Oleh :
20302100183
Dosen Pengampu :
SEMARANG
2023
BAB I
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Asas legalitas yang dikenal dalam hukum pidana modern muncul dari
lingkup sosiologis Abad Pencerahan yang mengagungkan doktrin perlindungan
rakyat dari perlakuan sewenang-wenang kekuasaan. Sebelum datang Abad
Pencerahan, kekuasaan dapat menghukum orang meski tanpa ada peraturan
terlebih dulu. Saat itu, selera kekuasaanlah yang paling berhak menentukan
apakah perbuatan dapat dihukum atau tidak. Untuk menangkalnya, hadirlah asas
legalitas yang merupakan instrumen penting perlindungan kemerdekaan individu
saat berhadapan dengan negara. Dengan demikian, apa yang disebut dengan
perbuatan yang dapat dihukum menjadi otoritas peraturan, bukan kekuasaan.
Perlindungan terhadap hak-hak rakyat banyak yang pada mulanya dilakukan
1 Fajrimei A. Gofar, Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP, Position Paper Advokasi
RUU KUHP Seri #1, ELSAM (Lembaga Studi Dan Advokasi Masyarakat), hlm. 5
melalui perjuangan dengan asas politik, yakni dengan menghadapkan kepentingan
rakyat vis a vis kekuasaan raja yang absolut. Akar gagasan asas legalitas berasal
dari ketentuan Pasal 39 Magna Charta (1215) di Inggris, yang menjamin adanya
perlindungan rakyat dari penangkapan, penahanan, penyitaan, pembuangan, dan
dikeluarkannya seseorang dari perlindungan hukum/undang-undang, kecuali ada
putusan peradilan yang sah. Ketentuan ini diikuti Habeas Corpus Act (1679) di
Inggris yang mengharuskan seseorang yang ditangkap diperiksa dalam waktu
singkat. Pasca lahirnya Magna Charta dan Habeas Corpus Act, jaminan atas hak
dan kewajiban rakyat kemudian berubah menjadi asas-asas hukum. Asas-asas
hukum ini dirumuskan dalam hukum tertulis, agar memiliki jamian kepastian
hukum (rechtszekerheid). Pelopor perjuangan politik dan hukum di Inggris adalah
John Locke (1760).2
2 Bambang Purnomo, Asas-Asas Hukum Pidana, 1994, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 68-
69.
dalam Pasal 8 Declaration des droits de L’homme et du citoyen (1789). Asas ini
kemudian dimasukkan dalam Pasal 4 Code Penal Perancis pada masa
pemerintahan Napoleon Bonaparte (1801). Bunyi ketentuan ini adalah bahwa “
Tidak ada sesuatu yang boleh dipidana selain karena suatu wet yang ditetapkan
dalam undang-undang dan diundangkan secara sah.”3 Beccaria, dalam “Dei
delitti e drllee pene” (Over misdaden en straffen 1764) juga menyatakan bahwa
individu harus dilindungi dari perbuatan sewenang-wenang. Oleh karenanya perlu
dibuat suatu hukum sebelum delik itu terjadi. Hukum itu harus mengatur dengan
jelas dan tegas, sehingga bisa memberi petunjuk dalam menjalankan peradilan
pidana. 4
1. Tidak ada perbuatan dapat dipidana, apabila belum diatur dalam undang-
undang.
2. Dalam menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan
analogi.
3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut (non retroaktif).
Ketentuan asas legalitas diakui pertama kali oleh konstitusi Amerika Serikat
tahun 1783, dicantumkan dalam Article I Section 9 yang berbunyi: “No bill of
attainder or ex post pacto law shall be passed”. Lalu diikuti oleh Perancis di
dalam Declaration des droits de L’homme et du citoyen 1789. Selanjutnya
ketentuan ini diikuti oleh negara-negara yang menganut sistem hukum Eropa
Kontinental kepastian hukum dijunjung tinggi.
3 Molejatno, Asas-Asas Hukum Pidana, 2002, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 24.
4 Bambang Purnomo, op.cit, hal. 69.
5 Moeljatno, op.cit, hal. 25.
B. Rumusan Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
Asas legalitas pidana adalah suatu perbuatan termasuk dalam kategori kejahatan
hanya dapat ditentukan oleh pembuat undang-undang( legislator) saja begitu juga
dengan penjelasan hukuman-hukuman yang termuat di dalam undang-undang.
Tidak adanya otoritas seorang hakim untuk menentukan perbuatan-perbuatan yang
termasuk dalam kejahatan atau tidaknya, dan seorang hakim juga tidak bisa untuk
menentukan suatu hukuman atas suatu kejahatan kecuali apa yang telah termaktub
di dalam undang-undang.
