pada perlunya tindakan afirmasi untuk mencapai kesetaraan

dan keadilan de facto atau kesetaraan dan keadilan substantif. Dengan

kata lain, Konvensi lebih menekankan pada kesetaraan dan keadilan dalam

akses dan manfaat dibandingkan perlakuan yang sama.

b. Penghormatan, Pemenuhan dan Perlindungan

Perwujudan penuh hak asasi manusia menghendaki bahwa


307
Ibid, hlm. 33

175
negara mengemban tiga tingkat tanggung jawab, yaitu: penghormatan,

pemenuhan dan perlindungan hak dan kebebasan. Masing-masing tingkat

saling terkait dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Penghormatan

memerlukan peneguhan melalui pelaksanaan standar normatif yang

mengakui hak asasi perempuan. Ini merupakan syarat awal bagi

penikmatan hak dan kebebasan, dengan menciptakan lingkungan, termasuk

kerangka kelembagaan, yang memungkinkan pemenuhan standar normatif

tersebut. Terakhir, diperlukan mekanisme yang dapat diterapkan yang

secara efektif melindungi standar-standar tersebut dari ancaman

pelanggaran. Ketiga peran ini sama dengan pengakuan, penikmatan dan

penerapan penuh hak-hak dan kebebasan oleh perempuan seperti dijelaskan

dalam Pasal 1 Konvensi308. Dengan demikian, tanggung jawab negara lebih

dari sekedar kepastian konstitusional, pelaksanaan program, kebijakan

dan inisiatif yang meliputi tindakan publik dan privat dalam setiap bidang.

Lebih penting lagi, dalam tanggung jawab negara termasuk pula

diciptakannya kerangka institusional yang efektif yang dapat melindungi

hak dan kebebasan, dari pelanggaran sekecil apapun.

c. Tindakan Afirmasi

Tindakan affirmasi merupakan sarana/cara yang dapat dan harus

digunakan untuk mengatasi masalah ketidakberuntungan perempuan.

Hukum internasional mengakui adanya ”diskriminasi korektif” atau

308
Pasal 1 Untuk tujuan Konvensi yang sekarang ini, istilah ’diskriminasi terhadap
perempuan” berarti setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis
kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan,
penikmatan atau penggunaan hak-hak azasi manusia dan kebebasan- kebebasan pokok di bidang
politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum perempuan, terlepas dari status
perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan.

176
”diskriminasi penyeimbang” seperti itu.309 Tindakan affirmasi didasarkan

pada pemahaman bahwa kesetaraan dan keadilan dan non diskriminasi tidak

berarti perlakuan yang sama. Pasal 4 dan ketentuan tematik CEDAW

mewajibkan Negara Pihak untuk menghapus diskriminasi yang kini

dihadapi atau di masa lalu dengan mengambil langkah-langkah khusus,

baik yang bersifat sementara maupun berkelanjutan.

Sebagai contoh, ketidakberuntungan historis dalam hal partisipasi

politik dapat diatasi dengan penentuan quota atau penyediaan tempat, cara

sementara yang memungkinkan tercapainya hasil dari kesetaraan dan

keadilan. Kebijakan yang ditentukan untuk menyediakan pekerjaan dan

kenaikan pangkat bagi perempuan dalam situasi dimana perempuan kurang

terwakili, yang disebabkan karena ketidakberuntungan historis atau

prasangka yang sudah lama berakar, juga merupakan suatu bentuk

tindakan afirmasi. Pasal 4 mencakup langkah khusus untuk tidak hanya

memecahkan masalah diskriminasi historis ataupun yang kini dihadapi,

tetapi juga kondisi yang menyangkut kebutuhan biologis dan psikologis

perempuan, seperti fungsi mengandung dan melahirkan anak

(maternity).

Langkah-langkah khusus tersebut tidak bersifat sementara tetapi

berkelanjutan. Suatu langkah khusus, apakah sementara atau

berkelanjutan, penting untuk menyeimbangkan keadaan yang tidak

seimbang (uneven playing field). Istilah langkah khusus tidak terkait

309
Walaupun istilah diskriminasi positif biasa dipakai untuk menyebutkan tindakan affirmatif,
Rekomendasi Umum 25 menyatakan kecenderunganpemakaian istilah diskriminasi 'korektif' atau
'kompensatoris' ketimbang diskriminasi 'positif'. Privilege must be distinguished from corrective or positive
discrimination. Whereas privilege is based on social convention and tradition, positive discrimination is
based on the rationale that historical barriers faced by certain groups on any enumerated ground of
discrimination must be overcome and eliminated. Ibid, hlm33

177
dengan kebutuhan perempuan, karena hal ini kadang-kadang membuat

perempuan dan kelompok lain yang terdiskriminasi sebagai lemah,

rentan dan memerlukan langkah ekstra dan khusus. Istilah khusus tidak

terkait dengan kelemahan tetapi langkah-tindak yang diperlukan untuk

mengatasi diskriminasi tetapi terkait dengan tujuan khusus yang ingin

dicapai. Kata sementara tidak berarti suatu kurun waktu yang ditentukan

terlebih dahulu, tetapi bahwa diskriminasi dapat digantikan dan dihapuskan

dengan melaksanakan langkah-langkah khusus. Karenanya, langkah

sementara akan terus dilanjutkan sampai ketidaksetaraan berhasil diatasi.

d. Uji Kelayakan (Due Diligence)

Konvensi mewajibkan Negara Pihak untuk bertanggung jawab

atas pelanggaran yang dilakukan aktor privat baik dalam ranah publik

maupun ranah privat. Negara Pihak dengan demikian tidak hanya

diharuskan untuk menunjukkan bahwa mereka sudah melaksanakan uji

kelayakan untuk memenuhi tanggung jawab formal atau tanggung jawab

de jure, tetapi juga bahwa mereka sudah mengambil langkah yang

memungkinkan, mengatur dan melindunginya. Rekomendasi Umum 19

CEDAW menentukan bahwa Negara Pihak sepatutnya bekerja keras

dalam mengatur dan melindungi perempuan dari bentuk-bentuk

kekerasan sistemik seperti kekerasan domestik dan pelecehan seksual di

tempat kerja. Sampai sejauh mana uji tuntas dilaksanakan dapat dinilai

melalui adanya peraturan perundang-undangan, kebijakan, program, dan

efektivitas dari akses pada mekanisme perbaikan.

e. Harmonisasi Nasional

Ratifikasi Konvensi oleh suatu negara mencakup pengakuan

178
dan persetujuan akan tujuan-tujuan yang ditentukan dalam traktat dan

komitmen untuk melaksanakannya dengan niat baik. Prinsip kedaulatan

membolehkan Negara Pihak menilai cara, langkah, dan jangka waktu

yang diperlukan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban tersebut.

Dengan demikian, Negara Pihak dapat memberikan syarat atau merubah

kewajibannya terhadap suatu ketentuan khusus dalam traktat dengan cara

reservasi310 atau deklarasi311.

Untuk memastikan hak kedaulatan ini dijalankan secara

bertanggung jawab, reservasi memiliki syarat-syarat tertentu. Ratifikasi

memerlukan tanggung jawab pada dua tingkatan pertama, pada tingkat

internasional terhadap sistem PBB melalui prosedur tinjauan negara kedua,

tanggung jawab untuk melaksanakan traktat di tingkat nasional melalui

harmonisasi ke dalam hukum domestik, apakah melalui legislasi,

kebijakan, interpretasi yang tepat, atau langkah-langkah lainnya. Dalam

situasi dimana hukum nasional tidak berlaku atau bahkan tidak

konsisten, maka dengan menggunakan argumentasi bahwa penikmat

perjanjian hak asasi manusia adalah manusia, sehingga ratifikasi dapat

menjadi pemenuhan harapan yang sah (legitimate expectation) setiap orang

sebagai penerima atau penikmat hak asasi manusia; dan bahwa harapan

seperti itu dapat ditegaskan terhadap suatu Negara Pihak dalam

310
Reservasi merupakan deklarasi formal bahwa Negara tidak terikat pada bagian tertentu dari
traktat; reservasi dapat dilakukan dengan catatan bahwa hal itu tidak bertentangan dengan maksud dan
tujuan Konvensi, Ibid, hlm. 52
311
Deklarasi adalah garis besar interpretasi atas suatu Pasal tertentu oleh Negara yang
menyatakannya, dan dengan demikian hanya terikat pada interpretasi tersebut. Tidak seperti
reservasi, deklarasi hanya memperjelas posisi Negara tersbut dan tidak berarti menolak atau merubah
efek legal suatu traktat Ibid, hlm. 51

179
312
peradilan nasional . Dengan demikian, hak yang bersumber dari

ratifikasi hukum internasional hak asasi manusia tidak tergantung pada

sistem politik, apakah struktur pemerintahan federal atau suatu negara

kesatuan tetapi merupakan suatu kewajiban yang diemban oleh negara

sebagai suatu kesatuan untuk meningkatkan pemenuhan harapan

yang sah (legitimate expectation) bagi terpenuhinya hak asasi manusia

dalam wilayah yurisdiksinya.

Seiring dengan gerak langkah reformasi yang hingga saat ini terus

diupayakan baik dalam lembaga legislatif, eksekutif, maupun yudikatif, reformasi

di bidang hukum merupakan salah satu agenda yang terus dilakukan

progresnya baik dalam pembentukan, penegakkan, maupun proses monitoring

dan evaluasinya. Salah satu upaya dalam rangka membangun hukum yang

responsif terhadap segala permasalahan yang terus silih berganti dalam

kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, yang juga dibarengi dengan

pesatnya perkembangan informasi dan teknologi, telah ikut mempengaruhi

tatanan kehidupan yang berdampak pada terjadinya perubahan secara progresif

dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Adalah perlu adanya suatu tatanan kehidupan yang didasarkan pada

ketentuan peraturan perundang- undangan yang sensitif sekaligus responsif

terhadap berbagai hal perubahan yang terjadi dalam masyarakat.

Mengupayakan adanya substansi Peraturan Perundang-undangan termasuk

teknis kebijakan operasional yang sensitif dan responsif terhadap berbagai

312
Walaupun harmonisasi nasional memerlukan legislasi, ada preseden hukum yang mendukung
penetapan standar internasional yang didasarkan pada harapan yang sah (legitimate expectation) Minister of
Immigration and Ethnic Affairs V. Teoh, (1994) 128 ALR 353 (High Court of Australia and Vishaka v. State
of Rajasthan (1997) 6 SCC 241 (Supreme Court of India), Ibid, hlm. 36

180
persoalan dalam masyarakat, diantaranya persoalan kesenjangan gender.

Pengintegrasian perspektif gender ke dalam suatu Peraturan Perundang-

undangan dan/ atau kebijakan teknis operasional untuk mewujudkan

kesejahteraan dan ketenteraman sebagaimana yang diidamkankan oleh

masyarakat luas.

Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat berupa undang-undang

beserta peraturan pelaksanaannya dan peraturan d aerah beserta peraturan

pelaksanaannya. Harapan akan dihasilkannya suatu produk Peraturan

Perundang-undangan yang memperhatikan dan mempertimbangkan berbagai

persoalan, aspirasi, dan kebutuhan masyarakat yang sangat heterogen,

termasuk kebutuhan spesifik perempuan dan laki-laki dan kelompok rentan

lainnya, adalah terwujudnya ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berkesetaraan dan keadilan dan berkeadilan gender. Sebagaimana diharapkan

ketentuan tersebut bukan saja mengakomodir kebutuhan spesifik gender tetapi

juga mampu untuk mencerminkan pengaturan yang transformatif gender,

berorientasi pada aspek perlindungan dan pemulihan atas praktek ketidakadilan

gender, baik terhadap diri perempuan maupun laki-laki ataupun kelompok

rentan lainnya, meski faktanya lebih sering tertuju kepada perempuan. Dengan

demikian, harapan adanya hukum melalui substansi peraturan perundang-

undangan yang bukan saja dapat dijadikan sebagai alat untuk menciptakan

kesejahteraan, tetapi juga dapat mewujudkan keadilan dan kemanfaatan bagi

masyarakat, yang di dalamnya adalah masyarakat laki-laki dan perempuan.

Sebagaimana telah di jelaskan sebelumnya, dalam Konvensi CEDAW

memuat 16 Pasal substantif, Pasal 2, memuat kewajiban negara mengutuk

diskriminasi terhadap perempuan dalam segala bentuknya, dan

181
menjalankan dengan segala cara yang tepat dan tanpa ditunda-tunda, kebijakan

menghapus diskriminasi terhadap perempuan, meliputi:

1. Mencantumkan asas persamaan antara laki-laki da perempuan dalam

undang-undang dasar atau perundang-undangan yang tepat lainnya, dan

menjamin realisasi praktis dari asas ini, melalui hukum dan caracara lain

yang tepat.

2. Membuat Peraturan Perundang-undangan yang tepat dan langkahtindak

lainnya, termasuk sanksi-sanksinya dimana perlu, melarang segala bentuk

diskriminasi;

3. Menegakkan perlindungan hukum terhadap hak-hak perempuan atas

dasar persamaan dengan laki-laki, dan menjamin melalui peradilan nasional

yang kompeten dan badan-badan pemerintah, perlindungan yang efektif

terhadap perempuan dari setiap tindakan diskriminasi;

4. Menjamin bahwa pejabat-pejabat pemerintah dan lembaga-lembaga

negara tidak melakukan suatu tindakan dan praktek diskriminasi terhadap

perempuan;

5. Menghapus perlakuan diskriminasi terhadap perempuan oleh tiap orang,

organisasi atau perusahaan;

6. Mengubah atau menghapus undang-undang, peraturan-peraturan,

kebiasaan-kebiasaan dan praktek yang diskriminatif terhadap perempuan;

7. Mencabut semua ketentuan pidana nasional yang diskriminatif terhadap

perempuan. Pasal 3 melakukan langkah-tindak, termasuk membentuk

peraturan perundang-undangan di semua bidang, untuk menjamin

perkembangan dan kemajuan perempuan sepenuhnya, dengan tujuan

untuk menjamin bahwa perempuan melaksanakan dan menikmati hak asasi

182
manusia dan kebebasan pokok atas dasar persamaan dengan laki-laki;

Pasal 4, Kewajiban Negara membuat peraturan dan mengambil

tindakan-khusus-sementara yang ditujukan untuk mempercepat persamaan “de

facto” antara laki-laki dan perempuan dan Pasal 5, kewajiban melakukan langkah-

tindak untuk mengubah pola tingkah-laku sosial dan budaya, menghapus

prasangka dan kebiasaan dan segala praktek lainnya yang berdasarkan

inferioritas atau superioritas salah satu jenis kelamin atau berdasar peran stereotipe

laki-laki dan perempuan. Pasal 6 sampai dengan Pasal 16, Kewajiban Negara

memenuhi Hak Kesetaraan dan keadilan Substantif (Kesetaraan dan keadilan) bagi

perempuan.

D. Indikator Kesetaraan dan keadilan Gender Dalam Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan

Sejak diberlakukannya Otonomi Daerah sejak Tahun 1999 sebagaimana

ditentukan dalam Undang-undang No.22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah dan diperbarui dengan Undang-undang No. 32 Tahun

2004, dan diperbarui lagi dengan Undang-undang No. 9 Tahun 2015, bahwa

salah satu hak bagi daerah otomi adalah mengeluarkan kebijakan kebijakan daerah

untuk mengatur rumah tangganya sendiri.

Berdasarkan hal tersebut Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap

Perempuan telah melakukan pemantauan berbagai kebijakan daerah, dan

menemukan setidaknya ada 40 (empat puluh) kebijakan daerah yang kondusif

bagi pemenuhan hak konstitusional perempuan, antara lain, tentang pemulihan

korban, perlindungan bagi buruh migran, pemberantasan tindak pidana

perdagangan orang (trafficking in person), dan penanganan HIV/AID,

183
pemberdayaan dan perlindungan perempuan, Keempat puluh kebijakan ini belum

termasuk inisiatif di beberapa wilayah untuk menerbitkan kebijakan daerah

tentang pendidikan dan layanan kesehatan yang murah bahkan gratis, sesuai

dengan kemampuan daerahnya. Namun di sisi lain juga ditemukan berbagai

kebijakan daerah yang diskriminatif atau bias gender, yang jumlahnya cenderung

terus meningkat. Pada awalnya sejumlah 154 pada Tahun 2009, kemudian 184

pada Tahun 2010, dan terakhir menjadi 217 pada Tahun 2011313.

Mewujudkan suatu produk peraturan perundang- undangan yang

sensitif dan responsif gender sekaligus tantangan atas kehadiran kebijakan

otonomi daerah tersebut, maka diperlukan suatu tolok ukur atau prinsip

kesetaraan dan keadilan dan keadilan gender yang jelas dalam

pembentukan peraturan p erundang- undangan. Prinsip kesetaraan dan

keadilan gender ini penting karena akan dapat dijadikan sebagai acuan dan alat

analisis gender dalam pembentukan peraturan perundang- undangan dan lebih

lanjut pada teknis perumusan kebijakan operasionalnya. Dengan demikian akan

dapat di cegah lahirnya Peraturan Perundang-undangan yang diskriminatif

dan/atau bias gender.

Diharapkan pula bahwa dengan menggunakan prinsip kesetaraan dan

keadilan gender tersebut, akan dapat mengurangi dan menanggulangi persoalan

diskriminasi gender dalam suatu bentuk perauran perundang-undangan.

Diskriminasi gender, menyebabkan kerentanan bagi perempuan dan/ atau anak

perempuan serta berpotensi menyebabkan kekerasan terhadap perempuan

dan/atau anak perempuan. Diskriminasi terhadap perempuan, pada dasarnya

mengindikasikan masih terabaikannya pemenuhan hak asasi perempuan,

313
Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, Op.Cit. hlm. 2

184
diantaranya sebagai akibat masih terdapat peraturan perundang-undangan

yang diskriminatif dan/atau bias gender sehingga berimbas pada bentuk

perlakuan diskriminatif pula. Di sisi lain terjadinya pratik diskriminasi sebagai

akibat pemahaman masyarakat yang belum responsif terhadap permasalahan

dan aspirasi laki-laki dan perempuan yang pada hakekatnya berbeda, sehingga

penting untuk selalu diusahakan merumuskan ketentuan yang sifatnya responsif

gender dalam Peraturan Perundang-undangan, demikian halnya dalam kebijakan

teknis operasionalnya. Usaha tersebut perlu terus diupayakan untuk penegakan

atas penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak asasi perempuan.

Akar persoalan agak sulitnya pemenuhan hak asasi perempuan, sangat

terkait dengan nilai dan konsep budaya patriarkhi, yang menempatkan

perempuan dan laki-laki pada relasi kekuasaan yang tidak setara. Pengalaman

menunjukkan bahwa diskriminasi terjadi karena perempuan berasal dari

golongan minoritas etnis, ras, warna kulit, kelas dan tentu saja karena setting

sejarah tertentu314.

Permasalahan bahwa kesenjangan tersebut masih terus berlanjut, dan

hal tersebut sebagaimana dinyatakan dalam kebijakan Rencana Pembangunana

Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014 (Peraturan Presiden

Nomor 5 Tahun 2010 tentang RPJMN Tahun 2010-2014) bahwa kualitas hidup

dan peran perempuan masih relatif rendah, antara lain disebabkan karena:

1. Adanya kesenjangan gender dalam hal akses, manfaat dan partisipasi dalam

pembangunan, serta penguasaan terhadap sumber daya, terutama pada

tatanan antar provinsi dan antar kabupaten/kota.

2. Rendahnya peran dan partisipasi perempuan di bidang politik, jabatan

314
Ibid, hlm. 3

185
publik, dan di bidang ekonomi.

3. Rendahnya kesiapan perempuan dalam mengantisipasi dampak perubahan

iklim, krisis energi, krisis ekonomi, bencana alam dan konflik social, serta

terjadinya penyakit.

Kesemua permasalahan tersebut di atas sangat sarat dengan isu gender,

yang memerlukan penanganan program lintas bidang serta koordinasi

dengan berbagai pemangku kepentingan, baik secara langsung maupun tidak

langsung, baik pada tingkat pusat maupun daerah, atau antar tingkat pusat dan

daerah, dimulai dari sejak perencanaan, perumusan, pelaksanaan kebijakan

sampai pada tahap monitoring dan evaluasinya. Sementara itu, Undang-Undang

Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional

(RPJPN) Tahun 2005- 2025 pada dasarnya telah mengarahkan untuk adanya

perwujudan Indonesia yang demokratis dan berlandaskan hukum, yang antara

lain menyatakan bahwa:

“Demokratis yang berlandaskan hukum merupakan landasan penting


untuk mewujudkan pembangunan Indonesia yang maju, mandiri dan adil ...
Hukum pada dasarnya bertujuan untuk memastikan munculnya aspek-aspek
positif dan menghambat aspek negatif kemanusiaan serta memastikan
terlaksananya keadilan untuk semua warga negara tanpa memandang dan
membedakan kelas, sosial, ras, etnis, agama ataupun gender. Hukum yang
ditaati akan menciptakan ketertiban dan keterjaminan hak-hak dasar masyarakat
secara maksimal.

pengintegrasian perspektif kesetaraan dan keadilan gender ke dalam

setiap kegiatan penyusunan dan perumusan p eraturan perundang-

undangan menjadi sangat penting dan pada dasarnya merupakan sebuah

keniscayaan yang harus diterapkannya. Hal ini mengingat, bahwa Peraturan

Perundang-undangan dalam berbagai jenisnya, yakni TAP MPR, Undang-

Undang, Perpu, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, sampai pada tingkat

186
Peraturan Daerah sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang No.12

tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, justru

yang akan dijadikan sebagai suatu dasar hukum bagi penyusunan dan/ atau

perumusan Peraturan Perundang-undangan turunannya, terutama untuk

pengaturan yang bersifat teknis. Indikator yang diharapkan bahwa dengan

diintegrasikannya perspektif kesetaraan dan keadilan gender ke dalam

suatu rumusan ketentuan Peraturan perundang-undangan.

Dalam ketentuan Pasal 6 ayat (1) Undang- Undang Nomor 12 Tahun

2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, bahwa Asas

Materi Muatan Peraturan Perundangundangan meliputi:

a. pengayoman;

b. kemanusian;

c. kebangsaan;

d. kekeluargaan;

e. kenusantaraan;

f. bhinneka tunggal ika;

g. keadilan;

h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;

i. ketertiban dan kepastian hukum;.

j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf g dan huruf h, menyatakan

bahwa, yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah setiap m ateri m uatan

peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara

proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali. Sedangkan yang

dimaksud dengan “asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan

187
pemerintahan” adalah setiap materi muatan peraturan p erundangundangan

tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar

belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status

sosial. Akses ini seyogyanya diperkuat dengan ketentuan bahwa setiap materi

muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat

memberikan atau berakibat membedakan, berdasarkan latar belakang, antara

lain agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.

Berdasarkan pada ketentuan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12

Tahun 2011 beserta penjelasannya tersebut bahwa pada dasarnya m ateri muatan

suatu Peraturan Perundang-undangan tidak boleh mengandung atau

mengakibatkan hal-hal yang bersifat diskriminatif, ketidakadilan, ketidaksetaraan,

termasuk ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender, serta berbagai hal yang

tidak selaras dengan asas-asas materi muatan sebagaimana telah ditentukan

tersebut. Salah satu upaya agar materi muatan Peraturan Perundang-undangan

adalah memenuhi unsur-unsur sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 6

ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 maka perlu dan penting dilakukan kajian dan

analisisnya terlebih dahulu mengenai apa dan mengapa serta tujuan

dibentuknya suatu peraturan perundang-undangan. Selanjutnya sasaran yang

ingin diwujudkan, jangkauan dan arah pengaturan yang akan disusun, yang

akan dijelaskan dalam konsepsi yang akan dibangun dalam rangka memenuhi

kebutuhan adanya pokok pikiran, lingkup atau obyek yang akan diatur, semua

itu membutuhkan analisis agar dampak atas suatu pengaturan tersebut dapat

dikandung nilai-nilai keadilan baik dalam rumusan (de-jure) maupun de-facto

nya. Salah satu langkah yang perlu dipertimbangkan untuk adanya bentuk

pengaturan yang responsif gender, dan menghidarkan ketentuan yang netral

188
gender, adalah dukungan semua kalangan untuk diarahkan pada

pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang responsif gender dan tidak

diskriminatif terhadap salah satu jenis kelamin sebagaimana dimaksud dalam

prinsip-prinsip Konvensi CEDAW.

Guna memastikan bahwa suatu Peraturan Perundang-undangan telah

memenuhi unsur-unsur atau dapat dikategorikan responsif gender, diperlukan

suatu alat analisis dalam setiap tahap p embentukan Peraturan Perundang-

undangan yang di dalamnya terdapat indikator-indikator315 mengenai

kesetaraan dan keadilan gender yang terdiri dari atas:

1. Akses

2. Partisipasi

3. Kontrol

4. Manfaat

Ke empat indikator tersebut perlu diintegrasikan pada setiap tahapan

dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan, yang hasilnya nanti

dapat terbaca dari produk peraturan perundang-undangan itu sendiri..

Pengintegrasian keempat indikator ini dapat digambarkan sebagai berikut316:

1. Akses,

Akses artinya mempertimbangkan bagaimana memperoleh kesempatan yang

sama bagi perempuan dan laki-laki serta dalam pemanfaatan sumberdaya

pembangunan yang akan diatur dalam perundang-undangan, sehingga norma-norma

hukum yang dirumuskan mencerminkan kesetaraan dan keadilan gender. Beberapa

hal yang terkait dengan akses adalah :

a. Perlu tersedianya informasi yang akurat untuk memberikan pengetahuan dan

315
Ibid, hlm. 41- 44
316
Kementrian Pemberdayaan Perempuan, Op.Cit. hlm 41-43

189
pemahaman mengenai sasaran yang akan diwujudkan dan atau persoalan yang

dihadapi

b. Tersedianya informasi yang dapat diakses dengan mudah, murah dan dapat

dimengerti atau dipahami dengan mudah dan dapat digunakan sebagai bahan

referensi oleh yang bersangkutan.

c. Tersedianya sarana dan sarana dan prasarana yang diperlukan dan kemudahan

mencapai sarana dan prasarana tersebut.

d. Tersedianya sumber daya manusia yang dapat memberikan bantuan dan atau

membantu memberikan solusi mengatasi persoalan yang dihadapi

e. Perlu ditumbuhkan budaya kebersamaan antara perempuan dan laki-laki untuk

mengatasi bersama atas berbagai persoalan yang daihadapi

f. Perlu diusahakan berangsur-angsur untuk meniadakan tradisi/kebiasaan yang

dapat merugikan perempuan tanpa mengesampingkan kearifan lokal.

2. Partisipasi,

Parisipasi artinya memperhatikan apakah peraturan perundang-undangan

memberikan kesempatan yang setara bagi perempuan dan laki-laki untuk

berpartisipasi dan mempunyai peran yang sama dalam proses pembuatan kebijakan

dan pengambilan keputusan, antara lain untuk;

a. Menentukan proses pemecahan terhadap suatu permasalahan

b. Menentukan solusi yang dipilih

c. Turut serta dalam pengambilan keputusan baik terkait dengan jumlah maupun

kualitas

d. Keberdayaan institusi dan peran serta masyarakat untuk mengatasi persoalan yang

dihadapi, terutama persoalan yang dihadapi perempuan

Contoh: melibatkan calon pejabat struktural baik dari pegawai laki-laki

190
maupun perempuan yang berkompetensi dan memenuhi syarat ”Fit an Proper Test”

secara objektif dan transparan, memberikan peluang yang sama antara laki-laki dan

perempuan untuk ikut serta dalam menentukan pilihan pendidikan di dalam

rumahtangga

3. Kontrol,

Kontrol artinya menganalisis apakah norma hukum yang dirumuskan dalam

suatu peraturan perundang-undangan memuat ketentuan yang setara berkenaan

dengan relasi kekuasaan antara perempuan dan laki-laki untuk melaksanakan hak dan

kewajibannya dan mempunyai kekuasaan yang sama pada sumberdaya

pembangunan. Untuk itu perlu dianalisis apakah ada:

a. Keberdayaan yang setara antara perempuan dan laki-laki dalam menggunakan

haknya dengan berdaya guna dan berhasil guna

b. Keberdayaan institusi dan masyarakat untuk mewujudkan kesetaraan dan

keadilan yang adil bagi perempuan dan laki-laki

c. Adanya norma peraturan perundang-undangan yang menjamin perwujudan

kesetaraan dan keadilan antara perempuan dan laki-laki, terutama bagi

perempuan pedesaan dan perempuan kepala keluarga.

Contoh: memberikan kesempatan yang sama bagi PNS laki-laki dan

perempuan dalam penguasaan terhadap sumberdaya (misalnya: sumberdaya materi

maupun non materi daerah) dan mempunyai kontrol yang mandiri dalam

menentukan apakah PNS mau meningkatkan jabatan struktural menuju jenjang

yang lebih tinggi

4. Manfaat

Manfaat artinya menganalisis apakah norma hukum yang dirumuskan dapat

menjamin bahwa:

191
a. suatu kebijakan atau program pembangunan akan mempunyai manfaat yang

sama bagi perempuan dan laki-laki di kemudian hari

b. pemanfaatan manfaat yang sama dan adil dari hak yang dipenuhi, terutama

dipenuhinya hak perempuan

Contoh: Program pendidikan dan latihan (Diklat) harus memberikan

manfaat yang sama bagi PNS laki-laki dan perempuan, hak perempuan untuk

menikmati manfaat dari pemilikan dan pengelolaan hak atas tanah, dan lain-lain.

Keempat indikator tesebut (akses, partisipasi, kontrol dan manfaat), pada

dasarnya saling berkaitan antara satu dengan lainnya, mempunyai nilai yang sama

penting dan sama kuatnya, tidak hierarkis dan harus dikaji secara holistik. Dengan

demikian yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan yang responsif

gender adalah peraturan perundang-undangan yang mengadopsi pendekatan dalam

CEDAW dan analisis atas keempat indikator tersebut, yang tercermin dalam setiap

proses pembentukan peraturan perundang-undangan.

E. Pengintegrasian Kesetaraan dan keadilan Gender Dalam Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan

Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa: “Segala warga negara

bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib

menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pasal

27 ayat (2) menentukan: “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan

penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Oleh karena itu guna memastikan

bahwa suatu peraturan perundang-undangan telah memenuhi unsur-unsur atau

dapat dikategorikan responsif gender, diperlukan pengintegrasian prinsip

kesetaraan dan keadilan dalam setiap tahap pembentukan peraturan perundang-

192
undangan. Proses pengintegrasian Kesetaraan dan keadilan gender tersebut

didasarkan pada ketentuan dasar yang diamanatkan dalam UUD 1945, yang terdiri

dari 14 (empat belas) rumpun Hak Dasar dan terjabarkan menjadi 40 (empat puluh)

Hak Konstitusional317 dengan mempertimbangkan akses, partisipasi, kontrol dan

manfaat yang adil bagi laki-laki dan perempuan, sebagaimana di jabarkan dalam

tabel berikut ini:

Tabel 3. Hak Konstitusional

40 Hak Konstitusional Dalam 14 Rumpun


1. Hak atas Kewarganegaraan 1. hak atas status kewarganegaraan
2. hak atas kesamaan di dalam hukum dan
pemerintahan.
2. Hak atas Hidup 3. hak untuk hidup dan mempertahankan
kehidupannya
4. hak atas kelangsungan hidup, tumbuh
dan kembang
5. hak untuk mengembangkan diri melalui
pemenuhan kebutuhan hak dasar
pendidikan, ilmu pengetahuan,
teknologi, seni dan budaya
3. Hak untuk mengembangkan
6. hak atas jaminan sosial yang
diri memungkinkan pengembangan dirinya
secara utuh sebagai manusia bermartabat
7. hak untuk berkomunikasi dan
memperoleh informasi untuk
mengembangkan peran lingkungan
sosial
8. hak atas pendidikan
4. Hak atas kebebasan
9. hak atas kemerdekaan pikiran dan hati
meyakini kepercayaan nurani
10. hak atas kebebasan meyakini kerpecayaan
11 hak untuk bebas memeluk agama dan
beribadat menurut agamanya

12. hak untuk bebas memilihpendidikan,


317
Ibid. hlm. 44

193
pengajaran pekerjaan, kewarganegaraan,
tempat tinggal
5. Hak atas informasi
13. hak atas kebebasan berserikat dan
berkumpul

14. hak untuk menyatakan fikiran dan sikap


sesuai dengan hati nurani
6. Hak atas kerja dan 15. hak untuk berkomunikasi dan
memperoleh informasi
penghidupan layak
16. hak untuk mencari, memperoleh,
memiliki, menyimpan, mengolah, dan
menyampaikan informasi dengan
7. Hak atas kepemilikan dan menggunakan segala jenis saluran yang
perumahan tersedia

17. hak atas penghidupan dan pekerjaan


yang layak bagi kemanusiaan
8. Hak atas kesehatan dan 18. hak untuk bekerja dan memperoleh
lingkungan yang sehat imbalan dan perlakuan yang adil dan
layak dalam hubungan kerja

19. hak untuk tidak diperbudak


9. Hak berkeluarga
20. hak untuk mempunyai kekayaan
10. Hak atas kepastian hukum pribadi
dan keadilan
21. hak untuk bertempat tinggal

22. hak untuk sejahtera lahir dan batin


23. hak untuk mendapatkan lingkungan yang
11. Hak bebas dari ancaman, baik dan sehat
diskriminasi dan kekerasan
24. hak untuk memperoleh layanan kesehatan
25. hak untuk membentuk keluarga
26. hak atas pengakuan jaminan dan
perlindungan dan kepastian hukum yang
adil
27. hak atas kesamaan di muka hukum
28. hak untuk diakui sebaga pribadi di
hadapan hukum
29. hak atas rasa aman dan perlindungan dari
ancaman ketakutan untuk berbat atau
tidak berbuat sesuatu yang merupakan

194
12. Hak atas perlindungan hak asasi
30. hak untuk bebas dari penyiksaan atau
perlakuan yang merendahkan derajat
martabat manusia
31. hak untuk bebas dari perlakuan
diskriminatif
32. hak untuk mendapatkan kemudahan
dan perlakuan yang sama guna
mencapai persamaan dan keadilan

13. Hak memperjuangkan hak 33. hak atas perlindungan diri pribadi,
keluarga, kehormatan, martabat,
dan harta benda yang berada di
bawah kekuasaannya
14. Hak atas pemerintahan
34. hak untuk mendapatkan
perlindungan terhadap pengakuan
yang bersifat diskriminatif

35. hak atas perlindungan identitas


budaya dan hak masyarakat
tradisional yang selaras dengan
perkembangan zaman dan peradaban

36. hak atas perlindungan dari kekerasan


dan diskriminatif
37. hak untuk memperoleh suaka politik dari
Negara lain
38. hak untuk memajukan dirinya dalam
memperjuangkan haknya secara
kolektif

39. hak atas kebebasan berserikat,


berkumpul dan mengeluarkan pendapat.

40. hak untuk memperoleh kesempatan


yang sama dalam pemerintahan
Sumber: UUD 45, data diolah

Keempat puluh hak konstitusional tersebut diupayakan adanya

pengintegrasian kesetaraan dan keadilan gender, baik pada semua tahap

pembentukan undang-undang atau Program legislasi nasional (Prolegnas) dan

tahap pembentukan peraturan d aerah provinsi dan peraturan d aerah kabupaten

195
kota atau Program l egislasi daerah Provinsi (Prolegda Provinsi) serta Program

legislasi daerah kabupaten/kota (Prolegda Kabupaten/Kota).

Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, diatur

mengenai batasan pengertian (definisi) mengenai: “Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan” adalah pembuatan peraturan perundang-undangan yang

mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau

penetapan, dan pengundangan. Sedangkan penggunaan prinsip kesetaraan dan

keadilan gender terhadap hak-hak diatas dilakukan/diintegrasikan dalam peraturan

perundang-undangan yaitu pada saat:

1. Proses merencanakan peraturan perundang-undangan, dapat diawali pada saat

penyusunan Naskah Akademik untuk menyiapkan suatu rancangan perundang-

undangan

2. Penyusunan dan/atau pembahasan rancangan peraturan perundang-undangan

dengan melakukan kajian, klasifikasi dan evaluasi peraturan perundang-undangan,

termasuk kebijakan teknis operasionalnya.

Didalamnya memuat program pembentukan undang-undang dengan

judul rancangan undang-undang, materi yang diatur, dan keterkaitannya dengan

peraturan perundang-undangan lainnya, merupakan keterangan mengenai konsepsi

rancangan undang- undang yang meliputi318:

1. Latar belakang dan tujuan penyusunan

2. Sasaran yang ingin diwujudkan

3. pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur

4. Jangkauan dan arah pengaturan.

Hal ini berarti bahwa setiap materi rancangan baik itu undang-undang,

rancangan Perda Povinsi, dan Rancangan Perda Kabupaten/Kota yang meliputi


318
Ibid, hlm. 47

196
latar belakang dan tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan, pokok

pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur dan jangkauan serta arah

pengaturan telah melalui suatu proses pengkajian dan penyelarasan sebagaimana

yang dituangkan dalam Naskah Akademik. Pasal 1 angka 11 Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2011 menegaskan bahwa Naskah Akademik adalah naskah

hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap

suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah

mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang,

Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah

Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum

masyarakat.

Di akhir batasan pengertian Naskah Akademik, ditutup dengan frasa

“sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat”,

frasa demikian menunjukan bahwa dalam Naskah Akademik sudah terpenuhi

suatu solusi yang akan menjawab permasalahan-permasalahan yang akan diatur

dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi,

atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota bahkan merupakan

pemenuhan terhadap kebutuhan hukum masyarakat. Oleh karena itu, penyusunan

Naskah Akademik menjadi sangat penting sekali dalam menentukan kualitas atau

bobot suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi,

atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, terkait pengintegrasian

indikator Peraturan Kesetaraan dan keadilan Gender sebagai alat atau pisau analisis

dalam setiap pembentukan Peraturan Perundang- undangan terutama Undang-

Undang, Perda Provinsi, dan Perda Kabupaten/ Kota.

Pada tahap kajian teoritis dan praktik empiris hendaknya Prinsip Kesetaraan

197
dan keadilan Gender sudah mulai digunakan untuk mengintegrasikan nilai-nilai

kesetaraan dan keadilan gender dalam narasi atau deskripsi pada bab awal Naskah

Akademik. Bab selanjutnya, yakni evaluasi dan analisis Peraturan Perundang-

undangan terkait, indikator Akses, Partisipasi, Kontrol, dan Manfaat (APKM)

sebagaimana dimaksud dalam indikator kesetaraan dan keadilan Gender tersebut

benar-benar sudah dijadikan alat atau pisau analisisnya terutama untuk mengkaji,

menguji, dan meneliti materi muatan yang akan diatur dalam Rancangan

Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan

Daerah Kabupaten/Kota.

Memasuki bagian konsideran, terkait landasan Filosofis, Sosiologis, dan

Yuridis319 indikator APKM (Akses, Partisipasi, Kontrol, dan Manfaat) semakin

mempertegas sejalannya aspek-aspek tersebut terintegrasi dalam setiap Rancangan

Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan

Daerah Kabupaten/Kota. Pada tahapan Perencanaan (Prolegnas dan Prolegda),

dimana didalamnya terdapat Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang,

Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah

Kabupaten/Kota, sehingga indikator APKM (Akses, Partisipasi, Kontrol, dan

Manfaat) sudah diharapkan terintegrasi sejak awal. Pembahasan Rancangan Undang-

Undang dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau Menteri yang ditugasi. Pembahasan

Rancangan Undang-Undang dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan. Dua

tingkat pembicaraan terdiri atas :

a. Pembicaraan tingkat I dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan

319
Menurut Jimly Asshiddiqie, konsideran yang terdapat dalam setiap undang-undang pada pokoknya
berkaitan dengan lima landasan pokok (filosofis, sosiologis, yuridis, politis, dan administratif) bagi berlakunya
norma-norma yang terkandung di dalam undang-undang tersebut bagi subjek-subjek hukum yang diatur dalam
undang-undang itu. Bandingkan dengan pendapat Purnadi Purbacaraka dan Soejono Soekanto yang
mengemukakan tiga landasan undang-undang yang baik yaitu Landasan filosofis, sosiologis dan yuridis,.
Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Op.Cit, hlm 117

198
Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat Panitia Khusus;

b. Pembicaraan tingkat II dalam rapat paripurna.

Pembicaraan tingkat I dilakukan dengan kegiatan sebagai berikut :

a. Pengantar musyawarah;

b. Pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah;

c. penyampaian pendapat mini.

Pengintegrasian Kesetaraan dan keadilan Gender pada Tahap

Pembahasan Rancangan Undang-Undang dan Tahap Pembahasan Peraturan Daerah

Provinsi serta Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dapat dilakukan ketika Daftar

Inventarisasi Masalah diajukan pada saat pembicaraan tingkat I, baik dalam rapat

komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau

rapat Panitia Khusus, dimana pembahasan secara intens antara DPR dengan

Pemerintah terhadap suatu Rancangan Undang-Undang yang dilakukan untuk

mendapatkan kesepakatan politis. Diharapkan dalam proses pembahasan ini

seyogyanya penggunaan indikator APKM (Akses, Partisipasi, Kontrol, dan Manfaat)

menjadi bagian pokok juga dalam diskusi dua arah di lembaga legislatif tersebut.

Hal ini dimaksudkan agar konsistensi materi dalam pembahasan daftar

inventarisasi masalah baik yang terjadi dalam Rapat Komisi, Rapat Gabungan

Komisi, Rapat Badan Legislasi, Rapat Badan Anggaran, atau Rapat Panitia

Khusus, rambu-rambu indikator APKM (Akses, Partisipasi, Kontrol, dan Manfaat)

yang telah terintegrasi tetap terakomodir hingga selesai pembicaraan tingkat I

final. Dengan demikian rambu-rambu indikator APKM (Akses, Partisipasi, Kontrol,

dan Manfaat) dapat mewarnai Rancangan Undang-Undang hingga

mendapatkan persetujuan bersama dalam Rapat Paripurna pada sesi

pembicaraan tingkat II antara DPR dengan Pemerintah.

199
Tahap Pembahasan Rancangan Perda Provinsi, Pembahasan Rancangan

Peraturan Daerah Provinsi dilakukan oleh DPRD Provinsi bersama Gubernur.

Pembahasan bersama dilakukan melalui tingkat-tingkat pembicaraan. Tingkat-

tingkat pembicaraan dilakukan dalam rapat komisi/ panitia/badan/alat

kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi dan rapat

paripurna. Saat pembicaraan tingkat I, baik dalam rapat komisi, rapat

gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat

Panitia Khusus, dimana pembahasan secara intens antara DPRD dengan

Pemerintah Daerah terhadap suatu Rancangan Perda Provinsi yang dilakukan

untuk mendapatkan kesepakatan politis; seyogyanya pun penggunaan indikator

APKM (Akses, Partisipasi, Kontrol, dan Manfaat) menjadi bagian pokok dalam

diskusi dua arah di lembaga legislatif tersebut, sehingga konsistensi materi

dalam pembahasan daftar inventarisasi masalah baik yang terjadi dalam rapat

komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran,

atau rapat Panitia Khusus, rambu-rambu indikator APKM (Akses, Partisipasi,

Kontrol, dan Manfaat) juga terintegrasi dan tetap terakomodir hingga selesai

pembicaraan tingkat I final. Dengan demikian rambu-rambu indikator APKM

(Akses, Partisipasi, Kontrol, dan Manfaat) dapat mewarnai Rancangan Perda

Provinsi hingga mendapatkan persetujuan bersama dalam Rapat Paripurna pada

sesi pembicaraan tingkat II antara DPR dengan Pemerintah. Sedangkan Tahap

Pembahasan untuk Rancangan Perda Kabupaten/ Kota, mekanisme penggunaan

indikator APKM (Akses, Partisipasi, Kontrol, dan Manfaat) sesuai dengan

Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang dilakukan oleh DPRD

Provinsi agar tidak bias gender.

Kesepakatan CEDAW berkaitan dengan perundang-undangan yang

200
bias gender secara tegas dinyatakan dalam Pasal 2 butir f dan g: “Negara-

negara pihak mengutuk diskriminasi terhadap perempuan dalam segala

bentuknya dan bersepakat untuk menjalankan dengan segala cara yang tepat

dan tanpa ditunda-tunda, kebijakan menghapus diskriminasi terhadap

perempuan, dan untuk tujuan itu berusaha melakukan langkah-tindak yang

tepat, termasuk pembuatan undang-undang untuk mengubah dan

menghapuskan undang- undang, peraturan-peraturan, kebiasaan-kebiasaan dan

praktek-praktek yang diskriminatif terhadap perempuan dan mencabut semua

ketentuan pidana nasional yang diskriminatif terhadap perempuan”.

Munculnya kesepakatan ini tentu disebabkan bahwa diberbagai negara

di dunia termasuk Indonesia mempunyai peraturan perundang-undangan

yang bias gender atau bersifat diskriminatif. Di Indonesia sendiri masih banyak

ditemukan undang-undang (UU) dan peraturan daerah (Perda) yang bersifat

diskriminatif. Ini berarti bahwa kesepakatan CEDAW menjadi kewajiban

negara yang harus segera dilaksanakan dalam upaya mempercepat tercapainya

kesetaraan dan keadilan substantif sebagaimana yang diamanatkan oleh CEDAW.

Dengan demikian, peran lembaga yang berwenang melakukan uji materiil

terhadap perundang-undangan menjadi salah satu komponen penting bentuk

pengawasan dalam upaya menghapus perlakuan diskriminatif kepada setiap

warga negara.

Adanya kekuasaan yang besar kepada lembaga eksekutif menurut Mahfud

MD, memberikan peluang timbulnya undang-undang atau peraturan lebih lanjut

atas sebuah undang-undang yang secara hierarki bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi. Ada kemungkinan bahwa sebuah undang-

undang tidak sesuai dengan jiwa peraturan lain yang mendasarinya (UUD atau

201
TAP MPR). Begitu juga ada kemungkinan bahwa sebuah peraturan pemerintah

(atau peraturan perundang-undangan lain yang lebih rendah) memuat materi

yang tidak sejalan dengan kehendak peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi. Oleh karena itu harus diadakan lembaga pengawasan yang efektif atas

materi peraturan perundang-undangan. Lembaga pengawasan yang dimaksud

adalah yudicial review atau hak menguji secara materil, yaitu hak bagi suatu

lembaga negara untuk menyatakan bahwa suatu peraturan perundang-undangan

tidak sah karena materinya bertentangan dengan peraturan yang secara hierarkis

lebih tinggi.320 Judicial review ini merupakan intrumen hukum yang dapat

mengawal isi peraturan perundang- undangan baik pada peraturan perundang-

undangan tingkat nasional maupun pada peraturan perundang-undangan tingkat

daerah.

Pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan/keputusan kepala daerah

pada prinsipnya dapat dibagi dua macam yaitu: pengawasan preventif dan pengawasan

represif. Dalam pengawasan preventif setiap rancangan peraturan daerah yang akan

ditetapkan menjadi peraturan daerah, harus terlebih dahulu memperoleh persetujuan

dari pemerintah pusat. Sedangkan berkaitan dengan pengawasan represif pemerintah

daerah dapat menetapkan peraturan daerah tanpa terlebih dahulu harus memperoleh

persetujuan dari pemerintah pusat, hanya saja peraturan daerah tersebut harus

disampaikan kepada pemerintah pusat untuk mendapatkan uji materi (yudicial review).

Apabila dalam pandangan pemerintah pusat tidak terjadi pelanggaran terhadap

ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka pemerintah daerah

dapat terus melaksanakan peraturan daerah tersebut. Tetapi apabila peraturan daerah

tersebut dinyatakan bertentangan dan melanggar ketentuan peraturan perundang-

320
Moh. Mahfud MD, 2009, Politik Hukum di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm.
369.

202
undangan yang lebih tinggi, maka pemerintah pusat meminta kepada daerah untuk

melakukan revisi atau membatalkan peraturan daerah tersebut. Hak untuk membatalkan

peraturan daerah, yang juga dapat dikatakan sebagai bagian dari mekanisme pengujian

selain dilakukan oleh lembaga kehakiman (judiciary) ataupun oleh legislator, dapat

juga dilakukan oleh lembaga pemerintahan eksekutif tingkat atas (pusat).321 Dalam

uji ini ukuran yang digunakan oleh pemerintah pusat adalah undang-undang, bukan

undang-undang dasar. Disini Alasan yang digunakan untuk membatalkan peraturan

perundang-undangan yang berada di bawah undang-undang adalah karena peraturan

daerah itu dinilai melanggar ketentuan peraturan perundang- undangan yang lebih

tinggi derajatnya dalam hirarki peraturan perundang- undangan nasional.322

Menurut Hans Kelsen, pengujian peraturan perundang-undangan merupakan

salah satu jaminan yang diberikan konstitusi “ that a lower norm shal conform with the

higher norm which determines its creation or contents”. Pengujian suatu peraturan

perundang-undangan adalah for securing corcodance between the lower and the

higher norm. The legal older may provide for a procedure by which the lower norm

can ber tested as to its conformity with the higher noorm and abolished if it found to

be lacking in such conformity.323

Landasan pemikiran tentang adanya hak uji materi ini pada pokoknya

didasarkan pada:324

1. Hak uji materi diletakkan di atas landasan toexercise control the goverment
321
Ni’matul Huda, 2009, Hukum Pemerintahan Daerah, Nusa Media, Bandung, hlm. 134
322
Rudy Hendra Pakpahan, Analisis Prosedur Pengujian Peraturan Daerah, Jurnal Legislasi
Indonesia Vol. 10 No. 1 Maret 2013, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, hlm. 74.
323
M.M. Laica Marzuki, Membangun Undang-Undang Yang Ideal, Jurnal Legislasi Indonesia
vol. 4 No. 2 Juni 2007, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum Dan Hak
Asasi Manusia RI, hlm. 6.
324
Tim Direktorat Fasilitasi Perancangan Peraturan Daerah Direktorat Jenderal Peraturan
Perundang-Undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI dan United Nations Development
Programme (UNDP), 2009, Panduan Praktis Memahami Perancangan Peraturan Daerah, Direktorat
Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia RI, hlm. 170-171.

203
act yakni secara konstitusional diberikan kewenangan kepada
kekuasaan kehakiman untuk melakukan pengawasan atas kegiatan peraturan
perundang-undangan yang dikeluarkan penguasa agar masyarakat terhindar
dari peraturan perundang-undangan yang inkonstitusional;
2. Pemberian kewenangan untuk menguji peraturan perundang-undangan masih
dalam kerangka konstitusi, tidak dianggap sebagai intervensi terhadap
kedaulatan legislatif (legislative soveraignity) maupun terhadap
kekuasaan eksekutif dalam kewenangan melaksanakan fungsi delegated
legislation oleh kekuasaan yudikatif (Judicial power);
3. Mekanisme penerapan hak uji materi terhadap peraturan perundang-
undangan yang bercorak inkonstitusioanal didasarkan pada asas lex
superriori derogat lex inferior;
4. Makna inkonstitusional dalam proses hak uji materiil, tidak boleh diartikan
dalam arti sempit, tetapi harus diproyeksikan dalam arti luas yang
diformulasikan dalam terminus foundamental law atau natural justice;
5. Pemberian hak uji materiil harus diterapkan berdasarkan asas reasonableess,
tidak boleh dipergunakan untuk menghambat kebijakan kepentingan umum
demi mencapai suatu harapan kepada negara untuk mengatur urusan
kesejahteraan masyarakat.

Hak menguji (toetsingsrecht) sering juga disebut sebagai yudicial review,325

tetapi istilah judicial review lebih luas cakupan maknanya daripada hak menguji

(toetsingsrecht). Tetapi menurut Fatmawati, dikaitkan dengan judicial review pada

cammon law system dan hak menguji (toetsingsrecht) pada civil law system, maka

terdapat beberapa perbedaan, yaitu antara lain:

1. Hak menguji (toetsringsrecht) merupakan kewenangan untuk menilai

peraturan perundang-undangan terhadap Undang-Undang Dasar, sedangkan

Judicial Review tidak hanya menilai peraturan perundag-undangan tetapi

juga administrative action terhadap Undang-Undang Dasar.

2. Hak menguji (toetsringsrecht) terhadap peraturan perundang-undangan tidak

hanya dimilki oleh hakim, tapi juga oleh lembaga negara lain yang diberi

kewenangan tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan. Sedangkan

judicial review hanya merupakan kewenangan dari hakim pengadilan dalam

325
Jimly Asshiddiqie menyebut judicial review sebagai constitutional review. Dalam Moh.
Mahfud MD, 2010, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, RajaGrafindo Persada, Jakarta,
hlm. 125.

204
kasus konkret di pengadilan.

Dalam kepustakaan hukum dan praktek dikenal ada dua macam hak menguji

(toetsringsrecht) yaitu hak menguji formal (formele toetsringsrecht), dan hak

menguji material (materiele toetsringsrecht). Hak menguji formal adalah wewenang

untuk menilai apakah suatu produk peraturan perundang- undangan terjelma melalui

cara-cara (procedure) sebagaimana telah ditentukan atau diatur dalam peraturan

perundang-undangan yang berlaku atau tidak. Sedangkan hak menguji materil yaitu

wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan

perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi

derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak

mengeluarkan suatu peraturan tertentu326.

Sri Soemantri, membedakan hak uji materil dan hak uji formal ini dilihat

dari sisi objeknya. Jika pengujian itu dilakukan terhadap isi undang-undang atau

peraturan perundang-undangan lainya dinamakan sebagai hak menguji materil

(materiele toetsingrecht), dan jika pengujian itu dilakukan terhadap prosedur

pembentukannya disebut hak menguji formal (formele toetsingrecht)327, lebih

lanjut Sri Soemantri mengatakan, hak menguji formal adalah wewenang untuk

menilai suatu produk legislatif seperti undang- undang, misalnya terjelma melalui

cara-cara (procedure) sebagaimana telah ditentukan/diatur dalam peraturan

perundang-undangan yang berlaku atau tidak. Sedangkan hak menguji material adalah

suatu wewenang untuk menyelidiki dan menilai isi apakah suatu peraturan perundang-

undangan sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta

apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan

326
Ph.Kleintjes, dalam Fatmawati, 2005, Hak Menguji (Toetsringsrecht) Yang Dimiliki Hakim
Dalam Sistem Hukum Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 5.
327
Sri Soemantri, 1997, Hak Uji Material di Indonesia, Alumni, Bandung, hlm. 6 dan 11

205
suatuperaturan tertentu328.

Lebih lanjut menurut H.M. Laica Marzuki329 hak menguji formal (formele

toetsringsrecht) berpaut dengan pengujian terhadap cara pembentukan (pembuatan)

serta prosedural peraturan perundang-undangan, sedangkan hak menguji materil

(materiele toetsringsrecht) berpaut dengan pengujian terhadap substansi (materi) dari

peraturan perundang-undangan. Berkaitan dengan konteks uji materil, selain istilah

yang sudah akrab digunakan, terdapat juga istilah constitutional review, disisi lain
330
Jimly Asshiddiqie membedakan istilah judicial review dan constitutional

review berdasarkan subjek yang melakukan dan objek yang diuji.

1. Berdasarkan segi subjek yang melakukan, constitutional review tidak saja dapat

dilakukan oleh hakim, melainkan juga dapat dilakukan oleh lembaga lain sesuai

dengan wewenang yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia. Sementara dalam judicial review, subjek yang dapat

melakukan adalah pengadilan.

2. Perbedaan dari segi objek yang diuji, constitutional review hanya

menyangkut pengujian konstitusionalitas undang-undang terhadap Undang-

Undang Dasar. Sedangkan judicial review memiliki objek yang lebih luas, yaitu

mencakup pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang- undang.

Sekalipun ada perbedaan antara constitutional review dengan judicial

review, secara prinsipil keduanya tetap dapat digolongkan sama, yaitu sama-sama

sebagai mekanisme untuk melakukan peninjauan terhadap sebuah produk legislasi.

Bentuk dan isi dari judicial review ada yang bersifat konstitutif dan ada yang

328
Ibid.
329
Laica Marzuki, Judicial Review di Mahkamah Agung, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 2. No.1
Maret 2005, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum dan HAM RI, hlm. 93
330
Jimly Asshiddiqie dalam Yuliandri, Tantangan Pelemahan Judicial Review Sebagai Mekanisme
Pengawasan Terhadap Pembentukan Undang-Undang, Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 8 No. 4 Desember
Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, 2011,
hlm. 636.

206
bersifat deklaratur. Bagi negara-negara yang mewajibkan prosedur judicial review

dalam suatu kasus konkret (case and controversy), putusan judicial review

bersifat konstitutif. Sedangkan bagi negara-negara yang memungkinkan judicial review

sebagai perkara permohonan (non partai/non pihak), putusannya bersifat deklaratur.

Putusan judicial review oleh Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah agung bersifat

deklaratur karena non partai atau lazim disebut abstract case, yang digugat di

Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung adalah peraturannya, bukan pejabat


331
atau ingkungan jabatan pembuatnya. Selain itu berkaitan dengan pengujian oleh

Kekuasaan kehakiman dibedakan pula istilah judicial review dengan Judicial

preview. Review diartikan sebagai memandang, menilai, atau menguji kembali,

sedangkan preview adalah kegiatan memandangi sesuatu lebih dulu dari sempurnanya

keadaan objek yang dipandang itu332.

Menurut Yuliandri333, kehadiran mekanisme judicial review merupakan cara

bagi negara hukum modern untuk melakukan proses pengawasan dan perimbangan

(check and balances) terhadap kekuasaan pembentuk undang- undang. Kecendrungan

penyalahgunaan kekuasan dan tindakan sewenang-wenang dalam pembentukan

peraturan perundang-undangan harus diawasi oleh kekuasaan lainnya, yaitu kekuasaan

yudikatif. Perlunya pengawasan terhadap kekuasaan pembentuk undang-undang

dikarenakan peraturan perundang-undangan yang dibuat sangat mungkin memuat

kepentingan politik mereka sendiri atau kelompok yang dominan di dalamnya. Selain

itu, pembuat undang-undang- pemerintah dan DPR, lebih banyak diisi oleh orang-orang

yang bukan ahli hukum atau kurang biasa berfikir menurut logika hukum, sehingga isi

331
Bagir Manan, Politik Pembangunan Hukum Nasional, Kuliah Umum tanggal 24 April 2013,
Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, hlm.5
332
Jimly Asshidiqie, 2005, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara,
Konstitusi Press, Jakarta, hlm. 4.
333
Yuliandri, Tantangan Pelemahan..., Op.Cit, hlm. 638.

207
undang-undang yang dibuat terkadang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. 334

Sebagai alat kontrol, pentingnya keberadaan judicial review dapat dilihat dari

pengalaman Mahkamah Konstitusi. Melalui mekanisme judicial review, berbagai

produk legislasi yang dinilai melanggar konstitusi dinyatakan tidak mempunyai

kekuatan hukum mengikat. Disamping itu Mahkamah Konstitusi juga dapat

memberikan tafsir terhadap konstitusionalitas sebuah undang-undang melalui putusan

konstitusional bersyarat (conditionality constitutional).335 Hak menguji terhadap produk

legislasi ini tidak hanya dimilki oleh hakim, tetapi juga oleh lembaga negarta lain (badan

legislatif dan badan eksekutif) yang diberikan kewenangan tersebut berdasarkan peraturan

perundang-undangan. Oleh karena itu, hak menguji terhadap produk peraturan perundang di

Indonesia berada pada 3 (tiga) lembaga yaitu lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Menurut Mahfud MD, perlunya uji materi juga dikarenakan hukum itu adalah

produk politik yang pasti tidak steril dari kepentingan-kepentingan politik anggota-

anggota dari lembaga yang membuatnya. Sebagai produk politik bisa saja hukum itu

memuat isi yang lebih sarat dengan kepentingan politik kelompok dan jangka pendek

yang secara substansial bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi hirarkinya.

Selain itu, sebagai produk politik, hukum bisa berisi hal-hal yang tidak sesuai dengan

peraturan yang lebih tinggi, oleh karena Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga

politik banyak beranggotakan orang-orang yang tidak biasa berpikir menurut disiplin

ilmu hukum336.

Secara substantif menurut Bagir Manan337, hukum-hukum yang dibentuk

melalui fungsi legislatif ini memiliki berbagai masalah:


334
Moh. Mahfud MD, 2010, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Rajawali Pers,
Jakarta, hlm. 127-128.
335
Yuliandri, Tantangan Pelemahan...., Op.Cit, hlm. 641
336
Ibid, hlm.23-24.
337
Elly Erawati, Bayu Seto Hardjowahono dan Ida Susanti, 2011, Beberapa Pemikiran Tentang
Pembangunan Sistem Hukum Nasional Indonesia, Liber Amicorum Untuk Prof. Dr. CFG. Sunaryati hartono,
SH, Citra Aditya Bakti, bandung, hlm. 120-121

208
1. Kurang mencerminkan substansi pendewasaan demokrasi, perwujudan

negara hukum yang sehat, dan menuju perwujudan keadilan sosial. Dari aspek

demokrasi dan negara hukum, produk hukum lebih mencerminkan suatu

rekayasa memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Dari segi keadilan,

hukum di bidang ekonomi tidak berpihak pada paham demokrasi ekonomi

untuk mewujudkan keadilan sosial. Hukum-hukum di bidang sosial

(pendidikan, kesehatan dan kesehjahteraan umum) lebih bersifat

“lipservice” daripada substantif;

2. Disharmoni, baik vertikal maupun horizontal. Disharmoni vertikal tidak hanya

arti normatif, tetapi juga idiologis yang menyangkut tuntutan ideal sumber yang

lebih tinggi (Pancasila dan UUD 1945);

3. Kualitas, baik kualitas formal maupun substantif. Kualitas formal meliputi

prosedur dan teknik penyusunan (pembentukan) dan perumusan, antara lain

tidak mencerminkan bahasa hukum yang baku. Kekurangan substantif meliputi

kelemahan orientasi dan kurangnya prediktif.

Atas dasar adanya berbagai kelemahan sebagaimana disebutkan di atas, maka

judicial review merupakan jalan untuk mengawasi produk-produk hukum yang

dihasilkan oleh lembaga legislatif dimaksud. Selain itu Judicial review juga

dimaksudkan untuk menjamin konsistensi peraturan perundang-undangan terhadap

peraturan yang di atasnya di dalam dokumen-dokumen tertulis yang disebut hukum

atau peraturan perudang-undangan tersebut338.

Pengawasan melalui Judicial review ini, di Indonesia dilakukan melalui dua

pintu, yaitu, pintu Mahkamah Konsitusi dan pintu Mahkamah Agung. Kewenangan

338
Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi...Op.Cit, hlm.124-125.

209
yang diberikan kepada kedua lembaga ini diatur dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-

Undang Dasar 1945 yang mengatakan, bahwa Mahkamah Konstitusi melakukan

pengujian konsistensi undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, sedangkan

Mahkamah Agung melakukan pengujian konsistensi peraturan perundang-undangan

yang derajatnya di bawah undang- undang yakni peraturan pemerintah ke bawah

terhadap peraturan perundang- undangan yang hirarkis. Mahkamah Agung hanya boleh

menguji formal (formele toetsing) terhadap undang-undang, namun tidak boleh

menguji substansi (materi) undang-undang. Sehingga Mahkamah Agung tidak memiliki

kewenangan hak menguji materi (materieele toetsingrecht) terhadap undang- undang.

Pengujian materi oleh Mahkamah Agung hanya boleh dilakukan terhadap peraturan

perundang-undangan di bawah undang-undang, yaitu terhadap peraturan pemerintah,

peraturan presiden, dan peraturan daerah339

Dalam banyak kasus, peraturan daerah yang dikeluarkan banyak yang

bermasalah, untuk menangkal atau untuk menertibkannya diperlukan adanya suatu

starategi. Adapun strategi dimaksud meliputi: 340

1. Setiap daerah segera membuat program Legislasi Daerah (Prolegda) sesuai

dengan ketentuan Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.

Dari prolegda ini dapat diteliti dan diseleksi agar perda-perda yang akan dibuat

dapat diselaraskan lebih dulu dengan kerangka politik hukum nasional dan

sesuai pula dengan tujuan dan cita hukum negara.

2. Departemen Dalam Negeri sesuai dengan kewenangannya untuk melakukan

pengawasan represif atas perda-perda, dapat bersikap lebih aktif, meskipun

menurut UU Nomor 23 Tahun 2014 yang sudah di ubah dengan UU Nomor 9

Tahun 2015 tentang Pemerintahan daerah, bahwa setiap perda dapat langsung

339
Laica Marzuki, Op.Cit, hlm. 94 dan 98
340
Ibid, hlm. 31-32.

210
diundangkan tanpa harus meminta persetujuan terlebih dahulu ke pusat. Namun

setiap perda harus disampaikan ke pusat paling lama tujuh hari sejak

diundangkan dan pusat dapat membatalkan perda tersebut dalam waktu 60

hari sejak disampaikan kepada pusat, jika isinya dinilai bertentangan atau keluar

dari proporsional yang dibenarkan. Disinilah pusat (cq Depdagri) mempunyai

kedudukan sangat penting untuk menjaga agar tidak ada perda-perda yang

bertentangan dengan sistem dan politik hukum nasional. Dan karena

kedudukannya yang penting ini diharapkan agar Departemen Dalam Negeri

membuat satu desk khusus (mungkin berbentuk sub unit kecil saja) yang

ditugasi untuk meneliti semua perda agar sebelum lewat waktu 60 hari sejak

disampaikan sudah bisa ditentukan kelayakannya untuk bisa terus berlaku atau

tidak.

3. Kelompok-kelompok masyarakat atau perseorangan yang merasa dirugikan hak

konstitusionalnya oleh perda atau menilai bahwa ada perda yang bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi bahkan

bertentangan dengan tujuan, cita hukum dan konstitusi dapat segera mengajukan

permintaan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Agung. Mahkamah

Agung berdasarkan kewenanngan konstitusional yang tercantum dalam Pasal

24A ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dapat membatalkan peraturan daerah

yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi

atau bertentangan dengan tujuan, cita hukum, dan konstitusi yang mendasari

sistem hukum nasional.

Kedudukan peraturan daerah dalam sistem hukum nasional sangat strategis, baik

dalam menjalankan pemerintahan maupun kehidupan masyarakat di daerah. Oleh

karena itu peraturan daerah dalam pembentukan haruslah baik dan tidak boleh

211
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi darinya., maka digunakanlah asas lex

superior derogat legis inferiori (peraturan yang lebih tinggi mengenyampingkan

peraturan yang lebih rendah). Tujuannya adalah agar tercipta tertib dan kepastian

hukum serta sinkronisasi dan harmonisasi norma hukum. Mekanisme yang dilakukan

untuk menjaga tertib hierarki dan harmonisasi norma hukum adalah pengujian atau

review atas satu peraturan terhadap peraturan yang lebih tinggi darinya341

Indonesia sebagai Negara pihak atas Konvensi CEDAW mempunyai

kewajiban untuk melakukan dan mengawasi seluruh ketentuan-ketentuan, prinsip-

prinsip dan konsep Konvensi CEDAW secara sistematis dan berkelanjutan guna

menjamin agar Konvensi dan Peraturan Perundang-undangan lainnya dibuat

sebagai bagian integral dari pendidikan dan pelatihan para penegak hukum dan para

penyusun/pembentuk peraturan perundang-undangan agar dapat membangun hukum

yang mendukung terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender dan penghapusan

diskriminasi terhadap perempuan di Indonesia. Penyusunan Prinsip Kesetaraan dan

keadilan Gender dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan merupakan

langkah untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender melalui pengintegrasian

prinsip-prinsip kesetaraan dan keadilan gender ke dalam proses perencanaan

penyusunan dan pembahasan Peraturan Perundang-undangan yang responsif gender.

341
Yance Arizona, 2008, Karakter Peraturan Daerah Sumberdaya Alam, Kajian Kritis
Terhadap Struktur Formal Peraturan Daerah dan Konstruksi Hak Masyarakat Terkait
Pengelolaan Hutan, Huma, Jakarta, hlm. 41-42.

212
BAB IV

PERSPEKTIF KEADILAN GENDER DAN KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM

ISLAM

H. Perempuan dan Hukum

Kesenjangan gender merupakan kenyataan yang harus dihadapi perempuan di

hampir semua belahan dunia dan dapat ditemukan di semua ranah publik maupun

privat, domestik-reproduktif maupun produktif, termasuk di bidang hukum. Menurut

Feminist legal theory tata hukum cenderung tidak memihak pada perempuan342 .

Dalam organisasi publik misalnya, dapat dikatakan perempuan berada pada posisi

termarjinalkan. Sistem budaya patriarkal yang menanamkan pemahaman bahwa

342
Bernard, L Tanya, dkk, 2010, Teori Hukum Dari berbagai Ruang dan Generasi, Genta
Publishing, Yogyakarta, hlm. 179. Bagi pendukung feminist Legal Theory, hukum merupakan tatanan yang
dibuat oleh kaum Adam yang meminggirkan kaum Hawa, karena hukum dibangun dan dikontruksikan
dalam logika laki-laki, sehingga ia memperkokoh hubungan sosio yuridis yang patriarkis,

213
wilayah publik (politik dan dunia kerja) sebagai wilayah laki-laki, biasa dituding

sebagai faktor penyebab utama mengapa kiprah perempuan di ranah publik secara

umum berada pada posisi subordinat laki-laki343.

Hubungan yang didasarkan pada norma, pengalaman serta kekuasaan laki-laki

dan mengabaikan pengalaman perempuan, hingga sampai derajat tertentu hukum

juga telah menyumbang kepada penindasan terhadap perempuan344, sikap hukum

yang bias itu berdimensi struktural. Ia bukan unit yang berdiri sendiri juga tidak

muncul dalam ruang kosong. Ia lahir dan berkembang dalam konteks kultural,

ideologi, sosial, politik serta ekonomi yang juga bias gender, dalam kosmologi

tersebut laki-laki dan perempuan tidak dilihat sekedar perbedaan atribut biologis,

tetapi didiskwalifikasi secara simbolik sebagai oknum yang berlawanan dalam esensi

(nature), eksistensi psikis, peran dan kemampuan, tentu saja menurut ukuran kaum

lelaki. Lelaki berposisi superior berlawanan dengan perempuan yang inferior.

Teori nature merupakan versi lain lagi yang terkait dengan mitos sub ordinasi

perempuan, teori ini beranggapan sudah menjadi kodrat perempuan untuk menjadi

lebih lemah dan karena itu tergantung pada laki-laki dalam banyak hal untuk

hidupnya345. Teori ini sudah muncul sejak permulaan lahirnya filsafat di Yunani,

maka tidak heran jika Aristoteles mendalilkan bahwa perempuan adalah laki-laki

yang tidak lengkap, karena itu menurutnya adalah wajar jika laki-laki dewasa

menguasai budak-budak, anak-anak dan perempuan. Laki-laki menguasai perempuan

karena jiwa perempuan memang tidak sempurna. Istilah family dalam bahasa Inggris

kenyataannya berasal dari kata famulus, yang berarti budak domestik, dan familia

343
Sri Yuliani, Pengembangan Karier Perempuan di Birokrasi Publik: Tinjauan Dari Perspektif
Gender, Jurnal Pusat Studi Pengembangan Gender UNS Wanodya No.16 Tahun XIV Tahun 2004,hlm. 24
344
Sulistyowati Irianto, dalam Bernard, L Tanya, dkk, 2010, Teori Hukum Dari berbagai Ruang
dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, hlm.180
345
Arief Budiman, 1985, Pembagian Kerja Secara Seksual, Sebuah Pembahasan Sosiologi tentang
Peran Wanita dalam Masyarakat, Gramedia, Jakarta, hlm. 48

214
berarti sejumlah budak yang dimiliki seorang laki-laki dewasa, termasuk didalamnya

istri dan anak-anaknya. Gagasan tentang perempuan yang lemah terus dipertahankan

dan disebarkan oleh hampir semua ahli filsafat, termasuk para tokoh agama

terkemuka346.

Feminist legal theory, berupaya melawan realitas yang tidak adil ini,

perlawanan kaum feminis ini menempuh jalur yang di tunjuk Gramsci 347 yakni

melalui peningkatan kesadaran ideologis. Penggunaan jalur ini penting oleh karena

perempuan sudah terpenjara dalam ideologi keutamaan laki-laki, dan menganggap

mereka berada dalam kesadaran palsu (false consciousness), tentang realitas dunia

yang mengunggulkan laki-laki, seolah-olah realitas itu memang normal adanya

alamiah dan tidak dapat dirubah, selama ini kaum hawa masih terkurung dalam

kesadaran palsu dan belum memiliki kesadaran kritis terhadap dunia tempat mereka

berada, maka peminggiran, diskriminasi dan sub ordinasi gender akan terus

terpelihara348.

Karena itulah dalam proses peningkatan kesadaran ideologis kaum perempuan

pendukung feminist legal theory, melakukan gerakan pada tiga area sekaligus yakni

bidang teori, pengajaran dan praktek349. Di area teori mereka melakukan eksplorasi

dan kritik teoritik terhadap doktrin, asas, konsep dan aturan hukum yang merugikan

perempuan, eksplorasi ini berupaya untuk menunjukkan kepada perempuan bahwa

mayoritas teorisasi hukum bukan hanya tidak netral dalam arti yang umum tetapi

juga bersifat kelaki-lakian dalam arti khusus.


346
Bernard L Tanya dkk, Op.Cit, hlm. 181
347
Antonio Gramsci adalah tokoh penting dalam sejarah teori Marxis. Ia memberikan teori tentang
bagaimana proletariat harus mengorganisir secara politik bila hendak secara efektif merespon krisis dan
kegagalan kapital, dan menghadirkan perubahan revolusioner melalui suatu ideologi. satu ideologi, atau
kombinasi penyatuan darinya, akan muncul mewakili kelas-kelas yang beraliansi. Ideologi ini dapat dibilang
hegemonik, kelompok yang mewakilinya telah meraih posisi hegemonik atas kelompok-kelompok yang
tersubordinasi, http://links.org.au/node/1351, (terakhir kali di kunjungi pada 24 September 2016, pukul 07.46
wib)
348
Bernard L Tanya dkk, op.cit, hlm. 183
349
Ibid.

215
Pada area pengajaran feminist legal theory, memperkenalkan pendekatan

hukum berperspektif perempuan, melalui pendekatan ini dapat di deteksi apakah

keberadaan perempuan sebgai perempuan dengan pengalamannya dan nilai-nilai

tipikal perempuan dengan pengalamannya telah diperhitunkan dalam hukum. Secara

metodologis, digunakan kasus-kasus pengalaman perempuan sebagai unit analisis

untuk melihat hubungan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki dan untuk

merekam bukti-bukti riil mengenai hal itu maka diperlukan penerapan analisis dan

perspektif feminis (perempuan) terhadap lapangan hukum yang konkret seperti

keluarga, tempat kerja, hal-hal yang berkaitan dengan pidana, pornografi, kesehatan

reproduksi dan pelecehan seksual. Pada area praktek, feminist legal theory,

mengkomunikasikan hasil telaahnya dalam upaya mengoreksi keadaan dan

menemukan cara terbaik untuk melakukan reformasi bangunan hukum secara

keseluruhan350.

Bila ditelusuri kebelakang terdapat sejumlah kondisi yang memberi

sumbangan kepada lahirnya kelompok feminist legal theory ini, beberapa diantaranya

adalah 351:

c. Akibat munculnya gerakan perempuan yang lalu menghasilkan tulisan-

tulisan di berbagai lapangan studi yang kemudian mempengaruhi para

sarjana hukum

d. Banyaknya perempuan yang memasuki sekolah-sekolah hukum

e. Akibat dari reaksi para feminis yang berperkara di pengadilan dan

mengadakan tuntutan terhadap masalah-masalah hukum yang khas, sebagai

akibat dari pengaruh pemikiran critical legal studies.

Sifat penolakan dari feminist legal theory persis mencerminkan wataknya

350
Ibid.
351
Ibid.

216
sebagi bagian dari Critical legal theory352. Karena apa yang disebut realitas sosial

maupun tertib sosial yang diamankan dalam hukum sebenarnya barang buatan

pemilik kepentingan dominan untuk mengendalikan dan menguasai mereka yang

tersubordinasi. Realitas dan tertib palsu itu dikemas sedemikian rupa dengan suatu

sistem keyakinan yang mengesankan seolah-olah merupakn suatu sistem yang wajar

dan patut diterima tanpa reserve, meskipun penuh tipu daya sistem palsu ini

dikembagkan seolah-olah menjadi kebutuhan yang esensial sangat diperlukan, dan

riil serta obyektif sifatnya, dimata Critical legal theory, apa yang dikatakan riil,

alamiah dan wajar itu hanyalah bersifat historis, virtual dan oleh karena itu mestinya

dapat dirubah.

Secara lebih spesifik penolakan Critical legal theory terhadap realitas yang

dianggap palsu tersebut tampak dalam empat cabang teori yang dipayunginya

yaitu353:

a. Feminist legal theory

b. Critical race theory

c. Postmodern jurisprudence

d. Critical legal studies.

Melalui Feminist legal theory dilancarkan kritik terhadap dominasi dan

hegomoni pandangan dunia patriarki dalam hukum yang berakibat pada peminggiran

dan penindasan terhadap perempuan. Lewat Critical race theory dilakukan penolakan

terhadap realitas, struktur atau tertib sosial yang membungkus rasisme, teori ini

melakukan perlawanan terhadap semua perlakuan diskriminatif yang rasistis. Lewat

352
Ciri utama Critical legal theory adalah rejection (penolakan) terhadap realitas, struktur, ataupun
tertib penguasaan yang selama ini secara tidak benar di yakini sebagai kebenaran dan keawjaran menurut
Critical legal theory terbentuknya keyakinan palsu itu karena adanya hegomoni dan proses reifikasi dalam
kehidupan sosial, sehingga realitas, struktur, dan tertib sosial (yang melayani kepentingan elite), diterima
sebagai suatu yang wajar, harus dan patut, padahal sejatinya sistem tersebut hanyalah bangunan kepentingan
dari para elite yang menduduki strata atas
353
Bernard L Tanya dkk, op.cit, hlm. 185

217
Postmodern jurisprudence terjadi perlawanan terhadap dominasi teori modern atau

metanaratif yang cenderung memaksakan satu kebenaran tunggal dan menafikan

kebenaran-kebenaran lain diluarnya. Sementara itu dengan Critical legal studies

dibangun kritik terhadap ideologi hukum liberal yang mengandaikan adanya

netralitas dan obyektivitas dalam hukum354.

Teori-teori di atas sudah barang tentu mempunyai unsur-unsur kebenaran,

namun diantara teori-teori tersebut diatas belum disepakati oleh semua pihak sebagai

sutu kebenaran mutlak. Apalagi jika diperhatikan teori-teori tersebut tidak satupun

diantaranya melibatkan nilai-nilai agama sebagai salah satu unsur pertimbangan,

padahal nilai-nilai agama merupakan salah satu unsur penting dalam kehidupan

masyarakat.

Pandangan mengenai perspektif gender ini terus mengalami perdebatan

teoritis, dimana apabila ditilik dari perspektif ekonomi, ketergantungan

perempuan terhadap nafkah menyebabkan perempuan menjadi kelompok yang

tersubordinasi, dari perspektif politis, karena perempuan tidak memiliki kendali

atas properti dan alat produksi, maka perempuan tidak memiliki akses untuk

berpartisipasi dalam ranah politik, dan dari perspektif hukum, kurangnya

keterwakilan perempuan dalam penentuan kebijakan menyebabkan lahirnya produk-

produk hukum yang bias gender, berbeda pula menurut perspektif budaya bahwa

budaya secara kental dipengaruhi oleh etika agama, yang mengakibatkan kedudukan

dan peran perempuan juga turut terbentuk dengan mengacu pada nilai- nilai yang

terkandung dalam ajaran agama dalam sebuah negara.

B. Keadilan Dalam Hukum Islam

354
Ibid.

218
Sejak awal kedatangannya, Islam telah menghapus diskriminasi terhadap
355
perempuan . Praktek pembunuhan bayi perempuan yang lazim terjadi pada zaman

Jahiliah, dilarang total setelah datangnya Islam. Akikah sebagai suatu tradisi syukuran

setelah kelahiran yang sebelumnya hanya dilakukan untuk bayi laki-laki, kemudian

juga dilakukan bagi bayi perempuan. Islam juga memberi hak kepada perempuan

dalam memilih pasangannya. Perempuan memiliki hak menentukan mas kawin yang

diakui sebagai milik penuh pribadi perempuan. Mempunyai hak warisan yang

sebelumnya justru diperlakukan sebagai warisan mendiang suami. Memang dalam

aturan agama terdapat perbedaan-perbedaan dalam hal pembagian hak, peran, dan

tanggung jawab antara pria dan wanita. Namun selama semua itu sudah dianggap

menguntungkan dan adil terhadap perempuan maka hal itu tidak pernah di

permasalahkan, dan terbukti, di sepanjang sejarah, belum ada umat Islam yang

pernah menggugat aturan tersebut.

Baru ketika peradaban Barat masuk ke dunia Islam, syariat Islam banyak

dikritik dan digugat. Apa yang diyakini oleh umat Islam tentang hak, peran, dan

tanggung jawab mendapat tantangan wacana Barat dengan memunculkan isu

kesetaraan dan keadilan gender. Tujuannya adalah kebebasan status dan persamaan
356
peran antara laki-laki dan perempuan di segala aspek kehidupan . Wacana tersebut

ternyata juga mempengaruhi para pemikir muslim dan menimbulkan wacana baru

dalam dunia Islam. Konsep-konsep Islam tentang peran dan hak wanita dipertanyakan

dan dibongkar karena dianggap tidak sesuai konteks zaman dan tidak adil bagi wanita

itu sendiri. Mereka beranggapan Islam memberi porsi lebih terhadap laki-laki

355
Zaitunah Subhan, 1999, Tafsir Kebencian, Studi Bias Gender dalam Tafsir Qur’an, LkiS,
Yogyakarta, hlm.1-2
356
Nasruddin Umar, Op.Cit., hlm. 68

219
ketimbang wanita di segala lini kehidupan, seperti masalah kepemimpinan, hak

berpakaian, bekerja, dan lain-lain.

Bila kita melihat pada Visi hukum Islam yaitu mewujudkan kemaslahatan

manusia dunia akhirat, dan misi hukum Islam yaitu memelihara agama, memelihara

jiwa memelihara harta, memelihara akal, memelihara keturunan memelihara

kehormatan dan memelihara lingkungan357. Adapun prinsip-prinsip dasar hukum

Islam adalah358. Al-Adalah (keadilan), al-Ukhuwah (kebijaksanaan), ar- Rahmah

(kasih sayang), Al- Musawah (kesetaraan dan keadilan), al- Hurriyah

(kebebasab/kemerdekaan), al-Sulhu (perdamaian), jalb al-Masalih wa dar’u al

Mafasid (mewujudkan kemaslahatan dan menolak kemudharatan) Perwujudan

prinsip-prinsip tersebut dapat dijabarkan dalam merumuskan kebijakan-kebijakan.

Dalam hukum Islam, adil adalah prinip yang pertama, perintah berlaku adil

ditujukan kepada setiap hal tanpa pandang bulu. perkataan yang benar harus

disampaikan apa adanya walaupun perkataan itu akan merugikan kerabat sendiri.

keharusan berlaku adil pun harus ditegakkan dalam keluarga dan masyarakat muslim

itu sendiri, bahkan kepada orang kafir pun umat Islam diperintahkan berlaku adil.

Untuk keadilan sosial harus ditegakkan tanpa membedakan karena kaya miskin,

pejabat atau rakyat jelata, wanita atau pria, mereka harus diperlakukan sama dan

mendapat kesempatan yang sama359.

Dalam Islam, prinsip keadilan tidak dapat terlepas dari ajaran tauhid. Tauhid

adalah tindakan yang menegaskan bahwa Allah itu Esa, Pencipta yang mutlak dan

transenden, Penguasa dari segala yang ada, sementara yang lain adalah makhluk atau

357
Al Syatiby, dalam Khairani, dkk, 2009, Riset Analisis Kebijakan Publik, Pusat Studi HAM
Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, hlm. 66
358
Ibid
359
Juhaya S. Praja, 1995, Filsafat Hukum Islam, Pusat Penebitan Universitas LPPM UNISBA,
Bandung hlm. 73

220
ciptaan-Nya360 Allah Sang Pencipta memiliki entitas yang jelas berbeda dengan

makhluk-Nya. Pembedaan ini membawa konsekuensi bahwa tidak ada yang setara

dengan Allah, sementara semua manusia (laki-laki dan perempuan), kedudukannya

setara sebagai makhluk-Nya. Segala aktivitas manusia akan terikat dan menjalani hidup

sesuai dengan kehendak Tuhan. Semuanya sama-sama mengemban tugas dan tanggung

jawab, yang membedakannya terletak pada nilai ketakwaannya (Q.S. al-Hujurat: 13).

Permasalahannya bagaimana penerapan konsep dalam menemukan nilai- nilai

keadilan, dalam hal ini konsep tersebut harus dapat menemukan dan menyelesaikan

fakta-fakta sebenarnya melalui analisis filosofis terhadap persoalan yang dihadapi.

Hal ini dikarenakan hukum atau aturan perundangan harusnya adil, tapi nyatanya

seringkali tidak. Keadilan hanya bisa dipahami jika diposisikan sebagai keadaan yang

hendak diwujudkan oleh hukum. Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam

hukum tersebut merupakan proses yang dinamis yang memakan banyak waktu. Upaya

ini seringkali juga didominasi oleh kekuatan-kekuatan yang bertarung dalam

kerangka umum tatanan politik untuk mengaktualisasikannya361. Keadilan dalam cita

hukum yang merupakan pergulatan kemanusiaan berevolusi mengikuti ritme zaman

dan ruang, dari dahulu sampai sekarang tanpa henti dan akan terus berlanjut

sampai sekarang tanpa henti dan akan terus berlanjut makhluk ciptaan Tuhan

yang terdiri atas roh dan jasad memiliki daya rasa dan daya pikir yang dua-duanya

merupakan daya rohani, dimana rasa dapat berfungsi untuk mengendalikan

keputusan-keputusan akal agar berjalan di atas nilai-nilai moral seperti kebaikan dan

keburukan, karena yang dapat menentukan baik dan buruk adalah rasa362. Masalah

penerapan konsep dalam menemukan nilai- nilai keadilan, sehingga konsep tersebut

360
Isma’il Raji al-Faruqi, tanpa tahun, Tauhid, Pustaka, Bandung, hlm.16
361
Carl Joachim Friedrich, 2004, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Nuansa dan Busamedis
Bandung,. hlm. 239
362
Ahmad Mahmud Subhi, 2001, Filsafat Etika, PT. Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, hlm.262

221
dapat menemukan dan menyelesaikan fakta-fakta melalui analisis filosofis terhadap

persoalan yang dihadapi sudah dilakukan oleh para pemikir Islam sejak dulu,

sebagaimana telah dituliskan sebelumnya, salah satunya adalah pemikiran tentang

teori Maqashid Syariah

Maqashid al-syari'ah terdiri dari dua kata, maqashid dan syari'ah. Kata

maqashid merupakan bentuk jama' dari maqshad yang berarti maksud dan tujuan,

sedangkan syari'ah mempunyai pengertian hukum-hukum Allah yang ditetapkan

untuk manusia agar dipedomani untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia

maupun di akhirat. Maka dengan demikian, maqashid al-syari'ah berarti kandungan

nilai yang menjadi tujuan pensyariatan hukum. Maka dengan demikian, maqashid

al-syari'ah adalah tujuan-tujuan yang hendak dicapai dari suatu penetapan hukum363.

Kajian teori maqashid al-syari'ah dalam hukum Islam adalah sangat

penting. Urgensi itu didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut.

Pertama, hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari wahyu Tuhan dan

diperuntukkan bagi umat manusia. Oleh karena itu, ia akan selalu berhadapan

dengan perubahan sosial. Dalam posisi seperti itu, apakah hukum Islam yang

sumber utamanya (Al-Qur'an dan sunnah) turun pada beberapa abad yang lampau

dapat beradaptasi dengan perubahan sosial. Jawaban terhadap pertanyaan itu baru

bisa diberikan setelah diadakan kajian terhadap berbagai elemen hukum Islam, dan

salah satu elemen yang terpenting adalah teori maqashid al-syari'ah. Kedua, dilihat

dari aspek historis, sesungguhnya perhatian terhadap teori ini telah dilakukan oleh

Rasulullah SAW, para sahabat, dan generasi mujtahid sesudahnya. Ketiga,

pengetahuan tentang maqashid al-syari'ah merupakan kunci keberhasilan mujtahid

dalam ijtihadnya, karena di atas landasan tujuan hukum itulah setiap persoalan

363
Asafri Jaya, 1996, Konsep Maqashid al-Syari'ah Menurut al-Syathibi, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hlm. 5

222
dalam bermu'amalah antar sesama manusia dapat dikembalikan. Abdul Wahhab

Khallaf 364 seorang pakar ushul fiqh, menyatakan bahwa nash-nash syari'ah itu tidak

dapat dipahami secara benar kecuali oleh seseorang yang mengetahui maqashid al-

syari'ah (tujuan hukum). Pendapat ini sejalan dengan pandangan pakar fiqh lainnya,

Wahbah al-Zuhaili365, yang mengatakan bahwa pengetahuan tentang maqashid al-

syari'ah merupakan persoalan dharuri (urgen) bagi mujtahid ketika akan

memahami nash dan membuat istinbath hukum, dan bagi orang lain dalam rangka

mengetahui rahasia-rahasia syari'ah.

Memang, bila diteliti semua perintah dan larangan Allah dalam Al- Qur'an,

begitu pula suruhan dan larangan Nabi SAW dalam sunnah yang terumuskan dalam

fiqh, akan terlihat bahwa semuanya mempunyai tujuan tertentu dan tidak ada yang

sia-sia. Semuanya mempunyai hikmah yang mendalam, yaitu sebagai rahmat bagi

umat manusia, sebagaimana yang ditegaskan dalam beberapa ayat Al-Qur'an, di

antaranya dalam Q.S. Al- Anbiya' ayat 107, tentang tujuan Nabi Muhammad diutus

"Dan tidaklah Kami mengutusmu, kecuali menjadi rahmat bagi seluruh alam"

Rahmat untuk seluruh alam dalam ayat di atas diartikan dengan kemaslahatan

umat. Sedangkan, secara sederhana maslahat itu dapat diartikan sebagai sesuatu

yang baik dan dapat diterima oleh akal yang sehat. Diterima akal mengandung

pengertian bahwa akal itu dapat mengetahui dan memahami motif di balik

penetapan suatu hukum, yaitu karena mengandung kemaslahatan untuk manusia,

baik dijelaskan sendiri alasannya oleh Allah atau dengan jalan rasionalisasi.

Suruhan Allah untuk berzikir dan shalat dijelaskan sendiri oleh Allah, sebagaimana

yang termaktub dalam Q.S. Ar-Ra’du, ayat 28 berikut: "Ketahuilah bahwa

dengan berzikir itu hati akan tenteram".


364
Yusuf Qardawi, 2007, Fiqh Maqasid Syari’ah, Pustaka Al-Kautsar, hlm. 18
Bakri, Asafri Jaya,1997, Konsep Maqasid Syariah menurut Al-Syatibi, Logos
365

Wacana Ilmu, Jakarta, hlm. 72


223
Juga di jelaskan dalam Q.S Al-'Ankabut ayat 45 "Sesungguhnya shalat itu

mencegah dari perbuatan keji dan munkar". Memang ada beberapa aturan

hukum yang tidak dijelaskan secara langsung oleh syari' (pembuat syari'at) dan

akalpun sulit untuk membuat rasionalisasinya, seperti penetapan waktu shalat

zhuhur yang dimulai setelah tergelincirnya matahari. Meskipun begitu tidaklah

berarti penetapan hukum tersebut tanpa tujuan, hanya saja barangkali

rasionalisasinya belum dapat dijangkau oleh akal manusia.

Kandungan maqashid al-syari'ah dapat diketahui dengan merujuk ungkapan

al-Syathibi seorang tokoh pembaru ushul fiqh yang hidup pada abad ke-8 Hijriah,

dalam kitabnya Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari'ah. Di situ beliau mengatakan

bahwa sesungguhnya syari'at itu ditetapkan tidak lain untuk kemaslahatan manusia

di dunia dan di akhirat. Jadi, pada dasarnya syari'at itu dibuat untuk mewujudkan

kebahagiaan individu dan jama'ah, memelihara aturan serta menyemarakkan

dunia dengan segenap sarana yang akan menyampaikannya kepada jenjang-

jenjang kesempurnaan, kebaikan, budaya, dan peradaban yang mulia, karena

dakwah Islam merupakan rahmat bagi semua manusia. Dari pengertian di atas,

dapat dikatakan bahwa yang menjadi bahasan utama dalam maqashid al-syari'ah

adalah hikmah dan illat ditetapkan suatu hukum. Dalam kajian ushul fiqh, hikmah

berbeda dengan illat. Illat adalah sifat tertentu yang jelas dan dapat diketahui secara

objektif (zahir), dan ada tolak ukurnya (mundhabit), dan sesuai dengan ketentuan

hukum (munasib) yang keberadaannya merupakan penentu adanya hukum.

