Anda di halaman 1dari 11

BAHAN AJAR HUKUM PIDANA

PERTEMUAN KE 2
TENTANG ASAS LEGALITAS

A. CAPAIAN PEMBELAJARAN.

Pada akhir semester mahasiswa diharapkan dapat menjadi ahli hukum yang
profesional dengan kemampuan memahami dan menganalisa hukum pidana secara
mendalam, makna penerapan pengaplikasian. Guna menjadikan hukum pidana
dirasakan secara positif oleh masyarakat dan dapat digunakan secara tepat sasaran
dalam setiap kasus-kasus pidana yang terjadi baik secara formil dan materil .

B. TUJUAN PEMBELAJARAN.

Setelah Pertemuan ke-2 Tentang Asas Legalitas ini usai maka kemampuan
yang diharapkan ada pada diri Mahasiswa/i yang mempelajari Hukum Pidana, adalah
:

1. Memiliki Kemampuan Menganalisis Penggunaan Asas-Asas Hukum Pidana


Dalam Praktik Hukum Pidana.
2. Memiliki Kemampuan Dan Memahami Fenomena Hukum Dari Penggunaan
Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan.

C. SEJARAH ASAS LEGALITAS DI INDONESIA.

Keberadaan asas legalitas dimulai ketika hukum pidana belum di tulis yang di
tandai dengan munculnya pristiwa Gejolak Revolusi Rrancis yang masyarakat

UNIVERSITAS PAMULANG | BAHAN AJAR FAKULTAS HUKUM


BAHAN AJAR HUKUM PIDANA

menuntut keadilan atas kesewenang-wenangan penguasa pada waktu itu Tingginya


reaksi penolakan oleh masyarakat terhadap kekuasaan yang berisfat mutlak
(absolutisme) dari seorang raja, hingga lahirlah pemikiran yang mengarah pada
kebutuhan atas undang-undang yang mana didalam undang-undang terlebih dahulu
dimuat berkaitan dengan perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana, agar rakyat lebih
dahulu dapat mengetahui dan oleh karenanya tidak melakukan perbuatan tersebut dan
apabila tetap melakukan hal yang dilarang maka akan berakibat penrapan sanksi
pidana sebagai konsekuensi dari akibat perbuatan tercelanya tersebut. Pada Konteks
berikutnya asas legaitas tersebut telah banyak berkembang dan mulai diadopsi oleh
beberapa negara terutama negara-negara yang memiliki sejarah kelam tentang korban
penjajahan.. Keadaan ini dianulir oleh para filsuf bangsa barat untuk membuat suatu
pemikiran baru dalam dunia hukum, ketatanegaraan dan hak asasi manusia.
Keberadaan Asas Legalitas tidak lepas dari keberadaan Paul Johan Anslem Von
Feuerbach (1775-1883) sebagai pencetus awal dari asas yang dikenal sebagai asas
legalitas ini adalah seorang lulusan sarjana hukum dari jerman yang menulis dalam
bukunya berjudul Lehrbuch des Penlichen recht (1801) Bambang Poernomo
mengemukakan berkaitan dengan konteks asas legalitas yang telah dirumuskan oleh
Paul Johan Anslem Von Feuerbach, bahwa asas legalitas mengandung pengertian
yang mendalam, asas yang dengan bahasa laitin disebut nulla poena sine lege, nulla
poena sinepraevia legi poenalli”. Oleh Paul Johan Anslem Von Feuerbach mulai
dikembangkan hingga dikenal kini dengan adigium “nullum delictum, nulla poena
1
sine praevia legi poenalli”. atau tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa
ada ketentuan udang-undang yang ada terlebh dahulu.
Perumusan Asas Legalitas dengan menggunakan bahasa latin, membuat
banyak pihak berangapan bahwa asas tersebut berasal dari hukun romawi kuno.

1
Eddy O.S. Hiariej, Asas Legalitas & Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana, Erlangga,
Jakarta, 2009, hlm. 7
UNIVERSITAS PAMULANG | BAHAN AJAR FAKULTAS HUKUM
BAHAN AJAR HUKUM PIDANA

