Anda di halaman 1dari 5

Nama : Farah Azzahra

Nim : 02012682327059

Judul Tesis : Wanita Sebagai Korban KDRT Dalam Perkawinan Usia Muda Dilihat Dari
Presfektif Hukum Pidana

RESUME JURNAL

Sinta 1 : HAK-HAK KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGAMENURUT


UU NO 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH
TANGGA

Adi Widya: Jurnal Pengabdian Masyarakat VOL. 4 NO. 2 (2020)

Masalah kekerasan dalam rumah tangga diatur dalam UU No 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Kekerasan dalam rumah tangga diartikan
sebagai setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah
tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan , atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Upaya penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga, sesuai dengan UUPKDRT bertujuan untuk mencegah segala
bentuk kekerasan dalam rumah tangga, melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga,
menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga dan memelihara keutuhan rumah tangga yang
harmonis dan sejahtera.

Kekerasan dalam rumah tangga tidak selalu berbentuk kekerasan fisik, tetapi termasuk
juga kekerasan psikologis seperti tekanan terus menerus, bentakan atau kata-kata kasar. Hal ini
sejalan dengan apa yang diatur dalam Pasal 5 UUPKDRT, kekerasan dalam rumah tangga dapat
berwujud 1. kekerasan fisik,yaitu perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka
berat, 2. kekerasan psikis, yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa
percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan
psikis berat pada seseorang, 3. kekerasan seksual, yang meliputi: pemaksaan hubungan seksual
yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga, pemaksaan
hubungan seksua terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain
dengan tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu, 4. penelantaran rumah tangga, yaitu setiap
orang yang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang
berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan,
perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Termasuk dalam pengertian penelantaran
adalah setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi
dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada
di bawah kendali orang tersebut. Untuk memberikan perlindungan terhadap korban kejahatan,
khususnya yang dialami oleh wanita dan anak-anak, di beberapa resort kepolisian telah dibentuk
suatu unit penanganan terhadap kejahatan yang menimpa wanita dan anak-anak yang disebut
Ruang Pelayanan Khusus. Kasus-kasus yang ditangani oleh unit ini antara lain pelecehan
seksual, perkosaan, penganiayaan di lingkunagan keluarga dan sebagainya

Sinta 2 : PERKAWINAN DI BAWAH UMUR DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA


DAN HUKUM ISLAM

MIMBAR HUKUM Volume 21, Nomor 3, Oktober 2009, Halaman 409 – 628

Perkawinan antara Pujiono Cahyo Widianto alias Syeikh Puji dengan seorang gadis yang
ditengarai masih berusia di bawah UMUR 12 TAHUN bernama Luthfiana Ulfa. Perkawinan
antara Syeikh Puji dan Luthfiana digolongkan dalam perkawinan usia muda. Pernikahan dini
adalah pernikahan yang dilaksanakan sesuai dengan syarat dan rukunnya, namun mempelai
masih kecil.Sementara dalam perspektif hukum positif, pengertian kecil disini adalah anak yang
masih di bawah umur 19 tahun (bagi laki-laki) dan di bawah 16 tahun (bagi perempuan).
Bertolak dari uraian tersebut di atas, maka perkawinan di bawah umur dalam perspektif hukum
pidana dapat dilihat pula dari ius constitutum/ius operandum, ius operatum maupun ius
constituendum.

a. Ius Constitutum
Perkawinan di bawah umur belum secara eksplisit dilarang oleh KUHP dan hanya
hanya mengisyaratkan perbuatan melawan hukum yang muncul dalam hubungan
perkawinan, termasuk perkawinan di bawah umur, seperti Pasal 279 KUHP dan
Pasal 288 KUHP, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, atau Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga. Kesimpulannya, KUHP atau aturan di luar KUHP tidak bisa
dijadikan rujukan bahwa perkawinan di bawah umur dilarang menurut aturan hukum
pidana. Oleh karena itu, belum ada sanksi pidana yang bisa menjerat pelaku yang
melakukan perkawinan di bawah umur. Hanya dapat di hubungakan dengan pasal
Pasal 279 KUHP dan pasal 28 KUHP
b. Ius Operandum
perspektif ius operandum pada hakikatnya berkaitan dengan penerapan hukum
pidana dan sanksinya terhadap perbuatan tersebut di dalam praktik
c. Ius Constituendum
d. Perkawinan di bawah umur dilihat dari perspektif hukum pidana sebagai ius
constituendum memiliki kaitan dengan masalah kriminalisasi. Kesimpulannya
perkawinan di bawah umur juga belum layak dikriminalisasikan dalam peraturan
perundang-undangan yang akan datang, karena masih adanya perdebatan di tengah
masyarakat.

