Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

“ASAS LEGALITAS BERDASARKAN HUKUM PIDANA


POSITIF DAN HUKUM ISLAM”

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Perbandingan Hukum Pidana

Oleh :

MUHAMMAD HASAN MUSTOFA

20302100183

Dosen Pengampu :

Prof. Dr. Hj. Sri Endah Wahyuningsih, S.H., M.Hum.

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG

SEMARANG

2023
BAB I
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang

Pada Jaman Romawi Kuno dikenal adanya istilah criminal extra


ordinaria, yang berarti kejahatan-kejahatan yang tidak disebutkan dalam undang-
undang. Ketika hukum Romawi kuno diterima oleh raja-raja Eropa Barat, istilah
criminal extra ordinaria diterima pula. Kondisi ini kemudian memungkinkan raja-
raja yang berkuasa untuk bertindak sewenang-wenang terhadap perbuatan-
perbuatan yang dikatakan jahat, namun belum diatur di dalam undang-undang.
Lahirnya Magna Charta Libertatum di Inggris pada 1215 merupakan salah bentuk
reaksi terhadap praktik kesewenang-wenangan raja di masa itu. Ini adalah fase
pertama ketika manusia mulai memikirkan dan memperjuangkan hak-haknya
sebagai manusia. Upaya penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia
sebenarnya telah ada sebelum lahirnya Magna Charta. Kitab suci agama Hindu,
Veda, telah membicarakan perlunya penghormatan atas hak-hak asasi manusia
sejak 3000 tahun yang lalu. Piagam Madinah yang ditandatangani Nabi
Muhammad SAW pada abad ke 6 Masehi, sebenarnya juga merupakan deklarasi
kesepakatan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia.1

Asas legalitas yang dikenal dalam hukum pidana modern muncul dari
lingkup sosiologis Abad Pencerahan yang mengagungkan doktrin perlindungan
rakyat dari perlakuan sewenang-wenang kekuasaan. Sebelum datang Abad
Pencerahan, kekuasaan dapat menghukum orang meski tanpa ada peraturan
terlebih dulu. Saat itu, selera kekuasaanlah yang paling berhak menentukan
apakah perbuatan dapat dihukum atau tidak. Untuk menangkalnya, hadirlah asas
legalitas yang merupakan instrumen penting perlindungan kemerdekaan individu
saat berhadapan dengan negara. Dengan demikian, apa yang disebut dengan
perbuatan yang dapat dihukum menjadi otoritas peraturan, bukan kekuasaan.
Perlindungan terhadap hak-hak rakyat banyak yang pada mulanya dilakukan

1 Fajrimei A. Gofar, Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP, Position Paper Advokasi
RUU KUHP Seri #1, ELSAM (Lembaga Studi Dan Advokasi Masyarakat), hlm. 5
melalui perjuangan dengan asas politik, yakni dengan menghadapkan kepentingan
rakyat vis a vis kekuasaan raja yang absolut. Akar gagasan asas legalitas berasal
dari ketentuan Pasal 39 Magna Charta (1215) di Inggris, yang menjamin adanya
perlindungan rakyat dari penangkapan, penahanan, penyitaan, pembuangan, dan
dikeluarkannya seseorang dari perlindungan hukum/undang-undang, kecuali ada
putusan peradilan yang sah. Ketentuan ini diikuti Habeas Corpus Act (1679) di
Inggris yang mengharuskan seseorang yang ditangkap diperiksa dalam waktu
singkat. Pasca lahirnya Magna Charta dan Habeas Corpus Act, jaminan atas hak
dan kewajiban rakyat kemudian berubah menjadi asas-asas hukum. Asas-asas
hukum ini dirumuskan dalam hukum tertulis, agar memiliki jamian kepastian
hukum (rechtszekerheid). Pelopor perjuangan politik dan hukum di Inggris adalah
John Locke (1760).2

Perjuangan rakyat Inggris tersebut kemudian berkembang hingga ke


Perancis, sebagai bentuk perlawanan atas kesewenag-wenangan raja Louis XIV,
dengan simbol Penjara Bastille sebagai simbol kekuasaan raja yang despotis.
Perjuangan rakyat Perancis dipengaruhi oleh dua orang filsuf paling terkemuka
Abad Pencerahan, Charles Montesquieu (1689-1755) dan Jean Jacques Rousseau
(1712-1778). Montesquieu lewat bukunya L’esprit des Lois (1748) dan bukunya
Rousseau “Dus Contrat Social, ou principes du droit politique” (1762)
memperkenalkan pemikiran asas legalitas, sebagai bentuk perlawanan terhadap
konsep Let’s ces moi, yang didengungkan Raja Louis. Selain dipengaruhi oleh
kedua filsuf tersebut perkembangan asas legalitas di Perancis juga dipengaruhi
oleh Marquis de Lafayette, seorang sahabat George Washington, yang membawa
pemikiran asas legalitas dari Amerika ke Perancis. Di Amerika, ketentuan asas
legalitas sudah dicantumkan dalam Declaration of Independence 1776, di sana
disebutkan tiada seorang pun boleh dituntut atau ditangkap selain dengan, dan
karena tindakan-tindakan yang diatur dalam, peraturan perundang-undangan.
Pemikiran asas legalitas kemudian diimplementasikan sebagai undang-undang