Asas legalitas ini dalam hukum pidana sangat penting, terutama berkaitan dengan
kepastian hukum, hak asasi manusia, maupun rasa keadilan yang hingga saat ini
masih terus di pertanyakan dalam banyak penerapan hukum di Indonesia.
Kepatuhan seseorang atas suatu peraturan hokum lebih utama karena peraturan
hokum itu bersifat memaksa.6
Hal ini dapat terlihat dalam banyak sisi kehidupan dewasa ini , yakni saat
bersentuhan dengan hukum pidana dan khususnya asas legalitas ini, terlihat
lemahnya penerapan hukum pidana antara lain : subjek tindak pidana hanya orang,
tidak adanya sistem perumusan ancaman pidana secara kumulasi dan kumulasi
alternatif, tidak adanya pidana minimal khusus, tidak adanya jenis sanksi pidana
khusus dan aturan pemidanaan umum. Asas tersebut bisa mengakibatkan
seseorang dapat dipidana dengan alasan melakukan atau tidak melakukan suatu
tindakan yang tidak diperhitungkan atau tidak diketahui akan membawanya pada
pertanggungjawaban pidana. Keadilan dalam hukum secara harfiahnya
mempunyai makna yang sempit yakni apa yang sesuai dengan hukum dianggap
adil sedang yang melanggar hukum dianggap tidak adil. Jika terjadi pelanggaran
hukum, maka harus dilakukan pengadilan untuk memulihkan keadilan. Dalam hal
terjadinya pelanggaran pidana atau yang dalam bahasa sehari-hari disebut
“kejahatan” maka harus dilakukan pengadilan yang akan melakukan pemulihan
keadilan dengan menjatuhkan hukuman kepada orang yang melakukan
pelanggaran pidana atau kejahatan tersebut.
6
Taufiqurrohman S.SH,Pelaksanaan HAM Yang Berkeadilan ,Jurnal Hukum Vol.1 No 2,Agustus
2001,hal 25.
dan penyempurnaan KUHP tersebut terus dilakukan untuk mengganti KUHP
warisan kolonial Belanda. Namun, upaya ini tidaklah mudah dan membutuhkan
bahan kajian komperatif yang kritis dan konstruktif.
Prospek pidana Islam dalam sistem hukum Nasional akan sangat mengembirakan
sepanjang pihak-pihak terkait dalam pengembangan pidana Islam mampu untuk
mengoptimalkan kekuatan dan peluang, baik yang bersumber dari Pancasila dan
UNDANG UNDANG 1945 sebagai konstitusi negara, maupun yang dimiliki oleh
hukum pidana Islam serta mampu mengeliminir kekurangan dan hambatan yang
ada dan mencarikan solusinya. Di dalam negara hukum, setiap aspek tindakan
pemerintahan baik dalam lapangan pengaturan maupun dalam lapangan pelayanan
harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan atau berdasarkan
padalegalitas. Artinya pemerintah tidak dapat melakukan tindakan pemerintahan
tanapa dasar kewenangan. Idealitas negara berdasarkan hukum ini pada dataran
implementasi memiliki karakteristik yang beragam, sesuai dengan muatan lokal,
falsafah bangsa, ideologi negara, dan latar belakang historis masing-masing
negara.
Bahwa untuk menerapkan hukum Islam tentunya masyarakat harus lebih dulu
mengetahui apa itu hukum Islam, karena selama ini masyarakat awam banyak
belum mengetahui apa itu hukum Islam dengan sebenarnya, karena yang
masyarakat awam ketahui hukum Islam itu adalah hanyalah mengatur tentang
kegiatan ibadah umat Islam dan hukum keperdataan Islam seperti perkawinan,
perceraian, waris dan wakaf. Sedang kita ketahui bahwa hukum Islam mengatur
semua asfek kehidupan manusia di alam semesta ini, seperti hukum Pidana Islam
(Jinayat), Hukum Perniagaan, Hukum Politik dan lain-lain. Hal ini dikarena para
sarjana hukum Islam jarang sekali memberikan sosialisasi baik secara langsung
kepada masyarakat ataupun melalui mas media baik cetak atau elektronik bahwa
dalam hukum Islam ada Hukum Pidana Islam, Hukum Perniagaan, Hukum Politik
dan lain-lain.
