Anda di halaman 1dari 16

UJIAN KUALIFIKASI

PROGRAM STUDI DOKTOR (S3) ILMU HUKUM

PASCA SARJANA UNIVERSITAS PASUNDAN

TAHUN AKADEMIK 2020/2021

Materi : BIDANG ILMU HUKUM

Dosen : Prof. DR. Romli Atmasasmita, S.H., LLM

Disusun oleh :

ADEN DAHRI, S.H, M.k.n

NPM : 209030021

S3 HUKUM

FAKULTAS HUKUM

JURUSAN DOKTOR ILMU HUKUM

UNIVERSITAS PASUNDAN

BANDUNG

2021
Pasal 1.: Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana

dalam undang, yang ada terdahulu dari pada perbuatan itu.

(2) Jikalau undang-undang diubah, setelah perbuatan itu dilakukan, maka kepada tersangka

dikenakan ketentuan yang menguntungkan baginya.

Pasal 1 (1) K.U.H.P. ini merupakan perundang-undangan hukum pidana modern yang

menuntut, bahwa ketentuan pidana harus ditetapkan dalam undang yang syah, yang berarti

bahwa larangan-larangan menurut adat tidak berlaku untuk menghukum orang, selanjutnya

menuntut pula, bahwa ketentuan pidana daiam undang tidak dapat dikenakan kepada

perbuatan yang telah dilakukan sebelum ketentuan pidana dalam undang-undang itu

diadakan, yang berarti, bahwa undang-undang tidak mungkin berlaku surut (mundur). ,

„Nullum delictum sine praevia lege poenali", artinya: Peristiwa pidana tidak akan ada, jika

ketentuan pidana dalam undang-undang tidak ada terlebih dahulu". Dengan adanya ketentuan

ini, dalam menghukum orang hakim terikat oleh undang sehingga terjaminlah hak

kemerdekaan diri pribadi orang.

Pertanyaan

1. Bagaimana pendapat Sdr atas rancangan ketentuan tersebut dari sudut teori hukum

Jawaban :

Ketentuan pada alur pertanyaan diatas sudah masyhur pada hukum pidana disebut

asas legalitas. Hakikatnya asas legalitas menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang

dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam

perundang-undangan. Selama ini Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

menentukan bahwa satu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali perbuatan tersebut

sudah tertulis dalam perundang-undangan.


Dalam konteks Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP)

sebetulnya masih mempertahankan asas legalitas sebagai asas fundamental.

Ditunjukan dengan masih diaturnya Pasal 1 ayat (1) berbunyi sama dengan KUHP

yang saat ini masih digunakan. Selanjutnya ayat (2) dari pasal tersebut pun

menentukan bahwa dalam penetapan tindak pidana dilarang/ tidak boleh

menggunakan analogi.

Dalam perkembangannya asas legalitas yang ditemui pada RUU KUHP mengalami

perluasan. Dilihat dari Pasal 1 ayat (3) yang menentukan bahwa menunjuk kepada

pelaksanaan ayat (1) menyatakan bahwa pelaksanaan asas legalitas tidak mengurangi

berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seorang

patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam undang-undang.

Selanjutnya di pasal (4) menentukan bahwa berlakunya hukum yang hidup dalam

masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai

Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat.

Dengan adanya ketentuan Pasal 1 ayat (3) dan ayat (4) RUU KUHP tersebut maka

seseorang dapat dituntut dan dipidana atas dasar hukum yang hidup di masyarakat

meskipun perbuatan tersebut tidak dilarang dalam perundang-undangan. Bisa diliat

dari penjelasan Pasal 1 ayat (3) bahwa diatas perancang RUU KUHP memperhatikan

hukum adat yang ada di masyarakat, atas dasar hukum pidana adat supaya lebih

diakui maka RUU KUHP mencantumkan eksistensi berlakunya hukum pidana adat.

