Anda di halaman 1dari 32

Asas Legalitas Dan Perkembangannya Dalam Hukum Pidana1

Eddy O.S Hiariej2

1. Sejarah Dan Landasan Filsafati Asas Legalitas

Asas legalitas diciptakan oleh Paul Johan Anslem von Feuerbach (1775 – 1833),
seorang sarjana hukum pidana Jerman dalam bukunya Lehrbuch des penlichen recht pada
tahun 1801. Apa yang dirumuskan oleh Feuerbach mengandung arti yang sangat mendalam
yang dalam bahasa Latin berbunyi : nulla poena sine lege ; nulla poena sine crimine ; nullum
crimen sine poena legali3. Ketiga frasa tersebut kemudian menjadi adagium nullum delictum,
nulla poena sine praevia legi poenali4. Jauh sebelum lahirnya asas legalitas, prinsipat hukum
Romawi memperlihatkan wajah tatanan hukum yang individualistis, sedangkan dalam
bidang politik kebebasan warga negara semakin dibelenggu5. Pada zaman Romawi dikenal
adanya crimine extra ordinaria yang berarti kejahatan-kejahatan yang tidak disebut dalam
undang-undang. Di antara crimine extra ordinaria ini adalah crimen stellionatus yang secara
letterlijk artinya perbuatan jahat atau durjana. Ketika hukum Romawi kuno diterima di
Eropa Barat pada abad pertengahan, crimine extra ordinaria ini diterima oleh raja-raja yang
berkuasa dan cenderung menggunakan hukum pidana itu sewenang-wenang menurut
kehendak dan kebutuhan raja6.

Pada zaman itu hukum pidana sebagian besar tidak tertulis sehingga dengan
kekuasaan raja yang sangat absolut dapat menyelenggarakan pengadilan dengan sewenang-
wenang. Penduduk tidak mengetahui secara pasti mana perbuatan yang dilarang dan mana
perbuatan yang tidak dilarang. Proses pengadilan berjalan tidak fair karena hukum
ditetapkan menurut perasaan hukum hakim yang mengadili7. Pada saat yang bersamaan
muncul para ahli pikir seperti Montesquieu dan Rousseau yang menuntut agar kekuasaan
raja dibatasi dengan undang-undang tertulis. Pasca-revolusi Perancis struktur hukum mulai
dibangun dengan adanya hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah, antara
kekuasaan negara dan individu8.

Mungkin karena asas legalitas dirumuskan dalam bahasa Latin, ada yang
beranggapan bahwa rumusan ini berasal dari hukum Romawi kuno9. Padahal, menurut

1
Disampaikan dalam acara Pelatihan Hukum Pidana Dan Kriminologi, 23 – 27 Februari 2014 di Yogyakarta.
Makalah ini adalah intisari dari buku penulis yang berjudul Asas Legalitas Dan Penemuan Hukum Dalam Hukum
Pidana yang merupakan ringkasan disertasi penulis dengan judul Asas Legalitas Dalam Pelanggaran Berat Hak
Asasi Manjusia.
2
Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
3
Bambang Poernomo, 1989, Manfaat Telaah Ilmu Hukum Pidana Dalam Membangun Model Penegakan
Hukum Di Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, 5 Juli 1989, hlm. 8.
4
Jan Remmelink, 2003, Hukum Pidana : Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Belanda Dan Padanannya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 605.
5
John Gillisen Dan Frist Gorle, 2005, Sejarah Hukum : Suatu Pengantar, Refika Aditama, Bandung, hlm.177.
6
Moeljatno, 2000, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 24.
7
Bambang Poernomo, 1982, Asas-Asas Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta, hlm. 24.
8
Rene David & John E.C Brierley, 1985, Major Legal Systems In The World Today, Third Edition, Stevens & Sons,
London, hlm.63.
9
Jan Remmelink, Op.Cit, hlm 356.

1
Moeljatno baik adagium ini maupun asas legalitas tidak dikenal dalam hukum Romawi
kuno10. Demikian pula menurut Sahetapy yang menyatakan bahwa asas legalitas yang
dirumuskan dalam bahasa Latin adalah karena bahasa Latin merupakan bahasa ‘dunia
hukum’ yang digunakan pada waktu itu11.

Mengenai hal ini, Hazewinkel Suringa menyatakan :

Art. 1 dan luidt : Geen feit is strafbaar dan uit kracht van eene daaraan
voorafgegane wettelijke strafbepaling. De jurisdische wetenschaap pleegt
deze regel aan te diden als ’nullum delictum noela poena sine praevia lege
poenali’. Dit zou de indruk kunnen wekken, dat het hier zou gaan om een
voorschrift van Romeinse oorsprong, hetgeen echter niet het geval is. Noch
tijden de republiek noch tijden het principaat heeft in Rome een dergelijke
regel gegolden.Hij is zijn latijnse formulering afkomstig van Von Feuerbach,
hij stamt dus uit het begin der 19e eeuw en is te beschowen als een product
van de klassieke school12.

Ada pula yang berpendapat bahwa asas legalitas seolah-olah berasal dari ajaran
Montesquieu yang dituangkan dalam bukunya L’Esprit des Lois, 1748. Menurut
Montesquieu, dalam pemerintahan yang moderat hakim harus berkedudukan terpisah dari
penguasa dan harus menghukum dengan setepat mungkin sesuai ketentuan harafiah
hukum. Hakim harus bertindak berhati-hati untuk menghindari tuduhan tidak adil terhadap
orang-orang yang tidak bersalah13. Ajaran Montesquieu bertujuan untuk melindungi
kemerdekaan individu terhadap tindakan sewenang-wenang pemerintah negara. Demikian
pula asas legalitas mempunyai tujuan yang sama yaitu melindungi individu terhadap
perlakuan sewenang-wenang pihak peradilan arbitrer, yang pada zaman sebelum revolusi
Perancis menjadi suatu kenyataan yang umum di Eropa Barat.

Menurut van der Donk dan Hazewinkel Suringa, baik ajaran Montesquieu maupun
Rosseau mempersiapkan penerimaan umum terhadap asas legalitas, akan tetapi dalam
pelajaran kedua tokoh tersebut tidak terdapat rumusan asas legalitas. Maksud dari
pelajaran kedua tokoh tersebut adalah untuk melindungi individu terhadap tindakan hakim
yang sewenang-wenang yaitu melindungi kemerdekaan pribadi individu terhadap suatu
tuntutan tindakan yang sewenang-wenang14. Sementara komentar Hans Kelsen terhadap
prinsip nulla poena sine lege, nullum crimen sine lege adalah ekspresi legal positivism dalam
hukum pidana15.

Jika dilihat dari situasi dan kondisi lahirnya asas legalitas, maka sulit dinafikan bahwa
asas tersebut adalah untuk melindungi kepentingan individu sebagai ciri utama tujuan

10
Moeljatno, Op.Cit, hlm. 23.
11
J.E. Sahetapy, 2003, Asas Retroaktif : Suatu Kajian Ulang, KHN Newsletter, Edisi Mei 2003, hlm. 21.
12
Hazewinkel Suringa, 1953, Inleiding Tot De Studie Van Het Nederlandse Strafrecht, H.D. Tjeenk Willink &
Zoon N.V. – Haarlem, hlm. 274.
13
Montesquieu, 2007, The Spirit Of Laws : Dasar-Dasar Ilmu Hukum Dan Ilmu Politik, Penerjemah : M.Khoiril
Anam, Nusamedia, hlm. 140.
14
E. Utrecht, 1960, Hukum Pidana I, Penerbitan Universitas, Bandung, hlm.194.
15
Hans Kelsen, 1944, General Theory Of Law And State, Russell & Russell, New York, hlm. 52.

2
hukum pidana menurut aliran klasik16. Secara tegas seorang juris pidana terkenal dari
Jerman, Franz von Liszt menulis, ”the nullum crimen sine lege, nulla poena sine lege
principles are the bulwark of the citizen against the State’s omnipotence; they protect the
individual against the brutal force of the majority, against the Leviathan17”.

Terkait dengan asas legalitas yang diajarkan oleh Feuerbach, sebenarnya


menghendaki penjeraan tidak melalui pengenaan pidana, namun melalui ancaman pidana di
dalam perundang-undangan sehingga harus dicantumkan dengan jelas kejahatan dan
pidananya. Teori asas legalitasnya Feuerbach ini kemudian dikenal dengan psycologische
dwang18. Artinya, untuk menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam suatu
undang-undang pidana, tidak hanya perbuatan tersebut dituliskan dengan jelas dalam
undang-undang pidana tetapi juga mengenai macamnya pidana yang diancamkan. Hal ini
dimaksud agar orang yang akan melakukan perbuatan pidana mengetahui lebih dahulu
perihal pidana yang diancamkan. Dengan demikian diharapkan ada perasaan takut dalam
batin orang tersebut untuk melakukan suatu perbuatan yang dilarang19. Oleh van der Donk
dikatakan bahwa maksud ajaran Feuerbach ini adalah membatasi hasrat manusia untuk
berbuat jahat20.

Jika memang demikian ajaran Feuerbach dengan psycologische dwang – nya, maka
menurut Sahetapy dalam penelitian disertasinya, bukanlah Feuerbach yang pertama kali
mengemukakan teori tersebut melainkan Samuel von Pufendorf. Secara tegas dinyatakan
oleh Samuel von Pufendorf bahwa ancaman pidana dimaksudkan untuk menakutkan dan
karenanya menahan orang untuk berbuat dosa dan dengan demikian mereka akan patuh
pada hukum21. Demikian pula perihal asas legalitas, masih menurut Sahetapy yang
mengutip Oppenheimer, bukanlah Feuerbach yang pertama kali mengemukakan asas
tersebut melainkan Talmudic Jurisprudence22.

Bahkan apabila kita mengkaji lebih jauh, ruh dari asas legalitas ini sebenarnya
terdapat dalam Perjanjian Baru yang berisi Injil, surat-surat Paulus dan surat-surat lainnya.
Dalam Surat Paulus Kepada Jemaat Di Roma, tepatnya Roma Pasal 5 ayat (13) berbunyi,
”Sebab sebelum hukum Taurat ada, telah ada dosa di dunia. Tetapi dosa itu tidak
diperhitungkan kalau tidak ada hukum Taurat”23. Berdasarkan Roma Pasal 5 ayat (13)
tersebut, jika kita menganalogikan dosa itu sebagai perbuatan pidana, maka tidak ada
perbuatan pidana sebelum ada aturan hukumnya.

Menurut M. Shokry El - Dakkak, asas legalitas dalam hukum Islam secara implisit
terdapat dalam Al-Qur’an, Surat Al Israa’ ayat 15. Dalam surat tersebut dikatakan, “Siapa
yang mengikuti petunjuk, maka perbuatan itu untuk dirinya sendiri. Siapa yang berbuat
salah, maka ia sendiri yang akan menderita. Seorang yang berdosa tidak dapat memikul

16
Jan Remmelink, Op.Cit, hlm. 356. Hazewinkel Suringa, Op.Cit, hlm. 274.
17
Antonio Cassese, 2003, International Criminal Law, Oxford University Press, hlm.141.
18
Ch.J., Enschede, 2002, Beginselen Van Strafrecht, Kluwer, Deventer, hlm. 26.
19
Molejatno, Op.Cit, hlm 25.
20
E. Utrecht, Op.Cit, hlm 195.
21
J.E. Sahetapy, 1978, Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, Disertasi, hlm. 244.
22
Ibid, hlm. 251.
23
Lembaga Alkitab Indonesia, 2000, Alkitab Dan Kidung Jemaat, cetakan kedua, hlm. 187.

