Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

“POLITIK HUKUM DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DAN


PERLUASAN ASAS LEGALITAS DALAM RUU KUHP ”

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pembaharuan Hukum Pidana

Oleh :

ADINDA EVITA PUSPA

20302100119

Dosen Pengampu :

Prof. Dr. Eko Soponyono, S.H., M.H.

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG

SEMARANG

2023
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Asas legalitas (principle of legality) menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang
dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan.
Asas ini dikenal dalam bahasa latin sebagai nullum delictum nulla poena sine praevia lege (tidak ada
delik tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu). Asas legalitas mengandung tiga makna
atau pengertian, yaitu sebagai berikut :1
1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih
dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undangundang.
2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kias).
Selama ini asas legalitas diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) yang menentukan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali
berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada. 1 Rancangan
Undang-Undang (RUU) KUHP draft tahun 2010 masih mempertahankan asas legalitas sebagai
asas fundamental. Pasal 1 ayat (1) RUU KUHP menentukan bahwa tiada seorang pun dapat
dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai
tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu
dilakukan. Selanjutnya ayat (2) dari Pasal tersebut menentukan bahwa dalam menetapkan adanya
tindak pidana dilarang menggunakan analogi.
Namun asas legalitas tersebut mengalami perluasan dalam ketentuan selanjutnya. Pasal
1 ayat (3) RUU KUHP menentukan konsep yang berbeda dari adagium nullum delictum nulla
poena sine praevia lege. Ayat (3) menentukan bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan
bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan
perundang-undangan. Selanjutnya Ayat (4) menentukan bahwa berlakunya hukum yang hidup
dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai
Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.

1
Ibid.
Dengan adanya ketentuan Pasal 1 ayat (3) dan ayat (4) RUU KUHP tersebut maka
seseorang dapat dituntut dan dipidana atas dasar hukum yang hidup dalam masyarakat
meskipun perbuatan tersebut tidak dilarang dalam perundang-undangan. Penjelasan Pasal 1
ayat (3) RUU KUHP menyebutkan: suatu kenyataan bahwa dalam beberapa daerah tertentu di
Indonesia masih terdapat ketentuan hukum yang tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat
dan berlaku sebagai hukum di daerah tersebut. Hal yang demikian terdapat juga dalam
lapangan hukum pidana yaitu yang biasanya disebut dengan tindak pidana adat. Untuk
memberikan dasar hukum yang mantap mengenai berlakunya hukum pidana adat, maka hal
tersebut mendapat pengaturan secara tegas dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini.
Ketentuan pada ayat ini merupakan pengecualian dari asas bahwa ketentuan pidana diatur
dalam peraturan perundang-undangan. Diakuinya tindak pidana adat tersebut untuk lebih
memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat tertentu.
Perluasan asas legalitas tersebut menggambarkan adanya pertentangan antara ketentuan Pasal 1
ayat (1) dan ayat (2) dengan ayat (3) dan ayat (4) RUU KUHP. Pertentangan tersebut terjadi
karena Pasal 1 ayat (1) RUU KUHP menghendaki adanya peraturan sebelum tindakan yang
dianggap melanggar hukum itu terjadi. Dengan demikian ketentuan ini menghendaki adanya
kepastian hukum. Sedangkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP mengesampingkan
kepastian hukum dengan mengedepankan keadilan (untuk memenuhi rasa keadilan yang hidup
di dalam masyarakat tertentu). Di satu sisi, melalui asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) RUU
KUHP, hukum pidana menghendaki aturan yang tertulis dan cermat. Sementara hukum yang
hidup dalam masyarakat tidak tertulis (untuk menunjuk hukum selain hukum yang dibentuk
oleh negara).
Larangan penggunaan analogi dalam Pasal 1 ayat (2) RUU KUHP juga kontradiktif dengan
ketentuan Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP. Larangan penggunaan penafsiran analogi dalam
menetapkan adanya tindak pidana merupakan konsekuensi dari penggunaan asas legalitas.
Penafsiran analogi berarti bahwa terhadap suatu perbuatan yang pada waktu dilakukan tidak
merupakan suatu tindak pidana, tetapi terhadapnya diterapkan ketentuan pidana yang berlaku
untuk tindak pidana lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang sama, karena kedua perbuatan
tersebut dipandang analog satu dengan yang lain.

Hukum pidana didefinisikan sebagai bagian aturan hukum dari suatu negara yang
berdaulat, berisi perbuatan yang dilarang, disertai dengan sanksi pidana bagi yang melanggar,
kapan, dan dalam hal apa sanksi pidana itu dijatuhkan dan bagaimana pemberlakuan
pelaksanaan pidana tersebut dipaksakan oleh negara. Moeljatno memberi pengertian hukum
pidana sebagai bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan
dasardasar dan mengatur ketentuan tentang perbuatan yang tidak boleh dilakukan, dilarang
dengan disertai ancaman pidana bagi barang siapa yang melakukan. Kapan dan dalam hal apa
kepada mereka yang telah melanggar larangan itu dapat dikenakan sanksi pidana dan dengan
cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan (Moeljatno, 2008: 1).

Terhadap pelaksanaan hukum pidana tidak bisa dilepaskan dari KUHP atau Kitab
Undang-undang Hukum Pidana. Perkembangan KUHP yang sekarang diberlakukan adalah
KUHP yang bersumber dari hukum kolonial Belanda, pemberlakuan hukum pidana pada masa
kolonial tersebut, pada tanggal 26 Februari 1946, pemerintah kemudian mengeluarkan Undang-
Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Undang-undang inilah yang
kemudian dijadikan dasar hukum perubahan Wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indie
menjadi Wetboek van Strafrecht (WvS), yang kemudian dikenal dengan nama Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana. Mendasarkan ketentuan Pasal XVII UU Nomor 1 Tahun 1946 terdapat
ketentuan yang menyatakan bahwa: Undang-undang ini mulai berlaku buat pulau Jawa dan
Madura pada hari diumumkannya dan buat daerah lain pada hari yang akan ditetapkan oleh
Presiden.” Dengan demikian, pemberlakuan Wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indie
menjadi Wetboek van Strafrecht berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang
Peraturan Hukum Pidana hanya terbatas pada wilayah jawa dan Madura. Selanjutnya,
pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di seluruh wilayah Republik Indonesia
baru dilakukan pada tanggal 20 September 1958, dengan diundangkannya UU No. 73 Tahun
1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Republik
Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan
Mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 1 UU No. 7 Tahun 1958 yang berbunyi:
“UndangUndang No. 1 tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana
dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia.”

Menyadari kukum pidana yang saat ini dimiliki dan berlaku hingga saat ini merupakan
warisan hukum kolonial Belanda, tentu saja bersifat a-histori karena kehadirannya tidak seiring
dengan perkembangan masyarakat pada saat itu, sehingga tanpa disadari atau tidak, secara
politis dan sosiologis pemberlakuan hukum pidana kolonial ini telah menimbulkan problema
tersendiri, karena tidak mengikuti keadaan dan perkembangan masyarakat, Negara Indonesia
sendiri, oleh karena itu diperlukan pembaharuan hukum pidana yang bersifat komprehensif.

