Disusun oleh :
NPM : 209030021
S3 HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PASUNDAN
BANDUNG
2021
Pasal 1.: Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana
(2) Jikalau undang-undang diubah, setelah perbuatan itu dilakukan, maka kepada tersangka
Pasal 1 (1) K.U.H.P. ini merupakan perundang-undangan hukum pidana modern yang
menuntut, bahwa ketentuan pidana harus ditetapkan dalam undang yang syah, yang berarti
bahwa larangan-larangan menurut adat tidak berlaku untuk menghukum orang, selanjutnya
menuntut pula, bahwa ketentuan pidana daiam undang tidak dapat dikenakan kepada
perbuatan yang telah dilakukan sebelum ketentuan pidana dalam undang-undang itu
diadakan, yang berarti, bahwa undang-undang tidak mungkin berlaku surut (mundur). ,
„Nullum delictum sine praevia lege poenali", artinya: Peristiwa pidana tidak akan ada, jika
ketentuan pidana dalam undang-undang tidak ada terlebih dahulu". Dengan adanya ketentuan
ini, dalam menghukum orang hakim terikat oleh undang sehingga terjaminlah hak
Pertanyaan
1. Bagaimana pendapat Sdr atas rancangan ketentuan tersebut dari sudut teori hukum
Jawaban :
Ketentuan pada alur pertanyaan diatas sudah masyhur pada hukum pidana disebut
asas legalitas. Hakikatnya asas legalitas menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang
dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam
menentukan bahwa satu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali perbuatan tersebut
Ditunjukan dengan masih diaturnya Pasal 1 ayat (1) berbunyi sama dengan KUHP
yang saat ini masih digunakan. Selanjutnya ayat (2) dari pasal tersebut pun
menggunakan analogi.
Dalam perkembangannya asas legalitas yang ditemui pada RUU KUHP mengalami
perluasan. Dilihat dari Pasal 1 ayat (3) yang menentukan bahwa menunjuk kepada
pelaksanaan ayat (1) menyatakan bahwa pelaksanaan asas legalitas tidak mengurangi
berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seorang
Selanjutnya di pasal (4) menentukan bahwa berlakunya hukum yang hidup dalam
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai
Dengan adanya ketentuan Pasal 1 ayat (3) dan ayat (4) RUU KUHP tersebut maka
seseorang dapat dituntut dan dipidana atas dasar hukum yang hidup di masyarakat
dari penjelasan Pasal 1 ayat (3) bahwa diatas perancang RUU KUHP memperhatikan
hukum adat yang ada di masyarakat, atas dasar hukum pidana adat supaya lebih
diakui maka RUU KUHP mencantumkan eksistensi berlakunya hukum pidana adat.
Diakuinya pidana adat dirasa untuk lebih memenuhi teori asas keadilan hukum yang
adanya pertentangan antara ketentuan Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) dengan ayat 3 dan
sebelum tindakan yang dianggap melanggar hukum itu terjadi. Dengan demikian
kalangan masyarakat tertentu). Di satu sisi melalui asas legalitas dalam Pasal 1 ayat
(1) hukum pidana menghendaki aturan yang tertulis dan cermat, pada bagian ini yang
digunakan ialah positivisme hukum. Sementara hukum yang hidup (living law) di
Implikasinya jika dihubungkan dengan teori dari Friedmann yang mengatakan bahwa
keberhasilan hukum itu berasal dari 3 aspek yang satu sama lain saling memenuhi
yaitu substansi hukum, penegak hukum dan budaya hukum maka ketiganya tidak
boleh kosong/ ada celah keterbatasan kewenangan. Artinya pada pelaksanaan ayat (3)
dan ayat (4) penulis menilai adanya keterbatasan kewenangan dan ketidakjelasan
tugas pokok fungsi bagi penegak hukum. Karena seyogyanya pelaksanaan pidana adat
sudah barang tentu yang menjalankan adalah kepala adat dan perangkatnya. Penegak
hukum ditingkat nasional seperti hakim, jaksa, polisi tidak mampu menyentuh kearah
sana.