Moeljatno menanggapi hal tersebut dengan mengatakan bahwa baik adigium tersebut
dan asas legalitas sama sekali tidak dikenal dalam hukum yang berasal dari romawi
kuno. Pendapat tersebut juga di dukung daengan pendapat Sahetapy yang mengatakan
bahwa ketika asas legalitas dalam perumusannya menggunakan bahasa latin, hal
tersebut dikarenakan bahwa bahasa latin adalah bahasa yang ada pada dunia hukum’
yang digunakan pada waktu itu.2
Pendapat lain dikemukakan oleh Montesquieu dalam bukunya berjudul
l’Espritn des Lois, 1748. Ajarannya yang paling terkenal adalah mengenai pemisahan
kekuasaan menjadi tiga jenis (trias politica) yang dimaksudkan untuk melindungi
hak-hak atau kepentingan setiap orang terhadap penguasa yang sewenang-wenang.
Montesquieu berpendapat dalam konteks pemerintahan yang moderat, maka
kedudukan hakim harus dipisahkan dari penguasa dan ketka menjatuhkan hukuman
seorang hakim dituntut harus memberikan putusan yang setepat mungkin dan lurus
sesuai dengan ketentuan hukum. Hakim juga dari setiap pertimbanganya harus
bersikap hati-hati hal tersebut guna menghindari tuduhan ketidak adilan terhadap
orang yang tidak bersalah.Tujuan Montesquieu untuk melindungi kemerdekaan
individu terhadap tindakan sewenang-wenang pemerintahan negara selaras dengan
tujuan asas legalitas yang juga mempunyai tujuan yang sama, yakni melindungi
individu terhadap perlakuan sewenang-wenang dari pihak peradilan arbitrer, yang
yang terjadi pada zaman sebelum revolusi Perancis yang umum di Eropa Barat.3
Pada hakikatnya asas legalitas di dalam hokum pidana Indonesia tercermin
dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP yang menyatakan “Suatu perbuatan tidak dapat
dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang
telah ada”. Maka bila apabila kententuan pidana tersebut tekah dialanggar oleh
seseorang setelah dalam kondisi undang-undang hukum pidana tersebut telah berlaku

2
ibid, hlm. 8
3
ibid, hlm. 9
UNIVERSITAS PAMULANG | BAHAN AJAR FAKULTAS HUKUM
BAHAN AJAR HUKUM PIDANA

, maka pelaku tersebut telah dapat dihukum dan juga ditntut berdasarkan ketentuan
yang terdapat dalam aturan hukum pidana tersebut. Yang juga dalam pasal tersebut di
tegaskan jika sese-orang tidak dapat dikenai hukuman atau pidana jika tidak ada
Undang-Undang yang dibuat sebelumnya. Pada Pasal 1 ayat 1 KUHP juga
mengandung asas-asas lain seperti asas lex temporis delictie yaitu tiap tindak pidana
yang dilakukan seseorang harus diadili menurut ketentuan pidana yang berlaku saat
itu. 4
Rumusan dan pembagian asas legalitas yang digambarkan serta dijabatkan
oleh Anslem von Feuerbach sebagai berikut; 5
1. Nulla poena sine lege (tidak ada pidana tanpa ada aturan pidana yang
mengatur dalam undang-undang sebelumnya);
2. Nulla poena sine crimine (tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana)
3. Nullum crimen sine poena legali (tidak ada tindak pidana tanpa pidana
menurut undang-undang)
Anslem von Feuerbach juga menjelsakan berkaitan dengan asas legalitas ia juga
mencetuskan teori miliknya yang dikenal dengan istlah vom psychologischen zwang
teori tersebut menilai jika ancaman pidana memiliki dampak psikologis yang dapat
membuat orang takut untuk melakukan tindak pidana, dikarenakan orang tersebut
mengetahui acaman pidana sebagai konsekuensi perbuatan pidana maka dalam hal ini
konteks psikologis orang tersebut yang mampu mengurungkannya melakukantindak
pidana.6
Terdapat 3 (tiga) makna yang Dalam asas legalitas yang mengatur berkaitan
dengan konteks berkalunya hukum pidana berdasarkan waktu, yakni : 7

4
Andi Sofyan & Nur Azisa, Buku Ajar Hukum Pidana, Pustaka Pena Press, Makasar, 2016.
hlm.22.
5
Sofjan Sastrawidjaja, Hukum Pidana I, C.V. Armico, Bandung, 1990, hlm. 74
6
ibid, hlm. 75
7
Amir Ilyas, Asas-asas Hukum Pidana, Rangkang Education Yogyakarta & PuKAP
Indonesia, Yogyakarta, 2012, hlm 13.
UNIVERSITAS PAMULANG | BAHAN AJAR FAKULTAS HUKUM
BAHAN AJAR HUKUM PIDANA

