Anda di halaman 1dari 4

NAMA :NOFI SRI UTAMI

MATKUL : KEJAHATAN SUBJEK HUKUM


NIM :

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)


Memperingati Hari Anti Penyiksaan Sedunia

Penulis: Oleh : Pebriyanti (Pemerhati masalah sosial)


edisi: 26/Jun/2008 wib

MEMPERHATIKAN banyaknya penyiksaan atau kekerasan terhadap wanita dan anak- anak
dalam rumah tangga menimbulkan keprihatinan terhadap mereka. Penyiksaan ataupun kekerasan
sering dilakukan oleh orang yang memiliki kuasa atau kekuatan. Kejadian pada wanita yang
bemama Liza (pasien rekonstruksi wajah total) yang mengalami kerusakan wajah karena disiram
air keras oleh suaminya sendiri hingga hams mengoperasi wajahnya secara total (face off),
merupakan tindak kekerasan dalam rumah tangga yang tidak dapat ditolerir oleh siapapun hingga
akhimya hukum yang berbicara.

images.google.co.id

ilustrasi
Contoh yang terjadi pada Liza adalah sebagian kecil dari banyaknya kasus KDRT. Kejadian suami
yang membakar istrinya pemah pula terjadi, suami yang memukul dan mengakibatkan luka memar
pada istri tidak terhitung lagi jumlahnya, orang tua yang memukul anaknya hingga meninggal
pemah terjadi. Penganiayaan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
seksual, ekonomi, psikologi termasuk ancaman pemaksaan dan pemerasan dalam lingkup rumah
tangga banyak terjadi. Tidak hanya dalam lingkup rumah tangga, pada lingkup tempat kerja,
masyarakat atau negara juga dapat terjadi tindak kekerasan dan kecenderungan korban adalah
wanita atau anak¡anak, apakah korban tersebut adalah istri atau pembantu rumah tangga atau orang
lain yang lemah.

Seseorang yang melakukan kekerasan adalah orang yang tingkat pemahaman agamanya kurang
baik dan memiliki tingkat pemahaman hukum yang kurang sehingga melakukan pelanggaran.
Pemahaman agama yang kurang yang tercermin dalam tingkah laku yang buruk dapat memicu
tindakan kekerasan atau penyiksaan. Perilaku yang tidak mengikuti norma agama cenderung
menimbulkan perilaku buruk. Serta pemahaman hukum yang kurang dapat memicu tindakan
kekerasan. Orang yang mengerti hukum akan taat pada hukum dan mengetahui sanksi-sanksi
terhadap pelanggaran.

Yang perlu diperhatikan dalam KDRT adalah dampak dari kekerasan atau penyiksaan pada diri
korban seperti : bunuh diri, gangguan mental (traumatik), akibat masa depan hancur, atau hilang
identitas, atau cacat sehingga kekerasan (terhadap siapapun) harus dihilangkan. Perhatian yang
ditujukan pada korban adalah dengan menolong atau peduli bahwa kekerasan merupakan hal yang
tidak biasa, dan melanggar hukum, sedangkan pada pelaku kekerasan dikenakan sanksi hukuman
kurungan.

Persoalan KDRT pada istri, anak-anak atau pembantu sering terjadi dan belum selesai, selalu terjadi
kasus. Mengapa hal ini terns terjadi? Kekerasan atau penganiayaan terus terjadi dapat saja
disebabkan oleh :
(1) Kesadaran yang kurang terhadap persoalan KDRT. Kekerasan dalam hal ini adalah persoalan
sosial, bukan individu hingga perlu penyelesaian yang melibatkan pihak ketiga dengan melapor
kepada polisi apabila teIjadi penganiayaan.

(2) Korban KDRT tidak berani mempersoalkan penderitaannya kepada pihak lain seperti Lembaga
yang mendampingi/peduli pada korban seperti : LBH Apik, Mitra, Perempuan, dan lain-lain.
Korban KDRT menganggap hal yang biasa dalam rumah tangga mereka hingga tidak perlu orang
lain tahu. Korban lebih memilih diam atau berdamai dengan pelaku dengan alasan-alasan tertentu,
kecenderungan korban menginginkan keluarganya utuh.

(3) Lemahnya sanksi dalam kekerasan atau penganiayaan di rumah tangga. UU Khusus (UU Anti
Kekerasan/Anti KDRT) belurn berbicara secara tajam mengenai sanksi kurungan, sedangkan
hukuman sering terlalu ringan atau tidak maksimal, serta seluruh kerugian sering ditanggung korban
dan tidak ada perlindungan bagi korban dan saksi kejadian dan yang lebih fatal adalah menganggap
KDRT bukan pelanggaran hukum. Padahal KDRT adalah kejahatan yang dapat dijaring oleh
Undang-Undang untuk dihukum.

Memperhatikan masih terjadinya kasus KDRT maka diperlukan suatu upaya penanggulangan atau
pencegahan. Sosialisasi dari UU No. 23/2004 tentang Pencegahan KDRT perlu ditingkatkan.
Sosialisasi dilakukan dari tingkat pusat hingga tingkat desa termasuk sosialisasi kepada petugas
keamanan. Pada tingkat desa yakni kepada Kepala Desa sebagai kepala pemerintahan yang
bekerjasama dengan Ketua RT/RW yang mengenal warganya diharapkan dapat membantu
mengidentifikasi KDRT. Kepala Desa dan Petugas Keamanan bekerjasama membantu korban
KDRT sehingga kasus dapat ditindaklanjuti.

