ABSTRAK
PENDAHULUAN
Pasal yang mengatur tentang kekerasan dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana terdapat dalam Pasal 89 dan Pasal 90 KUHP, tetapi kekerasan yang dimaksud
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana hanya ditujukan pada kekerasan fisik
saja. Kekerasan seksual dan penelantaran rumah tangga termasuk Kekerasan dalam
Rumah Tangga sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Berdasarkan kelemahan yang dimiliki Undang-undang Perkawinan dan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maka diperlukan aturan khusus mengenai
kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini berarti dibutuhkan aturan hukum yang jelas
dan kebijakan publik mengenai Kekerasan dalam Rumah Tangga karena ketiadaan
aturan hukum dan kebijakan publik yang jelas akan semakin menyuburkan praktik
Kekerasan dalam Rumah Tangga tersebut.1
1
VOLUME 4 Nomor 1 Tahun 2020
PERMASALAHAN
Masalah yang dibahas dalam masalah ini adalah apa yang dimaksud dengan
menelantarkan orang lain dan bagaimana penerapan hukum terhadap tindakan
menelantarkan orang lain tersebut.
2
VOLUME 4 Nomor 1 Tahun 2020
METODE PENELITIAN
Penelitian dan tulisan ini dibuat dan disusun dengan menggunakan metode
penelitian normatif yuridis yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat
dalam peraturan perundang-undangan.3 Tipologi penelitian ini bersifat deskriptif-
naratif,4 dengan menekankan pada penggunaan data sekunder5 yang diperoleh
melalui studi pustaka. Metode pengolahan data yang digunakan adalah metode
kualitatif.6 Selain itu, penelitian ini menggunakan pendekatan undang-undang yang
dilakukan dengan menelaah beberapa peraturan perundang-undangan dan regulasi
lainnya yang bersangkutan dengan tema penelitian.
PEMBAHASAN
Penelantaran Orang Lain Dalam Lingkup Rumah Tangga
Penelantaran rumah tangga menurut Pasal 9 Undang&undang Nomor 23
Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah 7:
1. Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya,
padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau
perjanjian, ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan
kepada orang tersebut.
2. Penelantaran sebagaimana dimaksud ayat (a) juga berlaku bagi setiap orang yang
mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan atau
melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban
berada di bawah kendali orang tersebut.
Pusat komunikasi kesehatan berprespektif jender menambahkan bahwa
bentuk penelantaran rumah tangga selain tidak memberikan nafkah kepada isteri,
tetapi juga membiarkan isterinya bekerja untuk kemudian penghasilannya dikuasai
3SriMamudji, et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Cet. 1, (Jakarta: Badan Penebit
FHUI, 2005), hlm. 69.
4Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. 3, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 10:
Penelitian deskriptif adalah penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti
mungkin tentang manusia, keadaan, atau gejala-gejala lainnya.
5Mamudji, op.cit., hlm. 28: Data sekunder adalah data yang diperoleh dari kepustakaan.
6Mamudji, op.cit., hlm. 32: dengan menggunakan metode kualitatif seorang peneliti bertujuan
Orang Lain Menurut Undang-Undang Nomor. 23 Tahun 2004,” Jurnal Ilmiah Widya (n.d.): 218720.
3
VOLUME 4 Nomor 1 Tahun 2020
4
VOLUME 4 Nomor 1 Tahun 2020
5
VOLUME 4 Nomor 1 Tahun 2020
pengaturan hukum pidana dan hukum lain yang menyangkut korban akan berfungsi
sebagai sarana pengembalian sistem kepercayaan tersebut.11
Kedua, adanya argumen kontrak sosial dan solidaritas sosial karena negara
boleh dikatakan memonopoli seluruh reaksi sosial terhadap kejahatan dan melarang
tindakan-tindakan yang bersifat pribadi. Oleh karena itu, jika terdapat korban
kejahatan, maka negara harus memerhatikan kebutuhan korban dengan cara
peningkatan pelayanan maupun pengaturan hak.