Larangan penggunaan analogi dalam Pasal 1 ayat (2) juga kontradiktif dengan
ketentuan Pasal 1 ayat (3). Larangan penggunaan analogi dalam menetapkan adanya
analogi berarti bahwa terhadap suatu perbuatan yang pada waktu dilakukan tidak
merupakan suatu tindak pidana, tetapi terhadapnya diterapkan ketentuan pidana yang
berlaku untuk tindak pidana lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang sama,
karena kedua perbuatan tersebut dipandang analogi satu dengan yang lain.
2. Bagaimana pendapat Sdr dari aspek politik hukum pidana nasional yang akan datang
Jawaban :
pembaharuan hukum pidana dari peninggalan kolonial menuju hukum pidana yang
sesuai dengan kebutuhan dan kesadaran hukum pada masyarakat Indonesia. Langkah
dengan diterbitkannya UU No.1 Tahun 1946. Lalu gagasan awal pembaharuan hukum
telah digemakan pada tahun 1960-an melalui seminar hukum nasional I. Silih berganti
sampai saat ini tim bentukan kemenkumham bekerja kerjas, akan tetapi ada satu titik
noda kurangnya political will dari pemerintah dan lembaga legislatif RUU KUHP
belum bisa disahkan, namun demikian patut disyukuri bahwa RUU KUHP tersebut
selalu di gojlog supaya mendapatkan aturan yang ideal sesuai dengan jiwa bangsa
Indonesia. Tentu dari aspek politik hukum pidana pembaharuan hukum pidana yang
saat ini dipegang haruslah segera di goal-kan, disamping memang masih banyak
kekurang dan harus terus menerus diperlukan kajian mendalam terhadap KUHP yang
lama itu dipilah sesuai dengan nilai-nilai filosofi Pancasila dan ke-Indonesia-an
lainnya yang hidup dimasyarakat dan tentunya di kodifikasi kedalam RUU KUHP.
Disamping itu pula perlu diperhatikan nilai-nilai yang hidup dan berkembang di
Merujuk kepada pendapat Barda Nawawi Arief menyebutkan bahwa terdapat 2 (dua)
pertama yaitu dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan dan yang kedua
yaitu menggunakan pendekatan yang berorientasi pada nilai. Politik hukum pada
Usaha pembaharuan hukum pidana supaya didasarkan pada politik hukum pidana dan
dewasa ini dan pada masa yang akan datang sehingga dapat berkomunikasi dengan
perkembangan hukum dalam dunia maju. Selain itu politik hukum pidana juga harus
menjadi bagian dari upaya peninjauan dan penilaian kembali pokok-pokok pemikiran
atau nilai-nilai sosio filosofis, sosio politik dan sosio kultural yang melandasi
Jangan sampai pembaharuan hukum dalam RUU KUHP masih kental dengan
orientasi nilai yang diajarkan oleh hukum warisan penjajah. Dengan demikian pada
masa yang akan datang harus berorientasi pada kebijakan dengan menggunakan
pendekatan orientasi nilai yaitu sesuai volks geist Indonesia bersumber dari pada
pembuatan RUU KUHP secara nasional, maka nilai-nilai Pancasila harus meresap
mengkristal dalam Pasal-Pasal RUU KUHP terebut. Sehubungan dengan ini penulis
sosiologis, politis, dan praktis semata akan tetapi secara sadar harus disusun
b. Hukum pidana pada masa yang akan datang tidak boleh mengabaikan aspek-
aspek yang berkaitan dengan kondisi manusia, alam dan budaya Indonesia
c. Hukum pidana mendatang harus dapat menyesuaikan diri dengan
perhatian lebih pada masa ini dan yang akan datang. Karena sebagian besar
d. Hukum pidana pada masa mendatang harus mengakui bahwa sistem peradilan
pidana, politik kriminal dan politik penegakan hukum adalah bagian dari
politik sosial, mengingat bahwa sifat yang keras dari sistem peradilan pidana
padahal salah satu tujuan pemidaan sesuai asasnya yaitu remidium ultimum
bersifat preventif.