2 Bambang Purnomo, Asas-Asas Hukum Pidana, 1994, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 68-
69.
dalam Pasal 8 Declaration des droits de L’homme et du citoyen (1789). Asas ini
kemudian dimasukkan dalam Pasal 4 Code Penal Perancis pada masa
pemerintahan Napoleon Bonaparte (1801). Bunyi ketentuan ini adalah bahwa “
Tidak ada sesuatu yang boleh dipidana selain karena suatu wet yang ditetapkan
dalam undang-undang dan diundangkan secara sah.”3 Beccaria, dalam “Dei
delitti e drllee pene” (Over misdaden en straffen 1764) juga menyatakan bahwa
individu harus dilindungi dari perbuatan sewenang-wenang. Oleh karenanya perlu
dibuat suatu hukum sebelum delik itu terjadi. Hukum itu harus mengatur dengan
jelas dan tegas, sehingga bisa memberi petunjuk dalam menjalankan peradilan
pidana. 4

Perjalanan selanjutnya, Von Feuerbach seorang sarjana Jerman,


merumuskan adagium “Nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali.”
Bahwa tidak delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu. Adagium ini
terkandung dalam bukunya Lehrbuch des peinlichen Rechts (1801). Asas legalitas
yang dikemukakan oleh Feuerbach mengandung tiga pengertian:5

1. Tidak ada perbuatan dapat dipidana, apabila belum diatur dalam undang-
undang.
2. Dalam menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan
analogi.
3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut (non retroaktif).

Ketentuan asas legalitas diakui pertama kali oleh konstitusi Amerika Serikat
tahun 1783, dicantumkan dalam Article I Section 9 yang berbunyi: “No bill of
attainder or ex post pacto law shall be passed”. Lalu diikuti oleh Perancis di
dalam Declaration des droits de L’homme et du citoyen 1789. Selanjutnya
ketentuan ini diikuti oleh negara-negara yang menganut sistem hukum Eropa
Kontinental kepastian hukum dijunjung tinggi.

3 Molejatno, Asas-Asas Hukum Pidana, 2002, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 24.
4 Bambang Purnomo, op.cit, hal. 69.
5 Moeljatno, op.cit, hal. 25.
B. Rumusan Masalah

1. Bagiamana Pelaksanaan Asas legalitas Menurut KUHP dan Hukum Islam ?

2. Bagaimana Perbandingan Asas Legalitas Mnurut KUHP, RUU KUHP, dan


Hukum Islam ?

BAB II

PEMBAHASAN

1. Pelaksanaan Asas Legalitas Menurut Kitab Undang-Undang Hukum


Pidana (KUHP) dan Hukum Islam

Asas legalitas pidana adalah suatu perbuatan termasuk dalam kategori kejahatan
hanya dapat ditentukan oleh pembuat undang-undang( legislator) saja begitu juga
dengan penjelasan hukuman-hukuman yang termuat di dalam undang-undang.
Tidak adanya otoritas seorang hakim untuk menentukan perbuatan-perbuatan yang
termasuk dalam kejahatan atau tidaknya, dan seorang hakim juga tidak bisa untuk
menentukan suatu hukuman atas suatu kejahatan kecuali apa yang telah termaktub
di dalam undang-undang.

Perundang-undangan pada umumnya memiliki masa berlaku yang terbatas, suatu


keadaan yang masih memiliki kekuatan hukum untuk diterapkan, dan waktu itu
dihitung mulai dari tanggal dikeluarkannya suatu peraturan perundang-undangan
hingga tanggal berakhirnya masa undang-undang tersebut. Adapun waktu sebelum
undang-undang dikeluarkan dan sesudah habisnya masa undang-undang tersebut,
maka undang-undang ini tidak dapat diterapkan dan diaplikasikan untuk kejadian
yang ada pada waktu-waktu tersebut.

Asas legalitas ini dalam hukum pidana sangat penting, terutama berkaitan dengan
kepastian hukum, hak asasi manusia, maupun rasa keadilan yang hingga saat ini
masih terus di pertanyakan dalam banyak penerapan hukum di Indonesia.
Kepatuhan seseorang atas suatu peraturan hokum lebih utama karena peraturan
hokum itu bersifat memaksa.6

Hal ini dapat terlihat dalam banyak sisi kehidupan dewasa ini , yakni saat
bersentuhan dengan hukum pidana dan khususnya asas legalitas ini, terlihat
lemahnya penerapan hukum pidana antara lain : subjek tindak pidana hanya orang,
tidak adanya sistem perumusan ancaman pidana secara kumulasi dan kumulasi
alternatif, tidak adanya pidana minimal khusus, tidak adanya jenis sanksi pidana
khusus dan aturan pemidanaan umum. Asas tersebut bisa mengakibatkan
seseorang dapat dipidana dengan alasan melakukan atau tidak melakukan suatu
tindakan yang tidak diperhitungkan atau tidak diketahui akan membawanya pada
pertanggungjawaban pidana. Keadilan dalam hukum secara harfiahnya
mempunyai makna yang sempit yakni apa yang sesuai dengan hukum dianggap
adil sedang yang melanggar hukum dianggap tidak adil. Jika terjadi pelanggaran
hukum, maka harus dilakukan pengadilan untuk memulihkan keadilan. Dalam hal
terjadinya pelanggaran pidana atau yang dalam bahasa sehari-hari disebut
“kejahatan” maka harus dilakukan pengadilan yang akan melakukan pemulihan
keadilan dengan menjatuhkan hukuman kepada orang yang melakukan
pelanggaran pidana atau kejahatan tersebut.

