Anda di halaman 1dari 13

Analisis BAB 3 Pedoman Pemidanaan Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2023 serta Aturan yang Telah Ada PERMA Nomor 1 Tahun
2020 tentang Pedoman Pemidanaan

Disusun Oleh:

Angga Aprilian Arfandi

20/461516/HK/22534

Departemen Hukum Pidana


Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada
2023

JUMLAH KATA 2941


Pendahuluan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah sebuah produk Undang-undang
peninggalan belanda yang dirasa sudah tidak sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku di
dalam masyarakat indonesia yang pada faktanya memang KUHP adalah susunan dari
pemerintah kolonial belanda yang pada saat ini harus diganti landasan filosofinya.
Pada awalnya, KUHP (WvS) dipandang sebagai induk dan sebagai wujud dari
kodifikasi dan unifikasi. Namun dalam perkembangannya, KUHP dianggap tidak
lengkap atau tidak dapat menampung berbagai masalah dan dimensi perkembangan
bentuk-bentuk tindak pidana baru, yang tentu saja sejalan dengan perkembangan
pemikiran dan aspirasi kebutuhan masyaraka1. Selain itu, KUHP yang berlaku saat ini
bukanlah hukum pidana yang berasal dari nila-nilai dasar dan nilai-nilai
sosiofilosofik, sosio-politik dan sosio-kultural yang hidup dalam masyarakat
Indonesia yang saat ini berkembang,2 oleh karena itu sudah sepantasnya timbul
pertanyaan, apakah KUHP pada saat ini masih pantas disebut sebagai bagian dari
hukum positif Indonesia, terutama hukum pidana. Perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi juga menjadi suatu hal yang sangat penting mengingat permasalahan
yang muncul juga berkembang seiring dengan perkembangan tersebut, perkembangan
masalah yang terjadi di masyarakat acap kali membuat permasalahan tidak
tertampung pada aturan yang ada di dalam KUHP lama. Hal ini membuat hukum
pidana yang seharusnya menjadi cara atau alternatif yang dapat mengurangi tindak
kejahatan malah terkesan menjadi aturan yang kaku dan tidak berkemanusiaan,
apalagi dalam kasus-kasus kecil yang seharusnya dapat diterapkan sanksi yang lebih
berkemanusiaan.

Berdasarkan permasalahan yang ada tentu dibutuhkan suatu pemugaran atau


produk baru tentang KUHP yang sebelumnya telah ada. Selain mengenai produk

1
Barda Nawawi Arief, RUU KUHP Baru: Sebuah Restrukturisasi/Rekonstruksi Sistem Hukum
Pidana Indonesia, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2012) hlm. 24.
2
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana (Menyongsong
Generasi Baru Hukum Pidana Indonesia), Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum
Pidana Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, (Semarang: Pustaka Magister, 2011), hlm.
13.

2
hukum yang dirasa sudah ketinggalan zaman, salah satu hal yang perlu siperjelas
adalah pedoman pemidanaan yang haruslah ditegaskan dan disamakan. Hal ini
menjadi sangat penting karena di KUHP lama sendiri tidak dijelaskan secara tegas
dan eksplisit mengenai pedoman pemidanaan. Oleh karena itu berdasarkan alasan
yang telah ada tentu pembaharusn hukum pidana ini sangat dibutuhkan.

