Anda di halaman 1dari 18

1

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kekerasan dalam rumah tangga merupakan fenomena yang terjadi dalam sebuah
komunitas sosial. Seringkali tindakan kekerasan ini disebut hidden crime (kejahatan yang
tersembunyi). Disebut demikian, karena baik pelaku maupun korban berusaha untuk
merahasiakan perbuatan tersebut dari pandangan publik. 1Situasi ini semakin diperparah
dengan ideologi jaga praja atau menjaga ketat ideologi keluarga, seperti dalam budaya jawa
“membuka aib keluarga berarti membuka aib sendiri”, situasi demikian menurut Harkristuti
Harkrisnowo dalam berbagai kesempatan menyebabkan tingginya the “dark number” karena
tidak di laporkan.2

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang


Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang
“terutama perempuan” yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
seksual, psikologis, dan/penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup
rumah tangga.3Disahkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004
Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga merupakan moment sejarah bagi bangsa
Indonesia khususnya bagi kaum perempuan dan kelompok masyarakat lainnya yang memiliki
keperdulian terhadap masalah kekerasan terhadap perempuan. Lahirnya undang- undang
tersebut merupakan bagian dari penegakan Hak Asasi Manusia (HAM).4

Bahwa perempuan banyak yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga diakui
oleh pemerintah melalui pertimbangan dibuatnya Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah
Tangga yang merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat
manusia serta bentuk diskriminasi yang harus dihapuskan. Kemudian ditambahkan bahwa
korban kekerasan yang kebanyakan adalah perempuan harus mendapat perlindungan dari
negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman
kekerasan, penyiksaan

1
Moerti Hadiati Soeroso, 2010, Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Perspektif YuridisViktimologis, Sinar
Grafika, Jakarta, hlm. 1.

2
Mien Rukmini, 2009, Aspek Hukum Pidana dan Kriminolog, Alumni, Bandung, hlm. 2.

3
Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Pasal 1 Ayat (1)

4
Moerti Hardiati Soeroso, Op.Cit, hlm. 64

1
atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan. Anggapan bahwa istri
milik suami dan seorang suami mempunyai kekuasaan lebih tinggi dari anggota keluarga
yang lain menjadikan laki-laki berpeluang melakukan kekerasan.5

Kekerasan yang sering dilakukan didalam rumah tangga akan berpengaruh pada anak-
anak karena sifat anak yang suka meniru segala sesuatu yang dilakukan oleh orang-orang
terdekatnya, dalam hal ini ayah dan ibunya. Kekerasan yang dilakukan oleh sang ayah
dianggap sebagai suatu kewajaran bagi anak sehingga anak (laki-laki) yang tumbuh dalam
lingkungan yang ayahnya suka memukul ibunya akan cenderung meniru pola yang sama
ketika ia sudah memiliki pasangan (istri).6

Upaya yang dapat dilakukan adalah memberdayakan kemampuan pada umumnya


khususnya para istri. Agar dapat mandiri baik secara ekonomi maupun sosial. Agar apabila
menghadapi kekerasan yang dilakukan oleh suami, bisa menyelesaikan sendiri.
Memberdayakan kemampuan istri tidak mudah, selain karena merupakan suatu proses yang
panjang, juga karena harus menghadapi berbagai hambatan, selain datang dari diri sendiri
juga dari luar. Diperlukan dukungan dari berbagai pihak dan disamping itu pendapat bahwa
tempat istri adalah didalam rumah mengurus rumah tangga perlu diluruskan. Perlu juga
memperbesar kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan bagi istri. Karena biasanya lebih
perioritaskan kepada pria dengan berbagai alasan.7

Selama ini, perempuan yang mengalami korban KDRT lebih memilih menyelesaikan
permasalahan kasusnya melalui perceraian (yang termasuk ruang lingkup pengadilan perdata)
daripada menyelesaikan kasusnya secara pidana. Kondisi ini menunjukkan bahwa ada
kendala yang dihadapi perempuan yang menjadi korban KDRT, seperti peratiran hukum yang
ada belum mendukung ke arah penegakan hukum yang ada.8

Sementara itu sistem hukum dan sosial yang ada tidak memberikan perlindungan dan
pelayanan yang cukup terhadap para korban. Rumusan-rumusan didalam aturan perundang-
undangan yang masih bersifat diskriminatif dan tidak efektif dalam memberikan akses hukum
dan keadilan, merupakan hambatan bagi kaum perempuan untuk eksis.

5
Rika Saraswati, 2009, Peremupuan dan Penyelesaian Kekerasan dalam Rumah Tangga, Citra Aditya Bakti,
Bandung, hlm. 20.

6
Ibid, hlm. 21.

7
Wila Chandrawila Supriadi, 2001, Kumpulan Tulisan Perempuan dan Kekerasan Dalam Perkawinan, Mandar
Maju, Bandung, hlm. 37.

