Anda di halaman 1dari 10

Kekerasan Seksual (Pemerkosaan) Dalam Rumah Tangga Perbandingan

Hukum Positif di Indonesia, Fiqh, dan Timur Tengah

Ahmad Muhajir Salim Rambe


amuhajirsr33@gmail.com

Abstrak

Keutuhan sebuah rumah tangga dan kerukunan pasangan suami istri merupakan
sebuah keniscayaan yang tidak terelakkan. Banyak hal yang dapat menyebabkan
keretakan rumah tangga salah satunya ialah kekerasan seksual (pemerkosaan) dalam
rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang harus dihindari
oleh semua pihak, baik oleh anggota keluarga, masyarakat, pengemuka agama,
bahkan pemerintah. Mengingat pentingnya perlindungan kekerasan dalam rumah
tangga, tidak ironis jika terdapat peraturan perundang-undangan yang bertujuan untuk
menghapus kekerasan dalam rumah tangga. Misalnya adanya UU No.12 Tahun
2022, ia akan menjadi aturan khusus yang utama dan pertama dalam
menanggulangi Tindak Pidana Kekerasan Seksual, serta menjadi pelengkap
bagi peraturan perundang-undangan yang sebelumnya telah mengatur substansi
tindak pidana kekerasan seksual serta sebelum ada UU TPKS kejahatan seksual
masih sangat terbatas terminologinya, namun saat ini menjadi lebih luas/ beragam
menyesuaikan perkembangan rasa keadilan masyarakat. Dalam perspektif hukum
Islam, hukuman dapat diberikan dengan takzir maka pelaku dapat dihukum dengan
diserahkan kepada penguasa atau hakim yang berhak untuk memutuskan suatu
perkara untuk memperoleh keadilan

Kata kunci: kekerasan seksual; hukum positif; hukum Islam; rumah tangga

Pendahuluan

Pernikahan merupakan suatu proses yang sakral dalam Islam dan dapat
dikatakan sebagai momen terpenting bagi setiap individu. Karena pernikahan adalah
bentuk memulai kehidupan baru dengan pasangan dan bertujuan untuk mewujudkan
kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah antara dua insan yang
berbeda baik secara fisik maupun batin menjadi satu (dalam rumah tangga).1 Dan
dengan adanya pernikahan tersebut diharapkan bisa menjadi suatu bentuk ibadah
kepada tuhan dan terhindar dari perbuatan zina. Allah SWT telah mensyariatkan
pernikahan dengan menjadikannya sebagai bentuk dasar yang kuat bagi kehidupan
manusia. Dengan beberapa nilai yang terjalin antara kehidupan mereka kepada
tuhannya sebagai bentuk ibadah dan tujuan yang mulia. Untuk mencapai kehidupan
yang bahagia dan terhindar dari perbuatan-perbuatan tercela. Sebagaimana dalam

