Anda di halaman 1dari 5

RINGKASAN

Pelacuran merupakan salah satu bentuk fenomena yang sudah ada sejak
lama sepanjang sejarah di dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Sama halnya dengan
perkembangan pemerintahaan di dunia, pelacuran di Indonesia bermula sejak
zaman kerajaan-kerajaan besar di tanah jawa yang menggunakan wanita sebagai
bagian dari komoditas sistem feodal. Kegiatan pelacuran telah menyebar luas di
masyarakat di seluruh dunia, terlepas pemerintah menyadarinya atau tidak padahal
kegiatan ini dianggap tidak etis. Pelacuran adalah fenomena sosial yang menyebar
secara luas di masyarakat bahkan di seluruh dunia padahal kegiatan ini dianggap
tidak etis. merujuk pada Konvensi PBB 1949 tentang perdagangan manusia,
pelacuran dan atau perdagangan seks dianggap sebagai perbuatan yang tidak sesuai
dengan martabat dan nilai pribadi manusia dan membahayakan kesejahteraan
individu, keluarga dan masyarakat.
Hukum pidana positif Indonesia belum mengatur tentang perbuatan
pelacuran dalam hal ini keterkaitan ketiga komponen yakni mucikari atau germo,
pekerja seks komersil dan pengguna pekerja seks komersil baik dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disingkat KUHP) maupun Undang-
Undang diluar KUHP. Pengaturan dalam KUHP tentang delik-delik kesusilaan
seperti pada pasal 281 sampai pasal 303, khususnya pasal 296 dan pasal 506 tidak
menjerat perbuatan pekerja seks komersial maupun pengguna, melainkan hanya
menjerat kepada pemilik rumah bordil, mucikari dan makelar atau calo dari
perbuatan pelacuran.
Adanya pembedaan terhadap penerapan sanksi pidana yang hanya
diberatkan kepada mucikari, padahal dalam hal ini ada dua komponen utama
lainnya yang terkait yakni pekerja seks komersil dan termasuk di dalamnya adalah
pemakai/pengguna jasa pekerja seks komersil hal inilah menjadi polemik sebab
pekerja seks komersil dan pengguna pekerja seks komersil tidak dikenakan
hukuman. Sehingga bermunculan argumentasi yang berkembang dimasyrakat jika
dapat diasumsikan pula pekerja seks komersil itu sebagai korban, namun pada
kenyataan dilapangan justru dijumpai banyak pekerja seks komersil yang
menjalankan pekerjaannya melacurkan diri secara profesional berdasarkan
perjanjian kerja yang disepakati dengan mucikari atau germo atau pemilik tempat
dimana pekerja seks komersil tersebut melakukan pekerjaan melacurkan diri.
Oleh karenanya, aparat penegak hukum tidak dapat menjerat pengguna
jasa pekerja seks komersil maupun pekerja seks komersil itu sendiri, karena
berdasarkan ketentuan dalam Pasal 296 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
dinyatakan bahwa: “Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan
perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain dan menjadikannya sebagai
pekerjaan atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun
empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah”.
Prinsip nullum delictum noela poena lege praevia yakni tiada pidana dapat
dijatuhkan tanpa didahului adanya peraturan yang memuat sanksi pidana terlebih
dahulu menjamin perlindungan hak asasi manusia dari kesewenang-wenangan
penguasa. Akan tetapi, seorang pekerja seks komesil yang melacurkan diri
dengan atau tanpa mucikari bukan termasuk kejahatan karena tidak dilarang dalam

ix
hukum pidana Indonesia meskipun melanggar dari sudut pandang agama, adat
istiadat, dan kesusilaan dalam masyarakat. Hal yang sama berlaku dalam pengguna
jasa, Pasal 284 KUHP mengatur ketentuan lain untuk menjerat pengguna jasa
pekerja seks komersil. Pasal ini berisi uraian ketentuan pidana tentang Perzinahan
(perselingkuhan).
Namun melihat ketentuan ayat (2) dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa
delik Pasal 284 KUHP ini merupakan delik aduan sepanjang tunduk pada Pasal 27
BW yang menjelaskan bahwa dalam satu waktu, seorang pria diizinkan memiliki
satu orang perempuan sebagai istrinya dan seorang perempuan diizinkan memiliki
satu pria sebagai suaminya. Jika tidak, maka pasal ini tidak dapat digunakan untuk
menjerat pengguna jasa pekerja seks komersil dikarenakan hanya dapat berlaku
pada salah satu pengguna jasa atau pekerja seks komersil telah terikat perkawinan,
sedangkan apabila pengguna jasa dan pekerja seks komersilnya belum terikat
perkawinan maka tidak dapat diterapkan pasal tersebut.
Berdasarkan kenyataan dalam rangka penanggulangan masalah kegiatan
pelacuran, maka diperlukan suatu pendekatan yang berorientasi pada kebijakan
kriminalisasi yang merupakan bagian dari kebijakan criminal dengan menggunakan
sarana hukum pidana (penal), dan oleh karena itu termasuk bagian dari “kebijakan
hukum pidana” (penal policy). Dengan adanya kebijakan kriminalisasi yang
merupakan suatu kebijakan dalam menetapkan suatu perbuatan yang semula bukan
tindak pidana menjadi suatu tindak pidana, dapat mengarah kepada suatu
pembaharuan hukum pidana (penal law reform) untuk menanggulangi masalah
pelacuran pada masa mendatang.
Sehubungan dengan penomena seperti tersebut di atas perlu diadakan
penelitian yang mendalam berkaitan dengan variabel tentang; Konsep Kriminalisasi
Pelacuran Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia Yang berlandaskan
Keadilan, dapat dirumuskan pokok permasalahan sebagai berikut:
1. Urgensi Kebijakan Kriminialisasi Pada Perbuatan Pelacuran Dalam
Hukum Pidana Indonesia Saat Ini.
2. Konsep Kebijakan Kriminalisasi Terhadap Perbuatan Pelacuran Dalam
Rangka Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia.