Fenomena KDRT dikatakan sebagai gunung es, lambat laun mencair. Sedikit demi sedikit banyak
kasus diungkapkan dan ditindaklanjuti, bila upaya pencegahan KDRT ditingkatkan salah satunya
melalui sosialisasi UU No. 23/2004. Persoalan KDRT yang menjadi persolan sosial menurut penulis
menghendaki juga keterlibatan tokoh agama, selain pemerintah melalui kebijakan UU No.23/2004
dan petugas keamanan (polisi, hakim dan jaksa) untuk meminimalkan kekerasan terhadap sesama.
Keterlibatan tokoh agama dalam hal ini berfungsi sebagai pemberi pemahaman agama sehingga
melahirkan akhlak/perilaku yang baik. (*)
Komentar
Perkembangan dewasa ini menunjukkan bahwa tindak kekerasan secara fisik, psikis, seksual, dan
penelantaran rumah tangga pada kenyataannya terjadi sehingga dibutuhkan perangkat hukum yang
memadai untuk menghapus kekerasan dalam rumah tangga.
Pembaruan hukum sangat diperlukan, khusus-nya tentang perempuan, sehubungan dengan
banyaknya kasus kekera-san, terutama kekerasan dalam rumah tangga.Pembaruan hukum tersebut
diperlukan karena undang-undang yang ada belum memadai dan tidak sesuai lagi dengan
perkembangan hukum masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan tentang tindak pidana
kekerasan dalam rumah tangga secara tersendiri, walaupun secara umum di dalam Kitab Undang-
Undang Hukum pidana telah diatur mengenai penganiayaan dan kesusilaan serta penelantaran
orang yang perlu diberikan nafkah dan kehidupan.
Undang-Undang tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga ini terkait erat dengan beberapa
peraturan perundang-undangan lain yang sudah berlaku sebelumnya, antara lain:
UU 1/1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum pidana serta Perubahannya;
UU 8/1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara pidana
UU 1/1974 tentang Perkawinan;
UU 7/1984 tentang 28 Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women);
dan
UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang ini, selain mengatur ihwal pencegahan dan perlindungan serta pemulihan terhadap
korban kekerasan dalam rumah tangga, juga mengatur secara spesifik kekerasan yang terjadi dalam
rumah tangga dengan unsur-unsur tindak pidana yang berbeda dengan tindak pidana penganiayaan
yang diatur dalam KUHP. Selain itu, Undang-Undang ini juga mengatur ihwal kewajiban bagi
aparat penegak hukum, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, atau pembimbing
rohani untuk melindungi korban agar mereka lebih sensitif dan responsif terhadap kepen-tingan
rumah tangga yang sejak awal diarahkan pada keutuhan dan kerukunan rumah tangga.
Berdasarkan pemikiran tersebut, sudah saat-nya dibentuk Undang-Undang tentang Peng-hapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga yang diatur secara komprehensif, jelas, dan tegas untuk
melindungi dan berpihak kepada korban, serta sekaligus memberikan pendidi-kan dan penyadaran
kepada masyarakat dan aparat bahwa segala tindak kekerasan dalam rumah tangga merupakan
kejahatan terhadap martabat kemanusiaan.
Kekerasan dalam rumah tangga sering terjadi dalam masyarakat, dan banyak sekali masalah yang
ditimbulkan akibat dari kekerasan dalam rumah tangga.

Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentangt KDRT sudah bisa melindungi korban kekerasan dalam
rumah tangga sebagaimana yang tercantum dalam pasal 4 bab II, juga terdapat dalam bab IV pasal
10 yaitu: Cara melindungi korban dapat dilakukan perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian,
kejaksaan, advokad, lembaga sosial atau pihak lainnya.apabila dalam hal ini ada warga yang
mendengar, melihat atau mengetahui telah terjadinya kekerasan terhadap rumah tangga di dalam
lingkungannya maka wajib melakukan upaya pencegahan terjadinya tindak pidana ; memberikan
perlindungan terhadap korban; memberikan pertolongan darurat; membantu proses pengajuan
permohonan penetapan perlindungan.
Undang-undang KDRT No. 23 tahun 2004 sudah bisa dijadikan acuan dalam merumuskan perkara
dalam tindakan kekerasan dalam rumah tangga karena undang-undang ini sudah disahkan, tetapi
masih ada yang menggunakan KUHP Bab XX tentang penganiayaan dalam memutuskan perkara ini
sesuai dengan kekerasan yang dilakukan si pelaku. KUHP pada dasarnya tidak mengenal kekerasan
yang berbasis jender, itulah sebabnya dikeluarkan UU No.23 tahun 2004 yang mengatur secara
khusus tentang kekerasan terhadap perempuan (istri) dalam rumah tangga.
Banyak sekali faktor yang menyebabkan seorang suami melakukan tindak kekerasan dalam rumah
tangga, seorang suami dapat melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga disebabkan oleh
adanya hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara suami dan istri jadi suami disini merasa
dirinya yang berkuasa dan bebas melakukan apapun terhadap istrinya, ketergantungan ekonomi juga
menyebabkan faktor kekerasan dalam rumah tangga karena disini hanya seorang suami yang
mencari nafka sedangkan istri hanya bergantung pada suami maka hanya suami yang merasa berhak
mengendalikan semuanya, menurut para suami dengan melakukan tindak kekerasan maka istrinya
bisa menuruti semua kehendak dari suami maka kekerasan dijadikan alat untuk menyelesaikan
konflik, frustasi seorang suami karena beberapa faktor seperti belum siap kawin, belum kerja
menyebakan suami menjadi stes dan bisa melakukan kekerasan terhadap istri, persaingan antara
suami dan istri dalam hal pendidikan, jabatan, pergaulan dapat menjadi faktor kerasan dalam rumah
tangga.

Anda mungkin juga menyukai