Mendasarkan dikeluarkannya UU No. 1 Tahun 1946 pada tanggal 26 Februari 1946,


tentang Peraturan Hukum Pidana. KUHP warisan kolonial ini bukanlah sistem hukum pidana
yang utuh, karena terdapat beberapa pasal/delik yang dicabut. Oleh karena itu bermunculan
Undang-undang baru diluar KUHP yang mengatur delik-delik khusus dan aturan-aturan
khusus. Namun Undang-undang baru diluar KUHP itu walaupun merupakan produk nasional,
masih tetap berada dalam naungan aturan umum KUHP (WvS) sebagai sistem induk buatan
kolonial. Pendek kata, asas-asas dan dasar-dasar tata hukum pidana kolonial masih tetap
bertahan dengan selimut dan wajah Indonesia.2 Pengaturan dalam hukum pidana merupakan
pencerminan dari ideologi politik dari suatu bangsa dimana hukum itu berkembang dan
merupakan hal uang penting, bahwa seluruh bangunan hukum itu bertumpu pada pandangan
politik yang sehat dan konsisten.3 Tiba saatnya untuk merombak tata hukum pidana dan hukum
pidana yang masih berpijak pada asas-asas dan dasar-dasar yang berasal dari zaman kolonial
dan menggantinya dengan tata hukum pidana dan hukum pidana Indonesia, yang asas-asas dan
dasar pokoknya berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.

Pelaksanaan pembaharuan hukum menjadi satu kesatuan dalam politik hukum. Hal ini
didasarkan bahwa hakikat politik hukum berhubungan erat dengan latar belakang dan
pentingnya diadakan politik hukum atau pembaharuan hukum itu sendiri. Menurut Satjipto
Raharjo dalam tulisnanya yang berjudul “Pembangunan Hukum Yang Diarahkan Kepada
Tujuan Nasional” bahwa tidak dijumpai perbedaan antara fungsi hukum sebelum dan sesuadah
kemerdekaan. Perbedaannya terletak pada keputusan politik yang diambil pada kedua massa
tersebut dan mengimplementasikannya ke dalam sistem hukum masing-masing. Apabila
keputusan politik yang diambil setelah kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah mengutamakan
kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya, maka keputusan demikian harus dirumuskan dalam
kaidah-kaidah hukum, dan struktur hukumnya pun harus menyediakan kemungkinan untuk
melakukan itu.4

2
Meminjam istilah yang digunakan oleh Tim Penyusun Konsep Pertama Buku I KUHP baru tahun 1964
3
Nyoman Serikat Putra Jaya, Pembaharuan Hukum Pidana, 2017, hal. 1
4
Nyoman Serikat Putra Jaya, Politik Hukum, 2018, hal. 68
B. Rumusan Masalah

1. Bagaiamana latar belakang pembaharuan hukum pidana dan politik hukum


2. Bagaimana Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia dalam RUU Asas Legalitas
3. Apakah perluasan asas legalitas dalam RUU KUHP tidak bertentangan dengan
makna dari asas legalitas itu sendiri ?

BAB II
PEMBAHASAN

1. Latar Belakang Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia

Pembaharuan hukum pidana yang menyeluruh harus meliputi pembaharuan hukum


pidana materiil (substantive), hukum pidana formil (hukum acara pidana) dan, hukum
pelaksanaan pidana. Ketiga-tiga bidang hukum pidana itu harus bersama-sama diperbaharui,
kalau hanya salah satu bidang yang diperbaharui dan yang lain tidak, maka akan timbul
kesulitan dalam pelaksanaannya, dan tujuan pembaharuan tidak akan tercapai sepenuhnya.

Tujuan utama pemmbaharuan ialah penanggulangan kejahatan. Bertitik tolak pada


KUHP (WvS) yang dipandang sebagai induk dan sebagai wujud dari kodifikasi dan unifikasi.
Namun dalam perkembangannya, KUHP dianggap tidak lengkap atau tidak dapat menampung
berbagai masalah dan dimensi perkembangan bentuk-bentuk tindak pidana baru, yang tentu
saja sejalan dengan perkembangan pemikiran dan aspirasi kebutuhan masyarakat. 5 Selain itu,
KUHP yang berlaku saat ini bukanlah hukum pidana yang berasal dari nila-nilai dasar dan nilai-
nilai sosiofilosofik, sosio-politik dan sosio-kultural yang hidup dalam masyarakat Indonesia6,
sehingga sudah sepantasnya timbul pertanyaan, apakah KUHP pada saat ini masih pantas
disebut sebagai bagian dari hukum positif Indonesia, terutama hukum pidana? KUHP warisan
kolonial ini bukanlah sistem hukum pidana yang utuh, karena terdapat beberapa pasal/delik
yang dicabut. Oleh karena itu bermunculan Undang-undang baru diluar KUHP yang mengatur
delik-delik khusus dan aturan-aturan khusus. Namun Undang-undang baru diluar KUHP itu

5
Barda Nawawi Arief, RUU KUHP Baru: Sebuah Rekonstruksi Sistem Hukum Pidana Indonesia, (Semarang:
Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2012) hal. 24
6
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana (Menyongsong Generasi Baru
Hukum Pidana Indonesia), Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro, (Semarang: Pustaka Magister, 2011), hal. 13
walaupun merupakan produk nasional, masih tetap berada dalam naungan aturan umum KUHP
(WvS) sebagai sistem induk buatan kolonial. Walaupun Undang undang khusus itu membuat
aturan khusus yang menyimpang dari aturan induk KUHP.

Selanjutnya, hukum pidana positif yang berorientasi pada KUHP menimbulkan


kekhawatiran, terutama berkaitan dengan sifat dogmatis dan substansial. Dengan mengajarkan
KUHP warisan Belanda, secara langsung maupun tidak langsung berarti mengajarkan dan
menanamkan pula dogma-dogma, konsep-konsep, serta norma-norma substantif yang
dirumuskan didalam KUHP. Seperti diketahui KUHP dilatarbelakangi pemikiran
individualism-liberalisme dan sangat dipengaruhi oleh aliran klasik, walaupun ada juga
pengaruh aliran neoklasik. Mempelajari hal yang bersifat dogma atau substansial dalam KUHP
hendaklah diiringi dengan kebijaksanaan dan kewaspadaan. Artinya, jika hal-hal yang berbau
dogma didalam KUHP digunakan secara kaku (tanpa kebijaksanaan), maka output yang
dihasilkan tentu saja menghambat tujuan penegakan hukum pidana, bahkan tidak tertutup
kemungkinan menghambat ide-ide pembaharuan hukum pidana Indonesia yang selalu
digaungkan.

Dalam laporan symposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional yang diadakan di


Semarang pada tanggal 29 sampai 30 Agustus, antara lain menentukan:

1) Pembaharuan hukum pidana nasional pada hakikatnya adalah usaha yang langsung
menyangkut harkat dan martabat bangsa dan negara Indonesia serta merupakan sarana
pokok bagi tercapainya tujuan nasional.
2) Sampai saat ini hukum pidana yang diberlakukan secara formal di Indonesia adalah
hukum pidana warisan kolonial Belanda, yang sudah sejak lama dirasakan sebagian
besar tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat Indonesia
meskipun ada penambahan secara parsial.
3) Oleh karenanya, berdasarkan alasan politis, sosiologis, psikologis dan alasan praktis,
pembaharuan hukum pidana di Indonesia sudah dirasakan sebagai suatu kebutuhan
Negara, bangsa dan masyarakat Indonesia yang sangat mendesak. Usaha mewujudkan
hukum pidana Nasional sesuai dengan Garis-Garis Besar Haluan Negara Republik
Indonesia kemudian telah dijabarkan pula dalam Repelita.
4) Pembaharuan hukum pidana tersebut haruslah dilakukan secara penyeluruh,
sistematis, dan bertahap dengan tetap mengakui asas legalitas berdasarkan Pancasila
dan UUD 1945 dengan pola Wawasan Nusantara. Lingkup pembaharuan yang
dimaksud meliputi:
a. Hukum Pidana materiil
b. Hukum pidana formiil
c. Hukum pelaksanaan pidana
5) Usaha pembaharuan hukum pidana agar didasarkan pada politik hukum pidana dan
politik kriminal yang mencerminkan aspirasi nasional serta kebutuhan masyarakat
dewasa ini dan pada masa yang akan datang dapat berkomunikasi dengan
perkembangan hukum dalam dunia yang maju.
6) Atas dasar itu prinsip yang telah ada harus diteruskan atas dasar prinsip Wawasan
Nusantara di bidang hukum dan kodifikasi atas dasar keanekaragaman masyarakat
Indonesia, sehingga pada saatnya tidak lagi berlaku hukum pidana yang tidak tertulis.
Pencapaian sasaran ini dimaksudkan untuk menjamin keadilan hukum dan perasaan
keadilan oleh masyarakat Indonesia yang beraneka ragam, sebab bagaimanapun juga
objek pembaharuan hukum pidana Indonesia adalah berdasarkan Pancasila, sehinga
pembaharuan itu tidak boleh meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan di samping nilai-
nilai kemasyarakatan dalam rangka kepentingan bangsa dan Negara (BPHN-
DEPKEH, 1986: 160-161).

Selanjutnya, kebijakan yang ditempuh oleh bangsa Indonesia dalam rangka


melaksanakan pembaharuan hukum pidana, melalui dua jalur, yakni:
a. Pembaharuan perundang-undangan pidana yang maksudnya mengubah,
menambah dan melengapi KUHP yang berlaku sekarang
b. Pembuatan konsep rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional
guna menggantikan KUHP yang berlaku sekarang.7

a. Pembaharuan Hukum Pidana

Hukum pidana dapat dilihat dari 3 (tiga) segi, yaitu:

1. Hukum pidana yang dicita-citakan atau hukum pidana sebagai ius constituendum;
2. Hukum pidana yang berlaku sekarang, artinya yang harus diterapkan oleh aparat
penegak hukum atau disebut juga sebagai ius constitutum atau ius operandum;

7
Nyoman Serikat Putra Jaya, Pembaharuan Hukum Pidana, 2017, hal. 11
3. Hukum pidana yang benar-benar diterapkan dalam peristiwa konkrit atau hukum
pidana sebagai ius operatum.

Sedangkan kebijakan criminal atau politik kriminal menurut Sudarto memberikan


dalam tiga arti, yaitu:

1) Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi
terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;
2) Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum termasuk
didalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi.
3) Dalam arti yang paling luas, ialah keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui
perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan
norma-norma sentral dari masyarakat (Sudarto, 1981:113-114)

Selanjutnya, menurut pendapat Prof. Dr. Nyoman Serikat Putra Jaya, SH.MH
memberikan pendapat pembaharuan hukum pidana berarti upaya yang terus menerus-menerus
dilaksanakan melalui perundang-undangan pidana dengan asas-asas hukum serta nilai-nilai
yang berkembang dalam masyarakat baik ditingkat nasional maupun internasional.

b. Landasan Paradigma Memaknai Asas Legalitas dan Asas Keadilan

Paradigma memaknai Asas legalitas dan asas keadilan harus terjadi dengan pergeseran
wawasan atau paradigma sehubungan dengan Pemberlakuan Hukum Pidana secara retroaktif
sebagai berikut:

1) Asas legalitas yang pada ntinya berisi asas lex temporis delicti hanya memberikan
perlidnungan kepada individu pelaku tindak pidana dan kurang memberikan
perlindungan kepada masyatakat/kelompok masyarakat yang menjadi korban tindak
pidana, sehingga akses untuk memperoleh keadilan bagi korban terutama korban
kolektif terhambat.
2) Asas legalitas atau principle of legality walaupun diakui sebagai asas fundamental oleh
negara-negara yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan
kejahatan, namun berlakunya tidak secara mutlak dalam arti pembentuk UU dapat
menyatakan suatu perbuatan yang telah teradi sebagai tindak pidana dan dapat
dipidana asalkan perbuatan tersebut bertentangan dengan hukum tidak tertulis yang
dalam hukum pidana internasional disebut “prinsip-prinsip hukum umum yang diakui
oleh masyarakat bangsa-bangsa” (the general principles of law recognized by the
community of nations)
3) Pemberlakuan hukum pidana secara retroaktif merupakan pengecualian dari asas
legalitas atau principle of legality atas dasar extra ordinary crimes, seperti pelanggaran
terhadap hak asasi manusia yang berat.
4) Pemberlakuan hukum pidana secara “retroaktif” yang dilandasi oleh prinsip keadilan
untuk semuanya dalam arti keadilan bagi pelaku tindak pidana maupun keadilan bagi
korban tindak pidana merupakan penyeimbang asas legalitas yang semata-mata
berpatokan pada “kepastian hukum” dan asas “keadilan untuk semuanya”.
5) Pemberlakuan hukum pidana secara “retroaktif” dengan kondisi-kondisi tertentu
seperti kepentingan kolektif baik kepentingan masyarakat bangsa maupun negara yang
selama ini kurang mendapat perlindungan dari asas legalitas dapat diterima guna
memenuhi tuntutan moral pembalasan masyarakat (Putra Jaya, 2004:37-38)

Dengan diakuinya pemberlakuan hukum pidana secara “retroaktif” baik di tingkat


internasional maupun nasional dengan landasan Internasional Customary Law dan The
Principle of Justice, sudah selayaknya ilmu hukum pidana mengalami pengembangan, yang
semula seolah-olah hanya mengutamakan kepastian hukum dengan karakteristiknya lex certa,
lex scripta dan lex stricta, dikembangkan dengan prinsip “keadilan untuk semuanya atau justice
for all”.8

c. Politik Hukum di Indonesia

Merujuk pendapat Barda Nawawi Arief menerangkan terdapat 2 (dua) pendekatan


dalam melaksanakan pembaharuan hukum khususnya hukum pidana, yaitu (1) pendekatan yang
berorientasi pada kebijakkan {polcy-oriented approach) dan (2) pendekatan yang berorientasi
pada niali (value-oriented approach). Politik hukum atau pembaharuan hukum pada hakekatnya
merupakan upaya untuk mengadakan reorientasi dan reformasi hukum yang sesuai dengan
nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio filosofis dan sosio-kultur masyarakat Indonesia yang
melandasai kebijakan sosial dan kebijakkan penegakkan hukum di Indonesia.9

Konsep pembangunan hukum dalam RPJPN 2005-2025 ditetapkan arah pembangunan


nasional sebagaimana tertuang dalam Lampiran UU No. 17 Tahun 2017 dalam bab IV, bahwa

8
Nyoman Serikat Putra Jaya, Ibid, Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Hukum UNDIP, hal. 20
9
Nyoman Serikat Putra Jaya, Ibid, hal. 68
dalam rangka melaksanakan misi mewujudkan bangsa yang berdaya saing dan masyarakat
demokratis berdasarkan/berlandaskan hukum dalam makna terwujudnya Indonesia Yang
Mandiri, Maju, Adil, dan Makmur. Keberadaan Politik hukum sangat menentukan arah
kebijakkan pembangunan nasional secara keseluruhan yang akan dilaksanakan dalam suatu
periode tertentu. Politik hukum pada dasarnya merupakan pemikiran yang menjadi dasar
campur tangan Negara melalui alat perlengkapan Negara (pemerintah, DPR, dan sebagainya
pada hukum. Campur tangan Negara dengan alat pelengkapannya pada hukum dalam hal:

1. Penciptaan hukum
Negara berkewjiban memelihara keadilan dan ketertiban, untuk memelihara keadilan
dan ketertiban melalui penciptaan hukum;
2. Pelaksanaan hukum
Negara berkewajiban mengadakan alat-alat perlengkapan Negara yang bertugas
melaksanakan dan menegakkan hukum menurut cara tertentu antara lain melalui
pengadilan;
3. Perkembangan hukum
Hukum disusun berdasarkan kesadaran hukum masyarakat Negara berusaha
mempengaruhi perkembangan kesadaran hukum masyarakat, sehingga Negara
mempengaruhi perkembangan hukum.