Diakuinya pidana adat dirasa untuk lebih memenuhi teori asas keadilan hukum yang

hidup di dalam masyarakat tertentu. Perluasan asas legalitas tersebut menggambarkan

adanya pertentangan antara ketentuan Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) dengan ayat 3 dan

ayat (4) RUU KUHP.


Pertentangan tersebut dilihat dari Pasal 1 ayat (1) menghendaki adanya peraturan

sebelum tindakan yang dianggap melanggar hukum itu terjadi. Dengan demikian

ketentuan ini menghendaki adanya teori kepastian hukum didalamnya. Sedangkan

ketentuan Pasal 1 ayat (3) mengesampingkan teori kepastian hukum dengan

mengedepankan teori keadilan (namun keadilan tersebut hanya dapat dirasa di

kalangan masyarakat tertentu). Di satu sisi melalui asas legalitas dalam Pasal 1 ayat

(1) hukum pidana menghendaki aturan yang tertulis dan cermat, pada bagian ini yang

digunakan ialah positivisme hukum. Sementara hukum yang hidup (living law) di

masyarakat bersifat tidak tertulis.

Implikasinya jika dihubungkan dengan teori dari Friedmann yang mengatakan bahwa

keberhasilan hukum itu berasal dari 3 aspek yang satu sama lain saling memenuhi

yaitu substansi hukum, penegak hukum dan budaya hukum maka ketiganya tidak

boleh kosong/ ada celah keterbatasan kewenangan. Artinya pada pelaksanaan ayat (3)

dan ayat (4) penulis menilai adanya keterbatasan kewenangan dan ketidakjelasan

tugas pokok fungsi bagi penegak hukum. Karena seyogyanya pelaksanaan pidana adat

sudah barang tentu yang menjalankan adalah kepala adat dan perangkatnya. Penegak

hukum ditingkat nasional seperti hakim, jaksa, polisi tidak mampu menyentuh kearah

sana.

Larangan penggunaan analogi dalam Pasal 1 ayat (2) juga kontradiktif dengan

ketentuan Pasal 1 ayat (3). Larangan penggunaan analogi dalam menetapkan adanya

tindak pidana merupakan konsekuensi dari penggunaan asas legalitas. Penafsiran

analogi berarti bahwa terhadap suatu perbuatan yang pada waktu dilakukan tidak

merupakan suatu tindak pidana, tetapi terhadapnya diterapkan ketentuan pidana yang

berlaku untuk tindak pidana lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang sama,

karena kedua perbuatan tersebut dipandang analogi satu dengan yang lain.
2. Bagaimana pendapat Sdr dari aspek politik hukum pidana nasional yang akan datang

Jawaban :

Sebetulnya Indonesia sejak merdeka sudah menyadari mengenai urgensinya

pembaharuan hukum pidana dari peninggalan kolonial menuju hukum pidana yang

sesuai dengan kebutuhan dan kesadaran hukum pada masyarakat Indonesia. Langkah

pertama memang untuk mengisi kekosongan hukum masih diberlakukan KUHP

dengan diterbitkannya UU No.1 Tahun 1946. Lalu gagasan awal pembaharuan hukum

telah digemakan pada tahun 1960-an melalui seminar hukum nasional I. Silih berganti

sampai saat ini tim bentukan kemenkumham bekerja kerjas, akan tetapi ada satu titik

noda kurangnya political will dari pemerintah dan lembaga legislatif RUU KUHP

belum bisa disahkan, namun demikian patut disyukuri bahwa RUU KUHP tersebut

selalu di gojlog supaya mendapatkan aturan yang ideal sesuai dengan jiwa bangsa

Indonesia. Tentu dari aspek politik hukum pidana pembaharuan hukum pidana yang

saat ini dipegang haruslah segera di goal-kan, disamping memang masih banyak

kekurang dan harus terus menerus diperlukan kajian mendalam terhadap KUHP yang

lama itu dipilah sesuai dengan nilai-nilai filosofi Pancasila dan ke-Indonesia-an

lainnya yang hidup dimasyarakat dan tentunya di kodifikasi kedalam RUU KUHP.