8
Rika Saraswati, Op.Cit, hlm. 6.

2
Lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ini dilandasi oleh berbagai pertimbangan,
antara lain bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala
bentuk kekerasan. Dengan demikian, segala bentuk kekerasan terumata kekerasan dalam
rumah tangga (KDRT) banyak terjadi. Adapun sistem hukum di Indonesia belum menjamin
perlindungan terhadap korban kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga.9

Secara umum kekerasan terhadap perempuan hanya diatur dalan Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP), dibawah bab tentang kejahatan terhadap kesusilaan. Dalam
hal penganiayaan terhadap istri (domestic violence) Kitab Undang- Undang Hukum Pidana
tidak mengaturnya dalam dalam bab atau pasal tersendiri, melainkan sebagian dari pasal
penganiayaan terhadap anggota keluarga. Selain itu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
hanya mengakui kekerasan fisik sebagai bentuk kejahatan, tidak mempertimbangkan
kekerasan psikis atau seksual.10

Perlu disadari bahwa Hukum Pidana bukanlah satu-satunya strategi yang dapat
mempengaruhi masalah penghapusan kekerasan terhadap perempuan, bagaimanapun juga
struktur dan tradisi dari suatu negara dapat mempengaruhi bentuk dan sikap terhadap
perempuan dan tindak kekerasan yang diderita. Tidak dapat dipungkiri bahwa di dalam
kehidupan sehari-hari pihak aparat hukum masih kurang peduli atas masalah masalah tindak
kekerasan terhadap perempuan termasuk kekerasan dalam rumah tangga. Tindakan tersebut
ditempatkan sebagai bukan kejahatan (real crime) seperti perampokan, pembunuhan, dan
lain-lain.11

Untuk mewujudkan penegakan hukum yang diharapkan, maka pemahaman dan


kekerasan dalam rumah tangga sebagai suatu kejahatan harus disebarluaskan sehingga ada
kesatuan pemahaman didalam masyarakat. Tanpa pemhaman dan kesadaran tersebut maka
penegakan hukum yang diharapkab akan semakin jauh. Selain itu perempuan sebagai anggota
masyarakat, juga harus memiliki kemauan utuk membawa kasusnya ke pengadilan pidana.12

9
Moerti Hardiati Soeroso, Op.Cit. hlm.65.

10
Moerti Hadiati Soeroso, Op.Cit. hlm. 6.

11
Ibid, hlm. 6.

12
Rika Saraswati, Op.Cit. hlm. 6.

3
Dari paparan diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai :

“PENERAPAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA KEKERASAN


DALAM RUMAH TANGGA KEPADA ISTERI ”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka yang menjadi permasalahan dalam
penulisan makalah ini yaitu :

1. Sebutkan salah satu contoh kasus KDRT dan rangkaian kejadian yang terjadi dalam
kasus kekerasan dalam rumah tangga tersebut !
2. Sebutkan apa latar belakang dan faktor-faktor terjadinya KDRT tersebut !
3. Sebutkan dasar penuntutan dan penjatuhan hukuman tentang KDRT !

4
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer, kekerasan adalah perihal sifat
keras, paksaan, perbuatan yang menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain.
Sedangkan kamus Webster mendefinisikan kekerasan sebagai penggunaan kekuatan fisik
untuk melukai atau menganiya, perlakuan atau prosedur yang kasar serta keras. Dilukai atau
terluka dikarenakan penyimpangan pelanggaran, atau perkataan tidak senonoh atau kejam.
Sesuatu yang kuat, bergejolak, atau hebat dan cenderung menghancurkan atau memaksa.
Dapat muncul berupa perasaan yang diekspresikan dengan penuh emosional, termasuk hal-
hal yang timbul dari aksi atau perasaan tersebut.13

Kekerasan rumah tangga merupakan salah satu permasalahan yang sering terjadi di
Indonesia. Kekerasan dalam Rumah Tangga menurut Undang- Undang Nomor 23 Tahun
2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) Pasal 1 adalah
setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah
tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.14

Pengertian kekerasan dalam hukum pidana dapat dilihat pada Pasal 89 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana yang berbunyi: “Membuat orang pingsan atau tidak berdaya
disamakan dengan kekerasan.” Hal ini berarti kekerasan dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana lebih dikaitkan kepada akibat dari perbuatan yang dilakukan seseorang, dan
perbuatan tersebut dalam hukum pidana terkait dengan ancaman, bentuk kekerasan dapat
berupa fisik maupun non fisik.15

Kekerasan (violence) merupakan wujud perbuatan yang lebih bersifat fisik yang
mengakibatkan luka, cacat, atau penderitaan pada orang lain.Bentuk kekerasan seperti ini
antara lainnya ialah penganiayaan, kejahatan perkosaan, dan lain-