e. Hukum pidana dan sistem peradilan pidana pada dasarnya merupakan bagian
dari sistem yang besar, yaitu menjadi sistem politik, ekonomi, sosial budaya,
dengan bagan huruf c. Kedudukan hukum pidana sebagai pusat variable oleh
karena itu perlu ditonjolkan mengenai keberadaan hukum pidana yang selalu
Pasal 1 ayat (1) KUHP: “Tiada suatu perbuatan dapat di pidana, kecuali atas kekuatan aturan
pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan” Dalam
hukum pidana, dikenal asas legalitas, yakni asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan
yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam
undang-undang. Dalam bahasa latin, dikenal sebagai Nullum delictum nulla poena sine
praevia lege poenalli yang artinya lebih kurangnya adalah tidak ada delik, tidak ada pidana
tanpa peraturan terlebih dahulu. Asas ini di masa kini lebih sering diselaraskan dengan asas
non retroaktif, atau asas bahwa peraturan perundang-undangan tidak boleh berlaku surut.
Secara mudah, asas ini menyatakan bahwa tidak dipidana kalau belum ada aturannya. Syarat
pertama untuk menindak terhadap suatu perbuatan yang tercela, yaitu adanya suatu ketentuan
dalam undang-undang pidana yang merumuskan perbuatan tercela itu dan memberikan suatu
sanksi terhadapnya. Kalau, misalnya seseorang suami yang menganiaya atau mengancam
akan menganiaya istrinya untuk memaksa bersetubuh tidak dapat dipidana menurut KUHP
yang berlaku. Sebab Pasal 285 KUHP (Pasal 242 Wetboek van Strafrecht/Sr) hanya
mengancam perkosaan “di luar pernikahan”. Syarat tersebut di atas bersumber dari asas
legalitas.
Ucapan nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenalli ini berasal dari Anselm von
Feuerbach, sarjana hukum pidana Jerman (1775-1833). Dialah yang merumuskannya dalam
pepatah latin tadi dalam bukunya: “Lehrbuch des peinlichen Recht” (1801). Dalam kaitannya
dengan fungsi asas legalitas yang bersifat memberikan perlindungan kepada undang undang
pidana, dan fungsi instrumental, istilah tersebut dibagi menjadi tiga yaitu:
a) Nulla poena sine lege: tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-
undang;
b) Nulla poena sine crimine: tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana;
c) Nullum crimen sine poena legalli: tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut
undang-undang.