Disamping itu pula perlu diperhatikan nilai-nilai yang hidup dan berkembang di

masyarakat Internasional yang beradab.

Merujuk kepada pendapat Barda Nawawi Arief menyebutkan bahwa terdapat 2 (dua)

pendekatan dalam pelaksanaan pembaharuan hukum khususnya hukum pidana, yang

pertama yaitu dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan dan yang kedua

yaitu menggunakan pendekatan yang berorientasi pada nilai. Politik hukum pada

hakikatnya merupakan upaya untuk mengadakan reorientasi dan reformasi hukum


sekaligus birokrasinya sesuai dengan nilai-nilai pusat sosio- politik, sosio- filosofis

dan sosio – kultur masyarakat Indonesia.

Usaha pembaharuan hukum pidana supaya didasarkan pada politik hukum pidana dan

politik kriminal yang mencerminkan aspirasi nasional serta kebutuhan masyarakat

dewasa ini dan pada masa yang akan datang sehingga dapat berkomunikasi dengan

perkembangan hukum dalam dunia maju. Selain itu politik hukum pidana juga harus

menjadi bagian dari upaya peninjauan dan penilaian kembali pokok-pokok pemikiran

atau nilai-nilai sosio filosofis, sosio politik dan sosio kultural yang melandasi

kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum pidana selama ini .

Jangan sampai pembaharuan hukum dalam RUU KUHP masih kental dengan

orientasi nilai yang diajarkan oleh hukum warisan penjajah. Dengan demikian pada

masa yang akan datang harus berorientasi pada kebijakan dengan menggunakan

pendekatan orientasi nilai yaitu sesuai volks geist Indonesia bersumber dari pada

Pancasila yang merupakan landasan bernegara kita.

Dalam hubungannya dengan pembaharuan hukum pidana di Indonesia khususnya

pembuatan RUU KUHP secara nasional, maka nilai-nilai Pancasila harus meresap

mengkristal dalam Pasal-Pasal RUU KUHP terebut. Sehubungan dengan ini penulis

mengembangkan pendapat Muladi yaitu tentang karakteristik pemberlakuan hukum

pidana dimasa yang akan datang sebagai berikut :

a. Hukum pidana nasional mendatang dibentuk tidak hanya sekedar alasan

sosiologis, politis, dan praktis semata akan tetapi secara sadar harus disusun

dalam kerangka ideologi Pancasila

b. Hukum pidana pada masa yang akan datang tidak boleh mengabaikan aspek-

aspek yang berkaitan dengan kondisi manusia, alam dan budaya Indonesia
c. Hukum pidana mendatang harus dapat menyesuaikan diri dengan

kecenderungan universal yang semakin tumbuh dalam pergaulan masyarakat

beradab (penganturan teknologi informasi) yang tentunya membutuhkan

perhatian lebih pada masa ini dan yang akan datang. Karena sebagian besar

aktivitas masyarakat saat ini menggunakan teknologi informasi

d. Hukum pidana pada masa mendatang harus mengakui bahwa sistem peradilan

pidana, politik kriminal dan politik penegakan hukum adalah bagian dari

politik sosial, mengingat bahwa sifat yang keras dari sistem peradilan pidana

padahal salah satu tujuan pemidaan sesuai asasnya yaitu remidium ultimum

sebetulnya bersifat pencegahan karena usaha terakhir. Maka hukum pidana

mendatang harus memikirkan dan menyiapkan regulasi dari aspek-aspek yang

bersifat preventif.

e. Hukum pidana dan sistem peradilan pidana pada dasarnya merupakan bagian

dari sistem yang besar, yaitu menjadi sistem politik, ekonomi, sosial budaya,

pertahanan keamanan dan sistem ilmu pengetahuan dan teknologi. Selaras

dengan bagan huruf c. Kedudukan hukum pidana sebagai pusat variable oleh

karena itu perlu ditonjolkan mengenai keberadaan hukum pidana yang selalu

tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi guna

peningkatan fungsinya di masyarakat.