13
Munandar Sulaiman dan Siti Homzah, Kekerasan Terhadap Perempuan, (Bandung : PT Refika Aditama,
2010), h.51

14
Nini Anggraini, dkk., Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan Perceraian Dalam Keluarga, (Padang:
Erka, 2019), hlm.5

15
Moerti Hadiati Soeroso, Kekerasan.Op.Cit, Hlm 58.

5
lain.16Ironisnya, kekerasan dalam rumah tangga tidak jarang berupa pembunuhan atau
penganiayaan berat.17

Tindak kekerasan rumah tangga : adalah memberikan penderitaan baik secara fisik
maupun mental di luar batas-batas tertentu terhadap orang lain yang berada di dalam satu
rumah ; seperti terhadap pasangan hidup, anak, atau orang tua ; dan tindak kekerasan tersebut
dilakukan di dalam rumah. Menurut Pasal 1 Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap
Perempuan, yaitu mencakup segala bentuk tindakan kekerasan, baik secara fisik seksual
maupun emosional yang membuat perempuan menderita termasuk didalamnya segala bentuk
ancaman, intimidasi, dan pelanggaran hak atau kemerdekaan perempuan baik secara terang-
terangan maupun sembunyi-sembunyi.18

Menurut definisi yang dikemukakan oleh Sanford Kadish dalam Encyclopedia of


Criminal Justice, beliau mengatakan bahwa kekerasan adalah semua jenis perilaku yang tidak
sah menurut kadang-kadang, baik berupa suatu tindakan nyata maupun berupa kecaman yang
mengakibatkan pembinasaan atau kerusakan hak milik. Meskipun demikian, kejahatan juga
tidak dapat dikatakan sebagai kejahatan bilamana ketentuan perundang-undangan (hukum)
tidak atau belum mengaturnya, seperti kekerasan yang terkait dengan hubungan seksual.
Misalnya pemaksaan hubungan seksual yang Dilakukan suami terhadap isterinya. Sedangkan
dalam Undang- UndangNomor 23 Tahun 2004:

Pasal 1 :“Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang
terutama perempuan,yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara
fisik,seksual,psikologis, atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dan lingkup
rumah tangga”19

16
Kristi Poerwandari, Kekerasan Terhadap Perempuan Tinjauan Psikologis dalam buku Penghapusan
Diskriminasi Terhadap Wanita, (Bandung: Alumni, 2000), hlm. 283

17
Fakhri Usmita, Kekerasan Rumah Tangga; Suatu Tinjauan Interaksioni, vol. 2 (1), (2017) -
https://doi.org/10.25299/sisilainrealita.2017.vol2(1).1391

18
Munandar Sulaiman dan Siti Homzah, Kekerasan Terhadap Perempuan, (Bandung : PT Refika Aditama,
2010) h.1

19
Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, (UU RI No.23 Tahun 2004), (Jakarta: Sinar
Grafika , 2007) h. 2

6
B. Faktor Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Faktor-faktor penyebab kriminalitas dapat dikategorikan secara garis besar menjadi


dua bagian, yaitu; faktor yang berasal dari dalam diri individu (intern) dan faktor yang
bersumber dari luar diri individu (ektern). 20

Faktor Yang Bersumber Dari Dalam Diri Individu (Intern) :

1.Sakit Jiwa
Seseorang yang terkena sakit jiwa memiliki kecenderungan bersifat antisosial,
atau dalam kata lain seseorang yang terkena sakit jiwa akan cenderung menjadi
penyendiri. Sakit jiwa dapat terjadi karena adanya konflik jiwa yang berlebihan
dalam diri seseorang, atau dapat terjadi karena pengalaman masa lalu seseorang yang
menjadi beban untuk masa depannya.

2. Daya Emosional
Daya emosional erat kaitannya dengan kemampuan seseorang untuk mengendalikan
emosi atau reaksi yang timbul dari dalam dirinya. Reaksi ini timbul karena adanya
ketidaksesuaian kehendak antara keinginan yang ada dalam diri seorang dengan
kehendak yang ada dalam masyarakat.
Seseorang yang memiliki daya emosial rendah akan memiliki kecenderungan berbuat
menyimpang atau jahat lebih tinggi, dibandingkan dengan seseorang yang memiliki
daya emosional tinggi.

3. Rendahnya Mental
Rendahnya mental ada hubungannya dengan daya intelegensia seseorang. Seseorang
yang memiliki daya intelegensia rendah biasanya akan cenderung menjauh karena
merasa minder. Hal tersebut pada akhirnya akan membuat seseorang yang memiliki
daya intelegensia rendah menjadi berbuat menyimpang atau jahat, hal ini dikarenakan
orang tersebut tidak mampu mengimbangi apa yang sudah dicapai dalam kelompok
masyarakat.

