Anda di halaman 1dari 8

ANALISIS GENDER:

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KAUM PEREMPUAN 1


Isti’anah ZA, SH, M.Hum.2
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Pendahuluan
Isu gender, dewasa ini telah menjadi isu besar yang mewarnai berbagai aspek
kehidupan, baik di bidang epistimologi, ilmu pengetahuan, bidang hukum, ekonomi,
politik, budaya dan bahkan di bidang keagamaan.
Yang dimaksud dengan gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan
yang tidak bersifat biologis dan bukan merupakan kodrat Tuhan. Adapun perbedaan
biologis adalah perbedaan jenis kelamin (sex) yang merupakan kodrat Tuhan dan oleh
karenanya sejak lahir hingga akhir hayat, secara permanen akan tetap berbeda. Gender
adalah behavioral diffrences antara laki-laki dan perempuan yang socially constructed,
yaitu perbedaan yang bukan kodrati atau bukan ciptaan Tuhan, melainkan dikonstruksi
oleh manusia melalui proses sosial dan budaya dalam waktu yang cukup panjang. Dengan
demikian, perbedaan gender ini bisa berubah dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat
dan bahkan dari kelas ke kelas, sedangkan perbedaan biologis (sex) bersifat tetap, tidak
berubah.
Indonesia, dengan kulturnya yang bercorak patriarki, secara sadar maupun tidak,
telah mengkonstruksi perbedaan gender yang cenderung menguntungkan kaum laki-laki
dan memposisikan perempuan pada posisi subordinat. Jika semenjak kecil, anak laki-laki
di doktrin tabu menangis, tabu merasa takut, tabu berfisik lemah, sedangkan perempuan
dianggap wajar mengeluarkan air mata, wajar merasa takut dan bahkan diharuskan
bersikap gemulai, hal itu sesungguhnya merupakan proses konstruksi yang
mengakibatkan timbulnya perbedaan gender, sehingga dalam perkembangannya fisik
perempuan menjadi lentur, sedangkan laki-laki berfisik kokoh, perempuan bersifat
pemalu, sedangkan laki-laki pemberani, perempuan menjadi cengeng, mudah terharu,
sedangkan laki-laki pada umumnya sulit menangis. Doktrin tersebut juga tampak ketika

1
Disampaikan dalam Diskusi Akademik Dosen FH-Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
2
Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

1
orang tua memilihkan permainan di saat mereka masih kanak-kanak. Anak laki-laki
diberikan mainan mobil-mobilan dan pistol-pistolan, sedangkan anak perempuan di beri
permainan berupa alat memasak, alat menjahit, boneka, alat mencuci dan lain sebagainya.
Hal semacam itu sesungguhnya secara tak sadar telah memposisikan laki-laki pada
wilayah publik, karena dengan permainan mobil-mobilan, diharapkan laki-laki
mempunyai keahlian menyetir, sehingga kelak mempunyai mobilitas yang sangat tinggi,
dan dengan perminan pistol-pistolan, juga diharapkan laki-laki dapat memanggul senjata,
sehingga kelak bisa berkiprah di medan pertempuran. Sedangkan permainan anak
perempuan, pada umumnya diarahkan pada wilayah domestik, seperti keahlian memasak,
menjahit, mencuci dan merawat anak, yang ruang geraknya hanya berkutat di sekitar
dapur, kasur dan sumur.
Perbedaan gender seperti diatas sesungguhnya tak perlu digugat dan dipersoalkan,
sepanjang perbedaan tersebut tidak menimbulkan dampak negatif. Namun dalam
kenyataannya, perbedaan tersebut telah melahirkan hubungan dan peran gender yang
tidak berkeadilan.
Dari uraian mengenai gender sebagaimana telah dipaparkan di atas, penulis
bermaksud menganalisis tentang sejauh manakah hukum Indonesia telah memberikan
perlindungan kepada kaum perempuan?
Pembahasan
Berdasarkan analisis gender, telah dikemukakan oleh banyak pakar yang
mempunyai atensi terhadap masalah-masalah perempuan, bahwa adanya perbedaan
gender, setidak-tidaknya telah menimbulkan empat persoalan besar yang harus dihadapi
kaum perempuan, yakni sebagai berikut:
Pertama, maraknya perilaku diskriminatif terhadap kaum perempuan. Karena
perempuan tumbuh dengan fisik yang lemah, sifat yang cengeng, maka perempuan
sering dianggap sebagai makhluk second yang layak untuk diperlakukan secara
diskriminatif.
Kedua, perempuan sering menjadi sasaran empuk dari tindak marginalisasi
(pemiskinan ekonomi). Karena posisi perempuan di dalam keluarga bukan sebagai
pencari nafkah, maka pekerjaan perempuan sering dibayar dengan harga murah, tidak
berhak memperoleh tunjangan suami, tunjangan anak, dan lain sebagainya.