Pasal 1 ayat (1) KUHP: “Tiada suatu perbuatan dapat di pidana, kecuali atas kekuatan aturan

pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan” Dalam

hukum pidana, dikenal asas legalitas, yakni asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan

yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam

undang-undang. Dalam bahasa latin, dikenal sebagai Nullum delictum nulla poena sine

praevia lege poenalli yang artinya lebih kurangnya adalah tidak ada delik, tidak ada pidana
tanpa peraturan terlebih dahulu. Asas ini di masa kini lebih sering diselaraskan dengan asas

non retroaktif, atau asas bahwa peraturan perundang-undangan tidak boleh berlaku surut.

Secara mudah, asas ini menyatakan bahwa tidak dipidana kalau belum ada aturannya. Syarat

pertama untuk menindak terhadap suatu perbuatan yang tercela, yaitu adanya suatu ketentuan

dalam undang-undang pidana yang merumuskan perbuatan tercela itu dan memberikan suatu

sanksi terhadapnya. Kalau, misalnya seseorang suami yang menganiaya atau mengancam

akan menganiaya istrinya untuk memaksa bersetubuh tidak dapat dipidana menurut KUHP

yang berlaku. Sebab Pasal 285 KUHP (Pasal 242 Wetboek van Strafrecht/Sr) hanya

mengancam perkosaan “di luar pernikahan”. Syarat tersebut di atas bersumber dari asas

legalitas.

Sejarah Asas Legalitas

Ucapan nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenalli ini berasal dari Anselm von

Feuerbach, sarjana hukum pidana Jerman (1775-1833). Dialah yang merumuskannya dalam

pepatah latin tadi dalam bukunya: “Lehrbuch des peinlichen Recht” (1801). Dalam kaitannya

dengan fungsi asas legalitas yang bersifat memberikan perlindungan kepada undang undang

pidana, dan fungsi instrumental, istilah tersebut dibagi menjadi tiga yaitu:

a) Nulla poena sine lege: tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-

undang;

b) Nulla poena sine crimine: tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana;

c) Nullum crimen sine poena legalli: tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut

undang-undang.

Di dalam hukum romawi kuno, yang memakai bahasa latin, tidak dikenal pepatah ini; juga

asas legalitas tidak dikenal. Dalam sebuah karangan dalam : Tijdschrift v. Strafrecht dalam

halaman 337 dikatakan bahwa di zaman Romawi itu dikenal kejahatan yang dinamakan
criminal extra ordinaria, artinya kejahatan-kejahatan yang tidak disebut dalam Undang-

Undang. Di antara crimina extra ordinaria ini yang sangat terkenal adalah crimina

stellionatus, yang letterlijk artinya: perbuatan jahat, durjana. Jadi tidak ada ditentukan

perbuatan berupa apa yang dimaksud di situ. Sewaktu hukum Romawi kuno itu diterima di

Eropa Barat dalam abad Pertengahan, sebagaimana halnya kita dalam jaman penjajahan,

meresipier hukum Belanda) maka pengertian tentang crimina extra ordinaria ini diterima pula

oleh raja-raja yang berkuasa. Dan dengan adanya crimina extra ordinaria ini lalu diadakan

kemungkinan untuk menggunakan hukum pidana itu secara sewenang-wenang menurut

kehendak dan kebutuhan raja sendiri. Sebagai puncak reaksi terhadap sistim absolutisme raja-

raja yang berkuasa tersebut, yang dinamakan zaman Ancien Regime, maka di situlah timbul

pikiran tentang harus ditentukan dalam peraturan terlebih dahulu (Prof. Moeljatno

mempergunakan istilah wet) perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana, agar warga lebih

dahulu bisa tahu dan tidak akan melakukan perbuatan tersebut. Menurut Montesquieu dalam

bukunya “L’esprit des Lois” (1748, dan JJ Rousseau “Dus Contrat Social” (1762), pertama

tama dapat diketemukan pemikiran tentang asas legalitas ini. Asas ini, diadopsi dalam

undang-undang adalah dalam pasal 8 “Declaration des Droits de l’homme et du citoyen”