Sebagai usaha pembaharuan hukum dilaksanakan dengan tujuan terwujudnya system


hukum hukum nasional dengan makna “ius constituendum” system hukum yang dicitacitakan
oleh bangsa Indoensia yang telah memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus
1945.

d. Politik Hukum Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia

Politik hukum merupakan bagian integral dan kebijakan social (social policy)
disamping kebijakkan kesejahteraan social (social welfare polcy) dan kebijakan perlindungan
masyarakat (social defence policy) guna mencapai tujuan tertentu (goal). Politik hukum dengan
kata lian sebagai politik penegakkan hukum dalam arti luas dalam arti penggarapan perbuatan-
perbuatan melawan hukum yang mungkin terjadi yang betul-betul terjadi (onrecht in potente
dan onrecht in actoe).10

10
Nyoman Serikat Putra Jaya, Ibid, hal. 67
Selanjutnya dalam Upaya melakukan pembaharuan hukum pidana, pada hakikatnya
termasuk bidang kebijakan hukum pidana yang merupakan bagian dan terkait erat dengan
kebijakan penegakan hukum, kebijakan kriminal dan kebijakan sosial. Maka dari itu
pembaharuan hukum pidana pada prinsipnya merupakan bagian dari kebijakan (upaya rasional)
untuk memperbaharui substansi hukum dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum,
menanggulangi kejahatan dalam rangka perlindungan masyarakat, serta mengatasi masalah
sosial dan masalah kemanusiaan dalam rangka mencapai tujuan nasional yaitu perlindungan
sosial dan kesejahteraan sosial.10

Usaha pembaharuan hukum pidana agar didasarkan pada politik hukum pidana dan
politik criminal yang mencerminkan aspirasi nasional serta kebutuhan masyarakat dewasa ini
dan pada masa yang akan datang dapat berkomunikasi dengan perkembangan hukum dalam
dunia maju.11 Selain itu, pembaharuan hukum pidana juga merupakan bagian dari upaya
peninjauan dan penilaian kembali pokok-pokok pemikiran atau ide-ide dasar atau nilai-nilai
sosio filosofik, sosio-politik dan sosio kultural yang melandasi kebijakan kriminal dan
kebijakan penegakan hukum pidana selama ini. Bukanlah pembaharuan hukum pidana apabila
orientasi nilai dari hukum pidana yang dicita-citakan sama saja dengan orientasi nilai dari
hukum pidana lama warisan penjajah (KUHP WvS). Dengan demikian, pembaharuan hukum
pidana haruslah dirumuskan dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan, serta
pendekatan yang berorientasi pada nilai. Oleh karena itu, sudah seharusnya pembaharuan
hukum pidana bersumber pada ide-ide dasar Pancasila, yang merupakan landasan nilai-nilai
kehidupan kebangsaan yang dicita-citakan dan digali untuk bangsa Indonesia. Ide-ide dasar
Pancasila mengandung keseimbangan nilai/ide didalamnya. Berikut keseimbangan ide/nilai
yang dimaksud:12

1. Religiustik;
2. Humanistik;
3. Nasionalisme;
4. Demokrasi;
5. Keadilan Sosial.
2. Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia RUU Asas Legalitas

Pembaharuan hukum pidana Indonesia secara mendasar dilakukan melalui jalur


mengubah, menambah dan melengkapi KUHP yang berlaku sekarang, menurut Muladi (2016:
26-29) dilakukan melalui berbagai pendekatan ialah:

1. Pendekatan evolusioner dilakukan melalui amandemen yang dilakukan berbagai


perundang-undangan seperti UU No. 1 Tahun 1946 tentang peraturan Hukum
Pidana.
2. Pendekatan kompromi, dilakukan dengan menambahkan / memasukkan suatu Bab
baru dalam Buku II KUHP, akibat ratifikasi tiga konveksi Internasional dengan UU
No. 2 Tahun 1976 (konvensi toko 1963, konvensi dan hag 1970, konvensi montreal
1971) dengan UU No. 4 Tahun 1976 menambahkan BAB XXIX A tentang kejahatan
Penerbangan yang terdiri dari Pasal 479 huruf a sampai dengan Pasal 470 huruf r.

3. Pendekatan (semi) global melalui pembentukan Undang-Undang Khusus yang


memuat hukum acara pidana,
4. Pendekatan komplementer, dilakukan dengan mendayagunakan sanksi hukum pidana
untuk memperkuat sanksi hukum administrasi (“administrative penal law”)
5. Pendekatan sinkronisasi vertical terhadap konstitusi dalam rangka “judicial review”
oleh Mahkamah Konstitusi.
Dalam hubungannya dengan pembaharuan hukum pidana di Indonesia khususnya
pembuatan rancangan konsep KUHP Nasional, maka nilai-nilai Pancasila harus meresap ke
dalam pasal-pasal konsep KUHP Nasional. Sehubungan dengan ini, Muladi mengemukakan
lima karakteristik operasional hukum pidana materiil dimasa mendatang, yaitu:

1. Hukum pidana nasional mendatang dibentuk tidak hanya sekedar alasan sosiologis,
politis, dan praktis semata-mata, tetapi secara sadar harus disusun dalam kerangka
ideologi nasional pancasila.
2. Hukum pidana pada masa datang tidak boleh mengabaikan aspek-aspek yang
berkaitan dengan kondisi manusia, alam dan tradisi Indonesia
3. Hukum pidana mendatang harus dapat menyesuaikan diri dengan kecenderungan
universal yang tumbuh di dalam pergaulan masyarakat beradab.
4. Sehubungan dengan pengakuan bahwa sistem peradilan pidana, politik criminal dan
politik penengakan hukum adalah bagian dari politik sosial, mengingat pula sifat yang
sangat keras dari sistem peradilan pidana dan salah satu tujuan pemidanaan yang
bersifat pencegahan, maka hukum pidana mendatang harus memikirkan pula aspek-
aspek yang bersifat preventif.
5. Hukum pidana dan sistem peradilan pidana pada dasarnya merupakan bagian dari
sistem yang lebih besar, yakni sistem politik, ekonomi, sosial, budaya, hankam dan
sistem ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam kondisi semacam ini, kedudukan
hukum pidana sebagai “dependent variable”. Yang perlu ditonjolkan di sini adalah
bahwa hukum pidana mendatang harus selalu tanggap terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi guna peningkatan fungsinya di dalam masyarakat.11

Usaha pembaharuan hukum pidana melalui jalur pembuatan konsep KUHP yang
tujuannya untuk menggantikan KUHP (WvS) yang berlaku sekarang, sudah dimulai sejak
tahun 1968, setelah beberapa kali mengalami perubahan, akhirnya sudah berhasil membuat
“Rancangan UU Tahun 2012 yang dikeluarkan oleh Direktorat Perundang-Undangan
Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-Undangan Direktorat Jenderal Hukum dan
Perundang-Undangan Departemen Hukum dan HAM Perundang-Undangan. Salah satu
yang mendasar dalam RUU-KUHP 2012 adalah adanya perubahan fundamental dari asas
legalitas yang dikenal “Nullum Delictum Nulla Poena, sine praevia lege Poenali” yang
menitikberatkan suatu tindak pidana hanya berdasarkan undang-undang.