1
Abd Thalib, Hukum Keluarga dan Perikatan (Pekanbaru: UIR, 2008), 4
firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surah ar-Rum ayat 21:“Dan di antara tanda-
tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di
antaramu rasa dan kasih sayang. Sesungguhnya pada demikian itu benar-benar
terdapat tandatanda bagi kaum yang berfikir”
Pedoman hukum dalam perkawinan sebagai tata tertib dalam perkawinan telah
dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 perubahan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Rumah tangga merupakan sebuah tempat
tinggal sekumpulan orang yang meliputi suami, istri dan anak. Setiap rumah tangga
harus tercipta kerukunan, keamanan, dan kebahagiaan demi kesejahteraan keluarga.
Dengan adanya institusi perkawinan seharusnya tidak memperbolehkan
menghilangkan hak pada setiap individu. Akan tetapi di dalam institusi perkawinan
seringkali tercipta tidak adanya kesetaraan. Hal tersebut membuat hak tiap individu
dapat dicederai oleh hak orang lain dengan wujud kekerasan. Dalam rumah tangga,
tindakan kekerasan tidak jarang terjadi dalam perkawinan.
Pemerkosaan dalam perkawinan lazim juga disebut marital rape dalam
kebiasaan dan budaya hubungan seksual di Indonesia relative tidak begitu popular.
Pemerkosaan diasumsikan perbuatan cabul seorang laki- laki terhadap perempuan
secara memaksa untuk melampiaskan hawa nafsu seks. Perbuatan itu tidak dilakukan
dengan kesediaan dan juga tidak dalam konteks rumah tangga. Terlihat sekali bahwa
definisi pemerkosaan mengalami reduksi. Pemerkosaan dalam rumah tangga tidak
dimasukkan dalam kategori ini, maka dari itu pemerkosaan dalam rumah tangga
masih tergolong kontroversial menurut hemat penulis.
Marital Rape hingga saat ini belum mendapat perhatian serius dari aparat
penegak hukum maupun pemerintah, khususnya dalam hal perlindungan terhadap
hak-hak korban dan memberi hukuman setimpal bagi pelaku. Meskipun Undang-
undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (UU PKDRT) telah disahkan, namun di dalam pasal-pasal tersebut, terutama
dalam Pasal 46 yang mengatur soal sanksi tidak menyebutkan hukuman minimal,
sehingga hukuman yang dijatuhkan hakim kepada pelaku cenderung masih jauh dari
rasa keadilan. Kemudian undang-undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana
Kekerasan Seksual (UU TPKS) akan memberikan perlindungan bagi setiap korban
kekerasan seksual, baik yang menetap dalam lingkup rumah tangga atau berada dalam
lingkup rumah tangga pelaku maupun yang tidak mempunyai keterkaitan dengan
lingkup rumah tangga pelaku. Jenis kekerasan seksual yang juga dikategorisasikan
sebagai tindak pidana dalam UU TPKS Pasal 4 Ayat (2) huruf h adalah kekerasan
seksual dalam lingkup rumah tangga.