(1789), semacam undang-undang dasar pertama yang dibentuk dalam tahun pecahnya

Revolusi Perancis. Bunyinya: Tidak ada sesuatu yang boleh dipidana selain karena suatu

peraturan yang ditetapkan dalam undang-undang dan diundangkan secara sah. Dari peraturan

tersebut, asas ini dimasukkan dalam Pasal 4 Penal Code di Perancis, di bawah pemerintahan

Napoleon (1801). Dan dari sinilah asas ini dikenal di Belanda karena penjajahan Napoleon,

sehingga mendapat tempat dalam Wetboek van Strafrecht Nederland 1881, Pasal 1 dan

kemudian karena adanya asas konkordansi, antara Nederland Indie (Indonesia) dan

Nederland, masuklah ke dalam pasal 1 Wetboek van Strafrecht Nederland Indie 1918.

Perumusan asas legalitas dari von Feurbach dalam bahasa latin tersebut dikemukakan
sehubungan dengan teori vom psychologischen zwang, yaitu yang menganjurkan supaya

dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang di dalam peraturan bukan saja tentang

macam perbuatan yang dituliskan dengan jelas, tetapi juga tentang macam pidana yang

dikenakan. Dengan cara demikian ini, maka setiap orang yang akan melakukan perbuatan

yang dilaran tersebut terlebih dahulu telah mengetahui pidana apa yang akan dijatuhkan

kepadanya jika nanti perbuatan itu dilakukan. Dengan demikian, dalam hatinya, lalu terdapat

suatu kesadaran atau tekanan untuk tidak berbuat hal tersebut. Dan kalau akhirnya perbuatan

tadi tetap dilakukan, maka apabila pelaku dijatuhi hukuman atas perbuatan pidana tersebut,

dapat dianggap pelaku telah mneyetujuinya. Jadi, pendirian von Feuerbach mengenai pidana

ialah pendirian yang tergolong absolut. Sama halnya dengan teori pembalasan (retribution).

Arti Pasal 1 KUHP

Pasal 1 Kitab Undang undang hukum pidana menjelaskan kepada kita bahwa:

 Suatu perbuatan dapat dipidana kalau termasuk ketentuan pidana menurut undang-

undang. Oleh karena itu pemidanaan berdasarkan hukum tidak tertulis tidak

dimungkinkan;

 Ketentuan pidana itu harus lebih dahulu ada daripada perbuatan itu, dengan kata lain,

ketentuan pidana itu harus sudah berlaku ketika perbuatan itu dilakukan. Oleh karena

itu ketentuan tersebut tidak berlaku surut (asas non retroaktif), baik mengenai

ketetapan dapat dipidana maupun sanksinya.

 Pasal 1 ayat (2) KUHP membuat pengecualian atas ketentuan tidak berlaku surut

untuk kepentingan terdakwa. Jadi, sepanjang menguntungkan terdakwa, maka

pemberlakuan hukum pidana yang baru (meskipun berlaku surut) dapat dilaksanakan.
Sesuai dengan jiwa pasal 1 KUHP, disyaratkan juga bahwa ketentuan undang-undang harus

dirumuskan secermat mungkin. Ini dinamakan asas lex certa. Undang-undang harus

membatasi dengan tajam dan jelas wewenang pemerintah terhadap rakyat (lex certa: undang-

undang yang dapat dipercayai). Pengertian dasar pasal 1 KUHP juga berkaitan dengan jiwa

pasal 3 KUHP: hukum pidana harus diwujudkan dengan prosedur yang memadai dan dengan

jaminan hukum.

