Nim: B011201145
Dosen: Dr. Syamsuddin Muchtar, SH., MH. & Arnita Arifin, S.H.,LLM
Pada awalnya di masa romawi kuno, banyak kejahatan-kejahatan yang tidak disebutkan dalam
UU (criminal extra ordinaria) termasuk perbuatan jahat dan durhaka, akhirnya hukum pidana
belum tertulis, sementara kekuasaan raja bersifat mutlak dan muncul kesewenang-wenangan
penguasa. Hukum romawi kuno inilah yang membuat banyak negara-negara di eropa
menerapkannya dalam abad pertengahan, dan akhirnya memancing reaksi banyak pihak, dan
memunculkan pikiran tentang harusnya menentukan terlebih dahulu dalam uu (tertulis) perbatan
apa yang dapat dipidana, agar penduduk juga tahu dan tidak melakukan perbuatan pidana
tersebut. Pemikiran Ini seperti menurut J.J Rosseau dan Montesquieu menuntut kekuasaan
raja/penguasa dibatasi dengan UU tertulis tersebut.
Tahun 1789 asas Nullum Delictum sudah dicantumkan dalam konstitusi perancis, kemudian
dicantumkan pula dalam code penalnya. Belanda yang pernah mengalami penjajahan perancis
kemudian mencantumkan pula asas tersebut dalam wetboek van stafrechtnya melalui code penal
yang dibawa oleh perancis. Dan pada tahun 1915 asas tersebut telah dicantumkan dalam KUHP
Indonesia yang merupakan jajahan belanda ketika itu dan sampai saat ini sejak Indonesia
merdeka dan masih berlaku sebagaimana tercantum di pasal 1 ayat 1 KUHP.
makna asas legalitas adalah perlindungan dan pembatasan. Perlindungan dilakukan untuk
melindungi hak-hak individuwarga negara dari kesewenang-wenangan kekuasaan penguasa
termasuk hakim , sementara pembatasan dilakukan untuk membatasi kekuasaan multak penguasa
(termasuk hakim) agar tidak sewenang-wenang.
Sesuai dengan bunyi pasal 1 ayat 1 KUHP “tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas
kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang yang ada terdahulu daripada perbuatan itu”
maka dalam konteks asas legalitas tersebut mengandung makna bahwa
Tidak boleh ada rumusan delik yang kurang jelas (lex certa)
Asas legalitas diatur dalam KUHP, sebagai induk hukum pidana. Pengaturan asas legalitas dalam
buku 1 KUHP tentang ketentuan umum, membawa konsekuensi bahwa ketentuan asas legalitas
itu berlaku terhadap kejahatan-kejahatan yang diatur dalam buku 2 maupun pelanggaran dalam
buku 3 KUHP. Demikian juga berlaku bagi semua peraturan pidana yang diatur dalam UU di
luar KUHP, kecuali UU tersebut membuat penyimpangan (lex specialist derogate lex generalis).
Asas legalitas pada hakikatnya adalah tentang ruang berlakunya hukum pidana menurut waktu
dan sumber/dasar hukum (dasar legalisasi) dapat dipidananya suatu perbuatan. (jadi sebagai
“dasar kriminalisasi atau landasan yuridis pemidanaan)
Di inggris, asas legalitas bersumber pada case law. Namun terdapat pergeseran dari asal
legalitas materil ke formil, artinya yang pada awalnya suatu perbuatan dapat ditetapkan
sebagai delik oleh hakim berdasar pada common law, namun berubah hanya dapat
ditetapkan berdaskan UU (satute law)
Di Republik rakyat china adalah termasuk negara yang tidak memberlakukan asas
legalitas, namun KUHPnya masih mempertahankan ciri komunisme dan
mempertahankan sistem kediktatoran. Walaupun sudah mulai menggunakan sistem
kapitalisme.
Di jerman, asas legalitas berada pada lingkup penuntutan, sehingga di jerman sendiri
menganut “positive legalitu principle”. dalam KUHP jerman strafgesetbuchz (stgb)
disebutkan bahwa perbuatan hanya dapat dipidana apabila telah ditetapkan oleh UU
sebelum perbuatan itu dilakukan.
Di perancis berlaku pula asas legalitas, dalam pasal 7 konstitusi perancis, yang
menyebutkan bahwa, “ sesorang dapat dituduh, dtangkap, atau ditahan hanya dalam kasus
yang ditentukan oleh hukum dan sesuai dengan prosedur yang diatur oleh hukum, mereka
yang bertindak sewenang-wenang akan dihukum. Akan tetapi tiap warga negara yang
dipanggil untuk menaati hukum harus taat, jika melawan ia menyatakan mengaku
bersalah”
Referensi
https://media.neliti.com/media/publications/163598-ID-none.pdf