3
dosa orang lain. Kami tidak akan menghukum sebelum Kami mengutus seorang rasul“24.
Berdasarkan ayat tersebut, hukum Islam tidak hanya mengakui asas legalitas tetapi juga
memberi dasar bagi asas pertanggungjawaban pribadi dalam hukum pidana.

Dalam perkembangan selanjutnya asas ini disimpangi di beberapa negara. Perihal


penyimpangan ini dikemukakan oleh Hazewinkel Suringa sebagai berikut :

”Het principe van ons art.1 is in de meeste codificaties der 19e eeuw
opgenomen ; in de 20e is het in sommige landen weer prijsgegeven. Zo heeft
in 1926 Rusland, in 1935 Duitsland dit palladium van individuele
rechtszekerheid en rechtsgelijkheid vernietigd, in zoverre, dat de straf rechter
tot taak kreeg de gedrangingen niet slechts aan de delictsformules te toetsen,
maar ook aan de sociale gevaarlijkheid, met als maatstraf het gezonde
volksgevoelen. Analogische wetstoepassing werd onbeperkt toegestaan”25.

Apa yang dikemukakan oleh Suringa dapat kita lihat bahwa Rusia adalah negara
pertama yang mengesampingkan asas legalitas pada tahun 1926. Adapun yang dijadikan
alasannya adalah bahwa asas legalitas lebih menitikberatkan perlindungan pada
kepentingan individu, sementara kepentingan masyarakat harus lebih diutamakan 26.
Sementara Jerman mengesampingkan asas tersebut dengan menghapus larangan analogi
dalam hukum pidana yang dipengaruhi pemerintah nasional sosialis (NAZI) yang berkuasa
pada saat itu. Pada tahun 1933 Jerman memperkenalkan Lex van der Lubbe27. Marines van
der Lubbe adalah seorang Belanda yang dianggap sebagai kaki tangan komunis dan
membakar Reichtstaatgebouw pada tanggal 27 Februari 1933. Pemerintah NAZI Jerman
kemudian mengeluarkan undang-undang tertanggal 23 Maret 1933 yang diberlakukan surut
sampai tanggal 31 Januari 1933 dengan maksud agar peristiwa itu dapat diadili dengan
undang-undang tersebut28.

Sedangkan di Belanda, asas legalitas ini disimpangi pada tahun 1945 setelah perang
dunia kedua berakhir. Pemerintah Belanda mengeluarkan Besluit Buitengewoon Strafrecht
(BBS) atau ketetapan hukum pidana luar biasa yang memberlakukan surut delik terhadap
keamanan negara sejak tanggal 22 Desember 1943. Dalam Pasal 3 BBS menetapkan Pasal 1
KUHP tidak berlaku bagi penetapan sebagaimana yang diatur dalam Ketetapan London 29.

Di Indonesia sendiri pada zaman pemerintah kolonial Hindia Belanda, asas legalitas
pernah disimpangi dengan dikeluarkannya Brisbane Ordonanntie. Brisbane adalah kota kecil
di Australia yang digunakan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk melarikan diri
dari kejaran bala tentara Dai Nippon agar dapat terus melanggengkan kekuasaan

24
M.Shokry El – Dakkak, 2000, State’s Crimes Against Humanity : Genocide, Deportation And Torture : From
The Prespectives Of International And Islamic Laws, A.S. Noordeen, hlm. 203. Lihat juga H. Oemar Bakry, 1983,
Tafsir Rahman, Mutiara, Jakarta, hlm. 543.
25
Hazewinkel Suringa, Op.Cit, hlm. 275 – 276.
26
Bambang Pornomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Op.Cit, hlm. 72.
27
Machteld Boot, 2001, Nullum Crimen Sine Lege and the Subject Matter Jurisdiction of the International
Criminal Court : Genocide, Crimes Against Humanity, War Crimes, Intersentia, Antwerpen – Oxford – New York,
hlm. 86.
28
E. Utrecht, Op.Cit, hlm. 197. Bandingkan dengan Bambang Poernomo, Op.Cit, hlm. 71.
29
Ch.J., Enschede, Op.Cit, hlm. 27.

4
pemerintah kolonial Hindia Belanda di sana selama perang dunia kedua. Ketika Jepang
menyerah kepada sekutu dalam perang dunia kedua, pemerintah kolonial Hindia Belanda
mengeluarkan staatsblad yang kemudian dikenal dengan nama S. 45 – 135 atau biasa
disebut dengan Brisbane Ordonanntie.

Dalam konsideran ordonanntie tersebut dikatakan antara lain bahwa demi


kepentingan keamanan negara (... in het belang van de veiligheid van den staat...),
perbuatan-perbuatan pidana, perbuatan-perbuatan mana begitu berbahaya yang patut
dipidana (... begane feiten welke zoo ernstige mate strafwaardig zijn....) tanpa
memperhatikan atau menggunakan ketentuan Pasal 1 KUHP (... zonder dat een beroep op
het bepaalde in art. 1 van het Wetb.v.Strafr. bij die berechting dient worden toegelaten...).
Selanjutnya dalam Pasal 18 Brisbane Ordonanntie secara eksplisit dinyatakan bahwa
ketentuan Pasal 1 KUHP tidak diterapkan terhadap ordonanntie ini30.

Perihal sejarah perkembangan asas legalitas dalam hukum pidana, dengan segala
faktor yang mempengaruhinya terdapat empat macam sifat ajaran yang dikandung oleh
asas legalitas. Pertama, asas legalitas hukum pidana yang menitikberatkan pada
perlindungan individu untuk memperoleh kepastian dan persamaan hukum. Adagium yang
dipakai oleh ajaran ini menurut G.W. Paton adalah nulla peona sine lege. Perlindungan
individu diwujudkan dengan adanya keharusan lebih dahulu untuk menentukan perbuatan
pidana dan pemidanaan dalam undang-undang.

Kedua, asas legalitas hukum pidana yang menitikberatkan pada dasar dan tujuan
pemidanaan agar dengan sanksi pidana itu hukum pidana bermanfaat bagi masyarakat
sehingga tidak ada pelanggaran hukum yang dilakukan oleh masyarakat. Adagium yang
dipakai oleh ajaran ini adalah ciptaan Feuerbach : nullum delictum, nulla peona sine praevia
lege poenali. Ketiga, asas legalitas hukum pidana yang meniktikberatkan tidak hanya pada
ketentuan tentang perbuatan pidana saja agar orang menghindari perbuatan tersebut,
tetapi juga harus diatur mengenai ancaman pidananya agar penguasa tidak sewenang-
wenang dalam menjatuhkan pidana.

Keempat, asas legalitas hukum pidana yang menitikberatkan pada perlindungan


hukum kepada negara dan masyarakat. Asas legalitas di sini bukan hanya kejahatan yang
ditetapkan oleh undang-undang saja akan tetapi menurut ketentuan hukum berdasarkan
ukuran dapat membahayakan masyarkat. Oleh karena itu tidak mungkin ada perbuatan
jahat yang timbul kemudian dapat meloloskan diri dari tuntutan hukum. Adagium yang
dipakai di sini adalah nullum crimen sine poena31.

2. Defenisi Asas Legalitas

Het eerste lid van het eerste artikel van het W.v.S., dat inhoudt, dat geen feit
strafbaar is dan uit kracht van een daaraan voorafgegane wettelijke strafbepaling, is een
beginsel – artikel,32 demikian Jonkers. Pada intinya Jonkers menyatakan bahwa Pasal 1 ayat
(1) KUHP, tidak ada perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan undang-undang

30
J.E. Sahetapy, Asas Retroaktif : Suatu Kajian Ulang, Op.Cit, hlm. 20 – 21.
31
Bambang Poernomo, Op.Cit, hlm. 71 – 73.
32
J.E. Jonkers, 1946, Handboek Van Het Nederlansch – Indische Strafrecht, E.J. Brill, Leiden, hlm. 1.

5
pidana yang ada sebelum perbuatan dilakukan adalah suatu pasal tentang asas. Berbeda
dengan asas hukum lainnya, asas legalitas ini tertuang secara eksplisit dalam undang-
undang. Padahal, menurut pendapat para ahli hukum, suatu asas hukum bukan merupakan
peraturan hukum konkrit.

Kiranya terdapat kesamaan pandangan di antara para ahli hukum pidana bahwa
pengertian asas legalitas adalah tiada perbuatan dapat dipidana kecuali atas dasar kekuatan
ketentuan pidana menurut undang-undang yang sudah ada terlebih dahulu33. Ketentuan ini
sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP adalah defenisi baku dari asas
legalitas. Dari defenisi baku asas legalitas tersebut yang penting untuk diulas selanjutnya
adalah makna ’perbuatan yang dapat dipidana’ dan makna ’ketentuan pidana menurut
undang-undang’.

Perihal pengertian kata ’perbuatan’ dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, Noyon dan
Langemeijer menyebutkan bahwa perbuatan yang dimaksud dapat bersifat positif dan
negatif. Perbuatan bersifat positif berarti melakukan sesuatu, sedangkan perbuatan bersifat
negatif mengandung arti tidak melakukan sesuatu34. Tidak melakukan apa yang menjadi
kewajibannya atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan dikenal dengan
istilah omissions35. Sedangkan mengenai kata ’perbuatan dapat dipidana’ atau istilah
’perbuatan pidana’ terdapat perbedaan yang prinsip antara para ahli hukum pidana Belanda
dan para ahli hukum pidana Indonesia yang dipelopori Moeljatno.

Enschede memberi defenisi perbuatan pidana sebagai een menselijke gedraging die
valt binnen de grenzen van delictsomschrijving, wederechtelijk is en aan schuld te wijten36.
Kelakuan manusia yang memenuhi rumusan delik berkaitan dengan perbuatan pidana,
sedangkan melawan hukum dan dapat dipidana berkaitan dengan kesalahan sebagai unsur
mutlak pertanggungjawaban pidana. Jonkers memberi defenisi perbuatan pidana menjadi
defenisi singkat dan defenisi luas. Secara tegas dinayatakn oleh Jonkers : ”De korte definitie
luidt : een strafbaar feit is een feit, dat door de wet is strafbaar gesteld. Een langere en ook
beteekenisvollere definitie is : een strafbaar feit is een feit met opzet of schuld in verband
staande onrechtmatig (wederechtelijke) gedraging begaan door een toerekenisvatbaar
persoon”37. Dalam defenisi singkat, Jonkers sama sekali tidak menyinggung perihal
pertanggungjawaban pidana, namun dalam defenisi luas, perbuatan pidana juga mencakup
pertanggungjawaban pidana.