Pemerkosaan Dalam Rumah Tangga Pandangan Hukum Positif Indonesia


Dalam bentuk perundang-undangan modern, tindakan KDRT khususnya pada
tindakan kekerasan seksual terhadap pasangan (marital rape) mulai diatur sejak awal
abad ke-20.2 Dan diantara negara yang membuat peraturan khusus mengenai marital
rape tersebut yakni, Uni Soviet pada tahun 1922, Polandia pada tahun 1932, Cheko
pada tahun 1950, Denmark pada tahun 1960, Swedia pada tahun 1965, Norwegia pada
tahun 1971, dan beberapa negara blok timur. Sedangkan beberapa negara lain di
bagian Amerika Utara dan juga pada Eropa Barat hiingga tahun 1980-an masih tidak
menganggap marital rape sebaga bentuk tindak pidana atau tindak kejahatan yang
perlu aturan khusus untuk diundangkan. Hingga pada tahun 1997, hanya sebanyak 17
negara yang berada di wilayah Amerika Utara dan Eropa yang membuat undang-
undang khusus tersebut.3
Marital Rape atau pemerkosaan dalam perkawinan dalam perspektif hukum
positif Indonesia dilarang, hal ini dengan diaturnya dalam beberapa pasal 5, 8 dan 46
UU PKDRT dan pasal 4 huruf b dan pasal 6 huruf b UU TPKS masih tidak dicermati
dengan baik sebagai tindak pidana secara khusus (Lex Specialis). Jika dilihat dari
kedua undang-undang (UU PKDRT dan UU TPKS) yang mengatur tentang persoalan
kekerasan seksual yang salah satunya tindak marital rape di Indonesia masih kurang
memadai dan tidak efesien secara penegakan hukum.
Secara filosofis terbentuknya aturan mengenai marital rape tidak lain sebagai
bentuk perwujudan pemerintah dalam pelindungan warga dan penjamin hak-hak
mereka atas tindakan kekerasan khususnya kekerasan seksual (UUD 1945). Didukung
dengan problematika yang terjadi dimasyarakat, dimana tindak kekerasan seksual
meningkat setiap tahunnya. Faktor secara yuridis, pada awalnya dalam hukum positif
Indonesia marital rape bukanlah sebuah sebuah tindak pidana yang dapat disanksikan.
Marital rape yang memiliki pengertian pemaksaan atau perkosaan hubungan seksual
dalam ikatan perkawinan, adalah gejala yang ada dimasyarakat dan lambat laun mulai
dikriminalisasi oleh hukum Indonesia. Minimnya pengaturan tindak kekerasan
2
M. Irfan Syaifuddin, “Konsepsi Marital Rape dalam Fikih Munakahat”, dalam Jurnal al-Ahkam,
Vol.3, No.2, 2018.
3
M.E. Susilo, “Islamic Perspective on Marital Rape”, Jurnal Media Hukum, 2013
seksual pada KUHP juga mengakibatkan lemahnya hukum yang dapat menangani
perkara kekeraan seksual dengan baik secara hukum. Faktor secara sosiologis, dengan
tingginya angka kekerasan seksual dipengaruhi dengan sistem budaya patriarki yang
subur pada masyarakat Indonesia. Sehingga hal ini menjadikan korban kekerasan
seksual tidak hanya terjadi pada perempuan dewasa saja, melaikan juga terjadi pada
anak-anak. Sistem ini mengesampingkan hak-hak pada perempuan, stigma
masyarakat yang mengaitkan perempuan sebagai makhluk yang lemah dan dominasi
sebagai pihak korban kekerasan seksual.4
Sebelum terbentuk UU PKDRT setiap tindakan kekerasan seksual yang terjadi
dalam rumah tangga, dilaporkan setelah korban mengalaminya atau bahkan
meninggal. Dengan aduan perbuatan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau
pidana saja bukan delik khusus kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini juga
megariskan bawa tindakan perkosaan yang diatur dalam undangundang hanya
menyebut di luar pernikahan. Tidak ada pasal atau aturan khusus yang mengatur
tentang permasalahan perkosaan atau pemaksaan seksual dalam rumah tangga.5
Pengaturan tentang marital rape atau perkosaan dalam perkawinan tidak
dijelaskan sebelumnya dalam hukum pidana Indonesia, seperti KUHP bahkan dalam
UU PKDRT sekalipun secara eksplisit. Akan tetapi marital rape dapat dianggap
sebagai tindak pidana yang terjadi pada KDRT walaupun cakupannya luas dan bukan
secara khusus. Begitu juga dengan undang-undang UU TPKS tidak menyebut secara
jelas mengenai redaksi marital rape didalamnya, hanya sekedar mengistilahkan
pemaksaaan perkawinan dalam lingkup rumah tangga. Ketentuan mengenai
pemerkosaan dalam perkawinan atau marital rape termuat pada UU PKDRT dan UU
TPKS pada beberapa pasal. Dari kedua aturan tersebut sama-sama memberikan dasar
hukum bahwasanya setiap warga berhak atas diberikannya rasa aman dan terbebas
dari segala bentuk tindakan kekerasan baik itu dalam rumah tangga ataupun tidak.
Dari undang-undang tersebut memilki perbedaan dalam penerapan dan cakupannya.
Dalam UU PKDRT cakupan tindakan kekerasan seksual hanya diatur dalam lingkup
rumah tangga, hal ini disebutkan pada pasal 1 dan pasal 5.6