Pembahasan

1. Pedoman Pemidanaan
Pedoman Pemidanaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang
masih berlaku saat ini memang tidak menyebutkan secara jelas terkait pengertian
atau aturan pedoman pemidanaan. Dalam KUHP yang berlaku saat ini sendiri
hanyalah memuat tentang aturan pemberian pidana (straftoemetingsregels) yang
merupakan petunjuk aturan pemberian pidana untuk hakim. Namun, aturan
pemberian pidana ini hanya memuat dua hal, yang pertama mengenai hal yang
memberatkan tindak pidana dan yang kedua adalah hal yang meringankan tindak
pidana. Pedoman dalam perumusan pidana saat ini hanya terpaku pada ketentuan ada
atau tidaknya tindak pidana dan kesalahan tanpa memasukkan tujuan dan asas dari
pemidanaan. Berdasarkan KBBI sendiri dapat ditarik dua kata dari kata pedoman
yang berarti dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kumpulan ketentuan dasar
yang memberi arah bagaimana sesuatu harus dilakukan. Selain itu pedoman juga
dapat berarti hal pokok atau acuan yang menjadi dasar untuk menentukan atau
melaksanakan sesuatu3. Sedangkan kata yang kedua yaitu peidanaan berdasarkan
Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki pengertian proses, cara, perbuatan
memidana4. Oleh karena itu ketika dilihat dari kedua kata tersebut dapat ditarik arti
bahwa pedoman pemidanaaan adalah sebuah ketentuan darar atau hal pokok yang
digunakan untuk memberikan arah bagaimanan perbuatan memidana dilakukan atau
pedoman untuk penjatuhan pidana. Hukum positif yang mengatur tentang pedoman

3
Kamus Besar Bahasa Indonesia arti kata pedoman
4
Kamus Besar Bahasa Indonesia arti kata pemidanaan

3
pemidanaan yang berlaku saat ini adalah Peraturan Mahkamah Agung (Perma)
Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 Dan Pasal 3 Undang-
Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.. Dalam aturan ini juga membahas
mengenai arti pedoman pemidanaan sendiri yang menyebutkan bahwa pedoman
pemidanaan adalah “pedoman bagi hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap
perkara Pasal 2 dan Pasal 3...”5
2. Pedoman pemidanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 atau KUHP baru sendiri


pedoman pemidanaan dituangkan secara eksplisit pada BAB III tentang Pemidanaan,
Pidana, dan Tindakan. Hal ini tertuang secara khusus pada pasal Pasal 53 yang
berbunyi “1) Dalam mengadili suatu perkara pidana, hakim wajib menegakkan
hukum dan keadilan; 2) Jika dalam menegakkan hukum dan keadilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdapat pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan,
hakim wajib mengutamakan keadilan.” Dalam hal ini secara jelas menyebutkan
aturan yang harus dilakukan oleh hakim dalam mengambil sebuah kebijakan, hal ini
dapat membuat penjatuhan pidana bagi perkara perkara yang sejenis menjadi tidak
timpang, dalam hal ini juga menyebutkan bahwa keadilan adalah yang utama bagi
hakim dalam memutuskan suatu perkara. Selain pada pasal 53 aturan ini selanjutnya
juga diatur dalam pasal 54 yang lebih menjabarkan tentang faktor-faktor yang perlu
dilihat oleh hakim ketika menjatuhkan pidana, dalam pasal ini menyebutkan bahwa
“Dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan: a) bentuk kesalahan pelaku tindak
Pidana; b) motif dan tujuan melakukan Tindak Pidana; c) sikap batin perilaku Tindak
Pidana; d) Tindak Pidana dilakukan dengan direncanakan atau tidak direncanakan; e)
cara melakukan Tindak Pidana; f) sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan
Tindak Pidana; g) riwayat hidup, keadaan sosial, dan keadaan ekonomi pelaku Tindak
Pidana; h) pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku Tindak Pidana; i) pengaruh
Tindak Pidana terhadap Korban atau keluarga Korban; j) pemaafan dari Korban
dan/atau keluarganya; dan/atau k) nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam

5
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2
Dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

4
masyarakat.” Dalam pasal 54 ini dapat ditarik bahwa aturan ini nantinya dapat
dipertimbangkan oleh hakim utuk menentukan berat ratau ringannya pidana yag
dijatuhkan. Selanjutnya pedoman yang dijelaskan pada pasal 54 ayat (2) yang
menjelaskan “ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku, atau keadaan pada waktu
yang dilakukan Tindak Pidana serta yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar
pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau tidak mengenakan tindakan
dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.” Dalam ketentuan ini
sangat jelas hukum pidana ingin dialihkan ke hukuman yang lebih berkemanusiaan
dan bukan menjadi hukum yang hanya bertujua untuk balas dendam saja. Nilai
keadilan dan kemanusiaan sangat ditonjolkan pada KUHP yang baru ini sehingga
nantinya aparat penegak hukum dapat menyesuaikan dengan keadaan di lapangan dan
dapat memberikan keputusan yang seadil-adilnya6. Berdasarkan pasal-pasal ini jelas
pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 menjelaskan secara eksplisit mengenai
pedoman yag harus dilakukan oleh hakim atau pedoman pemidanaan yang mana
dalam hal ini sangat mengedepankan keadilan dan rasa kemanusiaan. Pembaharuan
dalam KUHP tentang pedoman pemidanaan ini juga bertujuan guna menyeimbangkan
perlindungan terhadap seluruh lapisan masyarakat serta perlindungan terhadap
individu yang terkena kasus pidana7