Senada dengan Jonkers adalah Pompe yang mana dalam defenisi perbuatan pidana
secara teoretis mancakup perbuatan dan pertanggungjawaban pidana, sedangkan dalam
defenisi perbuatan pidana menurut hukum positif, Pompe tidak menyinggung perihal
pertanggungjawaban pidana. Secara gamblang dinyatakan Pompe:

33
Eddy O.S Hiariej, 2007, Pemikiran Remmelink Mengenai Asas Legalitas, Jentera Jurnal Hukum, Edisi 16 –
tahun IV, April – Juni 2007, hlm. 124.
34
T.J. Noyon & G.E. Langemeijer, 1947, Het Wetboek Van Strafrecht, Vijfde Druk, Eerste Deel Inleiding Boek I,
S. Gouda Quint – D. Brouwer En Zoon, Uitgevers Het Huis De Grabbe – Arnhem, hlm. 54.
35
Fraser Sampson, 2001, Blackstone’s Police Manual Crime, Balckstone Press Limited, hlm. 10.
36
Ch. J. Enschede, Op.Cit hlm. 156.
37
J.E. Jonkers, Op.Cit, hlm. 83.

6
”..... theoretische uiteenzettingen ..... strafbare feit definieren als de
normovertreding, waaraan de overtreder schuld heeft en waarvan de
bestraffing dienstig is voor de handhaving der rechtsorde en de behartiging
van het algemeen welzijn..... Het strafbare feit ..... een gedraging zijn met drie
algemene eigenschapen...... wederrechtelijk, aan schuld te wijten en
strafbaar..... Volgens ons positieve recht is het strafbare feit niets aanders
dan een feit, dat in een wettelijke bepaling las strafbaar is omschreven..... 38.

Simons memberi arti perbuatan pidana sebagai suatu perbuatan yang oleh hukum
diancam dengan hukuman, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh seorang yang
bersalah dan orang tersebut dianggap bertanggung jawab atas perbuatannya39. Berdasarkan
defenisi perbuatan pidana yang dikemukakan oleh para ahli hukum pidana Belanda, terlihat
jelas bahwa di dalam istilah ”perbuatan pidana“ sebagai terjemahan dari ”strafbaarfeit“
meliputi baik perbuatan pidana itu sendiri maupun pertanggung jawaban pidana. Ahli
hukum pidana Belanda yang secara tegas mendefenisikan ”perbuatan pidana“ tidak meliputi
pertanggungjawaban pidana adalah Vos. Menurut Vos perbuatan pidana adalah een
menselijke gedraging, waarop door wet straf is gesteld40.

Menurut Moeljatno pandangan yang menyatukan perbuatan pidana dan


pertanggungjawaban pidana adalah pandangan monistis yang dinggapnya kuno41.
Moeljatno kemudian memberi defenisi perbuatan pidana sebagai ”perbuatan yang dilarang
dan diancam dengan pidana barangsiapa melanggar larangan itu“42. Dalam pengertian
perbuatan pidana tersebut, Moeljatno sama sekali tidak menyinggung mengenai kesalahan
atau pertanggungjawaban pidana. Kesalahan adalah faktor penentu pertanggungjawaban
pidana karenanya tidak sepatutnya menjadi bagian defenisi perbuatan pidana. Selanjutnya
secara tegas dinyatakan oleh Moeljatno, ”apakah inkonkreto, yang melakukan perbuatan
pidana tadi sungguh-sungguh dijatuhi pidana atau tidak, itu sudah di luar arti perbuatan
pidana“43. Pandangan Moeljatno yang memisahkan antara perbuatan pidana dan
pertanggungjawaban pidana dikenal dengan pandangan dualistis44.

Kembali kepada kata ’ketentuan pidana menurut undang-undangan’ sebagaimana


terdapat dalam defenisi baku dari asas legalitas, Moeljatno berpendapat bahwa dalam
rumusan Pasal 1 ayat (1) KUHP, yang mana dalam teks Belanda disebut ”wettelijke

38
W.P.J. Pompe, 1959, Hanboek Van Het Nederlandse Strafrecht, Vijfde Herziene Druk, N.V. Uitgevers –
Maatschappij W.E.J.Tjeenk Willink, Zwolle, hlm. 39 – 40.
39
D. Simons, 1937, Leerboek Van Het Nederlandsche Strafrecht, Eerste Deel, Zesde Druk, P. Noordhoof, N.V. –
Groningen – Batavia, hlm. 122.
40
H.B. Vos, 1950, Leerboek Van Nederlands Strafrecht, Derde Herziene Druk, H.D.Tjeenk Willink & Zoon N.V. –
Haarlem, hlm. 25.
41
Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto , Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, hlm.
40.
42
Moeljatno, 1955, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungan Jawab Dalam Hukum Pidana, Pidato diucapkan
pada upacara peringatan Dies Natalis ke VI Universitas Gadjah Mada, di Sitihinggil Yogyakarta pada tanggal 19
Desember 1955, hlm 17.
43
Chairul Huda, 2006, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana
Tanpa Kesalahan ; Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana,
Kencana Prenada Media, Jakarta, hlm. 27.
44
Sudarto, Loc.Cit.

7
strafbepaling” berarti aturan pidana dalam perundang-undangan45. Sedangkan mengenai
pengertian Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berkaitan dengan ’ketentuan pidana menurut
undang-undang’, van Bemmelen dan van Hattum menyatakan :

Art 1 Sr. Herhaalt het nog eens met nadruk door te bepalen, dat geen feit
strafbaar is dan uit kracht van een wettelijke strafbepaling. Intussen mag het
begrip ’wettelijk’ in dit artikel niet, evanmin als de term ’strafwet’ in het
opschrift van de eerste titel van het eerste boek, enig worden opgevat. Onder
strafwet heeft men te verstaan, niet het strafwetboek alleen, doch het geheel
van Nederlandse strafrechtelijke voorschriften, algemene of bijzondere, zoals
die in de gecodificeerde en niet gecodificeerde wetgeving worden
aangetroffen. En wet is dan niet op te vatten in de formele doch in de
materiele zin46.

3. Makna Yang Terkandung Dalam Asas Legalitas

Setelah mengetahui defenisi dari asas legalitas, selanjutnya yang penting untuk
diulas adalah makna yang terkandung dalam asas legalitas. Seperti yang telah diutarakan di
atas, terhadap defenisi asas legalitas terdapat kesepahaman diantara para ahli hukum
pidana, namun perihal makna yang terkandung dalam asas legalitas kiranya terdapat
perbedaan pendapat diantara para ahli hukum pidana. Pemikiran yang sederhana mengenai
makna yang terkandung dalam asas legalitas dikemukakan oleh Enschede. Menurut
Enschede hanya ada dua makna yang terkandung dalam asas legalitas.

Pertama, suatu perbuatan dapat dipidana hanya jika diatur dalam perundang-
undangan pidana (... wil een feit strafbaar zijn, dan moet het vallen onder een wettelijke
strafbepaling...). Kedua, kekuatan ketentuan pidana tidak boleh diberlakukan surut (... zo’n
strafbepaling mag geen terugwerkende kracht hebben...)47. Makna asas legalitas yang
dikemukakan oleh Enschede ini sama dengan makna asas legalitas yang dikemukakan oleh
Wirjono Prodjodikoro yaitu bahwa sanksi pidana hanya dapat ditentukan dengan undang-
undang dan bahwa ketentuan pidana tidak boleh berlaku surut48.

Mirip dengan Enschede dan Wirjono adalah Sudarto yang juga mengemukakan ada
dua hal yang terkandung dalam asas legalitas. Pertama, suatu tindak pidana harus
dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan. Kedua, peraturan perundang-undangan
ini harus ada sebelum terjadinya tindak pidana. Sudarto kemudian menambahkan bahwa
dari makna yang pertama terdapat dua konsekuensi yaitu perbuatan seseorang yang tidak
tercantum dalam undang-undang sebagai suatu tindak pidana tidak dapat dipidana dan
adanya larangan penggunaan analogi untuk membuat suatu perbuatan menjadi suatu
tindak pidana sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang. Sedangkan konsekuensi dari
makna yang kedua adalah bahwa hukum pidana tidak boleh berlaku surut49.

45
Moeljatno, Op.Cit, hlm. 26.
46
J.M. Van Bemmelen En W.F.C. Van Hattum, 1953, Hand En Leerboek Van Het Nederlandse Strafrecht, S.
Gouda Quint – D. Brouwer En Zoon, Arnhem, hlm. 55.
47
Ch.J. Enschede, Op. Cit, hlm. 26.
48
Wirjono Prodjodikoro, 2003, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, hlm. 42.
49
Sudarto, Op.Cit, hlm. 22 – 24.

8
Menurut Jan Remmelink ada tiga hal sebagai makna yang terkandung dalam asas
legalitas. Ketiga hal yang dikemukakan oleh Remmelink adalah : Pertama, konsep
perundang-undangan yang diandaikan dalam ketentuan Pasal 1. Menurutnya, tidak hanya
perundang-undangan dalam arti formil yang dapat memberikan pengaturan di bidang
pemidanaan, tetapi menunjuk pada semua produk legislatif yang mencakup pemahaman
bahwa pidana akan ditetapkan secara legitimate. Termasuk di dalamnya adalah peraturan
yang dibuat oleh pemerintah daerah baik pada tingkat provinsi maupun kabupaten atau
kota.
Kedua, undang-undang yang dirumuskan terperinci dan cermat atau lex certa.
Prinsip ini juga dikenal dengan istilah bestimmtheitsgebot. Perumusan ketentuan pidana
yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum dan
menghalangi keberhasilan upaya penuntutan pidana karena warga selalu akan dapat
membela diri bahwa ketentuan-ketentuan seperti itu tidak berguna sebagai pedoman
perilaku. Ketiga adalah perihal analogi. Asas legalitas juga mengandung makna larangan
untuk menetapkan ketentuan pidana secara analogi atau yang dikenal dengan adagium
”nullum crimen noela poena sine lege stricta”50.

Sementara menurut Groenhuijsen seperti yang dikutip Komariah Emong Sapardjaja,


ada empat makna yang terkandung dalam asas ini. Dua dari yang pertama ditujukan kepada
pembuat undang-undang dan dua yang lainnya merupakan pedoman bagi hakim. Pertama,
bahwa pembuat undang-undang tidak boleh memberlakukan suatu ketentuan pidana
berlaku mundur. Kedua, bahwa semua perbuatan yang dilarang harus dimuat dalam
rumusan delik yang sejelas-jelasnya. Ketiga, hakim dilarang menyatakan bahwa terdakwa
melakukan perbuatan pidana didasarkan pada hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan.
Keempat, terhadap peraturan hukum pidana dilarang diterapkan analogi51. Demikian pula
menurut Richard G. Singer dan Martin R. Gardner bahwa ada tiga aspek yang berkaitan
dengan asas legalitas. Pertama, pemidanaan tidak dapat diberlakukan secara retroaktif.
Kedua, pembentuk undang-undang dilarang membuat hukum yang berlaku surut. Ketiga,
perbuatan pidana harus didefenisikan oleh lembaga atau institusi yang berwenang52.