Jika terjadi pelanggaran hukum, maka harus dilakukan pengadilan untuk
memulihkan keadilan. Dalam hal terjadinya pelanggaran pidana atau yang dalam
bahasa sehari-hari disebut “kejahatan” maka harus dilakukan pengadilan yang
akan melakukan pemulihan keadilan dengan menjatuhkan hukuman kepada orang
yang melakukan pelanggaran pidana atau kejahatan tersebut.Dengan demikian,
keadilan hukum itu sangat sempit dan memiliki kelemahan.
Tidak semua bidang hukum dalam Islam yang boleh diterapkan didalamnya
metode Qiyas. Adapun dalam aspek pidana, semua pakar hukum fiqh sepakat
bahwa ketidakbolehan penerapan qiyas ini disebabkan oleh adanya unsur
spekulasi (syubhat) yang amat besar dalam pola penerapan azasnya. Hal ini bisa
diketahui bahwa metode qiyas ini merupakan bagian dari unsur logika yang
notabene menggunakan rasio sebagai satandar logis yang sifatnya relatif dan
subyektif. Sehingga kerangka inilah yang membuat kontradiktif dengan azas
penerapan hukum pidana yang lebih mengedepankan hak azasi manusia daripada
menghukum sesorang tanpa kesalahan,terjadinya kontradiksi dalam menerapkan
konsep Qiyas (analogi) dalam kerangka hukum pidana Islam dan positif adalah
dilatarbelakangi oleh adanya ketidakpastian hukum.
Dalam konteks pidana Islam, ketidakbolehan ini disebabkan oleh unsur spekulasi
yang amat besar dalam pola penerapan azasnya sehingga hal ini mendapat
justifikasi hukum. Sedangkan dalam konteks pidana positif, ketidakbolehan ini
disebabkan oleh adanya azas legalitas (principil of legality) yang mengharuskan
bahwa setiap orang tidak boleh dikenakan sangsi pidana tanpa ada satu ketentuan
yang mengaturnya terlebih dahulu dalam UndangUndang. Namun hal ini bukan
berarti tanpa digunakannya qiyas (analogi) berarti tidak ada putusan pidana dan
hukuman, akan tetapi hal ini menuntut adanya satu metode baru yang lebih akurat
dan memiliki nilai validitas yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.
7
Abdurrahman,. Pembaharuan Hukum Acara Pidana Dan Hukum Acara Pidana Baru Di
Indonesia,Penerbit Alumni Bandung,1980,Bandung.hal 1.
A. Asas Legalitas Menurut KUHP8
Dalam hukum pidana Indonesia, asas legalitas ini diatur dengan jelas
dalam KUHP yang berlaku sekarang (Wetboek van Straftrecht)). Pasal 1 ayat (1)
KUHP yang menyatakan bahwa tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali
atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada,
sebelum perbuatan dilakukan. Bunyi Pasal 1 ayat (1) KUHP ini, secara rinci,
berisi dua hal penting, yaitu: (i) suatu tindak pidana harus dirumuskan terlebih
dahulu dalam peraturan perundang-undangan; (ii) peraturan perundang-undangan
harus ada sebelum terjadinya tindak pidana (tidak berlaku surut).9
Asas legalitas ini diatur pula dalam Pasal 6 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa tidak seorang pun
dapat dihadapkan di depan pengadilan selain daripada yang ditentukan oleh
undang-undang. Bunyi pasal ini memperkuatkan kembali kehendak asas legalitas
terhadap hukum pidana yang dibuat secara tertulis. Begitu juga dalam UUD 1945
Amandemen II Pasal 28 I ayat (1) yang menyebutkan bahwa “Hak untuk hidup,
… dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak
asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.” Begitu pula
dalam Amandemen IV disebutkan bahwa “Untuk menegakkan dan melindungi
hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka
pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam perundang-
undangan.”
8 Fajrimei A. Gofar, Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP, Op. Cit. Hlm.11
9 Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 2008, Bumi Aksara, Jakarta, hlm.3
B. Asas Legalitas Menurut RUU KUHP 10
Asas legalitas dalam RKUHP telah diatur secara berbeda dengan KUHP
(Wetboek van Strafrecht). Perbedaan itu antara lain bahwa dalam RKUHP analogi
telah secara eksplisit dilarang digunakan (Pasal 1 ayat (2)) dan memberi peluang
berlakunya ‘hukum yang hidup dalam masyarakat’ (Pasal 1 ayat (3)). Walaupun
demikian, makna yang dikandung dalam Pasal 1 ayat (1) dalam RKUHP tidak
berbeda seperti yang diatur dalam KUHP, yaitu: asas legalitas. Dalam Pasal 1
RKUHP disebutkan bahwa:
Penjelasannya:
Ayat (1)
Ayat ini mengandung asas legalitas. Asas ini menentukan bahwa suatu
perbuatan hanya merupakan tindak pidana apabila ditentukan demikian oleh
atau didasarkan pada undangundang. Dipergunakannya asas tersebut, oleh
karena asas legalitas merupakan asas pokok dalam hukum pidana. Oleh
karena itu, peraturan perundang-undangan pidana atau yang mengandung
10 Fajrimei A. Gofar, Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP, Op. Cit. Hlm.17-20
ancaman pidana harus sudah ada sebelum tindak pidana dilakukan. Hal ini
berarti bahwa ketentuan pidana tidak berlaku surut demi mencegah
kesewenangwenangan penegak hukum dalam menuntut dan mengadili
seseorang yang dituduh melakukan suatu tindak pidana.