Penafsiran Pasal 1 RUU-KUHP 2012, dapat diketahui bahwa kriteria untuk


menjadikan suatu perbuatan sebagai tindak pidana didasarkan pada patokan formil yaitu
Undang-Undang dan patokan materiil yaitu hukum tidak tertulis disini Nampak adanya ide
“mono-dualistik”. Konsep monodualistik ini, guna menjaga keseimbangan antara faktor
objektif, dan faktor subjektif. Oleh karena itu dalam menjatuhkan pidana harus bertolak dari
dua asas yang sangat fundamental dari hukum pidana ialah asas “kesalahan / culpabilitas”
yang masing-masing merupakan asas “kemasyarakatan” dan asas “kemanusiaan”. Dengan
demikian, dalam hal pemindahan, pokok pikiran bertumpu pada konsep mengenai “tindak
pidana” dan konsep mengenai “pertanggungjawaban pidana”.

Mengkaji ketentuan Pasal 2 RUU KUHP 2012 diatas, mendasarkan pada situasi dan
kondisi Bangsa Indonesia terdapat bermacam-macam pluralisme sebagai bagian dari NKRI
semua aturan perundang-undangan Republik Indonesia yang bersifat nasional, mengakui

11
Nyoman Serikat Putra Jaya, Pembaharuan Hukum Pidana, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2017) hal. 21
hukum tidak tertulis yang hidup dan berkembang hingga sekarang ini, maka tidaklah mudah
untuk menghapuskan aturan atau adat kebiasaan lokal yang sudah berlaku, Oleh karena itu di
Indonesia dalam berbagai kejadian pengertian kejahatan menjadi relatif atas dasar lokasi dan
waktu. Misalnya: dalam UndangUndang nasional “melarikan anak gadis” didefinisikan
sebagai kejahatan, akan tetapi di Bali dalam kaitan dengan adat kebiasaan, “melarikan anak
gadis” tidak termasuk delik kejahatan. Disamping itu masih banyak lagi aturan adat kebiasaan
di berbagai bagian Indonesia yang berbenturan dengan hukum nasional dan bahkan
bertentangan dengan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM).

Memperhatikan berbagai persoalan tersebut, maka pengaturan hukum yang hidup di


masyarakat dalam Pasal 2 ayat (1) RUU KUHP apakah tidak akan menggoyahkan asas legalitas
sebagaimana diatur dalam Pasal 1 RUU KUHP, karena relativitas pandangan suatu masyarakat
atau daerah terhadap suatu perbuatan sebagai kejahatan dikhawatirkan akan menimbulkan
perbenturan antara hukum yang hidup di masyarakat dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Hal ini pada dasarnya setiap masyarakat mempunyai kecenderungan
untuk menentukan perbuatan mana yang ditakutkan akan mencederai strukturnya dan kemudian
menyebutnya sebagai kejahatan. Oleh karena itu bukan hanya definisi kejahatan berbeda dari
satu kebudayaan ke kebudayaan lain, tetapi setiap orang, pengaturan dan penegakan ketentuan
legal bisa jadi relatif kepada kebutuhan dan keadaan suatu masyarakat tertentu.

Pendapat penulis dari uraian dan penfasiran diatas dalam upaya melakukan
pembaharuan hukum pidana, pada hakikatnya termasuk bidang kebijakan hukum pidana yang
merupakan bagian dan terkait erat dengan kebijakan penegakan hukum, kebijakan kriminal dan
kebijakan social melalui politik hukum. pembaharuan hukum pidana pada prinsipnya
merupakan bagian dari kebijakan (upaya rasional) untuk memperbaharui substansi hukum
dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum, menanggulangi kejahatan dalam rangka
perlindungan masyarakat, serta mengatasi masalah sosial dan masalah kemanusiaan dalam
rangka mencapai tujuan nasional yaitu perlindungan sosial dan kesejahteraan sosial dan
terhadap silang pendapat Pasal 2 RUU KUHP 2012 telah diperlengkapi dengan ketentuan Pasal
100 RUU KUHP 2012 dalam implementasinya tidak akan menyulitkan aparatur penegak
hukum untuk mencari atau menemukan unsur perbuatan yang dilanggar dalam hukum yang
hidup di masyarakat. Asas legalitas yang pada intinya berisi asas lex temporis delicti hanya
memberikan perlidungangan kepada individu pelaku tindak pidana dan kurang memberikan
perlindungan kepada masyatakat/kelompok masyarakat yang menjadi korban tindak pidana,
sehingga akses untuk memperoleh keadilan bagi korban terutama korban kolektif terhambat.

3. Perluasan asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP (Asas Legalitas Materiil)
dikaitkan dengan makna dari asas legalitas.
Dalam hukum pidana Indonesia, asas legalitas diatur dengan jelas dalam Pasal 1 ayat
(1) KUHP yang menentukan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan
kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada. Pasal 1 ayat (1) KUHP ini
memuat dua hal penting yaitu: pertama, perbuatan pidana harus ditentukan terlebih dahulu
dalam perundang-undangan. Kedua, perundang-undangan harus ada sebelum terjadinya
perbuatan pidana tersebut.
Asas legalitas yang telah diakui secara universal dalam sistem hukum pidana nasional
yang dianut banyak negara tersebut12 diatur kembali dalam Pasal 1 RUU KUHP draf tahun
2010. Pasal 1 ayat (1) RUU KUHP menentukan bahwa tiada seorang pun dapat dipidana atau
dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana
dalam peraturan perundangundangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.
Sebagaimana penjelasan dari ayat tersebut yang menyatakan bahwa ayat ini mengandung asas
legalitas. Asas ini menentukan bahwa suatu perbuatan hanya merupakan tindak pidana apabila
ditentukan demikian oleh atau didasarkan pada UndangUndang. Dipergunakannya asas
tersebut, oleh karena asas legalitas merupakan asas pokok dalam hukum pidana. Oleh karena
itu, ketentuan peraturan perundang-undangan pidana atau yang mengandung ancaman pidana
harus sudah ada sebelum tindak pidana dilakukan. Hal ini, berarti bahwa ketentuan pidana
tidak berlaku surut demi mencegah kesewenang-wenangan penegak hukum dalam menuntut
dan mengadili seseorang yang dituduh melakukan suatu tindak pidana.
Selanjutnya Pasal 1 ayat (2) RUU KUHP menentukan bahwa dalam menetapkan
adanya tindak pidana dilarang menggunakan analogi. Penjelasan ayat ini menyebutkan bahwa
larangan penggunaan penafsiran analogi dalam menetapkan adanya tindak pidana merupakan
konsekuensi dari penggunaan asas legalitas. Penafsiran analogi berarti bahwa terhadap suatu
perbuatan yang pada waktu dilakukan tidak merupakan suatu tindak pidana, tetapi terhadapnya
diterapkan ketentuan pidana yang berlaku untuk tindak pidana lain yang mempunyai sifat atau
bentuk yang sama, karena kedua perbuatan tersebut dipandang analog satu dengan yang lain.