Sedangkan hikmah adalah sesuatu yang menjadi tujuan atau maksud

disyariatkannya hukum dalam wujud kemaslahatan bagi manusia. Maslahat secara

umum dapat dicapai melalui dua cara366

1. Mewujudkan manfaat, kebaikan dan kesenangan untuk manusia yang disebut


366
Ghofar Shidiq, Ibid, hlm., 121

224
dengan istilah jalb al-manafi'. Manfaat ini bisa dirasakan secara langsung saat itu

juga atau tidak langsung pada waktu yang akan datang.

2. Menghindari atau mencegah kerusakan dan keburukan yang sering

diistilahkan dengan dar' al-mafasid.

Adapun yang dijadikan tolok ukur untuk menentukan baik buruknya

(manfaat dan mafsadahnya) sesuatu yang dilakukan adalah apa yang menjadi

kebutuhan dasar bagi kehidupan manusia. Tuntutan kebutuhan bagi kehidupan

manusia itu bertingkat-tingkat, yakni kebutuhan primer, sekunder, dan tersier.

Maqasid Syariah adalah tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan

hukum-hukum Islam. Tujuan itu dapat ditelusuri dalam ayat-ayat Al-quran dan

hadist sebagai alasan logis bagi rumusan suatu hukum yang berorientasi kepada

kemaslahatan manusia367. Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa tujuan hukum Islam

adalah untuk mewujudkan hamba dunia akhirat. menurutnya, seluruh hukum itu

mengandung keadilan, rahmat, kemaslahatan dan hikmah, jika keluar dari empat

nilai yang dikandungnya, maka hukum tersebut tidak dinamakan Hukum Islam368.

Salah satu hal yang mendasari pemikiran maqasid syariah sebagai instrumen

menggali nilai keadilan hukum adalah tujuan ditetapkannya hukum Islam.

Maqasid Syariah penting untuk dipahami karena dengannya wawasan kita

tentang Hukum Islam menjadi komprehensif. Seseorang tidak dapat dikatakan

mampu menetapkan hukum dalam Islam, sebelum ia memahami benar tujuan

Allah mengeluarkan perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya. Maqasid

syariah adalah tujuan yang menjadi target nash dan hukum-hukum partikular

untuk direalisasikan dalam kehidupan manusia, baik berupa perintah, larangan dan

mubah (boleh), untuk individu, keluarga, jamaah dan umat369. Al-Syatibi


367
Satria Effendi M. Zein, Op. Cit hlm. 233
368
M. Helmi, Op.Cit, hlm 141
369
Yusuf Qardawi, 2007, Fiqh Maqasid Syari’ah, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, hlm. 18

225
menyebutkan tiga syarat yang diperlukan untuk memahami maqasid syariah.

Ketiga syarat itu adalah:

a. Memiliki pengetahuan tentang bahasa arab lafaz’am, lafaz khas, musytarak,

haqiqat, majaz, dilalah lafaz dan nasakh.

b. Memiliki pengetahuan tentang sunnah.

c. Mengetahui sebab-sebab turunnya ayat.

Untuk mewujudkan dan memelihara maqasid syariah, Al Syatibi membagi

ke tiga tingkat yaitu dharuriyat, hajiyyat, dan tahsiniyyat. Pengelompokkan ini

didasarkan pada kebutuhan dan skala prioritas. Urutan level ini secara hirarkis

akan terlihat kepentingan dan signifikansinya, masing-masing level tersebut satu

sama lain saling bertentangan. Dalam konteks ini level dharuriyat menempati

peringkat pertama disusul hajiyyat dan tahsinayyat. Dhahuriyyat adalah

memelihara kebutuhan yang bersifat essensial bagi kehidupan manusia manusia.

Contoh: dalam memelihara agama, aspek dhahuriyyat mendirikan shalat. Hajiyyat

tidak mengancam hanya saja menimbulkan kesulitan bagi manusia. Contoh:

dalam memelihara agama, aspek hajiyyat keharusan menghadap ke kiblat.

Tahsinayyat adalah kebutuhan yang menunjang peningkatan martabat seseorang

dalam masyarakat dan dihadapan Allah SWT. Contoh : dalam memelihara agama,

aspek tahsinayyat menutup aurat370.

Ketiga yang disebutkan di atas pada hakikatnya untuk menjaga kelima

maqasid syariah (agama, jiwa, akal, keturunan dan harta). Al-Syatibi melaporkan

hasil penelitian para ulama terhadap ayat-ayat Alquran dan hadist, bahwa hukum-

hukum disyariatkan Allah untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia, baik di

dunia maupun di akhirat371.


370
Asafri Jaya Bakri, 1997, Konsep Maqasid Syariah menurut Al-Syatibi, Logos Wacana
Ilmu, Jakarta, hlm. 72
371
Abu Ishaq Al-Syatibi dalam M. Helmi, Ibid, hlm.141

226
Pembahasan maqasid syariah dilakukan Al-Syatibi secara khusus,

sistematis dan jelas. Secara tegas mengatakan bahwa tujuan utama Allah menetapkan

hukum-Nya adalah untuk terwujudnya maslahatan hidup manusia, baik di dunia

maupun di akhirat. Oleh Karena itu, hukum harus mengarah pada dan

merealisasikannya terwujudnya kemaslahatan. doktrin maqasid syariah adalah satu,

yaitu maslahah atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia baik di dunia maupun

di akhirat. oleh karena itu, al-Syatibi meletakan posisi maslahat sebagai ‘illat

hukum atau alasan pensyariatan hukum Islam. Dalam menempatkan illat sebagai

maslahah An-Nabhani berbeda dengan Al-Syatibi, An-Nabhani misalnya beliau

dengan hati-hati menekankan berulang- ulang, bahwa maslahat itu bukanlah illat atau

motif (al-ba’its) penetapan syariah, melainkan hikmah, hasil (natijah), tujuan

(ghayah) atau akibat (‘aqibah) dari penerapan syariah372.

Menurut An-Nabhani mengatakan hikmah bukanlah ‘illat karena nash

ayat-ayat yang ada jika dilihat dari segi bentuknya (shigat) tidaklah menunjukan

adanya ‘illat, namun hanya menunjukkan adanya sifat rahmat (maslahat) sebagai

hasil penerapan syariah. Misalnya firman Allah SWT dalam Alquran Surat Q.S. Al -

Isra ayat 82 yang artinya, “dan Kami turunkan dari Al Qur'an suatu yang menjadi

penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Qur'an itu tidaklah

menambah kepada orang-orang yang lalim selain kerugian”, dan QS. Al-Anbiya Ayat

107 yang artinya,”Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi)

rahmat bagi semesta alam”. Menurut An-Nabhani, ayat ini tidak mengandung

shigat ta’lil (bentuk kata yang menunjukkan ‘illat), misalnya dengan adanya lam

ta’lil. Jadi, maksud ayat ini, bahwa hasil (al-natijah) di turunkan al Quran dan

diutusnya Muhammad Saw adalah akan menjadi rahmat bagi umat manusia. artinya,

adanya rahmat (maslahat) merupakan hasil pelaksanaan syari’at bukan ‘illat dari
372
Ibid, hlm.142

227
penetapan syari’at373

Wahbah al-Zuhaili3 7 4 dalam bukunya menetapkan syarat- syarat maqashid

al-syari'ah. Menurutnya bahwa sesuatu baru dapat dikatakan sebagai maqashid

al-syari'ah apabila memenuhi empat syarat berikut, yaitu :

1. Harus bersifat tetap, maksudnya makna-makna yang dimaksudkan itu


harus bersifat pasti atau diduga kuat mendekati kepastian.
2. Harus jelas, sehingga para fuqaha tidak akan berbeda dalam penetapan makna
tersebut. Sebagai contoh, memelihara keturunan yang merupakan tujuan
disyariatkannya perkawinan.
3. Harus terukur, maksudnya makna itu harus mempunyai ukuran atau batasan
yang jelas yang tidak diragukan lagi. Seperti menjaga akal yang merupakan
tujuan pengharaman khamr dan ukuran yang ditetapkan adalah kemabukan.
4. Berlaku umum, artinya makna itu tidak akan berbeda karena perbedaan waktu dan
tempat. Seperti sifat Islam dan kemampuan untuk memberikan nafkah sebagai
persyaratan kafa'ah dalam perkawinan menurut mazhab Maliki.

Lebih lanjut, al-Syathibi dalam uraiannya tentang maqashid al-syari'ah

membagi tujuan syari'ah itu secara umum ke dalam dua kelompok, yaitu tujuan syari'at

menurut perumusnya (syari') dan tujuan syari'at menurut pelakunya (mukallaf).

Maqashid al-syari'ah dalam konteks maqashid al-syari' meliputi empat hal, yaitu :

1. Tujuan utama syari'at adalah kemaslahatan manusia di dunia dan


di akhirat.
2. Syari'at sebagai sesuatu yang harus dipahami.
3. Syari'at sebagai hukum taklifi yang harus dijalankan.
4. Tujuan syari'at membawa manusia selalu di bawah naungan
hukum.

Keempat aspek di atas saling terkait dan berhubungan dengan Allah sebagai

pembuat syari'at (syari'). Allah tidak mungkin menetapkan syari'at- Nya kecuali

dengan tujuan untuk kemaslahatan hamba-Nya, baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Tujuan ini akan terwujud bila ada taklif hukum, dan taklif hukum itu baru dapat

dilaksanakan apabila sebelumnya dimengerti dan dipahami oleh manusia. Oleh

karena itu semua tujuan akan tercapai bila manusia dalam perilakunya sehari-hari

373
Ibid.
374
Ghofar Shidiq, Op. Cit, hlm., 123

228
selalu ada di jalur hukum dan tidak berbuat sesuatu menurut hawa nafsunya sendiri.

Maslahat sebagai substansi dari maqashid al-syari'ah dapat dibagi sesuai dengan

tinjauannya. Bila dilihat dari aspek pengaruhnya dalam kehidupan manusia, maslahat

dapat dibagi menjadi tiga tingkatan375 :

1. Dharuriyat

yaitu maslahat yang bersifat primer, di mana kehidupan manusia sangat

tergantung padanya, baik aspek diniyah (agama) maupun aspek duniawi. Maka ini

merupakan sesuatu yang tidak dapat ditinggalkan dalam kehidupan manusia. Jika

itu tidak ada, kehidupan manusia di dunia menjadi hancur dan kehidupan akhirat

menjadi rusak (mendapat siksa). Ini merupakan tingkatan maslahat yang paling

tinggi. Di dalam Islam, maslahat dharuriyat ini dijaga dari dua sisi: pertama,

realisasi dan perwujudannya, dan kedua, memelihara kelestariannya. Contohnya,

yang pertama menjaga agama dengan merealisasikan dan melaksanakan segala

kewajiban agama, serta yang kedua menjaga kelestarian agama dengan berjuang

dan berjihad terhadap musuh-musuh Islam.

2. Hajiyat

Yaitu maslahat yang bersifat sekunder, yang diperlukan oleh manusia

untuk mempermudah dalam kehidupan dan menghilangkan kesulitan maupun

kesempitan. Jika ia tidak ada, akan terjadi kesulitan dan kesempitan yang

implikasinya tidak sampai merusak kehidupan.

3. Tahsiniya

Yaitu maslahat yang merupakan tuntutan muru'ah (moral), dan itu

dimaksudkan untuk kebaikan dan kemuliaan. Jika ia tidak ada, maka tidak sampai

merusak ataupun menyulitkan kehidupan manusia. Maslahat tahsiniyat ini

diperlukan sebagai kebutuhan tersier untuk meningkatkan kualitas kehidupan


375
Ibid, hlm., 124

229
manusia

Jenis kedua adalah maslahat yang dilihat dari aspek cakupannya yang

dikaitkan dengan komunitas (jama'ah) atau individu (perorangan). Hal ini dibagi

dalam dua kategori, yaitu :

1. Maslahat kulliyat,

Yaitu maslahat yang bersifat universal yang kebaikan dan manfaatnya kembali

kepada orang banyak. Contohnya membela negara dari serangan musuh, dan

menjaga hadits dari usaha pemalsuan.

2 . Maslahat juz'iyat,

Yaitu maslahat yang bersifat parsial atau individual, seperti pensyari'atan

berbagai bentuk mu'amalah.

Jenis ketiga adalah maslahat yang dipandang dari tingkat kekuatan dalil yang

mendukungnya. Maslahat dalam hal ini dibagi menjadi tiga, yaitu :

1. Maslahat yang bersifat qath'i

Yaitu sesuatu yang diyakini membawa kemaslahatan karena didukung

oleh dalil-dalil yang tidak mungkin lagi ditakwili, atau yang ditunjuki oleh dalil-

dalil yang cukup banyak yang dilakukan lewat penelitian induktif, atau akal

secara mudah dapat memahami adanya maslahat itu.

2. Maslahat yang bersifat zhanni,

Yaitu maslahat yang diputuskan oleh akal, atau maslahat yang ditunjuki oleh

dalil zhanni dari syara'.

3. Maslahat yang bersifat wahmiyah,

Yaitu maslahat atau kebaikan yang dikhayalkan akan bisa dicapai, padahal

kalau direnungkan lebih dalam justru yang akan muncul adalah madharat dan

mafsadat.

230
Pembagian maslahat seperti yang dikemukakan oleh Wahbah al- Zuhaili

di atas, agaknya dimaksudkan dalam rangka mempertegas maslahat mana yang boleh

diambil dan maslahat mana yang harus diprioritaskan di antara sekian banyak maslahat

yang ada. Maslahat dharuriyat harus didahulukan dari maslahat hajiyat, dan maslahat

hajiyat harus didahulukan dari maslahat tahsiniyat. Demikian pula maslahat yang

bersifat kulliyat harus diprioritaskan dari maslahat yang bersifat juz'iyat. Akhirnya,

maslahat qath'iyah harus diutamakan dari maslahat zhanniyah dan wahmiyah.

Memperhatikan kandungan dan pembagian maqashid al-syari'ah seperti yang

telah dikemukakan di atas, maka dapat dikatakan bahwa maslahat yang merupakan

tujuan Tuhan dalam tasyri'-Nya itu mutlak harus diwujudkan karena keselamatan dan

kesejahteraan duniawi maupun ukhrawi tidak akan mungkin dicapai tanpa realisasi

maslahat itu, terutama maslahat yang bersifat dharuriyat.

Dalam kaitannya dengan cara untuk mengetahui hikmah dan tujuan

penetapan hukum, setidaknya ada tiga cara yang telah ditempuh oleh ulama sebelum

al-Syathibi, yaitu376 :

1. Ulama yang berpendapat bahwa maqashid al-syari'ah adalah sesuatu yang

abstrak, sehingga tidak dapat diketahui kecuali melalui petunjuk Tuhan dalam

bentuk zahir lafal yang jelas. Petunjuk itu tidak memerlukan penelitian mendalam

yang justru memungkinkan akan menyebabkan pertentangan dengan kehendak

bahasa. Cara ini ditempuh oleh ulama Zahiriyah.

2. Ulama yang tidak mementingkan pendekatan zahir lafal untuk mengetahui

maqashid al-syari'ah. Mereka terbagi dalam dua kelompok :

a. Kelompok ulama yang berpendapat bahwa maqashid al- syari'ah ditemukan

bukan dalam bentuk zahir lafal dan bukan pula dari apa yang dipahami dari

tunjukan zahir lafal itu. Akan tetapi maqashid al-syari'ah merupakan hal lain
376
Asafri Jaya, Op.Cit. hlm. 89-91

231
yang ada di balik tunjukan zahir lafal yang terdapat dalam semua aspek

syari'ah sehingga tidak seorang pun dapat berpegang dengan zahir lafal yang

memungkinkannya memperoleh maqashid al-syari'ah. Kelompok ini disebut

kelompok Bathiniyah.

b. Kelompok ulama yang berpendapat bahwa maqashid al- syari'ah harus dikaitkan

dengan pengertian-pengertian lafal. Artinya zahir lafal tidak harus mengandung

tunjukan yang bersifat mutlak. Apabila terjadi pertentangan antara zahir lafal

dengan penalaran akal, maka yang diutamakan dan didahulukan adalah

penalaran akal, baik itu atas dasar keharusan menjaga maslahat atau tidak.

Kelompok ini disebut kelompok Muta'ammiqin fi al-Qiyas.

3. Ulama yang melakukan penggabungan dua pendekatan (zahir lafal dan

pertimbangan makna/illat) dalam suatu bentuk yang tidak merusak pengertian

zahir lafal dan tidak pula merusak kandungan makna/illat, agar syari'ah tetap

berjalan secara harmonis tanpa kontradiksi. Kelompok ini disebut kelompok

Rasikhin.

Dalam rangka memahami maqashid al- syari'ah ini, al-Syathibi tampaknya

termasuk dalam kelompok ketiga (rasikhin) yang memadukan dua pendekatan, yakni

zahir lafal dan pertimbangan makna atau illat. Hal ini dapat dilihat dari tiga cara yang

dikemukakan oleh al-Syathibi dalam upaya memahami maqashid al-syari'ah, yaitu :

1. Melakukan analisis terhadap lafal perintah dan larangan.

2. Melakukan penelaahan illat perintah dan larangan.

3. Analisis terhadap sikap diamnya syari' dalam pensyari'atan suatu hukum.

Cara pertama dilakukan dalam upaya telaah terhadap lafal perintah dan

larangan yang terdapat dalam Al-Qur'an dan hadits secara jelas sebelum dikaitkan

dengan permasalahan-permasalahan yang lain. Artinya kembali kepada makna

232
perintah dan larangan secara hakiki. Perintah harus dipahami menghendaki suatu

yang diperintahkan itu agar diwujudkan dan larangan menghendaki agar sesuatu

yang dilarang itu dihindari dan dijauhi. Cara pertama ini diarahkan untuk

memahami ayat-ayat dan hadits-hadits yang berkaitan dengan masalah-masalah

ibadah.

Cara kedua dengan melakukan analisis terhadap illat hukum yang terdapat

dalam Al-Qur'an atau hadits. Seperti diketahui bahwa illat itu ada yang tertulis dan

ada pula yang tidak tertulis. Jika illatnya tertulis, maka harus mengikuti kepada

apa yang tertulis itu, dan jika illatnya tidak tertulis, maka harus dilakukan tawaquf

(tidak membuat suatu putusan). Keharusan tawaquf ini didasari dua pertimbangan.

Pertama, tidak boleh melakukan perluasan terhadap apa yang telah ditetapkan oleh

nash. Perluasan terhadap apa yang telah ditetapkan oleh nash tanpa mengetahui illat

hukum sama halnya dengan menetapkan hukum tanpa dalil. Kedua, pada dasarnya

tidak diperkenankan melakukan perluasan cakupan terhadap apa yang telah ditetapkan

oleh nash, namun hal ini dimungkinkan apabila tujuan hukum dapat diketahui.

Sesungguhnya inti dari dua pertimbangann ini adalah bahwa dalam masalah

muamalah dibolehkan melakukan perluasan jika tujuan hukum mungkin diketahui

dengan perluasan tersebut.

Cara yang ketiga dengan melihat sikap diamnya syari' (pembuat syari'at)

dalam pensyari'atan suatu hukum. Diamnya syari' itu dapat mengandung dua

kemungkinan yaitu kebolehan dan larangan. Dalam hal- hal yang berkaitan dengan

muamalah, sikap diamnya syari' mengandung kebolehan dan dalam hal-hal yang

bersifat ibadah sikap diamnya syari' mengandung larangan. Dari sikap diamnya syari'

ini akan diketahui tujuan hukum. Pengumpulan Al-Qur'an yang terjadi setelah

Nabi SAW wafat merupakan contoh sikap diamnya syari'. Pada masa Nabi SAW

233
belum dijumpai faktor yang mendesak untuk membukukan Al-Qur'an tersebut. Namun

selang beberapa waktu kemudian terdapat faktor yang mendesak untuk

membukukan Al-Qur'an. Sikap diamnya Nabi SAW dalam hal ini dapat dipahami

bahwa pembukuan itu dibolehkan atau dibenarkan. Apabila dilihat cara mengetahui

maqashid al-syari'ah seperti yang telah disebutkan di atas, maka dapat disimpulkan

bahwa cara pertama lebih diarahkan pada aspek ibadah, cara yang kedua pada aspek

muamalah, dan cara ketiga pada keduanya. Cara-cara tersebut merupakan kombinasi

cara mengetahui maqashid al-syari'ah melalui pendekatan lafal dan pendekatan

makna. Kombinasi ini dirasa sangat penting dalam rangka mempertahankan identitas

agama sekaligus mampu menjawab perkembangan hukum yang muncul akibat

perubahan-perubahan sosial salah satunya tentang tuntutan keadilan .

Keadilan merupakan satu tema utama tentang moral yang banyak mendapat

perhatian dalam al Qur’an. Hal ini terlihat dari banyaknya kata adl (justice,

keadilan) dan kata-kata yang semakna seperti al-qist, al-wazn, al-wast yang terdapat

dalam berbagai tempat dalam al-Qur’an. Selain itu, perintah berbuat adil juga dapat

dilihat pada larangan al-Qur’an tentang berbuat zalim. Didalam al Qur’an

kata al-adl selalu dihadapkan dengan kata zalm.377 Sebagaimana, apabila

terdapat perintah berbuat adil diikuti dengan larangan bersikap zalim.378 Keluasan

makna „keadilan‟ dalam Islam digambarkan oleh Amiur Nuruddin379 dengan

menyatakan bahawa makna keadilan Islam merangkumi keadaan seimbang,

persamaan atau tidak adanya diskriminasi dalam bentuk apapun, dan pemenuhan hak

kepada siapapun yang berhak atau penempatan sesuatu pada tempat yang

377
Penjelasan kata adil dan zalim dapat dilihat pada Dawam Raharjo, 1996, Ensiklopedi al-
Qur‟an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci, Paramadina, Jakarta, hlm 391-410
378
Kata al-zulm bermakna meletakkan sesuatu pada tempat yang tidak semestinya, baik dengan
cara melebihkan atau mengurangi mahupun menyimpang dari waktu dan tempatnya. Ibid, hlm. 326.
379
Amiur Nuruddin, 1994, Konsep Keadilan Dalam Al-Qur‟an dan Implikasinya Pada
Tanggung Jawab Moral, Disertasi pada Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, hlm 63.

234
semestinya. Dalam hal ini Said Akhtar Rizvi 380 menyatakan perkataan al-Adl pada

asalnya dicipta untuk membawa maksud menjadikan dua benda itu sama dan

peneguhan secara saksama. Hampir samalah juga dalam masalah ansaf yang

membawa pengertian dari segi bahasanya sebagai persamaan atau keadilan, dan

sebagai hasilnya, al- adl merujuk kepada keadilan, persamaan, berada di jalan yang

lurus, ke arah kebenaran, berada di tahap yang betul, tidak berkurang atau berlebih

juga meletakkan sesuatu pada tempatnya. Selain zulm, lawan makna keadilan

juga ialah jaur yang berarti cenderung kepada sebelah pihak, yang akhirnya

membawa pengertian tidak memihak kepada keadilan, menyebelahi sesuatu pihak


381
.

Dalam perkara ini, Nurcholis Madjid382 menyatakan, keadilan juga

mengandung pengertian perimbangan (mawan), tidak pincang, keadilan juga

bermakna persamaan (musawah), tidak ada diskriminasi; keadilan juga tidak akan utuh

jika tidak diperhatikan maknanya sebagai pemberian perhatian kepada hak-hak

peribadi dan penuaian hak kepada siapa saja yang berhak. Makna keadilan yang

sangat penting adalah keadilan Tuhan, baik berupa kemurahan maupun

kemurkaan-Nya yang semuanya dapat dipulangkan kepada manusia itu sendiri

sebagaimana firmanNya dalam Al Qur’an.Surat (Q.S) Fushshilat ayat 46

‫الم لِ ْل َعبِيد‬
ٍ َ‫صالِحًا فَلِنَ ْف ِس ِه َو َم ْن أَ َسا َء فَ َعلَ ْيهَا َو َما َرب َُّك بِظ‬
َ ‫َم ْن َع ِم َل‬
Artinya
Barangsiapa yang mengerjakan amal yang soleh maka pahalanya untuk
dirinya sendiri dan barangsiapa yang mengerjakan perbuatan jahat, maka

380
Sayyid Said Akhtar Rizvi, 1996, The Justice Of God, diterjemahkan, Konsep Keadilan Allah
Dalam Islam, Misi Islam Bilal, Tanzania, Oktober, hlm 5
381
Contohnya, seseorang hakim yang zalim membuat keputusan atau hukuman yang salah dengan
tidak memberikan pihak yang tertindas akan haknya, dan dia dikatakan sebagai zalim
382
Nurcholis Majid, 1992, Islam, Doktrin dan Peradaban. Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah
Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan. Cetakan kedua, Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta, hlm 513-
516.

235
(dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya
hamba-hamba-Nya.

Dalam al-Qur‟an perkataan al-adl dengan berbagai turunannya dinyatakan

sebanyak 30 kali. Di samping perkataan adl, terdapat kata yang semakna seperti al-qist

dengan segala bentuknya dinyatakan 23 kali, sedangkan perkataan al-wazn dengan

segala turunannya sebanyak 23 kali.383 Beberapa ayat dalam al Quran yang

mengandung terminologi adil/keadilan antara lain sebagai berikut:

1. Q.S. An-nisa, ayat 58

‫اس أَ ْن تَحْ ُك ُموا بِ ْال َع ْد ِل إِ َّن هَّللا َ نِ ِع َّما يَ ِعظُ ُك ْم ِب ِه إِ َّن اَّ هَّللا َ يَأْ ُم ُر ُك ْم‬
ِ َّ‫إِنبَي َْن الن‬
‫صيرًا‬ ِ َ‫ان َس ِميعًا ب‬ َ ‫ت إِلَى أَ ْهلِهَا َوإِ َذا َح َك ْمتُ ْم هَّلل َ َك‬ ِ ‫ األ َمانَا‬Z‫أَ ْن تُ َؤ ُّدوا‬
Artinya:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran
yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi
Maha Melihat.

Ayat diatas berisi perintah untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak

menerimanya dan perintah menetapkan dan menerapkan hukum antara manusia

secara adil.

2. Q.S. Al Maidah, ayat 8

ُ َ‫ْط َوال يَجْ ِر َمنَّ ُك ْم َشن‬


‫آن‬ ِ ‫ين هَّلِل ِ ُشهَ َدا َء بِ ْالقِس‬
َ ‫ين آ َمنُوا ُكونُوا قَ َّوا ِم‬ َ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذ‬
‫ هُ َو أَ ْق َربُ لِلتَّ ْق َوى َواتَّقُوا هَّللا َ إِ َّن هَّللا َ َخبِي ٌر‬Z‫ ا ْع ِدلُوا‬Z‫قَ ْو ٍم َعلَى أَال تَ ْع ِدلُوا‬
َ ُ‫بِ َما تَ ْع َمل‬
‫ون‬
Artinya:

Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah
sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak
adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa, dan bertakwalah kepada
Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
383
Mawardi, Konsep al-‘adalah Dalam Perspektif Ekonomi Islam, Jurnal Hukum Islam. Vol. VII
No. 5. Juli 2007, hlm 54

236
Ayat di atas menerangkan bahwa manusia memiliki kecenderungan

mengikuti hawa nafsu, wujudnya kecintaan dan kebencian menyebabkan manusia

tidak bertindak adil dan mendahulukan kebatilan daripada kebenaran (dalam bersaksi),

oleh karena itu Allah memerintahkan untuk berlaku adil.

3. Q.S al Hujurat Ayat 9

ْ ‫ين ا ْقتَتَلُوا فَأَصْ لِحُوا بَ ْينَهُ َما فَإِ ْن بَ َغ‬


‫ت إِحْ َداهُ َما‬ َ ِ‫ان ِم َن ْال ُم ْؤ ِمن‬ ِ َ‫َوإِ ْن طَائِفَت‬
ْ ‫األخ َرى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَب ِْغي َحتَّى تَفِي َء إِلَى أَ ْم ِر هَّللا ِ فَإ ِ ْن فَا َء‬
‫ت‬ ْ ‫َعلَى‬
َ ‫ إِ َّن هَّللا َ ي ُِحبُّ ْال ُم ْق ِس ِط‬Z‫فَأَصْ لِحُوا بَ ْينَهُ َما بِ ْال َع ْد ِل َوأَ ْق ِسطُوا‬
‫ين‬
Artinya:
Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka
damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya
terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga
golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada
perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.

Ayat di atas berisi perintah untuk berlaku adil antara sesama Muslim

4. Q.S. Al An ‘am ayat 152

Z‫ال ْاليَتِ ِيم إِال بِالَّتِي ِه َي أَحْ َس ُن َحتَّى يَ ْبلُ َغ أَ ُش َّدهُ َوأَ ْوفُوا‬ َ ‫َوال تَ ْق َربُوا َم‬
‫ قُ ْلتُ ْم فَا ْع ِدلُوا‬Z‫ف نَ ْفسًا إِال ُو ْس َعهَا َوإِ َذا‬ُ ِّ‫ْط ال نُ َكل‬ ِ ‫ان بِ ْالقِس‬ َ ‫ْال َكي َْل َو ْال ِم‬
َ ‫يز‬
َ ‫ان َذا قُرْ بَى َوبِ َع ْه ِد هَّللا ِ أَ ْوفُوا َذلِ ُك ْم َوصَّا ُك ْم ِب ِه لَ َعلَّ ُك ْم تَ َذ َّكر‬
‫ُون‬ َ ‫و َك‬Zْ َ‫َول‬
Artinya :

Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih
bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan
dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar
kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil kendati
pun dia adalah kerabat (mu), dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu
diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.
237
Dari beberapa perintah yang terkandung dalam ayat Al Qur’an tentang adil dan

keadilan di atas, membawa kita kearah pengertian agar manusia memperlakukan semua

orang secara sama dan tidak dibenarkan membedakan berdasarkan hal-hal yang bersifat

lahiriah.384

C. Keadilan Berperspektif Gender Dalam Pandangan Islam

Islam adalah sistem kehidupan yang mengantarkan manusia untuk

memahami realitas kehidupan.Islam juga merupakan tatanan global yang

diturunkan Allah sebagai rihmatan lil’alamin. Penciptaan Allah atas mahluk-Nya laki-

laki dan perempuan memiliki misi sebagai khalifatullah fil ardh, yang memiliki

kewajiban untuk menyelamatkan dan memakmurkan alam sampai pada suatu

kesadaran akan tujuan menyelamatkan peradaban manusia. Selanjutnya dalam

pembahasan gender menurut Islam perlu dilihat bagaimana Islam

mengapresiasikan kedudukan perempuan dan kesetaraan dan keadilan yang

dimunculkannya.

Al Quran Sebagai pedoman dasar bagi umat Islam, diantara 114 surat yang

terkandung didalam Al Qur’an terdapat satu surat yang didedikasikan untuk

perempuan secara khusus memuat dengan lengkap hak azasi perempuan dan aturan-

aturan yang mengatur bagaimana seharusnya perempuan berlaku di dalam

lembaga perrnikahan, keluarga, dan sektor kehidupan. Surat ini dikenal dengan surat

An-Nisa’, dan tidak satupun surat secara khusus ditujukan kepada kaum laki-laki.

Lebih jauh lagi, Islam datang sebagai revolusi yang mengeleminasi deskriminasi

kaum jahiliyah atas perempuan dengan pemberian hak warisan, menegaskan

persamaan status dan hak dengan laki-laki, pelarangan nikah tanpa jaminan hukum

bagi perempuan dan mengeluarkan aturan pernikahan yang mengangkat derajat

perempuan masa itu dan perceraian yang manusiawi.


384
Amiur Nuruddin , Loc.Cit .

238
Dalam pandangan Islam, manusia mempunyai dua kapasitas, yaitu sebagai

hamba (‘abid) dan sebagai representative Tuhan atau sebagai khalifah, di bumi tanpa

membedakan jenis kelamin, etnik, dan warna kulit sebagimana disebutkan dalam Q.S.

Al-Hujurat ayat 13, yang artinya:

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki


dan seoarang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di
sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu.Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal”

Islam menyamakan manusia untuk memperhatikan konsep keseimbangan

mengandung nilai-nilai kesetaraan dan keadilan (equality), keadilan dan menolak

ketidakadilan, keselarasan, keserasian dan keutuhan bagi manusia. Ajaran Islam

memaknai adil sebagai sesuatu yang proporsional, meletakkan sesuatu pada

tempatnya, bukan sama banyak atau sama rata. Islam memperkenalkan konsep relasi

gender yang mengacu kepada ayat-ayat Al-Qur’an yang sekaligus menjadi tujuan

umum syari’ah mewujudkan keadilan dan kebajikan (Q.S. An-Nahl ayat 90) yang

artinya:

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat

kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan

keji, kemungkaran dan permusuhan dia member pengajaran kepadamu agar kamu dapat

mengambil pelajaran”.

Laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kewajiaban yang sama dalam

menjalankan peran khalifah dan hamba. Soal peran sosial dalam masyarakat tidak

ditemukan ayat Al-Qur’an atau hadist yang melarang kaum perempuan aktif

didalamnya. Sebaliknya Al-Qur’an dan hadist banyak mengisyaratkan kebolehan

239
perempuan aktif menekuni berbagai profesi385. Dengan demikian, keadilan gender

adalah suatu kondisi adil bagi perempuan dan laki-laki untuk dapat mengaktualisasi

dan mendedikasikan diri bagi pembangunan bangsa dan negara. Keadilan dan

kesetaraan dan keadilan gender berlandaskan pada prinsip-prinsip yang

memposisikan laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba Tuhan

(kapasitasnya sebagai hamba). Untuk melihat bagaimana konsep Islam mengenai

konsep gender. Menurut Nasaruddin Umar ada beberapa hal yang menunjukkan
386
bahwa prinsip-prinsip kesetaraan dan keadilan gender ada di dalam Al-Qur’an

yakni:

a. Perempuan dan laki-laki sama-sama sebagai Hamba

Hal ini berdasarkan bunyi Q.S Az-Zariyat ayat 56:

َ ‫ت ْال ِج َّن َواإل ْن‬


‫س إِال لِيَ ْعبُ ُدون‬ ُ ‫َو َما َخلَ ْق‬
Artinya:
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka

menyembah-Ku.

Berdasarkan ayat di atas, Dalam kapasitas sebagai hamba tidak ada

perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Keduanya mempunyai potensi dan

peluang yang sama untuk menjadi hamba yang ideal. Hamba yang ideal dalam

Qur’an biasa diistilahkan sebagai orang-orang yang bertaqwa (mutaqqun), dan untuk

mencapai derajat mutaqqun ini tidak dikenal adanya perbedaan jenis kelamin, suku

bangsa atau kelompok etnis tertentu.

b. Perempuan dan Laki-laki sebagai Khalifah di Bumi

Kapasitas manusia sebagai khalifah di muka bumi (khalifahfi al a’rd)

385
Meiliami Rusli, Konsep Gender Dalam Islam, Jurnal Kajian Gender, hlm. 156
386
Nasaruddin Umar, Op.Cit, hlm.. 248-265

240
ditegaskan dalam Q.S al-An’am ayat 165:

‫ْض‬
ٍ ‫ق بَع‬ َ ‫ْض ُك ْم فَ ْو‬
َ ‫ض َو َرفَ َع بَع‬ ِ ْ‫ف األر‬ َ ِ‫َوهُ َو الَّ ِذي َج َعلَ ُك ْم َخالئ‬
‫ب َوإِنَّهُ لَ َغفُو ٌر َر ِحي ٌم‬ِ ‫ت لِيَ ْبلُ َو ُك ْم فِي َما آتَا ُك ْم إِ َّن َرب ََّك َس ِري ُع ْال ِعقَا‬
ٍ ‫َد َر َجا‬
Artinya :

Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia

meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk

mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu

amat cepat siksaan-Nya, dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha

Penyayang.

Juga di jelaskan dalam Q.S Al- Baqarah ayat 30 yang artinya:

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku


hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya
Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".

Dalam kedua ayat tersebut, kata “khalifah” (ً‫ ) َخلِيفَة‬tidak menunujuk pada

salah satu jenis kelamin tertentu, artinya baik perempuan maupun laki-laki

mempunyai fungsi yang sama sebagai khalifah, yang akan

mempertanggungjawabkan tugas-tugas kekhalifannya di bumi.

c. Perempuan dan Laki-laki Menerima Perjanjian Awal dengan Tuhan.

Perempuan dan laki-laki sama-sama mengemban amanah dan menerima

perjanjian awal dengan Tuhan, seperti dalam Q.S Al A’raf ayat 172 yakni ikrar

akan keberadaan Tuhan yang disaksikan oleh para malaikat.

‫ُور ِه ْم ُذ ِّريَّتَهُ ْم َوأَ ْشهَ َدهُ ْم َعلَى‬


ِ ‫ك ِم ْن بَنِي آ َد َم ِم ْن ظُه‬ َ ُّ‫َوإِ ْذ أَ َخ َذ َرب‬
‫ْت بِ َربِّ ُك ْم قَالُوا بَلَى َش ِه ْدنَا أَ ْن تَقُولُوا يَ ْو َم ْالقِيَا َم ِة إِنَّا‬
ُ ‫أَ ْنفُ ِس ِه ْم أَلَس‬
َ ِ‫ُكنَّا َع ْن هَ َذا َغافِل‬
‫ين‬
241
Artinya:

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
"Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami),
kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu
tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang
lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)",

Sejak awal sejarah menusia dalam Islam tidak dikenal adanya

diskriminasi jenis kelamin. Laki-laki dan perempuan sama-sama menyatakan

ikrar ketuhanan yang sama. Qur’an juga menegaskan bahwa Allah memuliakan

seluruh anak cucu adam tanpa pembedaan jenis kelamin sebagaimana dinyatakan

dalam Q.S Al-Isra’ayat 70.

‫َولَقَ ْد َك َّر ْمنَا بَنِي آ َد َم َو َح َم ْلنَاهُ ْم فِي ْالبَرِّ َو ْالبَحْ ِر َو َر َز ْقنَاهُ ْم ِم َن‬
‫ضيال‬ ٍ ِ‫ت َوفَض َّْلنَاهُ ْم َعلَى َكث‬
ِ ‫ير ِم َّم ْن َخلَ ْقنَا تَ ْف‬ ِ ‫الطَّيِّبَا‬
Artinya:
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di
daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami
lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang
telah Kami ciptakan.

d. Adam dan Hawa Terlibat secara Aktif dalam Drama Kosmis

Semua ayat yang menceritakan tentang drama kosmis, yakni cerita tentang

keadaan Adam dan Hawa di surga sampai keluar bumi, selalu menekankan

keterlibatan keduanya secara aktif, dengan penggunaan kata ganti untuk dua orang

(huma), yakni kata ganti untuk Adam dan Hawa, yang terlihat dalam beberapa

kasus sebagai berikut:

1) Kaduanya diciptakan di surga memanfaatkan fasilitas surga di nyatakan dalam

Q.S. Al-Baqarah ayat 35 yang artinya:

Dan Kami berfirman: "Hai Adam diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan

242
makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu

sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk

orang-orang yang lalim.

2) Keduanya mendapat kualitas godaan yang sama dari setan dinyatakan dalam

Q.S al-A’raf ayat 20 yang artinya:

Maka setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan

kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka yaitu auratnya dan setan berkata:

"Tuhan kamu tidak melarangmu dari mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu

berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang yang kekal (dalam surga)".

3) Sama-sama memohon ampun dan sama-sama diampuni Tuhan sebagaimana

dinyatakan dalam Q.S al-A’raf ayat 23

‫قَاال َربَّنَا ظَلَ ْمنَا أَ ْنفُ َسنَا َوإِ ْن لَ ْم تَ ْغفِرْ لَنَا َوتَرْ َح ْمنَا لَنَ ُكونَ َّن ِم َن‬
‫ين‬
َ ‫اس ِر‬ ِ ‫ْال َخ‬

Artinya:

Keduanya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan

jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya

pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi".

4) Setelah di bumi keduanya mengembangkan keturunan saling melengkapi

dan saling membutuhkan, dinyatakan dalam Q.S al-Baqarah ayat 187:

‫هُ َّن لِبَاسٌ لَ ُك ْم َوأَ ْنتُ ْم لِبَاسٌ لَه َُّن‬...


Artinya:
mereka itu (istreri) adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi

mereka.

5) Perempuan dan Laki-laki Sama-sama berpotensi meraih prestasi peluang untuk

meraih prestasi maksimum tidak ada pembedaan antara perempuan dan

243
laki-laki ditegaskan secara khusus dalam 3 (tiga) ayat, yakni: Q.S Ali Imran

ayat 195, yang artinya: "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-

orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena)

sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain”.

Q.S An-Nisa ayat 124 yang artinya: “Barang siapa yang mengerjakan amal-amal

saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka

mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikit pun” .

Q.S An- Nahl ayat 97 yang artinya: “Barang siapa yang mengerjakan amal

saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka

sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan

sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih

baik dari apa yang telah mereka kerjakan”.

Ketiganya mengisyaratkan konsep kesetaraan dan keadilan gender yang

ideal dan memberikan ketegasan bahwa prestasi individual, baik dalam bidang

spiritual maupun karir professional, tidak mesti didominasi satu jenis kelamin

saja. Yang perlu dipahami adalah Al-Qur’an tidak mengajarkan diskriminasi

antara laki-laki dengan perempuan sebagai manusia. Dihadapan Allah SWT

lelaki dan perempuan mempunyai derajat dan kedudukan yang sama. Oleh

karena itu pandangan-pandangan yang menyudutkan posisi perempuan sudah

selayaknya diubah, karena Qur’an menyerukan kepada keadilan seperti

dinyatakan dalam Q.S An-Nahl ayat 90

‫ان َوإِيتَا ِء ِذي ْالقُرْ بَى َويَ ْنهَى َع ِن ْالفَحْ َشا ِء‬ ْ
ِ ‫إِ َّن هَّللا َ يَأ ُم ُر بِ ْال َع ْد ِل َواإلحْ َس‬
َ ‫َو ْال ُم ْن َك ِر َو ْالبَ ْغ ِي يَ ِعظُ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَ َذ َّكر‬
‫ُون‬
Artinya:

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,

memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,

244
kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu

dapat mengambil pelajaran.

Menyerukan kepada keamanan dan ketentraman sebagaimana dinyatakan

dalam Q.S An-Nisa ayat 58 yang artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu

menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu)

apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan

adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.

Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.

mengutamakan kebaikan dan mencegah kejahatan dinyatakan dalam Q.S

Ali Imran ayat 104 :

َ ‫ون إِلَى ْال َخي ِْر َويَأْ ُمر‬


ِ ‫ُون ِب ْال َم ْعر‬
‫ُوف َويَ ْنهَ ْو َن‬ َ ‫َو ْلتَ ُك ْن ِم ْن ُك ْم أُ َّمةٌ يَ ْد ُع‬
َ ِ‫َع ِن ْال ُم ْن َك ِر َوأُولَئ‬
َ ‫ك هُ ُم ْال ُم ْفلِح‬
‫ُون‬
Artinya

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada

kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar;

merekalah orang-orang yang beruntung.

Ayat-ayat inilah yang dijadikan tujuan-tujuan utama dari agama sebagai

Rahmatan Lil ‘Alamin. Jika ada penafsiran yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip

keadilan dan hak azasi manusia, maka penafsiran itu harus ditinjau kembali. Dalam

pandangan Islam, manusia dalam masyarakat mempunyai kedudukan sama dan

berasal dari keturunan yang sama, yaitu Adam dan Hawa. 387 Konsep ini melahirkan

pemahaman bahawa manusia ataupun masyarakat pada hakikatnya adalah bersaudara.

Hubungan persaudaraan inilah yang membawa ke arah pemikiran bahawa setiap orang

387
Al-Qur‟an Surah an Nisa ayat 1 yang artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-
mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan
dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah
kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”

245
harus menghormati, berkasih sayang sesama saudara. Oleh karenanya, kepentingan

individu dan masyarakat mempunyai kedudukan yang seimbang. Ini berarti

secara umum keduanya baik laki-laki dan perempuan (hak dan kewajiban) mereka

diletakkan dan dibatasi oleh hak dan kewajibannya kepada Tuhan.388 Seperti

contohnya, setiap manusia memiliki kebebasan atau kemerdekaan yang penuh,

namun apabila ia bersama masyarakat, maka kemerdekaan yang dimilikinya

menjadi terbatas.

Oleh karena itu, dalam konsep Islam, setiap individu tidak boleh

memanfaatkan kemerdekaannya untuk memenuhi kepentingannya sendiri dan

menyampingkan kepentingan masyarakat. Jika hal demikian tidak diatur, maka

berlaku konflik antar kepentingan. Sebaliknya, jika kepentingan masyarakat yang

diutamakan, dan menafikan kepentingan individu, maka akibat terburuk ialah potensi

individu menjadi tidak berkembang. untuk keperluan sedemikian inilah maka konsep

keadilan perlu ditegakkan.

Konsep persamaan ini tidaklah mengenepikan wujudnya pengakuan terhadap

keunggulan seseorang, seperti prestasi yang dimilikinya, yang penting, kelebihan

tersebut tidak menyebabkan perbedaan perlakuan atau penerapan hukum pada dirinya.

tentang asas keadilan berperspektif gender maka beberapa konsep keadilan yang dikaji

hanya berkaitan dengan bidang hukum (pembuatan peraturan hukum), pendidikan dan

kesehatan.

a. Keadilan Islam dalam bidang hukum


Keadilan dalam menetapkan dan menerapkan hukuman adalah salah satu

perkara penting. Hal demikian telah dicontohkan secara peribadi oleh Rasulullah

Muhammad S.A.W. Dalam satu hadist Rasulullah SAW menyatakan:

388
Zarkowi Soejoeti, "Manusia dalam pandangan Islam", dalam Mencari Konsep Manusia
Indonesia, Sebuah Bunga Rampai, tanpa tahun, hlm. 186.

246

Sesungguhnya Allah telah membinasakan orang-orang sebelum kamu,
kerana mengambil sikap, apabila yang melakukan pencurian orang telah terkemuka
di kalangan mereka membiarkannya, sementara bila yang mencuri orang yang lemah
(biasa) mereka menegakkan hukum atas orang tersebut, dan sesungguhnya aku
demi Allah, sekiranya Fatimah binti Muhammad melakukan pencurian, niscaya
aku akan potong tangannya.”389

Melalui hadist ini, sebenarnya Rasulullah menunjukkan sikap dalam

menegakkan keadilan tanpa membedakan objeknya, meskipun hukuman tersebut

bagi keluarga beliau sendiri. Konsep persamaan kedudukan dalam hukuman ini

menunjukkan sifat al Quran yang universal, sebagaimana dikenal dengan

terminologi rahmatan lilalamin (rahmat bagi seluruh alam). Hal ini seiring dengan

konsep hukum umum tentang equality before the law‟ (persamaan di hadapan

hukum).