4
Khairul Akbar Dkk. “Marital Rape Dalam Perpektif Hukum Positif Indonesia dan Hukum Islam”
Jurnal Mistaq Islamic Family Law Vol. 2. No. 1 2023 , 48-49
5
Soeroso dan Moerti hadiati, Kekerasan Dalam Rumah Tangga Perspektif YuridisViktimologis,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2011), 36
6
Khairul Akbar Dkk. “Marital Rape Dalam Perpektif Hukum Positif Indonesia dan Hukum Islam”, 50
Sedangkan dalam UU TPKS cakupan tindakan kekerasan tidak dibatasi secara
khusus seperti UU PKDRT, namun cakupannya luas meliputi seluruh tindakan
kekerasan seksual yang terjadi hal ini disebutkan pada pasal 1 UU TPKS. Hal ini juga
memperjelas bahwa undang-undang sebelumnya yang berkaitan dengan tindak
kekerasan seksual masih belum optimal sampai diundangkannya peraturan ini. Dan
juga masih belum memenuhi hak dari korban, serta pengaturannya belum
komphrehensif secara hukum.
Dari kedua undang-undang tersebut jika berkaitan dengan tindak kekerasan
seksual cakupan pada UU PKDRT tidak dapat dikatakan semaksimal UU TPKS,
karena lingkupnya hanya sebatas rumah tangga. Sedangkan jika berkaitan dengan
tindakan perkosaan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga, UU PKDRT dapat
dikatakan undang-undang khusus. Dengan adanya kedua undang-undang tersebut
sebagai bentuk pengaturan kekerasan seksual terhadap undang-undang pidana umum
lainnya adalah sebagai lex specialis atau aturan khusus. 51 Pengistilahan kekerasan
seksual pada UU PKDRT tahun 2004 menjadikannya sebagai regulasi pertama
mengenai kekerasan seksual di Indonesia. Walaupun pada undang-undang ini
kekerasan seksual yang dimaksud hanya sebatas spesifik dalam lingkungan rumah
tangga saja. Sedangkan dalam cakupan UU TPKS tahun 2022 lebih luas dan bukan
saja pada kekerasan secara fisik melainkan secara non fisik juga ada ketentuannya.7

Pemerkosaan Dalam Rumah Tangga Pandangan Fiqh


Agama Islam tidak mengajarkan yang namanya kekerasan terlebih lagi dalam
rumah tangga urusan antara suami istri yang hendak saling mendatangi (jima). Islam
menganjurkan untuk berhubungan antara suami istri atas dasar ridho satu sama lain
(an taradhin) dalam hak dan kewajibannya masing-masing. Yang mana hal ini tidak
lain bertujuan untuk tercapainya rumah tangga yang sakinah mawaddah warahmah
(Q.s ar-Rum:21). Dan setiap pasangan harus saling memahami kondisi pasangannya.
Segala sesuatu tindak dalam pemenuhan hak dan kewajiban harus didasari dengan hal
yang baik pada kepercayaan, penghormatan, mengasihi satu sama lain (Mu’asyarah
bil ma’ruf) (anNisa:19). Dan segala hal yang memiliki kemudharatan harus dihindari
hal ini sesuai dengan hadis atau kaidah ushul fiqih “Kemudharatan hendaknya