4. Anomi
Anomi diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang tidak memiliki pegangan
hidup (keadaan bingung). Anomi ini terjadi pada saat seseorang berhadapan dengan
kejadian atau perubahan yang belum perrnah dialaminya, atau berhadapan dengan hal
baru yang mana dalam penyelesaiannya membutuhkan cara-cara yang baru.
Seseorang yang dalam keadaan anomi dikatakan dapat melakukan perbuatan
menyimpang karena dalam keadaan ini seseorang akan menjadi mudah dipengaruhi.

20
Abdulsyani, Sosiologi Kriminalitas, 1987, Bandung: Remaja Karya CV, Hlm 42-52.

7
Faktor Yang Bersumber Dari Luar Diri Individu (Extern) :

1. Pengaruh perkembangan budaya yang makin tidak menghargai etika berpakaian


yang menutup aurat, yang dapat merangsang pihak lain untuk berbuat tidak senonoh
danjahat.

2. Lingkungan dan gaya hidup diantara laki-laki dan perempuan yang semakin bebas,
tidak atau kurang bisa lagi membedakan antara yang seharusnya boleh dikerjakan
dengan yang dilarang dalam hubungannya dengan kaidah akhlak hubungan laki- laki
dengan perempuan sehingga sering terjadi seduktif rape.

3. Tingkat kontrol masyarakat (sosial control) yang rendah, artinya berbagai perilaku
diduga sebagai penyimpangan, melanggar hukum dan norma keagamaan kurang
mendapatkan respon dan pengawasan dari unsur-unsur masyarakat.

4. Putusan hakim yang cenderung tidak adil, misalnya putusan yang cukup ringan
dijatuhkan pada pelaku. Hal ini dimungkinkan mendorong anggota masyarakat
lainnya untuk berbuat keji dan jahat. Keinginan pelaku untuk melakukan
(melampiaskan) balas dendam terhadap sikap, ucapan dan perilaku korban yang
dianggap menyakiti dan merugikan sehingga menimbulkan manga rape.21 Artinya
mereka yang hendak berbuat jahat tidak merasa takut lagi dengan sanksi hukum yang
akan diterimanya.

Zastrow &Browker (1984) menyatakan bahwa ada tiga teori utama yang mampu
menjelaskan terjadinya kekerasan, yaitu teori biologis, teori frustasi-agresi, dan teori kontrol.

1. Teori Biologis

menjelaskan bahwa manusia, seperti juga hewan, memiliki suatu insting


agresif yang sudah dibawa sejak lahir. Sigmund Freud menteorikan bahwa manusia
mempunyai suatu keinginan akan kematian yang mengarahkan manusia-manusia itu
untuk menikmati tindakan melukai dan membunuh orang lain,dan dirinya sendiri.
Robert Ardery yang menyarankan bahwa manusia memliki instink untuk
menaklukkan dan mengontrol wilayah, yang sering mengarahkan pada perilaku
konflik antar pribadi yang penuh kekerasan. Konrad Lorenz menegaskan bahwa
agresi dan kekerasan adalah sangat berguna untuk survive. Manusia dan hewan yang
agresif lebih cocok untuk membuat keturunan dan survive, sementara itu manusia
atau hewan yang

21
Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Perempuan Korban Kekerasan Seksual:
Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan, (Bandung : PT. Rafika Aditama, 2001), 72.

8
kurang agresif memungkinkan untuk mati satu demi satu. Agresi pada hakekatnya
membantu untu kmenegakkan suatu sistem dominan, dengan demikian memberikan
struktur dan stabilitas untuk kelompok. Beberapa ahli teori biologis berhipotesis
bahwa hormon sek pria menyebabkan perilaku yang lebih agresif. Di sisi lain, ahli
teori belajar berteori bahwa perbedaan perilaku agresif terutama disebabkan oleh
perbedaan sosialisasi terhadap pria dan wanita.

2. Teori Frustasi-Agresi

menyatakan bahwa kekerasan sebagai suatu cara untuk mengurangi


ketegangan yang dihasilkan situasi frustasi. Teori ini berasal dari suatu pendapat yang
masuk akal bahwa seseorang yang frustasi sering menjadi terlibat dalam tindakan
agresif. Orang frustasi sering menyerang sumber frustasinya atau memindahkan
frustasinya ke orang lain. Misalnya, Seorang pengangguran yang tidak dapat
mendapatkan pekerjaan mungkin memukul istri dan anak- anaknya. Tetapi, diakui
bahwa sebagian besar tindakan agresif dan kekerasan nampak tidak berkaitan dengan
frustasi. Misalnya, seorang pembunuh professional tidak harus menjadi frustasi untuk
melakukan penyerangan. Beberapa sosiolog telah menerapkan teori untuk suatu
kelompok besar. Mereka memperhatikan perkampungan miskin dan kotor di pusat
kota dan dihuni oleh kaum minoritas telah menunjukkan angka kekerasan yang tinggi.
Mereka berpendapat bahwa kemiskinan, kekurangan kesempatan, dan ketidakadilan
lainnya di wilayah ini sangat membuat frustasi penduduknya. Penduduk semua
menginginkan semua benda yang mereka lihat dan dimiliki oleh orang lain, serta tidak
ada hak yang sah sedikitpun untuk menggunakannya. Akibatnya, mereka frustasi dan
beusaha untuk menyerangnya. Teori ini memberikan penjelasan yang masuk akal
terhadap angka kekarasan yang tinggi bagi penduduk minoritas.