3. PERMA 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan

Perma No. 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah sebuah aturan yang
sudah ada yang khusus membahas mengenai pedoman pemidanaan yang dalam hal
ini hanya membahas mengenai tindak pidana korupsi. Aturan ini di buat karena
munculnya perdebatan di tengah penegakan hukum khususnya tindak pidana korupsi
yang mana banyak disparitas pemidanaan dalam praktiknya. Dibuatnya aturan ini

6
Noveria Devy Irmawanti dan Barda Nawawi Arief, ‘Urgensi Tujuan Dan Pedoman
Pemidanaan Dalam Rangka Pembaharuan Sistem Pemidanaan Hukum Pidana’, Jurnal
Pembangunan Hukum Indonesia, vol 3. Nomor 2 (2021). hlm. 157
7
Desran Joko Wagularsih Saragih, ‘Kebijakan Pidana Penjara Seumur Hidup: Analisis
Yuridis Sosiologis Dalam Kerangka Tujuan Pemidanaan Di Indonesia’, Unnes Law Journal,
3.2 (2014).

5
semata-mata adalah untuk menciptakan sebuah proporsionalitas penegakan keadilan
khususnya di ranah tindak pidana korupsi yang sebelumnya proses pemutusannya
belum terdapat aturan yang paten. Pedoman pemidanaan atau dapat disebut atau
guidance of sentencing adalah sebuah arah petunjuk untuk hakim dalam menjatuhkan
serta menerapkan pidana yang merupakan salah satu judicial/yudikatif bagi hakim itu
sendiri8. Selain itu dibuatnya aturan ini bertujuan sebagai panduan hakim untuk
menentukan berat ringannya pidana (straftoemeting) yang mana hal ini sangat krusial
apalagi di ranah tindak pidana korupsi. Secara singkat PERMA ini mengatur
mengenai cara atau urutan hakim dalam menjatuhkan pidana bagi terpidana kasus
tindak pidana korupsi yang pada intinya seperti Menentukan kerugian negara (pasal 6
PERMA), menentukan tingkat kesalahan dampak dan keuntungan (pasal 7-11
PERMA), menentukan rentang penjatuhan pidana (pasal 12PERMA),
mempertimbangkan keadaan yang memberatkan dan meringankan (pasal 13-14
PERMA), menentukan besaran pidana (pasal 15 PERMA)

i) Menentukan Kerugian Negara, hal ini tertuang pada pasal 6 PERMA


Nomor 1 Tahun 2020 yang berbunyi
1. Dalam hal mengadili perkara tindak pidana Pasal 2 Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kerugian keuangan negara atau
perekonomian negara terbagi ke dalam 4 (empat) kategori sebagai berikut:
a. kategori paling berat, lebih dari Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar
rupiah); b. kategori berat, lebih dari Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima
miliar rupiah) sampai dengan Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar
rupiah); c. kategori sedang, lebih dari Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) sampai dengan Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar
rupiah); dan d. kategori nngan, lebih dari Rp200.000.000,00 (dua ratus
juta rupiah) sampai dengan Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah);
2. Dalam hal mengadili perkara tindak pidana Pasal 3 Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kerugian keuangan negara atau

8
Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian Perbandingan,
(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2011) hlm. 12.