2
Ketiga, perbedaan gender juga telah menyebabkan banyaknya tindak kekerasan
terhadap perempuan, baik berupa kekerasan fisik, seperti perkosaan, penganiayaan,
pemukulan maupun kekerasan berupa pelecehan sexual. Hal ini juga sebagai dampak dari
lemahnya perempuan bila berhadapan dengan kaum laki-laki.
Keempat, perempuan sering menjadi korban ketidakadilan berupa burden, yaitu
beban kerja domestik yang sangat berat, yang banyak dialami perempuan, terutama
dalam kehidupan berumah tangga.
Secara yuridis, sesungguhnya hukum di Indonesia telah menjangkau beberapa
persoalan yang dikategorikan sebagai dampak perbedaan gender tersebut.
Di dalam UUD 1945, pasal 27 secara eksplisit sudah ditegaskan bahwa seluruh
warganegara (tentunya baik laki-laki maupun perempuan ) bersamaan kedudukannya di
depan hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan
dengan tanpa kecuali.
Aturan yang secara tegas melarang tindak diskriminatif terhadap kaum
perempuan, sesungguhnya juga telah dituangkan di dalam UU No 7 tahun 1984, yang
diundangkan pada tanggal 24 Juli 1984, yaitu tentang pengesahan Konvensi mengenai
penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap kaum perempuan. UU No 7 Tahun
1984, merupakan ratifikasi terhadap Convention on the Elimination of All Forms of
Discrimination Against Women, yang biasa di singkat dengan CEDAW.
Dari 30 pasal yang diatur dalam CEDAW, Indonesia hanya berkeberatan terhadap
pasal 29, yaitu mengenai penyelesaian perselisihan melalui Mahkamah Internasional.
Berkaitan dengan pasal 29, Indonesia tidak bersedia mengikatkan diri untuk mengajukan
perselisihan internasional kepada Mahkamah Internasional (Achie Sudiarti Luhulima, hal
1). Sedangkan terhadap 29 pasal yang lain, Indonesia menyatakan dapat menerima
secara penuh, karena memang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
Negara-negara yang meratifikasi konvensi, bersepakat untuk “mengutuk
diskriminasi terhadap perempuan dalam segala bentuknya dan bersepakat untuk
menjalankan segala cara yang tepat dan tanpa ditunda-tunda, kebijaksanaan menghapus
diskriminasi terhadap perempuan. 5 pasal pertama dari konvensi tersebut memuat dasar
pemikiran mengenai perlunya penghapusan diskriminasi terhadap perempuan. Pasal 6-16
memuat hak-hak substantif perempuan dan kewajiban pemerintah untuk menegakkan