Di dalam hukum romawi kuno, yang memakai bahasa latin, tidak dikenal pepatah ini; juga
asas legalitas tidak dikenal. Dalam sebuah karangan dalam : Tijdschrift v. Strafrecht dalam
halaman 337 dikatakan bahwa di zaman Romawi itu dikenal kejahatan yang dinamakan
criminal extra ordinaria, artinya kejahatan-kejahatan yang tidak disebut dalam Undang-
Undang. Di antara crimina extra ordinaria ini yang sangat terkenal adalah crimina
stellionatus, yang letterlijk artinya: perbuatan jahat, durjana. Jadi tidak ada ditentukan
perbuatan berupa apa yang dimaksud di situ. Sewaktu hukum Romawi kuno itu diterima di
Eropa Barat dalam abad Pertengahan, sebagaimana halnya kita dalam jaman penjajahan,
meresipier hukum Belanda) maka pengertian tentang crimina extra ordinaria ini diterima pula
oleh raja-raja yang berkuasa. Dan dengan adanya crimina extra ordinaria ini lalu diadakan
kehendak dan kebutuhan raja sendiri. Sebagai puncak reaksi terhadap sistim absolutisme raja-
raja yang berkuasa tersebut, yang dinamakan zaman Ancien Regime, maka di situlah timbul
pikiran tentang harus ditentukan dalam peraturan terlebih dahulu (Prof. Moeljatno
mempergunakan istilah wet) perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana, agar warga lebih
dahulu bisa tahu dan tidak akan melakukan perbuatan tersebut. Menurut Montesquieu dalam
bukunya “L’esprit des Lois” (1748, dan JJ Rousseau “Dus Contrat Social” (1762), pertama
tama dapat diketemukan pemikiran tentang asas legalitas ini. Asas ini, diadopsi dalam
(1789), semacam undang-undang dasar pertama yang dibentuk dalam tahun pecahnya
Revolusi Perancis. Bunyinya: Tidak ada sesuatu yang boleh dipidana selain karena suatu
peraturan yang ditetapkan dalam undang-undang dan diundangkan secara sah. Dari peraturan
tersebut, asas ini dimasukkan dalam Pasal 4 Penal Code di Perancis, di bawah pemerintahan
Napoleon (1801). Dan dari sinilah asas ini dikenal di Belanda karena penjajahan Napoleon,
sehingga mendapat tempat dalam Wetboek van Strafrecht Nederland 1881, Pasal 1 dan
kemudian karena adanya asas konkordansi, antara Nederland Indie (Indonesia) dan
Nederland, masuklah ke dalam pasal 1 Wetboek van Strafrecht Nederland Indie 1918.
Perumusan asas legalitas dari von Feurbach dalam bahasa latin tersebut dikemukakan
sehubungan dengan teori vom psychologischen zwang, yaitu yang menganjurkan supaya
dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang di dalam peraturan bukan saja tentang
macam perbuatan yang dituliskan dengan jelas, tetapi juga tentang macam pidana yang
dikenakan. Dengan cara demikian ini, maka setiap orang yang akan melakukan perbuatan
yang dilaran tersebut terlebih dahulu telah mengetahui pidana apa yang akan dijatuhkan
kepadanya jika nanti perbuatan itu dilakukan. Dengan demikian, dalam hatinya, lalu terdapat
suatu kesadaran atau tekanan untuk tidak berbuat hal tersebut. Dan kalau akhirnya perbuatan
tadi tetap dilakukan, maka apabila pelaku dijatuhi hukuman atas perbuatan pidana tersebut,
dapat dianggap pelaku telah mneyetujuinya. Jadi, pendirian von Feuerbach mengenai pidana
ialah pendirian yang tergolong absolut. Sama halnya dengan teori pembalasan (retribution).
Pasal 1 Kitab Undang undang hukum pidana menjelaskan kepada kita bahwa:
Suatu perbuatan dapat dipidana kalau termasuk ketentuan pidana menurut undang-
undang. Oleh karena itu pemidanaan berdasarkan hukum tidak tertulis tidak
dimungkinkan;
Ketentuan pidana itu harus lebih dahulu ada daripada perbuatan itu, dengan kata lain,
ketentuan pidana itu harus sudah berlaku ketika perbuatan itu dilakukan. Oleh karena
itu ketentuan tersebut tidak berlaku surut (asas non retroaktif), baik mengenai
Pasal 1 ayat (2) KUHP membuat pengecualian atas ketentuan tidak berlaku surut
pemberlakuan hukum pidana yang baru (meskipun berlaku surut) dapat dilaksanakan.
Sesuai dengan jiwa pasal 1 KUHP, disyaratkan juga bahwa ketentuan undang-undang harus
dirumuskan secermat mungkin. Ini dinamakan asas lex certa. Undang-undang harus
membatasi dengan tajam dan jelas wewenang pemerintah terhadap rakyat (lex certa: undang-
undang yang dapat dipercayai). Pengertian dasar pasal 1 KUHP juga berkaitan dengan jiwa
pasal 3 KUHP: hukum pidana harus diwujudkan dengan prosedur yang memadai dan dengan
jaminan hukum.