3. Teori Kontrol

menjelaskan bahwa orang-orang yang hubungannya dengan orang lain tidak


memuaskan dan tidak tepat adalah mudah untuk terpaksa berbuat kekerasan ketika
usaha-usahnya untuk berhubungan dengan orang lain menghadapi situasi frustasi.
Teori ini berpegang bahwa orang- orang yang memiliki hubungan erat dengan orang
lain yang sangat berarti cenderung lebih mampu dengan baik mengontrol dan
mengendalikan perilakunya yang impulsif.22

22
Rochmat Wahab “Kekerasan dalam Rumah Tangga Perspektif Psikologis dan Edukatif” (Yogyakarta : 2010)
Universitas Negeri Yogyakarta. h. 5-7

9
C. Bentuk-Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Bentuk-bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dimaksudkan dalam


Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (UU PKDRT) adalah: 1) Kekerasan fisik; 2) Kekerasan psikis;
3) Kekerasan seksual; atau 4) Penelantaran rumah tangga.

1. Kekerasan Fisik, adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau
luka berat. Kekerasan fisik merupakan bentuk kekerasan yang dimaksudkan
untuk menimbulkan rasa sakit kepada korban. Kekerasan fisik ini dapat berupa
dorongan, cubitan, tendangan, pemukulan dengan alat pemukul, siraman dengan zat
kimia atau air panas, menenggelamkan dan tembakan. 23 Moerti Hadiati Soeroso
merangkum bentuk kekerasan fisik ini ke dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu; kekerasan
pembunuhan, penganiayaan, dan perkosaan.24 Akibat dari kekerasan fisik dapat
berupa luka ringan, luka sedang, luka berat, maupun kematian.

2. Kekerasan Psikis, adalah bentuk kekerasan yang menyerang atau ditujukan kepada
psikis (mental atau kejiwaan) seseorang, baik itu berupa penghinaan, komentar yang
ditujukan untuk merendahkan martabat seseorang, larangan, maupun
ancaman.25Dalam Pasal 7 Undang-Undang PKDRT memberikan pengertian kekerasan
psikis, sebagai berikut:

“Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan


yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan
untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada
seseorang.”

3. Kekerasan seksual adalah setiap penyerangan yang bersifat seksual, baik itu telah
terjadi persetubuhan atau tidak, dan tanpa memperdulikan hubungan antara korban
dan pelaku.26

Kekerasan Seksual dalam Pasal 8 Undang-Undang PKDRT adalah: Kekerasan seksual


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi : a. Pemaksaan

23
Aroma Elmina Martha, Perempuan Kekerasan dan Hukum, 2003, Yogyakarta: UII Press, Hlm 35.

24
Moerti Hadiati Soeroso, Kekerasan... Op.Cit, Hlm 80-81.

25
Ibid, hlm 81.

26
Aroma Elmina Martha, Perempuan Kekerasan ...Op.Cit, Hlm 36.

10
hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah
tangga tersebut;

b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah


tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

4. Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang
yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau
melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban
berada di bawah kendali orang tersebut. Penelantaran rumah tangga ini erat kaitannya
dengan ekonomi, baik itu berupa tidak diberikan biaya yang seharusnya ditanggung
oleh pelaku demi kelangsungan hidup korban atau berupa pembatasan atau larangan
yang menyebabkan ketergantungan ekonomi. Misal, suami melarang istri bekerja
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga, serta tidak memberikan uang
belanja.27

Berdasarkan Pasal 1 dan 2 Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan


dapat digolongkan kepada beberapa bentuk, yaitu:

1. Kekerasan ekonomi adalah tiap-tiap perbuatan yang membatasi seseorang untuk


bekerja di dalam atau di luar rumah yang menghasilkan uang atau barang; dan
atau membiarkan korban bekerja untuk dieksploitasi; atau menelantarkan anggota
keluarganya.
2. Perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang adalah semua perbuatan yang
menyebabkan terisolirnya seseorang dari lingkungan sosialnya (penjelasan; di
antaranya larangan keluar rumah, larangan komunikasi dengan orang lain).