Satochid Kertanegara dalam buku Hukum Pidana (kumpulan bahan kuliah) menyatakan

bahwa dengan adanya Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut di atas, maka KUHP tidak dapat

berlaku surut. Hal ini berarti bahwa:

1. KUHP tidak dapat berlaku surut, ini adalah asas yang pertama. Adapun rasionya

adalah bahwa KUHP harus bersumber pada peraturan tertulis (asas non retroaktif);

2. KUHP harus bersumber pada peraturan tertulis.

Jadi hukum pidana tidak boleh bersumber pada hukum adat, atau hukum tidak tertulis

lainnya. Lain dengan hukum perdata dimana hukum adat masih menjadi salah satu sumber

hukum. Hal ini bertentangan dengan pendapat Prof. Moeljatno yang menyatakan bahwa

hukum pidana adat itu masih berlaku walaupun hanya untuk orang-orang tertentu dan

sementara saja. Dasarnya adalah Pasal 14 ayat 2 UUD Sementara.

Jadi dengan meninjau ketentuan seperti yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) dimana tekanan

diletakkan pada perkataan “sebelumnya”, ini menunjukkan bahwa hukum pidana tidak dapat

berlaku surut. Namun asas ini bukan merupakan asas yang mutlak. Sebagaimana telah

disampaikan dalam buah pemikiran Prof. Moeljatno diatas, senada dengan itu, Prof. Satochid

Kartanegara juga menyampaikan bahwa terhadap asas non retroaktif ini, terdapat

pengecualian dalam Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi: Jika sesudah perbuatan dilakukan ada

perubahan dalam perundang-undangan, dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa.
Dari aturan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa ayat ini memungkinkan

memperlakukan KUHP secara surut, pada umumnya untuk memperlakukan undang-undang

secara surut (asas retroaktif), sepanjang, undang-undang yang baru ini lebih menguntungkan

terdakwa/tersangka. Untuk memahami aturan ayat (2) ini, pertama-tama harus dipahami apa

yang dimaksudkan dengan perubahan di dalam undang-undang. Perubahan dimaksud adalah

perubahan yang terjadi setelah seseorang melakukan perbuatan yang dilarang, dan diancam

dengan hukuman oleh undang-undang, dan apabila undang-undang yang baru ini lebih

menguntungkan daripada undang-undang yang lama maka undang-undang yang baru itu

harus diperlakukan kepada dirinya. Jadi singkatnya, KUHP boleh diperlakukan surut apabila:

· Dilakukan perubahan undang-undang;

· Perubahan ini terjadi setelah seseorang melakukan perbuatan yang dilarang dan

diancam dengan hukuman oleh undang-undang, akan tetapi sebelum dijatuhkan

hukuman terhadap perbuatan tersebut;

· Undang-undang yang baru terlebih menguntungkan bagi si tersangka, daripada

undang-undang yang lama.

Berlakunya asas legalitas seperti diuraikan di atas memberikan sifat perlindungan kepada

undang-undang pidana: undang-undang pidana melindungi rakyat terhadap pelaksanaan

kekuasaan yang tanpa batas dari pemerintah. Ini dinamakan fungsi melindungi dari undang-

undang pidana. Disamping fungsi melindungi tersebut, undang-undang pidana juga

mempunyai fungsi instrumental yaitu di dalam batas-batas yang ditentukan oleh undang-

undang, pelaksanaan kekuasaan oleh pemerintah secara tegas diperbolehkan. Asas legalitas

ada hubungannya dengan fungsi instrumental dari undang-undang pidana tersebut.