Masyarakat umum hanya menangkap dan memperoleh kesan bahwa sanksi


hukum pidana Islam, bila dilaksanakan kejam dan mengerikan. Mereka hanya
menggambarkan tentang betapa kejamnya sanksi hukum potong tangan terhadap
pencuri, hukum rajam terhadap orang yang berzina, serta hukum jilid (dera).
Mereka tidak memahami tentang sistem hukum Islam dan sistem peradilan Islam
serta eksekusi pelaksanaan sanksinya. Kehadiran Kitab Undang-undang Hukum
Pidana Nasional yang ideal sangat ditunggu oleh seluruh masyarakat Indonesia,
karena sebagian dari pasal-pasal KUHP yang dipakai sekarang, tidak cocok dan
sesuai lagi dengan kultur dan budaya kita. Oleh karenanya, upaya pembaharuan

6
Taufiqurrohman S.SH,Pelaksanaan HAM Yang Berkeadilan ,Jurnal Hukum Vol.1 No 2,Agustus
2001,hal 25.
dan penyempurnaan KUHP tersebut terus dilakukan untuk mengganti KUHP
warisan kolonial Belanda. Namun, upaya ini tidaklah mudah dan membutuhkan
bahan kajian komperatif yang kritis dan konstruktif.

Prospek pidana Islam dalam sistem hukum Nasional akan sangat mengembirakan
sepanjang pihak-pihak terkait dalam pengembangan pidana Islam mampu untuk
mengoptimalkan kekuatan dan peluang, baik yang bersumber dari Pancasila dan
UNDANG UNDANG 1945 sebagai konstitusi negara, maupun yang dimiliki oleh
hukum pidana Islam serta mampu mengeliminir kekurangan dan hambatan yang
ada dan mencarikan solusinya. Di dalam negara hukum, setiap aspek tindakan
pemerintahan baik dalam lapangan pengaturan maupun dalam lapangan pelayanan
harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan atau berdasarkan
padalegalitas. Artinya pemerintah tidak dapat melakukan tindakan pemerintahan
tanapa dasar kewenangan. Idealitas negara berdasarkan hukum ini pada dataran
implementasi memiliki karakteristik yang beragam, sesuai dengan muatan lokal,
falsafah bangsa, ideologi negara, dan latar belakang historis masing-masing
negara.

Bahwa untuk menerapkan hukum Islam tentunya masyarakat harus lebih dulu
mengetahui apa itu hukum Islam, karena selama ini masyarakat awam banyak
belum mengetahui apa itu hukum Islam dengan sebenarnya, karena yang
masyarakat awam ketahui hukum Islam itu adalah hanyalah mengatur tentang
kegiatan ibadah umat Islam dan hukum keperdataan Islam seperti perkawinan,
perceraian, waris dan wakaf. Sedang kita ketahui bahwa hukum Islam mengatur
semua asfek kehidupan manusia di alam semesta ini, seperti hukum Pidana Islam
(Jinayat), Hukum Perniagaan, Hukum Politik dan lain-lain. Hal ini dikarena para
sarjana hukum Islam jarang sekali memberikan sosialisasi baik secara langsung
kepada masyarakat ataupun melalui mas media baik cetak atau elektronik bahwa
dalam hukum Islam ada Hukum Pidana Islam, Hukum Perniagaan, Hukum Politik
dan lain-lain.
Jika terjadi pelanggaran hukum, maka harus dilakukan pengadilan untuk
memulihkan keadilan. Dalam hal terjadinya pelanggaran pidana atau yang dalam
bahasa sehari-hari disebut “kejahatan” maka harus dilakukan pengadilan yang
akan melakukan pemulihan keadilan dengan menjatuhkan hukuman kepada orang
yang melakukan pelanggaran pidana atau kejahatan tersebut.Dengan demikian,
keadilan hukum itu sangat sempit dan memiliki kelemahan.

Misalnya, untuk kejahatan-kejahatan berat jika yang ditegakkan keadilan hukum


saja, yang terjadi hanyalah para pelaku di hadapkan ke pengadilan dan dijatuhi
hukuman sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Misalnya orang-orang yang
paling bertanggungjawab akan dihukum seumur hidup, pelaksana di lapangan
sepuluh tahun, dan sebagainya. Tetapi keadaan para korban akan tetap saja.
Orang-orang yang diperkosa tetap dalam penderitaan batin.Keadilan hukum, yaitu
pengadilan dan penghukuman bagi para pelaku kejahatan di masa pendudukan
militer Indonesia diperlukan agar tragedi kekerasan seperti itu tidak terulang lagi.