6
perekonomian negara terbagi ke dalam 5 (lima) kategori sebagai berikut:
a. kategori paling berat, lebih dari Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar
rupiah); b. kategori berat, lebih dari Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima
miliar rupiah) sampai dengan Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar
rupiah); c. kategori sedang, lebih dari Rp1.000.000.000,00(satu miliar
rupiah) sampai dengan Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar
rupiah); d. kategori nngan, lebih dari Rp200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) sampai dengan Rp1.000.000.000,00(satu miliar rupiah); dan e.
kategori paling ringan, sampai dengan Rp200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah).
Dalam hal ini adalah tahapan pertama yang harus dilalui hakim dalam
penjatuhan putusan yaitu mengelompokkan kerugian negara apakah itu
masuk ke dalam kategori paling berat, berat, sedang, ringan, atau paling
ringan.
ii) Tahap selanjutnya setelah mengkategorikan kerugian negara adalah
menentukan tingkat kesalahan dampak dan keuntungan dari perbuatan
pidana yang dilakukan dalam hal ini tertuang pada pasal 7 hingga pasal 11
PERMA Nomor 1 Tahun 2020 pada intinya pada tahapan ini hakim harus
mengkategorikan lagi perbuatan yang dilakukan oleh pelaku termasuk
peran atau perbuatan yang tinggi, sedang atau rendah yang mana kriteria
tinggi, sedang atay rendah tercantum jelas pada pasal 8 hingga 10 PERMA
Nomor 1 Tahun 2020. Dalam hal ini salah satu contoh aspek kesalahan
tinggi menurut kategori PERMA ini adalah terdakwa memiliki peran
yang paling signifikan dalam terjadinya tindak pidana korupsi, baik
dilakukan sendiri maupun bersama-sama, terdakwa memiliki peran
sebagai penganjur atau yang menyuruhlakukan terjadinya tindak pidana
korupsi, terdakwa melakukan perbuatannya dengan menggunakan modus
operandi atau sarana atau teknologi canggih dan atau terdakwa melakukan
perbuatannya dalam keadaan bencana atau krisis ekonomi dalam skala
nasional. Ketentuan lain tercantu pada pasal 8 huruf b tentang aspek

7
dampak tinggi, 8 huruf c tentang aspek keuntungan terdakwa tinggi. Pasal
9 mengenai aspek sedang dan pasal 10 mengenai aspek rendah.
iii) Tahap ketiga adalah menentukan rentang penjatuhan pidana yang
dijatuhkan sesuai dengan dua tahapan sebelumnya, hal ini tertuang pada
pasal 12 PERMA Nomor 1 Tahun 2020 yang berbunyi “Hakim memilih
rentang penjatuhan pidana sebagaimana tercantum dalam Lampiran Tahap
III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Mahkamah
Agung ini dengan menyesuaikan antara: a. kategori kerugian keuangan
negara atau perekonomian negara sebagaimana dimaksud dalam Pasa16;
dan b. tingkat kesalahan, dampak, dan keuntungan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7

Hal diatas adalah contoh tabel yang menggambarkan proses ketiga


tahapan yang harus dilalui hakim, perpotongan antara tahap 1 dan tahap 2
nantinya akan menghasilkan rentang pidana yang akan dijatuhkan untuk
tindak pidan korupsi yang dilakukan oleh pelaku
iv) Tahapan yang keempat adalah tahapan yang membuat PERMA ini
menjadi PERMA yang tidak membuat independensi hakim hilang, hal ini
karena dalam tahap ke empat ini hakim boleh menambahkan hal hal yang