Ayat (2)
Ayat (3)
Ayat (4)
Ayat ini mengandung pedoman atau kriteria atau rambu-rambu dalam
menetapkan sumber hukum materiil (hukum yang hidup dalam masyarakat)
yang dapat dijadikan sebagai sumber hukum (sumber legalitas materiil).
Pedoman dalam ayat ini berorientasi pada nilai nasional dan internasional.
Berdasarkan bunyi Pasal 1 ayat (1) RKUHP, terdapat dua hal penting
mengenai berlakunya hukum pidana, yaitu: (i) bahwa suatu perbuatan harus
dirumuskan dulu dalam peraturan perundang-undangan; (ii) peraturan perundang-
undangan tersebut harus lebih dulu ada pada saat terjadinya perbuatan dimaksud.
Dari hal yang pertama, konsekuensinya adalah bahwa perbuatan seseorang yang
tidak tercantum dalam peraturan perundang-undangan sebagai suatu tindak pidana
tidak dapat dimintai pertanggungjawaban. Melalui asas ini hukum tidak tertulis
tidak dapat diterapkan. Dengan kata lain, hanya perundang-undangan dalam
formal yang dapat memberikan pengaturan di bidang pemidanaan.
Dari hal kedua yang disebutkan di atas, bahwa peraturan seperti yang
dimaksud harus ada sebelum perbuatan dilakukan. Ini artinya ketentuan hukum
pidana tidak diperbolehkan berlaku surut. Asas legalitas ini pada prinsipnya
mengandaikan bahwa setiap individu mempunyai kebebasan. Melalui asas
legalitas inilah individu mempunyai jaminan terhadap perlakuan sewenang-
wenang negara terhadapnya sehingga terjadi kepastian hukum.
Melalui pengaturan Pasal 1 ayat (1) RKUHP ini dapat diketahui bahwa
hanya perbuatan yang diatur secara rinci/tegas dalam peraturan perundang-
undangan saja yang dapat dikenakan tindak pidana atau tindakan. Selain itu, tidak
bisa, termasuk perbuatan-perbuatan yang kiranya patut dipidana, jika undang-
undang tidak menentukan bahwa perbuatan tersebut adalah tindak pidana, maka
kepada pelakunya tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban.
Arti penting asas legalitas yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) RKUHP
diperkuat lagi pengaturan ayat (2) yang melarang penggunaan analogi. Maksud
dari bunyi Pasal 1 ayat (2) RKUHP sebenarnya adalah menghendaki tidak adanya
pengenaan sanksi terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukan seseorang secara
berlebihan. Dengan kata lain, menghendaki bahwa perumusan delik diterapkan
secara ketat (nullum crimen sine lege stricta: ‘tiada ketentuan pidana terkecuali
dirumuskan secara sempit/ketat di dalam peraturan perundang-undangan’.
Menurut Mudzakkir, alasan dicantumkannya pengaturan larangan analogi adalah
agar semua asas umum hukum pidana dimuat dalam ketentuan umum hukum
pidana Buku I RUU KUHP dan selanjutnya mengurangi perbedaan pendapat
dalam menafsirkan hukum yang dapat menghambat penegakkan hukum pidana.
Oleh sebab itu, larangan analogi dimasukkan dalam Pasal 1 ayat (2) sebagai
bentuk penguatan doktrin hukum pidana yang diterima oleh para ahli hukum
tersebut.
Asas legalitas pada hukum Islam sudah ada sejak Al-Quran diturunkan,
jauh lebih dulu dari hukum positif yang baru mengenal akhir-akhir abad ke
delapan belas, yaitu sesudah revolusi Perancis.