27
Ibid, Hlm 37.

11
D. Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Kekerasan dalam rumah tangga/keluarga adalah berbagai bentuk kekerasan yang


pelaku dan korbannya memiliki hubungan keluarga /hubungan kedekatan lain, termasuk di
sisi penganiayaan terhadap istri maupun anggota keluarga lainnya.28

Tindakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) bisa berdampak bagi mereka
yang menjadi korban. Terdapat lima dampak KDRT menurut Noorkasiani, dkk (2009) :

1. Dampak kesehatan fisik bisa berupa cedera, gangguan fungsi tubuh, Status
kesehatan buruk, dan ketidakmampuan secara terus menerus.
2. Dampak kesehatan reproduksi meliputi gangguan kesehatan reproduksi, hamil
yang tidak diinginkan sehingga berujung pada tindakan aborsi,komplikasi
kehamilan yang bisa menyebabkan BBLR, dan beberapa penyakit seperti
HIV/AIDS.
3. Dampak emosional, seperti keadaan stress pasca trauma yang mengakibatkan
seseorang mengalami kecemasan hingga depresi. Hal tersebut membuat seseorang
merasa tidak lagi mempunyai harga diri, sehingga berbagai upaya percobaan
bunuh diri terus dilakukan.
4. Dampak perilaku, yaitu dampak yang timbul dari dalam diri seseorang yang bisa
memberikan kerugian untuk diri sendiriPerilaku tersebut meliputi ketidakaktifan
fisik, praktek seksual beresiko, dan penyalahgunaan zat terlarang.
5. Dampak profesional, merupakan dampak yang timbul di tempat kerja seseorang,
seperti kinerja yang menurun bahkan menjadi buruk, waktu yang lebih banyak
dihabiskan untuk persoalan rumah tangga, serta rasa takut untuk kehilangan
pekerjaan.

Baquandi, dkk (2009) menyatakan pendapatnya tentang dampak yang merugikan dari
KDRT seperti mengalami sakit fisik, merasa tertekan, berkurangnya harga diri dan rasa
percaya diri merasa tidak berdaya, bahkan stress hingga depresi yang memicu keinginan
untuk bunuh diri. Selain itu, KDRT juga bisa menyebabkan lebam dan memar akibat pukulan
atau tendangan suami (Hawari, 2009).

Bisa dilihat berbagai dampak-dampak yang diakibatkan dari tindakan KDRT bisa
saling mempengaruhi yang menyebabkan timbulnya berbagai penyakit atau gangguan dalam
diri seseorang yang menjadi korban. Jika seseorang mengalami lebih dari satu jenis
kekerasan, maka dampak yang akan diterima orang tersebut beresiko lebih fatal dari mereka
yang mengalami hanya satu jenis kekerasan.

28
Munandar Sulaiman dan Siti Homzah, Kekerasan Terhadap Perempuan, (Bandung : PT Refika Aditama,
2010) h.79

12
BAB 3

PEMBAHASAN

A. Hasil Wawancara Kasus seorang istri yang dipukul dan disiram kuah
sambal oleh suaminya di Komplek Perumdam, Kota Bengkulu.

1. Informan

Nama : DCL (samaran)

Umur : 22tahun

Jenis Kelamin : Wanita Pekerjaan :

Ibu Rumah Tangga

Alamat korban : Komplek Perumdam, Kota Bengkulu

Tempat kejadian : Dirumah pribadi milik korban Tahun

Kejadian : 2023

Perihal : Kekerasan dalam rumah tangga

2. Kronologis

“Awal kejadian bulan Februari tanggal 17 tahun 2023, kejadian itu terjadi di Komplek
Perumdam TKP-nya. Awalnya saya hanya menemani suami makan malam saja. Terus lagi
berkeluh kesah mengenai keluarganya, adiknya, kan adiknya mau ada pengurangan dari
perusahaan. Dia menunjukkan dia kesal dengan adiknya, kemudian ngga tahu gimana
terpengaruh emosi ya mungkin, dia langsung melakukan pemukulan. " kata DCL
(30/11/2023).

DCL menjelaskan, pada saat bersamaan, suaminya itu juga membicarakan tentang
pengeluaran keluarganya di bulan Februari. Hingga akhirnya sang suami mengatainya
'bodoh'.

"Kemudian dia membicarakan akan ketemu orang tapi dia juga menanyakan
pengeluaran di bulan Februari rumah tangga kami. (Saya bilang) kalau hari ini kan nggak
bisa, ini Sabtu. Kalau mau Senin, saya print, dia bilang harus malam ini juga
selesai.Kemudian dia bahas lagi katanya saya sama bodohnya dengan adiknya. Dari situ dia
semakin marah.” Ucap DCL.