Makna yang terkandung dalam asas legalitas lebih rinci dikemukakan oleh
Schaffmeister, Keijzer dan Sutorius yang menegaskan ada tujuh aspek dari asas legalitas.
Pertama, tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut undang-
undang. Kedua, tidak ada penerapan undang-undang pidana berdasarkan analogi. Ketiga,
tidak dapat dipidana hanya berdasarkan kebiasaan. Artinya, pelanggaran atas kaidah
kebiasaan dengan sendirinya belum tentu menghasilkan perbuatan pidana. Keempat, tidak
boleh ada perumusan delik yang kurang jelas atau asas lex certa. Kelima, tidak ada kekuatan
surut dari ketentuan pidana. Hal ini dikenal dengan prinsip non-retroaktif dari ketentuan
pidana. Keenam, tidak ada pidana lain kecuali yang ditentukan undang-undang. Perihal
keenam ini, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana selain yang telah ditentukan dalam

50
Jan Remmelink, Op.Cit, hlm. 357 – 359.
51
Komariah Emong Sapardjaja, 2002, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia
(Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi), Penerbit Alumni Bandung, hlm.
5 – 6.
52
Richard G. Singer & Martin R. Gardner, 1997, Crimes And Punishment : Cases, Materiils and Readings In
Criminal Law, Secodn Edition, Matthew Bender, hlm. 149.

9
ketentuan undang-undang. Ketujuh atau yang terakhir, penuntutan pidana hanya menurut
cara yang ditentukan oleh undang-undang53. Artinya, seluruh proses pidana, mulai dari
penyelidikan sampai pelaksanaan putusan haruslah berdasarkan undang-undang. Di sini,
undang-undang yang dimaksud adalah undang-undang dalam arti formal. Dengan kata lain,
pembentuk undang-undang yang lebih rendah dilarang membuat aturan acara pidana.
Menurut Moeljatno, ada tiga pengertian yang terkandung dalam asas legalitas.
Pertama, tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu
terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang. Kedua, Dalam
menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi. Ketiga, aturan-aturan
hukum pidana tidak berlaku surut54.

Berkaitan dengan asas legalitas, menurut Machteld Boot dengan mengutip pendapat
Jescheck dan Weigend, paling tidak ada empat syarat yang termasuk dalam asas tersebut.
Lebih lanjut Boot menyatakan :

The formulation of the Gesetzlichkeitsprinzip in Article 1 StGb55 is generally


considered to include four separate requirements. First, conduct can only be
punished if the punishability as well as the accompanying penalty had been
determined before the offence was committed (nullum crimen, noela poena
sine lege praevia). Furthermore, these determinations have to be included in
statutes (Gesetze) : nullum crimen, noela poena sine lege scripta. These
statutes have to be definite (bestimmt) : nullum crimen, noela poena sine lege
certa. Lastly, these statutes may not be applied by analogy which is reflected
in the axiom nullum crimen, noela poena sine lege stricta56.

Berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Boot, ada beberapa hal yang berkaitan
dengan asas legalitas. PERTAMA, prinsip nullum crimen, noela poena sine lege praevia.
Artinnya tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang sebelumnya.
Konsekuensi dari makna ini adalah ketentuan hukum pidana tidak boleh berlaku surut.
Makna ini dalam sejarah perkembangan asas legalitas telah disimpangi di beberapa negara
dengan alasan melindungi kepentingan negara dan bahaya yang ditimbulkan terhadap
masyarakat. KEDUA, prinsip nullum crimen, nulla peona sine lege scripta. Artinya, tidak ada
perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang tertulis. Konsekuensi dari makna
ini adalah semua ketentuan pidana harus tertulis. Dengan kata lain, baik perbuatan yang
dilarang, maupun pidana yang diancam terhadap perbuatan yang dilarang harus tertulis
secara expresiv verbis dalam undang-undang.

KETIGA, prinsip nullum crimen, nulla poena sine lege certa. Artinya, tidak ada
perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa aturan undang-undang yang jelas. Konsekuensi
selanjutnya dari makna ini adalah bahwa rumusan perbuatan pidana harus jelas sehingga
53
D. Schaffmeister, N. Keijzer, E.PH. Sutorius, Diterjemahkan oleh J.E Sahetapy, 1995, Hukum Pidana, Liberty,
Yogyakarta, hlm 6 – 14.
54
Moeljatno, Op.Cit, hlm. 25.
55
StGb adalah Strafgesetzbuch atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Jerman. Dalam Pasal 1 nya
menyatakan, “Eine tat kann nur bestraft werden, wenn die strafbarkeit geseztlich bestimmt war, bevor die Tat
begangen wurde” (Seseorang hanya dapat dipidana, jika ketentuan hukum mengenai dapat dipidanya itu
sudah ada, sebelum perbuatan dilakukan).
56
Machteld Boot, Op. Cit., hlm. 94.

10
tidak bersifat multi tafsir yang dapat membahayakan bagi kepastian hukum. Demikian pula
dalam hal penuntutan, dengan rumusan yang jelas penuntut umum akan dengan mudah
menentukan mana perbuatan-perbuatan yang dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana
dan mana yang bukan. KEEMPAT, prinsip nullum crimen, noela poena sine lege stricta.
Artinya, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang yang ketat.
Konsekuensi dari makna ini secara implisit tidak memperbolehkan analogi. Ketentuan
pidana harus ditafsirkan secara ketat sehingga tidak menimbulkkan perbuatan pidana baru.

Berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Enschede, Wirjono, Sudarto,


Groenhuijsen, Singer dan Gardner, Schaffmeister, Keijzer dan Sutorius, Remmelink,
Moeljatno serta Boot, jelaslah bagi kita bahwa asas legalitas dalam hukum pidana dapat
dibedakan dalam hukum pidana material dan hukum pidana formal. Oleh karena itu asas
legalitas ini mempunyai dua fungsi yaitu fungsi melindungi dan fungsi instrumentasi. Fungsi
melindungi artinya undang-undang pidana melindungi rakyat terhadap kekuasaan yang
tanpa batas dari pemerintah. Sedangkan fungsi instrumentasi artinya di dalam batas-batas
yang ditentukan undang-undang, pelaksanaan kekuasaan oleh pemerintah tegas-tegas
diperbolehkan57.

Selanjutnya bila kita merujuk pada ketiga frasa yang dikemukakan oleh Feuerbach
yang melahirkan asas legalitas sebagaimana yang telah diutarakan di atas, yakni nulla poena
sine lege (tidak ada pidana tanpa undang-undang); nulla poena sine crimine (tidak ada
pidana tanpa perbuatan pidana) dan nullum crimen sine poena legali (tidak ada perbuatan
pidana tanpa pidana menurut undang-undang), pendapat penulis, asas legalitas ini berlaku
baik dalam hukum pidana materiil maupun dalam hukum pidana formil. Frasa nulla poena
sine lege dan nulla poena sine crimine lebih pada hukum pidana meteriil yang berisi
perbuatan yang dilarang beserta ancaman pidananya, sedangkan frasa terakhir nullum
crimen sine poena legali lebih pada hukum pidana formil.

Frasa ketiga nullum crimen sine poena legali yang berarti “tidak ada perbuatan
pidana tanpa pidana menurut undang-undang” adalah suatu kalimat negatif. Jika kalimat
tersebut dipositifkan, maka bunyinya, “semua perbuatan pidana harus dipidana menurut
undang-undang”. Dengan demikian asas legalitas yang selama ini kita kenal dalam hukum
acara pidana yang berarti bahwa semua perbuatan pidana harus dituntut merupakan
penjabaran lebih lanjut dari frasa ketiga sebagaimana diuraikan di atas.

4. Asas Legalitas Dalam Konteks Hukum Pidana Nasional

Asas legalitas ini pertama-tama mempunyai bentuk sebagai undang-undang adalah


dalam Konstitusi Amerika 1776 dan sesudah itu dalam Pasal 8 Declaration de droits de
l’homme et du citoyen 1789 : ”nul ne peut etre puni qu’en vertu d’une loi etabile et
promulguee anterieurement au delit et legalement appliquee58. Asas ini selanjutnya
dimasukkan ke dalam Pasal 4 Code Penal Perancis yang disusun oleh Napolen Bonaparte,
“Nulle contravention, nul delit, nul crime, ne peuvent etre punis de peines qui n’ etaient pas
prononcees par la loi avant qu’ils fussent commis”59. Dari Code Penal Perancis inilah, asas

57
D. Schaffmeister, N. Keijzer, E.PH. Sutorius, Ibid, hlm. 4.
58
Hazewinkel Suringa, Ibid, hlm. 275.
59
E. Utrecht, Op.Cit., hlm. 193.

11
tersebut kemudian dimasukkan dalam Pasal 1 ayat (1) Wetboek van Strafrecht di Negeri
Belanda yang dengan tegas menyatakan, “Geen feit is strafbaar dan uit kracht van eene
daaraan voorafgegane wettelijke strafbepaling”60. Selanjutnya asas tersebut dimuat dalam
Pasal 1 ayat (1) KUHP Indonesia.
Di Inggris, asas legalitas ini dirumuskan oleh seorang filsuf, Francis Bacon dalam
adagium moneat lex, piusquam feriat. Artinya, undang-undang harus memberikan
peringatan terlebih dahulu sebelum merealisasikan ancaman yang terkandung di
dalamnya61. Dalam perkembangan selanjutnya pada level nasional, asas legalitas ini tidak
hanya dicantumkan dalam kitab undang-undang hukum pidana masing-masing negara,
namun lebih dari itu, asas legalitas termaktub dalam konstitusi masing-masing negara.

Perancis memasukkan asas legalitas dalam konstitusinya pada tahun 1958. Pasal 7
konstitusi Perancis menyatakan :

” A person may be accused, arrested or detained only in the cases specified by


law and in accordance with the procedures which the law provides. Those
who solicit, forward, carry out or have arbitrary orders carried out shall be
punished; however, any citizen summoned or apprehended pursuant to law
must obey forthwith; by resisting, he admits his guilt”

Sedangkan dalam Pasal 8 konstitusi Perancis menyebutkan :

“Only penalties which are strictly and clearly necessary may be established by
law, and no-one may be punished other than pursuant to a law established
and enacted prior to the offence, and applied lawfully”

Berdasarkan konstitusi Perancis, jelas terlihat bahwa asas legalitas tidak hanya
menyangkut hukum pidana dalam pengertian hukum pidana materiil semata tetapi juga
asas legalitas dalam pengertian hukum pidana formil. Bahkan perlindungan terhadap
kepentingan indivdiu dari proses hukum yang sewenang-wenang mendapat perhatian yang
lebih utama dengan ketentuan dalam Pasal 7 tersebut. Hal ini dapat dipahami karena dalam
konteks hukum acara pidana, sedikit – banyaknya terjadi pengekangan terhadap hak asasi
manusia.

Oleh karena itu, di negara-negara yang cenderung menggunakan due process model
dalam sistem peradilan pidana, menurut King, lebih memberi perlindungan terhadap hak
asasi manusia dari tindakan sewenang-wenang aparat penegak hukum62. Dalam kaitannya
dengan asas legalitas, Hebert L. Packer berpendapat bahwa asas tersebut lebih pada
perlindungan hukum terhadap individu dalam sistem peradilan pidana63. Belanda sebagai
salah satu negara yang cenderung menggunakan due process model dalam sistem peradilan
60
M.W. Van ‘T Hof, Op.Cit, hlm. 38.
61
Jan Remmelink, Op.Cit, hlm. 356.
62
M. King, 1981, A Framework Of Criminal Justice, Croom Helm, London, hlm. 20. Lihat juga : University Of
Leicester, Modul 5, 1998, “Issues In The Criminal Justice Process”, Scarman Center, University Of Leicester, hlm.
24. Lihat juga : Eddy O.S Hiariej, Kinerja Polisi, Surat Kabar Harian KOMPAS, Kamis, 6 November 2003, hlm.37.
63
Herbert L Packer, 1968, The Limits of The Criminal Sanction, Oxford University Press, hlm. 147. Lihat juga :
Eddy O.S Hiariej, 2005, Crimnal Justice System In Indonesia, Between Theory And Reality, Asia Law Review
Vol.2, No. 2 December 2005, Korean Legislation Research Institute, hlm. 26.