12
Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana Kontemporer, Jakarta: Fikahati Aneska, 2009, hal. 106.
Dengan ditegaskannya larangan penggunaan analogi maka perbedaan pendapat yang timbul
dalam praktek selama ini dapat dihilangkan.
Namun selanjutnya Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP menentukan bahwa ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam
masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut
tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan. Penjelasan ayat ini menyebutkan sebagai
berikut: adalah suatu kenyataan bahwa dalam beberapa daerah tertentu di Indonesia masih
terdapat ketentuan hukum yang tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat dan berlaku sebagai
hukum di daerah tersebut. Hal yang demikian terdapat juga dalam lapangan hukum pidana
yaitu yang biasanya disebut dengan tindak pidana adat. Untuk memberikan dasar hukum yang
mantap mengenai berlakunya hukum pidana adat, hal tersebut mendapat pengaturan secara
tegas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini. Ketentuan pada ayat ini merupakan
pengecualian dari asas bahwa ketentuan pidana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Diakuinya tindak pidana adat tersebut untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam
masyarakat tertentu.
Sedangkan Pasal 1 ayat (4) RUU KUHP menentukan bahwa berlakunya hukum yang
hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sepanjang sesuai dengan nilai-
nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-
bangsa. Penjelasan ayat ini menyebutkan bahwa ayat ini mengandung pedoman atau kriteria
atau rambu-rambu dalam menetapkan sumber hukum materiil (hukum yang hidup dalam
masyarakat) yang dapat dijadikan sebagai sumber hukum (sumber legalitas materiil). Pedoman
pada ayat ini berorientasi pada nilai nasional dan internasional.
Jika Pasal 1 RUU KUHP dibaca secara utuh maka akan berbunyi sebagai berikut:
hukum pidana menganut asas legalitas dengan larangan analogi.
Namun asas legalitas dapat dikecualikan dengan memberlakukan hukum yang hidup dalam
masyarakat. Hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut adalah yang sesuai dengan nilai-
nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-
bangsa.
Dengan kata lain hukum pidana Indonesia mengakui adanya dua asas legalitas yaitu
asas legalitas formil sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (1) RUU KUHP dan asas legalitas
materiil sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP. Dasar patut dipidananya suatu
perbuatan pada asas legalitas formal adalah undang-undang yang sudah ada sebelum perbuatan
tersebut dilakukan (hukum tertulis). Sedangkan pada asas legalitas materiel menentukan bahwa
dasar patut dipidana suatu perbuatan adalah hukum yang hidup dalam masyarakat (hukum tidak
tertulis).13
RUU KUHP tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan hukum yang hidup dalam
masyarakat. Penjelasan Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP hanya menyebutkan bahwa “...dalam
beberapa daerah tertentu di Indonesia masih terdapat ketentuan hukum yang tidak tertulis yang
hidup dalam masyarakat dan berlaku sebagai hukum di daerah tersebut. Hal yang demikian
terdapat juga dalam lapangan hukum pidana yaitu yang biasanya disebut dengan tindak pidana
adat.....”. Dari penjelasan tersebut, RUU KUHP hanya membatasi hukum yang hidup dalam
masyarakat adalah tindak pidana adat. Dengan demikian, Perumus RUU KUHP tidak
mengakui hukum agama sebagai hukum yang juga diyakini dan hidup dalam masyarakat.
Mengenai tindak pidana adat, RUU KUHP juga tidak tegas mengatur tindak pidana adat yang
mana yang dapat dikenai pidana apabila tindak pidana adat tersebut dilanggar.
Melalui asas legalitas, hukum pidana menghendaki aturan yang tertulis dan cermat.
Sementara sebagian besar hukum yang hidup dalam masyarakat tidak tertulis. Pada dasarnya,
munculnya terminologi hukum yang hidup dalam masyarakat dalam RUU KUHP tidak lain
adalah untuk menunjuk hukum selain hukum yang dibentuk oleh negara. Dengan demikian,
secara kasat mata RUU KUHP ini seolah membuka peluang pluralisme hukum walaupun
mekanisme penyelesaiannya tetap menggunakan peradilan pidana. Dengan kata lain, asas
legalitas dihadapkan dengan pemberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat
Terdapat dua hal penting dari adanya asas legalitas formil (Pasal 1 ayat (1) RUU
KUHP) yaitu: pertama, suatu perbuatan harus dirumuskan dulu dalam peraturan perundang-
undangan. Kedua, peraturan perundang-undangan tersebut harus ada terlebih dahulu sebelum
terjadinya perbuatan tersebut. Konsekuensi dari kedua hal tersebut adalah perbuatan seseorang
yang tidak tercantum dalam peraturan perundang-undangan sebagai suatu tindak pidana tidak
dapat dipidana. Dengan kata lain, hukum tidak tertulis tidak dapat diterapkan.
Peraturan perundang-undangan pidana harus ada terlebih dahulu sebelum terjadinya
perbuatan tersebut, artinya ketentuan hukum pidana tidak diperbolehkan berlaku surut.
Ketentuan dipertegas dengan adanya larangan penggunaan analogi dalam Pasal 1 ayat (2) RUU
KUHP. Dengan demikian, sebenarnya Pasal ini melarang penerapan Pasal 1 ayat (3) RUU
KUHP yang memberlakukan hukum yang hidup dalam masyarakat.