Atas dasar pandangan yang demikian manusia harus bekerja keras untuk

memenuhi keperluannya sendiri. Selain itu, kepentingan umum harus didahulukan

daripada kepentingan khusus, hak milik harus diperoleh dengan cara yang halal,

bukan melalui perampasan, penipuan, pencurian atau sebab-sebab lain yang tidak

dibenarkan. Bersikap kasih sayang dengan orang miskin, suka menolong dan harus

bersikap adil terhadap sesama manusia tanpa memandang itu orang lain atau

kerabat sendiri yang semua dapat menjadi ciri dalam memaknai undang-undang dan

keadilan menurut ukuran Islam

b. Keadilan Islam dalam bidang Pendidikan

Hak dan Kewajiban Menuntut Ilmu dimulai dari apresiasi al-Qur’an

terhadap ilmu pengetahuan. Ini dapat dilihat dari betapa seringnya al-Qur’an

menyebut kata ilm dengan segala derivasinya yang mencapai lebih dari 800an

kali390. Dalam ayat yang pertama kali turun dalam Q.S al-A‘laq, ayat 1-5
389
Muslim, Shahih Muslim, juz V, Dar al-Fikr, Beirut, tanpa tahun, hlm 114
390
Ali Aljufri, Kedudukan Perempuan Menurut Al Quran, jurnal Musawa,Volume 3, No. 2, 2011,
hlm.242

247
yang artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia

telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang

Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia

mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”

Dari bunyi ayat tersebut tergambar dengan jelas betapa kitab suci al-Qur’an

memberi perhatian pada perkembangan ilmu pengetahuan. Allah menurunkan

petunjuk pertama adalah terkait dengan salah satu cara untuk memperoleh ilmu

pengetahuan, yang dalam redaksi ayat menggunakan redaksi iqra. Dalam konteks

modern sekarang makna iqra dekat dengan makna reading with understanding, yang

perlu mendapat perhatian adalah apapun aktifitas iqra yang kita kerjakan, maka

syarat yang ditekankan oleh al-Qur’an adalah harus bismirabbik (dengan nama

Tuhan). Hal ini mengandung arti bahwa dengan kalimat Iqra bismirabbik, al-

Qur’an tidak sekedar memerintahkan umtuk membaca, tetapi membaca adalah

lambang segala aktifitas yang dilakukan oleh manusia baik yang sifatnya aktif

maupun pasif. Maksudnya adalah, Bacalah demi Tuhanmu, Bergeraklah demi

Tuhanmu, bekerjalah demi Tuhanmu, kalau disimpulkan ayat ini bermakna,

Jadikanlah seluruh kehidupanmu, wujudmu, dalam cara dan tujuan semuanya demi

Allah Tuhanmu.

Perintah ini juga berlaku kepada kaum perempuan yang konsekwensi

logisnya bermakna bahwa kaum prempuanpun dituntut untuk selalu berusaha

melakukan iqra dalam arti berusaha untuk selalu menuntut ilmu sesuai bidang

yang diminatinya Dalam QS Thaha ayat 114, Allah berfirman:

‫َوقُلْ َربِّ ِز ْدنِي ِع ْل ًما‬


Artinya:

dan katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan."

248
Ayat ini menunjukkan bahwa menuntut ilmu adalah salah satu bentuk

ibadah yang bernilai tinggi yang harus dilakukan oleh setiap muslim/muslimah. Al-

Qur’an juga memberikan pujian kepada ulul albab yang berzikir dan memikirkan

kejadian langit dan bumi. Mereka yanng dinamai ulul albab tidak terbatas pada

lak-laki saja tetapi juga perempuan. Ini menunjukkan bahwa kaum perempuan

dapat berfikir, mempelajari dan mengamalkan apa yang telah mereka hayati

setelah berzikir dan apa yang mereka ketahui tentang alam raya ini.

Sebagaimana ditegaskan dalam Q.S. al Baqarah ayat 269 yang artinya:

“Allah menganugrahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur'an dan

As Sunah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang dianugrahi al

hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-

orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)”.

Islam memerintahkan baik laki-laki maupun perempuan agar berilmu pengetahuan

dan tidak menjadi orang yang bodoh. Allah sangat mengecam orang- orang yang

tidak berilmu pengetahuan, baik laki-laki maupun perempuan. Sebagaimana d

sebutkan dalam surat Az Zumar ayat 9:

‫ون إِنَّ َما يَتَ َذ َّك ُر أُولُو‬ Zَ ‫ون َوالَّ ِذ‬


َ ‫ين ال يَ ْعلَ ُم‬ Zَ ‫قُلْ هَلْ يَ ْستَ ِوي الَّ ِذ‬
َ ‫ين يَ ْعلَ ُم‬
‫ب‬ ْ
ِ ‫األلبَا‬
artinya :

Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-

orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat

menerima pelajaran.

DalamQ.S. al-Jumu’ah ayat 2 juga menjelaskan: ” Dia-lah yang mengutus

kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan

ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka

249
Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar

dalam kesesatan yang nyata”.

Kewajiban menuntut ilmu juga ditegaskan nabi dalam hadis. Artinya:

menuntut ilmu itu wajib atas setiap laki-laki dan perempuan. (HR. Muslim).Prinsip

Islam yang meletakkan kesetaraan dan keadilan laki-laki dan perempuan dalam

aktivitas yang luas sebagaimana yang diisyaratkan al-Qur’an, harus ditunjang dengan

pendidikan yang memadai. Dalam hal ini pun Islam sangat menghargai pendidikan

itu sendiri.391 Sebagian tugas Nabi adalah untuk memberikan pengetahuan dan

pendidikan terhadap umatnya. Berkaitan dengan tugas kenabian tersebut yang

sebagiannya adalah mendidik, Rasulullah tidak hanya menyediakan waktunya bagi

laki-laki saja, tetapi juga secara khusus menyediakan harinya bagi para perempuan

yang ingin mendapatkan pendidikan.

Dari Abu Said, seorang perempuan datang kepada Rasulullah mengadu:

“Wahai Rasulullah, kaum laki-laki datang kepadamu untuk mendapatkan

pengajaranmu. Jadikanlah pula satu hari waktumu untuk mendidik kami”. Rasulullah

menjawab, “berkumpullah kalian pada hari tertentu dan tempat tertentu pula”. Lalu

beliau datang mengajarkan para perempuan itu apa yang sudah diajarkan Allah

kepadanya.392 Riwayat tersebut memperlihatkan betapa Rasulullah sangat

memperhatikan hak pendidikan bagi perempuan, sehingga ia langsung menyuruh

mereka berkumpul pada hari tertentu agar Rasulullah dapat mendidik mereka. Ini

mencerminkan bahwa Islam melalui sikap Rasulullah sangat menghargai hak-hak

pendidikan perempuan.
391
Banyak ayat-ayat al-Qur’an dan hadis yang memberikan penghargaan kepada ilmu dan
pemangkunya. Al-Qur’an misalnya menyatakan: “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di
antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan” (Q. al-Mujadilah: 11). Dalam hadis Nabi disebutkan bahwa siapa saja yang pergi
menuntut ilmu, maka dia telah termasuk golongan sabilillah (orang yang menegakan agama Allah) hingga ia
sampai pulang kembali (H.R. Tirmidzi)
392
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, dalam Raihain Putri, , 2012, Gender Strategi Bidang pendidikan,
TKPPA, Aceh, hlm 11

250
Studi lebih lanjut terhadap sumber-sumber Islam menunjukkan bahwa

pendidikan bagi setiap pribadi, baik laki-laki maupun perempuan tidak hanya sekedar

hak, tetapi juga kewajiban yang melekat pada setiap individu muslim. Itu sebabnya,

Nabi menyatakan bahwa: “Menuntut ilmu itu adalah kewajiban bagi setiap muslim

(laki-laki dan perempuan)”.393 Begitu kuatnya kewajiban menuntut ilmu ini, sehingga

di tempat yang terjauh sekali pun adalah kewajiban kaum muslim untuk meraihnya .

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Islam justru menumbangkan suatu sistem

sosial yang tidak adil terhadap kaum perempuan dan menggantikannya dengan

sistem yang mengandung keadilan. Islam memandang perempuan adalah sama

dengan laki-laki dari segi kemanusiannya. Islam memberi hak-hak kepada

perempuan sebagaimana yang diberikan kepada kaum laki-laki dan membebankan

kewajiban yang sama kepada keduanya.

Sejarah membuktikan bahwa banyak tokoh perempuan yang sangat

menonjol pengetahuannya dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan sehingga

menjadi rujukan dari sekian banyak tokoh laki- laki. Sejumlah nama perempuan

terekam dalam beberapa literatur sejarah sebagai perempuan terkemuka dan

terpandang karena kedalaman ilmunya. Pada masa Rasulullah Aisyah salah satu istri

beliau terkenal akan keluasan ilmunya, pada masa Khulafa Rasyidin, Ummu

Abdillah bin Zubair yang terkenal karena pengetahuannya yang komprehenship

tentang agama. Amrah binti Abdurahman misalnya sebagai seorang ahli fikih

juga salah seorang alimah yang memberikan fatwa di Madinah setelah

sahabat.

c. Keadilan Islam dalam bidang Kesehatan

Islam menetapkan tujuan pokok kehadirannya untuk memelihara agama,

393
Ibn Majah, , Ibid.

251
jiwa, akal, jasmani, harta, dan keturunan. Setidaknya tiga dari yang disebut di atas

berkaitan dengan kesehatan. Tidak heran jika ditemukan bahwa Islam amat kaya

dengan tuntunan kesehatan.  Paling tidak ada dua istilah literatur keagamaan

yang digunakan untuk menunjuk tentang pentingnya kesehatan dalam pandangan

Islam yaitu kesehatan yang berasal dari kata sehat dan afiat. Keduanya dalam

bahasa Indonesia, sering menjadi kata majemuk sehat afiat. Dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesra, kata afiat dipersamakan dengan sehat. Afiat diartikan sehat dan

kuat,sedangkan sehat (sendiri) antara lain diartikan sebagai keadaan baik

segenap badan serta bagian-bagiannya (bebas dari sakit).

Tentu pengertian kebahasaan ini berbeda dengan pengertian dalam

tinjauan ilmu kesehatan, yang memperkenalkan istilah-istilah kesehatan fisik,

kesehatan mental, dan kesehatan masyarakat.Walaupun Islam mengenal hal-hal

tersebut, namun sejak dini perlu digarisbawahi satu hal pokok berkaitan dengan

kesehatan,yaitu melalui pengertian yang dikandung oleh kata afiat. Istilah sehat dan

afiat masing-masing digunakan untuk maknayang berbeda, kendati diakui tidak

jarang hanya disebut salah satunya (secara berdiri sendiri), karena masing-masing

kata tersebut dapat mewakili makna yang dikandung oleh kata yang tidak disebut.

Pakar bahasa Al-Quran dapat memahami dari ungkapan sehat wal-afiat

bahwa kata sehat berbeda dengan kata afiat, karena wa yang berarti "dan" adalah

kata penghubung yang sekaligus menunjukkan adanya perbedaan antara yang

disebut pertama (sehat) dan yang disebut kedua (afiat), atas dasar itu, dipahami

adanya perbedaan makna di antara keduanya. Dalam literatur keagamaan, bahkan

dalam hadis-hadis Nabi Saw ditemukan sekian banyak doa, yang mengandung

permohonan afiat, di samping permohonan memperoleh sehat.

Terkait dengan masalah kesehatan bagi perempuan yang banyak

252
diperbincangkan adalah hak perempuan atas kesehatan reproduksi. Kesehatan

reproduksi didefinisikan sebagai keadaan fisik, mental, sosial yang utuh dan aman

dalam segala hal yang berkaitan dengan sistim, fungsi-fungsi dan proses reproduksi.

Pengertian kesehatan reproduksi yang demikian luas, akan membawa berbagai

persoalan yang luas pula. Ia antara lain menyangkut kesehatan alat-alat reproduksi

perempuan pra produksi (masa remaja), ketika produksi (masa hamil dan menyusui)

dan pasca produksi (masa menopouse). Persoalan-persoalan lain yang acap tertinggal

dalam kajian atasnya adalah tentang kehidupan seksual perempuan secara

memuaskan dan aman, tidak dipaksa, hak-haknya untuk mengatur kelahiran,

menentukan jumlah anak, hak-haknya untuk mendapatkan perlakuan yang baik dari

semua pihak baik dalam sektor domestik maupun publik, hak untuk mendapatkan

informasi dan pelayanan kesehatan yang benar dan lain-lain.

Istilah seksualitas sering disederhanakan pengertiannya hanya untuk hal-hal

yang mengacu pada aktivitas biologis yang berhubungan dengan organ kelamin baik

laki-laki maupun perempuan. Lebih dari sekedar soal hasrat tubuh biologis,

seksualitas adalah sebuah eksistensi manusia yang mengandung di dalamnya aspek

emosi, cinta, aktualisasi, ekspresi, perspektif dan orientasi atas tubuh yang lain.

Dalam konteks ini seksualitas merupakan ruang kebudayaan manusia untuk

mengekspresikan dirinya terhadap yang lain dengan arti yang sangat kompleks. Jadi

bicara tentang kesehatan reproduksi dan seksualitas perempuan sesungguhnya, bukan

sekedar soal tubuh perempuan, melainkan tentang eksistensi perempuan dengan

seluruh potensi yang dimilikinya.

Islam secara normatif mengapresiasi seksualitas sebagai fitrah manusia baik

laki-laki maupun perempuan yang harus dikelola dengan sebaik-baiknya dan dengan

cara yang sehat. Dalam bahasa agama seks adalah anugerah Tuhan. Hasrat seks harus

253
dipenuhi sepanjang manusia membutuhkannya. Pengekangan atasnya bisa

menimbulkan krisis psikologi dan sosial. Islam mengabsahkan hubungan seks hanya

melalui proses ritual perkawinan. Islam dengan begitu tidak membenarkan

promiskuitas (seks bebas), karena cara ini dipandang tidak bertanggungjawab.

Tentang ini, bukan hanya Islam, melainkan juga agama-agama dan tradisi-tradisi

masyarakat berketuhanan. Satu ayat al-Qur’an yang sering dikemukakan untuk

menjawab bagaimana Islam memberikan apresiasinya terhadap seksualitas adalah :

“Dan di antara bukti-bukti kemahabesaran Tuhan adalah bahwa Dia menciptakan

untuk kamu dari entitasmu sendiri pasangan, agar kamu menjadi tenteram dan Dia

menjadikan di antara kamu (relasi yang) saling mencinta dan merahmati (mengasihi).

Hal itu (seharusnya) menjadi renungan bagi orang-orang yang berpikir” (Q.S. ar-

Rum ayat 21).

Ada sejumlah tujuan yang hendak dicapai dari pernikahan ini. Pertama

sebagai cara manusia menyalurkan hasrat libidonya untuk memperoleh

kenikmatan/kepuasan seksual. Inilah yang sering disebut “rekreasi”. Kedua

merupakan ikhtiar manusia untuk melestarikan kehidupan manusia di bumi.

Pernikahan dalam arti ini mengandung fungsi “prokreasi” sekaligus reproduksi.

Ketiga, menjadi wahana manusia menemukan tempat ketenangan dan keindahannya.

Melalui perkawinan, kegelisaan dan kesusahan hati manusia mendapatkan

salurannya. Untuk pencapaian tujuan tersebut disyaratkan melalui pola relasi

kesalingan (al-tabadul). Ini disebutkan secara jelas dalam ayat.

Islam selanjutnya menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan dalam relasi

seksual mempunyai hak yang sama. Al-Qur’an menyatakan :

‫هُ َّن لِبَاسٌ لَ ُك ْم َوأَ ْنتُ ْم لِبَاسٌ لَه َُن‬


artinya :
mereka (isteri) adalah pakaian bagimu dan kamu (suami) pakaian bagi mereka

254
(Isteri).”(Q.S. al Baqarah ayat. 187).

Dalam pernikahan yang halal hubungan seks dapat dilakukan dengan cara

yang bebas. Al-Qur’an menyatakan : “Nisaukum hartsun lakum fa’tu hartsakum

anna syi’tum” (isterimu adalah bagaikan tempat persemaian bagimu, maka olahlah

persemaian itu dengan cara apapun dan bagaimanapun yang kamu kehendaki (Q.S. al

Baqarah , ayat 223). Adalah menarik bahwa Nabi Saw menganjurkan agar relasi

seksual suami isteri jangan seperti binatang. Lakukan lebih dulu “bercumbu dan

bicara manis”. Sementara Ibnu Abbas, salah seorang sahabat Nabi mengatakan :

“Aku ingin tampil menarik untuk isteriku, sebagaimana aku ingin dia juga tampil

cantik untukku”.

Uraian di atas memperlihatkan bagaimana Islam memberikan apresiasi

terhadap seksualitas secara adil dan setara antara laki dan perempuan dalam posisi

kesalingan. Sungguhpun demikian, terdapat sejumlah masalah seksualitas pada ruang

domestik yang mereduksi seksualitas perempuan dengan legitimasi teks-teks Islam.

Beberapa di antaranya tentang kewajiban isteri melayani hasrat seks suaminya, kapan

dan di mana saja dia mengingingkannya. Salah satu teks hadits menyatakan :

“apabila seorang suami menginginkan intercourse, maka layanilah, meskipun isteri

sedang berada di dapur atau di atas punggung unta”. Hadits lain bahkan

memperingatkan konsekuensi yang merugikan isteri jika dia menolak : “Jika seorang

suami menginginkan hubungan intim dan isteri menolak, maka dia (isteri) akan

dilaknat oleh para Malaikat sampai subuh”.

Sementara itu, hal yang sama tidak berlaku bagi suami, hanya karena tidak

ada sebuah haditspun yang secara eksplisit menunjukkan norma kebalikan ini.

Pemahaman yang sederhana terhadap bunyi hadits ini menimbulkan sebuah persepsi

umum bahwa Islam telah mereduksi hak seksual perempuan dan bersikap

255
diskriminatif. Dalam banyak kasus faktual, hadits tersebut dijadikan senjata bagi

suami untuk mengaktualisasikan hasrat seksualnya tanpa kompromi isterinya.

Pemahaman seperti ini tentu saja sangat simplistis dan konservatif. Ini boleh jadi

dilatarbalakangi oleh asumsi yang bias jender atau mitos belaka bahwa hasrat seksual

perempuan lebih rendah dari laki-laki. Jika benar demikian, mengapa hanya laki-laki

yang boleh Poligami padahal hasrat seksualitas antar manusia sangatlah relative.

Di pihak lain persepsi tersebut juga tidak sejalan dengan ayat al-Qur’an di

atas yang secara eksplisit menyebutkan relasi kesalingan membagi kegembiraan,

kepuasan dan tanpa kekerasan dalam bentuk apapun. Pemaksaan sepihak baik dalam

relasi seksual maupun relasi sosial tidak akan menghasilkan kejujuran dan keindahan,

malahan menghasilkan luka di hati dan di tubuh serta mengganggu kesehatan organ-

organ reproduksi dan otak (akal) intelektualnya, dan ini pada gilirannya berpotensi

melahirkan generasi yang tidak sehat dan tidak cerdas. Keerugiannya tidak hanya

dialami perempuan/ibu, melainkan juga keluarga, masyarakat dan bangsa. Padahal

konsep dasar Islam bahawa manusia di hadapan Allah SWT memiliki darajat yang

sama.

Di dalam al-Qur’an banyak dijumpai indikator yang menunjukkan

bentuk-bentuk penghargaan terhadap perempuan. Mulai dari penamaan surah

secara khusus yang bermakna perempuan yaitu surah al-Nisa’sampai dengan

larangan membuat masalah terhadap perempuan. Seluruh ide tentang

perempuan dalam Al-Quran dimaksudkan untuk menjunjung tinggi martabat

perempuan dan mempersamakan hak dan kewajibannya dengan laki-laki melalui

proses pembebasannya dari kungkungan adat dan kebudayaan serta kelembagaan

sosial Arab Jahiliyah. Proses pembebasan itu dapat dikenali dengan jelas dari

beberapa isu dalam Kitab Suci yang menyangkut pengecaman dan pengutukan

256
atas praktik- praktik Arab Jahiliyah berkenaan dengan perempuan yaitu :394:

1. Masalah wa’du al-banāt (pembunuhan bayi perempuan).

Praktik yang amat keji ini timbul pada orang orang Jahiliah karena

pandangan mereka yang amat rendah kepada kaum perempuan, sehingga lahirnya

seorang bayi perempuan dianggap akan membawa beban aib kepada keluarga.

Praktik ini dibasmi total oleh al-Qur’an. Bahkan al-Qur’an menyebut bayi

perempuan yang lahir sebagai berita gembira dari Allah. Al- Qur’an mengutuk

melalui firman dalam Q.S At Takwir ayat 8-9 berupa gambaran tentang

pertanggungan jawab yang amat besar pada hari kiamat, dan dalam Q.S An Nah

ayat 58-59, berupa gambaran dalam nada kutukan tentang sikap orang Arab

Jâhiliyah yang merasa tercela karena lahirnya anak bayi perempuan.

2. Masalah al-‘ajal .

Yaitu adat menghalangi atau melarang perempuan dari nikah setelah

talak, sengaja untuk mempersulit hidupnya. Larangan ini ada dalam Q.S Albaqarah

ayat 232, yang artinya:

“Dan jika kamu menalak perempuan, kemudian telah tiba saat (idah)
mereka, maka janganlah kamu menghalangi mereka untuk nikah dengan
(calon-calon) suami mereka jika terdapat saling suka antara mereka dengan
cara yang baik. Demikianlah dinasehatkan kepada orang dari kalangan kamu
yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan itulah yang lebih suci bagi
kamu serta lebih bersih. Allah mengetahui, dan kamu tidak mengetahui‛.

3. Masalah al-qisamah

Yaitu suatu kebiasaan buruk yang cukup aneh di kalangan orang Arab

Jahiliyah, berupa larangan kepada kaum wanita dalam keadaan tertentu untuk

meminum susu binatang seperti kambing, onta, dan lain-lain, sementara kaum pria

diperbolehkan. Penyebutan disertai pengutukan tentang kebiasaan ini ada dalam

Q.S. Al An ‘am ayat 139, yang artinya:

394
Qurash Shihab, 1996, Wawasan al-Qur’an, Mizan, Bandung, hlm.303

257
Mereka (orang Arab Jâhiliyah) berkata, ‚Apa yang ada dalam perut
ternak ini melulu hanya untuk kaum pria kita, dan terlarang untuk isteri-isteri
kita.‛ Tetapi kalau (bayi binatang itu) mati, maka mereka (laki-perempuan) sama-
sama mendapat bagian. Dia (Allah) akan mengganjar (dengan azab)
pandangan mereka itu, dan sesungguhnya Dia Maha Bijak dan Maha Tahu‛.

4. Masalah al-zhihār,

Yaitu suatu kebiasaan buruk yang juga cukup aneh pada orang Arab

Jâhiliyah, berupa pernyataan seorang lelaki kepada isterinya bahwa isterinya

itu baginya seperti punggung (zhahr) ibunya, sehingga terlarang bagi mereka

untuk melakukan hubungan suami isteri, sebagaimana terlarangnya seseorang

untuk berbuat hal itu kepada ibunya sendiri. Kutukan terhadap praktik aneh

yang menyiksa perempuan ini diceritakan dalam Q.S. al Mujadalah ayat 1-3, yang

artinya:

Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang memajukan


gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah.
Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat.Orang-orang yang menzihar istrinya di antara kamu,
(menganggap istrinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah istri mereka itu ibu mereka.
Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan
sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan yang
mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.
Orang-orang yang menzihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali
apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak
sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu,
dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan

5. Masalah al-îlā’,

Yaitu kebiasaan sumpah seorang suami untuk tidak bergaul dengan

isterinya, sebagai hukuman kepadanya. Pada orang Arab Jahiliyah sumpah

itu tanpa batas waktu tertentu, dan dapat berlangsung sampai setahun atau

dua tahun. Al-qur’an membolehkan sumpah serupa itu jika memang diperlukan,

tapi hanya sampai batas waktu empat bulan, atau talak. Sumpah tidak

bergaul dengan isteri lebih dari empat bulan tanpa menceraikannya adalah

258
tindakan penyiksaan dan perendahan derajat kaum perempuan. Larangan atas

praktik ini terdapat dalam Q.S Al Baqarah ayat 226-227 yang artinya:

Kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinya diberi tangguh empat bulan

(lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sesungguhnya

Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika mereka berazam (bertetap

hati untuk) talak, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha

Mengetahui.

Masalah-masalah tersebut merupakan sebagian dari contoh yang paling

nyata dari proses pembebasan perempuan dari kungkungan adat yang merampas

dan atau membatasi kebebasannya. Sebagaimana konsep paternalisme dalam

falsafah perlindungan, untuk menegakkan keadilan juga memerlukan campur

tangan pemerintah, ini dikarenakan memandangkan pemerintah adalah susunan

masyarakat yang terkuat dan berpengaruh bagi mengendalikan pelbagai

keadaan yang menyimpang daripada keseimbangan, kesamarataan dan

keadilan. Dalam hal inilah fungsi pemerintah bagi menegakkan keadilan dapat

dibuktikan. keterlibatan pemerintah dibutuhkan untuk mengatur dan melindungi

berbagai kepentingan, baik individu maupun masyarakat agar tidak terjadi konflik

atau pertikaian. Oleh itu, dalam perpektif Islam, pemerintah wajib menegakkan

keadilan baik dalam bentuk keadilan undang-undang, keadilan sosial ataupun

keadilan ekonomi.395 Di sinilah letaknya keuniversalan keadilan Islam, tidak ada

sekat agama, ras, suku maupun penyekat-penyekat lainnya yang dalam masa Islam

telah ditunjukkan oleh Nabi dan para sahabat penggantinya (khulafa‟ ar rasyidin).

Keadilan adalah terminologi hukum yang merupakan satu kesatuan, karena

keadilan adalah substansi hukum yang dalam pelaksanaannya harus selaras dengan
395
Mubyarto, Op.Cit hlm 21. Lihat juga Ziauddin Ahmad, 1998, al-Quran: Kemiskinan dan
Pemerataan Pendapatan, Dana Bhakti Wakaf Prima Yasa, Yogyakarta, hlm 24.

259
tujuan hukum lain yang ditetapkan dalam wahyu Tuhan. Namun keadilan menurut

perundang-undangan dipengaruhi oleh aturan formal/prosedural dan

kebiasaan- kebiasaan sosial. Dalam masalah ini, muncul kemungkinan

ketidakadilan yang sebenarnya, jika keputusan yang diambil bertentangan dengan

roh atau intisari dari hukum. Keadilan yang seiring dengan roh hukum

disebut keadilan substansif.396 Oleh karena itu, konsep apa saja, dari siapa saja

yang dapat menjamin terwujudnya maslahat kemanusiaan dalam kacamata Islam

adalah sah, dan umat Islam terikat untuk mengambilnya dan merealisasikannya.397

Sebaliknya, jika tidak mendukung maslahat (kegunaan) bahkan yang membuka

kemungkinan berlakunya mudharat (kerugian), dalam kacamata Islam adalah fasid

(rusak/tidak sah), dan umat Islam secara orang perorangan atau bersama-sama

terikat untuk mencegahnya.398

Sistem keadilan Islam yang berawal sejak turunnya wahyu Allah S.W.T.

tentang syariah Islam, telah mempunyai peruntukan yang jelas, baik yang ada dalam

al-Qur‟an atau al Hadist. Firman Allah S.W.T. dalam Q.S al- Mukmin ayat 20 yang

artinya, “Dan Allah memutuskan hukum dengan adil…” pada asasnya merupakan

asas bagi pentingnya akses kepada keadilan dalam Islam. Hal demikian

memandangkan al-Qur’anbukan sekadar memberikan panduan bagi

pengamalan Islam, namun juga telah memberikan contoh amalan tersebut. Contoh

paling utama adalah daripada Allah sendiri telah berlaku adil dan memberikan

kesempatan kepada manusia untuk mengakses kepada keadilan dengan berpandukan

sistem nilai agama yang telah ditetapkan.

396
Masdar F. Mas'udi, Meletakkan Kembali Maslahat Sebagai Acuan Syari'ah‟ Jurnal Ilmu dan
Kebudayaan Ulumul Qur'an No.3, Vol. VI Th. 1995, hlm 97.
397
Muslim, Op.Cit. hlm.32
398
Masdar F. Mas'udi, Loc.Cit.

260
Perintah bagi menghadirkan hakim dalam hubungan suami isteri yang

mengalami perselisihan merupakan satu contoh tindakan nyata bentuk akses kepada

keadilan. Perkara-perkara yang sama juga dilakukan oleh para khulafaur rasyidin

sebagai generasi penerus sejarah pemerintaha Islam. Keseluruhan contoh-contoh

tersebut menujukkan pentingnya perkara askes kepada keadilan dalam Islam. Hal ini

berarti, perkara keadilan dalam perspektif Islam bermaksud memberikan rujukan

bagi keadilan yang mesti menjadi perintah, sementara tata cara bagi mendapatkan

keadilan adalah bagian daripada ijtihad ulama, memandangkan hal sedemikian

disesuaikan dengan perkembangan keperluan manusia. Walau bagaimanapun,

dalam konsep Islam juga telah memberikan berbagai contoh saluran dan mekanisme

bagi mendapatkan akses kepada keadilan.

Islam memang mengakui adanya perbedaan (distincion) antara laki-laki

dan perempuan, tetapi bukan pembedaan (discrimination). Perbedaan tersebut

didasarkan atas kondisi fisik-biologis perempuan yang ditakdirkan berbeda

dengan laki-laki, namun perbedaan tersebut tidak dimaksudkan untuk memuliakan

yang satu dan merendahkan yang lainnya399. Ajaran Islam tidak secara skematis

membedakan faktor-faktor perbedaan laki-laki dan perempuan, tetapi lebih

memandang kedua insan tersebut secara utuh. Antara satu dengan lainnya secara

biologis dan sosio kultural saling memerlukan dan dengan demikiann antara satu

dengan yang lain masing-masing mempunyai peran. Boleh jadi dalam satu peran

dapat dilakukan oleh keduanya, seperti perkerjaan kantoran, tetapi dalam peran-

peran tertentu hanya dapat dijalankan oleh satu jenis, seperti; hamil, melahirkan,

menyusui anak, yang peran ini hanya dapat diperankan oleh wanita. Di lain pihak

ada peran-peran tertentu yang secara manusiawi lebih tepat diperankan oleh kaum

399
Nasaruddin Umar, 1999, Kodrat Perempuan dalam Islam, Jakarta, Lembaga Kajian Agama dan
Gender, hlm. 23.

261
laki-laki seperti pekerjaan yang memerlukan tenaga dan otot lebih besar.400

Dalam perspektif normativitas Islam, hubungan antara laki- laki dan

perempuan adalah setara. Tinggi rendahnya kualitas seseorang hanya terletak

pada tinggi-rendahnya kualitas pengabdian dan ketakwaannya kepada Allah swt.

Allah memberikan penghargaan yang sama dan setimpal kepada manusia

dengan tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan atas semua amal yang

dikerjakannya. Kesimpulannya, keadilan Islam adalah keadilan yang menekankan

pada aspek substansi, dan bukan perkara formalitas atau prosedur saja, yang

lebih penting dalam menilai suatu keadilan dalam Islam adalah dengan

menggunakan undang- undang yang bersumber daripada wahyu juga, namun

demikian, hal ini bukan bererti bersifat simbolik, memandangkan semua perkara

yang bersifat seimbang adalah bersumber daripada pemilik keseimbangan yaitu

Tuhan. Dengan demikian, jelas bahawa yang utama pada perspektif Islam untuk

keadilan adalah maslahat yang bersifat universal. Dalam falsafah keadilan, maslahat

universal ini dapat dipersamakan dengan keadilan sosial. Berasaskan pada pemikiran

demikian, maka dapat ditemukan hubungan antara konsep falsafah keadilan pada

umumnya dengan falsafah keadilan Islam. Titik pertemuan tersebut adalah pada

konsep keadilan sosial yang dalam Islam disebut kemaslahatan. Meskipun pada

asasnya, konsep ini juga masih dapat diperluas maknanya.

Selain itu, teori keadilan yang demikian juga menjadi landasan utama

dalam falsafah undang-undang Islam, khususnya dalam pembahasan maqasid al-

syariah yang menegaskan bahawa hukum Islam disyari'atkan untuk mewujudkan dan

memelihara maslahat umat manusia. Pemikiran demikian menggunakan pendekatan

analogi bahawa keadilan merupakan perkara utama dalam falsafah hukum Islam atau

400
Ibid.

262
maqasid shariah. Sedangkan maqasid shariah bertujuan memberikan kemaslahatan.

Berdasarkan hubungan tersebut, maka jelaslah bahawa keadilan adalah satu

bentuk utama daripada kemaslahatan.

D. Feminis Muslim dan Pemikiran untuk Keadilan dan Kesetaraan dan keadilan

Di sebagian besar belahan dunia, termasuk di negara-negara Muslim, perempuan

secara umum mengalami keterasingan, di banyak negara dewasa ini, tidak ada jaminan

kesetaraan dan keadilan antara perempuan dan laki-laki dalam bidang sosial, politik,

ekonomi, dan hukum. Di sejumlah negara, perempuan dibatasi haknya atas

kepemilikan tanah, mengelola properti, dan bisnis. Bahkan dalam melakukan

perjalanan pun, perempuan harus mendapat persetujuan suami.401 Di banyak negara

berkembang, termasuk di negara-negara Muslim, wirausaha yang dikelola

perempuan cenderung kekurangan modal, kurang memiliki akses terhadap mesin,

pupuk, informasi tambahan, dan kredit dibandingkan wirausaha yang dikelola laki-

laki402.

Berkaca dari fakta-fakta tersebut, menjadi sesuatu yang penting ketika kita

dihadapkan pada tuntutan untuk memahami persoalan perbedaan gender ini secara

401
Andik Wahyun Muqayyidin, Pemikiran Islam kontemporenr Tentang Gerakan Feminisme Islam,
Jurnal Al-Ulum Volume. 13 Nomor 2, Desember 2013, hlm. 492.
402
Sukron Kamil, et al., 2007, Syari’ah Islam dan HAM: Dampak Perda Syariah terhadap
Kebebasan Sipil, Hak-Hak Perempuan, dan Non-Muslim, Jakarta, CSRC, hlm. 38

263
proporsional, sehingga diharapkan muncul pandangan-pandangan yang lebih adil dan

manusiawi. Akan tetapi, memahamkan persoalan-persoalan gender berikut implikasinya

ke tengah-tengah masyarakat benar-benar menghadapi kesulitan yang luar biasa,

terutama ketika harus berhadapan dengan pemikiran- pemikiran keagamaan. Lebih-lebih

apabila pemikiran-pemikiran keagamaan itu disampaikan oleh kalangan yang

dipandang sebagai pemilik otoritas kebenaran. Kesulitan lebih jauh lagi adalah ketika

pemikiran-pemikiran keagamaan tersebut telah menjadi keyakinan keagamaan dan

diyakini sebagai agama itu sendiri403

Sejak hampir seabad lalu banyak di antara kaum perempuan, termasuk

perempuan muslim, yang merasakan ketimpangan dalam relasi gender. Perjuangan

menciptakan keadilan gender diwujudkan melalui gerakan feminisme. Secara garis

besar tak ada perbedaan antara feminisme Islam dengan feminisme yang berkembang

di dunia Barat, kecuali bahwa feminisme Islam berpijak pada teks-teks sakral

keagamaan404. Pengertian feminisme Islam mulai dikenal pada tahun 1990 an405,

Feminisme ini berkembang terutama di negara-negara yang mayoritas penduduknya

beragama Islam, seperti Arab, Mesir, Maroko, Malaysia, dan Indonesia

Kekhasan feminisme Islam adalah berupaya untuk membongkar sumber-sumber

permasalahan dalam ajaran Islam dan mempertanyakan penyebab munculnya

dominasi laki-laki dalam penafsiran hadis dan al-Qur’an406. Melalui perspektif feminis

berbagai macam pengetahuan normatif yang bias gender, tetapi dijadikan orientasi

kehidupan beragama, khususnya yang menyangkut relasi gender dibongkar atau

direkonstruksi dan dikembalikan kepada semangat Islam yang lebih

403
Marsudi, Bias Gender dalam Buku-Buku Tuntunan Hidup Berumah Tangga. Jurnal Istiqro’.
Vol. 07 No. 1, 2008, hlm. 68
404
Nurul Agustina, 2005, Gerakan Feminisme Islam dan Civil Society, dalam Islam, Negara dan
Civil Society: Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, Paramadina , Jakarta, hlm. 377
405
Andik, Op.Cit. hlm 503
406
Ibid, hlm. 504

264
menempatkan ideologi pembebasan perempuan dalam kerangka ideologi pembebasan

harkat manusia407. Sehingga bermuncullah tokoh-tokoh gerakan feminis Muslim,

beberapa tokoh feminis muslim antara lain: Riffat Hassan (Pakistan), Fatima Mernissi

(Mesir), Nawal Sadawi (Mesir), Amina Wadud Muhsin (Amerika), Zakiah Adam, dan

Zainah Anwar (Malaysia), Asghar Ali Engineer, serta beberapa orang Indonesia

antara lain, Siti Chamamah Soeratno, Wardah Hafidz, Lies Marcoes Natsir, Siti

Ruhaini Dzuhayatin, Zakiah Daradjat, Ratna Megawangi, Siti Musdah Mulia, Mansoer

Fakih, Masdar F. Mas’udi, Budhy Munawar Rachman, Nasaruddin Umar, K.H Husein

Muhammad.

Dengan semangat feminisme, maka muncullah berbagai gagasan dan kajian

terhadap tafsir ayat-ayat al-Qur’an dan hadis yang dilakukan para intelektual

muslim, yang dikenal dengan sebutan feminis muslim408. Munculnya gagasan dan kajian

tersebut sesuai dengan semangat teologi feminisme Islam yang menjamin keberpihakan

Islam terhadap integritas dan otoritas kemanusiaan perempuan yang terdistorsi oleh

narasi-narasi besar wacana keislaman klasik yang saat ini masih mendominasi proses

sosialisasi dan pembelajaran keislaman kontemporer409.

Seperti dikemukakan oleh Baroroh,410 bahwa ada dua fokus perhatian pada

feminis muslim dalam memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender. Pertama,

ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam struktur sosial masyarakat

muslim tidak berakar pada ajaran Islam yang eksis, tetapi pada pemahaman yang bias

laki-laki yang selanjutnya terkristalkan dan diyakini sebagai ajaran Islam yang baku.

Kedua, dalam rangka bertujuan mencapai kesetaraan dan keadilan perlu pengkajian
407
Siti Ruhaini Dzuhayatin, dkk. 2002, Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender
dalam Islam, Pustaka Pelajar Yogyakarta, hlm. 22.
408
Wiyatmi, Konstruksi Gender dalam Novel Geni Jora Karya Abidah El- Khalieqy, Jurnal
Humaniora, Vol. 22 No. 2. 2010, hlm. 200.
409
Siti Ruhaini Dzuhayatin, dkk. Op.Cit., hlm 22.
410
Umul Baroroh, 2002, Feminisme dan Feminis Muslim, dalam Pemahaman Islam dan
Tantangan Keadilan Gender, Gama Media, Yogyakarta hlm. 201.

265
kembali terhadap sumber-sumber ajaran Islam yang berhubungan dengan relasi gender

dengan bertolak dari prinsip dasar ajaran, yakni keadilan dan kesamaan derajat.

Salah satu karya yang cukup jernih membicarakan kedudukan perempuan dalam

pandangan al-Qur’an ditulis oleh salah seorang pemikir feminis kelahiran Malaysia,

Amina Wadud Muhsin, yang sekarang ia tinggal di Amerika Serikat menjabat salah

satu Guru Besar di Departemen Filsafat dan Studi Agama pada Universitas

Commenwelth di Virginia. Salah satu tulisannya yang kemudian dijadikan sebagai

bahan kajian terhadap pemikiran feminismenya adalah Qur’an and Woman (1992).

Amina wadud pernah membuat geger para ulama dunia, termasuk Syeikh Yusuf al-

Qardawi, ketika ia menjadi khatib dan imam shalat Jum’at di New York City tanggal

18 Maret 2005. Juga terbit buku Amina yang berjudul Inside the Gender Jihad:

Women’s Reform in Islam tahun 2006. Dalam bukunya Qur’an and Woman, Amina

mengawali pembahasannya dengan mengritik penafsiran-penafsiran yang selama ini

ada mengenai perempuan dalam Islam. Ia membagi penafsiran tersebut ke dalam

tiga corak yaitu tradisional, reaktif dan holistik.

Pertama, tafsir tradisional, menurut Amina Wadud, tafsir ini menggunakan

pokok bahasan tertentu sesuai dengan minat dan kemampuan mufassirnya, seperti

hukum (fiqh), nahwu, sharaf, sejarah, tasawuf dan lain sebagainya. Model tafsir ini

lebih bersifat atomistik. Artinya, penafsiran itu dilakukan atas ayat per ayat dan

tidak tematik sehingga pembahasannya terkesan parsial, di samping tidak ada upaya

untuk mendiskusikan tema-tema tertentu menurut al-Qur’an itu sendiri. Mungkin ada

sedikit pembahasan mengenai hubungan antar ayat, namun dilakukan tanpa

menggunakan antara ide, struktur sintaksis atau tema yang serupa, sehingga sang

pembaca gagal menangkap maksud sebenarnya dari kandungan al-Qur’an. Lebih

lanjut, menurut Amina Wadud, tafsir model tradisional terkesan eksklusif, ditulis

266
hanya oleh kaum laki- laki, sehingga hanya kesadaran dan pengalaman kaum laki-laki

yang diakomodasikan di dalamnya. Padahal, pengalaman, visi dan perspektif kaum

perempuan mestinya masuk pula di dalamnya sehingga tidak terjadi bias patriarki yang

bisa memicu ketidakadilan gender. Disadari atau tidak, seseorang sering menggunakan

agama untuk mengabsahkan perilaku dan tindakannya.411

Kedua, corak tafsir reaktif yaitu tafsir yang berisi reaksi para pemikir modern

terhadap sejumlah hambatan yang dialami perempuan yang dianggap berasal dari al-

Qur’an. Persoalan yang dibahas dan metode yang digunakan sering berasal dari

gagasan kaum feminis dan rasionalis, namun tanpa disertai analisis yang

komprehensif terhadap ayat-ayat yang bersangkutan. Akibatnya, meski semangat yang

dibawanya adalah pembebasan (liberation) namun tidak terlibat hubungannya dengan

sumber ideologi dan teologi Islam, yakni al- Qur’an412

Ketiga, tafsir holistik yaitu tafsir yang menggunakan seluruh metode penafsiran

dan mengaitkan dengan pelbagai persoalan sosial, moral, ekonomi, politik, termasuk

isu-isu perempuan yang muncul pada era modern. Amina Wadud masuk dalam

kategori ini. Model ini mirip dengan yang ditawarkan Fazlur Rahman dan al- Farmawi.

Fazlur Rahman berpendapat bahwa ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan dalam

waktu tertentu dalam sejarah dengan keadaan umum dan khusus yang menyertainya

menggunakan ungkapan yang relatif sesuai dengan situasi yang mengelilinginya.

Karenanya, ia tidak dapat direduksi atau dibatasi oleh situasi historis pada saat

diwahyukan. Dengan semboyan seperti yang disampaikan Fazlur Rahman, Wadud

berpendapat bahwa dalam usaha memelihara relevansi al-Qur’an harus terus

ditafsirkan ulang. Ide ini senada dengan pernyataan Syahrur dalam bukunya al-Kitab

wal Qur’an Qira’ah Mu’asirah. Sikap tersebut merupakan konsekuensi logis dari
411
Amina Wadud Muhsin, 1994, Qur’an and Woman, Fajar Bakti Sdn bhd , Kuala Lumpur:,
hlm. 1-2
412
Ibid, hlm. 3

267
diktum yang menyatakan bahwa al-Qur’an itu salih li kulli zaman wa makan. Oleh

karena itu, hasil penafsiran al-Qur’an harus selalu terbuka untuk dikritisi setiap

saat413.

Pembahasan Wadud mengenai kedudukan perempuan dalam buku tersebut

cukup ringkas dan terkesan simpel, namun, dalam buku tersebut ia menonjolkan

semangat egalitarianisme. Ia tidak menganggap matriarkisme adalah alternatif bagi

patriarkisme yang selama ini dituding sebagai penyebab subordinasi perempuan. Ia

menginginkan suatu keadilan dan kerja sama antara kedua jenis kelamin tidak hanya

pada tataran makro (negara, masyarakat), tetapi juga sampai ke tingkat mikro

(keluarga).

Tokoh feminis muslim berikutnya adalah Fatima Mernissi. Dia lahir di

sebuah harem di kota Fez, Maroko bagian utara pada tahun 1940, dari

keluarga k e l a s menengah. Mernissi lahir dalam lingkungan harem, dan menghadapi

dua kultur keluarga yang berbeda, yaitu lingkungan keluarga ayahnya di kota Fez,

harem disimbolkan dengan dinding-dinding yang tinggi Sementara dari keluarga

ibunya, yaitu rumah neneknya Lalla Yasmina, yang berada jauh dari perkotaan,

harem diwujudkan dalam bentuk rumah yang dikelilingi oleh kebun yang luas. Di

rumah neneknya ini, Mernissi mendapat pengalaman berharga tentang kesetaraan dan

keadilan sesama manusia414., arti keterkungkungan dalam harem, serta hubungan sebab

akibat antara kekalahan politik yang dialami kaum muslim dengan keterpurukan yang

dialami perempuan

Mernissi mempunyai kemauan yang kuat untuk mengetahui doktrin agama

berkenaan dengan relasi antara laki-laki dan perempuan. Kegelisahan

413
Abdul Mustakim, 2003, Amina Wadud: Menuju Keadilan Gender, dalam Pemikiran Islam
kontemporer, Jendela, Yogyakarta , hlm 68-70.
414
Amal Rassam, 1995, Fatima Mernissi, dalam The Oxford Encyclopedia of Modern Islamic
World, Oxford University , Oxford, hlm. 93

268
intelektualnya dimulai sejak kecil, baik dalam keluarga maupun dalam pendidikan

sekolah al-Qur’an, sampai pendidikan tingkat doktoralnya. Perhatiannya yang besar

dalam kaitannya dengan pola hubungan laki-laki dan perempuan, serta dominasi laki-

laki dalam sistem masyarakat yang patriarkhi415., dapat terlihat dari karya-karya yang

telah ditulisnya.