Keberadaan asas legalitas khususnya formil/ hukum tertulis menyebabkan hukum


pidana dan praktek penegakanya menjadi kaku. Karena tidak semua tindakan
tercela selalu sudah ada aturan hukumnnya secara tertulis. Keberadaanya asas
legalitas secara tidak langsung akan menyebabkan lenyapnya fakta social berupa
eksistensi hukum pidana adat yang masih dijunjung tinggi di Indonesia ini.
Keberadaanya akan menyuburkan faham individualitas yang berseberangan
dengan paham kolektifitas Perlu dipahami untuk bisa membuktikan seseorang
benar-benar telah melakukan suatu tindak pidana, pertama harus diperhatikan
dahulu perbuatan orang tersebut memang sudah ada diatur dalam hukum yang
menegaskan sebagai perbuatan tercela/terlarang.

Dalam perkembangannya, kebijakan amandemen pasal-pasal KUHP ini


ditinggalkan dengan membentuk undang-undang baru. Sehingga muncul apa yang
disebut dengan tindak pidana di luar KUHP. Tetapi ternyata pengaturan tindak
pidana di luar KUHP ini membentuk sistem tersendiri yang menyimpang dari
ketentuan umum hukum pidana sebagaimana diatur dalam buku I KUHP. Baik itu
mengenai asas hukumnya maupun ketentuan pemidanaannya. Sebagai peraturan
peninggalan Belanda, asas legalitas kemudian menjadi problem dalam
penerapannya. Asas legalitas dihadapkan pada realitas masyarakat Indonesia yang
heterogen.

KUHP maupun ketentuan pidana di luarnya masih menyisakan bidang perbuatan


yang oleh masyarakat dianggap sebagai perbuatan yang dilarang, sementara
undang-undang tertulis tidak mengatur larangan itu. Tetapi, dalam sejarah hukum
pidana Indonesia, keberadaan pengadilan adat memungkinkan diterapkannya
pidana adat dan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) walaupun
tindak pidana adat itu tidak diatur dalam KUHP. Oleh karena itu, asas legalitas
dalam praktek di Indonesia tidak diterapkan secara murni seperti yang
dikehendaki Pasal 1 KUHP.

Tidak semua bidang hukum dalam Islam yang boleh diterapkan didalamnya
metode Qiyas. Adapun dalam aspek pidana, semua pakar hukum fiqh sepakat
bahwa ketidakbolehan penerapan qiyas ini disebabkan oleh adanya unsur
spekulasi (syubhat) yang amat besar dalam pola penerapan azasnya. Hal ini bisa
diketahui bahwa metode qiyas ini merupakan bagian dari unsur logika yang
notabene menggunakan rasio sebagai satandar logis yang sifatnya relatif dan
subyektif. Sehingga kerangka inilah yang membuat kontradiktif dengan azas
penerapan hukum pidana yang lebih mengedepankan hak azasi manusia daripada
menghukum sesorang tanpa kesalahan,terjadinya kontradiksi dalam menerapkan
konsep Qiyas (analogi) dalam kerangka hukum pidana Islam dan positif adalah
dilatarbelakangi oleh adanya ketidakpastian hukum.

Dalam konteks pidana Islam, ketidakbolehan ini disebabkan oleh unsur spekulasi
yang amat besar dalam pola penerapan azasnya sehingga hal ini mendapat
justifikasi hukum. Sedangkan dalam konteks pidana positif, ketidakbolehan ini
disebabkan oleh adanya azas legalitas (principil of legality) yang mengharuskan
bahwa setiap orang tidak boleh dikenakan sangsi pidana tanpa ada satu ketentuan
yang mengaturnya terlebih dahulu dalam UndangUndang. Namun hal ini bukan
berarti tanpa digunakannya qiyas (analogi) berarti tidak ada putusan pidana dan
hukuman, akan tetapi hal ini menuntut adanya satu metode baru yang lebih akurat
dan memiliki nilai validitas yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.

Namun sebelum dilarang dan diancamnya suatu perbuatan yaitu mengenai


perbuatan pidananya sendiri (criminal act) juga ada dasar yang pokok yaitu azas
legalitas (principil of legality), sebuah azas yang menentukan bahwa tidak ada
perbuatan yang dilarang dan diancam pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu
dalam perundang-undangan. Contoh mengenai pasal 286 KUHP mengenai
hubungan badan dengan wanita yang sedang pingsan atau tak berdaya diancam
dengan pidana hukuman maksimum 3 tahun penjara. Kemudian ada kasus , bahwa
seseorang melakukan hubungan badan dengan perempuan yang miring otaknya
(idi0t), apakah perbuatannya itu dapat dikenakan dalam pasal tersebut ? Apakah
idiot itu dapat disamakan dengan orang yang dalam keadaan tak berdaya? HIR
menentukan bahwa pada waktu pasal itu dibuat teranglah bahwa keadaan tak
berdaya itu merujuk kepada jasmani yang tak berdaya (physieke onmacth), namun
demikian makna onmacth itu sepanjang perjalanan masa mungkin berubah, dan
kalau demikian halnya hakim harus mengikuti perubahan makna ini agar bisa
memberi putusan yang tepat dan sesuai. Tuntutan untuk mengadakan
pembaharuan hukum acara pidana di Negara kita bukanlah suatu hal yang
baru,akan tetapi lama sebelumnya sudah didambakan oleh para pencari keadilan
dan penegak hukum dinegara kita.7

Dasar pemikiran tidak dibolehkannya penerapan analogi dalam menentukan unsur


pidana itu dilatarbelakangi oleh adanya azas legalitas yang menentukan bahwa
tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak
ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan. Semua orang dianggap
tidak bersalah dan tidak boleh diberi hukuman sebelum ada putusan pengadilan
yang memutuskan bahwa ia bersalah dan harus dijatuhi hukuman.