Ketiga, perlindungan korban yang biasanya dikaitkan dengan salah satu tujuan
pemidanaan, yaitu penyelesaian konflik. Dengan penyelesaian konflik yang
ditimbulkan oleh adanya tindak pidana akan memulihkan keseimbangan dan
mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. 12
11 Suzie Sugijokanto, Cegah Kekerasan Pada Anak (Elex Media Komputindo, 2014).
12 Saraswati, Perempuan Dan Penyelesaian Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
13 Guse Prayudi, “Berbagai Aspek Tindak Pidana: Kekerasan Dalam Rumah Tangga” (2008).
6
VOLUME 4 Nomor 1 Tahun 2020
14Ridwan Mansyur, “Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut Sistem
Peradilan Pidana Dalam Perspektif Restorative Justice,” Jurnal Hukum dan Peradilan 5, no. 3
(2016): 431–446.
7
VOLUME 4 Nomor 1 Tahun 2020
15 Fadhlurrahman Fadhlurrahman, Rafiqi Rafiqi, and Arie Kartika, “Proses Penyidikan Dalam
Penyelesaian Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Yang Dilakukan Oleh TNI-AD (Studi Di
Pengadilan Militer I-02 Medan),” JUNCTO: Jurnal Ilmiah Hukum 1, no. 1 (2019): 52–64.
16 Ibid.
8
VOLUME 4 Nomor 1 Tahun 2020
9
VOLUME 4 Nomor 1 Tahun 2020
17 Syaiful Asmi Hasibuan, “Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Yang
Melakukan Kekerasan Dalam Rumah Tangga,” Jurnal Hukum Responsif 7, no. 2 (2019): 17–29.
10
VOLUME 4 Nomor 1 Tahun 2020
11
VOLUME 4 Nomor 1 Tahun 2020
18 Ibid.
12
VOLUME 4 Nomor 1 Tahun 2020
13
VOLUME 4 Nomor 1 Tahun 2020
karenanya, adalah suatu kejadian dalam alam lahir (dunia)". "Jadi untuk
menyimpulkan apa yang diajukan di atas, maka yang merupakan unsur atau elemen
perbuatan pidana adalah:
1. Kelakuan dan akibat (perbuatan),
2. Hak ikhwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan,
3. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana,
4. Unsur melawan hukum yang objektif,
5. Unsur melawan hukum yang subjektif".
Dalam Pasal 9 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga disebutkan:
1. Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya,
padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau
perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan
kepada orang tersebut.
2. Penelantaran sebagaimana dimaksud ayat (a) juga berlaku bagi setiap orang yang
mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan atau
melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban
berada di bawah kendali orang tersebut.
Penelantaran rumah tangga sebagaiman yang diatur dalam Pasal 9 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga maka dapat dijabarkan bahwa unsur-
unsur tindak pidana menelantarkan isteri dan menelantarkan orang lain dalam
lingkup rumah tangga adalah sebagai berikut:
1. Unsur kelakuan yang disebut dalam Pasal 9 Undang-undang Nomor 23 Tahun
2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dimana kedudukan
suami sebagai kepala rumah tangga seharusnya memberikan kehidupan,
perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Sedangkan unsur akibat
yang ditimbulkan adalah terlantarnya rumah tangga yang telah dibangun atas
dasar kesepakatan dalam ikatan pernikahan.
2. Unsur hak ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan menurut beberapa
penulis Belanda berpendapat bahwa keadaan tadi merupakan strafbaar feit,
sekalipun tambahan. Sehingga unsur untuk condong memandangnya sebagai
elemen perbuatan pidana tetapi sebagai syarat penuntutan. Untuk hak ikhwal
14
VOLUME 4 Nomor 1 Tahun 2020
atau keadaan yang menyertai perbuatan penelantaran isteri adalah suami tidak
memberikan kehidupan, perawatan ini lebih atau pemeliharaan kepada isteri.
3. Untuk unsur keadaan tambahan yang memberatkan pidana dalam Pasal 9 dan
Pasal 49 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga tidak mengatur hal-hal yang dapat
memberatkan pidana terhadap pelaku tindak pidana penelantaran isteri.