8
memberatkan dan hal yang meringankan pelaku akan tetapi tetap ada
pedoman khusus atau kriteria khusus yang dicantumkan yang mana hal ini
dituangkan dalam pasal 13 dan pasal 14 PERMA Nomor 1 Tahun 2020.
Yang mana pasal 13 berbunyi (1) Dalam menjatuhkan pidana, Hakim
harus mempertimbangkan keadaan yang memberatkan dan meringankan
dengan memperhatikan sifat yang baik dan jahat dari terdakwa
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Tahap IV yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Mahkamah Agung ini. (2) Hakim
dapat mempertimbangkan keadaan yang memberatkan dan meringankan
yang bersifat kasuistis berdasarkan fakta persidangan selain yang telah
diatur pada ayat (1) serta pasal 14 yang beberbunyi “Pengembalian
kerugian keuangan negara yang diperhitungkan sebagai keadaan yang
meringankan merupakan pengembalian yang dilakukan terdakwa secara
sukarela sebelum pengucapan putusan.” Hal-hal yang memebratkan
contohnya Terdakwa pernah melakukann tindak pidana sebelumnya,
Terdakwa tidak kooperatif dalam menjalani proses peradilan, Terdakwa
mencoba menghilangkan atau menyembunyikan atau merusak alat bukti,
Terdakwa menggunakan hasil tindak pidana, dan/atau Terdakwa adalah
aparat penegak hukum atau aparatur sipil negara. Sedangkan hal-hal yang
meringankan seperti Terdakwa belum pernah dipidana, Terdakwa
kooperatif dalam menjalani proses peradilan, Terdakwa menyesali
perbuatannya dan berjanji tidak mengulangi lagi perbuatan pidana,
Terdakwa memberi keterangan secara terus terang selama persidangan,
Terdakwa telah menyerahkan diri atau melaporkan tindak pidana yang
dilakukannya, Terdakwa belum menikmati hasil tindak pidana, Terdakwa
telah berusia lanjut atau dalam kondisi sakit, Terdakwa mengembalikan
harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi secara sukarela
sebelum pengucapan putusan, dan/atau Terdakwa memiliki keadaan
ekonomi atau finansial yang buruk. Selain itu seperti yang telah

9
dijabarkan si atas hakim juga dapat menambahkan hal yang memberatkan
atau hal yang meringankan diluar kategori yang telah dicantumkan
v) Tahapan yang terakhi yang harus dilakukan hakim adalah menentukan
besaran pidana yang mana telah tertuang pada pasal 15 PERMA Nomor 1
Tahun 2020 yang berbunyi “(1) rentang dalam pidana berdasarkan
sebagaimana dimaksud Hakim menjatuhkan penjatuhan pidana Pasal 12.
(2) Hakim dalam menjatuhkan pidana mempertimbangkan keadaan yang
memberatkan dan meringankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
dan Pasal 14.” Yang pada intinya putusan akhir dari tahapan ini adalah
persilangan tahap 1 kerugian negara dan tahap 2 tingkat kesalahan dampak
dan keuntungan, ditambah atau dikurangi dengan hal yang meringankan
atau memberatkan dan diakhiri dengan putusan yang masih dalam rentang
pidana yang tadi didapatkan.9

Pada dasarnya PERMA ini dibuat bertujuan guna menghilangkan disparitas yang
muncul dari penanganan tindak pidana korupsi tanpa mengurangi independensi hakim

Pada dasarnya juga terdapat aturan yang membahas mengenai berat ringannya pidana
yaitu berdasarkan SEMA Nomor 1 Tahun 2000, dalam aturan ini sendiri telah
dijelaskan dan dituangkan bahwa penjatuhan pidana khususnya pada tindak pidana
Ekonomi, Korupsi, NARKOBA, Perkosaan Pelanggaran HAM berat, dan lingkungan
hidup, Mahkamah Agung mengharapkan supaya Pengadilan menjatuhkan pidana
yang sungguh-sungguh setimpal dengan beratnya dan sifatnya tindak pidana tersebut
dan jangan sampai menjatuhkan pidana yang menyinggung rasa keadilan di dalam
masyarakat. Surat edaran mahkamah agung ini jelas mendukung PERMA Nomor 1
Tahun 2020 tentang pedoman pemidanaan bagi tindak pidana korupsi yang mengatur
agar pidana yang dijatuhkan setimpal dan sama rata untuk semua kasus korupsi.

. Tindak berlebihan di kemukakan bahwa di era reformasi sekarang ini, telah terjadi
perubahan nilai serta perkembangan hukum yang sangat cepat, sehingga nilai dan

9
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2
dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

10
moralitas hukum positif tertinggal, untuk mana Mahkamah Agung sekali lagi
mengharapkan para Hakim mampu berperan sebagai katalisator kesenjangan antara
hukum positif dengan nilai-nilai yang berkembang di dalam masyarakat melalui
SEMA Nomor 1 Tahun 2000 ini.