7
Abdurrahman,. Pembaharuan Hukum Acara Pidana Dan Hukum Acara Pidana Baru Di
Indonesia,Penerbit Alumni Bandung,1980,Bandung.hal 1.
A. Asas Legalitas Menurut KUHP8

Dalam hukum pidana Indonesia, asas legalitas ini diatur dengan jelas
dalam KUHP yang berlaku sekarang (Wetboek van Straftrecht)). Pasal 1 ayat (1)
KUHP yang menyatakan bahwa tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali
atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada,
sebelum perbuatan dilakukan. Bunyi Pasal 1 ayat (1) KUHP ini, secara rinci,
berisi dua hal penting, yaitu: (i) suatu tindak pidana harus dirumuskan terlebih
dahulu dalam peraturan perundang-undangan; (ii) peraturan perundang-undangan
harus ada sebelum terjadinya tindak pidana (tidak berlaku surut).9

Asas legalitas menghendaki bahwa suatu perbuatan dapat dinyatakan


sebagai tindak pidana apabila terlebih dahulu ada undang-undang yang
menyatakan bahwa perbuatan itu sebagai tindak pidana. Oleh karenanya, asas
legalitas melarang penerapan hukum pidana secara surut (retroaktif). Pasal 1 ayat
(1) KUHP inilah yang menjadi landasan penegakan hukum pidana di Indonesia,
terutama dalam kaitannya dengan kepastian hukum.

Asas legalitas ini diatur pula dalam Pasal 6 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa tidak seorang pun
dapat dihadapkan di depan pengadilan selain daripada yang ditentukan oleh
undang-undang. Bunyi pasal ini memperkuatkan kembali kehendak asas legalitas
terhadap hukum pidana yang dibuat secara tertulis. Begitu juga dalam UUD 1945
Amandemen II Pasal 28 I ayat (1) yang menyebutkan bahwa “Hak untuk hidup,
… dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak
asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.” Begitu pula
dalam Amandemen IV disebutkan bahwa “Untuk menegakkan dan melindungi
hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka
pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam perundang-
undangan.”

8 Fajrimei A. Gofar, Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP, Op. Cit. Hlm.11
9 Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 2008, Bumi Aksara, Jakarta, hlm.3
B. Asas Legalitas Menurut RUU KUHP 10

Asas legalitas dalam RKUHP telah diatur secara berbeda dengan KUHP
(Wetboek van Strafrecht). Perbedaan itu antara lain bahwa dalam RKUHP analogi
telah secara eksplisit dilarang digunakan (Pasal 1 ayat (2)) dan memberi peluang
berlakunya ‘hukum yang hidup dalam masyarakat’ (Pasal 1 ayat (3)). Walaupun
demikian, makna yang dikandung dalam Pasal 1 ayat (1) dalam RKUHP tidak
berbeda seperti yang diatur dalam KUHP, yaitu: asas legalitas. Dalam Pasal 1
RKUHP disebutkan bahwa:

1) Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali


perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu
dilakukan.
2) Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan analogi.
3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi
berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa
seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam
peraturan perundang-undangan.
4) Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau
prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsabangsa.

Penjelasannya:

Ayat (1)

Ayat ini mengandung asas legalitas. Asas ini menentukan bahwa suatu
perbuatan hanya merupakan tindak pidana apabila ditentukan demikian oleh
atau didasarkan pada undangundang. Dipergunakannya asas tersebut, oleh
karena asas legalitas merupakan asas pokok dalam hukum pidana. Oleh
karena itu, peraturan perundang-undangan pidana atau yang mengandung

10 Fajrimei A. Gofar, Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP, Op. Cit. Hlm.17-20
ancaman pidana harus sudah ada sebelum tindak pidana dilakukan. Hal ini
berarti bahwa ketentuan pidana tidak berlaku surut demi mencegah
kesewenangwenangan penegak hukum dalam menuntut dan mengadili
seseorang yang dituduh melakukan suatu tindak pidana.

Ayat (2)

Larangan penggunaan penafsiran analogi dalam menetapkan adanya tindak


pidana merupakan konsekuensi dari penggunaan asas legalitas. Penafsiran
analogi berarti bahwa terhadap suatu perbuatan yang pada waktu dilakukan
tidak merupakan suatu tindak pidana, tetapi terhadapnya diterapkan ketentuan
pidana yang berlaku untuk tindak pidana lain yang mempunyai sifat atau
bentuk yang sama, karena kedua perbuatan tersebut dipandang analog satu
dengan yang lain. Dengan ditegaskannya larangan penggunaan analogi, maka
perbedaan pendapat yang timbul dalam praktek selama ini dapat dihilangkan.