3
hak-hak tersebut, sedangkan pasal 17-30 memuat ketentuan tentang Struktur
kelembagaan, prosedur dan mekanisme pelaporan pelaksanaan konvensi dan
penyelesaian perselisihan mengenai penerapan dan penafsiran konvensi.
Dalam pertimbangan UU No. 7 Tahun 1984 antara lain dinyatakan bahwa : (a)
segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan,
sehingga segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan harus dihapuskan karena tidak
sesuai dengan pancasila dan UUD 1945; (c) bahwa ketentuan-ketentuan di dalam
konvensi tersebut pada dasarnya tidak bertentangan dengan pancasila, UUD 1945 dan
peraturan perundang-undangan Republik Indonesia. Selanjutnya dalam penjelasan umum
atas UU No. 7 Tahun 1984 tersebut juga ditegaskan bahwa Pancasila sebagai pandangan
hidup bangsa dan UUD 1945 sebagai sumber hukum nasional memberikan keyakinan
dan jaminan bahwa pelaksanaan ketentuan konvensi tersebut sejalan dengan tata
kehidupan yang dikehendaki oleh bangsa Indonesia.
Kemudian berkaitan dengan maraknya tindak marginalisasi terhadap perempuan,
jika ditinjau secara das sollen, sesungguhnya juga sudah terdapat beberapa aturan yang
melarang tindak marginalisasi terhadap perempuan. Sebagaimana telah disinggung
sebelumnya, bahwa salah satu contoh dari tindak marginalisasi terhadap perempuan,
misalnya adalah: karena perempuan hanya dianggap sebagai pelengkap dalam mencari
nafkah untuk keluarga, maka akibatnya perempuan harus dibayar murah di dunia kerja,
perempuan juga tidak berhak memperoleh tunjangan suami dan tunjangan anak.
Sedangkan laki-laki, untuk kualitas kerja yang sama dengan perempuan, mendapatkan
upah yang lebih tinggi, berhak atas tunjangan istri dan tunjangan anak. Sesungguhnya PP
No 8 tahun 1981, telah mewajibkan kepada pengusaha untuk memberikan upah yang
sama terhadap pekerja laki-laki dan perempuan, untuk kualitas kerja yang sama.
Pasal 11 konvensi CEDAW bahkan secara rinci menegaskan bahwa perempuan
mempunyai hak untuk bekerja, berhak memperoleh kriteria seleksi yang sama dengan
pria, berhak memperoleh upah yang sama dengan pria termasuk dalam hal tunjangan,
jaminan sosial, perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja seperti halnya pekerja pria.
Selanjutnya, berkaitan dengan tindak kekerasan yang banyak menimpa
perempuan, sesungguhnya beberapa pasal dalam KUHP juga telah mengakomodir

4
larangan melakukan berbagai tindak kekerasan tersebut, meskipun berbagai aturan
tersebut belum dapat dikatakan sempurna.
Dalam perspektif KUHP, kekerasan terhadap perempuan, dikenal dengan istilah
penganiayaan, pembunuhan, pemerkosaan, kejahatan terhadap kesusilaan, perbuatan
cabul, dan lain-lain.
Mengenai pembunuhan diatur secara umum di dalam pasal 338-340. Pasal 338
menyatakan bahwa barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam, karena
pembunuhan, dengan pidana penjara lima belas tahun. Di dalam pasal 339, ancaman
pidananya diperberat menjadi penjara seumur hidup atau paling lama dua puluh tahun,
jika pembunuhan tersebut diikuti, disertai atau diawali dengan tidak pidana yang lain.
Sedangkan pasal 340 mengancam pelaku pembunuhan dengan pidana mati atau seumur
hidup atau paling lama dua puluh tahun jika pembunuhan tersebut dilakukan dengan
direncanakan terlebih dahulu.
Tindak kekerasan berupa penganiayaan juga diatur secara umum dalam pasal 351-
356 KUHP. Di dalam pasal 351 sampai dengan pasal 356 tersebut penganiayaan
diklasifikasikan dari penganiayaan ringan sampai dengan penganiayaan berat
(mengakibtkan korban meninggal). Dan yang menarik adalah bahwa di dalam pasal 356
ditetapkan bahwa penganiayaan yang dilakukan terhadap anggota keluarga (ayah, ibu
anak dan isteri ) maka ancaman hukumannya diperberat dengan ditambah sepertiga.
Sedangkan berkaitan dengan kejahatan seksual, berupa permerkosaan diatur dalam pasal
282-288. Berkaitan dengan pasal-pasal yang mengatur tindak pemerkosaan, menurut
hemat penulis, sanksi yang diberikan kepada pelaku masih tergolong ringan. Dalam pasal
286, misalnya ditegaskan bahwa barang siapa yang bersetubuh dengan perempuan yang
diketahui dalam keadaan pingsan, hanya diancam dengan pidana penjara maksimal 9
tahun. Tindak pemerkosaan yang diatur di dalam KUHP ternyata juga meliputi
pemerkosaan yang dilakukan terhadap istri . Pasal 288, menjelaskan bahwa barang siapa
bersetubuh dengan seorang wanita di dalam perkawinan , yang diketahui bahwa wanita
tersebut belum mampu dikawin, maka diancam pidana : paling lama empat tahun jika
mengakibatkan luka ringan, delapan tahun jika mengakibatkan luka berat dan dua belas
tahun jika mengakibatkan meninggalnya pihak korban.