13
Percekcokan berlanjut hingga suaminya mengambil minyak cabai lalu
menyiramkannya ke atas kepala DCL. Ia mencoba untuk membersihkan minyak itu dari
kepalanya tapi dilarang oleh suaminya.

"Minyak cabai dari meja makan di siram ke atas kepala saya. Saya izin
bersihkan basuh muka dengan air, nggak dikasih. Saya lap dengan baju, masih kena mata
saya yang perih," ujarnya.Selama percekcokan itu, kata DCL, suaminya melontarkan cacian
kepadanya.

"Saya berdiri terus dia ambil botol Bon Cabe. Dia buka terus disiram ke muka saya.
Pertama minyak cabai, kedua Bon Cabe ke mata saya. Kemudian habis itu saya udah mulai
nggak kuat, dengan mata tertutup saya bilang, 'kenapa begini', kemudian dipukul," lanjutnya.
Setelah kejadian itu, DCL mengaku diseret berulang kali oleh suaminya. Ia juga sempat
ditanya soal rasanya mati.

"Terus saya diseret ke pintu garasi yang dekat kamar mandi juga. Habis dari situ saya
ditanyai juga dengan pertanyaan-pertanyaan 'mau tahu nggak rasanya mati seperti apa' dia
balik juga ke pertanyaan 'malam ini juga saya minta rincian pengeluaran Februari'," tutur
DCL.

"Saya bilang saya nggak bisa apa-apa karena saya bisa bikin baru, hari Senin saya
buktikan. Jadi setiap saya mau jawab saya dipukul, saya diam saya nggak bisa jawab. Saya
dipukuli lagi," ucapnya. DCL mengungkapkan dirinya terus dipukuli oleh suaminya di bagian
wajah. Ia juga sempat dicekik hingga dibenturkan kepalanya ke dinding.

"Di bagian mata,wajah,rahang, dicekik kepala saya dijedokin ke dinding. Habis itu
saya mau berusaha keluar pintu garasi itu. Dia tahan saya, tarik rambut saya sampai bawah,
saya mau dimasukin ke kamar mandi. Saya bertahan di situ, saya nggak mau masuk ke kamar
mandi, dia tarik rambut saya, saya bertahan, dibilang 'mau tahu nggak rasanya mati kaya apa'.
Terus saya bilang 'kasihan anak-anak butuh kita' dia bilang nggak peduli 'saya aja juga nggak
peduli ibu' nah itu saya di situ wajah rasanya sudah nggak karuan saya terkapar, tersungkur,"
imbuhnya.

DCL mengatakan asisten rumah tangga (ART) ingin membantunya saat terjadi KDRT
itu, tapi ART-nya tidak punya kuasa dan dilarang membantu oleh suaminya. Setelah itu, ia
diminta suaminya masuk ke kamar ART-nya itu, tapi DCL menolaknya. Saat kejadian itu,
DCL mengaku sudah tidak kuat untuk melawan suaminya. Sehingga akhirnya, ia memegang
celana suaminya.

"Di situ udah saya nggak mau, saya nolak, habis itu ditarik lagi rambut saya sampai
tersungkur ke lantai. Disitu sudah kebayang anak-anak saya gimana. Saya pegang celana dia.
Saya bilang 'tolong lepas sakit ini saya sudah nggak kuat'. Terus

14
dia teriak 'lepas', kemudian 'ini lepas dulu saya nggak kuat' pas dia teriak lepas saya lepas
duluan," tuturnya.

Setelah DCL melepaskan genggaman dari celana suaminya, baru suaminya


melepaskan dia dan meminta maaf. DCL mengatakan sangat trauma tapi dia memilih untuk
tetap mempertahankan rumah tangganya demi anak-anaknya.

B. Pembahasan Latar Belakang Dan Faktor-Faktor Terjadinya KDRT

Berdasarkan dari hasil wawancara, saya menyimpulkan bahwa latar belakang dan faktor-
faktor terjadinya kasus ini adalah :

1. Emosional suami DCL yang tidak bisa dikontrol dengan baik


2. Kekecewaan suami DCL terhadap adiknya yang mengalami pemecatan
3. Keuangan keluarga yang tidak stabil

Dalam kasus ini disimpulkan bahwa kasus ini sesuai dengan Teori frustasi-agresi yang
menyatakan bahwa kekerasan sebagai suatu cara untuk mengurangi ketegangan yang
dihasilkan situasi frustasi. Orang frustasi sering menyerang sumber frustasinya atau
memindahkan frustasinya ke orang lain, seperti yang dilakukan suami DCL kepada DCL.

Dampak dari kasus ini menyebabkan DCL mengalami trauma mendalam, seperti
: gangguan emosi, kecemasan, dan depresi.