4. Kesimpulan

Orientasi pemindanaan yang sebelumnya kaku dan berpedoman pidana


sebagai pembalasan pada undang-undang 1 Tahun 2023 diganti paradigmanya dengan
pidana dengan pendekatan kemanusiaan, sama halnya dengan pedoman pemidanaan
yang diatur didalamnya. Aturan pada PERMA 1 tahun 2020 adalah salah satu contoh
aturan khusus yang mengatur tentang pedoman pemidanaan dari tindak pidana
korupsi yang sama halnya dengan KUHP baru, PERMA ini merupakan aturan yang
bertujuan meningkatkan keadilan karna dalam aturan ini berisi pedoman yang
sistematis untuk tindak pidana yang diancamkan. Selain PERMA Nomor 1 Tahun
2020 juga terdapat aturan yang membahas tentang berat ringannya pidana sesuai
SEMA Nomor 1 Tahun 2000, hal ini menunjukkan bahwa terdapat suatu aturan
khusus mengenai proses atau pedoman pemidanaan bagi tindak pidana tertentu.
Dalam hal perumusan pemidanaan penulis berpendapat bahwa penulisan pedoman
pemidanaan secara eksplisit ke KUHP yang baru adalah hal yan sangat berguna dan
akan menjadi hal positif dalam implementasi hukum yang akan datang, hal itu
dikarenakan ketika telah terdapat pedoman yang harus dilaksanakan oleh penegak
hukum nantinya terdapat keterikatan bagi hakim dalam memutuskan suatu perkara10.
Hal itu ditambah lagi dengan pendekatan hukum pidana yang menjadi lebih lunak
atau mengedepankan keadilan dan kemanusiaan, hal ini dapat mengurangi pemutusan
perkara yang sebenarnya dapat dilakukan secara lebih berkemanusiaan contohnya
untuk kasus kasus kecil yang nantinya dapat dijatuhi putusan dengan asas rechterlijk
pardon atau kewenangan hakim guna memberi pengampunan atau maaf terhadap

10
Failin, ‘Sistem Pidana Dan Pemidanaan Di Dalam Pembaharuan Hukum Pidana
Indonesia’, JCH (Jurnal Cendekia Hukum), 3.1 (2017), hlm. 16.

11
seseorang yang terjerat kasus ringan akan tetapi sebenarnya orang tersebut telah
melakukan sebuah tindak pidana11

11
Khilmatin Maulidah dan Nyoman Serikat Putra Jaya, ‘Kebijakan Formulasi Asas Permaafan
Hakim Dalam Upaya Pembaharuan Hukum Pidana Nasional’, Jurnal Pembangunan Hukum
Indonesia, 1.3 (2019), hlm. 260.

12
5. Daftar Pustaka

Arief, Barda Nawawi. 2011. Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana
(Menyongsong Generasi Baru Hukum Pidana Indonesia): Pidato Pengukuhan
Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.
Semarang: Pustaka Magister

Arief, Barda Nawawi. 2012. RUU KUHP Baru: Sebuah Restrukturisasi/Rekonstruksi


Sistem Hukum Pidana Indonesia. Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro.

Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian


Perbandingan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2011) hlm. 12.

Failin, „Sistem Pidana Dan Pemidanaan Di Dalam Pembaharuan Hukum Pidana


Indonesia‟, JCH (Jurnal Cendekia Hukum), 3 (2017)

Noveria Devy Irmawanti, 2021. Urgensi Tujuan Dan Pedoman Pemidanaan Dalam
Rangka Pembaharuan Sistem Pemidanaan Hukum Pidana, Jurnal
Pembangunan Hukum Indonesia , Volume 3, Nomor 2,

Saragih, Desran Joko Wagularsih, „Kebijakan Pidana Penjara Seumur Hidup:


Analisis Yuridis Sosiologis Dalam Kerangka Tujuan Pemidanaan Di
Indonesia‟, Unnes Law Journal, 3 (2014)

13

Anda mungkin juga menyukai