7
Khairul Akbar Dkk. “Marital Rape Dalam Perpektif Hukum Positif Indonesia dan Hukum Islam”, 51
dihilangkan” dan "Tidak boleh melakukan sesuatu yang membahayakan diri sendiri
ataupun orang lain"(Sabda Nabi Muhammad SAW Riwayat Malik dan Ibnu Majah).8
Pemerkosaan atau dalam istilah Arab disebut Ightisab, yang merujuk kepada
mengambil sesuatu secara salah dengan kekerasan. Istilah tersebut digunakan untuk
tindakan pencabulan terhadap perempuan dengan kekerasan. Ightisab secara umum
berarti mengambil dari seseorang tanpa kerelaannya. Namun, Ightisab bukanlah
makna yang khusus bagi istilah pemerkosaan. Perkosaan (alwat’u bi al-ikrah) yang
diatur dalam ilmu fiqih Islam merupakan perempuan yang tidak ada hak untuk laki-
laki tersebut melakukan hubungan seksual dengan perempuan yang diperkosannya.
Imam Hanafi dan Imam Syafi’i menggunakan istilah al-zina bi al-ikrah atau
bermaksud zina dengan cara paksaan. Sementara Sayyid Sabiq menggunakan istilah
zina, karena hubungan seksual dilakukan dengan orang asing, bukan istri ataupun
budak.9 Para fuqaha tidak memberikan taksiran yang jelas mengenai istilah
pemerkosaan, terlebih pemerkosaan dalam perkawinan. 10
Mengenai penjelasan Ightisab di atas, ada tiga hal yang harus digaris bawahi
yakni:
a. Pemaksaan untuk berzina merupakan sesuatu yang sangat dilarang dalam Islam
dan merupakan pidana yang hukumannya sangat berat.
b. Pemaksaan pada ightisab bukanlah sebagaimana rape. Ia bukan berakar dari
konsep sexual autonomy (yang tidak dikenal dalam istilah Islam). Justru
pemaksaan di sini terkait dengan pengecualian korban dari hudud dan tergantung
caranya yakni cara dapat memperberat hukuman kepada pelaku di samping
hukuman yang sudah ada.
c. Zina menjadi unsur penting disamping al-ikrah atau pemaksaan
Pemahaman terkait dengan kepemilikan suami atau istri tidak berarti
mengambil hak dengan cara yang bathil. Pada Q.S Al-Nisa ayat 19, dijelaskan bahwa
tidak halal mempusakai wanita dengan jalan paksa, menyusahkan isteri karena hendak
mengambil kembali sebagian yang telah diberikan kepadanya, ayat ini juga
memmerintahkan untuk suami untuk berbuat baik kepada isteri.
8
Abdul halim dan Robiatul Adawiyah, “Pandangan Ulama’ tentang Pemaksaan Berhubungan Badan
Terhadap Istri dalam Keadaan Sakit”. dalam Masadir: Jurnal Hukum Islam INKAFA Gresik, Vol.2,
No.1, 2022.
9
M. Irfan Syarifuddin, "Konsep Marital Rape dalam Fikih Munakahat", Jurnal Al-Ahkam, 2, (2018),
186.
10
Zaleha Kamaruddin, dkk, “Woman, Rape and the Law: Comparative Perspective” IIUM Law
Journal, 7, 148
”Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan
jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil
kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila
mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara
patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena
mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan
yang banyak”
Pemaknaan dari mu’asyarah bil ma’ruf (bergaulah dengan mereka secara
patut) dapat berarti segala hal, baik perkataan maupun perbuatan terutama terkait
dengan pemenuhan hak dan kewajiban juga dengan hubungan seksual. Sehingga
haram hukumnya untuk melakukan sesutu yang buruk kepada pasangan. ‘Asyiru
dimaknai sebagai ‘amr atau perintah yang berarti kewajiban, perintah menggauli istri
dengan patut berarti tidak memaksa dan mengganggu. Maka, secara mafhum
mukhalafah terkait dengan suami yang memaksakan hasrat seksual kepada pasangan
dengan cara yang tidak patut merupakan bagian penyalahan ketentuan dalam fiqih
munakahat.
Islam melarang suami menganiaya istri ataupun sebaliknya dengan atau tanpa
melibatkan tindakan seksual. Larangan ini tidak menitikberatkan terkait dengan
hukum haram atau halal suatu hubungan seksual yang dilakukan oleh suami atau istri.
Sehingga konsekuensinya adalah bukan hudud zina melainkan kekerasan atau
penganiayaan. Padangan dalam Islam bahwa terkait dengan urusan seksual dalam
bingkai perkawinan tidak semata-mata berbicara hak mutlak individu, seyogyanya ini
berkaitan dengan hak masing-masing pasangan.
Pada teks klasik Imam Syafii secara umum disebutkan bahwa seorang suami
hanya diwajibkan untuk menggauli istrinya salama masa perkawinan, karena
seyogyanya hubungan seksual berkaitan dengan hak keduanya, apabila hanya terletak
pada salah satu pihak maka dapat dibenarkan sebagai salah satu ilat perceraian. Hal
ini kemudian disampaikan dalam pandangan Imam Malik, jika suami bersumpah
untuk tidak melakukan hubungan badan, makan istri bisa menuntut talak hakim.11
Pada fiqih munakahat terkait dengan hubungan seksual yang merupakan hak
suami maupun istri untuk dipenuhi, hal ini sejalan dengan tujuan perkawinan yakni
untuk mendapatkan keturunan. Maka, hubungan seksual ini harus berjalan baik