Tujuan penelitian ini, yaitu : Menganalisis secara mendalam dan


menemukan hakekat nilai norma kesusilaan pada konsep kriminalisasi perbuatan
pelacuran dalam Hukum Pidana Indonesia; dan Menganalisis secara mendalam dan
menemukan Konsep kriminalisasi terhadap perbuatan pelacuran dalam rangka
pembaharuan hukum pidana nasional yang berlandaskan keadilan di Indonesia.
Manfaat Penelitian ini dapat dibagi dua, yaitu : Manfaat Teoritis, yaitu hasil
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis untuk
pengembangan studi hukum pidana khususnya dan pembangunan ilmu hukum
secara interdisiplin pada umumnya, sehingga studi hukum tidak hanya dipahami
dari sudut legalitas formal tetapi perlu dikaitkan dengan sub sistem kemasyarakatan
yang lain; dan Manfaat Praktis, yaitu : Hasil Penelitian ini diharapkan dapat
dimanfaatkan sebagai masukan bagi praktisi/pembuat kebijakan hukum dalam
hukum pidana, agar dapt dipergunakan di dalam praktik. Sehingga adanya

x
kesesuaian di dalam pembuatan undang-undang, khususnya peraturan perundang-
undangan pidana dengan penerapannya.
Jenis penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian
hukum normatif. Penelitian hukum normatif ialah penelitian hukum yang dilakukan
dengan menggunakan pendekatan (apporoach) penentuan bahan hukum (legal
material) dan analisa kritis (critical analysis) terhadap bahan-bahan hukum yang
bersifat penelusuran (explorative) dengan kajian mendalam (inquiry) serta
penafsiran (interpretation). Untuk menjabarkan bahan hukum yang telah
dikumpulkan di dalam penelitian memakai sejumlah teknik antara lain : Teknik
deskriptif adalah teknik dasar analisis yang tidak dapat dihindari penggunaannya.
Deskriptif berarti penggambaran/ uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau
proposisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum; Teknik interpretasi
adalah teknik penafsiran yang menggunakan jenis-jenis interpretasi antara lain:
interpretasi gramatika, histori, sistematik, teleologis, kontekstual dan lain
sebagainya; Teknik evaluasi adalah penelitian mengenai sesuai atau tidak sesuai,
setuju ataupun tidak, salah ataupun benar pada suatu gagasan, proposisi, pernyataan
rumusan norma, keputusan yang tercantum dalam bahan primer dan sekunder; dan
Teknik argumentasi adalah satu penilaian harus berdasarkan alasan yang bersifat
pemikiran hukum. Dalam pembicaraan isu hukum semakin banyak argument makin
memperlihatkan pemikiran hukum.
Urgensi kriminialisasi pada perbuatan pelacuran dalam hukum pidana
Indonesia saat ini disebabkan keterbatasan kemampuan sanksi pidana dalam
menanggulangi perbuatan pelacuran, beban kinerja aparatur hukum, proses hukum
yang panjang, serta dampak negatif sanksi pidana yang tidak dapat dihindarkan,
membawa kepada pandangan bahwa perlunya segera adanya kebijakan
kriminalisasi pada perbuatan pelacuran sebagai alternatif solusi. Adapun
kriminalisasi pada perbuatan pelacuran dalam hukum pidana ditujukan pada
kriminalisasi terhadap pengguna bertujuan agar melarang penyaluran kebutuhan
seksualnya dalam bentuk perzinaan secara komersil. Sedangkan kriminalisasi
terhadap PSK bertujuan untuk mencegah dan melarang seseorang menjual atau
mengeksploitasi organ seksualnya demi mendapatkan keuntunngan dari perbuatan
yang melawan hukum. Tujuan lainnya adalah kriminalisasi terhadap Pengguna dan
PSK bahwa manusia bukanlah sebuah komoditas yang dapat diperjual belikan
sehingga perlu diberikan perhargaan dan perlakuan yang sama terhadap setiap
manusia.
Konsep kriminalisasi terhadap perbuatan pelacuran dalam rangka
pembaharuan hukum pidana Indonesia nantinya harus dengan konsep pidana
bersyarat dalam artian pidana ini berlaku apabila kondisi keadaan terpaksa dimana
PSK di bawah tekanan melakukan perbuatan pelacuran hanya dikenakan hukuman
kerja sosial sebagaimana perbandingan regulasi hukum terkait pelacuran di negara
Swedia dan RRC. Maksud dari keadaan terpaksa bagi Pekerja Seks Komersil (PSK)
adalah perbuatan cabul dengan ajakan, suruhan dan/atau tipu muslihat orang lain
baik secara langsung dan/atau menggunakan media elektronik. Sedangkan bagi
pengguna jasa seks komersial dan mucikari/germo yang menjadikan perbuatan
pelacuran sebagai pekerjaan pokoknya dapat dipidana dengan pidana denda dan
pidana penjara. Terhadap PSK yang menjadikan perbuatan pelacuran sebagai