1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan hukum pidana
jika perbuatan tersebut belum terlebih dahulu termuat dan dinyatakan
dalam suatu aturan undang-undang.
2. Tidak boleh menggunaan analogi Untuk menentukan adanya
perbuatan pidana.
3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.
Namun terhadap hal tersebut diatas berkaitan dengan asas nullum delictum
Utrecht berkeberatan dan mengungkapkan:8
1. Asas nullum delictum ini kurang melindungi kepentingan-kepentingan
kolektif.
2. Konsekuensi asas nullum delictum tersebut adalah dapat dipidana
mereka yang melakukan suatu perbuatan yang oleh hukum (peraturan
yang telah ada) disebut secara tegas sebagai suatu pelanggaran
ketertiban umum.
3. Ada kemungkinan seorang yang melakukan suatu kejahatan tetapi
tidak disebut oleh hukum sebagai suatu kejahatan karena belum di
tulis, maka tidak dapat dihukum.
4. Asas nullum delictum tersebut menjadi suatu halangan bagi hakim
pidana ketika menghukum seorang yang melakukan suatu perbuatan
yang diikategorikan tercela namun belum dirumuskan dalam hukum
yang ada.

Oleh karenaya Utrecht berpendapat dalam konteks asas nullum delictum tersebut agar
ditinggalkan dalam hal yang berkaitan dengan delik yang dilakukan pada kolektif
masyarakat, namun tetap dipertahankan dalam kaitannya terhadap delik yang
dilakukan terhadap individu. Atas hal tersebut maka Utrecht menyarankan dalam

8
Sofjan Sastrawidjaja ,Op Cit, hlm. 83.
UNIVERSITAS PAMULANG | BAHAN AJAR FAKULTAS HUKUM
BAHAN AJAR HUKUM PIDANA

penggunaan analogi dapat dipakai dalam delik-delik yang dilakukan kepada


kolektivitas (masyarakat), akan tetapi tetapi boleh ditolak dalam delik-delik yang
dilakukan terhadap individu.9

D. PENGECUALIAN ASAS LEGALITAS.


Dalam penerapanya Asas legalitas yang terdapat pada (Pasal 1 ayat (1)
KUHP) terdapat beberapa pengecualian yakni yang tertuang dalam Pasal 1ayat (2)
KUHP yang berbunyi “jika terjadi perubahan perundang-undangan setelah
perbuatan itu dilakukan maka kepada tersangka/terdakwa dikenakan ketentuan yang
menguntungkan baginya”. Dari ketentuan pasal 1 ayat (2) KUHP ini sebagai
pengecualian yakni meberlakukan ketentuan hukum yang menguntungkan bagi
terdakwa. Dalam hal ini Jonkers berpendapat pengertian menguntungkan disini bukan
saja terhadap pidana dari perbuatan tersebut,tetapi juga mencakup penuntutan bagi si
terdakwa. Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) KUHP dimungkinkan suatu peraturan pidana
berlaku surut, namun demikian aturan undang-undang tersebut haruslah yang paling
ringan atau dalam hal ini menguntungkan bagi terdakwa. 10
Dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP mempunyai 3 makna, yaitu: 11
1. Dilakukan perubahan dalam perundang-undangan
2. Perubahan terjadi setelah seseorang melakukan perbuatan yang diancam
pidana menurut undang-undang
3. Undang-undang yang baru lebih menguntungkan bagi kepentingan
terdakwa.

Dalam konteks perubahan yang terjadi dalam hukum pidana, dikenal beberapa theori
yang sering digunakan, yakni :12

9
ibid, hlm. 84.
10
Amir Ilyas, Op Cit, hlm 15.
11
Hery Firmansyah dan Sigid Riyanto, Hukum Pidana Matriil & Formiil : Berlakunya
Hukum Pidana, USAID-The Asia Foundation-Kemitraan Partnership, Jakarta, 2015, hlm.31
12
Sofjan Sastrawidjaja, Op.Cit, hlm. 85
UNIVERSITAS PAMULANG | BAHAN AJAR FAKULTAS HUKUM
BAHAN AJAR HUKUM PIDANA

1. Teori Formal (folmele leer)

Perubahan yang terjadi dalam perundang-undangan baru terjadi apabila


redaksi (teks) undang-undang hukum pidana sendiri berubah. Namun apabila
terjadi Perubahan dalam perundang-undangan di luar undang-undang hukum
pidana, walaupun ada hubungannya dengan undang-undang hukum pidana itu
bukanlah merupakan perubahan dalam perundang-undangan me-nurut arti
perkataan Pasal 1 ayat (2) KUHP. Penganut teori ini adalah Simons.