5
Untuk tindak kekerasan berupa pelecehan sexual, di dalam KUHP dikenal dengan
istilah “perbuatan cabul” yang aturannya dimuat di dalam pasal 294.
Pasal 294 secara rinci menegaskan bahwa barang siapa melakukan perbuatan
cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, anak dibawah pengawasannya,
yang belum cukup umur, atau dengan orang yang belum cukup umur, yang
pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya ataupun dengan
bujangnya atau bawahannya yang belum cukup umur, diancam dengan pidana penjara
paling lama tujuh tahun.

Di dalam pasal 294 juga ditambahkan bahwa diancam dengan pidana yang sama
dalam hal:
Ke-1 : Pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena
jabatannya adalah bawahannya, atau dengan orang yang penjagaannya dipercayakan atau
diserahkan kepadanya.
Ke-2 : Seorang pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas atau pesuruh dalam
penjara, tempat pekerjaan negara, tempat pendidikan, rumah piatu, rumah sakit, rumah
sakit ingatan atau lembaga sosial, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang
dimasukkan ke dalamnya.
Aturan dalam pasal 294, kurang sempurna karena tidak memberikan ruang bagi
perbuatan cabul yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain yang tidak
mempunyai hubungan /relasi apapun. Kemudian perbuatan cabul yang dilakukan di
tempat kerja, juga belum diakomodir di dalam pasal 294.
Di dalam pasal 297 juga dicantumkan tindak kekerasan berupa memperniagakan
perempuan, dengan ancaman pidana maksimal 6 tahun. Sangat disayangkan bahwa di
pasal ini perempuan disejajarkan dengan laki-laki yang belum cukup umur. Isi lengkap
dari pasal ini menyatakan bahwa perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki
yang belum cukup umur, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
Adapun berkait dengan dampak keempat dari perbedaan gender yang berupa
burden, hukum di Indonesia memang belum memberikan perlindungan yang memadai
bagi kaum perempuan. Kondisi ini bahkan diperpuruk dengan adanya ketentuan yang

6
tercantum dalam pasal 31 ayat (3) UU No 1 Tahun 1974, yang menempatkan suami
sebagai kepala keluarga, sedangkan istri sebagai ibu rumah tangga; karena posisi istri
sebagai ibu rumah tangga, maka pasal tersebut justru menjadi justifikasi yang
mengekalkan persoalan burden yang dihadapi oleh kaum perempuan. Di dalam
kenyataan, sering terjadi seorang istri harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga sejak
shubuh, sebelum suami bangun tidur sampai dengan malam hari, setelah suami tertidur
kembali.

Penutup
Dari uraian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam persepktif perundang-
undangan, sesungguhnya perempuan telah mendapat perlindungan yang cukup memadai,
meskipun belum dapat dikatakan sempurna, dari berbagai tindak diskriminatif,
marginalisasi dan tindak kekerasan, baik kekerasan fisik maupun kekerasan berupa
pelecehan sexual. Namun demikian, perlindungan tersebut masih terbatas dalam bentuk
tulisan atau perundang-undangan, atau dengan perkataan lain perlindungan yang
diberikan masih terbatas pada perlindungan material, sedangkan dari aspek penegakan
hukumnya atau aspek formalnya, masih jauh dari harapan. Untuk mewujudkan
penegakan hukumnya, diperlukan Political Will dari pemerintah dan kesungguhan dari
seluruh penegak hukum, baik hakim, polisi, jaksa maupun pengacara, disamping itu juga
diperlukan tingkat kesadaran hukum yang tinggi dari seluruh warga masyarakat.
Kemudian berkaitan dengan persoalan burden, perempuan dapat dikatakan belum
mendapatkan perlindungan secara memadai, baik secara material maupun secara formal.

DAFTAR PUSTAKA
Achie Sudiarti Luhulima, Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Trehadap
Wanita, 1997.

T.O. Ihromi, Prof, Dr., Beberapa Hasil Penelitian Mengenai Implimentasi Pasal 11
Konvensi CEDAW di Dunia Kerja, 1997

Nursyahbani Katjasungkana, SH, Hukum dan Perempuan di Indonesia, 1996.


Kitab Undang-undang Hukum Pidana

7
8

Anda mungkin juga menyukai