Di antara karya-karyanya, yaitu Beyond the Veil Male-Female Dynamics in

Modern Muslim Society (1975), The Veil and the Male Elite (1987), Equal before Allah

(1987), Doing Daily Battle (1989), Woman in Islam: In Historical an Theological

Enquairy (1991), Islam and Democracy: Fear of the Modern World (1992), The

Forgotten Queens of Islam (1993), Dreams of Trespass Toles of a Harem Gildhood

(1994). Berdasarkan karya-karya ini, nampaknya Mernissi berusaha menuangkan

kegelisahan batinnya berkenaan dengan pola hubungan antara laki-laki dan

perempuan416

Mernissi menggugat penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an seperti dalam surat

al-Ahzab ayat 53, yang oleh para ulama dijadikan dasar lembaga hijab. Berdasarkan

pemahaman ini terjadi pemisahan bahwa hanya laki-laki yang boleh memasuki sektor

publik. Sedangkan perempuan hanya berperan domestik. Menurut Mernissi penafsiran

semacam ini harus dibongkar dengan mengembalikan makna berdasarkan konteks

historisnya.

Begitu juga penafsiran hadits yang berkenaan dengan kepemimpinan

perempuan, atau sering disebut dengan hadits misoginis, yang menurutnya rangkaian

sanadnya, seperti Abu Bakrah harus diteliti latar belakang kehidupannya. Di samping

itu, kecurigaannya terhadap tindakan diskriminatif Abu Hurairah terhadap perempuan,

415
Nurul Agustina, 1999, Melacak Akar Pemberontak Fatima Mernissi, dalam Fatima Mernissi,
Dreams of Trespas; Tales of Harem Girlhood, terjemahan oleh Ahmad Baiquni, Mizan, Bandung hlm.
xiv
416
Nur Mukhlish Zakariya, Kegelisahan Intelektual Seorang Feminis (Telaah Pemikiran
Fatima Mernissi Tentang Hermeneutika Hadits), Jurnal KARSA, Vol. 19 No. 2. 2011, hlm.125.

269
juga harus diteliti kembali. Dengan menganalisis proses penafsiran ala Mernissi, maka

nampak jelas metode yang digunakan adalah historis-sosiologis terhadap al-Qur’an,

dengan menggunakan analisis hermeneutik, atau lebih tepatnya disebut dengan

pendekatan hermeneutik hadits. Pengertian yang demikian ini didasarkan atas usahanya

yang keras untuk membongkar hadits-hadits yang bernuansa misoginis417. Mernissi

mengatakan bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan itu setara. Kesetaraan dan

keadilan antara laki-laki dan perempuan itu didasarkan atas nash. Dia menceritakan

protesnya Ummu Salamah kepada Rasulullah, yang mengatakan: “Mengapa hanya

pria yang disebutkan dalam al-Qur’an, yang kemudian turunlah ayat yang berkaitan

dengan kesetaraan dan keadilan seperti dalam Q.S Al-Ahzabayat 35, merupakan bukti

bahwa konsep kesetaraan dan keadilan tersebut telah tersurat.

Berdasarkan pendekatan historis-sosiologis yang digunakan oleh Mernissi, yang

tentu saja sesuai dengan latar belakang pendidikannya, serta analisis hermeneutiknya,

nampaknya dekonstruksi penafsiran terhadap teks, merupakan hal yang penting untuk

merekonstruksi kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Mernissi melihat

bahwa dominasi laki-laki dalam masyarakat yang mempunyai sistem patriarkhi,

sebenarnya bukanlah dibakukan oleh nash atau teks-teks agama. Akan tetapi, semuanya

itu terbentuk oleh sebuah konstruksi sosial yang didasarkan atas kepentingan laki-

laki. Akhirnya, konstruksi sosial yang sedemikian kuatnya, menjadikan struktur sosial

tersebut mewujud dalam bentuk masyarakat patriarkhi, yang didukung pula oleh produk

pemikiran para ulama418.

Sebenarnya Dalam konteks universal, perempuan dan laki-laki dituntut memiliki

peran sosial, budaya, negara yang sama. Demikian juga halnya dalam Islam tidak hanya

menuntut kaum laki-laki saja yang melakukan perubahan dan tanggung jawab sosial,

417
Ibid, hlm.127
418
Ibid, hlm.130

270
ekonomi, politik dan kenegaraan, kaum perempuan juga dituntut berpartisipasi.

Sebagaimana firman Allah dalam surat at-Taubah dan al-Isra: “Orang- Orang yang

percaya kepada Tuhan yang Maha Esa, laki-laki dan perempuan saling membantu

dalam kerja-kerja mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran” (Q.S. At-

Taubah ayat 7. Demikina juga halnya dalam surat al-Isra‟: “Dan Sesungguhnya telah

Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkat mereka di daratan dan lautan, Kami

beri mereka rizki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dari kelebihan yang

sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan” (Q.S. Al Isra ayat 70).

Konsep gender dalam Al-Qur‟an secara akademis tidak dapat disangkal, tetapi

pada tataran aplikasi mungkin terjadi diskursus pemikiran, tafsir atau takwil. Terlebih

pada lapangan hukum Islam atau fiqh, dimana pengakuan kesetaraan dan keadilan

gender mengalami pasang surut sesuai dengan evolusi dan kontinuitas fiqh. Di

kalangan pemerhati gender bahwa fiqh klasik berpandangan terjadi bias interpretation

terhadap nash-nash (al-Qur’andan Hadis) yang berbicara tentang perempuan. Para

mujtahid masih memposisikan perempuan pada garis marjinal, seperti pesan al-Qur‟an

tentang kesetaraan dan keadilan gender tidak bisa diterima dalam konteks kesetaraan

dan keadilan dibidang hukum, misalnya masih ada larangan pemimpin Islam dari

kalangan perempuan, saksi di muka pengadilan, menjadi hakim, dan pembagian waris.

Hanya Abu Hanifah (700-767M) yang membolehkan perempuan menjadi

hakim dalam menangani perkara-perkara perdata dan perkara lain yang menyangkut

harta. Demikian juga al-Thabariy (839-923 M) lebih longgar yang mengizinkan

perempuan menjadi hakim dalam segala perkara. Meskipun dikatakan bahwa pada

umumnya pakar hukum Islam era klasik tidak memberi peluang kepada kaum

perempuan untuk berperan aktif dalam mengatur masyarakat atau dalam kancah

politik, tetapi tidak menutup kemungkinan ide semacam itu juga masih dijumpai dalam

271
masyarakat kontemporer. Diantara ulama kontemporer yang tidak membolehkan

perempuan diangkat sebagai pemimpin adalah Muhammad Abduh (1849-1905)419.

Banyak kalangan menilai kitab-kitab fiqh klasik secara general memberikan

keterbatasan peran perempuan sebagai istri dan perempuan karier, kewajiban

melayani suami, berpergian dengan izin suami, membatasi ruang perempuan untuk

meraih pendidikan, dan karir yang lebih baik. Dalam hal ini kritik bias gender lebih

nampak ketika membahas perempuan melalui kitab-kitab fiqh klasik. Apabila dicermati

kitab-kitab fiqh memang lebih maskulin, seolah-olah lebih berpihak kepada kaum laki-

laki dan secara khusus tidak akan ditemukan bab-bab yang membahas tentang

perempuan Apabila dicermati kitab-kitab fiqh memang lebih maskulin, seolah-olah

lebih berpihak kepada kaum laki-laki dan secara khusus tidak akan ditemukan bab-bab

yang membahas tentang perempuan420. Dalam wacana kritik hukum Islam terdapat

tiga golongan pandangan gender, perspektif hukum Islam, diantaranya aliran

konservatif, liberal dan aliran kolaborasi421, Golongan konservatif memandang hukum

Islam memberikan ruang yang terbatas bagi perempuan, pandangan ini berangkat dari

pemikiran perempuan adalah makhluk yang lemah dan berotot kurang kuat, sehingga

harus dilindungi pada segala segi kehidupan, atas pandangan inilah laki-laki lebih

superior dari perempuan422, Pandangan liberal lebih bermuatan counter discourse

terhadap fiqh atau hukum Islam, yang menuntut persamaan hak laki-laki dan perempuan

sama secara mutlak. Sekitar tahun 1960-an dan 1970-an, kebanyakan dari feminisme

dan teori feminis telah disusun dan difokuskan pada permasalahan yang dihadapi oleh

perempuan-perempuan barat, ras kulit putih dan kelas menengah. Kemudian

419
Hulwati, Memahami kesetaraan Gender Dalam Fiqh, Jurnal Ilmiah Kajian Gender, Volume V,
No. I, 2015, hlm. 26
420
Ibid.
421
Rahim Afandi Abdul dan Mohd Anwar Ramli, Tanpa tahun, Pemikiran Teologi Islam di
Malaysia; satu Analisis: UPSI. hlm. 84.
422
Jajat Buharnudin, Oman Fathurahman, 2004, Tentang Perempuan Islam, Wacana dan Gerakan,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm.184

272
permasalahan-permasalahan tersebut diklaim sebagai persoalan universal mewakili

seluruh perempuan. Sejak itu, banyak teori-teori feminis yang menantang asumsi bahwa

"perempuan" merupakan kelompok individu-individu yang serba sama dengan

kepentingan yang serupa. Para aktivis feminis muncul dari beragam komunitas dan

teori-teorinya mulai merambah kepada lintas gender dengan berbagai identitas sosial

lainnya, seperti ras dan kelas (kasta).

Banyak kalangan feminis saat ini berargumen bahwa feminisme adalah gerakan

yang muncul dari lapisan bawah yang berusaha melampaui batasan-batasan yang

didasarkan pada kelas sosial, ras, budaya dan agama, yang secara kultural dikhususkan

dan berbicara tentang isu-isu yang relevan dengan perempuan dalam sebuah

masyarakat423. Kaum liberalis memandang hukum Islam telah melakukan kesalahan

epistimologi, sehingga bias gender kaum liberalis lebih menuntut rekontruksi fiqh dan

re-interpretasi termasuk metode ijtihad fiqh yang dipandang lebih berorientasi kepada

historical. Bahkan kelompok fiqh liberal yang bercorak progresif menafikan teori ushul

fiqh yang dibangun oleh imam Syafi‟iy dan imam Hanafi sebagai pelopor metode

penemuan fiqh yang komprehensif. Pendekatan hermeneutik, antropologi, sosiologi,

filsafat sains dan tekhnologi lebih relevan menjawab persoalan gender.

Kaum kolaboratif mungkin lebih arif memandang bias gender dalam wacana

hukum Islam, teori kolaboratif bukan jalan tengah dari teori konservatif dan liberal,

tetapi lebih berfikir bahwa fiqh dan metodenya yang dibentuk oleh ulama klasik

merupakan awal diletakannya ilmu fiqh dan ushul fiqh secara konprehensif, deduksi

induksi, dan bermuatan sebuah sistem yang lengkap dalam disiplin penemuan hukum

Islam (fiqh), seperti halnya ilmu hukum modern mengalami evolusi hingga membentuk

disiplin ilmu hukum yang signifikan. Fiqhpun begitu mengalami evolusi melalui

tahapan- tahapan yang dikenal dengan Tasyri Islami. Bagaimanapun pada konteks awal
423
Hulwati, Op.Cit, hlm. 27

273
fiqh harus dipahami sebagai ilmu yang baru meletakan asas-asas fiqh yang bersifat

umum dan mendasar, kemudian fiqh terus berkembang hingga pada konteks modern

atau kontemporer, dimana fiqh telah mengembangkan teori ushul fiqh dengan teori-teori

kontemporer yaitu pendekatan sains dan teknologi.

Terlebih pada awal abad ke 20 munculnya pemikir Islam yang mengadopsi

pemikiran kaum feminisme barat menolak konsepsi fiqh klasik atau fiqh modern yang

masih streotype dan tidak melakukan reinterprestasi fiqh yang lebih simpati kepada

Gender. Feminisme dalam bahasa sederhana adalah tidak hanya menyangkut persoalan

perempuan ataupun sekedar menambahkan perempuan kedalam konstruksi laki-laki

(male construction), melainkan menyangkut pandangan kita terhadap politik global

dalam melihat isu gender dan perempuan dan bagaimana hal ini menunjukkan serta

bagaimana dunia mengupayakannya. Asumsi dasar kaum feminis, menurut Steans424,

adalah:

a. Kaum feminis tidak menganggap human nature sebagai hal yang

immutable atau abadi; percaya bahwa manusia adalah makhluk rasional,

tetapi juga bahwa kapasitas manusia berkembang melalui proses

pendidikan dan menganggap human nature sebagai yang dibedakan atau

konstruksi sosial.

b. Dari perspektif feminis, kita tidak dapat membuat perbedaan yang jelas

antara fakta dan nilai.

c. Ada hubungan erat antara knowledge dan power.

d. Memiliki tujuan emansipasi dan pembebasan perempuan.

Lebih lanjut, feminisme berargumen bahwa perempuan harus dimasukkan

dalam bidang kehidupan publik yang sebelumnya menolak adanya perempuan

Sehubungan dengan itu, Asghar Ali Engineer, Fatima Mernissi dan Amina Wadud,
424
Stean, dalam Hulwati, Ibid. hlm.29

274
pemikir Islam modern ini berpandangan perempuan dalam Islam memiliki posisi

yang sejajar dengan kaum laki-laki. Eksistensinya sama sebagai hamba Allah yang

memiliki proses reproduksi kemanusiaan yang sama, bahkan Al-Qur‟an baik laki-

laki dan perempuan memiliki tugas sama yaitu sebagai khalifah di muka bumi dan

sebagai penguasa atau pemimpin. Karena itu laki-laki dan perempuan memiliki superior

yang sama. Perbedaannya hanya terjadi pada hal kodrati yang dimiliki oleh kaum

perempuan dan laki- laki, sepeti melahirkan bagi perempuan, berotot kuat bagi kaum

laki- laki tetapi aspek kodrati bukan menunjukan berbeda segala hal, perbedaannya

hanya terjadi pada fungsional biologis fisik saja tidak kepada eksistensi, posisi, dan

martabat.

Asghar Ali dan Fatima Mernissi sepakat mengkritik fiqh klasik yang dinilai

diskriminatif, dan memberikan alternatif rekonstruksi sebagai landasan Islamic judicial

dalam berkeadilan gender dan kehidupan modern. Di Indonesia diskursus tentang

feminisme dan Islam relatif dimulai sekitar akhir tahun 1980-an tentang tulisan

Riffaat Hasan dalam jurnal “Sejajar di hadapan Allah”, masih di sekitar tahun

1990an khazanah pemikiran feminisme Islam menjadi marak dengan terbitnya

terjemahan buku-buku karya Fatima Mernissi “Perempuan dalam Islam”, Amina

Wahdud Mushin dengan bukunya “Perempuan di dalam Al-Qur‟an”, karya Asghar Ali

Engineer yang berjudul “Perempuan dalam Islam” dan karya Mazhar ul-Haq Khan

“Perempuan Islam Korban Patologi Sosial dan sebagainya. Mailoa Marantika, dengan

bukunya Menjadi Muslim apa Maknanya, berisi gugatan Raffat Hassan dan Fatimah

Mernissi atas kesahihan hadis misogini425.

Para feminis muslim dalam memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender

lebih memfokuskan pada dua hal penting. Pertama, ketidaksetaraan antara laki-laki dan

425
Herbert Scurman, tanpa tahun, Agama dalam Dialog, Pencerahan, Peramalan, dan Petunjuk
Masa Depan, Gunung Agung , Jakarta, hlm.443.

275
perempuan dalam struktur sosial masyarakat muslim tidak berakar pada ajaran Islam

yang eksis, tetapi pada pemahaman yang bias laki-laki yang selanjutnya terkristalkan

dan diyakini sebagai ajaran Islam yang baku, dan kedua, dalam rangka bertujuan

mencapai kesetaraan dan keadilan perlu pengkajian kembali terhadap sumber-sumber

ajaran Islam yang berhubungan dengan relasi gender dengan bertolak dari prinsip

dasar ajaran, yakni keadilan dan kesamaan derajat.

Apa yang diagendakan oleh kaum feminis Islam yang memiliki sudut pandang

fiqh patriarhki sebagai sumber dari kebencian dan penindasan bagi kaum perempuan

dalam wilayah fiqh juga sangat lemah426. Yang menjadi dalil kaum feminis adalah

ketidakadilan, tanggung jawab perempuan dan laki-laki dalam rumah tangga, terasa

laki-laki lebih superior dari kaum perempuan. Pandangan seperti ini justru bagi kaum

feminis sudah menempatkan pendapat fiqh sesuatu yang final. Kemajuan yang dicapai

perempuan pada masa sekarang secara nyata menolak mutlaknya superioritas laki-laki.

Sebab Fiqh harus dipandang sebagai pendapat sosiologis dan kontekstual. Posisi

perempuan berada di bawah kendali laki-laki bukan hal yang salah apabila secara

sosiologis menghendaki demikian. Nabi Muhammad saw. ketika menikah dengan Siti

Khadijah secara sosiologis dan phsikologis berimbang, Siti Khadijah mengendalikan

perekonomian keluarga dan memberikan saran-saran kepada Nabi Muhammad saw.

dalam menjalankan kerasulannya. Begitu juga kepada Siti Aisyah berperan dalam

membantu nabi dalam wilayah politik, perseteruan kaum muslim dan kaum non muslim.

Apabila memahami fiqh sebagai ijtihad tidak lepas dari kepentingan sosiologis.

Ketika fiqh diciptakan maka fiqh bukan hal yang stagnan, tetapi wilayah yang

berkembang, relatifitas dalam fiqh tetap berlaku. Artinya, bahwa fiqh dapat berubah

berdasarkan waktu, zaman, psikologis, tempat, budaya, bahkan perkembangan sains


426
Budhy Munawar Rachman, tanpa tahun, Islam Pluralis Wacana Kesetaraan Kaum Beriman,
Paramadina. Jakarta, hlm.394.

276
dan teknologi. Sebagaimana dipaparkan dalam qaedah fiqh: “Berubah dan berbedanya

fatwa sesuai dengan perubahan tempat, masa, perubahan sosial, niat dan adat kebiasaan.

Karena itu pemahaman fiqh dengan paradigma seperti ini bukan terbatas pada hubungan

laki-laki perempuan dalam ruang domestik (suami-isteri), tetapi juga berlaku untuk

semua masalah hubungan kemanusiaan yang lebih luas atau persoalan partikular lainnya

yang terkait dengan dinamika sosial dan budaya427.

Rekontruksi gender dalam fiqh justru hanya sebagai ungkapan progresif, tidak

bernuasa paradigma fiqh yang kokoh dan tercabut dari bangunan yang dirintis menjadi

suatu teori metodologi hukum Islam. Hanya saja harus dipahami sebagai kontinuitas

fiqh dan ushul fiqh yang tidak tercabut dari akar sejarahnya. Ushul fiqh pada masa

kontemporer menurut Amir Syarifuddin, sedang melakukan relasi dialektika antara

teori-teori ushul fiqh dengan obyek yang sifatnya baru, sebagai alat reproduksi dapat

saja terjadi benturan material teori dan obyek masalah, maka opsi yang terbentuk dari

ushul fiqh melakukan proses pembaharuan, dan terjadi senyawa yang menemukan

bentuk pengembangan, inovasi, dan kreativitas teori sehingga mampu memberikan

solusi terhadap permasalahan yang muncul saat ini428. Proses inovasi dan kreativitas

ushul fiqh inilah merupakan kerja rekonstruksi ushul fiqh, begitu juga yang terjadi

dengan bias gender.

Teori kontinuitas fiqh sangat terlihat pada persoalan gender melihat metodologi

yang dibangun oleh Yusuf al-Qardhawi, perubahan ijtihad bias gender dalam

konteks fiqh kontemporer. Dalam pembentukannya memiliki dua bentuk perubahan

metodologi. Pertama dengan jalan ijtihad intiqa‟i atau bermazhab, kedua dengan
429
jalan ijtihad insya‟i (ijtihad kreatif) . Ijtihad kreatif untuk masalah-masalah
427
Husein Muhammad, 2001, Fiqh Perempuan Refleksi Kiai atas Wacana agama dan Gender
PT LKIS Pelangi Aksara, Yogyakarta, hlm. 22
428
Amir Syarifuddin, 2005, Meretas Kebekuan Ijtihad Isu-isu Penting Hukum Islam Kontemporer
di Indonesia, Ciputat Press, Jakarta, hlm.4
429
Yusuf Al-Qardhawi, 1995, Ijtihad Kontemporer Kode Etik dan Berbagai Penyimpangan,

277
kontemporer termasuk bias gender oleh Amir Mu‟allim dibagi kepada tiga wilayah

ijtihad kontemporer yaitu Bayani, Qiyasy dan istishlahy430. Secara umum isu-isu gender

bernuansa kontemporer di kembangkan untuk menggali fiqh baru dengan melibatkan

ushul fiqh dengan pendekatan studi Islam dan sains teknologi sebagai metodologi

ijtihadnya. Ilmu Ushul fiqh dapat dibedakan menjadi dua bagian besar, yaitu

metode literal (tariqh lafziyah), dan metode argumentasi431.

Sebenarnya pendapat bias gender dalam fiqh merupakan pendapat yang

memandang fiqh sesuatu yang final, dalam pemetaan hukum Islam, fiqh

merupakan produk ijtihad yang dinamis . Fiqh dapat berkembang dan melakukan

perubahan berdasarkan zaman, waktu, tempat, sosiologis, budaya dan perkembangan

ilmu pengetahuan tekhnologi, sehingga tidak perlu upaya rekonstruksi fiqh karena fiqh

dan ushul fiqh telah melakukan relasi dialogis komunikatif integratif terhadap

persolan baru yang berkembang, padahal klaim bias gender hanya terjadi pada furuiyah

yang kebetulan saat ini bersentuhan dengan persoalan perempuan.

E. Otonomi Khusus dan Penerapan Syariat Islam Di Aceh

Aceh merupakan salah satu daerah provinsi di Indonesia yang mempunyai

status otonomi khusus pada tahun 2001 melalui UU No. 18 Tahun 2001 tentang

Otonomi Khusus bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Bersama Papua, Aceh

merupakan kawasan yang paling bergejolak dengan potensi kepada disintegrasi dari

Republik Indonesia. Sejak awal kemerdekaan, Aceh menghendaki menjadi kawasan

dengan perlakuan khusus. Kehendak ini diperjuangkan dengan sejumlah alasan penting.

Risalah Gusti, Surabaya, hlm.95


430
Amir Mu‟alim dan Yusdani. 2002, Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer. UII Press ,
Yogyakarta:, hlm. 73
431
Mukti Ali, 1998, Ijtihad dalam pandangan Muhammad Abduh, Ahmad Dahlan dan Muhammad
Iqbal, Bulan Bintang Jakarta:, hlm. 97

278
Dari sejumlah alasan yang berkembang, alasan yang paling kuat adalah alasan

kesejarahan.

Setelah Indonesia Merdeka Aceh mengalami beberapa kali perubahan status.

Di awal kemerdekaan, Aceh merupakan salah satu karesidenan dalam Provinsi

Sumatera. Gubernur Sumatera pada waktu itu juga dipegang oleh orang Aceh bernama

Mr. Tengku Mohamad Hasan. Pada tanggal 5 April 1948, melalui UU No. 10 Tahun

1948, Karesidenan Aceh berada di bawah Provinsi Sumatera Utara, bersama-sama

Karesidenan Sumatera Timur dan Keresidenan Tapanuli Selatan. Pada tanggal 17

Desember 1949, melalui Peraturan Perdana Menteri Pengganti Peraturan Pemerintah

No. 8/Des/WKPM/1949, Aceh dinyatakan sebagai provinsi yang berdiri sendiri,

lepas dari Provinsi Sumatera Utara. Namun, setelah Republik Indonesia kembali ke

negara kesatuan, melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 5 Tahun

1950, Provinsi Aceh kembali ditetapkan menjadi salah satu karesidenan dalam Provinsi

Sumatera Utara. Kebijakan ini menimbulkan gejolak politik yang menyebabkan

terganggunya stabilitas keamanan, ketertiban, dan ketenteraman masyarakat. Guna

memenuhi aspirasi dan tuntutan rakyat Aceh, pemerintah mengubah kembali status

Keresidenan Aceh menjadi daerah otonom Provinsi Aceh. Kebijakan tersebut tertuang

dalam UU No. 24 Tahun 1956 tentang “Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Atjeh

dan Perubahan Peraturan Pembentukan Provinsi Sumatera Utara yang ditetapkan

Presiden Soekarno tanggal 29 Nopember 1956432.

Salah satu faktor yang menentukan dalam menuntaskan penyelesaian masalah

keamanan Aceh adalah setelah Pemerintah Pusat, melalui Perdana Menteri Hardi, pada

tahun 1959, mengirimkan satu misi khusus yang dikenal dengan nama Misi Hardi. Misi

ini menghasilkan pemberian status Daerah Istimewa kepada Provinsi Aceh melalui
432
Kemitraan, 2008, Kebijakan Otonomi Khusus di Indonesia, Kemitraan bagi Pembaruan Tata
Pemerintahan di Indonesia, Jakarta, hlm. 14

279
Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia No. 1/Missi/1959. Dengan predikat

tersebut, Aceh memperoleh hak-hak otonomi yang luas di bidang agama, adat, dan

pendidikan. Status ini dikukuhkan dalam Pasal 88 UU No. 18 Tahun 1965 tentang

Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah .

Sesungguhnya, pemberian status Daerah Istimewa bagi Provinsi Aceh ini

merupakan jalan terbaik menuju penyelesaian masalah Aceh secara menyeluruh.

Namun, karena adanya kecenderungan pemusatan kekuasaan oleh Pemerintah Pusat

pada era pemerintahan Orde Baru, melalui UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-

Pokok Pemerintahan di daerah, maka penyelenggaraan keistimewaan Aceh tersebut

tidak berjalan sebagaimana mestinya. Pemerintah Pusat, jangankan memberi

kesempatan kepada masyarakat Aceh untuk menjalankan syariat Islam atau memelihara

adat, malahan sumber daya alam mereka dieksploitasi besar- besaran dan desa mereka

diseragamkan seperti desa di Jawa. Ini pada gilirannya mengakibatkan kemarahan dan

bahkan perlawanan rakyat Aceh secara fisik lewatGerakan Aceh Merdeka (GAM)

sejak 4 Desember 1976 di bawah kepemimpinan Hassan Tiro, Pemerintah pusat

menghadapi aksi kekerasan ini dengan berbagai operasi militer.

Dibandingkan daerah lain, Aceh memperoleh dua kali atribut otonomi khusus.

Pertama, melalui UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi NAD.

Pada kebijakan ini, pertimbangan pemberian otonomi khusus adalah:

1. bahwa sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut

Undang- Undang Dasar 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan

Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang

diatur dengan Undang- undang.

2. bahwa salah satu karakter khas dalam sejarah perjuangan rakyat Aceh

adalah adanya ketahanan dan daya juang yang tinggi yang bersumber

280
pada pandangan hidup, karakter sosial, dan kemasyarakatan dengan

budaya Islam yang kuat sehingga Daerah Aceh menjadi daerah modal bagi

perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara

Kesatuan Republik Indonesia.

3. bahwa untuk memberi kewenangan yang luas dalam menjalankan

pemerintahan bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh, dipandang perlu

memberikan otonomi khusus

4. bahwa UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah serta UU No.

25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan

Daerah dipandang belum menampung sepenuhnya hak asal-usul dan

keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh

5. bahwa pelaksanaan UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan

Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh perlu diselaraskan dalam

penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Kedua, melalui UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dasar

pertimbangannya adalah:

1. bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia,

menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang

bersifat khusus atau bersifat istimewa

2. bahwa berdasarkan perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Aceh

merupakan satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau

istimewa terkait dengan salah satu karakter khas sejarah perjuangan

masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi

281
3. bahwa ketahanan dan daya juang tinggi tersebut bersumber dari pandangan

hidup yang berlandaskan syariat Islam yang melahirkan budaya Islam yang

kuat, sehingga Aceh menjadi daerah modal bagi perjuangan dalam merebut

dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia

4. bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di

Aceh belum dapat sepenuhnya mewujudkan kesejahteraan rakyat, keadilan

serta pemajuan, pemenuhan, dan perlindungan hak asasi manusia sehingga

Pemerintahan Aceh perlu dikembangkan dan dijalankan berdasarkan

prinsip- prinsip kepemerintahan yang baik

5. bahwa bencana alam gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Aceh telah

menumbuhkan solidaritas seluruh potensi bangsa Indonesia untuk

membangun kembali masyarakat dan wilayah Aceh serta menyelesaikan

konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, dan bermartabat dalam

kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pandangan hidup yang berlandaskan syariat Islam yang kemudian melahirkan

budaya Islam yang kuat pada masyarakat Aceh, sehingga salah satu isu yang paling

menonjol dalam pemberlakuan otonomi khusus diAceh adalah penerapan Syariat Islam

dalam segala aspek kehidupan masyarakat Aceh (Islam Kaffah). Pemberlakuan syariat

Islam di Aceh memiliki sisi yang berbeda, berupa sisi keindonesiaan, yaitu

pemberlakuan syariat Islam di Aceh ditujukan untuk mencegah agar Aceh tidak

memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dari sisi ini dapat

dilihat bahwa proses-proses pemberlakuan syariat Islam di Aceh bukanlah suatu proses

yang asli dan alamiah, tapi lebih merupakan suatu pergeseran dan kebijakan politik

dalam rangka mencegah Aceh dari upaya pemisahannya dari NKRI.

Penerapan syariat Islam pada tahap ini, yakni untuk meminimalisir

282
ketidakpuasan Aceh terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah pusat, dan lebih

merupakan langkah politik darurat untuk menyelamatkan Aceh dalam pangkuan

republik, yang bertujuan untuk mendatangkan kenyamanan psikologis bagi masyarakat

Aceh. Nanggroe Aceh Darussalam di kenal dengan sebutan seramoe Mekkah (serambi

Mekkah). Nafas Islam begitu menyatu dalam adat budaya Aceh sehingga aktifitas

budaya kerap berazaskan Islam. Syariat Islam secara kaffah dideklarasikan pada tahun

2001, pro dan kontra terus bermunculan sampai sekarang. Keterlibatan pemerintah

dituding ada unsur politik untuk memblokir bantuan Negara non muslim terhadap

kekuatan gerakan Aceh merdeka.

Dari sudut sosio–budaya, masyarakat Aceh pada dasarnya menampilkan adat dan

Islam sebagai unsur yang dominan dalam mengendalikan gerak masyarakat. Agama

Islam telah membentuk identitas masyarakat Aceh sejak masa awal penyebarannya

keluar jazirah Arab.433 Nilai-nilai hukum dan norma adat yang telah menyatu dengan

434
Islam merupakan pandagan hidup (way of life) bagi masyarakat Aceh. B.J Bollan,

seorang antropolog Belanda mengatakan, “Being an Aceh is equivalent to being a


435
Muslim” (menjadi orang Aceh telah identik dengan orang Muslim). Pengaruh hukum

Islam terhadap hukum adat telah meliputi semua bidang hukum, sehingga dapat

dikatakan bahwa hukum Islam dan hukum adat telah melebur menjadi satu hukum.

Adagium yang masih dipegang masyarakat Aceh, “adat bak po teummeurehum, hukum

bak Syah Kuala, qanun bak Putro Pahang, reusum bak Laksamana 436

Upaya pelaksanaan syariat Islam di Aceh, dapat dikatakan bahwa pemimpin Aceh
433
Yusni Saby, M. Jakfar Puteh, 2012, Sistem Sosial Budaya dan Adat Masyarakat Aceh, Grafindo
Litera Media, Yogyakarta , hlm. xxxi.
434
Abidin Nurdin, “Revitalisasi Kearifan Lokal di Aceh: Peran Budaya Dalam Menyelesaikan
Konflik Masyarakat”, Jurnal Analisis, Vol. XIII No. 1 Juni 2013, hlm. 139.
435
Hasnil Basri Siregar, “Lessons Learned From The Implementation Of Islamic Shari’ah
Criminal Law In Aceh, Indonesia” , Journal of Law and Religion, Vol. 24, No. 1 2008/2009 hlm. 143-176,
147. http://www.jstor.org/page/info/about/ policies/terms.jsp (diakses pada tanggal 16 Maret 2015 ).
436
Mohd. Din, 2009, Stimulasi Pembangunan Hukum Pidana Nasional dari Aceh Untuk
Indonesia Unpad Press, Bandung , hlm. 38

283
sejak awal kemerdekaan sudah meminta izin kepada Pemerintah Pusat untuk

melaksanakan syariat Islam di Aceh437. Pada tahun 1947, Presiden Soekarno

mengunjungi Aceh untuk memperoleh dukungan masyarakat dalam memperjuangkan

pengakuan indepedensi Indonesia438 pada pertemuan ini dihadiri oleh beberapa

komponen di Aceh, salah satunya adalah Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh

(Gasida). Pada akhirnya Gasida menyanggupi permintaan Presiden Soekarno dan

kemudian membentuk panitia pengumpulan dana dan T.M Ali Panglima Polem

ditunjuk sebagai ketuanya. Pada akhirnya dana yang dibutuhkan terkumpul dan

digunakan untuk pembelian dua pesawat Dakota439. yang kemudian diberi nama

Seulawah I dan Seulawah II. 440,

Setelah berhasil menghimpun sejumlah dana untuk perjuangan Republik

Indonesia, Daud Beureu’eh (1899-1987)memohon kepada Presiden Soekarno meminta

agar diizinkan pemberlakuan syariat Islam di Aceh hal ini dilakukan karena Aceh

merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Presiden Soekarno setuju,

akan tetapi tidak bersedia menandatangani surat persetujuan yang disodorkan oleh

Beureu’eh kepadanya.441 Dua tahun setelah kunjungan Soekarno ke Aceh yang bertepatan

dengan tanggal 17 Desember 1949 Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI)

mengumumkan pembentukan Provinsi Aceh dan Daud Beureu’eh sebagai


437
Alyasa’ Abu Bakar, “Sejarah Pelaksanaan Syari`at Islam Di Aceh” http://alyasa
abubakar.com/2013/07/sejarah-pelaksanaan-syariat-islam-di-aceh/ (DiaksesPada Tanggal 4 November 2015.
Lihat juga Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad,“THE APPLICATION OF ISLAMIC LAW IN INDONESIA:
The Case Study of Aceh”, Journal Of Indonesian Islam, Vol. 01, Number 01, June 2007, hlm. 137.
438
Nurrohman, “Formalisasi Syariat Islam di Indonesia“, Jurnal Al-Risalah Volume12 Nomor 1
Mei 2012, hlm. 83.
439
Priyambudi Sulistiyanto, “Whither Aceh?”, Third World Quarterly, Vol 22, No 3, 2011 hlm. 437-
452, http://www.jstor.org/page/info/about/policies/ term s.jsp (terakhir diunduh Pada Tanggal 19 November
2016). Lihat juga, Amran Zamzami, 1990, Jihad Akbar di Medan Area, cet.1 Bulan Bintang, Jakarta, , hlm.
322.
440
Pada saat Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945, masyarakat
Aceh juga berpartisipasi dalam proklamasi itu. Hal ini terlihat dari dukungan mereka dengan kerelaan
menyerahkan harta dan nyawa (dalam perang sabil) untuk menegakkan kalimah Allah di bumi ini dan demi
tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perjuangan untuk mengusir penjajah Belanda di
Medan Area Sumatera Utara dan membeli dua pesawat terbang untuk perjuangan menegakkan kedaulatan
negara ini, merupakan bukti kesetiaan masyarakat Aceh kepada Republik Indonesia
441
Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean, 2004, Politik Syariat Islam: Dari Indonesia
hingga Nigeria,:Pustaka Alvabet, Jakarta , hlm. 21.

284
gubernurnya.442 Tetapi belum genap setahun Pemerintahan Aceh berjalan, kebijakan

Pemerintah Pusat kembali berubah pada tahun 1950 Provinsi Aceh dilebur dan disatukan

kedalam Provinsi Sumatera Utara dan dijadikan keresidenan Aceh.443 Bagi para pejuang

Aceh, dengan dijadikannya Aceh sebagai keresidenan, para pejuang tersebut merasa

kecewa dan menimbulkan kemarahan kepada Pemerintah Republik Indonesia dan juga

syariat Islam yang dijanjikan tidak pernah direalisasikan oleh pusat (Jakarta).444 Hal

terseebut mengakibatkan masyarakat Aceh bergejolak dan menutut dikembalikannya

provinsi Aceh. Pada taggal 21 September 1953 terjadilah pembrontakan pertama DI/TII

di Aceh pasca kemerdekaan Indonesia yang dipimpin langsung oleh Daud Beureu’eh,

pembrontakan ini merupakan bentuk kekecewaan masyarakat Aceh terhadap pemerintah

Pusat di Jakarta.445

Pemerintah pusat akhirnya menanggapi pembrontakan ini dengan

mengeluarkan undang-undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang pemebentukan Provinsi

Swatantra Aceh Daerah Swatantra Tingkat I Aceh. Pada tahun 1958 atau dua tahun
446
setelah keluarnya UU No. 24 Tahun 1956 keluarlah Ikrar Lamteh yang pada intinya

kedua belah pihak sepakat menghentikan kontak senjata dan mengusahakan jalan terbaik

untuk menyelesaikan masalah Aceh.447 Daud Beureu’eh mengajukan syarat

pengajuan unsur-unsur syariat Islam bagi masyarakat Aceh untuk mengakhiri


442
Ibid. hlm 22
443
Muhammad Umar, 2006, Peradaban Aceh ( Tamaddun) : Kilasan Sejarah Aceh dan Adat,
JKMA , Banda Aceh:, hlm. 63.
444
Mawardi Umar dan Al Chaidar, 2006, Darul Islam Aceh: Pembrontakan atau Pahlawan,
Buku Dua, Dinas Kebudayaan Pemprov NAD, Banda Aceh , hlm. 102.
445
Kegagalan akomodasi politik merupakan awal dari benih kekecawaan bagi masyarakat Aceh.
Hal ini ditambah lagi kebijakan membubarkan Propinsi Aceh yang kemudian dilebur dalam Propinsi
Sumatra Utara. Puncak kekecewaan itu berujung pada meletusnya peristiwa September 1953 yang
kemudian dikenal dengan peristiwa Darul Islam di Aceh.Lihat Rusdi Sufi dan Agus Budi Wibowo, 2004,
Budaya Masyarakat Aceh, Bagian Kedua (Banda Aceh: Badan Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, hlm 53. Lihat juga B. J. Boland, The Struggle of Islam in Modern Indonesia (Leiden: The
Hague-Martinus Nijhoff, 1982), hlm. 55-62.
446
Taufik Adnan Amal dan Samsul Rizal Panggabean, Op.Cit., hlm. 22.
447
Marwati Djoened Poesponegoro, dkk, 2008, Sejarah Nasional Indonesia: Zaman Jepang dan
Zaman Republik Indonesia, 1942-1998, PT Balai Pustaka, Jakarta, hlm. 365

285
pembrontakan DI/TII dibawah kepemimpinannya, maka sejak saat itu dihasilkan

maklumat konsepsi pelaksanaan unsur-unsur syariat Islam bagi daerah Istimewa Aceh.

Sehingga konflik yang berlangsung dari tahun 1953 dapat diakhir pada tahun 1959

448
dengan jalan damai, Daud Breu’eh beserta kaum ulama dan pengikutnyapun turun

gunung dan kembali kepangkuan ibu pertiwi secara tulus.

Pemberlakuan syariat Islam dengan status Aceh sebagai daerah istimewa

merupakan hal yang wajar mengingat sejarah dan besarnya jasa masyarakat Aceh

terhadap pembentukan Negara Kesatuan Indonesia dan Kemerdekaan NKRI pada tahun

1945. Pada bulan Mei Tahun 1959 Pemerintah Pusat mengutus Mr. Hardi untuk

membawa misi perdamaian untuk Aceh. Komisi Hardi selanjutnya melakukan

pertemuan dengan Deleglasi Dewan Revolusi Darul Islam (DDRDI) yang dipimpin oleh

Ayah Gani Usman. Hasil penting dari perundingan ini adalah bahwa Pemerintah Pusat

akan memberikan status istimewa untuk Aceh449 dan kemudian mengejewantahkannya

dalam Keputusan Perdana Menteri RI No. 1/Missi/1959. Keputusan ini memberikan

status istimewa kepada Aceh dalam artian dapat melaksanakan otonomi daerah yang

seluas-luasnya terutama dalam bidang agama, pendidikan dan adat istiadat. Status ini

kemudian dikukuhkan dengan Undang-undang No. 18 tahun 1965. Tetapi keputusan

Pemerintah Pusat tesebut tidak berhasil memuaskan kelompok radikal dan

republikan dalam DI/ TII. Daud Breue’eh memandang bahwa sebutan istimewa bagi

Aceh itu belum memiliki subtansi dan bentuk kongkret apapun. Oleh karena itu ia

kembali masuk kedalam hutan bersama pengikutnya dan melakukan perang gerilya.

Perang saudara antara DI/TII dan TNI kembali bergolak di Aceh.450

448
Otto Samsudin Ishak, 2001, Dari Maaf Ke Panik Aceh Sebuah Sketsa sosiologi Politik, : LSPP,
Jakarta, hlm. 40.
449
Marwati Djoened, Poesponegoro dkk., Op. Cit, .hlm. 365
450
Taufik Adnan, Amal, dan Samsu Rizal, Panggabean, Op.Cit., hlm. 21.

286
Pada tanggal 18-22 Desember 1962 diadakan suatu acara akbar di Blang padang,

yaitu Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh dikeluarkannya Undang-undang Nomor 5

tentang Pemerintahan Desa. Dengan adanya UU ini struktur gampong dan mukim serta

segala perangkatnya tidak berlaku lagi, perangkat pemerintahan lokal ini digantikan

dengan struktur baru yang bersifat nasional, dengan begitu struktur lokal yang menjadi

basis kehidupan masyarakat di desa menjadi kurang berperan. Pada tahun 1976 benih-

benih komflik mulai muncul lagi, hal ini ditandai dengan keputusan Hasan Tiro yang

memproklamirkan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Pidie, pada awal tahun 1977,

dengan alasan bahwa Indonesia adalah sebagai “neokolonial”yang menjajah Aceh dan

bergabungnya Aceh ke Indonesia pasca kemerdekaan merupakan suatu kecelakaan

451
sejarah yang perlu segera dikoreksi . Memisahkan Aceh dari Indonesia merupakan

tujuan GAM. Dengan alasan itupulalah Hasan Tiro mmenjadi incaran aparat keamanan

Indonesia (TNI-POLRI), usaha TNI/POLRI ini berhasil membatasi kegiatan dan

pengaruh GAM di Aceh pada saat itu, tapi gagalmenangkap Hasan Tiro. Hasan Tiro

kemudian meninggalkan Aceh dan menetap di Swedia,452 dan membentuk

pemerintahannya selama dipengasingan tersebut.

Periode ini adalah periode yang berlarut-larut dan berlangsung lama. Periode ini

sendiri dibagi kepada tiga generasi,453 generasi pertama atau generasi penggerak

awal dipelopori oleh orang-orang yang merasa tidak puas terhadap pengelolaan ladang

minyak Arun yang dianggap tidak adil atau dengan alasan ekonomi, generasi dipimpin

451
Hans Ferdinand, “Conflict Resolution, Political Decentralization, Disaster Risk Management
and the Practice of Sharia Law: The Case of Aceh, Indonesia”, Southeast Asian Studies at the
University of Freiburg, 2012 Germany. Terakhir diunduh pada 4 Maret 2016.
452
Priyambudi, Sulistiyanto, Op.Cit hlm. 441,
453
Anthony L, Smith, Aceh: Democratic Times, Authoritarian Solutions, New Zealand Journal of
Asian Studies, hlm. 20 Terakhir diunduh pada 2 Desember, 2016.

287
oleh Hasan Tiro. Kelompok ini juga didukung oleh sisa-sisa kelompok Darul Islam yang

juga kecewa terhadap implementasi kesepakatan damai otonomi terbatas di Aceh.

Gerakan ini mendapat respon yang keras dari pemerintah, sehingga pada awal tahun 80an

gerakan ini dapat dikatan bisa diredam, sebagian dari anggotanya ada yang tertangkap,

terbunuh dan melarikan diri keluar negeri.

Generasi kedua GAM muncul pada akhir tahun 90an. Menurut beberapa sumber,

Hasan Tiro yang telah menetap di Swedia berhasil menjalin kerja sama dengan Libya

untuk memberikan pelatihan militer kepada beberapa orang Aceh, banyak dari mereka

yang dilatih pada akhir tahun 90an telah pulang ke Aceh dan melakukan aksi seporadis

terhadap kantor-kantor pemerintahan dan juga pihak keamanan 454. Pada tahun 1989

Presiden Soeharto menggelar operasi Jaring Merah yang menjadikan Aceh sebagai

Daerah Operasi Militer (DOM) sampai pada tahun 1998. Selama operasi militer,

diindikasikan telah terjadi pelanggaran HAM yang berat di Aceh yang mengakibatkan

penderitaan dan kebencian rakyat semakin bertambah455.

Generasi ketiga GAM mucul setelah pencabutan satus Aceh dari Daerah Operasi

Militer (DOM) dibawah pemerintahan B.J Habibie. Setelah pencabutan DOM banyak

anggota GAM yang semasa DOM di Aceh, melarikan diri keluar negeri pulang kembali

ke Aceh dan menunggangi gerakan reformasi yang berkembang luas. Pelanggaran

HAM yang terjadi semasa DOM telah menimbulkan kebencian yang masif terhadap

Pemerintahan Pusat di Jakarta yang diusung oleh GAM sebagai titik tolak untuk

meningkatkan identitas keacehan (ethnonasionalisme). Isu ini berhasil diartikkulasikan

dengan isu-isu yang berkembang dimasyarakat seperti, ideologi, kemiskinan,

454
Ibid, hlm 76. Anthony L. Smith mengatakan dalam penelitiannya yang berjudul “Aceh:
Democratic Times, Authoritarian Solutions”,ada sekitar 100 orang yang kembali ke Aceh dari libya guna
untuk menanggapi status darurat militer yang diterapkan Pemerintah Indonesia terhadap daerah Aceh
455
Priyambudi, Sulistiyanto, “Whither Aceh ..., Op.Cit hlm. 442

288
456
kesenjangan, ketidakadilan serta isu pemisahan Aceh dari NKRI . Konflik vertikal

antara Pemerintahan Indonesia dan GAM telah berlangsung cukup lama, berbagai

cara sebenarnya telah ditempuh oleh pemerintah pusat di Jakarta untuk mengeluarkan

Aceh dari konflik yang berkepanjagan, namun sampai pada akhir Pemerintahan

Orde Baru, kondisi Aceh belum menunjukkan adanya tanda- tanda kedamaian, Aceh

masih tetap dilanda konflik yang tak berkesudahan.