11
Neng Hannah, “Marital Rape (Perkosaan Di Dalam Perkawinan), Telaah Atas Konstruksi
Seksualitas Dalam Perspektif Islam” Jurnal Suplemen 11, no. 30: 1–15.
dengan kerelaan antara kedua belah pihak. Sebagaimana konsep mu’asyarah bil
ma’ruf yang menerangkan konsep fiqih munakahat dalam hubungan suami istri harus
berlandaskan asas kepatutan dan kebaikan terutama dalam hubungan seksual.12
Memaksakan hubungan seksual kepada pasangan dapat dikatagorikan
penyimpangan terhadap syariat, karena dasarnya hubungan adalah keridhoan
(taradhin) dan kepatutan (ma’ruf). Namun, pembahasan terkait dengan pemaksaan
hubungan seksual terbatas pada liwats, sehingga perlu adanya ketentuan khusus fiqih
yang mengatur secara tegas segala bentuk kekerasan seksual yang dilakukan oleh
pasangan baik suami maupun istri, sesuai konsep dasar perkawinan dalam hukum
keluarga yang terkandung dalam surat Ar-ruum ayat 21:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteriisteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”
Berdasarkan ayat di atas, diketahui bahwa dalam ajarannya, Islam tidak
membedakan laki-laki dan perempuan dalam kedudukannya. Islam juga tidak
membenarkan perlakuan yang sewenang-wenang atau bentuk-bentuk perlakuan yang
merendahkan, apalagi kekerasan kepada kaum perempuan. Ajaran Islam justru
mengajarkan untuk melindungi dan memberikan hak-hak kepada anak dan
perempuan.13 Islam sangat melarang marital rape. Rumah tangga dalam Islam
dibangun atas dasar saling menghormati dan menghargai.
Rasulullah saw bersabda untuk memperlakukan keluarga dengan baik, yang
artinya: Dari Ibnu Abbas ra., Rasulullah saw bersabda: Sebaik-baik kalian adalah
yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah sebaik-baik kalian terhadap
keluargaku. (HR. Ibnu Majah)14
Kedudukan suami isteri dalam Islam adalah setara, saling menghargai, dan
menghormati. Masing-masing mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi.
Dalam hukum Islam, terdapat beberapa prinsip terkait perkawinan diantaranya: (1)
prinsip menciptakan rasa aman dan tentram dalam keluarga, yakni sesuai dengan
ketentuan alQuran Surat Ar-ruum ayat 21; (2) prinsip menghindari adanya kekerasan.

12
Muhammad Irfan Syaifuddin, “Konsepsi Marital Rape Dalam Fikih Munakahat,” Al-Ahkam Jurnal
Ilmu Syari’ah Dan Hukum, 2018
13
Iskandar, Uu Nurul Huda, and Nursiti, “Politik Hukum Pembentukan Rancangan Undang-Undang
Penghapusan Kekerasan Seksual Perspektif Hukum Islam,” Asy-Syari’ah 23, no. 1 (2021): 159–78.
14
Imam Ibnu Majah, Sunan Ibn Majah, Juz I.
Dalam rumah tangga, tidak diperbolehkan terjadi kekerasan dalam bentuk apapun,
baik fisik, psikis, seksual, dan sebagainya, dan dengan dalih apapun, termasuk agama.
Prinsip ini didasarkan pada al-Quran Surat An-nisa ayat 19; dan (3) Prinsip hubungan
suami isteri sebagai hubungan partner. Suami isteri adalah pasangan yang sejajar
(equal), hal ini berdasarkan al-Quran Surat Al-baqarah ayat 187. Karenanya, berbagai
bentuk kekerasan baik itu fisik, psikis, seksual, maupun penelantaran ekonomi
dilarang dalam Islam.15