12
pidana mengatur tentang hak masyarakat untuk melakukan gugatan terhadap tindakan
polisi yang sewenang-wenang dalam menangani perkara pidana. Hal ini tertuang dalam
Pasal 12 Wetboek van Straf vordering64.
Di Jerman, asas legalitas ini dikenal dengan istilah gesetzlichkeitsprinsip yang tidak
hanya dimuat dalam Pasal 1 KUHP tetapi juga termaktub dalam Pasal 103 Konstitusi
Jerman65. Secara tegas Pasal 103 menyatakan, "An act can be punished only where it
constituted a criminal offence under the law before the act was committed " . Di Belgia, asas
legalitas secara singkat termuat dalam Pasal 14 konstitusi yang menyatakan, "No
punishment can be made or given except in pursuance of the law". Konstitusi Spanyol
menjamin asas legalitas dalam dua pasal. Pertama, dalam Pasal 9 yang berbunyi :

” The Constitution guarantees the principle of legality, the hierarchy of legal


provisions, the publicity of legal statutes, the non-retroactivity of punitive
provisions that are not favourable to or restrictive of individual rights, the
certainty that the rule of law shall prevail, the accountability of public
authorities, and the prohibition of arbitrary action of public authorities”

Kedua, dalam Pasal 25 yang menyatakan :

“No one may be convicted or sentenced for actions or omissions which when
committed did not constitute a criminal offence, misdemeanour or
administrative offence under the law then in force”

Di Italia, asas legalitas diatur dalam Pasal 25 konstitusi, “No one shall be punished
save on the basis of a law which has entered into force before the offence has been
committed”. Sementara di Hongaria, Pasal 57 konstitusi menyatakan, “No one shall be
declared guilty and subjected to punishment for an offense that was not a criminal offense
under Hungarian law at the time such offense was committed”.

Dalam Pasal 42 konstitusi Republik Polandia menyebutkan :

“Only a person who has committed an act prohibited by a statute in force at


the moment of commission thereof, and which is subject to a penalty, shall be
held criminally responsible. This principle shall not prevent punishment of any
act which, at the moment of its commission, constituted an offence within the
meaning of international law"

Sedangkan dalam konstitusi Republik Portugal disebut secara tegas dalam Pasal 29
sebagai berikut :

“No one shall be convicted under the criminal law except for an act or
omission made punishable under existing law; and no one shall be subjected
to a security measure, except for reasons authorised under existing law. No
sentences or security measures shall be ordered that are not expressly
provided for in existing laws. No one shall be subjected to a sentence or
64
D.J. Elzinga, PH.S. van Rest, J. de Valk, 1995, Het Nederlandse Politierecht, Tjeenk Willink Zwole, hlm.141.
65
Machteld Boot, Op.Cit, hlm. 90.

13
security measure that is more severe than those applicable at the time the act
was committed or the preparations for its commission were made. Criminal
laws that are favourable to the offender shall apply retroactively”
Di Belanda, asas legalitas baru dimasukkan dalam konstitusi tahun 1983 pada Pasal
16. Awalnya asas legalitas dalam pengertian hukum tidak berlaku surut hanya mengikat
pembentuk undang-undang yang lebih rendah, sementara pembentuk undang-undang pada
tingkat pusat dapat membuat aturan yang berlaku surut. Akan tetapi setelah larangan
berlaku surut suatu undang-undang diatur secara tegas dalam konstitusi, maka untuk
menetapkan suatu undang-undang berlaku surut harus terlebih dulu merubah
konstitusinya66.

Sementara di Indonesia sendiri, asas legalitas dalam konstitusi baru dimasukkan


dalam amandemen kedua UUD 1945. Pasal 28I ayat (1) menyebutkan :

“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum dan hak
untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”.

Sedangkan dalam Pasal 28J ayat (2) menyatakan :

“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk


kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan
maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas
hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil
sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”67.

Berdasarkan ketentuan beberapa konstitusi negara tersebut di atas, menunjukan


adanya pembatasan berlakunya asas legalitas dalam hal terjadinya perubahan peraturan
perundang-undangan. Demikian pula dalam kitab undang-undang hukum pidana beberapa
negara terdapat pembatasan terhadap asas lex termporis delicti. Pasal 1 ayat (2) WvS
Belanda secara tegas menyatakan, “Bij veradering in de wetgeving na et tijdstip waarop het
feit began is, woorden de voor den verdachte gunstigste bepalingen toegepast”.

Demikian pula dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP Indonesia berbunyi, “Jika sesudah
perbuatan dilakukan ada perubahan dalam perundang-undangan, dipakai aturan yang
paling ringan bagi terdakwa.” Hal yang sama juga terdapat dalam undang-undang pidana
Jerman yang dengan tegas menyatakan, “Bei Verschiedenheit der Gesetze von der Zeit der
begangenen Handlung bis zu deren Aburteilung ist das mildeste Gesetz anzuwneden“ (Jika
ada perbedaan antara ketentuan pidana yang berlaku pada waktu tindak pidana dilakukan
dan ketentuan pidana yang kemudian berlaku pada waktu tindak pidana yang sama
diperiksa di pengadilan, ketentuan pidana yang paling ringanlah yang harus ditetapkan).

66
Ch.J.Enschede, Op.Cit, hlm. 28
67
Mahkamah Konstitusi Republik Indoneisa, 2003, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Dan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Sekretariat
Jenderal, hlm. 35 – 36.

14
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP, menurut Utrecht, ada dua pertanyaan
mendasar yang harus dijawab. Pertama, apakah yang dimaksud dengan perubahan
perundang-undangan (verandering in de wetgeving). Kedua, apakah yang dimaksud dengan
aturan yang paling meringankan (gunstigste bepalingen)68. Terhadap pertanyaan pertama
ada tiga ajaran atau tiga teori untuk menjawab pertanyaan tersebut yaitu ajaran formil
(formele leer), ajaran materiil terbatas (beperkete materiele leer) dan ajaran materiil tidak
terbatas (onbeperkte materiele leer)69.

Ajaran formil dipelopori oleh Simons yang menyatakan bahwa ’perubahan


perundang-undangan’ yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) hanya jika terdapat perubahan
redaksi dalam undang-undang pidana70. Sedangkan ajaran materiil terbatas dianut oleh van
Geuns yang menyatakan bahwa makna ’perubahan perundang-undangan’ dalam Pasal 1
ayat (2) adalah setiap perubahan keyakinan hukum pada pembuat undang-undang. Ajaran
materiil terbatas termasuk juga perubahan di luar undang-undang pidana tetapi perubahan
tersebut mempengaruhi undang-undang pidana yang bersangkutan71.

Sementara ajaran materiil tidak terbatas menyatakan bahwa setiap perubahan, baik
dalam keyakinan hukum pembuat undang-undang maupun dalam keadaan karena waktu,
dapat diterima sebagai perubahan perundang-undangan menurut Pasal 1 ayat (2) KUHP.
Komentar Utrecht, ajaran materiil tidak terbatas ini adalah teori tentang waktu delik yang
paling luas dan cocok dengan jiwa hukum pidana dan peradilan pidana modern yang telah
menerima perluasan dengan cara analogi72. Perihal ajaran yang terakhir ini, khususnya yang
berkaitan dengan keadaan karena waktu, Jonkers menyatakan bahwa peraturan darurat
pada prinsipnya dibuat untuk dapat mengatasi suatu keadaan darurat dan kemudian dicabut
kembali setelah keadaan normal. Peraturan darurat dimaksudkan bersifat sementara dan
bukan suatu perubahan keyakinan hukum pembuat undang-undang. Oleh karena itu,
Jonkers tidak menyetujui ajaran materiil tidak terbatas ini73.

Selanjutnya terhadap pertanyaan kedua apakah yang dimaksud dengan aturan yang
paling meringankan (gunstigste bepalingen), kiranya tidak hanya mengenai pemidanaan
semata, namun juga termasuk segala sesuatu yang mempunyai pengaruh atas penilaian
suatu delik74. Baik Vos maupun Jonkers berpendapat bahwa apa yang ditentukan dalam
Pasal 1 ayat (2) KUHP terhadap ketentuan-ketentuan yang memuat kaidah pidana dan
ketentuan-ketentuan dapat dituntut – tidaknya si pelaku75.

Akan tetapi ada juga beberapa negara yang tidak menggunakan ketentuan seperti
yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP Indonesia tersebut, seperti Inggris dan Swedia.
Di Inggris, pelaku kejahatan tetap diadili menurut undang-undang yang lama, meskipun

68
E. Utrecht, Op.Cit, hlm. 222.
69
Ibid, hlm. 223.
70
D. Simons, Op.Cit, hlm. 101.
71
E. Utrecht, Op.Cit, hlm. 224. Bandingkan dengan J.M. Van Bemmelen En H. Burgersdijk, 1955, Arresten Over
Strafrecht, Vijfde Druk, H.D. Tjeenk Willink & Zoon N.V. – Haarlem, hlm. 33.
72
E. Utrecht, Op.Cit, hlm. 225 – 226.
73
J.E. Jonkers, Op.Cit, hlm. 39. Bandingkan dengan J.M. Van Bemmelen En H. Burgersdijk, Op.Cit, hlm. 38.
74
E. Utrecht, Op.Cit, hlm. 228.
75
H.B. Vos, Op.Cit, hlm. 57. Lihat juga J.E. Jonkers, Op.Cit, hlm.40.

15
terjadi perubahan peraturan perundang-undangan pada saat melakukan perbuatan dan
pada saat diadili. Dengan kata lain, diadili dengan undang-undang yang berlaku pada saat
dia melakukan perbuatan pidana. Hal ini dianggap lebih tepat untuk menghormati kepastian
dan keadilan hukum.

Sebaliknya di Swedia, undang-undang barulah yang diberlakukan terhadap terdakwa


apabila terjadi perubahan peraturan perundang-undangan pada saat melakukan perbuatan
dan pada saat diadili. Adapun argumentasi Swedia yang secara konsisten menggunakan
undang-undang baru adalah bahwa setiap perubahan perundang-undangan niscaya
merupakan suatu perbaikan dan hal itu selalu membawa akibat baik terhadap perkara-
perkara yang belum diadili76.

Berbeda dengan sebahagian besar negara di dunia, Cina adalah negara yang tidak
memberlakukan asas legalitas. Dalam Pasal 2 KUHP Cina ditegaskan bahwa pidana adalah
alat perjuangan untuk menghadapi perbuatan yang kontrarevolusioner. Konsekuensinya
analogi dalam penerapan hukum pidana tegas-tegas diperbolehkan. Dalam hal terdapat
perbuatan yang patut dipidana tetapi perbuatan tersebut tidak tercantum dalam
perundang-undangan di Cina, maka diterapkan ketentuan pidana dengan jalan analogi
terhadap perbuatan pidana yang paling mirip dalam perundang-undangan. Akan tetapi
penerapan analogi ini harus mendapat persetujuan Mahkamah Agung Cina terlebih dulu77.