Setelah rezim Orde Baru jatuh dan tampuk pimpinan kekuasaan jatuh kepada B.J

Habibie (Mei 1998 – Oktober 1999) jalan damai di Aceh memasuki babak baru. Hal ini

merupakan sebuah penalaran dari para elite politik Pemerintah Pusat di jakarta dan elite

politik daerah di Aceh guna untuk mengakhiri konflik yang berkepanjangan, pelanggaran

HAM dan eksploitasi ekonomi yang seolah tiada henti.457 Pada tanggal 7

Agustus1998 pencabutan satus Darurat Militer terhadap Aceh resmi dilakukan, hal

ini ditandai dengan penarikan aparat militer dan kepolisian dan permohonan maaf dari

kepala angkatan bersejata Republik Indonesia Jendral Wiranto atas pelanggaran

HAM di Aceh selama sembilan tahun pelaksanaan Daerah Operasi Militer (DOM)

(1989-1998).458

Pasca reformasi 1998 kemudian dilanjutkan dengan amandemen Undang-undang

Dasar (UUD) 1945, hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah

mengalami perubahan pola yang signifikan, dimana sebelumnya menganut pola

sentralistik, tetapi setelah reformasi berubah menjadi pola desentralistik.459 Inilah yang

membuat harapan Aceh untuk menerpakan syariat Islam kembali terbuka, hal ini terbukti
456
Ibid, hlm 445
457
Asia Report, 2006, Syariat Islam dan Peradilan Pidana di Aceh, International Crisis Group,
Jakarta, hlm. 1
458
Priyambudi, Sulistiyanto, “Whither Aceh ..., Op.Cit hlm. 444
459
Muhammad Alim, “Perda Bernuansa Syariah dan Hubungannya Dengan Konstitusi”,
Jurnal Hukum No.1 Vol. 17 , Januari 2007, hlm. 120. Lihat juga, Abdul Gani Isa, “Paradigma Syariat Islam
Dalam Rangka Otonomi Khusus: Studi Kajian di Provinsi Aceh”, Media Syariah, Vol XIV Januari – Juni
2012, hlm. 1-2

289
dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan

Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, yang dimana UU ini mengakomodasi

kepentingan Aceh dalam bidang Agama, adat istiadat dan penempatan peran ulama pada

tataran yang sangat terhormat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan

bernegara460.

Sebagai upaya awal penerapan syariat Islam secara kaffah dan bentuk respon

terhadap lahirnya UU diatas, Aceh menerbitkan Perda Nomor 5 Tahun 2000 tentang

Pelaksanaan syariat Islam. Perda ini memiliki basis konstitusional sekalipun tidak jelas,461

boleh dikatakan bahwa perda ini mendahului undang-undang yang memberikan hak

Otonomi Khusus bagi Pemerintahan Daerah Istimewa Aceh untuk menerapkan syariat

Islam di bumi Serambi Mekkah yang baru di undangkan dua tahun kemudian (UU

No. 18 Tahun 2001) setelah di undangkannya UU No. 44 Tahun 1999.462

Titik tolak perdamaian Aceh yang ditempuh oleh pemerintah adalah dengan

penunjukan Henri Dunant Centre (HDC) sebagai pihak ketiga guna untuk mencari jalan

penyelesaian Aceh secara tepat, damai dan demokratis.463 Pada tanggal 12 Mei 2000

dicetuskan “Kesepakatan Bersama tentang Jeda Kemanusiaan di Aceh” yang epektif

dilaksanakan sejak Juni-September 2000 dan kemudian diperpanjang hingga Januari

2001464. Pada akhir Januari 2001 HDC membawa kedua belah pihak ke Genewa guna

untuk membuat kesepakan yang mengedepankan masa depan politik, yakni adanya

460
Misran, “Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh: Analisis Kajian Sosiologi Hukum”, Jurnal
Legitimasi, Vol.1 No.2 Januari – Juni 2012, hlm. 155.
461
Taufik Adnan, Amal, dan Samsu Rizal, Panggabean, Op. Cit, hlm.32
462
Muhibbuthabry, “Kelembagaan wilayat al-Hisbah Dalam Konteks Penerapan Syariat Islam di
Aceh”, Peuradeun, International Multidisciplinary Journal, Vol. 11 No. 2 Tahun 2014, hlm. 74
463
Republik I ndonesia, Peraturan Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2005 Tentang Rencana
Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat di Propinsi NAD dan Kepulauan
Nias Sumatera Utara, X 2-2.
464
Anthony L, Smith, Op. Cit, hlm. 85

290
pemilihan yang bebas dan adil bagi Aceh dan sebuah komisi independen yang diterima

kedua belah pihak.

Selanjutnya proses perdamaian Aceh terus berlanjut dengan dilakukannya

perjanjian Cessation of Hostilities Agreement (CoHA) tanggal 9 Desember 2002, yang

masih ditengahi oleh pihak HDC di Jenewa465. Perdamaian ini dirancang untuk

menghentikan kekerasan dan membentuk kerangka perdamaian yang kekal yang

mengedepankan 4 agenda yang utama yaitu :

1. Agenda bidang militer,

2. Bantuan Kemanusiaan

3. Rekonstruksi

4. Reformasi Sipil.

Pihak yang diberi mandat untuk memantau keadaan keamanan dan meneliti setiap

pelanggara adalah Komite Keamanan Bersama (Joint Security Committee/ JSC). Komite

ini dipimpin secara tripartite, yang terdiri dari seorang perwira senior dari militer

Thailand yaitu Mayor Jendral Tanongsuk Tivinum; Brigadir Jendral Safzen Noerdin dari

pihak TNI; dan Sofyan Ibrahim Tiba dari pihak GAM.466

Pada masa Pemerintahan Abdurrahman Wahid upaya damai terus dilakukan,

pendekatan dengan jalur dialog ditempuh dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di

Genewa Swiss.467 Pada 11 April 2001 Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan

Intruksi Presiden No. 4 Tahun 2001 tentang perlakuan khusus terhadap situasi di Aceh.

Agama tidak disebutkan sebagai suatu masalah dalam Impres ini, hal ini dimungkinkan

karena GAM tidak menjadikan Islam sebagai basis idiologi dalam melakukan aksinya

dan negara Islam bukanlah bagian dari platform formalnya.


465
Ibid. hlm. 87
466
Republik indonesia, Peraturan Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2005, X, hlm.1-2
467
Regs Aceh, “Mencari Obat Mujarab Bagi Aceh”, diterbitkan 7 Agustus 2001,
http://www.library.ohiou.edu/indopubs/2001/08/27/0044.html , diakses 21-11-2016.

291
Pada akhirnya perjanjian penghentian permusuhan (Cessation of Hostilities

Agreement) mengalami kegagalan yaitu dengan tidak diterimanya kesepakatan yang

ditawarkan oleh pemerintah, khususnya mengenai integritas NKRI. Selanjutnya pada saat

pemerintahan Megawati Soekarno Putri, dikeluarkan Keputusan Presiden (Kepres) No.

28 tahun 2003 tanggal 9 Mei 2003 yang memberikan status baru untuk Aceh yakni

Darurat Militer. Pemerintah melakukan Operasi Terpadu yang bersifat menegakkan

kembali kedaulatan NKRI dan kemudian diperpanjang melalui Kepres No. 97 tahun

2003 untuk periode 18 November 2003 sampai 19 Mei 2004. Selanjutnya pada tahun

2004 perubahan status Aceh dari Darurat Militer berubah menjadi Darurat Sipil melaui

Kepres No. 43 tahun 2004. Perubahan status ini didasarkan pada pertimbangan bahwa

perkembangan situasi keaman di Aceh semakin kondusif. 468

Dalam perjalananya Perda No. 5 Tahun 2000 ini tidak berjalan dengan

efektif, sehingga terjadilah revisi terhadap UU No. 44 Tahun 1999 menjadi UU No. 18

Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus dan sekaligus mengubah nama Provinsi Daerah

Istimewa Aceh menjadi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Didalam UU Otonomi

Khusus bagi Aceh yang ditanda tangani oleh Presiden Megawati Soekarno Putri ini

terdapat beberapa instrumen yang menjadi dasar pelaksanaan syariat Islam di

Aceh diantaranya adalah lahirnya Mahkamah Syar’iyah yang menggantikan fungsi

Pengadilan Agama dan Qanun Pemerintahan Aceh, yang menjadi dasar dalam

pembetukan qanun-qanun selanjutnya di Aceh. Peluang ini berusaha untuk

diaktualisasikan masyarakat Aceh melalui Pemerintah Daerah dan Perwakilan

Rakyat di DPRD. Pemerintah Daerah melalui Gubernur Aceh telah mendeklarasikan

pemeberlakuan syariat Islam di Aceh secara kaffah469 dan pembentukan Dinas Syariat
468
Rizal, Sukma, 2004, “Security Operations in Aceh: Goals, Consequences, and Lessons”, East-
West Center Washington’s Project on Internal Conflicts, hlm. viii
469
Arskal, Salim, “Shari’a From Below’ In Aceh (1930s–1960s): Islamic Identity And The Right

292
Islam (DSI) ditingkat provinsi yang kemudian diikuti oleh kabupaten kota di Provinsi

Aceh berikutnya. Pemerintah Aceh kemudian mengeluarkan qanun sebagai landasan

hukum pelaksanaanya.

Meski disejajarkan dengan atau dikategorikan sebagai Perda, qanun di Aceh

memiliki tempat tersendiri karena langsung menginduk pada UU No. 11 Tahun 2006.

Pasal 269 ayat (2) UU No. 11Tahun 2006 bahkan menyatakan, ”Peraturan perundang-

undangan di bawah undang-undang yang berkaitan secara langsung dengan otonomi

khusus bagi Daerah Propinsi Aceh dan kabupaten/kota disesuaikan dengan Undang-

Undang in”i. Artinya, semua peraturan yang berada di bawah undang-undang, seperti

Peraturan Pemerintah (PP), peraturan presiden (perpres), dan peraturan menteri

(permen), harus terlebih dahulu disesuaikan dengan UU 11 Tahun 2006 470. Bila ada PP,

perpres, atau permen yang bertentangan dengan qanun, tidak serta merta qanun dapat

langsung dapat dibatalkan, melainkan terlebih dahulu harus dilihat kesesuaian PP,

perpres, atau permen tersebut dengan UU No. 11 Tahun 2006 yang menjadi induk qanun.

BAB V

PENJABARAN ASAS KEADILAN PERSPEKTIF GENDER DALAM MUATAN

QANUN DI ACEH

A. Pengertian Qanun

Kanun atau qanun berasal dari bahasa yunani, masuk menjadi bahasa Arab

melalui bahasa Suryani, yang berarti alat pengukur, kemudian diartikan sebagai

“kaidah.” Dalam bahasa Arab kata kerjanya qanna yang artinya membuat hukum (to

make law, to legislate), atau membuat undang-undang (to legislate). Kemudian qanun

To Self-Determination With Comparative Reference To The Moro Islamic Liberation”, Indonesia And The
Malay World, Vol. 32, No. 92, March 2004 Front (Milf), hlm. 7
470
Zainal Abidin, 2011, Analisis Qanun-Qanun Aceh Berbasis Hak Asasi Manusia, Demos, Jakarta,
hlm. xiii

293
diartikan sebagai hukum (law), peraturan (rule, regulation), undang-undang (statute,

code).471 Dalam bahasa Inggris, qanun disebut canon, yang antara lain, sinonim

artinya dengan peraturan (regulation, rule atau ordinance), hukum (law), norma (norm),

undang-undang (statute atau code), dan peraturan dasar (basic rule).472 Pada sumber

yang lain dikatakan, bahwa kanon berasal dari kata Yunani Kuno, yang berarti buluh.

Karena pemakaian “buluh” dalam kehidupan sehari-hari pada zaman itu adalah untuk

mengukur, maka kanon juga berarti sebatang tongkat/kayu pengukur atau penggaris.473

Sebutan qanun atau al-qanun tertuju pada hukum yang dibuat oleh

manusia atau disebut juga hukum konvensional. Abdul Kareem menyebutkan, hukum

konvensional/al qanun al wadh’iy adalah hukum yang dihasilkan oleh (kehendak)

manusia, sebagai lawan dari hukum yang bersumber dari tuhan/al qawaaniin/al syara’i

al Ilahiyyah. Namun dalam perkembangannya mengarah pada hukum yang sedang

berlaku di suatu negara pada waktu tertentu, atau menunjuk pada makna hukum

positif.474

Dalam perkembangannya penggunaan kata qanun, menurut Subhi

Mahmassani, 475 memiliki 3 (tiga) makna:

4. Kumpulan peraturan-peraturan hukum atau undang-undang (kitab undang-

undang). Istilah ini antara lain, digunakan untuk menyebut Kanun Pidana

Usmani (KUH Pidana Turki Usmani), Kanun Perdata Libanon (KUH Perdata

Libanon), dan lain-lain

471
A. Qadri Azizy, 2004, Eklektisisme Hukum Nasional, Kompetisi Antara Hukum Islam dan
Hukum Umum, Gama Media, Yogyakarta, , hlm. 57-58.
472
Ahmad Sukardja dan Mujar Ibnu Syarif, 2012, Tiga Kategori Hukum: Syariat, Fikih, dan
Kanun, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 120
473
Dalam Mohd. Din, Op.Cit, hlm. 12.

474
Ibid.
475
Dalam Ahmad Sukardja dan Mujar Ibnu Syarif, Op.Cit, hlm. 122

294
5. Sinonim bagi kata hukum, sehingga istilah ilmu kanun sama artinya dengan ilmu

hukum. Karena itu, kanun Inggris misalnya, sama artinya dengan hukum

Inggris, kanun Islam sama dengan hukum Islam dan lain-lain;

6. Sinonim bagi kata undang-undang.

Perbedaan pengertian yang ketiga ini dengan yang pertama adalah bahwa yang

pertama itu lebih umum dan mencakup banyak hal. Sedangkan yang ketiga ini

khusus untuk permasalahan tertentu saja, misalnya, kanun perkawinan sama

artinya dengan undang-undang perkawinan. Kanun dalam pengertian ini biasanya hanya

mengenai hukum yang berkaitan dengan mu’amalat, bukan ibadah, dan mempunyai

kekuatan hukum yang pelaksanaannya tergantung negara. Di sini beda dengan

pembahasan hukum Islam pada umumnya yang biasanya selalu mencakup mu’malat

dan ibadah.

Sebagai istilah yang mempunyai pengertian yang sama dengan undang-

undang, maka kanun ini mempunyai kekuasaan atau kekuatan dalam

pelaksanaannya bersamaan seperti undang-undang. Dalam pelaksanaan penegakan

hukum, jika terjadi sengketa atau perkara yang memerlukan putusan hakim di

pengadilan, negara menyediakan perangkat atau alat untuk memaksakan putusan

pengadilan. Hal ini berbeda dengan karakter fikih, yang implementasinya lebih

bersifat sukarela dan pada umumnya hanya didasari oleh perasaan tangungjawab atau

sanksi di akhirat kelak.476

Istilah qanun sebagai pengganti penyebutan istilah perda yang

digunakan di Aceh saat ini, bukanlah hal yang baru. Istilah ini di Aceh sudah dipakai

jauh sebelum Indonesia merdeka. Misalnya Qanun syarak Kerajaan Aceh, yang

mengatur tentang tatacara pemilihan kaki tangan kerajaan dari di tingkat paling

bawah, yaitu pemilihan Geucik (kepala desa) sampai pada tingkat paling tinggi
476
bid, hlm. 122

295
yaitu pemilihan Sultan. Hal ini terdapat dalam hadih maja, misalnya “qanun

putro phang.” Selain itu juga ada yang namanya Qanun Al-Asyi ahlul Sunnah

wal Jamaah (Qanun Meukuta alam Sultan Iskandar Muda) yang mengatur

tentang hukum silsilah petinggi kerajaan, pajak, syarat dan tugas Sultan.477 Istilah

qanun, lebih lanjut juga terdapat dalam hadih maja yang amat melekat ditengah-

tengah masyarakat Aceh hingga dewasa ini. Adapun hadih maja tersebut berbunyi”

Adat bak po teumeuruhom hukum bak Syiah Kuala, qanun bak Putroe Phang reusam

bak Laksamana”. Artinya pihak yang mengatur tata adat dan pemerintahan ada

pada Sultan, sedangkan pihak yang mengatur Syari’at Islam (hukum) ada pada ulama.

Kemudian yang mengatur peraturan pelaksanannya ada pada Putri Pahang sebagai

wazir Sultan di bidang legislatif dan yang mengatur tentang reusam/upacara

kebiasaan adat dan perniagaan ada pada laksamana sebagai Wazir Sultan di bidang

reusam.478

Berdasarkan sejarah penggunaan istilah qanun yang sudah berlangsung pada

masa kerajaan Sultas Iskandar Muda tersebut, maka penggunaan istilah qanun sebagai

pengganti perda yang digunakan di Aceh saat ini bukanlah sesuatu yang asing bagi

Aceh. Hanya saja kedudukan dari qanun tersebut dalam hirarkhi peraturan

perundang-undangan saat ini berada pada tingkat paling rendah, yang berbeda dengan

saat qanun tersebut berada pada masa kerajaan Sultan Iskandar Muda, dimana qanun

pada waktu itu merupakan undang-undang yang berlaku dalam kerajaan tersebut.

Untuk saat ini qanun sebagai hukum positif dalam bingkai negara kesatuan

Republik Indonesia, secara yuridis formal pertama sekali diatur dalam Undang-

Undang Nomor 18 Tahun 2001. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 8 dari Undang-

477
Mohd. Din, Op.Cit, hlm. 15. Qanun Al-Asyi merupakan kumpulan hukum adat yang dihimpun
oleh Ratu Naqiaatuddin dibawah arahan ulama besar Aceh yang bernama Syekh Abdul Rauf As-Singkily.
M. Hasbi Amiruddin, 2006, Aceh dan Serambi Mekkah, Yayasan Pena, Banda Aceh, hlm. 32.
478
Ibid, hlm. 35

296
Undang Nomor 18 Tahun 2001 ini, qanun diartikan sebagai perda sebagai

pelaksanaan undang-undang di wilayah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam

rangka pelaksanaan Otonomi khusus. Kemudian Istilah qanun ini tetap ada dalam

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 (pengganti Undang-Undang Nomor 18 Tahun

2001). Dalam Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, qanun

diartikan sebagai peraturan perundang-undangan sejenis perda yang mengatur

penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh. Lebih lanjut istilah

qanun ini tersebar dalam berbagai peraturan di Aceh yang menggantikan istilah

perda.

Semua perda yang dikeluarkan setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 18

Tahun 2001, baik pada tingkat propinsi maupun kabupaten/kota menggunakan

istilah qanun. Kewenangan mengatur dalam berbagai perda/qanun, bersumber dari

kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang ada di atasnya.

Akan tetapi, dalam hal-hal tertentu untuk melaksanakan otonomi daerah yang seluas-

luasnya, perda juga dapat mengatur sendiri hal-hal yang meskipun tidak didelegasikan

secara eksplisit kewenangannya oleh peraturan perundang-undangan di atasnya. Hal ini

diatur dalam Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 perubahan kedua, Pasal 136 Undang

Nomor 32 Tahun 2004 kemudian diperbaharui lagi dengan Undang-undang

No. 9 Tahun 2015 dan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Pasal 18

ayat (6) UUD 1945 berbunyi ”pemerintah daerah berhak menetapkan perda dan

peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.”

Guna menyelenggarakan urusan otonomi daerah dan tugas pembantuan ini

dalam kaitannya dengan kewenangan dalam pembentukan perda, Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004 lebih menekankan pada penggunaan wewenang delegasian. Hal

ini terlihat dari bunyi ketentuan Pasal 136 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004,

297
yang diperbaharui lagi dengan Undang-undang No. 9 Tahun 2015 menyatakan:

(1) Perda ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapatkan persetujuan bersama
DPRD;
(2) Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah
provinsi/kabupaten/kota dan tugas pembantuan;
(3) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penjabaran lebih lanjut dari
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas
masing-masing daerah;
(4) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan
kepentingan umum dan/atau peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi.

Selanjutnya Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

mengatakan, “materi muatan perda provinsi dan perda kabupaten/kota berisi materi

muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta

menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi.” Berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (6)

UUD 1945 perubahan kedua, Pasal 136 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang

telah diperbaharui terakhir dengan Undang-undang No. 9 Tahun 2015 dan Pasal

14 Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011, maka perda yang memuat materi

yang diperlukan untuk menyelenggarakan otonomi dan tugas pembantuan sebagaimana

materi qanun yang berisi muatan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan Aceh,

sesuai dengan Nota Kesepahaman Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan

Aceh Merdeka (MoU Helsinki 15 Agustus 2005) dan Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2006, dapat juga dianggap secara langsung melaksanakan ketentuan Undang-

Undang Dasar 1945.

Meskipun qanun pada dasarnya dapat mengatur berbagai hal yang berkaitan

dengan penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh, tetapi pada

dasarnya, materi muatan qanun sama halnya dengan perda lainnya, yaitu:479

1. Pengaturan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, yang didasarkan

479
Afrizal Tjoetra dkk, 2007, Merancang Qanun, Merancang Pembaruan Aceh, ADF (Aceh
Development Fund), Banda Aceh, hlm. 19.

298
pada kewenangan atribusi, dengan bentuk norma yang bersifat otonom;

2. Pengaturan sebagai penjabaran lebih lanjut dari ketentuan peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi yang didasarkan pada kewenangan delegasi.

Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa qanun juga merupakan produk perundang-

undangan sebagai bagian dari sistem hukum nasional. Maka prinsip-prinsip yang

berlaku dalam pembentukan peraturan perundang- undangan nasional dan pembentukan

peraturan perundang-undangan daerah, juga berlaku dalam pembentukan qanun

tersebut. Sehingga dalam pembentukannya tidak boleh bertentangan dengan peraturan

perundang- undangan yang lebih tinggi tingkatnya baik secara vertikal, horizontal,

diagonal atau kepentingan umum (dalam arti tidak boleh bertentangan dengan hukum

480
yang hidup dalam masyarakat). Kepentingan umum yang harus diperhatikan di

sini, bukan saja kepentingan rakyat Aceh, tetapi juga kepentingan daerah lain dan

kepentingan seluruh rakyat Indonesia. Untuk menghidari terjadinya pertentangan

antara qanun dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dalam

pembentukannya perlu diperhatikan beberapa asas sebagai berikut481:

1. Peraturan hukum yang dibuat oleh kekuasaan yang lebih tinggi, lebih tinggi

pula kedudukannya (asas lex superiori derogat lex antheriori)

2. Peraturan hukum yang lebih tinggi membatalkan peraturan hukum yang

lebih rendah (asas lex superiori derogat lex inferiori)

3. Peraturan hukum yang baru mencabut peraturan hukum yang lama (asas lex

posteriori derogate lex priori);

4. Peraturan hukum yang khusus mengesampingkan peraturan hukum yang


480
Kamaruddin, Mewujudkan Cita Hukum Yang Efektif (Suatu Pandangan Teoritis), Jurnal Justitia
Islamica Vol. 3 No. 2 Juli-Desember 2006, hlm. 63. Peraturan perundang-undangan yang baik adalah, apabila
selaras, serasi, dan sesuai antara berbagai peraturan perundang-undangan, baik yang berhubungan dengan
peraturan perundang-undangan yang setingkat (yang bersifat horizontal) maupun antara peraturan yang lebih
rendah terhadap peraturan yang lebih tinggi (yang bersifat vertikal atau hierarkhis).
481
Maria Farida Indrati S., Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia,
Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 4 No. 2-Juni 2007, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang- Undangan
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, hlm 24.

299
umum (asas lex spesialis derogate lex generalis); dan

5. Tidak diskriminatif dalam perumusan norma (asas egalitair).

Bagi Aceh yang berstatus daerah otonomi khusus, asas-asas hukum di atas

ditambah dengan asas keyakinan agama, yaitu kaidah-kaidah pokok Ushul fiqih482.

Dikaitkan dengan kaedah-kaedah ushul fiqih, dalam merumuskan aturan-aturan

dalam qanun, khususnya qanun yang menyangkut dengan syariat Islam, maka kaedah-

kaedah ini harus dijadikan sebagai suatu bagian dari asas hukum, selain-dari asas-asas

umum yang telah disebutkan di atas. Melihat kedudukan qanun juga setingkat dengan

perda, maka fungsi qanun sama dengan fungsi dari perda lainnya yaitu mengatur

penyelenggaraan pemerintahan, pemerintahan kabupaten/kota, dan penyelenggaraan

tugas pembantuan. Namun demikian dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2006, ada beberapa hal yang membedakannya dengan perda lainnya, yaitu:

1. Sebagian besar qanun-qanun lahirnya itu karena diperintahkan langsung oleh

undang-undang tersebut (sebanyak 63 Pasal);

2. Dalam melaksanakan perintah undang-undang tersebut tidak harus

menunggu adanya peraturan pelaksana lainnya di bawah undang-undang;

3. Mengenai jinayah (hukum pidana) diberlakukan sanksi khusus sesuai

dengan Syariat Islam.

Selain itu, perbedaan qanun dengan perda lainnya terlihat dari bunyi ketentuan

Pasal 269 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 yang menyatakan, peraturan

perundang-undangan di bawah undang-undang yang berkaitan secara langsung dengan

otonomi khusus bagi daerah Propinsi Aceh dan kabupaten/kota disesuaikan dengan

undang-undang ini. Hal ini berarti semua peraturan yang berada di bawah undang-

482
Supardan Modeong, 2005, Teknik Perundang-Undangan di Indonesia, PT Perca, Jakarta,
hlm 26.

300
undang, seperti peraturan pemerintah, peraturan presiden, dan peraturan menteri, harus

terlebih dahulu disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006.

Apabila ada peraturan pemerintah, peraturan presiden, dan peraturan menteri yang

bertentangan dengan qanun, tidak serta merta qanun tersebut langsung dapat

dibatalkan, melainkan terlebih dahulu harus dilihat kesesuaiannya dengan

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 yang menjadi induk qanun 483.

Dikaitkan dengan teori hirarkhi norma (stufentheori) yang disampaikan oleh

Hans Kelsen dan Hans Nawiasky, ketentuan yang terdapat dalam Pasal 269 ayat

(2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 merupakan wujud penyesuaian

peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dengan yang lebih tinggi. Selain itu

juga bentuk ketaatan terhadap asas peraturan hukum yang dibuat oleh kekuasaan

yang lebih tinggi, lebih tinggi pula kedudukannya (asas lex superiori derogat lex

antheriori). Dalam pelaksanaannya menurut Ronny Sautma Hotma Bako,484 qanun

dapat mengeyampingkan peraturan perundang-undangan lain berdasarkan asas

lex specialis derogaat lex generalis. Meskipun qanun dapat mengeyampingkan

peraturan perundang- undangan lainnya, Mahkamah Agung tetap berwenang melakukan

uji materiil terhadap suatu qanun.

Selanjutnya menurut Zainal Abidin485, qanun memiliki beberapa

karateristik tersendiri, yaitu:

1. Merupakan penjabaran dari hampir segenap aspek kehidupan;


2. Landasan atau paradigma pengaturan dalam qanun yang dibentuk di
dasarkan pada syariat Islam;
3. Pelibatan unsur ulama dan partisipasi masyarakat dalam penjabaran setiap qanun;
4. Adanya kekhususan dalam institusi yudisial baik aparat penegak hukumnya

483
Zainal Abidin dkk, Analisis Qanun-Qanun Aceh...Loc.Cit.
484
Ronny Sautma Hotma Bako, 2008, Prinsip-Prinsip Hukum Atas Otonomi Khusus di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam, dalam Indah Harlina (penyunting), Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Otonomi
Khusus di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi
Sekretariat Jenderal DPR RI, Jakarta, hlm.11.

485
Zainal Abidin dkk, Op.Cit. hlm 6.

301
maupun institusi peradilannya yang juga berlandaskan pada Syariat Islam.

Meskipun qanun memiliki karateristik dan perbedaan dengan perda di provinsi yang

lain, tidak berarti qanun terlepas dari sistem perundang-undangan nasional, karena qanunpun

merupakan bagian dari hirarkhi peraturan perundang-undangan sebagaimana disebutkan

dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Dengan demikian kedudukan

qanun dalam sistem peraturan perundang-undangan nasional pada umumnya adalah sama yaitu

untuk melaksanakan ketentuan undang-undang dasar secara langsung, undang- undang, dan

penjabaran lebih lanjut materi ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang lebih tinggi,

baik itu peraturan pemerintah maupun peraturan presiden atau peraturan lainnya.

Khusus untuk Aceh kewenangan membuat peraturan perundang-undangan daerah

terlihat dari lahirnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001, yang kemudian diganti dengan

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006. Dalam kedua undang-undangan ini banyak hal yang

didelegasikan486 untuk diatur dalam berbagai qanun. Aceh merupakan bagian dari Negara

Kesatuan Republik Indonesia, sehingga dalam pembentukan qanun juga harus mengikuti

prinsip-prinsip dan asas-asas sebagaimana yang berlaku dalam sistem pembetukan

peraturan perundang-undangan nasional. Hanya saja dengan lahirnya Undang-Undang Nomor

18 Tahun 2001 sebagaimana telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006,

disamping asas-asas umum juga diberikan keleluasaan untuk menggunakan kaedah-kaedah

pokok Ushul fiqih (khususnya untuk qanun yang berkaitan dengan Syariat Islam). Meskipun

Aceh berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 berstatus sebagai daerah otonomi

khusus, diharapkan dalam pembentukan hukum (qanun) tetap konsisten mengikuti sistem

pembentukan hukum nasional. Sehingga seluruh qanun yang ditetapkan oleh pemerintahan
486
Istilah delegasi (delegate dalam bahasa Belanda) mengandung arti, penyerahan wewenang
dari pejabat yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah. Penyerahan kewenangan tersebut haruslah
berdasarkan kekuatan hukum. Fochema Andrea, Kamus Istilah Hukum, Belanda-Indonesia, (Penterjemah
Saleh Adiwinata), dkk, Bina Cipta, Bandung, 1983, hlm. 36. Delegasi (delegative dalam bahasa Inggris)
diartikan sebagai penyerahan wewenang dari badan atau pejabat pemerintahan yang satu kepada badan atau
pejabat pemerintahan lainnya. Wewenang yang diperoleh dari delegasi itu dapat pula disub-delegasikan
kepada sub-delegataris, berlaku sama dengan proses delegasi. Jadi wewenang yang diperoleh dari delegasi
dapat dimandatkan kepada organ atau pegawai-pegawai bawahan bilamana organ atau pejabat yang secara
resmi memperoleh wewenang itu tidak mampu melaksanakan sendiri wewenang tersebut.

302
Aceh berada dalam koridor sistem hukum nasional.

B. Gambaran Umum dan Penerapan Asas Keadilan perspektif Gender Dalam Qanun

Pendidikan Di Aceh

1. Gambaran Umum Qanun Pendidikan

Pendidikan sebagai hak azasi manusia tercantum pada pasal 28B ayat (2) UUD

1945 yang tertulis: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan

berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Pada Pasal

28C ayat (1) tertulis, “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan

kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu

pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan

demi kesejahteraan umat manusia”.

Salah satu tujuan pendirian negara Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan

bangsa, sebagaimana termaktub pada pembukaan UUD 1945. Artinya bahwa

pendidikan merupakan sesuatu yang sangat penting dan berharga dalam kehidupan

bangsa Indonesia, terlebih-lebih sangat berarti ketika peranannya dalam membekali

setiap insan Indonesia untuk menghadapi tantangan jaman yang semakin kompleks dan

kompetitif.

Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat melimpah, sehingga sudah

sepatutnya jika kita selalu memperbanyak rasa syukur kepada Tuhan Yang Rahman

dan Rahim atas nikmat yang tidak ternilai harganya dan tak terhitung banyaknya, namun

perlu disadari bahwa sumber daya alam yang terus dikonsumsi dan dimanfaatkan dari

waktu ke waktu tentu semakin habis. Karena itulah untuk menyelamatkan bangsa

Indonesia di masa depan, di tengah-tengah terbatasnya sumber daya alam,

pengembangan sumber daya manusia (SDM) sudah tidak bisa dielakkan dan menjadi

kebutuhan semua pihak. Diyakini sepenuhnya bahwa strategi yang paling efektif dalam

303
pengembangan SDM adalah pendidikan yang mantap. Pemerintah dan

masyarakat baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama telah mengawal

pembangunan pendidikan dari masa ke masa.

Telah banyak hasil yang sudah dapat dicapai dan dirasakan, namun secara

obyektif banyak hal yang perlu terus diupayakan untuk membangun pendidikan

yang lebih efektif dan fungsional, sehingga mampu memberikan kemampuan dan

bekal bagi setiap insan Indonesia. Pada kenyataannya layanan pendidikan, terutama

melalui jalur pendidikan formal dan non formal belum dapat diakses oleh semua

warga negara terutama bagi kelompok tak beruntung, baik terkait dengan aspek fisik,

mental, intelektual, geografis, ekonomis, kultural, maupun gender.

Pendidikan merupakan aspek penting dalam pembangunan karena dapat

mendidik sumberdaya manusia berkualitas yang dapat berkontribusi terhadap

perkembangan dan kemajuan daerah. Sebagai daerah dengan otonomi khusus, Aceh

memiliki keleluasaan dalam mengatur pemerintahan daerahnya berdasarkan Undang

Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pendidikan.

Sedangkan penjabaran pelaksanaan pendidikan di Aceh selanjutnya tertuang dalam

Rencana Strategis Pendidikan. Dalam Pasal 215 UUPA menyatakan bahwa Pendidikan

yang diselenggarakan di Aceh merupakan satu kesatuan dengan sistem pendidikan

nasional yang disesuaikan dengan karakteristik, potensi, dan kebutuhan masyarakat

setempat. Ayat (2) menambahkan bahwa Pendidikan diselenggarakan dengan

memberdayakan semua komponen masyarakat termasuk kelompok perempuan

melalui peran serta dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengendalian mutu

layanan. Selanjutnya dalam Pasal 216 menyatakan bahwa setiap penduduk Aceh

berhak mendapat pendidikan yang bermutu dan Islami sejalan dengan perkembangan

ilmu pengetahuan dan teknologi.

304
Berbeda dengan pendidikan nasional yang hanya memiliki tiga pilar

pendidikan487, yaitu:

1. aksestabilitas, mencakup di dalamnya perluasan kesempatan belajar dan

pemerataan pendidikan

2. peningkatan mutu dan daya saing.

3. peningkatan tata kelola, akuntabilitas dan citra publik;

Sebagai daerah yang memiliki otonomi khusus, Aceh menambahkan pilar

pendidikan yang lain yaitu Sistem Pendidikan Berbasis Nilai Islami (SPBNI) sebagai

pilar ke 4. Dalam Qanun Nomor 23 tahun 2002 tentang Penyelenggaraan

Pendidikan menyatakan bahwa sistem pendidikan di Aceh berdasarkan pada Al-

Qur’an dan Hadist, nilai-nilai sosial budaya masyarakat Aceh serta filsafat hidup

bangsa Indonesia. Kemudian pada perkembangannya, di dalam Qanun No. 5 tahun

2008, dijelaskan pendidikan Islami adalah pendidikan yang berbasis Al Quran dan

sunnah Rasul. Konsep yang masih bersifat umum dan luas yang dimaksud dalam

ketentuan tersebut, cenderung menimbulkan penafsiran yang berbeda oleh pihak

yang diberi tanggung jawab dalam menyusun Renstra dan implementasi di lapangan.

Sejak diberikan kewenangan untuk membentuk qanun, qanun pendidikan sudah

mengalami beberapa kali perubahan, diawali dengan pembentukan Qanun nomor 23

tahun 2002 yang kemudian di ganti dengan Qanun No. 5 tahun 2008, di ganti lagi

dengan Qanun Nomor 11 tahun 2014, yang kemudian diubah dengan Qanun Nomor 9

tahun 2015.

Bila kita telaah Qanun Nomor 11 tahun 2014, yang kemudian diubah dengan

Qanun Nomor 9 tahun 2015 komposisi isi qanun tersebut dapat di lihat dalam tabel

berikut ini

Tabel 4. Komposisi Qanun Pendidikan


487
Rizanna Rosemary, Tantangan Implementasi Sistem Pendidikan Berbasis Islami (SPBNI) di Aceh,
Jurnal Pencerahan, Vol.7, Nomor 1, Maret 2013, hlm.16

305
BAB TENTANG PASAL
I Ketentuan umum Pasal 1
II Asas fungsi dan tujuan Pasal 2 – 4
III Prinsip penyelenggaraan pendidikan Pasal 5, 6
Hak dan kewajiban penduduk Aceh, peserta
IV didik, pendidik dan tenaga pendidik dan orang Pasal 7 – 13
tua
Pembagian kewenangan penyelenggaraan
V Pasal 14 – 26
pendidikan
VI Jalur pendidikan Pasal 27 – 31
VII Jenjang pendidikan Pasal 32 – 35
VIII Jenis pendidikan Pasal 37 – 40
IX Pendidikan luar biasa dan pendidikan inklusi Pasal 41, 42
X Bahasa pengantar Pasal 43
XI Kurikulum Pasal 44, 45
XII Pendidik dan tenaga kependidikan Pasal 46 – 56
XIII Sarana dan prasarana pendidikan Pasal 57, 58
XIV Pendanaan pendidikan Pasal 59 – 68
XV Pengelolaan pendidikan Pasal 69 – 77
XVI Peran serta masyarakat dalam pendidikan Pasal 78 – 80
XVII Hari belajar dan hari libur sekolah Pasal 81
Pengawasan, pemantauan, evaluasi dan
XVIII Pasal 82 – 87
akreditasi pendidikan
XIX Larangan dan sanksi Pasal 88 – 91
XX Ketentuan peralihan Pasal 92
XXI Ketentuan Penutup Pasal 93, 94
Sumber: Qanun Pendidikan, data diolah

Rancangan qanun pendidikan pada awalnya merupakan inisiatif eksekutif

setelah melakukan penjaringan aspirasi diruang serba guna kantor gubernur dan

gendung DPRA. Qanun Pendidikan merupakan salah satu amanat UUPA dan tuntutan

masyarakat aceh ditengah semakin gencarnya aadvokasi pelayanan publik di era

gobalisasi ini.

Sebagaimana disebutkan dalam pasal 11 Qanun tentang tata cara pembentukan

qanun bahwa satuan kerja perangkat daerah Aceh dapat menjadi pemrakarsa dalam

perancangan qanun, pemrakarsa ini tentu saja sesuai dengan bidang tugasnya. Qanun

ini juga telah melewati mekanisme perumusan sebuah peraturan perundang-undangan.

Draft qanun ini telah di bahas dengan berbagai elemem masyarakat dan pakar

306
pendidikan. Proses penyelesaian akhir rancangan qanun ini juga sudah dilakukan

yaitu berupa harmonisasi peraturan dan dengan eksekutif.

2. Perspektif Keadilan Gender Dalam Qanun Pendidikan

Dalam konteks kesetaraan dan keadilan bidang pendidikan, maka seluruh

masyarakat, baik laki-laki dan perempuan berhak mendapatkan pendidikan yang

bermutu pada setiap satuan, jenjang dan jenis pendidikan. Untuk mewujudkan hal di

atas, maka Pemerintah Daerah Aceh telah berkomitmen melalui berbagai kebijakan

dan programnya dalam rangka menyelesaikan masih terjadinya berbagai persoalan

kesenjangan geder bidang pendidikan.

Pasal 10 CEDAW dinyatakan bahwa negara-negara Peserta wajib melakukan

segala langkah dan tindakan yang diperlukan untuk menghapus diskriminasi terhadap

perempuan untuk menjamin bagi mereka hak-hak yang setara dengan laki-laki dalam

bidang pendidikan dan khususnya untuk menjamin, atas dasar kesetaraan dan

keadilan laki-laki dan perempuan:

(a) Kondisi-kondisi yang sama dalam bimbingan karir dan keterampilan, dalam

akses terhadap pelajaran-pelajaran dan dalam memperoleh ijazah di lembaga-

lembaga pendidikan dan segala tingkatan di daerah pedesaan maupun

perkotaan; kesetaraan dan keadilan ini wajib dijamin dalam pendidikan

prasekolah, umum, teknik, profesional dan pendidikan teknik tinggi, serta

dalam semua jenis pelatihan keterampilan;

(b) Akses kepada kurikulum yang sama, ujian-ujian yang sama, staf pengajar

dengan standar kualifikasi yang sama dan lingkungan dan perlengkapan

sekolah dengan mutu yang sama;

307
(c) Menghapus segala konsep stereotip peran laki-laki dan perempuan pada

seluruh tingkat dan dalam segala bentuk pendidikan dengan cara

menganjurkan pendidikan bersama laki-laki dan perempuan dan jenis-jenis

pendidikan lainnya yang akan membantu mencapai tujuan itu dan, khususnya,

dengan merevisi buku-buku pelajaran dan program-program sekolah dan

penyesuaian metode-metode pengajaran;

(d) Kesetaraan dan keadilan dalam kesempatan untuk mendapatkan beasiswa dan

bantuan pendidikan lainnya;

(e) Kesetaraan dan keadilan dalam kesempatan untuk mendapatkan akses pada

program-program pendidikan lanjutan, termasuk program-program baca-tulis

bagi orang dewasa dan fungsional, khususnya yang ditujukan untuk

mengurangi, sedini mungkin, kesenjangan apapun yang ada antara laki-laki

dan perempuan dalam pendidikan;

(f) Pengurangan tingkat putus sekolah pelajar perempuan dan menyelenggarakan

progam-program bagi anak perempuan dan perempuan dewasa yang berhenti

bersekolah sebelum waktunya;

(g) Kesetaraan dan keadilan dalam kesempatan untuk ikut serta secara aktif dalam

pendidikan olahraga dan jasmani;

(h) Akses pada informasi dalam pendidikan khusus yang menjamin kesehatan dan

kesejahteraan keluarga, termasuk informasi dan penyuluhan keluarga

berencana.

Menyikapi ketentuan di atas melalui kebijakan Inpres Nomor 9 Tahun 2000,

yang kemudian diikuti oleh Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 132 Tahun

2003 dan Surat Edaran Bersama tentang Percepatan Pengarusutamaan Gender (PUG)

Melalui Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender (PPRG), telah

308
meletakkan dasar melalui penetapan Pengarusutamaan Gender (PUG) sebagai strategi

untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender (KKG), dan keharusan percepatan

PUG melalui perencanaan dan penganggaran yang responsif gender.Khusus untuk

bidang pendidikan , landasan kebijakan diperoleh melalui Permendiknas Nomor 84

Tahun 2008 tentang Implementasi PUG bidang pendidikan

Kebijakan berperspektif gender merupakan wujud dari salah satu prinsip good

governance, yaitu equity, dimana semua warga negara baik laki-laki maupun

perempuan mempunyai kesempatan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.

Kebijakan yang berperspektif gender adalah kebijakan/program yang memberikan

manfaat dan memberikan dampak yang sama pada laki-laki dan perempuan

didasari oleh pengalaman dan kebutuhan masing-masing488, Karenanya, kerangka

kebijakan yang berperspektif gender,dapat dihasilkan apabila alat analisis gender

digunakan pada setiap penyusunan program/kegiatan dan penggunaan data terpilah

sebagai dasar untuk merumuskan kebijakan/program yang berperspektif gender 489,

Dengan demikian suatu kebijakan untuk kebijakan pendidikan, dipandang

mengintegrasikan perspektif gender apabila:

a. dalam tujuan dan atau sasaran kebijakan/ program/ kegiatan telah


ditetapkan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender;
b. mendasarkan atas analisis situasi berdasarkan data terpilah menurut jenis
kelamin;
c. menetapkan indikator-indikator atau indikator gender pada setiap
kegiatan/program/ kebijakan pembangunan;
d. Menetapkan rencana aksi yang ditunjukkan untuk mengurangi/
menghilangkan kesenjangan gender490

Penyusunan indikator kesetaraan dan keadilan gender dalam setiap

pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan langkah nyata untuk

488
Handayani dan Sugiarti. 2011. Analisis Jender dalam Modul Kursus Penelitian Kajian Gender,
yang diselenggarakan Prodi Kajian Gender PPs U I, hlm. 9
489
Kristi Poewandari , 2011, Data Terpilah dalam Penelitian Kajian Gender, Modul Kursus
Penelitian Kajian Gender, yang diselenggarakan Prodi Kajian Gender PPs UI Bekerjasama dengan Pusat
Kajian Wanita dan Jender (PKWJ) UI, hlm.6
490
Handayani dan Sugiarti, Op.Cit, hlm 17

309
mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender melalui pengintegrasian prinsip-

prinsip kesetaraan dan keadilan gender ke dalam proses perencanaan

penyusunan dan pembahasan Peraturan Perundang-undangan yang responsif

gender. Proses pengintegrasian kesetaraan dan keadilan gender tersebut

didasarkan pada ketentuan dasar yang diamanatkan dalam Undang-Undang

Dasar Tahun 1945, yang terdiri dari 14 (empat belas) rumpun hak dan terjabarkan

menjadi 40 (empat puluh) Hak Konstitusional dengan mempertimbangkan

Akses, Partisipasi, Kontrol dan Manfaat ( APKM) yang adil bagi laki-laki dan

perempuan, guna menjamin keadilan gender di setiap bidang pembangunan

dan/atau aspek kehidupan. Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya

bahwa untuk memasukkan unsur APKM dalam Qanun pendidikan di Aceh dapat

berpedoman pada diagram berikut ini

Tabel 5. Indikator kesetaraan dan keadilan gender terkait pendidikan

Rumpun hak Hak Unsur Pengertian Indikator terkait


konstitusional kesetaraan pendidikan
dan
keadilan
Hak untuk Hak atas Akses mempertimbangkan Perempuan dan laki-laki
mengembangk Pendidikan bagaimana memperoleh setara dan berdaya dalam
an diri (Pasal 28 C kesempatan yang sama akses pada informasi dan
(1) dan Pasal bagi perempuan dan menggunakan kesempatan
31 (1) laki-laki serta dalam untuk:
pemanfaatan 1. memperoleh
sumberdaya pendidikan dan
pembangunan yang akan pengajaran di semua
diatur dalam perundang- jenis, jenjang, dan jalur
undangan, sehingga pendidikan sesuai
norma-norma hukum dengan bakat
yang dirumuskan minatnya.
mencerminkan keadilan
dan kesetaraan dan 2. Hak memperoleh
keadilan gender pendidikan dan
pengajaran dalam
rangka
pengembangan
dirinya sesuai bakat,
minat, dan tingkat
kecerdasannya.
3. Hak mencari,
menerima dan
memberikan
informasi sesuai

310
dengan
intelektualitas dan
usianya.
4.Hak mendapatkan
pendidikan yang
bebas biaya.
5.Hak mendapat dana
pendidikan beasiswa
dan dana lain sesuai
dengan bakat, minat
dan
intelektualitasnya.
6.Hak memperoleh
Partisipasi segala jenis pelatihan
formal maupun non-
formal termasuk
yang berhubungan
dengan
pemberantasan
buta aksara
fungsional, serta
sesuai pelayanan
penyuluhan guna
meningkatkan
Memperhatikan apakah keterampilan.
peraturan perundang- 7.Kewajiban untuk
undangan memberikan menggagas konsep
kesempatan yang setara yang alternatif di
bagi perempuan dan segala tingkat dan
laki-laki untuk dalam segala bentuk
berpartisipasi dan pendidikan
Kontrol mempunyai peran 8.Setiap anak,
yang sama dalam perempuan dan laki-
proses pembuatan laki berhak dan
kebijakan dan berdaya memperoleh
pengambilan pendidikan ,
keputusan, antara lain pengajaran dan
untuk Menentukan pengajaran dan
proses pemecahan pelatihan
terhadap suatu keterampilan
permasalahan,
9.Kewajiban untuk
menentukan solusi yang
mengurangi angka
Manfaat dipilih, turut serta dalam
putus sekolah anak
pengambilan keputusan
baik terkait dengan perempuan
jumlah maupun kualitas.
Keberdayaan institusi
dan peran serta Perempuan dan laki-
masyarakat untuk laki setara dan
mengatasi persoalan berdaya dalam:
yang dihadapi, terutama
persoalan yang dihadapi 1. memperoleh dan
perempuan menggunakan
kesempatan
mendapatkan semua
jenis, jenjang, dan jalur
Menganalisis apakah pendidikan.
norma hukum yang 2. pendidikan dan
dirumuskan dalam suatu pengajaran dalam

311
peraturan perundang- rangka
undangan memuat pengembangan
ketentuan yang setara dirinya sesuai bakat,
berkenaan dengan relasi minat, dan tingkat
kekuasaan antara kecerdasannya.
perempuan dan laki- 3. mencari, menerima
laki untuk dan memberikan
melaksanakan hak dan informasi sesuai
kewajibannya dan dengan intelektualitas
mempunyai kekuasaan dan usianya.
yang sama pada 4. mendapatkan
sumberdaya pendidikan yang bebas
pembangunan. biaya.
5. Hak anak, perempuan
dan laki-laki untuk
memperoleh dan
apakah norma hukum
meraih kesempatan
yang dirumuskan dapat
menjamin bahwa suatu pendidikan,
kebijakan atau program pengajaran dan
pembangunan akan pelatihan
mempunyai manfaat keterampilan yang
yang sama bagi berkelanjutan.
perempuan dan laki-
laki di kemudian hari
dan pemanfaatan
Perempuan dan laki-laki
manfaat yang sama dan
adil dari hak yang setara dan berdaya
dipenuhi, terutama menentukan dan
dipenuhinya hak memutuskan jenis
perempuan pendidikan dan
pengajaran, pelatihan
keterampilan sesuai
dengan minat dan
bakatnya.