Asas Legalitas atau asas oportunitas terhadap penuntutan pidana


Rumusan ketiga von Feuerbach berhubungan dengan fungsi instrumental undang-undang

pidana dan merupakan ajaran paksaan psikologis. Undang-undang pidana diperlukan untuk

memaksa rakyat berbuat menurut hukum dengan mengancamkan pidana terhadap perbuatan

yang melawan hukum. Tetapi agar ancaman pidana itu mempunyai efek, tiap-tiap pelanggar

undang-undang harus sungguh-sungguh dipidana. Pemerintah juga harus selalu

mempergunakan wewenang yang diberikan kepadanya untuk memidana. Disinipun ada

landasar syarat keadilan, yaitu asas persamaan, adalah tidak adil dalam keadaan yang sama

memidana pelanggar undang-undang yang satu sedangkan yang lain tidak dipidana. Dalam

arti keharusan menuntut pidana, asas legalitas mempunyai banyak pengikut terutama di

Jerman, di mana sejak akhir abad yang lalu titik tolak dari tindakan yustisial yaitu setiap

pelanggaran undang-undang harus dituntut. Ini berlaku juga di beberapa negara lain.

Sebaliknya, di perancis, belgia, dan khususnya di belanda, diikuti asas oportunitas, yang

menentukan bahwa pemerintah berwenang tetapi tidak berkewajiban menurut undang-undang

untuk menuntut semua perbuatan pidana. Karena alasan-alasan oportunitas penuntutan itu,

dapat juga diabaikan (lihat pasal 167 dan 242 Sv). Cacat-cacat dalam penerapan asas legalitas

ini karena adanya pertentangan anatara fungsi instrumental dan fungsi melindungi.

Terkadang, demi kepentingan fungsi instrumental undang-undang pidana, kadang fungsi

melindungi dikurangi. Syarat-syarat perlindungan hukum kepada rakyat tidak boleh mengikat

pemerintah sedemikian rupa sehingga menghalangi tugas penuntutan pidana yang efektif.

Harus ada penimbangan kepentingan. Dalam hal ini kita berada di lapangan politik hukum

kriminal.

Berbagai Aspek asas legalitas

Biasanya asas legalitas ini dimaksud mengandung tiga pengertian yaitu


· Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih

dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang. Pengertian yang pertama

tersebut di atas, bahwa harus ada aturan udang-undang jadi aturan hukum yang tertulis

terlebih dahulu, jelas tampak dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, dimana dalam teks Belanda

disebutkan: “wettelijke strafbepaling”, yaitu aturan pidana dalam perundangan. Tetapi

dengan adanya ketentuan ini, konsekuensinya adalah perbuatan-perbuatan pidana menurut

hukum adat lalu tidak dapat dipidana, sebab di situ tidak ditentukan dengan aturan yang

tertulis.

· Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi/kiyas. Asas

bahwa dalam menentukan ada atau tidaknya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi

(kiyas) pada umumnya masih dipakai oleh kebanyakan negara-negara. Di Indonesia dan di

belanda pada umunya masih diakui prinsip ini, meskipun ada juga beberapa ahli yang tidak

dapat menyetujui hal ini, misalnya Taverne, Pompe dan Jonkers. Prof. Scholter menolak

adanya perbedaan antara analogi dan tafsiran ekstensif, yang nyata-nyata diperbolehkan.

Menurut pendapatnya, baik dalam hal penafsiran ekstensif, maupun dalam analogi dasarnya

adalah sama, yaitu dicoba untuk menemukan norma-norma yang lebih tinggi (lebih umum

atau lebih abstrak) daripada norma yang ada. Penerapan undang-undang berdasarkan analogi

ini berarti penerapan suatu ketentuan atas suatu kasus yang tidak termasuk di dalamnya.

Penerapan berdasarkan analogi dari ketentuan pidana atas kejadian-kejadian yang tidak

diragukan patut diidana, akan tetapi tidak termasuk undang-undang pidana memang pernah

dilakukan.

· Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut. Tiada suatu perbuatan dapat dipidana

kecuali ada ketentuan pidana menurut undang-undang yang telah ada sebelumnya, semikian

pasal 1 ayat (1) KUHP. Ayat (2) pasal tersebut memberikan pengecualian sebagaimana telah

kita bahas diatas. Peraturan ini berlaku untuk seluruh proses perkara. Dengan kata lain, kalau
dalam waktu antara putusan tingkat pertama dan tingkat banding, atau antara banding dengan

kasasi terjadi perubahan undang-undang untuk kepentingan terdakwa, maka Pengadilan

Negeri, Pengadilan Tinggi dan MA harus menerapkan Pasal 1 ayat (2) KUHP. Ingat, larangan

kekuatan surut hanya berlaku untuk ketentuan pidana. Tidak untuk peraturan yurisdiksi

misalnya yang berhubngan dengan wewenang pembentuk undang-undang nasional lainnya.