C. Dasar Penuntutan dan Penjatuhan Hukuman

1. Pasal 44 ayat (1): ”Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam
lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp.
15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).”
2. Pasal 351 ayat (1) KUHP: “Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama
dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling lama empat ribu lima ratus rupiah.
3. Pasal 82 UU 23/2002: ”Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau
ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan,
atau membujuk anak untk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat
3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)
dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

15
BAB 4

KESIMPULAN & SARAN

A. Kesimpulan

Korban kdrt mengalami jenis atau bentuk kekerasannya yakni kekerasan fisik, psikis
dan ekonomi, latar belakang terjadinya kekerasan dalam rumah tangga pada korban
diakibatkan adanya pertengkaran secara berulang yang kemudian menimbulkan kekerasan
lain seperti fisik (Pemukulan, Pencekikan leher, Penamparan), kekerasan psikis (Dibentak,
ucapan yang menyakitkan.) Dampak yang ditimbulkan akibat kdrt seperti trauma psikologis
berupa depresi, stress, memiliki Trust Issues (Krisis kepercayaan), ketidak stabilan emosi.
Selain itu dampak pemberian layanan psikologis dan hukum yang diberikan berdampak pada
kondisi psikologis korban yang lebih stabil dari sebelumnya dikarenakan adanya sesi
konseling dan konsultasi DCL yang berdampak baik kepada korban.

B. Saran

1. Bagi Lembaga

Perlu adanya sosialisasi di lingkar sosial terkecil dimasyarakat yakni RT-RW,


Kecamatan mengenai pentingnya pengetahuan hukum berkeluarga dan pentingnya aparat
desa atau ketua-ketua dusun untuk mengetahui dasar hukum Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2004 tentang “Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga” guna menjadi dasar
implementasi penyelesaian tingkat pertama pada kasus kekerasan dalam rumah tangga yang
terjadi di lingkungan sekitar sehingga dapat memberikan perlindungan dan rasa aman kepada
istri-istri yang merupakan mayoritas sasaran korban kekerasan dalam rumah tangga.

2. Bagi Masyarakat Umum

Perlunya kesadaran untuk setiap individu dalam menyikapi korban kekerasan dalam
rumah tangga agar tidak menyalahkan/menghakimi korban agar terciptanya ruang aman
untuk korban dapat bercerita atau mengadukan segala kekerasan yang dialaminya agar
meminimalisir terjadinya kelambatan penanganan yang seharusnya diberikan pada saat masa-
masa krisis korban pada saat mengalami kekerasan.

3. Bagi Pemerintah dan Aparat Penegak Hukum

Perlunya undang-undang atau dasar hukum yang lebih banyak lagi olehpemerintah
pusat, daerah dan desa untuk memberikan perlindungan kepada perempuan dan anak sebagai
mayoritas sasaran kekerasan baik di ruang pribadi ataupun diruang publik guna terciptanya
keamanan, keadilan, perlindungan bagi perempuan dan anak.

17
DAFTAR PUSTAKA

Rika Saraswati, 2009, Peremupuan dan Penyelesaian Kekerasan dalam Rumah Tangga,
Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 6,20.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia.

Wila Chandrawila Supriadi, 2001, Kumpulan Tulisan Perempuan dan Kekerasan Dalam
Perkawinan, Mandar Maju, Bandung, hlm. 37.

Mien Rukmini, 2009, Aspek Hukum Pidana dan Kriminolog, Alumni, Bandung, hlm.

2. Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam

Rumah
Tangga, Pasal 1 Ayat (1).

Kristi Poerwandari, Kekerasan Terhadap Perempuan Tinjauan Psikologis dalam buku


Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita, (Bandung: Alumni, 2000), hlm. 283

Fakhri Usmita, Kekerasan Rumah Tangga; Suatu Tinjauan Interaksioni, vol. 2 (1), (2017)
- https://doi.org/10.25299/sisilainrealita.2017.vol2(1).1391

Munandar Sulaiman dan Siti Homzah, Kekerasan Terhadap Perempuan, (Bandung : PT


Refika Aditama, 2010) h.1,51,79.

Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, (UU RI No.23 Tahun


2004), (Jakarta: Sinar Grafika , 2007) h. 2

Nini Anggraini, dkk., Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan Perceraian Dalam
Keluarga, (Padang: Erka, 2019), hlm.5

Moerti Hadiati Soeroso, Kekerasan.Op.Cit, Hlm 6,58,64,65,80,81.

Aroma Elmina Martha, Perempuan Kekerasan dan Hukum, 2003, Yogyakarta: UII Press,
Hlm 35-36.

Rochmat Wahab “Kekerasan dalam Rumah Tangga Perspektif Psikologis dan Edukatif”
(Yogyakarta : 2010) Universitas Negeri Yogyakarta. h. 5-7

Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Perempuan Korban


Kekerasan Seksual: Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan, (Bandung : PT. Rafika
Aditama, 2001), 72.

Encyclopedia of Criminal Justice

17

Anda mungkin juga menyukai