Perempuan dan laki-


laki setara dan
berdaya menikmati
manfaat hasil
pendidikan, dan
pengajaran pada
semua jenis jenjang
sesuai dengan minat
dan bakatnya.

Setiap anak, perempuan


dan laki-laki setara dan
berdaya menikmati
manfaat dari hasil

312
pendidikan, pengajaran
dan pelatihan
keterampilan yang
diperolehnya
Sumber : KPPA, data diolah

Berdasarkan analisis pasal-pasal dalam Qanun Aceh Nomor 11 tahun 2014,

yang kemudian diubah dengan Qanun Nomor 9 tahun 2015 tentang Penyelenggaraan

pendidikan menunjukkan bahwa ada beberapa pasal yang secara tersurat

menunjukkan prinsip-prinsip non diskriminasi, kesetaraan dan keadilan, keadilan

gender, serta pemenuhan hak asasi perempuan dalam penyelenggaran pendidikan di

Aceh. Dalam Pasal 2 disebutkan bahwa pendidikan di Aceh berasaskan:

a. Keislaman
b. Kebangsaan
c. Keacehan
d. Kebenaran
e. Kemanusiaan
f. Keadilan
g. Kemanfaatan
h. Keterjangkauan
i. Profesionalitas
j. Keteladanan
k. Keanekaragaman
l. Non diskriminasi

Ada beberapa asas yang secara tersurat disebutkan berkaitan dengan perspektif

keadilan gender, hal tersebut terdapat dalam asas keadilan, non diskriminasi, dan

kemanusiaan, artinya penyebutannya secara eksplisit memperlihatkan tidak adanya

perbeedaan penerapan karena faktor perbedaan jenis kelamin. namun dalam

menentukan asas ini qanun 2014 ini mengalami kemunduran dibandingkan dengan

qanun pendidikan sebelumnya (Qanun nomor 5 tahun 2008) yaitu dihapuskannya asas

kesetaraan yang biasanya selalu melekat dengan asas keadilan dalam kaitannya

dengan perspektif gender.

313
Selanjutnya mengenai prinsip penyelenggaraan pendidikan dari qanun ini

dapat dilihat dalam Pasal 5 yang menyatakan bahwa pendidikan di Aceh dilaksanakan

dengan prinsip:

a. pemberlakuan untuk semua peserta didik tanpa membedakan


suku, agama, ras, dan keturunan
b. pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung
sepanjang hayat
c. pengembangan keseluruhan potensi peserta didik dilakukan
secara sistematik, terpadu, dan terarah
d. pemberian keteladanan, motivasi, keimanan, kecerdasan, dan kreativitas
peserta didik
e. pendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan dan
pengendalian mutu layanan pendidikan
f. pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung
tinggi hak asasi manusia, nilai budaya, dan kemajemukan suku bangsa,
serta penghormatan asas demokrasi dan keadilan
g. efektif, efisien, transparans dan akuntabel

prinsip-prinsip tersebut sedikit berbeda dalam hal redaksi saja sebagaimana

prinsip yang termuat dalam qanun pendidikan tahun 2008, namun dari kedua qanun

tersebut, ketentuan dalam huruf (a) tidak ada menyebutkan bahwa pendidikan itu

tanpa membedakan jenis kelamin, tapi yang ditekankan adalah suku, agama, ras

keturunan, disini kelihatan bahwa persoalan gender memang tidak menjadi

perhatian khusus dalam penyusunan qanun pendidikan ini, idealnya pendidikan di

Aceh diselenggarakan dengan memperhitungkan prinsip-prinsip kemanusian

(humanisme) dengan berbagai aspeknya tanpa memandang asal-usul, suku bangsa,

subjek didik, jenis kelamin, agama dan berbagai hal yang melekat secara langsung

pada mereka sebagai manusia.

Kemudian dalam ayat (2) ditambahkan bahwa Sistem Pendidikan Nasional

di Aceh diselenggarakan secara Islami dan terpadu untuk mencapai tujuan

pendidikan. Ketentuan tentang penyelenggaraan pendidikan secara terpadu dan

Islami diatur dengan peraturan gubernur. Bila berpedomamn pada kriteria (APKM)

akses, partisipasi kontrol dan manfaat maka dapat di lihat penjabarannya sebagai

314
berikut

a. Akses

Akses di bidang pendidikan berarti mempertimbangkan bagaimana

memperoleh kesempatan yang sama bagi perempuan dan laki-laki serta dalam

pemanfaatan sumberdaya pembangunan yang akan diatur dalam perundang-

undangan, sehingga norma-norma hukum yang dirumuskan mencerminkan

keadilan dan kesetaraan dan keadilan gender sehingga Perempuan dan laki-laki

setara dan berdaya dalam akses pada informasi dan menggunakan kesempatan

untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran di semua jenis, jenjang, dan

jalur pendidikan sesuai dengan bakat minatnya. Hak memperoleh pendidikan

dan pengajaran dalam rangka pengembangan dirinya sesuai bakat, minat, dan

tingkat kecerdasannya, hak mencari, menerima dan memberikan informasi

sesuai dengan intelektualitas dan usianya, hak mendapatkan pendidikan yang

bebas biaya, hak mendapat dana pendidikan beasiswa dan dana lain sesuai

dengan bakat, minat dan intelektualitasnya, hak memperoleh segala jenis

pelatihan formal maupun non-formal termasuk yang berhubungan dengan

pemberantasan buta aksara fungsional, serta sesuai pelayanan penyuluhan guna

meningkatkan keterampilan. Kewajiban untuk menggagas konsep yang alternatif

di segala tingkat dan dalam segala bentuk pendidikan. Setiap anak, perempuan

dan laki-laki berhak dan berdaya memperoleh pendidikan , pengajaran dan

pengajaran dan pelatihan keterampilan. Kewajiban untuk mengurangi angka putus

sekolah anak perempuan

Penjabaran indikator terkait akses sebagaimana tersebut diatas dapat

ditemui dalam Qanun Pendidikan. Berdasarkan isi Pasal 7 bahwa:

(1) Setiap penduduk Aceh berhak:


315
a. mendapat pendidikan yang bermutu;

b. mendapat pendidikan yang islami bagi yang beragama


Islam;
c. mendapat pendidikan dasar dan menengah tanpa dipungut biaya
operasional sekolah untuk usia 7 (tujuh) sampai dengan 18 (delapan
belas) tahun;
d. memperoleh pendidikan khusus bagi anak usia sekolah yang memiliki
kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau sosial;
e. memperoleh pendidikan khusus bagi anak usia sekolah yang
memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa;

f. mendapatkan pendidikan layanan khusus bagi masyarakat adat,


penduduk yang menetap di daerah terpencil, perbatasan, korban bencana,
korban konflik bersenjata dan konflik sosial.

(2) Peserta didik pada masyarakat adat, penduduk yang menetap di daerah
terpencil, perbatasan, korban bencana, korban konflik bersenjata dan
konflik sosial serta anak yang menghadapi masalah sosial berhak
mendapatkan pendidikan layanan khusus.
Berdasarkan isi Pasal tersebut dinyatakan akses terhadap pendidikan dapat

di rasakan oleh seluruh penduduk Aceh, berupa pendidikan dasar yang bebas biaya,

Pendidikan yang Islami bagi yang beragama Islam dan pendidikan dalam situasi

krisis (pendidikan layanan khusus). Tapi Qanun Pendidikan tidak memuat

ketentuan tentang upaya untuk mengurangi angka putus sekolah, khususnya bagi

perempuan.

b. Partisipasi

Memperhatikan apakah peraturan perundang-undangan memberikan kesempatan

yang setara bagi perempuan dan laki-laki untuk berpartisipasi dan mempunyai

peran yang sama dalam proses pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan,

antara lain untuk menentukan proses pemecahan terhadap suatu permasalahan,

316
menentukan solusi yang dipilih, turut serta dalam pengambilan keputusan baik terkait

dengan jumlah maupun kualitas. Keberdayaan institusi dan peran serta masyarakat

untuk mengatasi persoalan yang dihadapi, terutama persoalan yang dihadapi

perempuan dan laki-laki setara dan berdaya dalam memperoleh dan

menggunakan kesempatan mendapatkan semua jenis, jenjang, dan jalur

pendidikan, pengembangan dirinya sesuai bakat, minat, dan tingkat

kecerdasannya, mencari, menerima dan memberikan informasi sesuai dengan

intelektualitas dan usianya, mendapatkan pendidikan yang bebas biaya, hak

anak, perempuan dan laki-laki untuk memperoleh dan meraih kesempatan

pendidikan, pengajaran dan pelatihan keterampilan yang berkelanjutan.

Beberapa indikator tersebut di atas termuat dalam Pasal 8 Qanun

pendidikan yaitu:

(1) Peserta didik pada setiap satuan pendidikan di Aceh berhak:

a. mendapat pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya


dan diajarkan oleh pendidik yang seagama;
b. memilih lembaga dan/atau bidang pendidikan sesuai dengan
minat, bakat dan kemampuannya;
c. memilih untuk pindah ke lembaga dan/atau program pendidikan
pada jalur dan satuan pendidikan lain yang setara;

d. mendapatkan beasiswa atau bantuan biaya pendidikan bagi peserta


didik yang berprestasi dan/atau bagi peserta didik dari keluarga yang
tidak mampu secara ekonomi;

e. mendapatkan perlindungan dari perlakuan yang


bertentangan dengan norma agama, hukum, adat istiadat dan nilai
edukatif;
f. mendapatkan bahan ajar, bahan praktikum, dan bahan penunjang
lainnya.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai beasiswa atau bantuan biaya pendidikan

317
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf (d) diatur dengan Peraturan
Gubernur.
Peran serta masyarakat selanjutnya dapat di lihat dari ketentuan Bab
XVI yaitu dalam Pasal 78 dan 79:
Pasal 78 menyatakah bahwa:
(1) Masyarakat berhak berperanserta dalam perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan, dan evaluasi program pendidikan serta dalam peningkatan
mutu pendidikan di Aceh.

(2) Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dan


bertanggungjawab terhadap keamanan dan kenyamanan dalam
penyelenggaraan pendidikan.

(3) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
melalui Majelis Pendidikan Daerah, Komite Sekolah/Madrasah dan/atau
lembaga kemasyarakatan lainnya.

Pasal 79 memuat tentang mekanisme partisipasi masyarakat terkait

ketentuan Pasal sebelumnya. Pasal 79 menyatakan bahwa:

(1) Untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam pendidikan,

pada setiap satuan pendidikan dibentuk Komite Sekolah/Madrasah.

(2) Pembentukan Komite Sekolah/Madrasah sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Namun Qanun pendidikan ini idak menjelaskan bagaimana mekanisme

peranserta masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan

evaluasi program pendidikan serta dalam peningkatan mutu pendidikan di Aceh.

c. Kontrol

Menganalisis apakah norma hukum yang dirumuskan dalam suatu peraturan

perundang-undangan memuat ketentuan yang setara berkenaan dengan relasi

kekuasaan antara perempuan dan laki-laki untuk melaksanakan hak dan

318
kewajibannya dan mempunyai kekuasaan yang sama pada sumberdaya

pembangunan. Perempuan dan laki-laki setara dan berdaya menentukan dan

memutuskan jenis pendidikan dan pengajaran, pelatihan keterampilan

sesuai dengan minat dan bakatnya.

Qanun pendidikan hanya memuat tentang pengawasan, pemantauan dan

evaluasi serta akreditas pendidikan sebagaimana termuat dalam Bab XVIII, dari

Pasal 82 sampai Pasal 87. Pasal 82 menyatakan bahwa Pengawasan terhadap

penyelenggaraan pendidikan dilakukan untuk menjamin terlaksananya prinsip

transparansi, akuntabilitas, berkesinambungan dan partisipatif dalam

penyelenggaraan pendidikan dan pengawasan tersebut dilaksanakan oleh

Pemerintah Aceh, Pemerintah Kabupaten/Kota, dan masyarakat melalui Majelis

Pendidikan Daerah dan Komite Sekolah/Madrasah sesuai dengan peraturan

perundang-undangan.

Selanjutnya dalam Pasal 85 di tegaskan lagi bahwa Pemerintah Aceh

dan Pemerintah Kabupaten/Kota melaksanakan pemantauan dan evaluasi

atas penyelenggaraan pendidikan sesuai kewenangannya. Pemantauan dan

evaluasi dilakukan secara sistematis berdasarkan indikator kinerja yang terukur

disusun oleh SKPA dan SKPK serta instansi vertikal yang membidangi

pendidikan. Pemantauan dan evaluasi pendidikan juga dilakukan terhadap

pelaksanaan program yang direncanakan dan pertanggungjawaban penggunaan

dana. Pemantauan dan evaluasi dilakukan oleh badan/lembaga/satuan kerja

pemerintah sesuai peraturan perundang-undangan yang diatur dengan Peraturan

Gubernur.

d. Manfaat

319
Aspek manfaat melihat apakah norma hukum yang dirumuskan dapat

menjamin bahwa suatu kebijakan atau program pembangunan akan mempunyai

manfaat yang sama bagi perempuan dan laki-laki di kemudian hari dan

pemanfaatan manfaat yang sama dan adil dari hak yang dipenuhi, terutama

dipenuhinya hak perempuan. Apakah perempuan dan laki-laki setara dan

berdaya menikmati manfaat hasil pendidikan, dan pengajaran pada semua

jenis jenjang sesuai dengan minat dan bakatnya, memastikan setiap anak,

perempuan dan laki-laki setara dan berdaya menikmati manfaat dari hasil

pendidikan, pengajaran dan pelatihan keterampilan yang diperolehnya.

Tentang siapa penerima manfaat dari ketentuan Qanun pendidikan ini

ditujukan juga kepada siapapun yang naman mengakses pendidikan sebagai

mana termuat dalam Pasal 7, namun ada beberapa kelemahan yang penting

disebutkan, yaitu tidak ada pasal khusus yang mengatur mekanisme

komplain masyarakat untuk memperoleh hak pendidikan yang berkualitas,

perlakuan sewenang wenang terhadap siswa dan guru, pelecehan seksual dan

kemungkinan adanya perlakuan yang berbeda terhadap kelompok

perempuan karena persoalan budaya, agama dan tradisi secara umum.

Adanya Elemen-elemen yang mempengaruhi keberhasilan atau

kegagalan perspektif gender berinteraksi dalam Kebijakan/Program Pendidikan,

menurut Novita elemen tersebut adalah: 491

a. Elemen pengetahuan aktor Perumus kebijakan.

Sebagai penentu keberhasilan atau Kegagalan kebijakan/program

pendidikan yang berperspektif gender pengetahuan aktor perumus

kebijakan/program merupakan determinan dalam terintegrasinya nilai-nilai baru

491
Novita Tresiana, Education Policy Formulation of Gender Perspective In Lampung Province,
Jurnal Borneo administrator, Vol. 11,No.2, 2015, hlm 175

320
dalam program pendidikan, mensyaratkan penguasaan aktor perumus untuk

mengindera isu- isu dan kepentingan publik492. Dalam konteks ini, pemahamannya

tentu saja berkaitan dengan nilai-nilai kesetaraan dan keadilan gender yang ingin

dan akan dilekatkan dalam tahapan perumusan kebijakan/program pendidikan.

Dengan demikian output dari perumusan akan lahir kebijakan pendidikan yang

berperspektif gender.

Esensinya kebijakan pendidikan berperspektif gender yang dikenal dengan

kebijakan pengarusutamaan gender (PUG), merupakan sebuah strategi kebijakan

perubahan yang semula netral gender menjadi kebijakan yang lebih responsif

gender . Kerangka kebijakan pendidikan yang berperspektif gender haruslah

dapat dihasilkan melalui penggunaan alat analisis gender pada setiap penyusunan

kebijakan/program dan penggunaan data terpilah sebagai dasar untuk

merumuskan kebijakan/program pendidikan. Output keberhasilan kebijakan PUG

dilihat dari berintegrasinya perspektif gender (PUG) dalam setiap kebijakan ,

program dan kegiatan pendidikan, dan bukannya merupakan

kebijakan/program yang terpisah.

b. Elemen Otoritas/KekuasaanAktor perumus kebijakan.

Sebagai faktor yang mempengaruhi Keberhasilan atau Kegagalan

kebijakan pendidikan yang berperspektif gender pemegang otoritas/kekuasaan

dalam perumusan kebijakan/program amatlah menentukan efektif atau tidaknya

hasil dari sebuah proses perumusan kebijakan/program 493 . Otoritas atau

kekuasaan ditegaskan oleh Parsons, lebih ditekankan pada lokus, yaitu struktur

dimana otoritas (kewenangan/ kekuasaan) itu ditempatkan. Secara konsep

mengatakan bahwa struktur dalam organisasi merupakan hal yang penting ,


492
Wayne Parson, 2006, Public Policy Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan. Jakarta:
Kencana, hlm375
493
Ibid, hlm. 376

321
mengingat struktur akan berkenaan dengan siapa yang harus mengerjakan apa

yang telah diputuskan. Atau, dengan kata lain siapa yang memiliki fungsi dan

tugas untuk mengerjakan pekerjaan tertentu, dan berkaitan dengan tanggungjawab

baik secara vertikal maupun horizontal.

Substansi kebijakan dan program pendidikan sebagai fungsi strategis

menuju kesetaraan dan keadilan gender, menuntut perspektif gender (PUG)

haruslah melekat pada setiap kebijakan/program/kegiatan Dinas Pendidikan

Provinsi Aceh. Oleh karenanya, program berperspektif gender ini bukanlah milik

salah satu bidang atau salah satu seksi saja pada unit tertentu, tapi tanggung jawab

semua unit.

C. Gambaran Umum dan Penerapan Asas Keadilan perspektif Gender Dalam Qanun

Kesehatan Di Aceh

1. Gambaran Umum Qanun Kesehatan

Kesehatan adalah hak asasi manusia dan sekaligus investasi untuk keberhasilan

pembangunan bangsa. Untuk itu diselenggarakan pembangungan kesehatan secara

menyeluruh dan berkesinambungan, dengan tujuan guna meningkatkan kesadaran,

kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan

masyarakat yang setinggi-tingginya. Kesinambungan dan keberhasilan pembangunan

kesehatan ditentukan oleh tersedianya pedoman penyelenggaraan pembangunan

kesehatan. Penyelenggaran pembangunan kesehatan di Indonesia berpedoman pada

Sistem Kesehatan Nasional (SKN), yaitu suatu tatanan yang menghimpun berbagai

upaya bangsa Indonesia secara terpadu dan saling mendukung guna menjamin derajat

kesehatan yang setinggin-tingginya sebagai perwujudan kesejahteraan umum seperti

diamanatkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

322
Dalam CEDAW, tentang kesehatan diatur dalam Pasal 12 yang menyatakan

bahwa:

1) Negara-negara Peserta wajib melakukan segala langkah yang diperlukan untuk


menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam bidang pelayanan kesehatan
untuk menjamin, atas dasar kesetaraan dan keadilan laki-laki dan perempuan, akses
terhadap pelayanan perawatan kesehatan, termasuk yang berhubungan dengan
keluarga berencana.
2) Negara-negara peserta wajib menjamin bagi perempuan pelayanan yang tepat
berkaitan dengan masa kehamilan, kelahiran dan pasca-kelahiran, memberikan
pelayanan cuma-cuma dimana perlu, serta pemberian makanan bergizi yang cukup
selama masa kehamilan dan menyusui.
Hak atas kesehatan meliputi hak untuk mendapatkan kehidupan dan pekerjaan

yang sehat, hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, dan perhatian khusus terhadap

kesehatan ibu dan anak. Pasal 25 Universal Declaration of Human Rights (UDHR)

menyatakan:

1. Setiap orang berhak atas taraf kehidupan yang memadai untuk kesehatan dan
kesejahteraan dirinya sendiri dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, sandang,
papan, dan pelayanan kesehatan, pelayanan sosial yang diperlukan, serta hak atas
keamanan pada saat menganggur, sakit, cacat, ditinggalkan oleh pasangannya, lanjut
usia, atau keadaan-keadaan lain yang mengakibatkan merosotnya taraf kehidupan
yang terjadi diluar kekuasaannya.
2. Ibu dan anak berhak mendapatkan perhatian dan bantuan khusus. Semua anak, baik
yang dilahirkan di dalam maupun di luar perkawinan, harus menikmati perlindungan
sosial yang sama.

Jaminan hak atas kesehatan juga terdapat dalam Pasal 12  ayat (1) Konvensi

Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang ditetapkan oleh Majelis

Umum PBB 2200 A (XXI) tanggal 16 Desember 1966, yaitu bahwa negara peserta

konvenan tersebut mengakui hak setiap orang untuk menikmati standar tertinggi yang

dapat dicapai dalam hal kesehatan fisik dan mental. Pada lingkup nasional, Pasal 28 H

ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan

batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta

323
berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Pasal 9 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang

Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa:

1. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf

kehidupannya.

2. Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera, lahir dan batin.

3. Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. 

Berdasarkan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan (UU Keehatan), kesehatan merupakan kondisi sejahtera dari badan, jiwa, dan

sosial yang memungkinkan setiap orang produktif secara ekonomis karena itu kesehatan

merupakan dasar dari diakuinya derajat kemanusiaan. Tanpa kesehatan, seseorang

menjadi tidak sederajat secara kondisional. Tanpa kesehatan, seseorang tidak akan

mampu memperoleh hak-haknya yang lain. Seseorang yang tidak sehat dengan sendirinya

akan berkurang haknya atas hidup, tidak bisa memperoleh dan menjalani pekerjaan yang

layak, tidak bisa menikmati haknya untuk berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan

pendapat, dan tidak bisa memperoleh pendidikan demi masa depannya. Singkatnya,

seseorang tidak bisa menikmati sepenuhnya kehidupan sebagai manusia.

Pentingnya kesehatan sebagai hak asasi manusia dan sebagai kondisi yang

diperlukan untuk terpenuhinya hak-hak lain telah diakui secara internasional, selanjutnya

Pasal 7 UU Kesehatan menyatakan bahwa pemerintah bertugas menyelenggarakan upaya

kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat. Pasal 9 UU Kesehatan

menyatakan bahwa pemerintah bertanggung jawab untuk meningkatkan derajat kesehatan

masyarakat. Upaya pemenuhan hak atas kesehatan dapat dilakukan dengan berbagai

macam cara yang meliputi pencegahan dan penyembuhan. Upaya pencegahan meliputi

penciptaan kondisi yang layak bagi kesehatan baik menjamin ketersediaan pangan dan

324
pekerjaan, perumahan yang baik, dan lingkungan yang sehat. Sedangkan upaya

penyembuhan dilakukan dengan penyediaan pelayanan kesehatan yang optimal.

Pelayanan kesehatan meliputi aspek jaminan sosial atas kesehatan, sarana kesehatan yang

memadai, tenaga medis yang berkualitas, dan pembiayaan pelayanan yang terjangkau

oleh masyarakat.

Pasal 4 UU kesehatan menyatakan bahwa Landasan utama bahwa perlindungan

HAM merupakan kewajiban pemerintah adalah prinsip demokrasi bahwa sesungguhnya

pemerintah diberi amanah kekuasaan adalah untuk melindungi hak-hak warga negara.

Terlebih lagi dengan konsep negara kesejahteraan (welfare state) sebagai konsep negara

modern telah memberikan kekuasaan lebih besar pada pemerintah untuk bertindak.

Kekuasaan ini semata-mata adalah untuk memajukan dan mencapai pemenuhan hak asasi

manusia. Pemerintah tidak lagi hanya menjaga agar seseorang tidak melanggar atau

dilanggar haknya, namun harus mengupayakan pemenuhan hak-hak tersebut. Demikian

pula dengan hak atas kesehatan, merupakan kewajiban pemerintah untuk memenuhinya.

Pelayanan kesehatan sebagaimana dinyatakan dalam UU Kesehatan kesehatan harus

memperhatikan hak yang optimal. Pemerintah memiliki peranan dan tanggung

jawab yang sangat penting dalam mengatur pelayanan kesehatan agar masyarakat

memiliki kesempatan yang sama terhadap pelayanan kesehatan yang dibutuhkan tanpa

memandang latar belakang agama, jenis kelamin, suku dan tingkat sosial.

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka hukum kesehatan dapat di kelompokkan

menjadi 4 kelompok yaitu494:

1. Hukum kesehatan yang terkait langsung dengan pelayanan kesehatan yaitu antara

lain:

494
http://drampera.blogspot.co.id/2011/06/hukum-kesehatan.html, terakhir di akses pada 18 Februari
2017, pukul 12.08 Wib

325
a. UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan tentang Kesehatan

b. UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek kedokteran

c. UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah sakit

d. PP  Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan

e. PP Nomor 93 Tahun 2015 tentang Rumah Sakit

f. Permenkes Nomor 161 Tahun 2010 tentang Uji kompetensi dan lain lain

2. Hukum Kesehatan yang tidak secara langsung terkait dengan pelayanan Kesehatan

antara lain:

a. Hukum Pidana, pasal-pasal hukum pidana yang terkait dengan pelayanan

kesehatan. Misalnya Pasal 359 KUHP     tentang kewajiban untuk bertanggung

jawab secara pidana bagi tenaga kesehatan atau sarana kesehatan   yang dalam

menyelenggarakan pelayanan kesehatan menyebabkan pasien mengalami

cacat, gangguan     fungsi organ tubuh atau kematian akibat kelalaian atau

kesalahan yang dilakukannya

b. Hukum Perdata, pasal-pasal Hukum Perdata yang terkait dengan pelayanan

kesehatan, misalnya Pasal 1365 KUHPerd. mengatur tentang kewajiban

hukum untuk mengganti kerugian yang dialami oleh pasien akibat

adanya  perbuatan wanprestasi dan atau perbuatan melawan hukum yang

dilakukan oleh tenaga kesehatan dan    sarana kesehatan dalam memberikan

pelayanan terhadap pasien

c. Hukum Administrasi  ketentuan-ketentuan penyelenggaraan pelayanan

kesehatan baik yang dilakukan oleh tenaga kesehatan   maupun oleh sarana

kesehatan yang melanggar hukum adminstrasi yang menyebabkan kerugian

326
pada    pada pasien menjadi tanggung jawab hukum dari penyelenggara

pelayanan kesehatan tersebut

3. Hukum Kesehatan yang berlaku secara Internasional

a.Konvensi
b.Yurisprudensi
c. Hukum Kebiasaan
4. Hukum Otonom

a. Perda tentang kesehatan

b. Kode etik profesi

Sebagai produk daerah, Qanun Aceh Nomor 24 tahun 2010 tentang

Kesehatan (Qanun Kesehatan) termasuk dalam hukum otonom. Bila kita telaah

komposisi isi qanun tersebut dapat di lihat dalam tabel berikut ini

Tabel 6. Komposisi Qanun Kesehatan

327
BAB TENTANG PASAL
I Ketentuan umum Pasal 1
II Asas, tujuan dan ruang lingkup Pasal 2 – 4
III Hak dan kewajiban Pasal 5 – 21
IV Tugas dan tanggung jawab Pemerintah Aceh Pasal 22, 23
V Kewenangan Pemerintah Aceh Pasal 24
VI Kewenangan Pemerintah kabupaten/kota Pasal 25
VII Tugas tanggung jawab dan wewenang SKPA Pasal 26 – 33
Peran Pemerintah Aceh, pemerintah
VIII Pasal 34, 35
kabupaten/kota dan swasta
IX Sumber daya kesehatan Pasal 36 – 51
X Upaya kesehatan Pasal 43-77
Peran serta masyarakat dalam pelayanan
XI Pasal 78, 79
kesehatan
XII Sanksi Administrasi Pasal 80
XIII Ketentuan Pidana Pasal 81
XIV Ketentuan peralihan Pasal 82
XV Ketentuan penutup Pasal 83, 84
Sumber: Qanun Kesehatan, data diolah

2. Perspektif Keadilan Gender Dalam Substansi Qanun

Pendekatan gender dalam bidang kesehatan untuk mengetahui bahwa

faktor sosiobudaya, serta hubungan kekuasaan antara laki-Iaki dan perempuan,

merupakan faktor penting yang berperan dalam mendukung atau mengancam

kesehatan seseorang. Hal ini dinyatakan dengan jelas oleh WHO dalam Konferensi

Perempuan Sedunia ke IV di Beijing pada tahun1995. Keadilan dalam kesehatan

didefinisikan sebagai "keadaan untuk mengurangi kesenjangan dalam kesehatan

dan determinan kesehatan, termasuk pelayanan kesehatan, yang dapat dihindarkan

antara kelompok masyarakat yang mempunyai latar belakang sosial (termasuk

gender) yang berbeda"495.

Untuk mengupayakan keadilan dalam kesehatan, perlu diberikan perhatian

khusus kepada kelompok masyarakat yang paling rawan dan upaya untuk

mengurangi kesenjangan. Dalam kaitannya dengan perspektif gender ternyata


495
Bappenas, 2002, Analisis Gender Dalam Pembangunan Kesehatan, Jakarta, hlm 13

328
perempuan berada dalam posisi yang rawan dan status kesehatannya lebih buruk dari

laki-Iaki. Oleh karena itu dalam Konferensi Perempuan Sedunia ke IV di Beijing

pada tahun 1995 menyebutkan "Perempuan dan Kesehatan" sebagai suatu aspek

penting yang disebutkan dalam Rencana Aksi. Ada enam tujuan strategis 496 yang

perlu dicapai, yaitu:

1. Meningkatkan akses perempuan sepanjang siklus hidupnya terhadap


pelayanan kesehatan yang sesuai, terjangkau dan berkualitas; serta terhadap
informasi dan pelayanan terkait lainnya yang layak dengan biaya terjangkau dan
berkualitas.
2. Memantapkan upaya preventif yang mempromosikan kesehatan perempuan.
3. Menerapkan upaya sensitif gender dalam mengatasi masalah infeksi menular
seksual (IMS), HIV/AIDS, serta masalah kesehatan reproduksi lainnya.
4. Mempromosikan penelitian dan penyebaran informasi tentang kesehatan
perempuan.
5. Meningkatkan sumber-sumber dan memantau upaya kesehatan perempuan.
6. Menghapus diskriminasi terhadap anak perempuan dalam kesehatan dan gizi

Guna memastikan bahwa suatu Peraturan Perundang-undangan telah memenuhi

unsur-unsur atau dapat dikategorikan berperspektif keadilan gender, diperlukan

suatu alat analisis berupa indikator kesetaraan dan keadilan gender, yang di

dalamnya terdapat indikator-indikator mengenai kesetaraan dan keadilan gender.

Penyusunan indikator kesetaraan dan keadilan gender dalam setiap pembentukan

peraturan perundang-undangan merupakan langkah nyata untuk mewujudkan

kesetaraan dan keadilan gender melalui pengintegrasian prinsip-prinsip

kesetaraan dan keadilan gender ke dalam proses perencanaan penyusunan dan

pembahasan Peraturan Perundang-undangan kesehatan yang berkeadiln gender

baik dalam status maupun pelayanan. Sebagaimana definisi keadilan gender

dalam kesehatan menurut WHO mengandung 2 aspek:

(i) Keadilan dalam (status) kesehatan, yaitu tercapainya derajat kesehatan yang
setinggi mungkin (fisik, psikologis dan sosial) bagi setiap warga negara.
496
Lee Waldorf, 2007, Jalan Menuju Kesetaraan Gender (Terjemahan Netti lesmanawati), Unifem,
Jakarta, hlm. 29.

329
(ii) Keadilan dalam pelayanan kesehatan, yang berarti bahwa pelayanan diberikan
sesuai dengan kebutuhan tanpa tergantung pada kedudukan sosial seseorang, dan
diberikan sebagai respon terhadap harapan yang pantas dari masyarakat,
dengan penarikan biaya pelayanan yang sesuai dengan kemampuan bayar
seseorang.

Sebagaimana di sebutkan sebelumnya bahwa proses pengintegrasian

kesetaraan dan keadilan gender didasarkan pada ketentuan dasar yang

diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yang terdiri dari 14

(empat belas) rumpun hak dan terjabarkan menjadi 40 (empat puluh) Hak

Konstitusional dengan mempertimbangkan Akses, Partisipasi, Kontrol dan

Manfaat (APKM) yang adil bagi laki-laki dan perempuan, guna menjamin

keadilan gender di setiap bidang pembangunan dan/atau aspek kehidupan.

Untuk memasukkan unsur APKM dalam Qanun Kesehatan di Aceh dapat

berpedoman pada tabel berikut ini

Tabel Indikator kesetaraan dan keadilan gender terkait kesehatan

Rumpun hak Hak Unsur Pengertian Indikator terkait


konstitusional keadilan kesehatan
dan
kesetaraan
dan
keadilan
Hak atas Hak untuk Akses mempertimbangkan Perempuan dan laki-laki
kesehatan dan memperoleh bagaimana memperoleh setara dan berdaya dalam
lingkungan layanan kesempatan yang sama akses pada informasi dan
yang sehat kesehatan bagi perempuan dan adanya hak atas layanan
(Ps. 28 H (1) laki-laki serta dalam kesehatan berupa:
pemanfaatan 1. Jaminan kesehatan
sumberdaya 2. Fasilitas kesehatan
pembangunan yang akan yang bermutu

330
diatur dalam perundang- 3. Pelayanan kesehatan
undangan, sehingga yang bermutu dan
norma-norma hukum ekonomis terjangkau
yang dirumuskan 4. Pelayanan kesehatan
mencerminkan keadilan yang mudah terjangkau
dan kesetaraan dan jarak, jlan dan
keadilan gender infrastruktur.
5. Tersedianya fasilitas
kesehatan yang
berkaitan dengan fungsi
Partisipasi reproduksi, utamanya
bagi perempuan
6. Hak setiap anak,
perempuan dan laki-
laki untuk mendapat
layanan kesehatan
Memperhatikan apakah 7. hak anak yang cacat
peraturan perundang- perempuan dan laki-
undangan memberikan laki untuk memperoleh
kesempatan yang setara layanan kesehatan
bagi perempuan dan khusus, rehabilitasi
laki-laki untuk bantuan sosial dan
berpartisipasi dan pemeliharaan taraf
mempunyai peran kesejahteraan sosial
yang sama dalam
proses pembuatan
kebijakan dan 1. Perempuan dan
Kontrol pengambilan laki-laki setara dan
keputusan, antara lain berdaya dalam
untuk Menentukan berperan aktif guna
proses pemecahan mendorong
terhadap suatu tersedianya
permasalahan, pelayanan
menentukan solusi yang kesehatan bermutu
dipilih, turut serta dalam dan ekonomis/
pengambilan keputusan bermutu serta
baik terkait dengan mudah terjangkau.
jumlah maupun kualitas. 2. Mendorong
Keberdayaan institusi tersedianya
dan peran serta
pelayanan kesehatan
masyarakat untuk
yang bermutu dan
mengatasi persoalan
ekonomis dan
yang dihadapi, terutama
mudah terjangkau
Manfaat persoalan yang dihadapi
perempuan bagi anak, anak
cacat perempuan
Menganalisis apakah dan laki-laki.
norma hukum yang 3. Perempuan dan
dirumuskan dalam suatu laki-laki setara dan
peraturan perundang- berdaya dalam
undangan memuat mengatasi masalah
ketentuan yang setara selama kehamilan
berkenaan dengan relasi dan melahirkan
kekuasaan antara (pasca melahirkan)
perempuan dan laki- dengan meniadakan
laki untuk kebiasaan setempat
melaksanakan hak dan yang merugikan
kewajibannya dan perempuan dan
mempunyai kekuasaan anak.
yang sama pada

331
sumberdaya
pembangunan.
Perempuan dan laki-
laki setara dan
berdaya untuk:

1. Memutuskan dan
menentukan jenis
pelayanan kesehatan
dan pelayanan
kesehatan yang
berkaitan dengan
fungsi reproduksi,
yang bermutu
apakah norma hukum ekonomis dan
yang dirumuskan dapat terjangkau.
menjamin bahwa suatu 2. Memutuskan dan
kebijakan atau program menentukan
pembangunan akan pelayanan kesehatan
mempunyai manfaat anak dan pelayanaan
yang sama bagi
kesehatan khusus
perempuan dan laki-
bagi anak yang
laki di kemudian hari
menyandang cacat
dan pemanfaatan
manfaat yang sama dan perempuan dan laki-
adil dari hak yang laki yang ekonomis
dipenuhi, terutama dan terjangkau.
dipenuhinya hak 3. Untuk memutuskan
perempuan dan menentukan
peniadaan kebiasaan
perempuan dan
anak.

1.Perempuan dan
laki-laki setara dan
berdaya mendapat
manfaat dari
layanan kesehatan
yang bermutu
ekonomis dan
terjangkau.
2.Anak dan
penyandang cacat
perempuan dan
laki-laki menikmati
manfaat.
3.Adanya pelayanan
kesehatan anak dan
pelayanan khusus
bagi anak
penyandang cacat
yang bermutu,
ekonomis dan
terjangkau.
4.Menikmati manfaat
dari kebiasaan
setempat yang tidak
merugikan

332
perempuan dan
anak.
Sumber: KPPPA, data diolah

Berdasarkan analisis pasal-pasal dalam Qanun Aceh Nomor 4 tahun 2010

tentang kesehatan menunjukkan bahwa ada beberapa pasal yang secara tersurat

menunjukkan prinsip-prinsip non diskriminasi, kesetaraan dan keadilan, keadilan

gender, serta pemenuhan hak asasi perempuan dalam pelayanan kesehatan di Aceh.

Pemuatan prinsip-prinsip tersebut secara khusus tersurat dalam asas, fungsi,tujuan dan

prinsip-prinsip penyelenggaraan pelayanan kesehatan di Aceh. Dalam Pasal 2

dinyatakan bahwa sistem kesehatan Aceh diselenggarakan berasaskan:

a. keislaman,
b. perikemanusiaan
c. keseimbangan
d. kemanfaatan
e. kebenaran
f. perlindungan
g. penghormatan hak dan kewajiban,
h. keadilan kesetaraan
i. non diskriminatif.

Bila berpedoman pada indikator (APKM) akses, partisipasi kontrol dan

manfaat maka dapat di lihat penjabarannya sebagai berikut:

a. Akses

Akses di sini bermakna agar suatu peraturan mempertimbangkan bagaimana

memperoleh kesempatan yang sama bagi perempuan dan laki-laki serta dalam

pemanfaatan sumberdaya pembangunan yang akan diatur dalam perundang-undangan,

khususnya bidang kesehatan sehingga norma-norma hukum yang dirumuskan

mencerminkan keadilan dan kesetaraan dan keadilan gender bahwa perempuan dan

333
laki-laki setara dan berdaya dalam akses pada informasi dan adanya hak atas layanan

kesehatan berupa Jaminan kesehatan, fasilitas kesehatan yang bermutu, pelayanan

kesehatan yang bermutu dan ekonomis terjangkau, pelayanan kesehatan yang

mudah terjangkau jarak, jalan dan infrastruktur, tersedianya fasilitas kesehatan yang

berkaitan dengan fungsi reproduksi, utamanya bagi perempuan, hak setiap anak,

perempuan dan laki-laki untuk mendapat layanan kesehatan, hak anak yang cacat

perempuan dan laki- laki untuk memperoleh layanan kesehatan khusus, rehabilitasi

bantuan sosial dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial. Merujuk pada ketentuan

Pasal 2 yang menyatakan bahwa :

(1) Setiap penduduk Aceh mempunyai hak yang sama dalam memperoleh pelayanan
kesehatan yang berkualitas sesuai kebutuhan medisnya.
(2) Setiap penduduk Aceh berhak atas jaminan kesehatan.
(3) Setiap penduduk Aceh berhak atas Iingkungan hidup yang sehat.
(4) Setiap penduduk Aceh berhak untuk berperan serta dalam
penyelenggaraan pelayanan kesehatan.

(5) Setiap penduduk Aceh berhak atas pelayanan informasi kesehatan dan
pencegahan terhadap bahaya lingkungan dan perilaku yang
mengakibatkan timbulnya penyakit, baik fisik maupun mental.
Berdasarkan pasal tersebut akses kesehatan terbuka bagi seluruh

pendudu Aceh, dalm prakteknya bagi penduduk Aceh yang ingin mendapatkan

pelayanan kesehatan cukup menunjukkan kartu tanda penduduk atau kartu

keluarga. Selanjutnya dalam Pasal 13 dinyatakan bahwa Pemerintah

kabupaten/kota wajib menyediakan dan memelihara fasilitas pelayanan

kesehatan yang memadai dan terjangkau bagi seluruh penduduk di

wilayahnya. Hanya saja asas keterjangkauan tidak di muat dalam Pasal 2

sehingga kebutuhan pelayanan kesehatan terhadap wilayah yang terisolir, atau

dalam kondisi khusus seperti konflik atau bencana alam tidak diatur di dalam

qanun.

334
b. Partisipasi

Indikator partisipasi artinya memperhatikan apakah peraturan

perundang-undangan memberikan kesempatan yang setara bagi perempuan dan

laki-laki untuk berpartisipasi dan mempunyai peran yang sama dalam proses

pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan, antara lain untuk Menentukan

proses pemecahan terhadap suatu permasalahan, menentukan solusi yang dipilih,

turut serta dalam pengambilan keputusan baik terkait dengan jumlah maupun

kualitas. Keberdayaan institusi dan peran serta masyarakat untuk mengatasi

persoalan yang dihadapi, terutama persoalan yang dihadapi perempuan, sehingga

perempuan dan laki-laki setara dan berdaya dalam berperan aktif guna

mendorong tersedianya pelayanan kesehatan bermutu dan ekonomis/ bermutu

serta mudah terjangkau. Mendorong tersedianya pelayanan kesehatan yang

bermutu dan ekonomis dan mudah terjangkau bagi anak, anak cacat perempuan

dan laki-laki. Perempuan dan laki-laki setara dan berdaya dalam mengatasi

masalah selama kehamilan dan melahirkan (pasca melahirkan) dengan

meniadakan kebiasaan setempat yang merugikan perempuan dan anak

Penjabaran indikator partisipasi dalam qanun kesehatan dapat di

temukan dalam pasal 19 yang menyatakan bahwa setiap orang dan badan

usaha, berkewajiban untuk ikut serta dalam memelihara, dan meningkatkan

derajat kesehatan perorangan, keluarga, dan masyarakat serta lingkungannya,

memberikan kontribusi pendanaan dalam program jaminan kesehatan kecuali

bagi fakir miskin. Juga adanya perlindungan terhadap kebiasaan masyarakat

yang merugikan perempuan hamil, melahirkan, dan balita sebagai mana temuat

dalam Pasal 19 ayat (5) yang menyatakan bahwa setiap orang wajib

menghilangkan perilaku yang tidak menguntungkan kesehatan ibu, bayi dan

335
anak balita. Pasal 69 ayat (1) juga menyatakan bahwa masyarakat, lembaga

swadaya masyarakat, baik lokal, nasional, maupun internasional, dan badan

dunia dapat berperan serta aktif dalam penanggulangan krisis kesehatan dan

bencana, Hanya saja qanun ini tidak mengatur bagaimana mekanisme

keterlibatan masyarakat dalam upaya untuk berpartisipasi meningkatan mutu

dan kualitas pelayanan kesehatan di Aceh.

c. Kontrol

Indikator ini menganalisis apakah norma hukum yang dirumuskan dalam

suatu peraturan perundang-undangan memuat ketentuan yang setara berkenaan

dengan relasi kekuasaan antara perempuan dan laki-laki untuk melaksanakan

hak dan kewajibannya dan mempunyai kekuasaan yang sama pada sumberdaya

pembangunan. Perempuan dan laki-laki setara dan berdaya untuk

memutuskan dan menentukan jenis pelayanan kesehatan dan pelayanan

kesehatan yang berkaitan dengan fungsi reproduksi, yang bermutu

ekonomis dan terjangkau, memutuskan dan menentukan pelayanan

kesehatan anak dan pelayanaan kesehatan khusus bagi anak yang

menyandang cacat perempuan dan laki-laki yang ekonomis dan terjangkau,

serta untuk memutuskan dan menentukan peniadaan kebiasaan yang

merugikan perempuan dan anak. Salah satu penjabarannyadalam substansi

qanun dapat dilihat dalam Pasal 55 yang menyatakan bahwa Pasien berhak

memperoleh penjelasan menyeluruh mengenai hasil pemeriksaan,

diagnosa, tindakan dan pengobatan dari dokter dan atau fasilitas pelayanan

kesehatan serta pasien berhak meminta laporan hasil pemeriksaan dan

perawatan dari dokter dan atau perawat dan atau fasilitas pelayanan

kesehatan apabila diperlukan

336
d. Manfaat

Indikator ini akan menentukan apakah norma hukum yang dirumuskan dapat

menjamin bahwa suatu kebijakan atau program pembangunan akan mempunyai

manfaat yang sama bagi perempuan dan laki-laki di kemudian hari dan

pemanfaatan manfaat yang sama dan adil dari hak yang dipenuhi, terutama

dipenuhinya hak perempuan, perempuan dan laki-laki setara dan berdaya

memperoleh manfaat dari layanan kesehatan yang bermutu ekonomis dan

terjangkau, serta anak dan anak yang menyandang cacat perempuan dan

laki-laki menikmati manfaat dan adanya pelayanan kesehatan anak dan

pelayanan khusus bagi anak penyandang cacat yang bermutu, ekonomis

dan terjangkau. Merujuk pada substansi qanun kesehatan maka penerima

manfaat dari sistem pelayan kesehatan yang diatur dalam qanun ini dapat

di lihat dari tujuan pembuatan qanun itu sendiri sebagaimana tertuang

dalam Pasal 3 yang menyatakan bahwa tujuan sistem kesehatan aceh

bertujuan untuk:

a. memberikan perlindungan kepada masyarakat agar terwujud derajat


kesehatan masyarakat yang optimal, sebagai modal bagi pembangunan
sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis;
b. memberikan akses bagi seluruh penduduk Aceh untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan medisnya;
c. menjamin terpenuhinya lingkungan hidup yang sehat bagi penduduk
Aceh;
d. mendorong terwujudnya pembangunan Aceh yang berwawasan
kesehatan;
e. meningkatkan mutu pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh
pemerintah, pemerintah Aceh, pemerintah kabupaten/kota dan swasta.