2. Materil Terbatas (beperkte materiele leer)

Perubahan dalam Undang-undang terjadi setiap terjadi perubahan yang


disesuaikan dengan suatu perubahan perasaan atau keyakinan hu-kum pada
pembuat undang-undang. Perubahan keadaan karena wak-tu tidak dapat
dianggap sebagai perubahan dalam perundang-unda-ngan menurut arti
perkataan Pasal 1 ayat (2) KUHP. Akan tetapi teori ini dapat menerima pula
perubahan dalam perundang-undangan di luar undang-undang hukum pidana,
apabila perubahan itu mempe-ngaruhi undang-undang hukum pidana tersebut.
Salah satu penganut teori ini ialah van Geuns.

3. Teori Materiel Tidak Terbatas (onbeperkte materiele leer)

Perubahan dalam perundang-undangan itu adalah setiap perubahan baik dalam


perasaan atau keyakinan hukum pada pembuat undang-undang maupun dalam
keadaan menurut waktu, merupakan peruba-han perundang-undangan
menurut arti perkataan Pasal 1 ayat (2) KUHP. Teori ini mempunyai penganut
paling banyak.

Dalam praktiknya baik di peradilan Belanda hingga Indonesia lebih condong


tidak menggunakan teori formal, melainkan mengikuti teori materiel terbatas dan
teori materiel tidak terbatas, seperti tampak dalam beberapa putusan pengadilan

UNIVERSITAS PAMULANG | BAHAN AJAR FAKULTAS HUKUM


BAHAN AJAR HUKUM PIDANA

Arrest HR 3 Desember 1906 W. No. 8468. Dalam kasus yang terjadi di tahun 1904 ini
telah terjadi tindakan pelacuran dimana seorang mucikari mempekerjakan seorang
wanita yang saat itu berusia dibawah 22th sebaai seorang pelacur di rumah milik
mucikari tersebut.
Dakam hal ini mucikari tersebut dituntut dengan dasar pasal 295 ayat (1) btir
2 KUHP, pasal tersebut dipergunakan sebagai legal standing dalam hal penuntutan
oleh karena konteks dewasa yang diakui dalam hukum belanda di tahun 1904 tersebut
adalah usia 23th (pasal 330 KUHPerdata). Ditahun 1905 saat perkara tersebut masih
bergulir, terjadi perubahan dalam pasal 330 KUHperdata yakni batas usia dewasa
yang awalnya 23th diturunkan menjadi 21th.
Dalam hal perubahan tersebut disebut sebagai perubahan redaksi pada pasal
330 KUHperdata, sehingga membuat setatus wanita dengan status pelacur tersebut
menjadi setatus dwasa. Hal tersebut berakibat pasal 295 ayat (1) btir 2 KUHP tidak
dapat di pergunakan untuk menuntut mucikari tersebut. Hoge Road mengganggap
perubahan tersebut dalam pasal 330 KUHperdata tersebut juga mempengaruhi arti
dari pernyataan pada pasal 1 ayat (2) KUHP. Meskipun perubahan pasal pasal 330
KUHperdata tidak dimasukan dan disebutkan dalam perubahan redaksi hukum pidana
tersebut. Hal tersebut mengaibatkan konsekuensi hukm yaknimucikari tersebut
dilepasdari segala tuntutan huum. Dalam contoh tersebut terlihat Hoge Road ketika
melakukan putusan teori yang dipergunakan adalah teori materil tidak terbatas 13
Ketentuan yang pailing menguntungkan harus diartikan secara luas, tidak saja
mengenai pidananya tetapi juga meliputi segala ketentuan pidana yang dapat
mempengaruhi di dalam menilai suatu tindak pidana itu yang meliputi perumusan
kaidah, unsur-unsur tindak pidana, jangka waktu daluarsa, sifat penggolongan delik,
semua hal ini dapat mempengaruhi penilaian ketentuan yang paling menguntuingkan

13
ibid, hlm. 86.
UNIVERSITAS PAMULANG | BAHAN AJAR FAKULTAS HUKUM
BAHAN AJAR HUKUM PIDANA

bagi terdakwa.14 Akan tetapi ketentuan-ketentuan yang diubah yang menguntungkan


tersangka buka hanya pidananya saja, melainkan juga suatun ketentuan umum seperti
ketentuan berlakunya hukum pidana bedasarkan tempat (Locus) dan waktu (tempus),
percobaan, penyertaan, gabungan perbua-tan, hingga cara penuntutan.15