Ayat (3)

Adalah suatu kenyataan bahwa dalam beberapa daerah tertentu di Indonesia


masih terdapat ketentuan hukum yang tidak tertulis yang hidup dalam
masyarakat dan berlaku sebagai hukum di daerah tersebut. Hal yang demikian
terdapat juga dalam lapangan hukum pidana, yaitu yang biasanya disebut
dengan tindak pidana adat. Untuk memberikan dasar hukum yang mantap
mengenai berlakunya hukum pidana adat, maka hal tersebut mendapat
pengaturan secara tegas dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini.
Ketentuan dalam ayat ini merupakan pengecualian dari asas bahwa ketentuan
pidana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Diakuinya tindak pidana
adat tersebut untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam
masyarakat tertentu.

Ayat (4)
Ayat ini mengandung pedoman atau kriteria atau rambu-rambu dalam
menetapkan sumber hukum materiil (hukum yang hidup dalam masyarakat)
yang dapat dijadikan sebagai sumber hukum (sumber legalitas materiil).
Pedoman dalam ayat ini berorientasi pada nilai nasional dan internasional.

Bunyi Pasal 1 RKUHP di atas secara keseluruhan dapat dibaca: ‘hukum


pidana Indonesia berdasarkan asas legalitas yang diperkuat dengan larangan
menggunakan penafsiran analogi’. Tetapi, asas legalitas dapat dikecualikan
dengan memberlakukan ‘hukum yang hidup dalam masyarakat’ yang menganggap
suatu perbuatan adalah perbuatan dilarang. ‘Hukum yang hidup dalam
masyarakat’ ini diberlakukan secara limitatif dengan pembatasan-pembatasan
tertentu, yaitu sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum
umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa

Dalam Pasal 1 RKUHP diatur hal-hal yang baru dibandingkan KUHP, di


antaranya adalah: (i) adanya penjatuhan “tindakan” kepada pelanggar hukum
pidana;51 (ii) penggunaan frase “peraturan perundang-undangan” yang berarti
bukan hanya undang-undang;52 (iii) larangan penggunaan analogi;53 dan (iv)
berlakunya “hukum yang hidup dalam masyarakat”.

Berdasarkan bunyi Pasal 1 ayat (1) RKUHP, terdapat dua hal penting
mengenai berlakunya hukum pidana, yaitu: (i) bahwa suatu perbuatan harus
dirumuskan dulu dalam peraturan perundang-undangan; (ii) peraturan perundang-
undangan tersebut harus lebih dulu ada pada saat terjadinya perbuatan dimaksud.
Dari hal yang pertama, konsekuensinya adalah bahwa perbuatan seseorang yang
tidak tercantum dalam peraturan perundang-undangan sebagai suatu tindak pidana
tidak dapat dimintai pertanggungjawaban. Melalui asas ini hukum tidak tertulis
tidak dapat diterapkan. Dengan kata lain, hanya perundang-undangan dalam
formal yang dapat memberikan pengaturan di bidang pemidanaan.

Kata peraturan perundang-undangan yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat


(1) RKUHP tidak lain menunjuk pada semua produk legislatif yang mencakup
pemahaman bahwa tindak pidana akan dirumuskan secara legitimit.54
Berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, tata urutan perundang-undangan di antaranya: (i) Undang-
Undang Dasar 1945; (ii) Undang-undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang; (iii) Peraturan Pemerintah; (iv) Peraturan Presiden; dan (v)
Peraturan daerah. Dengan demikian, peraturan perundangan-undangan yang
dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) RKUHP termasuk juga peraturan perundang-
undangan yang dibuat oleh pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota.

Pentingnya tindak pidana yang dirumuskan melalui undang-undang tidak


lain sebagai wujud dari kewajiban pembentuk undang-undang untuk merumuskan
ketentuan pidana secara terinci atau secermat mungkin.55 Perumusan tindak
pidana yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian
hukum dan menghalangi keberhasilan upaya penuntutan karena warga selalu akan
dapat membela diri bahwa ketentuan-ketentuan seperti itu tidak berguna sebagai
pedoman berlaku.56

Dari hal kedua yang disebutkan di atas, bahwa peraturan seperti yang
dimaksud harus ada sebelum perbuatan dilakukan. Ini artinya ketentuan hukum
pidana tidak diperbolehkan berlaku surut. Asas legalitas ini pada prinsipnya
mengandaikan bahwa setiap individu mempunyai kebebasan. Melalui asas
legalitas inilah individu mempunyai jaminan terhadap perlakuan sewenang-
wenang negara terhadapnya sehingga terjadi kepastian hukum.

Melalui pengaturan Pasal 1 ayat (1) RKUHP ini dapat diketahui bahwa
hanya perbuatan yang diatur secara rinci/tegas dalam peraturan perundang-
undangan saja yang dapat dikenakan tindak pidana atau tindakan. Selain itu, tidak
bisa, termasuk perbuatan-perbuatan yang kiranya patut dipidana, jika undang-
undang tidak menentukan bahwa perbuatan tersebut adalah tindak pidana, maka
kepada pelakunya tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban.