Pemerkosaan Dalam Rumah Tangga Pandangan Timur Tengah


Beberapa negara dalam memandang kekerasan seksual atau pemerkosaan
dalam rumah tangga seperti di UEA. Uni Emirat Arab melakukan serangkaian
perubahan hukum, seorang pria dapat mendisiplikan istri dan anak-anaknya tanpa
konsekuensi hukum apa pun selama tidak ada tanda fisik. Meskipun dikritik oleh
kelompok-kelompok HAM internasional dan lokal. UEA telah membuat langkah-
langkah progresif dalam pendekatannya terhadap kekerasan dalam rumah tangga
terutama dengan belalunya undang-undang Perlindungan Keluarga Tahun 2019.
Kebijakan tersebut memperluas definisi kekerasan dalam rumah tangga
untuk mencakup setiap pelecahan, agresi, atau ancaman oleh anggota keluarga yang
ditujukan kepada anggota keluarga lain yang menyebabkan cedera fisik atau
psikologis. Pada dasarnya kebijakan Perlindungan Keluarga Tahun 2019 memecah
kekerasan dalam rumah tangga menjadi enam bentuk:
1. Kekerasan fisik
2. Pelechan psikologis/emosional
3. Pelecehan verbal
4. Pelecehan seksual
5. Kelalaian
6. Penyalahgunaan ekonomi atau keuangan

Menurut pasal 9 (1) UU Federal UEA Ni.10 Tahun 2019 tentang


Perlindungan Kekerasan Dalam Rumah Tangga pelaku kekerasan dalam
rumah tangga harus tunduk pada hukuman penjara paling lama enam bulan
15
Litya Surisdani A. DKK “Marital Rape Sbagai Suatu Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam
Prespektif Hukum Islam dan Positif Indonesia” Jurnal Asy-Syari’ah Vol. 24 No 1, 173
dan denda hingga Dh 5.000. Kemudian siapa pun yang terbukti bersalah
melakukan pelanggaran akan dikenakan hukuman dua kali lipat. Selain
itu, siapa pun yang melanggar atau melanggar perintah penahanan harus
tunduk pada tiga bulan penjara dan/atau denda antara Dh 1000 dan Dh
10.000.16
Namun berbeda dengan di Mesir pemerkosaan dalam perkawinan
merupakan hal yang tabuh. Hukum di Mesir tidak menggolongkan
kekerasan seksual atau pemerkosaan dalam perkawinan sebagai tindak
pidana. Kekerasan seksual atau pemerkosaan dalam perkawinan terjadi
karena adanya budaya di Mesir yang meyakini bahwa pernikahan
mengharuskan istri tersedia 24 jam dan tujuh hari untuk hubungan
seks. Pengadilan sulit untuk membuktikannya dikarenakan adanya pasal
60 kitab Hukum Pidana Mesir yang menerangkan bahwa aturan dalam hukum
pidana tidak diterapkan pada perbuatan yang dilakukan dalam iktikad
baik, yang haknya telah ditentukan dalam hukum Syariah.17

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan diatas maka dapat ditarik beberapa kesimpulan yang


dapat dijadikan jawaban. marital rape dalam hukum positif Indonesia, termasuk
perbuatan yang dilarang hal ini diatur sebagaimana pada pasal 5, 8 dan 46 UU
PKDRT juga pada pasal 4 huruf b, dan pasal 6 huruf b UU TPKS. UU PKDRT dapat
dikategorikan sebagai lex specialis bagi penegakkan hukum di Indonesia dalam
persoalan marital rape. Sedangkan marital rape dalam hukum Islam, bertentangan
dengan ajaran Islam. Karena tidak sesuai dengan konsep an taradhin kemudian
keberadaan gagasan yang mengatur hal tersebut harus diadakan sebagai bentuk
menjaga kemaslahatan terutama dalam rumah tangga. Hal ini dikarenakan konsep
marital rape bertentangan dengan 3 konsep perkawinan yaitu an taradhin (saling
ridha), mu’asyarah bil ma’ruf (memperlakukan dengan baik), dan adDharar yuzal
(kondisi bahaya harus dihilangkan).

16
https://www.lawyersuae.com/id/hukuman-untuk-kekerasan-dalam-rumah-tangga-pelecehan-seksual-uae/
17
https://www.bbc.com/indonesia/majalah-57853154-Pemerkosaan dalam pernikahan di mesir

Anda mungkin juga menyukai