Hal ini dapatlah dipahami jika kita menelusuri filsafat hukum yang dianut oleh Cina.
Dalam Konfusionisme lebih mengutamakan filsafat Li yang mengarah kepada ritual, moral,
etika, keadilan dan kepatutan. Sebagai lawannya adalah filsafat Fa yang lebih mementingkan
bunyi teks dari suatu undang-undang. Dalam perkembangannya meskipun Fa diakui oleh
masrakat Cina, akan tetapi Li masih tetap dijadikan pengangan umum yang mendasari Fa
tersebut78.

Kembali kepada asas legalitas dalam konteks hukum nasional, khususnya di


Indonesia, berikut ini penulis mengulas asas legalitas berkaitan dengan Rancangan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana yang sampai saat ini masih menjadi pembahasan di Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Apabila kita merujuk kepada Rancangan KUHP (RUU
KUHP) di Indonesia tampaknya asas legalitas tidak berlaku secara absolut. Lebih jelasnya,
penulis mengutip Pasal 1 dan Pasal 2 RUU KUHP Indonesia :

BAB I
RUANG LINGKUP BERLAKUNYA KETENTUAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN PIDANA
Bagian Kesatu
Menurut Waktu
Pasal 1
(1) Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali
perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam

76
Jan Remmelink, Op.Cit, hlm. 363 – 364.
77
Andi Hamzah, 1995, Perbandingan Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 22 – 24.
78
John Gillisen dan Frits Gorle, Op.Cit, hlm. 403 – 406.

16
peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu
dilakukan.
(2) Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan analogi.

Pasal 2
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi
berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa
seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam
peraturan perundang-undangan.
(2) Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-
prinsip hukum umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa.

Pasal 3
(1) Dalam hal terdapat perubahan peraturan perundang-undangan sesudah
perbuatan terjadi, diberlakukan peraturan perundang-undangan yang baru
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lama berlaku apabila
menguntungkan bagi pembuat.
(2) Dalam hal setelah putusan pemidanaan memperoleh kekuatan hukum tetap,
perbuatan yang terjadi tidak lagi merupakan tindak pidana menurut
peraturan perundang-undangan yang baru, maka pelaksanaan putusan
pemidanaan dihapuskan.
(3) Dalam hal setelah putusan pemidanaan memperoleh kekuatan hukum tetap,
perbuatan yang terjadi diancam dengan pidana yang lebih ringan menurut
peraturan perundang-undangan yang baru, maka pelaksanaan putusan
pemidanaan tersebut disesuaikan dengan batas-batas pidana menurut
peraturan perundang-undangan yang baru79.

Terhadap RUU KUHP tersebut di atas ada beberapa catatan penulis : Pertama, di
masa depan, asas leglitas yang dianut di Indonesia tidak bersifat absolut karena adanya
ketentuan Pasal 2 yang secara implisit mengakui hukum tidak tertulis dalam masyarakat.
Kedua, pembatasan terhadap asas legalitas atau lex termporis delicti tidak berkaitan dengan
perubahan perundang-undangan semata sebagaimana tertuang dalam Pasal 3 di atas tetapi
juga berkaitan dengan kehidupan sosial kemasyarakatan.

Ketiga, ketentuan mengenai larangan menerapkan analogi merupakan suatu


contradictio interminis bila dihubungkan dengan Pasal 2 yang mana seseorang dapat
dipidana meskipun perbuatannya tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Sebab, untuk memidana suatu perbuatan yang tidak diatur dalam peraturan perundang-
undangan, tidak mesti tidak, hakim harus menggunakan analogi atau setidak-tidaknya
interpretasi ekstensif. Padahal, pada hakekatnya tidak terdapat perbedaan prinsip antara
interpreatsi ekstensif dengan analogi.

Keempat, bedasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (2) di atas, hukum yang tidak tertulis
tersebut tidak hanya berkaitan dengan situasi dan kondisi masyarakat Indonesia serta
79
Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2013, Rancangan Undang-Undang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, Direktorat Jenderal Hukum Dan Perundang-Undangan, hlm. 2.

17
kearifan lokal semata, akan tetapi juga dapat bersumber dari prinsip-prinsip umum yang
diakui oleh bangsa-bangsa beradab di dunia. Artinya, asas legalitas ini juga dapat disimpangi
oleh praktik hukum kebiasaan yang telah berlangsung dan diakui oleh masyarakat
internasional.

Kelima, pembatasan terhadap asas legalitas sebagaimana termaktub dalam pasal-


pasal diatas, kiranya telah sesuai dengan amandemen ketiga UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) yang
menyatakan, ”Indonesia adalah negara hukum”80. Menurut Mahfud MD, perumusan Pasal 1
ayat (3) tanpa embel-embel ’rechtsstaat’ seperti dalam penjelasan UUD 1945 sebelum
amandemen dimaksudkan agar konsep negara hukum yang ada di Indonesia saat ini adalah
negara hukum prismatik. Artinya, menggabungkan segi-segi positif antara rechtsstaat dan
the rule of law. Masih menurut Mahfud, perumusan tanpa embel-embel sebenarnya
dilakukan secara sengaja dengan maksud memberi tempat yang luas pada pemenuhan rasa
keadilan (the rule of law). Artinya, demi tegaknya keadilan, maka seyogyanya perbuatan
yang tidak wajar, tercela atau yang tidak sesuai dengan nilai-nilai dalam masyarakat dapat
dipidana meskipun secara formal tidak ada hukum tertulis yang melarangnya81.

Keenam, pembatasan terhadap asas legalitas sebagaimana termaktub dalam pasal-


pasal di atas, menunjukan bahwa secara implisit hukum pidana di Inonesia telah mengakui
ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsi yang positif. Artinya, meskipun suatu
perbuatan tidak memenuhi rumusan delik dalam undang-undang tertulis, hakim dapat
menjatuhkan pidana apabila perbuatan tersebut dianggap tercela, bertentanagn dengan
keadilan dan norma-norma sosial lainnya dalam kehidupan masyarakat.

Ketujuh, atau yang terakhir adalah bahwa ketentuan dalam Pasal 3 ayat (2) dan ayat
(3) telah sesuai dengan hasil perdebatan dalam konggres internasional mengenai hukum
pidana dan penjara pada tahun 1935 di Berlin, Jerman. Dalam konggres tersebut terjadi
perdebatan apakah ada pengaruh suatu perubahan peraturan perundang-undangan
terhadap putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (kracht van
gewijsde). Terhadap pertanyaan tersebut Pompe memberikan jawaban bahwa putusan
hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap hanya bisa dilawan dengan
buitengewone rechtsmiddelen (alat-alat hukum yang luar biasa). Dalam hal ini, jika terjadi
perubahan perundang-undangan terhadap putusan hakim yang sudah mempunyai kekuatan
hukum tetap , maka perubahan perundang-undangan tersebut dianggap novum sebagai
dasar untuk mengajukan peninjauan kembali. Jika demikian halnya, maka putusan hakim
yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap harus disesuaikan dengan peraturan
perundang-undangan yang baru bila hal tersebut menguntungkan terpidana82.

5. Asas Legalitas Dalam Konteks Hukum Pidana Internasional

80
Mahkamah Konstitusi Republik Indoneisa, Op.Cit, hlm. 59.
81
Moh. Mahfud MD, 2006, Beberapa Catatan Tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006
Tentang Perbuatan Melawan Hukum Secara Materiil, Disampaikan dalam diskusi publik Eksaminasi Putusan
Mahkamah Konstitusi dengan perkara nomor : 003/PUU-IV/2006 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Kerjasama Pusat Kajian Anti-Korupsi Fakultas Hukum UGM, Badan
Penerbit Pers Mahasiswa MAHKAMAH dan Indonesian Court Monitoring, Yogyakarta, 24 Agustus 2006 hlm. 5.
82
E. Utrecht, Op.Cit, hlm. 230.

18
Terhadap asas legalitas dalam konteks hukum pidana internasional, terdapat
perbedaan diantara para ahli hukum pidana. Antonio Cassese dengan mengambil
perbandingan pelaksanaan asas legalitas di negara-negara civil law yang sangat demokratis,
menyatakan bahwa ada empat hal yang terkandung dalam asas legalitas. Pertama, makna
asas legalitas terkandung dalam postulat nullum crimen sine lege scripta. Postulat ini
mempunyai makna bahwa pelanggaran hukum pidana hanya ada dalam hukum tertulis yang
dibuat oleh legislatif atau parlemen dan tidak berdasarkan aturan-aturan kebiasaan.

Kedua, makna asas legalitas terkandung dalam postulat nullum crimen sine lege
stricta. Artinya, kebijakan kriminal harus berdasarkan prinsip spesifik melalui aturan-aturan
yang mengkriminalisasikan suatu kelakuan manusia secara khusus dan sejelas mungkin
sehingga tidak diinterpretasikan lain. Ketiga, makna asas legalitas terdapat dalam postulat
nullum crimen sine praevia lege. Artinya, aturan-aturan pidana tidak boleh berlaku surut
sehingga seseorang tidak boleh dipidana berdasarkan ketentuan yang belum ada pada saat
ia melakukannya. Keempat, makna asas legalitas adalah larangan menerapkan aturan-
aturan pidana secara analogi83.

Kontra dengan pendapat Cassese, Machteld Boot mengemukakan bahwa asas


legalitas dalam konteks hukum pidana internasional harus diterapkan dengan standar yang
berbeda dengan hukum pidana nasional yang berkaitan dengan tanggung jawab pidana
individu terhadap kejahatan-kejahatan internasional. Masih menurut Boot, hukum pidana
internasional tidak dikodifikasikan seperti halnya hukum pidana nasional tetapi juga
bersumber dari hukum kebiasaan internasional. Oleh karena itu asas legalitas tidak
mengikat seluruhnya dalam konteks kejahatan-kejahatan di bawah hukum internasional84.

Senada dengan Boot adalah Cherif Basiouni yang menyatakan bahwa dalam konteks
hukum pidana nasional, asas legalitas menganut prinsip yang fundamental yaitu larangan
terhadap ex post facto dalam hukum pidana. Selain itu juga terdapat larangan penerapan
sanksi pidana secara retroaktif dan analogi dalam yudisial interpretasi. Oleh karena itu
aturan hukum pidana tidak boleh bersifat ambigu85. Akan tetapi dalam konteks hukum
pidana internasional, yang sumber hukumnya berasal dari kebiasaan internasional, asas
legalitas tidaklah dapat diterapkan seperti sistem hukum pidana nasional86. Masih menurut
Bassiouni – dengan mengutip pendapat Stefan Glaser – mengemukakan bahwa asas
legalitas dalam hukum pidana nasional tidak dapat diberlakukan secara ketat dalam hukum
pidana internasional karena adadnya perbedaan prinsip antara kedua sistem hukum
tersebut. Hukum pidana internasional berlaku secara universal sehingga asas legalitas lebih
pada suatu prinsip keadilan yang berasal dari kebiasaan untuk melindungi masyarakat
internasional87.

Demikian pula menurut Steven R. Ratner dan Jason S. Abrams bahwa dalam konteks
hukum pidana internasional, asas legalitas memiliki dimensi khusus. Tidak seperti hukum

83
Antonio Cassese, Op.Cit, hlm. 141 – 142.
84
Machteld Boot, Op.Cit, hlm. 19.
85
M. Cherif Bassiouni, 2003, Introduction To International Criminal Law, Transnational Publisher, Inc. Ardsley,
New York, hlm. 178 – 179.
86
Ibid, hlm. 198.
87
Ibid, hlm. 199 – 200.