Arti penting asas legalitas yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) RKUHP
diperkuat lagi pengaturan ayat (2) yang melarang penggunaan analogi. Maksud
dari bunyi Pasal 1 ayat (2) RKUHP sebenarnya adalah menghendaki tidak adanya
pengenaan sanksi terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukan seseorang secara
berlebihan. Dengan kata lain, menghendaki bahwa perumusan delik diterapkan
secara ketat (nullum crimen sine lege stricta: ‘tiada ketentuan pidana terkecuali
dirumuskan secara sempit/ketat di dalam peraturan perundang-undangan’.
Menurut Mudzakkir, alasan dicantumkannya pengaturan larangan analogi adalah
agar semua asas umum hukum pidana dimuat dalam ketentuan umum hukum
pidana Buku I RUU KUHP dan selanjutnya mengurangi perbedaan pendapat
dalam menafsirkan hukum yang dapat menghambat penegakkan hukum pidana.
Oleh sebab itu, larangan analogi dimasukkan dalam Pasal 1 ayat (2) sebagai
bentuk penguatan doktrin hukum pidana yang diterima oleh para ahli hukum
tersebut.

C. Asas Legalitas Menurut Hukum Pidana Islam11

Asas legalitas dalam perspektif hukum pidana islam mempunyai arti


sesuatu perbuatan atau sikap tidak berbuat tidak dipandang sebagai jarimah
kecuali karena ada nash yang jelas melarang perbuatan dan sikap tidak berbuat itu.
Apabila tidak ada nash yang demikian maka tidak ada tuntutan atau hukuman
terhadap pelakunya. Karena suatu perbuatan dan sikap tak berbuat tidak dapat
dipandang senagai jarimah hanya karena ada larangan saja melainkan harus ada
ancaman hukumannya, maka kesimpulannya tidak ada jarimah dan tak ada
hukuman kecuali dengan suatu nash.

Asas legalitas pada hukum Islam sudah ada sejak Al-Quran diturunkan,
jauh lebih dulu dari hukum positif yang baru mengenal akhir-akhir abad ke
delapan belas, yaitu sesudah revolusi Perancis.

Hukum islam menerapkan asas legalitas ini pada semua macam jarimah
hanya cara menerapkannya berbeda-beda menurut macamnya jarimah. Seperti
pada jarimah hudud, jarimah qisos dan jarimah ma’siat asas legalitas ini
diterapkan dengan tegas dan jelas, yaitu setiap macam jarimah/ma’siat disebutkan

11 Marsum, Jinayat (Hukum Pidana Islam), 1988, Penerbit Pepustakaan Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, hlm. 69-76
nash yang melarangnya dan hukumannya sekali. Sumbernya bukan hanya nash
Al-Quran saja tetapi dari Hadist Nabi.

Tetapi terhadap jarimah ta’zir, asas legalitas ini diterapkan bersifat


longgar. Jarimah ta’zir ini ada dua macam yaitu, jarimah yang sudah ditentukan
oleh nash tetapi hukumannya diserahkan kepada hakim, dan baik jarimah dan
hukumannya sekali diserahkan kepada hakim sedang nash(Al-Quran dan Hadist)
hanya menunjukan garis besarnya saja. Pada jarimah ta’zir yang menggangu
kemaslahatan umum dalam hal ini hakim (penguasa) boleh menciptakan
aturannya dan menghukumnya sekali, tetapi sekali-sekali tidak boleh bertentangan
dengan kemauan-kemauan nash Al-Quran maupun Hadits. Contohnya :

a) Menahan orang yang disangka mencuri.


b) Menahan orang yang diperkirakan akan membuat fitnah.
c) Mengajar anak untuk melakukan solat dan bersuci.
d) Manahan orang gila biar tidak bergaul dengan masyarakat.
e) Menahan orang yang sekiranya akan membuat onar

Pada mukholafah (pelanggaran) tidak diterapkan asas legalitas, semua


diserahkan keputusannya kepada penguasa (hakim). Pada dasarnya perbuatan
mukholafah ini tidak dapat dihukum, kecuali perbuatan tersebut dilakukan
berulang-ulang maka akan dikategorikan sebagai ta’zir yang kemudian
hukumannya diserahkan kepada hakim sepenuhnya.

Maka dapat disimpulkan pada jarimah hudud dan qisos-diyat, asas


legalitas diterapkan dengan teliti, baik mengenal macamnya jarimah maupun
macam hukumnya sudah ditentukan dengan pasti. Sedangkan pada jarimah ta’zir
biasa, macamnya jarimah sudah ditentukan oleh nash sedang hukumnya
diserahkan kepada hakim untuk memilih mana yang sesuai, sedang syara hanya
menyediakan beberapa macam hukuman untuk dipilihnya. Dan pada jarimah yang
demi menjaga kemaslahatan umum, baik penetapannya diserahkan kepada hakim,
syara hanya menyediakan beberapa macam hukuman untuk dipilih yang sesuai.
Begitu pula terhadap perbuatan mukholafah. Ternyata apa yang diajarkan oleh
hukum Islam ini lebih luas menjangkau segala macam jarimah ta’zir dan tidak
menyulitkan bagi hakim dalam menyelesaikan tugasnya.