xi
pekerjaan pokoknya dapat dipidana apabila sengaja melakukan hubungan seksual
tanpa ikatan perkawinan atau perbuatan cabul dengan atau atas persetujuannya
untuk mendapatkan atau menerima pembayaran atau remunerasi dan/atau
bergelandangan dan berkeliaran di jalan atau di tempat umum dan menawarkan diri,
mengajak orang lain baik secara langsung dan/atau tidak langsung dengan
menggunakan media informasi dengan tujuan melacurkan diri. Sedangkan bagi
pengguna jasa seks komersial dapat dipidana apabila dengan sengaja melakukan
membayar atau membeli, memanggil, mengajak, memesan atau menyewa
seseorang dengan tujuan dan/atau maksud untuk melakukan perbuatan cabul atau
persetubuhan tanpa ikatan perkawinan secara berbayar dan/atau bersifat komersil.
Saran yang diajukan dalam penelitian ini yaitu : Kepada Pemerintah
(eksekutif) dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) sebagai
lembaga pembentuk Undang-Undang (legislatif), dengan memperhatikan dan
mempertimbangan pembaharuan hukum pidana serta perbandingan regulasi
peraturan dari negara-negara lain yang mana menjadikan mensyaratkan PSK yang
bekerja dalam keadaan terpaksa seperti diatur dalam regulasi negara Swedia dan
RRC tidak diberlakukan hukuman pidana namun kerja sosial. Sedangkan bagi
pekerja seks komersil dan pengguna jasa seks komersial yang menjadikan
pelacuran sebagai pekerjaan atau kebutuhan transaksional dapat dijadikan sebagai
pelaku tindak pidana pelacuran tanpa mengesampingkan asas keadilan dan asas
kemanfaatan. Kondisi untuk menyusun ketentuan pidana terkait pekerja seks
komersil dan pengguna jasa seks komersial dapat diundangkan pada peraturan
perundang-undangan diluar KUHPidana sehingga perbuatan pelacuran dapat
dijadikan tindak pidana khusus seperti tindak pidana narkotika. Kepada masyarakat
untuk dapat memahami mengenai kejahatan pelacuran ini sebagai bentuk pidana
apabila dilakukan sebagai mata pencaharian, begitu pula bagi pengguna jasa seks
komersial juga dapat dipidana. Hal ini penting untuk menekan tindak kejahatan
pelacuran yang bisa merusak kesehatan dan moral masyarakat.

Kata kunci : Pelacuran, Kebijakan Kriminalisasi, Pembaharuan Hukum Pidana.

xii
Abstract

There is a difference in the application of sanctions that are only imposed on pimps,
even though in this case there are two other main components that are related,
namely commercial sex workers and including users/users of commercial sex
workers, this is a polemic because commercial sex workers and users of sex workers
commercial is not penalized. Therefore, law enforcement officers cannot ensnare
users of the services of commercial sex workers or commercial sex workers
themselves. Based on the fact that in the context of overcoming the problem of
playing games, an approach related to the criminalization policy is needed which is
part of the criminal policy. In connection with the phenomena as above, the main
issues can be formulated as follows: The Urgency of the Criminalization Policy on
Prostitution in Indonesia's Current Criminal Law; and the Concept of
Criminalization Policy Against Prostitution in the Context of Renewing the
Indonesian Criminal Law. This type of research was conducted using normative
legal research methods. The urgency to criminalize the act of playing games as a
crime based on philosophical foundations: Deceit is contrary to the values in the
practice of the Pancasila precepts; Based on the juridical basis: The absence of legal
regulations regarding commercial sex workers and users of commercial sex workers
as perpetrators of crimes that are contrary to the 1945 Constitution of the Republic
of Indonesia; Based on the sociological basis: The work done by pimps, commercial
sex workers and service users of commercial sex workers is considered to violate
applicable norms; and Based on the basis of Human Rights; The practice of acts
that have been going on for a long time in Indonesia is considered a violation of
human rights.

Keywords: Prostitution, Criminalization Policy, Criminal Law Reform.

xiii

Anda mungkin juga menyukai