19
pidana nasional di sebagian besar negara, hukum pidana internasional tidak dikodifikasikan
dalam kitab undang-undang. Akibatnya, kejahatan-kejatahan berdasarkan asas legalitas
pada level internasional tidak hanya berlandaskan perjanjian internasional tetapi juga
berdasarkan hukum kebiasaan internasional88. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh
Muladi bahwa asas legalitas dalam kaitannya dengan gross violation of human rights dapat
memberlakukan surut perundang-undangan pidana atas dasar hukum kebiasaan
internasional dan keadilan89.

Penulis pun berpendapat bahwa ukuran berlakunya asas legalitas dalam hukum
pidana internasional tidaklah dapat disamakan dengan ukuran berlakunya asas legalitas
dalam hukum pidana nasional. Selain karena hukum pidana internasional tidak dikodifikasi
sebagaimana hukum pidana nasional, hukum pidana internasional juga bersumber dari
kebiasaan internasional sehingga sangat dimungkinkan berlakunya asas legalitas adalah
berdasarkan hukum kebiasaan internasional. Padahal, dalam konteks hukum pidana
nasional ukuran berlakunya asas legalitas antara lain adalah lex scripta dan lex certa atau
berdasarkan hukum tertulis dan aturan yang jelas sehingga tidak dibenarkan berlakunya
asas legalitas hanya berdasarkan hukum kebiasaan.

a. Asas Legalitas Dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia

Asas legalitas tersimpul dalam Pasal 11 deklarasi yang secara tegas menyatakan,
(1) Everyone charged with a penal offence has the right to be presumed
innocent until proved guilty according to law in a public trial which he has
had all the guarantees necessary for his defence.
(2) No one shall be had guilty of any penal offence on account of any act or
omission which did not constitute a penal offence, under national or
international law, at the time when it was committed. Nor shall a heavier
penalty be imposed than the one that was applicable at the time the penal
offence was committed90.

Berdasarkan pasal tersebut di atas beberapa catatan penulis adalah sebagai berikut :
Pertama, berkaitan dengan asas praduga tidak bersalah sebagai asas yang fundamental
untuk melindungi hak asasi manusia dari proses pidana dan peradilan pidana yang
sewenang-wenang91. Kedua, menyangkut perlindungan hak asasi manusia terhadap
kekuatan berlaku surut suatu ketentuan hukum pidana92. Ketiga – masih berkaitan dengan
Pasal 11 ayat (2) – secara implisit memuat ketentuan jika terjadi perubahan peraturan harus
menjatuhkan hukuman yang tidak lebih berat daripada hukum yang dikenakan pada saat
perbuatan dilakukan.

88
Steven R. Ratner dan Jason S. Abrams, 2001, Accountability For Human Rights Atrocities In International Law
: Beyond The Nuremberg Legacy, Second Edition, Oxford University Press, hlm. 21.
89
Muladi, 2005, Hak Asasi Manusia : Hakekat, Konsep Dan Implikasinya Dalam Prespektif Hukum Dan
Masyarakat, Refika Aditama, Bandung, hlm. 102.
90
International Institute Of Human Rights, 2001, International Protection Of Human Rights, Collection Of Texts,
First week, Allee Rene Cassin, Strasbourg, France, hlm. 19.
91
Gudmundur Alfredson and Asbjorn Eide (Editor), 1999, The Universal Declaration Of Human Rights : A
Common Standard Of Achievment, Martinus Nijhoff Publishers, The Hague/Boston/London, hlm. 242.
92
Ibid, hlm. 245.

20
b. Asas Legalitas Dalam Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik

Pasal 15 International Covenan On Civil And Political Rights (ICCPR) :

(1) No one shall be held guilty of any criminal offence on account of any act
or ommission which did not constitute a criminal offence, under national
or international law, at the time when it was committed. Nor shall a
heavier penalty be imposed than the one that was applicable at the time
when the criminal offence was committed. If, subsequent the commission
of the offence, provision is made by law for the imposition of the lighter
penalty, the offender shall benefit thereby.
(2) Nothing in this article shall prejudice the trial and punishment of any
person for any act or omission which, at the time when it was committed,
was criminal according to the general principles of law recognized by the
community of nations93.

Secara kasat mata, tampaknya Pasal 15 ICCPR menggunakan asas legalitas secara
ketat. Akan tetapi jika dikaji dalam ketentuan ayat (2) nya, asas legalitas ini dapat disimpangi
jika bertentangan denga asas-asas hukum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.
Menurut travaux preparatoires, ketentuan ini dimaksud agar orang tidak bebas dari
hukuman karena melakukan pelanggaran terhadap hukum internasional atas dalih
tindakannya bersifat legal menurut hukum negaranya. Acuan terhadap hukum internasional
juga merupakan jaminan tambahan bagi individu dan melindungi individu dari tindakan
sewenang-wenang, meskipun dilakukan oleh organisasi internasional94.

c. Asas Legalitas Dalam Konvensi Eropa Hak-Hak Asasi Dan Kebebasan-Kebebasan


Mendasar
Asas legalitas dalam Pasal 7 konvensi Eropa menyatakan :

(1) No one shall be held guilty of any criminal offence on account of any act or
omission which did not constitute a criminal offence under national or
international law at the time when it was committed. Nor shall a heavier
penalty be imposed than the one that was applicable at the time the
criminal offence was committed.
(2) This article shall not prejudice the trial and punishment of any person for
any act or omission which, at the time it was committed, was criminal
according to the general principle of law recognized by civilized nations95.

Menurut Remmelink bahwa Pasal 7 ECHR pada dasarnya sama dengan Pasal 15
ICCPR. Namun berbeda dengan Pasal 7 ECHR, Pasal 15 ICCPR secara ekplisit menyatakan

93
Intrenational Institute Of Human Right, Op.Cit, hlm. 36.
94
Gudmundur Alfredson and Asbjorn Eide, Op.Cit, hlm. 247. Lihat juga Ifdhal Kasim, 2001, Hak Sipil Dan Politik
; Esai-Esai Pilihan, ELSAM, Jakarta, hlm. 235 – 236.
95
International Institute Of Human Rights, 2001, International Protection Of Human Rights, Collection Of Texts,
Second week, Allee Rene Cassin, Strasbourg, France, hlm. 3.

21
bahwa jika setelah tindak pidana terjadi muncul ketentuan pidana yang lebih ringan, maka
ketentuan itulah yang diterapkan kepada pelaku96. Sedangkan Enschede menyatakan bahwa
Pasal 7 ayat (2) ECHR adalah penyimpangan terhadap asas legalitas sepanjang menyangkut
asas-asas hukum kebiasaan yang secara umum diakui oleh bangsa-bangsa beradab di
dunia97.

d. Asas Legalitas Dalam Konvensi Amerika Tentang Hak-Hak Asasi Manusia

Asas legalitas dalam konvensi Amerika termuat dalam Pasal 9 yang menyatakan :

No one shall be convicted of any act or omission that did not constitute a
criminal offence, under applicable law, at the time when it was committed. A
heavier penalty shall not be imposed than the one that was applicable at the
time the criminal offence. If subsequent to the commission of the offense the
law provides for the imposition of a lighter punishment, the guilty person shall
benefit thereform98.

Berdasarkan Pasal 9 tersebut dapatlah dikatakan bahwa asas legalitas dalam


konvensi Amerika ini diterapkan secara ketat dan tanpa pengeculaian untuk disimpangi.
Kalaupun disimpangi hanyalah jika terjadi perubahan perundang-undangan, namun hal itu
harus menguntungkan pelaku. Ketentuan ini lazim terdapat dalam konteks hukum nasional
bagi negara-negara yang menerapkan asas legalitas secara ketat.

e. Asas Legalitas Dalam Piagam Afrika Tentang Hak-Hak Asasi Manusia Dan Hak
Penduduk

Asas legalitas dalam piagam tersebut tercantum dalam Pasal 7 ayat (2) yang
menyatakan99 :
No one may be condemmed for an act or omission which did not constitute a
legally punishable offence for which no provision was made at the time it was
committed. Punishment is personal and can be imposed only on th eoffender100.

f. Asas Legalitas Dalam Statuta Roma

Dalam konteks Statuta Roma yang menghasilkan International Criminal Court (ICC),
asas legalitas diatur secara ketat. Berbagai makna yang terkandung dalam asas legalitas
eksplisit tersebar dalam tiga pasal. Secara lengkap pasal-pasal tersebut adalah sebagai
berikut101 :

96
Jan Remmelink, Op.Cit, hlm. 357.
97
Ch.J. Enschede, Op.Cit, hlm. 28.
98
International Institute Of Human Rights, 2001, International Protection Of Human Rights, Collection Of Texts,
Third week, Allee Rene Cassin, Strasbourg, France, hlm. 3.
99
Adnan Buyung Nasution dan A. Patra M.Zen, (Penyunting), 2006, Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi
Manusia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hlm. 900.
100
International Institute Of Human Rights, 2001, International Protection Of Human Rights, Collection Of
Texts, Third week, Allee Rene Cassin, Strasbourg, France, hlm. 19.
101
Adam Roberts & Richard Guelff, 2001, Documents On The Laws Of War, Third Edition, Oxford University
Press, hlm. 687 – 688.

22
Article 22
Nullum Crimen Sine Lege
(1) A person shall not be criminally responsible under this Statute unless the
conduct in question constitutes, at the time it takes place, a crime within
the jurisdiction of the court.
(2) The defenition of a crime shall be strictly construed and shall not be
extended by analogy. In case of ambiguity, the definition shall be
interpreted in favour of the person being investigated, prosecuted or
convicted.
(3) This article shall not affect the characterization of any conduct as criminal
under international law independently of this Statue.

Article 23
Nulla Peona Sine Lege
A person convicted by the Court may be punished only in accordance with this
Statutes.
Article 24
Ratione Personae Non – Retroaktif
(1) No person shall be criminally responsible under this Statute for conduct
prior to the entry into force of the Statute.
(2) In the event of a change in the law applicable to a given case prior to a
final judgement, the law more favourable to the person being
investigated, prosecuted or convicted shall apply.

Terhadap ketentuan Pasal 22 ayat (1), menurut pembentuk undang-undang, asas


legalitas hanya terhadap kejahatan yang secara eksplisit disebut dalam statuta dan
merupakan yurisdiksi mahkamah dan tidak termasuk kejahatan sebagai yang didefenisikan
menurut hukum kebiasaan internasional102. Sedangkan mengenai Pasal 22 ayat (2),
Machteld Boot berpendapat, ketentuan ini lebih pada ”a more favorable clause” bilamana
terjadi kekaburan dan pengertian ganda terhadap defenisi kejahatan dalam statuta. Apabila
kita melihat ketentuan asas legalitas dalam berbagai piagam hak asasi manusia di atas –
termasuk Statuta Roma – prinsip ”a more favorable clause” kiranya ini sesuai dengan
adagium dalam ilmu hukum yang dikenal dengan asas in dubio pro reo. Maskud asas ini
adalah jika terdapat keragu-raguan maka harus dipilih ketentuan atau penjelasan yang
paling menguntungkan terdakwa103. Sementara Pasal 22 Statuta Roma, ayat (3), menurut
sejarahnya adalah usulan yang diajukan Austria untuk menegaskan bahwa prinsip nullum
crimen sine lege dalam pasal ini hanya terbatas pada Statuta Roma dan untuk mencegah
miss konsepsi yang timbul apakah terhadap statuta atau melemahkan larangan-larangan
dalam pidana internasional104.