Namun Sahetapy menambahkan lagi empat aspek yakni:

· Tidak dapat dipidana hanya berdasarkan kebiasaan. Pemidanaan juga harus

berdasarkan undang-undang, tidak diperbolehkan berdasarkan kebiasaan. Jadi

pelanggaran atas kaidah kebiasaan dengan sendirinya belum menghasilkan

perbuatan pidana. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa kaidah kaidah

kebiasaan tidak berperan dalam hukum pidana. Adakalanya undang-undang pidana

secara implisit atau eksplisit menunjuk ke situ. Penunjukan secara implisit ke

kebiasaan terdapat pada blanket norm seperti dalam pasal 282 KUHP, dan beberapa

delik omisi di mana tidak berbuat dapat dipidana. Penunjukan secara eksplisit ke

kebiasaan terdapat dalam Pasal 8 Wet Oorlogsstrafrecht 1950 (UU Hukum Pidana

Perang di Belanda) yang mengancam pidana berat terhadap pelanggaran undang-

undang dan kebiasaan perang. Ketentuan-ketentuan tersebut semuanya melanggar

asas lex-certa.

· Tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas (syarat lex certa). Syarat lex

certa berarti bahwa undang-undang harus cukup jelas, sehingga:

a) Merupakan pegangan bagi warga masyarakat dalam memilih tingkah lakunya,

dan

b) Untuk memberikan kepastian kepada penguasa mengenai batas-batas

kewenangannya.
Namun tidak mungkin untuk merumuskan semua kelakuan yang patut dipidana secara cermat

dalam undang-undang. Syarat-syarat yang ditetapkan oleh undang-undang untuk kelakuan

masyarakat, juga ditentukan berdasarkan kebiasaan yang berlaku disitu. Walaupun demikian,

orang berhak untuk bertanya, apakah pembuat undang-undang dengan pasal 8 Wet

Oorlogsrecht tidak terlampau mudah menyelesaikan tugasnya.

· Tidak ada pidana lain kecuali yang ditentukan undang-undang. Undang-undang

menentukan pidana-pidana yang dijatuhkan, demikian bunyi Pasal 89 ayat (2)

UUD Belanda. Dengan undang-undang disini adalah undang-undang dalam arti

formal. Pembentuk undang-undang yang lebih rendah dapat membuat peraturan

pidana selama diizinkan oleh pembentuk undang-undang formal. Tetapi tidak boleh

menciptakan pidana lain daripada yang telah diatur dan ditentukan oleh undang-

undang dalam artian formal. Hakim juga tidak diperbolehkan menjatuhkan pidana

lain daripada yang telah ditentukan oleh undang-undang. Meskipun demikian, pasal

14a KUHP memberikan wewenang kepada hakim untuk menetapkan syarat khusus

kepada pidana bersyarat berupa kewajiban-kewajiban tertentu yang harus dipenuhi

oleh terpidana, namun hal ini ada batasan-batasannya.

· Penuntutan pidana hanya menurut cara yang ditentukan undang-undang.

Penuntutan pidana adalah seluruh proses pidana, mulai dari pengusutan sampai

pelaksanaan pidana (bandingkan pasal 1 butir 7 KUHAP: penuntutan adalah

tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan negeri

yang berwenang dalam hal ini menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini

dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.

Peraturan acara pidana dengan demikian sama di seluruh negara. Larangan

membuat peraturan acara pidana berlaku untuk pembentuk undang-undang yang

lebih rendah, tidak untuk pembentuk undang-undang dalam arti formal.

Anda mungkin juga menyukai