Penduduk Aceh adalah penerima manfaat dari keberadaan Qanun

Kesehatan ini, walaupun tidak disebutkan laki-laki atau perempuan.

Terdapat juga pasal-pasal yang mengharuskan pemberian pelayan khusus,

337
seperti yang terdapat dalam Pasal 60 tentang Kesehatan Ibu, yang

menyatakan bahwa Upaya kesehatan ibu harus ditujukan untuk menjaga

kesehatan ibu sehingga mampu melahirkan generasi yang sehat dan

berkualitas serta mengurangi angka kematian ibu, upaya kesehatan ibu

meliputi upaya promotif, prefentif, kuratif dan rehabilitatif.

Pelayan khusus lainnya adalah bagi kelompok orang cacat baik fisik

maupun mental sebagaimana dinyatakan dalam pasal 71 bahwa Pemerintah

Aceh dan pemerintah kabupatenjkota harus melindungi penderita cacat

fisik dan cacat mental dari tindakan diskriminasi dengan membuka akses

terhadap fasilitas umum dan menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan

berupa

a. pelayanan medis dan rehabilitasi yang dibutuhkan

b. akses penanganan kesehatan termasuk penanganan melalui sarana

bantuan teknis

c. akses informasi mengenai keadaan kesehatan mereka dan peran serta

aktif dalam penanganan kesehatan.

Pada Pasal 73 menyatakan bahwa setiap orang berhak mendapatkan

pelayanan kesehatan jiwa yang sesuai dengan standar pelayanan,

bermartabat, dan manusiawi, Pemerintah Aceh, pemerintah kabupaten kota

bersama masyarakat berkewajlban untuk mengembangkan upaya

kesehatan jiwa berbasis masyarakat. Sebagai strategi operasional dalam

mencapai kesetaraan dan keadilan antara lakilaki dan perempuan perlu

untuk melakukan pengarusutamaan gender (PUG) di semua bidang, tidak

hanya pendidikan dan kesehatan. Pengarusutamaan gender ini telah

menjadi komitmen global yang perlu ditindaklanjuti oleh setiap negara,

338
termasuk Indonesia, dan di setiap sektor. Upaya ini ditujukan untuk

mencapai derajat Indek Pemberdayaan Manusia (IPM) yang baik, optimal

bagi laki-Iaki dan perempuan yang setara, dengan mengatasi hambatan

yang berkaitan dengan ketidakadilan berbasis gender

BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Prinsip keadilan perspektif gender dalam peraturan perundang-undangan mengacu

pada ketentuan CEDAW, Konvensi ini mendorong diberlakukannya peraturan

Perundang-undangan nasional yang melarang diskriminasi dan mengadopsi

tindakan-tindakan khusus sementara untuk mempercepat kesetaraan dan keadilan

de facto antara laki-laki dan perempuan, termasuk merubah praktik kebiasaan dan

budaya yang didasarkan pada inferioritas atau superioritas salah satu jenis

339
kelamin atau peran sterotipe untuk laki-laki dan perempuan, bertujuan agar

terwujudnya ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berkesetaraan

dan keadilan dan berkeadilan gender bukan saja mengakomodasi kebutuhan

spesifik gender tapi mampu juga untuk mencerminkan pengaturan yang

transformatif gender. khusus mengenai hak perempuan dengan pendekatan prinsip

kesetaraan dan keadilan subtantif, non diskrimanif dan kewajiban negara yang

berorientasi pada aspek perlindungan dan pemulihan atas praktek ketidakadilan

gender.

2. Perspektif keadilan gender dan kedudukan perempuan dalam Islam dapat dilihat

dalam ketentuan utama yaitu Al Quran dan Sunnah nabi yang mengisyaratkan

konsep kesetaraan dan keadilan gender yang ideal. Al-Qur’an tidak

mengajarkan diskriminasi antara laki-laki dengan perempuan sebagai manusia.

Dihadapan Allah SWT lelaki dan perempuan mempunyai derajat dan

kedudukan yang sama, sama-sama mengemban tugas dan tanggung jawab, yang

membedakannya terletak pada nilai ketakwaannya (Q.S. al-Hujurat: 13), Islam

juga memberikan ketegasan bahwa prestasi individual, baik dalam bidang

spiritual maupun karir professional, tidak mesti didominasi satu jenis kelamin

saja. Konsep persamaan ini tidaklah mengenyampingkan wujudnya pengakuan

terhadap keunggulan seseorang, namun kelebihan tersebut tidak menyebabkan

perbedaan perlakuan atau penerapan hukum pada dirinya. Ketika Allah

memberikan keunggulan pada satu sisi, disisi lainnya Allah membebankan

tanggung jawab atas keunggulan tersebut. Sehingga jika ada penafsiran yang tidak

sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan dan hak azasi manusia, maka penafsiran

itu harus ditinjau kembali baik dari segi tekstual maupun kontekstual.

3. Penjabaran asas keadilan berperspektif gender dalam qanun Pendidikan dan

340
Kesehatan di Aceh sudah memasukkan prinsip kesetaraan dan keadilan gender

namun belum secara komprehensif dan masih sangat netral gender, dilihat

dari Indikator kesetaraan dan keadilan gender belum dapat dikategorikan

sebagai qanun yang responsif gender. Muatan qanun bersifat netral gender

bisa juga menimbulkan ketidakadilan gender karena berimplikasi pada

kelompok yang tertinggal, maka dalam hal tertentu diperlukan adanya

affirmative action guna menjamin keadilan perspektif gender dapat tercapai.

B. Saran

1. Perlu adanya pengaturan sistem dan mekanisme penerapan strategi

pengarusutamaan gender dalam pelaksanaan peran dan fungsi lembaga negara baik

dalam fungsi pemerintahan, fungsi legislatif dan fungsi yudikatif untuk

memasukkan prinsip prinsip keadilan gender yang termuat dalam CEDAW agar

terintegrasi dalam setiap produk peraturan perundang-undangan, melalui

pendekatan-pendekatan yang harus dibangun sesuai peran, fungsi dan

kewenangannya masing-masing dan ketentuan peraturan perundang-undangan

terkait serta membangun budaya masyarakat yang responsif gender dengan

mengintegrasikan permasalahan, kebutuhan dan menampung aspirasi yang responsif

gender kedalam kebijakan program dan pelaksanaan kegiatan pembangunan nasional,

maka disarankan kepada pembentuk qanun yaitu Pemerintah bersama Dewan

Perwakilan Rakyat Aceh sebagai pemegang otorita dalam pembentukan peraturan

perundang-undangn di daerah, untuk merumuskan konsep keadilan berperspektif

gender dalam setiap perumusan qanun dia Aceh, karena selain harus memahami teori

keadilan juga harus punya memiliki perspektif gender sehingga produk qanun

nantinya dapat memberikan akses, partisipasi, manfaat dan kontrol yang sama baik

341
bagi lagi-laki dan perempuan dalam pelaksanaannya.

2. Kepada Pemerintah dan pemangku jabatan di daerah agar tidak mengeluarkan

peraturan yang bias gender dan menjadikan perempuan sebagai pihak yang dirugikan,

karena seluruh hukum syariat mengandung keadilan, rahmat, kemaslahatan dan

hikmah. hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dunia

akhirat, sebaiknya pemerintah lebih menfokuskan perhatian untuk meningkatkan

kualitas hidup warga negara, seperti peningkatan kualitas pelayanan publik dalam

bentuk pendidikan, pelayanan kesehatan serta perlindungan warga, khususnya

kelompok rentan dari semua bentuk diskriminasi, kekerasan dan eksploitasi sehingga

mereka dapat juga menikmati hidup yang lebih sejahtera, adil dan makmur

3. Penelitian hukum normatif ini hanya menjawab sebagian kecil dari keseluruhan

persoalan yang berkaitan dengan penerapan asas keadilan perspektif gender dalam

qanun di Aceh, terutama bila dikaitkan dengan empat puluh hak-hak konstitusional

yang diamanatkan dalam UUD 45 yang juga perlu pengintegrasian perspektif gender

ke dalam pengaturanya, ditambah lagi dalam pelaksanaan suatu aturan yang sudah

responsif genderpun ternyata masih terjadi bias gender. Oleh karena itu untuk

melengkapi penelitian ini diminta kepada peneliti berikutnya untuk melakukan

penelitian lanjutan baik berupa penelitian normatif maupun empiris.

342
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Abdul Ghofur Anshori, 2006, Filsafat Hukum Sejarah, Aliran Dan Pemaknaan, Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta

Abdul Mustakim, 2003, Amina Wadud: Menuju Keadilan Gender, dalam Pemikiran
Islam kontemporer, Jendela, Yogyakarta

Abdul Razak dan Rosihan Anwar, 2011, Ilmu Kalam, Cet. VI, CV Pustaka Setia, Bandung

Achmad Ali, 2012, Menguak Teori Hukum (Legal Theory dan Teori Peradilan (Judicial
Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Kencana, Jakarta

Afrizal Tjoetra dkk, 2007, Merancang Qanun, Merancang Pembaruan Aceh, ADF
(Aceh Development Fund), Banda Aceh

343
Agnes Widanti, 2005, Hukum Berkeadilan jender, Penerbit Buku Kompas, Jakarta

Agus Santoso, 2012, Hukum, Moral dan Keadilan, Sebuah kajian Filsafat, Edisi pertama,
kencana, Jakarta

Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid al- Syariáh fi al- Islami, terjemahan Khikmawati
Kuwais, 2009, Cetakan pertama, Amzah, Jakarta

Ahmad Mahmud Subhi, 1986, Filsafat Etika, PT. Serambi Ilmu Semesta, Jakarta Alaiddin
Koto, 2004, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih (Suatu Pengantar), Raja Grafindo Persada,
Jakarta

Ahmad Sukardja dan Mujar Ibnu Syarif, 2012, Tiga Kategori Hukum, Syariat, Fikih,
dan Kanun, Sinar Grafika, Jakarta

Al Yasa Abu Bakar, 2003, Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Dinas Syari’at
Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Banda Aceh

Amal Rassam, 1995, Fatima Mernissi, The Oxford Encyclopedia of Modern Islamic World,
Oxford University, Oxford

Amina Wadud Muhsin, 1994, Qur’an and Woman, Fajar Bakti Sdn bhd, Kuala Lumpur

Amir Mu‟alim dan Yusdani, 2002 Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer. UII Press ,
Yogyakarta

Amir Syarifuddin, 2001, Ushul Fiqh, Jilid. I. Logos Wacana Ilmu, Jakarta

-------, 2005, Ushul Fiqh Jilid 2, Cet. Kedua, Logos Wacana Ilmu, Jakarta

-------, 2005, Meretas Kebekuan Ijtihad Isu-isu Penting Hukum Islam Kontemporer di
Indonesia, Ciputat Press, Jakarta

Amiur Nuruddin, Konsep Keadilan Dalam Al-Qur‟an dan Implikasinya Pada Tanggung
Jawab Moral, PPs IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 1994

Ani Widyani, 2005, Politik Perempuan Bukan Gerhana: Esai-Esai Pilihan, Penerbit
Buku Kompas, Jakarta

Angkasa, 2010, Filsafat hukum, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

A. Qadri Azizy, 1987, Sebuah Potret Teori dan Praktek Keadilan Dalam Sejarah
Pemerintahan Muslim, PLP2M, Yogyakarta

-------, 2004, Eklektisisme Hukum Nasional, Kompetisi Antara Hukum Islam dan Hukum
Umum, Gama Media, Yogyakarta

Arief Budiman, 1985, Pembagian Kerja Secara Seksual, Sebuah Pembahasan Sosiologi
tentang Peran Wanita dalam Masyarakat, Gramedia, Jakarta

344
Asafri Jaya Bakri, 1996, Konsep Maqashid Syari’ah Menurut Al- Syatibi, Raja Grafindo
Persada, Jakarta

Asia Report, 2006, Syariat Islam dan Peradilan Pidana di Aceh, International Crisis Group,
Jakarta

Atabik Ali, dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, t.t, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, Multi
Karya Grafika, Yogyakarta

Badan pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Aceh, 2013, Mengenal Kekerasan
Terhadap Perempuan Dan Anak Serta Mekanisme Penanganannya, BP3A, Banda
Aceh

Badariah Sahamid, 2005, Jurisprudens dan Teori Undang-undang Dalam Konteks


Malaysia, Sweet & Maxwell Asia, Petaling Jaya, Selangor, Malaysia

Bagir Manan, 2004, Teori dan Politik Konstitusi, Fakultas Hukum UII Press, Yogyakarta

Bappenas, 2002, Analisis Gender Dalam Pembangunan Kesehatan, Jakarta

Bernard L. Tanya, dkk, 2010, Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan
Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta

-------, 2010, Teori Hukum Dari berbagai Ruang dan Generasi, Genta Publishing,
Yogyakarta

Bryan A Garner (ed), 2009, Black’s Law Dictionary, Nine Edition, Thomson Reuters, USA

Budhy Munawar Rachman, 2003, Islam Pluralis Wacana Kesetaraan dan keadilan Kaum
Beriman, Jakarta, Paramadina

Carl Joachin Friedrich, 2004, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Terjemahan, Nuansa dan
Nusamedia, Bandung

C.F.G. Sunaryati Hartono, 2006, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20,
Alumni, Bandung

Chairul Arrasjid, 2004, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta

Cicero, dalam Dominikus Rato, 2010, Filsafat Hukum Mencari, Menemukan dan
Memahami Hukum, LaksBang Yusticia, Yogyakarta

Darsono Prawironegoro, 2010, Filsafat Ilmu Kajian tentang Pengetahuan yang Disusun
Secara Sistematis dan Sistemik Dalam Membangun Ilmu Pengetahuan, Nusantara
Consulting (NC), Jakarta

Deliar Noer, 1997, Pemikiran Politik Di Negeri Barat, Cetakan II Edisi Revisi, Pustaka
Mizan, Bandung

345
Departemen Pendidikan dan kebudayaan, 1989, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan
Kedua, Balai Pustaka, Jakarta

Dimitra Gefou, 2008, dalam Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, edisi kedua, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta

Dominikus Rato, 2010, Filsafat Hukum, Mencari, Menemukan, dan Memahami


Hukum, LaksBang Yustisia, Surabaya

Dudu Duswara Machmudin, 2003, Pengantar Ilmu Hukum, Sebuah Sketsa, Refika
Aditama, Jakarta

Elfi Muawanah, 2006, Menuju Kesetaraan dan keadilan Gender, Kutub Minar, Malang

Elly Erawati, dkk, 2011, Beberapa Pemikiran Tentang Pembangunan Sistem Hukum
Nasional Indonesia, Liber Amicorum Untuk Prof. Dr. CFG. Sunaryati hartono, SH,
Citra Aditya Bakti, Bandung

Faisal A. Rani, 2009, Fungsi dan Kedudukan Mahkamah Agung Sebagai Penyelenggaraan
Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Sesuai Dengan Paham Negara Hukum, Syiah
Kuala University Press, Banda Aceh

Faisar Ananda Arfa, 2004, Wanita dalam Konsep Islam Modernis, Pustaka Firdaus,
Jakarta

F. Capra, 1997, Titik Balik peradaban; Sains Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan
diterjemahkan oleh M. Thojibi Yayasan bentang Budaya, Yogyakarta

Frans Magnis Suseno, 1994, Etika Politik, Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan modern,
Gramedia, Jakarta

Gadis Arivia, 2003, Filsafat Berperspektif Feminis, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta

George Ritzer and Douglas J. Goodman, Modern Sociological Theory, terjemahan


Alimandan, 2003, Teori Sosiologi Modern, Prenada Media , Jakarta

Gerda Lerner, 1986, The Creation of Patriarchy, Oxford University Press, New York

Hamim Ilyas dkk, 2008, Perempuan Tertindas? Kajian Hadis-Hadis Misoginis, Elsaq
Press, Cet III , Yogyakarta

Handayani dan Sugiarti, 2006, Konsep dan Teknik Penelitian Gender, Edisi Revisi,
Cetakan Kedua, UMM Press, Malang

-------, 2011, Analisis Jender dalam Penelitian Kajian Gender, PPs U I, Jakarta

Hans Kelsen, 2011, General Theory of Law and State, diterjemahkan oleh Rasisul
Muttaqien, Nusa Media, Bandung

346
Harun Nasution, 2001, Teologi Islam, UI Press, Jakarta

Hasanuddin AF dkk, 2004, Pengantar Ilmu Hukum, Pustaka Al Husna Baru dan UIN
Jakarta Press, Jakarta

Heddy Shri Ahimsa dalam Mufidah, 2004, Paradigma Gender, Bayumedia Publishing,
Malang

Henry Campbell, 1998, Black Law Dictionary

Herbert Scurman, tanpa tahun, Agama dalam Dialog, Pencerahan, Peramalan, dan
Petunjuk Masa Depan, Gunung Agung , Jakarta

Herlien Budiono,dkk (editor), 2011, Beberapa Pemikiran tentang Pembangunan Sistem


Hukum Nasional Indonesia, Liber Amicorum Untuk Prof. Dr. CFG. Sunaryati
Hartono, S.H., Citra Aditya Bakti, Bandung

Husein Muhammad, 2001, Fiqh Perempuan Refleksi Kiai atas Wacana agama dan
Gender PT LKIS Pelangi Aksara, Yogyakarta

Irawan Soejito, 1978, Tehnik Membuat Peraturan Daerah, Bina Aksara, Jakarta

Jackson, R., & Sorensen, G, Pengantar Studi Hubungan Internasional, 2005, terjemahan
D. Suryadipura, Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Jajat Burhanudin, Oman Fathurahman, 2004, Tentang Perempuan Islam, Wacana dan
Gerakan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Jazim Hamidi dan Kemilau Mutik, 2010, Civic Education, Antara Realitas Politik dan
Implementasi Hukumnya, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

-------, 2011, Legislative Drafting, Seri Naskah Akademik Pembentukan Perda, Total
Media, Yogyakarta

Jazim Hamidi, dkk, 2011, Optik Hukum Perda Bermasalah, Menggagas Perda
Yang Responsif dan Berkesinambungan, Prestasi Pustakaraya, Jakarta

Jeremy Bentham, 2006, Teori Perundang-Undangan. Prinsip-Prinsip Legislasi,


Hukum Perdata dan Hukum Pidana, Nusa Media dan Nuansa, Bandung

Jimly Asshiddiqie, 2000, Penataan Kembali Sumber Tertib Hukum RI Dalam Rangka
Amandemen Kedua UUD 1945, BP MPR-RI, Jakarta

-------, 2005, Perihal Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta

-------, 2005, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Konstitusi


Press, Jakarta

347
J.J.H. Bruggink, 1999, Refleksi Tentang Hukum, terjemahan Arief Sidharta, Citra
Aditya Bakti, Bandung

John M. Echols dan Hassan Shadily, 1983, Kamus Inggris Indonesia, Cet. XII, Gramedia,
Jakarta

John Rawls, A Theory of Justice terjemahan oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo,
2006, Teori Keadilan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Juhaya S. Praja, 1995, Filsafat Hukum Islam, Pusat Penebitan Universitas LPPM
UNISBA, Bandung

Kahar Masyhur, 1985, Membina Moral dan Akhlaq, Kalam Mulia, Jakarta

Karl R. Popper, Masyarakat Terbuka dan Musuh-Musuhnya (The Open Society


and Its Enemy), diterjemahkan oleh: Uzair Fauzan, 2002, Cetakan I, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta

Kementrian Pemberdayaan Perempuan, 2005, Bahan Pembelajaran Pengarusutamaan


Gender, Jakarta

-------, 2005, Panduan dan Bunga Rampai Pengarusutamaan Gender, Jakarta

Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, 2011,


Perencanaan dan Penganggaran Daerah yang Responsif Gender (PPRG), Jakarta

-------, 2011., Parameter Kesetaraan dan keadilan Gender Dalam Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, Jakarta

Kemitraan, 2008, Kebijakan Otonomi Khusus di Indonesia, Kemitraan bagi Pembaruan Tata
Pemerintahan di Indonesia, Jakarta

Khairani, dkk, 2009, Riset Analisis Kebijakan Publik, Pusat Studi HAM Universitas Syiah
Kuala, Banda Aceh

Khairul Umam, 2001, Ushul Fiqih, Pustaka Setia, Bandung

Kristi Poewandari , 2 0 11, Data Terpilah dalam Penelitian Kajian Gender, PPs UI, Jakarta

Leden Marpaung, 1999, Menggapai Tertib Hukum di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta

Lee Waldorf 2007, Jalan Menuju Kesetaraan dan keadilan Gender (Terjemahan oleh Netti
lesmanawati), Unifem, Jakarta

Linda L. Lindsey, 1990, Gender roles : Sociological perspective, Prantice Hall, New jersey

L.J. Van Apeldoorn, 1996, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, cetakan kedua
puluh enam, Jakarta

348
Madjid Khadduri, 1999, Teologi Keadilan (Perspektf Islam), Risalah Gusti , Surabaya

Mahadi, 2003, Falsafah Hukum, Suatu Pengantar, Alumni, Bandung

Mansour Fakih, 1997, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta

Mardani, 2010, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta

Maria Farida Indrati Soeprapto, 2007, Ilmu Perundang-undangan Proses dan


Teknik Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta

-------, 2010, Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Kanisius,
Yogyakarta

Mary Daly, 1978, Gyn/Ecology : The Metaethics of Radical Feminism, Beacon, Boston

Marwati Djoened Poesponegoro, dkk, 2008, Sejarah Nasional Indonesia: Zaman Jepang
dan Zaman Republik Indonesia, 1942-1998, PT Balai Pustaka, Jakarta

Mawardi Umar dan Al Chaidar, 2006, Islam Aceh: Pembrontakan atau Pahlawan, Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan Pemprov NAD, Banda Aceh

M. Fathurrahman Djamil, 1997, Filsafat Hukum Islam Bagian Pertama, Logos Wacana
Ilmu, Jakarta

M. Hasbi Amiruddin, 2006, Aceh dan Serambi Mekkah, Yayasan Pena, Banda Aceh

Miftahul Huda, 2006, filsafat Hukum Islam Menggali Hakikat Sumber dan Tujuan Hukum
Islam, STAIN Ponorogo Press

M. Jakfar Puteh, 2012, Sistem Sosial Budaya dan Adat Masyarakat Aceh, Grafindo Litera
Media, Yogyakarta

Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta, 2000, Pengantar Ilmu Hukum Suatu
Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Alumni, Bandung

Mohd. Din, 2009, Stimulasi Pembangunan Hukum Pidana Nasional dari Aceh Untuk
Indonesia Unpad Press, Bandung

Moh. Mahfud MD, 2009, Politik Hukum di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta

-------, 2010, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Raja Grafindo Persada,
Jakarta

-------, 2010, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta

349
Muchsan, 1985, Hukum Tata Pemerintahan, Penerbit Liberty, Yogyakarta

Muhammad Erwin, 2008, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Kebijaksanaan


Pembangunan Lingkungan Hidup, PT. Refika Aditama, Bandung

Muhammad Umar, 2006, Peradaban Aceh ( Tamaddun) : Kilasan Sejarah Aceh dan Adat,
JKMA , Banda Aceh

Mukti Ali, 1998, Ijtihad dalam pandangan Muhammad Abduh, Ahmad Dahlan dan
Muhammad Iqbal, Bulan Bintang, Jakarta

Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Munir Fuady, 2010, Dinamika Teori Hukum, Ghalia Indonesia, Ciawi-Bogor

Murtadha Muthahhari, 1995, Keadilan Ilahi: Azas Pandangan Dunia Islam, Mizan,
Bandung

Muslim, Shahih Muslim, tanpa tahun , juz V, Dar al-Fikr, Beirut

Nasaruddin Umar, 1999, Argumen Kesetaraan dan keadilan Jender: Perspektif Al-
Qur’an. Cet 1, Paramadina Jakarta

-------, 1999, Kodrat Perempuan dalam Islam, Jakarta, Lembaga Kajian Agama dan Gender

Neni Sri Imaniyati, 2009, Hukum Bisnis Telaah Tentang Pelaku dan Kegiatan Ekonomi,
Graha Ilmu, Yogyakarta

Ngaire Naffine, 1997, Sexing the Subyect of Law. Sexing Law, Sweet & Maxwell Ltd,
London

Ni’matul Huda, 2009, Hukum Pemerintahan Daerah, Nusa Media, Bandung,

Nur Ahmad Fadhil Lubis, 2003, Yurisprudensi Emansipatif: Cita Pustaka Media, Bandung,

Nurcholis Majid, 1992, Islam, Doktrin dan Peradaban. Sebuah Telaah Kritis tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan. Yayasan Wakaf Paramadina,
Jakarta

Nursyahbani Katjasungkana dan Mumtahanan, 2012, Kasus-Kasus Hukum Kekerasan


Terhadap Perempuan, LBH APIK, Jakarta.

------- 1996, “Menggugat Patriarki”, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta

Nurul Agustina, 1999, Melacak Akar Pemberontak Fatima Mernissi, Mizan, Bandung

-------, 2005, Gerakan Feminisme Islam dan Civil Society, dalam Islam, Negara dan Civil
Society: Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, Paramadina, Jakarta

350
Otong Rosadi dan Andi Desmon, 2012, Studi Politik Hukum, Suatu optik Ilmu Hukum,
Thafa Media, Yogyakarta

Otto Samsudin Ishak, 2001, Dari Maaf Ke Panik Aceh Sebuah Sketsa sosiologi Politik,
LSPP, Jakarta

Pataniari Siahaan, 2012. Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang Pasca Amandemen


UUD 1945, Konpress, Jakarta,

Paul Scholten, dalam CST Kansil dkk, 2005, Kemahiran Membuat Peraturan Perundang-
undangan, PT Perca, Jakarta Timur

Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta

Ph.Kleintjes, dalam Fatmawati, 2005, Hak Menguji (Toetsringsrecht) Yang Dimiliki Hakim
Dalam Sistem Hukum Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta

Qadri Azizy, 2004, Eklektisisme Hukum Nasional, Kompetisi Antara Hukum Islam dan
Hukum Umum, Gama Media, Yogyakarta

Qurash Shihab, 1996, Wawasan al-Qur’an, Mizan, Bandung

Rahim Afandi Abdul dan Mohd Anwar Ramli, t t , Pemikiran Teologi Islam di Malaysia;
suatu Analisis UPSI, Malaysia

Raihain Putri, 2012, Gender Strategi Bidang pendidikan, TKPPA, Aceh

Ratna Megawangi, 1999, Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru tentang Relasi
Gender. Cet. I , Mizan, Bandung

Ridwan HR. 2006, Hukum Administrasi Negara, RajaGrafindo Persada, Jakarta

Rizal Sukma, 2004, “Security Operations in Aceh: Goals, Consequences, and Lessons”,
Project on Internal Conflicts, East-West Center Washington

Robert Nozick, 1974, Anarchy, State and Utopia , Oxford, Blackwell, Basic Books, New
York

Romli Atmasasmita, 2012, Teori Hukum Integratif, Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum
Pembangunan dan Teori Hukum Progresif, Genta Publising, Yogyakarta

Ronny Hanitijo Soemitro, 1985, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta

Ronny Sautma Hotma Bako, 2008, Prinsip-Prinsip Hukum Atas Otonomi Khusus di
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan
Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI, Jakarta

Roscoe Pound, dalam Achmad Ali, 2002, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis

351
dan Sosiologis), Gunung Agung, Jakarta

Rosemary Hennessy dan Chrys Ingraham, 1997, Materialist Feminism: A Reader in


Class, Difference and Women`s Lives, Routledge, New York

Rosjidi Ranggawidjaja, 1998, Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia,


Penerbit Mandar Maju, Cetakan I, Bandung

Satjipto Rahardjo, 1986, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung

-------, 2006, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung

Satria Effendi, dan M. Zein, 2008, Ushul Fiqh, Kencana, Jakarta

Sigmund Freud, dalam J. Starchey, 1975, The Standard Edition of Complete Psychological
Work of Sigmund Freud, , Hogarth Press and the Institute of Psycho-Analysis, London

Siti Malikhatun, 2010, Penemuan Hukum Dalam Konteks Pencarian Keadilan, Badan
Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang
.
Siti Musdah Mulia, 2004, Islam Menggugat Poligami, Cet. I, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta

Siti Ruhaini Dzuhayatin, dkk. 2002, Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan dan
keadilan Gender dalam Islam, Pustaka Pelajar Yogyakarta

Soejono dan Abdurrahman, 2005, Metode Penelitian, Suatu Pemikiran dan Penerapan,
Rineka Cipta, Jakarta

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2010, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Rajawali Pers, Jakarta

Solly Lubis, dalam Sophia Hadyanto (editor), 2010, Paradigma Kebijakan Hukum
Pasca Reformasi, Dalam Rangka Ultah ke-80 Prof. Solly Lubis, Sofmedia, Jakarta

Sri Soemantri, 1997, Hak Uji Material di Indonesia, Alumni, Bandung

Sri Soendari Sasongko, 2009, Konsep dan Teori Gender, BKKBN, Jakarta

Stepen K. Sanderson, 1993, Sosiologi Makro: Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas


Sosial, terjemahan Farid Wajdi dan S. Meno, Rajawali Pers, Jakarta

Sudikno Mertokusumo, 1999, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta

Sukron Kamil, dkk, 2007, Syari’ah Islam dan HAM: Dampak Perda Syariah terhadap
Kebebasan Sipil, Hak-Hak Perempuan, dan Non-Muslim, CSRC, Jakarta,

Supardan Modeong, 2003, Teknik Perundang-Undangan di Indonesia, Perca, Jakarta

Suparman Usman, 2001, Hukum Islam, Asas-asas dan Pengantar Studi Islam dalam Tata
352
Hukum Indonesia, Gaya Media Pratama, Jakarta

Taufik Adnan Amal dan Samsul Rizal Panggabean, 2004, Politik Syariat Islam: Dari
Indonesia hingga Nigeria, Pustaka Alvabet, Jakarta

Theo Huijbers, 1995, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta

Tim Direktorat Fasilitasi Perancangan Peraturan Daerah Direktorat Jenderal Peraturan


Perundang-Undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI dan United
Nations Development Programme (UNDP), 2009, Panduan Praktis Memahami
Perancangan Peraturan Daerah, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-
Undangan Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia RI

Umul Baroroh, 2002, Feminisme dan Feminis Muslim, dalam Pemahaman Islam dan
Tantangan Keadilan Gender, Gama Media, Yogyakarta

UNIFEM, CEDAW, Restoring Rights to Women, Partners Of Law In Development, (PLD),


New Delhi , 2004, Terjemahan Aunul Fauzi dalam CEDAW, Mengembalikan Hak-
hak perempuan

Victoria Neufeldt , 1984 , Webster’s New World Dictionary. New York, Webster’s New
World Clevenland

Wahbah Az -Zuhaili, Konsep Darurat Dalam Islam Studi Banding Dengan Hukum Positif,
terjemahan Said Agil Husain al-Munawar dan M. Hadri Hasan, 1997, gaya Media
Pratama, Jakarta

Wayne Parson, 2006. Public Policy Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan,
Kencana, Jakarta

W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum, (Legal Theory), Susunan I, diterjemahkan


oleh Mohamad Arifin, 1993, Cetakan kedua, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta

-------, Teori dan Filasafat Hukum,, (Legal Theory), Susunan II, diterjemahkan oleh
Muhamad Arifin, 1993, cetakan Kedua, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta

WJS. Poerwadarminta, 2006, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,

Yance Arizona, 2008, Karakter Peraturan Daerah Sumberdaya Alam, Kajian Kritis
Terhadap Struktur Formal Peraturan Daerah dan Konstruksi Hak
Masyarakat Terkait Pengelolaan Hutan, Huma, Jakarta

Yaswiman, 2001, Hukum Keluarga, Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat
Dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta

Yuliandri, 2013, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik


Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, Cetakan ke 4, PT
Rajagrafindo persada, Jakarta

Yurna Bachtiar dan Ahmad Azhar Basyir, 2000, Pembaruan Pemikiran Hukum Islam di

353
Indonesia, Quantum, Jakarta

Yuslim, 2015, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Grafika, Jakarta

Yusuf Al-Qardhawi, 1995, Ijtihad Kontemporer Kode Etik dan Berbagai


Penyimpangan, Risalah Gusti, Surabaya

-------, Fiqih Maqashid Syari’ah Moderasi Islam antara Aliran Tekstual dan Aliran Liberal,
terjemahan oleh Arif Munandar Riswanto, 2007, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta

Zainal Abidin, 2011, Analisis Qanun-Qanun Aceh Berbasis Hak Asasi Manusia, Demos,
Jakarta

Zarkowi Soejoeti, tanpa tahun, "Manusia dalam pandangan Islam", dalam Mencari Konsep
Manusia Indonesia, Sebuah Bunga Rampai.

Ziauddin Ahmad, 1998, al-Quran: Kemiskinan dan Pemerataan Pendapatan, Dana Bhakti
Wakaf Prima Yasa, Yogyakarta

B. Jurnal
Abdul Gani Isa, “Paradigma Syariat Islam Dalam Rangka Otonomi Khusus: Studi Kajian di
Provinsi Aceh”, Media Syariah, Vol XIV Januari – Juni 2012

Abdul karim, Kerangka Studi Feminis (Model Penelitian Kualitatif Tentang Perempuan
dalam Koridor Sosial Keagamaan), Jurnal Fitrah, Volume 1, No. 2, Juni 2014

Abidin Nurdin, “Revitalisasi Kearifan Lokal di Aceh: Peran Budaya Dalam Menyelesaikan
Konflik Masyarakat”, Jurnal Analisis, Vol. XIII No. 1 Juni 2013

Ali Aljufri, Kedudukan Perempuan Menurut Al Quran, jurnal Musawa,Volume 3, No. 2,


2011

Anthony L, Smith, Aceh: Democratic Times, Authoritarian Solutions, New Zealand Journal
of Asian Studies, hlm. 20 di akses 2 Desember, 2016

Andik Wahyun Muqayyidin, Pemikiran Islam kontemporenr Tentang Gerakan Feminisme


Islam, Jurnal Al-Ulum Volume. 13 Nomor 2, Desember 2013

Daud Yoesoef , Qanun Sebagai Atuuran Pelaksana Peraturan Perundang-undangan


Atasan, Jurnal kanun No. 47 edisi Agustus 2009

Ghofar Shidiq, Teori Maqashid Al Syari’ah Dalam Hukum Islam, Jurnal Sultan Agung, Vol.
XLIV No. 118 Juni – Agustus 2009

Hartian Silawati, Pengarusutamaan Gender Mulai Dari mana, Jurnal perempuan, No. 50
Tahun 2006

354
Hulwati, Memahami kesetaraan dan keadilan Gender Dalam Fiqh, Jurnal Ilmiah Kajian
Gender, Volume V, No. I, 2015

Husni, “Moral dan Keadilan Sebagai Landasan Penegakan Hukum Yang Responsif”, Jurnal
Equality Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Vol. 11 Februari 2006

Hasnil Basri Siregar, “Lessons Learned From The Implementation Of Islamic Shari’ah
Criminal Law In Aceh, Indonesia” , Journal of Law and Religion, Vol. 24, No. 1
2008/2009

Inge Dwisvimiar, Keadilan Dalam Perspektif Filsafat Ilmu Hukum, Jurnal Dinamika Hukum,
universitas Jenderal Soedirman, Volume 11 No. 3, 2011

Kamaruddin, Mewujudkan Cita Hukum Yang Efektif (Suatu Pandangan Teoritis), Jurnal
Justitia Islamica Vol. 3 No. 2 Juli-Desember 2006

Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, “THE APPLICATION OF ISLAMIC LAW IN


INDONESIA: The Case Study of Aceh”, Journal Of Indonesian Islam, Vol. 01,
Number 01, June 2007

Laica Marzuki, Judicial Review di Mahkamah Agung, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 2.
No.1 Maret 2005, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Departemen
Hukum dan HAM RI
-------, Membangun Undang-Undang Yang Ideal, Jurnal Legislasi Indonesia vol. 4 No. 2
Juni 2007, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum
Dan Hak Asasi Manusia RI

Maria Farida Indrati S, Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan di


Indonesia, Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 4 No. 2-Juni 2007

Marsudi, Bias Gender dalam Buku-Buku Tuntunan Hidup Berumah Tangga. Jurnal
Istiqro’. Vol. 07 No. 1, 2008

Masdar F. Mas'udi, Meletakkan Kembali Maslahat Sebagai Acuan Syari'ah‟ Jurnal Ilmu
dan Kebudayaan Ulumul Qur'an No.3, Vol. VI Th. 1995

Mawardi, Konsep al-‘adalah Dalam Perspektif Ekonomi Islam, Jurnal Hukum Islam. Vol.
VII No. 5. Juli 2007

M. Helmi, Konsep Keadilan Dalam Filsafat hukum dan Filsafat Hukum Islam, Jurnal
Mazahib, Vol.XIV, No. 2, Desember, 2015

Misran, “Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh: Analisis Kajian Sosiologi Hukum”, Jurnal
Legitimasi, Vol.1 No.2 Januari – Juni 2012

Muhammad Alim, “Perda Bernuansa Syariah dan Hubungannya Dengan Konstitusi”,


Jurnal Hukum No.1 Vol. 17, Januari 2007

355
Muhammad Ikrom, Syariat Islam dalam Perspektif Gender dan Hak Asasi Manusia (HAM),
Jurnal Supremasi Hukum, Vol.2, no.1, Juni 2013

Muhibbuthabry, “Kelembagaan wilayat al-Hisbah Dalam Konteks Penerapan Syariat


Islam di Aceh”, Peuradeun, International Multidisciplinary Journal, Vol. 11 No. 2
Tahun 2014
Novita Tresiana, Education Policy Formulation of Gender Perspective In Lampung
Province, Jurnal Borneo administrator, Vol. 11, No.2, 2015

Nurdin, “Konsep keadilan dan kedaulatan Dalam Perspektif Islam dan Barat, Media
Syari’ah, Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial, Vol. XIII No. 1 Januari – Juni
2011

Nur Mukhlish Zakariya, Kegelisahan Intelektual Seorang Feminis (Telaah Pemikiran


Fatima Mernissi Tentang Hermeneutika Hadits), Jurnal KARSA, Vol. 19 No. 2.
2011

Nurrohman, “Formalisasi Syariat Islam di Indonesia“, Jurnal Al-Risalah Volume12 Nomor


1 Mei 2012

Pan Mohamad Faiz, Teori Keadilan John Rawls, Jurnal Konstitusi, Volume 6 Nomor 1
April 2009

Ratna Tiharita Setiawardhani, “Peran Perempuan dalam Perspektif Islam Konteks Kekinian”
Jurnal INSANCITA Vol.1, February, 2016

Rizanna Rosemary, Tantangan Implementasi Sistem Pendidikan Berbasis Islami (SPBNI) di


Aceh, Jurnal Pencerahan, Vol.7, Nomor 1, Maret 2013

Rudy Hendra Pakpahan, Analisis Prosedur Pengujian Peraturan Daerah, Jurnal Legislasi
Indonesia Vol. 10 No. 1 Maret 2013, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-
Undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI

Salim Arskal, “Shari’a From Below’ In Aceh (1930s–1960s): Islamic Identity And The
Right To Self-Determination With Comparative Reference To The Moro Islamic
Liberation”, Indonesia And The Malay World, Vol. 32, No. 92, March 2004

Sayyid Said Akhtar Rizvi, The Justice Of God, diterjemahkan, Konsep Keadilan Allah
Dalam Islam, Misi Islam Bilal, Tanzania, Oktober, 1996

Sri Yuliani, Pengembangan Karier Perempuan di Birokrasi Publik: Tinjauan Dari Perspektif
Gender, Jurnal Pusat Studi Pengembangan Gender UNS Wanodya No.16 Tahun XIV
Tahun 2004

Suhariyono, Peningkatan Kualitas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Di


Indonesia, Jurnal Legislasi Indonesia, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-
Undangan Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia RI, Vol. 4. No. 2, Juni,
2007

356
Whisnu Basuki, Lawrence M. Friedman, “American Law: An Intruduction, Jurnal
Keadilan Vol. 2, No. 1 Tahun 2002
Wiyatmi, Konstruksi Gender dalam Novel Geni Jora Karya Abidah El- Khalieqy, Jurnal
Humaniora, Vol. 22 No. 2. 2010

Yuliandri, Tantangan Pelemahan Judicial Review Sebagai Mekanisme Pengawasan


Terhadap Pembentukan Undang-Undang, Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 8 No. 4
Desember 2011

C. Makalah

Ani Soetjipto, Kebijakan Afirmatif bagi Perempuan, Kompas, Selasa, 10 Februari 2014

Bagir Manan, Politik Pembangunan Hukum Nasional, Kuliah Umum tanggal 24 April 2013,
Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

Elwi Danil, tanpa tahun, Perkembangan Teori Dan Filsafat Hukum, Materi Kuliah pada
Program Doktor Ilmu Hukum Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas
Andalas Padang

Herien Puspitawati, makalah Kesetaraan dan keadilan Gender Bidang pendidikan,


Disampaikan pada Rapat Koordinasi PUG di Banda Aceh, Kamis, 22 Maret
2012

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. “Prolegnas Tahun 2005-2009. Makalah
Seminar Implementasi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dalam Legislasi
Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004”, Surabaya, 25 Mei
2005

Inno Jemabut, Dampak Suara Terbanyak, Kuota Perempuan 30 Persen Sulit


Direalisasikan, Sinar Harapan, Selasa, 30 Desember 2008

Mustaqhfirin, Sistem Hukum Barat, Sistem Hukum Adat, Sistem Hukum Islam
Dalam Perspektif Filsafat Hukum Dan Sistem Hukum Islam Menuju Sebagai
Sistem Hukum Nasional Sebuah Ide Yang Harmoni, Makalah, pada pertemuan
Nasional BKSPTIS di UNISBA Bandung, 18 Oktober 2011

D. Disertasi

Ishaq, 2014, Studi Perbandingan Tindak Pidana Zina Antara UU Hukum Pidana Dengan
Hukum Pidana Islam Dalam Upaya Memberikan Kontribusi Bagi Pembaruan hukum
Pidana Indonesia, Disertasi, Program Pasca Sarjana Universitas Andalas, padang

Yanis Rinaldi, 2015, Penerapan Asas Keadilan Dalam Pengaturan Pengelolaan Sumber
Daya Alam Dalam kerangka Pembangunan Berkelanjutan di Aceh, Disertasi, Program
Pasca Sarjana Universitas Andalas Padang
357
E . INTERNET

https://www.bps.go.id/subjek/view/id/26, (terakhir kali di kunjungi pada 25 April, 2016


pukul 10.53 Wib)

http://mcnnindonesia.com/ekonomi/20170322182446-78202081/ (terakhir kali di kunjungi


pada 25 Maret, 2017 pukul 10.24 WIB)

Muchamad Ali Safa’at, Pemikiran Keadilan (Plato, Aristoteles, dan John Rawls),
http://safaat.lecture.ub.ac.id/files/2013/03/keadilan.pdf, (terakhir kali di kunjungi
pada 15 Desember 2017, pukul 12.02 WIB)

Husni Jalil, artikel: Implementasi Syariat Islam Berdasarkan Otonomi khusus Aceh Dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia. .
https://regafelix.wordpress.com/2011/12/15/eksistensi-perda-syariah-dalam-sistem-
hukum-nasional/ (terakhir kali di kunjuni pada pada 20 Februari 2016, pukul 11.30
Wib)

http://links.org.au/node/1351, (terakhir kali di kunjungi pada 24 September 2016, pukul


07.46 wib)

http://www.answers.com/topic/affirmative-action. (terakhir kali di kunjungi pada tanggal


26 September, 2015, pukul :14:33 wib)

http://en.wikipedia.org/wiki/Affirmative_action, (terakhir kali di kunjungi pada 26 September


2015, pukul, 14: 56 wib)

Stanford Encyclopedia of Philosophy, Affirmative action , First published Fri Dec 28,
2001; substantive revision Wed Apr 1, 2009, http://
plato.stanford.edu/entries/affirmative- action/#Bib, (terakhir kali di kunjungi pada
27 September 2015 pukul 09:37 Wib

http://wwwinmotionmagazine.com/aahist.html, (terakhir kali di kunjungi pada 26


September 2015, pukul 09:55 Wib

http://alyasa abubakar.com/2013/07/sejarah-pelaksanaan-syariat-islam-di-aceh/ (DiaksesPada


Tanggal 4 November 2015.

http://www.jstor.org/page/info/about/policies/ term s.jsp (diakses Pada Tanggal 19 November


2016)

Hans Ferdinand, “Conflict Resolution, Political Decentralization, Disaster Risk


Management and the Practice of Sharia Law: The Case of Aceh, Indonesia”,
Southeast Asian Studies at the University of Freiburg, 2012 Germany. diakses pada
tanggal 4 Maret 2016

Regs Aceh, “Mencari Obat Mujarab Bagi Aceh”, diterbitkan 7 Agustus 2001,
http://www.library.ohiou.edu/indopubs/2001/08/27/0044.html , diakses 21-11-2016.

358
359

Anda mungkin juga menyukai