4. Tindakan menelantarkan isteri setelah keluarnya Undang-undang Nomor 23
Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga sudah
menjadi perbuatan melawan hukum pidana dimana ada sanksi pidana yang
mengaturnya secara khusus dalam Undang-undang tersebut. Unsur perbuatan
melawan hukum objektif yang terdapat dalam Pasal 9 Undang undang Nomor 23
Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah
"setiap orang ... "
5. Unsur melawan hukum yang subjektif merupakan sifat melawan hukumnya
tergantung pada perbuatan bagaiman sikap batinnya terdakwa. Pengetahuan
tentang sifat melawan hukum yang subjektif ini relatif belum lama dan pertama
timbul di Jerman. Dapat disimpulkan dalam tindak pidana penelantaran isteri
yang menjadi unsur melawan hukum yang subjektifnya adalah niat suami.
15
VOLUME 4 Nomor 1 Tahun 2020
Dari kedua Pasal tersebut dapatlah ditentukan bahwa sistem sanksi terhadap
isteri dan pelaku penelantaran menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangga
berupa sistem dua sanksi merupakan dua jalur mengenai sanksi dalam hukum pidana,
yakni jenis sanksi pidana disatu pihak dan jenis sanksi tindakan dipihak lain.
Walaupun ditingkat praktek , perbedaan antara sanksi pidana dengan sanksi tindakan
sering agak samar, namun ditingkat ide dasar keduanya memiliki perbedaan
mendasar. Keduanya berasal dari ide dasar yang berbeda.
PENUTUP
Kesimpulan
1. Penelantaran rumah tangga menurut Pasal 9 Undang-undang Nomor 23 Tahun
2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah: Setiap
orang yag menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal
menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia
wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang
tersebut.
2. Penelantaran sebagaimana dimaksud ayat (a) juga berlaku bagi setiap orang yang
mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan atau
melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban
berada di bawah kendali orang tersebut
3. Penerapan hukum terhadap pelaku tindak pidana menelantarkan orang lain
dalam lingkup rumah tangga dikenakan dengan cara menerapkan Pasal 49
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga.
Saran
1. Hendaknya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga disosialisasikan kepada seluruh lapisan
masyarakat.
2. Dalam menerapkan Pasal 49 Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 hendaknya
hakim memutus sesuai dengan rasa keadilan.
16
VOLUME 4 Nomor 1 Tahun 2020
DAFTAR PUSTAKA
Badriyah Khaleed, S H. Penyelesaian Hukum KDRT. MediaPressindo, 2018.
Fadhlurrahman, Fadhlurrahman, Rafiqi Rafiqi, and Arie Kartika. “Proses Penyidikan
Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Yang
Dilakukan Oleh TNI-AD (Studi Di Pengadilan Militer I-02 Medan).” JUNCTO:
Jurnal Ilmiah Hukum 1, no. 1 (2019): 52–64.
Hasibuan, Syaiful Asmi. “Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Yang
Melakukan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.” Jurnal Hukum Responsif 7, no. 2
(2019): 17–29.
Helmi, Muhammad Ishar. Gagasan Pengadilan Khusus KDRT. Deepublish, 2017.
Mamengko, Brandon. “Pemberlakuan Sanksi Pidana Terhadap Perbuatan
Penelantaran Anak Di Indonesia.” Lex Crimen 8, no. 4 (2019).
Mansyur, Ridwan. “Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut Sistem
Peradilan Pidana Dalam Perspektif Restorative Justice.” Jurnal Hukum dan
Peradilan 5, no. 3 (2016): 431–446.
Prastyananda, Nurbaity. “Penelantaran Rumah Tangga (Kajian Hukum Dan Gender).”
MUWAZAH: Jurnal Kajian Gender 8, no. 1 (2016).
Prayudi, Guse. “Berbagai Aspek Tindak Pidana: Kekerasan Dalam Rumah Tangga”
(2008).
Saraswati, Rika. Perempuan Dan Penyelesaian Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
PT. Citra Aditya Bakti, 2009.
Subandi, Paulus, and Hotman SitorusI. “Bentuk Kekerasan Rumah Tangga
Menelantarkan Orang Lain Menurut Undang-Undang Nomor. 23 Tahun 2004.”
Jurnal Ilmiah Widya (n.d.): 218720.
Sugijokanto, Suzie. Cegah Kekerasan Pada Anak. Elex Media Komputindo, 2014.
17