E. RINGKASAN.
Asas legalitas di dalam hokum pidana Indonesia tercermin dalam Pasal 1 ayat
1 KUHP yang menyatakan “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali
berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”. Maka
bila apabila kententuan pidana tersebut tekah dialanggar oleh seseorang setelah dalam
kondisi undang-undang hukum pidana tersebut telah berlaku , maka pelaku tersebut
telah dapat dihukum dan juga ditntut berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam
aturan hukum pidana tersebut.
Rumusan dan pembagian asas legalitas yang digambarkan serta dijabatkan
oleh Anslem von Feuerbach Adalah 1) Nulla poena sine lege. 2) Nulla poena sine
crimine, 3) Nullum crimen sine poena legali.
Anslem von Feuerbach juga menjelsakan berkaitan dengan asas legalitas ia
juga mencetuskan teori miliknya yang dikenal dengan istlah vom psychologischen
zwang teori tersebut menilai jika ancaman pidana memiliki dampak psikologis yang
dapat membuat orang takut untuk melakukan tindak pidana, dikarenakan orang
tersebut mengetahui acaman pidana sebagai konsekuensi perbuatan pidana maka
dalam hal ini konteks psikologis orang tersebut yang mampu mengurungkannya
melakukan tindak pidana. Asas legalitas mengandung 3 (Tiga) makna, sperti 1) Tidak
ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan hukum pidana jika perbuatan

14
ibid, hlm. 89.
15
S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana dan Penerapannya, Alumni Ahaem-Petehaem,
Jakarta, 1986, hlm 84
UNIVERSITAS PAMULANG | BAHAN AJAR FAKULTAS HUKUM
BAHAN AJAR HUKUM PIDANA

10

tersebut belum terlebih dahulu termuat dan dinyatakan dalam suatu aturan
undang-undang, 2) Tidak boleh menggunaan analogi Untuk menentukan adanya
perbuatan pidana, 2) Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.
Dalam Konteks Pengecualian Asas legalitas terdapat pada (Pasal 1 ayat (1)
KUHP) terdapat beberapa pengecualian yakni yang tertuang dalam Pasal 1ayat (2)
KUHP yang berbunyi “jika terjadi perubahan perundang-undangan setelah perbuatan
itu dilakukan maka kepada tersangka/terdakwa dikenakan ketentuan yang
menguntungkan baginya”. Apa yang dimkasud dari pasal 1 ayat (2) ialah 1)
Dilakukan perubahan dalam perundang-undangan, 2) Perubahan terjadi setelah
seseorang melakukan perbuatan yang diancam pidana menurut undang-undang, 3)
Undang-undang yang baru lebih menguntungkan bagi kepentingan terdakwa.

F. UJI PEMAHAMAN
Dari penjelasan-penjalasan yang telah disebutkan diatas maka, terdapat
bebrapa hal yang harus di pecahkan oleh mahasiswa/I yakni :

1. Buatlah Beberapa Contoh, berkaitan dengan konsep pembagian asas


legalitas yang digambarkan serta dijabatkan oleh Anslem von Feuerbach?
2. Sebutkan Analysis saudara/i berkaitan dengan kasus seorang yang
melakukan suatu kejahatan tetapi tidak disebut oleh hukum sebagai suatu
kejahatan karena belum di tulis, maka tidak dapat dihukum? Maka Seperti
apa perteimbangan pertanggungjawaban hukum pidana terhadapnya!
3. Dalam Pasal 1ayat (2) KUHP yang berbunyi “jika terjadi perubahan
perundang-undangan setelah perbuatan itu dilakukan maka kepada
tersangka/terdakwa dikenakan ketentuan yang menguntungkan baginya”.
Maka Sebutkan Analiysis Saudara/i berkaitan dengan maksud dari

UNIVERSITAS PAMULANG | BAHAN AJAR FAKULTAS HUKUM


BAHAN AJAR HUKUM PIDANA

11

Perbuahan Perundang-undangan & Batasan Dari makna penggunaan Pasal


1 ayat (2) KUHP tsb?

G. REFRENSI.

Andi Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, 1995.

Andi Sofyan & Nur Azisa, Buku Ajar Hukum Pidana, Pustaka Pena Press, Makasar,
2016.

Amir Ilyas, Asas-asas Hukum Pidana, Rangkang Education Yogyakarta & PuKAP
Indonesia, Yogyakarta, 2012.

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1991.

Eddy O.S. Hiariej, Asas Legalitas & Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana,
Erlangga, Jakarta, 2009.

Hery Firmansyah dan Sigid Riyanto, Hukum Pidana Matriil & Formiil : Berlakunya
Hukum Pidana, USAID-The Asia Foundation-Kemitraan Partnership, Jakarta,
2015.

S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana dan Penerapannya, Alumni


Ahaem-Petehaem, Jakarta, 1986.

Sofjan Sastrawidjaja, Hukum Pidana I, C.V. Armico, Bandung, 1990.

UNIVERSITAS PAMULANG | BAHAN AJAR FAKULTAS HUKUM

Anda mungkin juga menyukai