Sinta 3 : Pertimbangan Hakim dalam Memutus Perkara Tindak Pidana Kekerasan Dalam
Rumah Tangga

Mimbar Keadilan Volume 16 Nomor 2 Agustus 2023

Kekerasan dalam rumah tangga merupakan kejahatan khusus di luar KUHP. Kejahatan
ini memiliki subjek tertentu, baik pelaku maupun korban adalah anggota keluarga yang sama dan
memiliki kepribadian yang berbeda (Rabbani 2020). Tindak pidana kekerasan dalam rumah
tangga (TPKDRT), Istilah diatas bersumber dari bahasa inggris, yakni “criminal domestic
violence”, sementara bahasa Belanda menyebutnya dengan “crimineel huiselijk geweld” terdiri
dari tiga suku kata, yang meliputi (Salim 1956): Tindak pidana 2) Kekerasan; dan 3) Rumah
tangga. Pertanggungjawaban pidana pelaku KDRT berdasarkan atas putusan pengadilan terdiri
atas 2 (dua) komponen yaitu Pertimbangan yuridis ialah pertimbangan yang dibuat oleh hakim
didasarkan fakta-fakta peradilan yang tersingkap pada persidangan yang ditentukan dari undang-
undang dan diharuskan untuk dimasukkan pada keputusan dan pertimbangan non yuridis yang
didasarkan pada ketentuan hukum dan rasa keadilan sosial. Adapun mengenai implementasi
restorative justice pada kasus kekerasan dalam rumah tangga diaplikasikan sebagai pertimbangan
guna melindungi koherensi keluarga, terutama dalam membentengi masa depan anak. insan
memandang bahwasanya jalan yang terpilih dalam membantu korban kejahatan ialah dengan
membekuk dari penjahatnya. Dengan memperhatikan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga dan KUHAP, hasil putusan Pengadilan berkaitan dengan tindak pidana
kekerasan dalam rumah tangga mempertimbangkan konsep pemidanaan berdasarkan restorative
justice yang berorientasi terhadap upaya pemulihan dan kepentingan perlaku dan korban tindak
pidana yang dilaksanakan melalui 5 (lima) metode yaitu sufferer culprit mediation, own family
organization conferencing, restorative conferenving, community restorative forums, dan
restorative circles or restorative.

Sinta 4 : Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Terhadap Perempuan: Perspektif


Pekerjaan Sosial

Jurnal Pengembangan Masyarakat islam Vol. 10 No. 1, Juni 2019

Kekerasan terutama kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hak asasi
manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta merupakan bentuk diskriminasi.
Apabila dikaitkan dengan fenomena perempuan, maka yang berkembang selama ini menganggap
bahwa kaum perempuan cenderung dilihat sebagai “korban” dari berbagai proses sosial yang
terjadi dalam masyarakat selama ini. Oleh karena itu, sekecil apapun kekerasan yang dilakukan
dapat dilaporkan sebagai tindak pidana yang dapat di proses hukum. Kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran
rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Dalam penanganan korban
KDRT terhadap perempuan, pekerja sosial harus terlibat dalam upaya penanganan terpadu dari
berbagai sektor. Perspektif pekerjaan sosial memandang bahwa korban KDRT harus segera
mungkin untuk mendapatkan jaminan perlindungan dan keamanan serta pendampingan sosial
agar korban dapat berfungsi sosial kembali.

Beberapa solusi untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga,
mencegah KDRT antara lain : 1. Membangun kesadaran kepada masyarakat bahwa persoalan
KDRT adalah persoalan sosial bukan individual dan merupakan pelanggaran hukum yang terkait
dengan HAM. 2. Sosialiasasi kepada masyarakat bahwa KDRT adalah tindakan yang tidak dapat
dibenarkan dan dapat diberikan sangsi hukum. 3. Mengkampanyekan penentangan terhadap
penayangan kekerasan baik di media sosial, eletronik, maupun cetak. 4. Mendorong peranan
media massa sebagai media untuk memberikan informasi mengenai pencegahan KDRT. 5.
Mendampingi korban dalam penyelesaian persoalan serta menyediakan shelter (rumah aman)
yang memiliki konselor terapis sebagai tempat pemulihan trauma.

Anda mungkin juga menyukai