Satochid Kertanegara dalam buku Hukum Pidana (kumpulan bahan kuliah) menyatakan
bahwa dengan adanya Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut di atas, maka KUHP tidak dapat
1. KUHP tidak dapat berlaku surut, ini adalah asas yang pertama. Adapun rasionya
adalah bahwa KUHP harus bersumber pada peraturan tertulis (asas non retroaktif);
Jadi hukum pidana tidak boleh bersumber pada hukum adat, atau hukum tidak tertulis
lainnya. Lain dengan hukum perdata dimana hukum adat masih menjadi salah satu sumber
hukum. Hal ini bertentangan dengan pendapat Prof. Moeljatno yang menyatakan bahwa
hukum pidana adat itu masih berlaku walaupun hanya untuk orang-orang tertentu dan
Jadi dengan meninjau ketentuan seperti yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) dimana tekanan
diletakkan pada perkataan “sebelumnya”, ini menunjukkan bahwa hukum pidana tidak dapat
berlaku surut. Namun asas ini bukan merupakan asas yang mutlak. Sebagaimana telah
disampaikan dalam buah pemikiran Prof. Moeljatno diatas, senada dengan itu, Prof. Satochid
Kartanegara juga menyampaikan bahwa terhadap asas non retroaktif ini, terdapat
pengecualian dalam Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi: Jika sesudah perbuatan dilakukan ada
perubahan dalam perundang-undangan, dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa.
Dari aturan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa ayat ini memungkinkan
secara surut (asas retroaktif), sepanjang, undang-undang yang baru ini lebih menguntungkan
terdakwa/tersangka. Untuk memahami aturan ayat (2) ini, pertama-tama harus dipahami apa
perubahan yang terjadi setelah seseorang melakukan perbuatan yang dilarang, dan diancam
dengan hukuman oleh undang-undang, dan apabila undang-undang yang baru ini lebih
menguntungkan daripada undang-undang yang lama maka undang-undang yang baru itu
harus diperlakukan kepada dirinya. Jadi singkatnya, KUHP boleh diperlakukan surut apabila:
· Perubahan ini terjadi setelah seseorang melakukan perbuatan yang dilarang dan
Berlakunya asas legalitas seperti diuraikan di atas memberikan sifat perlindungan kepada
kekuasaan yang tanpa batas dari pemerintah. Ini dinamakan fungsi melindungi dari undang-
mempunyai fungsi instrumental yaitu di dalam batas-batas yang ditentukan oleh undang-
undang, pelaksanaan kekuasaan oleh pemerintah secara tegas diperbolehkan. Asas legalitas
pidana dan merupakan ajaran paksaan psikologis. Undang-undang pidana diperlukan untuk
memaksa rakyat berbuat menurut hukum dengan mengancamkan pidana terhadap perbuatan
yang melawan hukum. Tetapi agar ancaman pidana itu mempunyai efek, tiap-tiap pelanggar
landasar syarat keadilan, yaitu asas persamaan, adalah tidak adil dalam keadaan yang sama
memidana pelanggar undang-undang yang satu sedangkan yang lain tidak dipidana. Dalam
arti keharusan menuntut pidana, asas legalitas mempunyai banyak pengikut terutama di
Jerman, di mana sejak akhir abad yang lalu titik tolak dari tindakan yustisial yaitu setiap
pelanggaran undang-undang harus dituntut. Ini berlaku juga di beberapa negara lain.
Sebaliknya, di perancis, belgia, dan khususnya di belanda, diikuti asas oportunitas, yang
untuk menuntut semua perbuatan pidana. Karena alasan-alasan oportunitas penuntutan itu,
dapat juga diabaikan (lihat pasal 167 dan 242 Sv). Cacat-cacat dalam penerapan asas legalitas
ini karena adanya pertentangan anatara fungsi instrumental dan fungsi melindungi.
melindungi dikurangi. Syarat-syarat perlindungan hukum kepada rakyat tidak boleh mengikat
pemerintah sedemikian rupa sehingga menghalangi tugas penuntutan pidana yang efektif.