Hukum islam menerapkan asas legalitas ini pada semua macam jarimah
hanya cara menerapkannya berbeda-beda menurut macamnya jarimah. Seperti
pada jarimah hudud, jarimah qisos dan jarimah ma’siat asas legalitas ini
diterapkan dengan tegas dan jelas, yaitu setiap macam jarimah/ma’siat disebutkan
11 Marsum, Jinayat (Hukum Pidana Islam), 1988, Penerbit Pepustakaan Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, hlm. 69-76
nash yang melarangnya dan hukumannya sekali. Sumbernya bukan hanya nash
Al-Quran saja tetapi dari Hadist Nabi.
Asas legalitas dalam hukum Islam bukan berdasarkan pada akal manusia,
tetapi dari ketentuan Allah SWT.. Sedangkan asas legalitas secara jelas dianut
dalam hukum Islam, terbukti adanya beberapa ayat yang menunjukkan asas
legalitas tersebut. Allah SWT. tidak akan menjatuhkan hukuman pada manusia
dan tidak akan meminta pertanggungjawaban manusia sebelum adanya penjelasan
dan pemberitahuan dari Rasul-Nya.3 Demikian juga kewajiban yang harus
diemban oleh umat manusia adalah kewajiban yang sesuai dengan kemampuan
yang dimiliki, yaitu taklifi yang sanggup di kerjakan. Dasar hukum asas legalitas
dalam Islam antara lain:
Al-Qur'an surat Al-Isra’: 15 yang artinya: “... dan Kami tidak akan
meng'azab sebelum Kami mengutus seorang Rasul.”
Ayat al-Qur’an yang lainnya yang berbicara tentang asas legalitas yaitu QS
al-Nisa: 16, QS al-‘An’am:19, QS al-Baqarah:286, dan QS al-Anfal:38.
Semua ayat al-Qur’an ini berbicara tentang asas legalitas. Kekuatan lafadz-
lafadz ini termasuk lafadz yang qath’i, yang berarti wajib untuk diamalkan. Yang
mengandung arti bahwa tidak ada pidana sebelum ada bayan yang disampaikan
Allah SWT. melalui Rasul-Nya.4 Selain itu, manusia juga ditanggungi sesuai
dengan kekuatannya, yang berarti disini berlaku hukum rukhsah bagi mereka
yang berada di bawah kemampuannya.12
12 Encep Abdul Rojak, Asas Legalitas Hukum Pidana Islam, Makalah, Pasca Sarjana
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Bandung, 2013, hlm.3
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
• Kosep Asas Legalitas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
tertuang secara jelas, dan melegitimasi hukum itu sendiri juga memberikan
kepastian hukum, namun dalam perkembangannya dimana dalam
kehidupan sosial masyarakat Indonesia asas ini begitu sulit diterapkan
mengingat KUHP ini sendiri sejatinya hukum yang dibawa oleh bangsa
eropa yang tidak sepenuhnya sesuai dengan kultur bangsa Indonesia
meskipun kemudian banyak poenyesuaian-penyesuaian yang dilakukan
dalam KUHP.
• Dalam RUU KUHP wacana yang dibawa adalah bahwa Hukum Pidana di
Indonesia memeberikan ruang untuk hukum tidak tertulis agar dapat
diterapkan, melalui rumusan Pasal 1 RUU KUHP ini dalam pemidanaan
dapat melihat dari hukum yang hidup dalam masyarakat, meskipun
kemudian permasalahan yang timbul adalah bahwa kepastian hukum itu
sendiri tidak dapat terukus secara pasti.
• Jauh sebelum hukum modern memunculkan ide mengenai konsep asas
legalitas, konsep ini telah lahir dalam hukum pidana islam, yang termuat
dalam kitab suci al-Qur’an tentang bagaimana kita sebagai manusia
seharusnya menjaga hak-hak tiap manusia agar hak tersebut tidak
dilanggar dan ada batasan yang jelas mengenai sesuati perbuatan dapat
dikatakan sebagai perbuatan yang terlarang.
B. Saran
Bagaimanapun tujuan dari hukum, asas legalitas merupakan bagian paling
penting dalam penegakan hukum itu sendiri demi menjamin kepastian
hukum dalam kehidupan masyarakat, alangkah baiknya apabila peraturan
umum terutama Hukum Pidana dalam hal ini RUU KUHP memaparkan
secara jelas asas legalitas dalam penerapannya dan adanya tlak ukur
mengenai penerapannya.
DAFTAR PUSTAKA
Encep Abdul Rojak, Asas Legalitas Hukum Pidana Islam, Makalah, Pasca Sarjana
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Bandung, 2013.
Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, 2011, Nusa Media,
Bandung.
Jimly Assiddiqie, Hukum Tata Negara & Pilar-Pilar Demokrasi, 2011, Sinar
Grafika, Jakarta.