13
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana – Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru,
Jakarta: Kencana, 2008, hal. 75.
Ketentuan Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP juga bertentangan dengan makna dari asas
legalitas yang mengharuskan perumusan tindak pidana yang jelas (asas lex certa). Perumusan
tindak pidana melalui undang-undang tidak lain sebagai wujud kewajiban pembentuk undang
untuk merumuskan ketentuan pidana secara rinci dan secermat mungkin.
Penjelasan Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP menyebutkan bahwa ketentuan dalam ayat ini
merupakan pengecualian dari asas legalitas. Diakuinya tindak pidana adat tersebut untuk lebih
memenuhi rasa keadilan. Pengakuan hukum yang tidak tertulis ini, dengan demikian
menjadikannya sebagai hukum yang formal. Sebagaimana penjelasan Pasal 1 ayat (3) RUU
KUHP yang menyebutkan: “adalah suatu kenyataan bahwa dalam beberapa daerah tertentu di
Indonesia masih terdapat ketentuan hukum yang tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat
dan berlaku sebagai hukum di daerah tersebut. Hal yang demikian terdapat juga dalam
lapangan hukum pidana yaitu yang biasanya disebut dengan tindak pidana adat. Untuk
memberikan dasar hukum yang mantap mengenai berlakunya hukum pidana adat, hal tersebut
mendapat pengaturan secara tegas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini”.
Dengan memasukkan hukum yang hidup dalam masyarakat (hukum tidak tertulis)
menjadi hukum yang formal membawa implikasi yaitu penegakan hukum yang hidup dalam
masyarakat akan dilakukan oleh negara melalui sistem peradilan pidana. Jika terjadi
pelanggaran maka akan diproses melalui proses formal baik penyelidikan, penyidikan,
penuntutan/pemeriksaan di pengadilan maupun pelaksanaan pidana. Artinya, diperlukan aparat
penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim) yang mengerti mengenai hukum yang hidup dalam
masyarakat dimana dia bertugas.
Dari Penjelasan Umum RUU KUHP tergambar bahwa pemikiran pembentuk RUU
KUHP untuk memasukan hukum pidana yang hidup dalam masyarakat ke dalam hukum
formal, bertitik tolak dari keseimbangan monodualistik yaitu asas keseimbangan antara
kepentingan/perlindungan individu dengan kepentingan/perlindungan masyarakat dan
keseimbangan antara kepastian hukum dengan keadilan. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa menurut Perumus RUU KUHP ketentuan asas legalitas formil (Pasal 1 ayat (1)
mengedepankan kepastian hukum dan asas legalitas materiil (Pasal 1 ayat (3)) mengedepankan
keadilan. Asas legalitas formil lebih mementingkan kepastian hukum di atas keadilan dan asas
legalitas materiil lebih mementingkan keadilan di atas kepastian hukum.
Asas legalitas formil menghendaki adanya peraturan sebelum tindakan yang dianggap
melanggar hukum itu terjadi, dengan kata lain menunjukkan tentang kepastian hukum dan
mengesampingkan keadilan, hal ini disebabkan karena proses hukum pidana bermuara pada
penjatuhan pidana. Asas legalitas merupakan sarana utama untuk mencegah kesewenang-
wenangan penguasa dalam pemidanaan, dengan kata lain segala kewenangan penguasa harus
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan. Dengan demikian sebagai
sarana kepastian hukum bagi rakyat, hal ini berarti asas legalitas formil dapat menjadi sarana
mewujudkan keadilan dalam pemidanaan.
Asas legalitas materiil yang mengakui keberadaan hukum adat sebagai hukum tidak
tertulis mengedepankan keadilan di atas kepastian hukum. Sulit membayangkan bagaimana
agar keseimbangan antara kepastian dan keadilan tersebut dapat terwujud apabila keadilan
sendiri tidak dapat diukur. Tepat bahwa tujuan hukum adalah keadilan, tanpa keadilan sebagai
tujuan akhirnya, maka hukum hanya akan menjadi alat pembenaran kesewenang-wenangan
mayoritas atau pihak penguasa terhadap minoritas atau pihak yang dikuasai. Namun bagaimana
mewujudkan keadilan di atas kepastian hukum apabila konsep keadilan itu sendiri belum jelas,
banyak pandangan yang berbeda mengenai keadilan dari beberapa teoritikus hukum. Ukuran
keadilan bisa “subyektif” dan “relatif”. “Subyektif”, karena ditentukan oleh manusia yang
mempunyai wewenang memutuskan itu tidak mungkin memiliki kesempurnaan yang absolut.
“Relatif”, karena bagi seseorang dirasakan sudah adil, namun bagi orang lain dirasakan sama
sekali tidak adil.
Penekanan keadilan di atas kepastian hukum dikhawatirkan akan memberikan
pembenaran kepada hakim untuk menyimpang dari kepastian hukum. Keadilan seharusnya
mengandung elemen tidak memihak, jujur dan adil, persamaan perlakuan dan kepatutan atas
dasar nilai-nilai yang berkembang dan dan diterima masyarakat. Permasalahan lain adalah
apakah dengan menjadikan hukum yang hidup dalam masyarakat menjadi hukum yang formil
dapat menjamin terpenuhinya rasa keadilan masyarakat.
Tujuan hukum adalah terciptanya suatu kedamaian yang didasarkan pada suatu
keserasian antara ketertiban dengan ketentraman. Tujuan hukum akan tercapai apabila
didukung oleh tugas hukum, yakni keserasian antara kepastian hukum dengan kesebandingan
hukum, sehingga akan menghasilkan suatu keadilan. 14 Dengan demikian, keadilan adalah
tujuan hukum yang dapat dicapai dengan adanya kepastian hukum.
Alasan lain Perumus RUU KUHP memasukkan hukum yang hidup dalam masyarakat
karena masih banyak perbuatan lain yang oleh masyarakat dianggap sebagai perbuatan jahat
tetapi belum tertampung dalam RUU. Pemikiran demikian dapat dipersamakan dengan

14
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum – Studi pemikiran Ahli Hukum
Sepanjang Zaman, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009, hal. 39.
anggapan masih terdapat criminal extra ordinaria dalam konsep jaman Romawi Kuno. Dengan
kata lain, masih banyak crimina stellionatus (perbuatan jahat atau durjana) yang tidak
tertampung KUHP. Padahal dalam RUU KUHP sudah banyak dirumuskan jenis-jenis tindak
pidana baru. Tindak pidana baru tersebut antara lain: janji kawin (yang bersetubuh dengan
perempuan dengan janji kawin yang kemudian diingkari), kumpul kebo, dan sebagainya.
Pada dasarnya tujuan akhir dari kebijakan kriminal, yaitu perlindungan masyarakat
untuk mencapai tujuan utama yang sering disebut dengan berbagai istilah misalnya
“kebahagiaan warga masyarakat/penduduk” (happines of the citizens); “kehidupan kultural
yang sehat dan menyegarkan” (a wholesome and cultural living), “kesejahteraan masyarakat”
(social welfare) atau untuk mencapai keseimbangan (equality). 15 Perlindungan masyarakat
yang dimaksud tentunya meliputi kepentingan pelaku, korban, dan masyarakat. Jika masih
banyak crimina stellionatus yang perlu dipidana apabila perbuatan tersebut dilanggar maka
dapat dilakukan melalui kebijakan kriminal melalui pembentukan undang-undang dengan
tujuan untuk menegakkan norma-norma pokok dari masyarakat (termasuk norma adat, tindak
pidana adat) tersebut.
Melalui kebijakan kriminal, hukum pidana (Pen: Perumus RUU KUHP) menyaring
dari sekian banyak perbuatan yang tercela, yang tidak susila atau yang merugikan masyarakat
sejumlah perbuatan yang dijadikan tindak pidana. Tidak mungkin semua perbuatan tersebut
(yang tercela, yang tidak susila, atau yang merugikan) dapat dijadikan tindak pidana. Dalam
hal ini, Perumus RUU KUHP sebagai pembuat kebijakan harus memperhatikan empat hal:
tujuan hukum pidana; penetapan perbuatan yang tidak dikehendaki; perbandingan antara
sarana dan hasil; dan kemampuan badan penegak hukum.16
Selanjutnya terkait dengan “hukum yang hidup dalam masyarakat”, Pasal 1 ayat (3)
RUU KUHP tidak memberikan pengertian yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan
hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut. RUU juga tidak memberikan batasan yang jelas
hukum yang hidup yang mana yang akan diterapkan. RUU KUHP juga tidak memberikan
lingkup keberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat. Pasal 1 ayat (4) RUU KUHP
menentukan batasan hukum yang hidup dalam masyarakat adalah yang sesuai dengan nilainilai
Pancasila dan prinsip-prinsip yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa. Namun, batasan ini
tidak memberikan kepastian hukum karena masih bersifat multi-interpretasi.