Harus ada penimbangan kepentingan. Dalam hal ini kita berada di lapangan politik hukum
kriminal.
dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang. Pengertian yang pertama
tersebut di atas, bahwa harus ada aturan udang-undang jadi aturan hukum yang tertulis
terlebih dahulu, jelas tampak dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, dimana dalam teks Belanda
hukum adat lalu tidak dapat dipidana, sebab di situ tidak ditentukan dengan aturan yang
tertulis.
· Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi/kiyas. Asas
bahwa dalam menentukan ada atau tidaknya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi
(kiyas) pada umumnya masih dipakai oleh kebanyakan negara-negara. Di Indonesia dan di
belanda pada umunya masih diakui prinsip ini, meskipun ada juga beberapa ahli yang tidak
dapat menyetujui hal ini, misalnya Taverne, Pompe dan Jonkers. Prof. Scholter menolak
adanya perbedaan antara analogi dan tafsiran ekstensif, yang nyata-nyata diperbolehkan.
Menurut pendapatnya, baik dalam hal penafsiran ekstensif, maupun dalam analogi dasarnya
adalah sama, yaitu dicoba untuk menemukan norma-norma yang lebih tinggi (lebih umum
atau lebih abstrak) daripada norma yang ada. Penerapan undang-undang berdasarkan analogi
ini berarti penerapan suatu ketentuan atas suatu kasus yang tidak termasuk di dalamnya.
Penerapan berdasarkan analogi dari ketentuan pidana atas kejadian-kejadian yang tidak
diragukan patut diidana, akan tetapi tidak termasuk undang-undang pidana memang pernah
dilakukan.
· Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut. Tiada suatu perbuatan dapat dipidana
kecuali ada ketentuan pidana menurut undang-undang yang telah ada sebelumnya, semikian
pasal 1 ayat (1) KUHP. Ayat (2) pasal tersebut memberikan pengecualian sebagaimana telah
kita bahas diatas. Peraturan ini berlaku untuk seluruh proses perkara. Dengan kata lain, kalau
dalam waktu antara putusan tingkat pertama dan tingkat banding, atau antara banding dengan
Negeri, Pengadilan Tinggi dan MA harus menerapkan Pasal 1 ayat (2) KUHP. Ingat, larangan
kekuatan surut hanya berlaku untuk ketentuan pidana. Tidak untuk peraturan yurisdiksi
kebiasaan terdapat pada blanket norm seperti dalam pasal 282 KUHP, dan beberapa
delik omisi di mana tidak berbuat dapat dipidana. Penunjukan secara eksplisit ke
kebiasaan terdapat dalam Pasal 8 Wet Oorlogsstrafrecht 1950 (UU Hukum Pidana
asas lex-certa.
· Tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas (syarat lex certa). Syarat lex
dan
kewenangannya.
Namun tidak mungkin untuk merumuskan semua kelakuan yang patut dipidana secara cermat
masyarakat, juga ditentukan berdasarkan kebiasaan yang berlaku disitu. Walaupun demikian,
orang berhak untuk bertanya, apakah pembuat undang-undang dengan pasal 8 Wet
pidana selama diizinkan oleh pembentuk undang-undang formal. Tetapi tidak boleh
menciptakan pidana lain daripada yang telah diatur dan ditentukan oleh undang-
undang dalam artian formal. Hakim juga tidak diperbolehkan menjatuhkan pidana
lain daripada yang telah ditentukan oleh undang-undang. Meskipun demikian, pasal
14a KUHP memberikan wewenang kepada hakim untuk menetapkan syarat khusus
Penuntutan pidana adalah seluruh proses pidana, mulai dari pengusutan sampai
yang berwenang dalam hal ini menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini
dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.