Asas legalitas dalam hukum Islam bukan berdasarkan pada akal manusia,
tetapi dari ketentuan Allah SWT.. Sedangkan asas legalitas secara jelas dianut
dalam hukum Islam, terbukti adanya beberapa ayat yang menunjukkan asas
legalitas tersebut. Allah SWT. tidak akan menjatuhkan hukuman pada manusia
dan tidak akan meminta pertanggungjawaban manusia sebelum adanya penjelasan
dan pemberitahuan dari Rasul-Nya.3 Demikian juga kewajiban yang harus
diemban oleh umat manusia adalah kewajiban yang sesuai dengan kemampuan
yang dimiliki, yaitu taklifi yang sanggup di kerjakan. Dasar hukum asas legalitas
dalam Islam antara lain:

Al-Qur'an surat Al-Isra’: 15 yang artinya: “... dan Kami tidak akan
meng'azab sebelum Kami mengutus seorang Rasul.”

Al-Qur'an surat Al-Qashash: 59 yang artinya: “Dan tidak adalah Tuhanmu


membinasakan kota-kota, sebelum Dia mengutus di ibukota itu seorang
Rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka; ...”

Ayat al-Qur’an yang lainnya yang berbicara tentang asas legalitas yaitu QS
al-Nisa: 16, QS al-‘An’am:19, QS al-Baqarah:286, dan QS al-Anfal:38.

Semua ayat al-Qur’an ini berbicara tentang asas legalitas. Kekuatan lafadz-
lafadz ini termasuk lafadz yang qath’i, yang berarti wajib untuk diamalkan. Yang
mengandung arti bahwa tidak ada pidana sebelum ada bayan yang disampaikan
Allah SWT. melalui Rasul-Nya.4 Selain itu, manusia juga ditanggungi sesuai
dengan kekuatannya, yang berarti disini berlaku hukum rukhsah bagi mereka
yang berada di bawah kemampuannya.12

12 Encep Abdul Rojak, Asas Legalitas Hukum Pidana Islam, Makalah, Pasca Sarjana
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Bandung, 2013, hlm.3
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
• Kosep Asas Legalitas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
tertuang secara jelas, dan melegitimasi hukum itu sendiri juga memberikan
kepastian hukum, namun dalam perkembangannya dimana dalam
kehidupan sosial masyarakat Indonesia asas ini begitu sulit diterapkan
mengingat KUHP ini sendiri sejatinya hukum yang dibawa oleh bangsa
eropa yang tidak sepenuhnya sesuai dengan kultur bangsa Indonesia
meskipun kemudian banyak poenyesuaian-penyesuaian yang dilakukan
dalam KUHP.
• Dalam RUU KUHP wacana yang dibawa adalah bahwa Hukum Pidana di
Indonesia memeberikan ruang untuk hukum tidak tertulis agar dapat
diterapkan, melalui rumusan Pasal 1 RUU KUHP ini dalam pemidanaan
dapat melihat dari hukum yang hidup dalam masyarakat, meskipun
kemudian permasalahan yang timbul adalah bahwa kepastian hukum itu
sendiri tidak dapat terukus secara pasti.
• Jauh sebelum hukum modern memunculkan ide mengenai konsep asas
legalitas, konsep ini telah lahir dalam hukum pidana islam, yang termuat
dalam kitab suci al-Qur’an tentang bagaimana kita sebagai manusia
seharusnya menjaga hak-hak tiap manusia agar hak tersebut tidak
dilanggar dan ada batasan yang jelas mengenai sesuati perbuatan dapat
dikatakan sebagai perbuatan yang terlarang.

B. Saran
Bagaimanapun tujuan dari hukum, asas legalitas merupakan bagian paling
penting dalam penegakan hukum itu sendiri demi menjamin kepastian
hukum dalam kehidupan masyarakat, alangkah baiknya apabila peraturan
umum terutama Hukum Pidana dalam hal ini RUU KUHP memaparkan
secara jelas asas legalitas dalam penerapannya dan adanya tlak ukur
mengenai penerapannya.
DAFTAR PUSTAKA

Bambang Purnomo, Asas-Asas Hukum Pidana, 1994, Ghalia Indonesia, Jakarta.

BN Marbun, Kamus Politik, 2007, Sinar Harapan, Jakarta.

Encep Abdul Rojak, Asas Legalitas Hukum Pidana Islam, Makalah, Pasca Sarjana
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Bandung, 2013.

Fajrimei A. Gofar, Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP, Position Paper


Advokasi RUU KUHP Seri #1, ELSAM (Lembaga Studi Dan Advokasi
Masyarakat).

Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, 2011, Nusa Media,
Bandung.

Jimly Assiddiqie, Hukum Tata Negara & Pilar-Pilar Demokrasi, 2011, Sinar
Grafika, Jakarta.

Marsum, Jinayat (Hukum Pidana Islam), 1988, Penerbit Pepustakaan Fakultas


Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.

Molejatno, Asas-Asas Hukum Pidana, 2002, Rineka Cipta, Jakarta.

______Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 2008, Bumi Aksara, Jakarta.

Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, 2000, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Soesilo Prajogo, Kamus Hukum, 2007, WIPRESS, Jakarta.

Sri Endah Wahyuningsih, Prinsip-Prinsip Individualisasi Pidana Dalam Hukum


Pidana Islam dan Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Cetakan Kedua,
Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2013.

Anda mungkin juga menyukai