15
Summary report dari 34th International Training Course yang diselenggarakan oleh UNAFEI di Tokyo tahun 1973,
dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, 1992, hal. 158.
16
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 2007, hal. 36.
Dari penjelasan Pasal 1 ayat (1) RUU KUHP hanya ada penyebutan mengenai tindak
pidana adat sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat. Tidak ada ketentuan yang jelas apa
yang dimaksud dengan hukum yang hidup dalam masyarakat atau tindak pidana tersebut.
Ketentuan ini akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang justeru bertentangan dengan asas
legalitas itu sendiri. Ketidakpastian hukum akan semakin nyata jika dilihat dari karakter tindak
pidana adat.
Tindak pidana adat adalah hukum yang menunjukkan peristiwa dan perbuatan yang
harus diselesaikan (dihukum) dikarenakan peristiwa dan perbuatan itu telah mengganggu
keseimbangan masyarakat. Berbeda dengan hukum pidana yang menekankan peristiwa apa
yang dapat diancam dengan hukuman serta macam apa hukumannya, dikarenakan peristiwa itu
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. 17 Tidak ukuran kapan keseimbangan
masyarakat terganggu akibat dari suatu perbuatan.
Asas legalitas menghendaki peraturan yang dituliskan dalam perundangundangan
dirumuskan dengan rinci (lex certa), tidak diberlakukan surut (non retroaktif), dan larangan
analogi. Sedangkan hukum yang hidup dalam masyarakat tidak tertulis dan tidak mempunyai
rumusan yang jelas mengenai perbuatan yang dilarang tersebut. Masyarakat seharusnya sudah
tahu apakah perbuatan yang ia lakukan merupakan tindak pidana atau bukan. Oleh karena itu
asas legalitas juga melarang ketentuan yang berlaku surut, hal ini untuk menegakkan kepastian
hukum bagi masyarakat.
Selain itu Penjelasan Pasal 1 ayat (2) RUU KUHP menyebutkan bahwa larangan
penggunaan analogi merupakan konsekuensi dari penggunaan asas legalitas. Penafsiran
analogi berarti bahwa terhadap suatu perbuatan yang pada waktu dilakukan tidak merupakan
suatu tindak pidana, tetapi terhadapnya diterapkan ketentuan pidana yang berlaku untuk tindak
pidana lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang sama, karena kedua perbuatan tersebut
dipandang analog satu dengan yang lain.
Melalui penerapan hukum yang hidup dalam masyarakat, perbuatan yang semula bukan
tindak pidana berdasarkan KUHP dapat menjadi tindak pidana, tidak lain merupakan suatu
analogi. Berdasarkan hukum yang hidup dalam masyarakat, yang deliknya tidak diatur dalam
ketentuan pidana, seseorang dapat dimintai pertanggungjawabannya. Hal semacam ini
merupakan suatu bentuk analogi yang bersifat gesetz analogi.18 Sedangkan Pasal 1 ayat (2)
RUU KUHP secara tegas telah melarang penggunaan analogi.

17
Hilman Hadikusuma, Hukum Pidana Adat, Bandung: Alumni, 1989, hal. 8.
18
Gesetz analogi adalah analogi terhadap suatu perbuatan yang sama sekali tidak terdapat dalam hukum pidana.
Meskipun hukum ketentuan adat didasarkan pada tradisi yang menurut hukum adat
berlaku, tetapi dalam cara penyelesaiannya akan selalu terbuka dan selalu dapat menerima
segala sesuatu yang baru, oleh karenanya akan selalu tumbuh ketentuan-ketentuan yang baru.
Hal ini disebabkan karena apa yang disepakati di hari kemarin belum tentu sesuai dengan apa
yang disepakati hari ini, begitu pula yang akan disepakati di masa-masa mendatang, walaupun
segala sesuatunya berpedoman pada apa yang digariskan dari masa leluhur.19
Selain itu, hukum yang hidup dalam masyarakat (hukum pidana adat) tidak bersifat
pasti, sifat ketentuannya selalu terbuka untuk segala peristiwa atau perbuatan yang mungkin
terjadi, sangat berbeda dengan konsep asas legalitas yang menghendaki aturan yang tertutup.
Yang penting dijadikan ukuran menurut hukum adat adalah rasa keadilan menurut kesadaran
hukum masyarakat sesuai dengan perkembangan keadaan, waktu, dan tempat. 31 Hal ini
menunjukkan tidak adanya kepastian bagi masyarakat. Dengan demikian, apa yang disebutkan
dalam Penjelasan RUU KUHP bahwa pencantuman hukum yang hidup dalam masyarakat tidak
akan mengganggu asas legalitas adalah tidak tepat. Dengan kata lain, perluasan asas legalitas
yang mencantumkan hukum yang hidup dalam masyarakat bertentangan dengan makna dari
asas legalitas itu sendiri.

19
Hilman Hadikusuma, Hukum Pidana Adat, Bandung: Alumni, 1989, hal. 12. 31 Ibid.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. KUHP dianggap tidak dapat menampung berbagai permasalahan dan perkembangan
bentuk-bentuk tindak pidana baru, yang tentu saja sejalan dengan perkembangan dan
dinamika masyarakat. Asas legalitas yang pada ntinya berisi asas lex temporis delicti
hanya memberikan perlidungan kepada individu pelaku tindak pidana dan kurang
memberikan perlindungan kepada masyatakat/kelompok masyarakat yang menjadi
korban tindak pidana, sehingga akses untuk memperoleh keadilan bagi korban
terutama korban kolektif terhambat;

2. Politik hukum dalam pembaharuan hukum pidana Indonesia (RUU KUHP terhadap
Asas Legalitas) hendaklah diiringi dengan kebijaksanaan dan kewaspadaan. Artinya,
jika hal-hal yang berbau dogma didalam KUHP digunakan secara kaku (tanpa
kebijaksanaan), maka output yang dihasilkan tentu saja menghambat tujuan penegakan
hukum pidana, bahkan tidak tertutup kemungkinan menghambat ide-ide pembaharuan
hukum pidana Indonesia yang selalu digaungkan. Materi aturan hukum yang harus
menjamin keserasian di antara peraturan perundang-undangan yang berbeda
derajatnya, sebab adanya pertentangan di antara peraturan perundangundangan akan
menimbulkan ketidakpastian hukum;

3. Pemantaban dan menajalankan arah dan kebijakan politik hukum nasional, dalam
menentukan arah dan kebijakkan politik hukum nasional dimana hukum nasional
sebagai hukum atau peraturan perundang-undangan yang dibentuk dan dilaksanakan
untuk mencapai tujuan, dasar, dan cita hukum suatu Negara. Dan hukum nasional
Indonesia adalah kesatuan atau peraturan perundang-undangan yang dibangun untuk
mencapai tujuan Negara yang besumber pada Pembukaan dan Pasal-Pasal UUD 1945.
DAFTAR PUSTAKA

Arief, Barda Nawawi. 2011. Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana
(Menyongsong Generasi Baru Hukum Pidana Indonesia): Pidato Pengukuhan Guru Besar
Ilmu Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Semarang: Pustaka
Magister.

Arief, Barda Nawawi. 2011. Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian
Perbandingan. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Arief, Barda Nawawi. 2012. Pelengkap Hukum Pidana I. Semarang: Pustaka Magister.

Arief, Barda Nawawi. 2012. RUU KUHP Baru: Sebuah Restrukturisasi/Rekonstruksi Sistem
Hukum Pidana Indonesia. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Arief, Barda Nawawi. 2015. Perkembangan Sistem Pemidanaan di Indonesia. Semarang:


Pustaka Magister.

Jaya, Nyoman Srikat Putra, 2018, Politik Hukum, Semarang: Semarang, Universitas
Diponegoro

Jaya, Nyoman Srikat Putra, 2017, Pembaharuan Hukum Pidana, Semarang: Pustaka Rizki
Putra.

Moeljatno. Membangun Hukum (Pidana) yang Berlaku Sesuai dengan Tugasnya untuk
Menyelaraskan Revolusi Kita. Kuliah Umum di FKIP Muhammadiyah Surakarta pada
tanggal 7 Maret 1964.

Pradityo, Randy. Internasionalisme dalam Pancasila. Makalah disampaikan pada Kongres


Pancasila VIII yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada
(UGM) Yogyakarta pada tanggal 30 Mei 1 Juni 2016.

Saleh, Roeslan. 1983. Suatu Reorientasi dalam Hukum Pidana. Jakarta: Aksara Baru. Soedarto.
2010. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: PT. Alumni.

Soedarto. 2010. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: PT. Alumni.

Soedarto. 1983.”Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat”. Bandung: Sinar Baru.

Siti Rubaidah, Sinarharapan.net/2017/10/mengapa-pasal2-ayat-1-ruu-kuhp-harus-dihapuskan/

Anda mungkin juga menyukai