102
Otto Triffterer, 1999, Commentary on the Rome Statute of the International Criminal Court, Nomos
Verlagsgesellschaft, Baden-Baden, hlm. 448.
103
Ibid, hlm. 47.
104
Roy S. Lee, 1999, The International Criminal Court : The Making of The Rome Statute ; Issues, Negotiations,
Results, Kluwer Law International, The Hague – London – Boston, hlm. 195. Lihat juga Otto Triffterer, Op.Cit,
hlm. 459.

23
Selanjutnya makna asas legalitas dalam Pasal 23 tentang nulla poena sine lege ,
seperti yang telah diungkapkan di atas pada saat mengulas sejarah asas legalitas, frasa nulla
poena sine lege adalah frasa pertama dari tiga frasa yang dikemukakan oleh Feuerbach pada
saat merumuskan asas legalitas. Frasa ini bermakna bahwa seseorang hanya dapat dihukum
berdasarkan hukuman yang ada dalam undang-undang. Menurut Vaspasian V. Pella,
seorang ahli hukum Rumania, penerapan asas nulla poena sine lege dalam hukum pidana
internasional sebanyak yang diterapkan dalam hukum domestik karena alasan keadilan dan
akal sehat. Secara tegas dikatakan oleh Pella, ”..... nulla poena sine lege principle applied to
international criminal law as much as to domestic law ” par la force de l’equite et de la
raison“105. Dalam sejarah pembentukan Statuta Roma, sebenarnya pasal ini akan
digabungkan dengan pasal tentang nullum crimen sine lege, tetapi kemudian disepakati
pasal tersebut terpisah dan ditempatkan pada prinsip-prinsip umum sesudah nullum crimen
sine lege106.

Terakhir, makna asas legalitas dalam Statuta Roma yang termaktub dalam Pasal 24
tentang Ratione personae non-retroaktif. Terhadap ketentuan Pasal 24 ayat (1) adalah
persyaratan asas legalitas sebagai asas umum hukum pidana107. Dalam pembahasan Statuta
Roma, tidak ada satu pun pendapat yang keras menentang ketentuan ini. Prinsip non-
retroaktif memiliki unsur politis karena sebagian besar negara diantaranya memiliki
pengalaman kelam akan masa lalu dan harus memberikan pengampunan atau solusi yang
serupa dalam upaya rekonsiliasi nasional. Pertanggungjawaban pidana berdasarkan Statuta
Roma tidak bisa berlaku surut menurut pandangan hukum internasional108. Sedangkan
terhadap ketentuan Pasal 24 ayat (2) kiranya menyangkut pembatasan terhadap lex
temporis delicti. Otto Triffterer memberi komentar bahwa ketentuan ini lebih pada “change
in the law ; rational dan benefit of more favorable law”109.

Suatu catatan penting dari asas legalitas yang terdapat dalam Statuta Roma hanya
berlaku bagi kejahatan yang diatur dan didefenisikan menurut Statuta Roma. Artinya, asas
legalitas ini berlaku secara ketat sepanjang kejahatan serius yang dilakukan diadili dengan
menggunakan Statuta Roma. Jika diterjemahkan secara argumentum a contrario, maka
kejahatan serius yang tidak diadili dengan menggunakan Statuta Roma, asas legalitas tidak
diberlakukan secara ketat.

6. Analogi Dalam Hukum Pidana

Perdebatan mengenai boleh tidaknya penggunaan analogi dalam hukum pidana,


menurut pendapat penulis, secara garis besar dibagi atas tiga. GOLONGAN PERTAMA, para
ahli hukum pidana yang dengan tegas menolak analogi dalam hukum pidana. Golongan ini
diwakili oleh van Bemmelen, van Hattum, Moeljatno dan Remmelink. Ada tiga alasan
mendasar van Bemmelen dan van Hattum menolak analogi. Secara tegas mereka
menyatakan :

105
Otto Triffterer, Op.Cit, hlm. 464.
106
Roy S. Lee, Op.Cit, 196.
107
Otto Triffterer, Op.Cit, hlm. 466.
108
Roy S. Lee, Loc.Cit.
109
Otto Triffterer, Op.Cit, hlm. 473.

24
”.....dat art.1 Sr. historisch bezien, de functie heeft het abritraire element in de
strafrechtspleging tegen te gaan. Door bij die rechtspleging analogische
toepassing van de wet toe laten vergroot men het arbitraire element.
Een ander aan de wetgeving ontleend argument tegen analogie is gelegen in
de omstandigheid, dat analogische toepassing van de wet het militaire
strafrecht juist wel uitdrukkelijk was toegestaan (art.17 Crimineel wetboek
voor het Krijgsvolk te Lande van 1815)
En ten slote wijst men er op dat in de zogenaamde betekenis titel (titel IX van
het eerste boek) tal van overbodig zouden zijn als rechter de strafwet
analogisch mag hanteren110.

Meskipun demikian, dalam Hand –En Leerboek-nya, van Bemmelen dan van Hattum
membolehkan analogi terhadap ketentuan pidana tertulis yang tidak didasarkan pada suatu
kaidah yang menentukan dapat tidak dipidananya seorang pelaku pelanggaran. Mereka
menyatakan „.....derhalve is analogische toepassing, gehanteerd naar algemene beginselen
van rechtsvinding, toegelaten van alle strafrechtelijke voorschriften waaraan geen
strafrechtsnorm ten gronslag ligt111. Menurut Moeljatno, baik van Bemmelen maupun van
Hattum tidak hanya menolak analogi dalam hukum pidana, lebih dari itu mereka juga
menolak digunakan interpretasi ekstensif dalam hukum pidana.

Hal inilah yang membedakan antara van Bemmelen dan van Hattum di satu sisi
dengan Moeljatno di sisi yang lain. Moeljatno dalam hal analogi sependapat dengan van
Bemmelen dan van Hattum karena bertentangan dengan asas legalitas. Sementara
perbedaan anatara Moeljatno dengan van Bemmelen dan van Hattum adalah masalah
penafsiran ekstensif. Moeljatno berpendapat penafsiran ekstensif dapat digunakan dalam
hukum pidana, sedangkan van Bemmelen dan van Hattum tidak bisa menerima
penggunaan interpretasi ekstensif dalam hukum pidana112.

Sementara Remmelink yang menolak analogi dalam hukum pidana mendasarkan


pada empat alasan. Pertama, lebih mendukung pada kepastian hukum. Kedua,
pengembangan hukum tidak hanya dibebankan kepada hakim. Ketiga, tidak membuka
kesempatan bagi hakim untuk mengambil putusan secara emosional karena pengaruh opini
publik, media dan golongan lainnya. Keempat, sejarah perundang-undangan tahun 1886
tidak dimaksudkan sebagai pengakuan terhadap penggunaan metode penafsiran analogi113.
Kendatipun menolak analogi, Remmelink mengakui bahwa larangan menggunakan anlogi
hanya dalam hal untuk menciptakan ketentuan pidana baru bukan untuk menjelaskan
perundang-undangan. Selain itu, masih menurut Remmelink, bahwa Hoge Raad dalam
perkembangannya telah menerbitkan sejumlah arrest yang sulit untuk dikatakan tidak
menggunakan analogi, terutama ketika dihadapkan dengan sejumlah ’tindakan jahat’ yang
tanpa pendekatan demikian pasti akan lolos dari jaring keadilan114.

110
Ibid, hlm. 74 – 75.
111
Ibid, hlm. 80.
112
Moeljatno, Op.Cit, hlm. 27.
113
Jan Remmelink, Op.Cit, hlm. 360.
114
Ibid, hlm. 45, 60.

25
GOLONGAN KEDUA adalah para ahli hukum pidana yang tidak secara tegas
menerima atau menolak analogi. Golongan ini diwakili oleh Hazewinkel Suringa dan Vos.
Ketidaktegasan Suringa dan Vos dalam menerima atau menolak analogi dapat disimpulkan
dari pernyataan-pernyataan mereka dalam leerboek-nya. Suringa dalam bukunya
menyatakan, ”De vraag is niet, of analogie toelatbaar is ; ongewild en ongeweten zal zij
aangewend worden. De vraag is veeleer, welke methoden van interpretatie de strafrechter
moet hanteren en on of hij daarin even vrij zal zijn als de civile115.

Berdasarkan pernyataan Suringa, Utrecht berpendapat bahwa Suringa tidak


menyinggung apakah analogi boleh diterapkan ataukah tidak dalam hukum pidana. Masih
menurut Utrecht, justru Suringa mencoba untuk memberikan suatu penjelasan riil
mengenai analogi dalam peradilan pidana116. Hanya saja dalam kaitannya dengan asas
legalitas sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP bila dihubungkan
dengan interpretasi, Suringa menyatakan, ”..... dat dit voorschrift rechszekerheid en
rechtsgelijkheid beoogt en niet een zo ruime interprtatie duldt, waardoor deze zouden
worden geschaad, staat toch wel vast”117.

Identik dengan Suringa perihal penerapan analogi, Vos memberi pernyataan yang
tidak begitu jelas boleh – tidaknya penggunaan analogi. Hal ini tersimpul dari pernyataan
Vos dalam bukunya :

Analogische wetstoepassing is niet toegelaten, althans niet in die zin, dat


analogisch nieuwe strafbare feiten kunnen worden geschapen, en wel wegens
art. 1 al.1. Onder analogische wetstoepassing is te verstaan het toepassen
van een bepaling op een geval, waaraan de wetgever niet gedacht heeft of
niet kon denken, maar waarvan de ratio voor toepassing der strafbepaling
dezelfde is als voor in die bepaling we geregelde gevallen. Waar echter de
grens tussen analogische wetstoepassing en extensieve interpretatie vaak
weinig scherp is, zal men dikwijls langs de tweede weg tot eenzelfde resultaat
kunnen komen als door analogie118.

GOLONGAN KETIGA adalah para ahli hukum pidana yang menerima penerapan
analogi. Golongan ini diwakili oleh Roling, Pompe dan Jonkers. Sebagaimana yang dikutip
Utrecht, demikian juga Remmelink, Roling berpendapat bahwa antara interpretasi ekstensif
dan analogi tidak ada perbedaan asasi. Masih menurut Roling, analogi itu tidak lain dari
suatu sendi interpretasi yang mana kita harus membedakan antara redaksi undang-undang
pidana dan tujuan undang-undang pidana. Menurutnya, tujuan undang-undang pidana
harus lebih diutamakan, sedangkan redaksi undang-undang pidana hanya sekunder saja119.
Perihal analogi, Pompe dalam handboek-nya secara tegas menyatakan :

Toepassing van analogie bestaat daarin, dat men uit een rechtsvoorschrift
een meer algemene regel abstraheert, die aan dit rechtsvoorschrift ten

115
Hazewinkel Suringa, Op.Cit, hlm. 278.
116
E. Utrecht, Op.Cit, hlm. 218.
117
Hazewinkel Suringa, Op.Cit, hlm. 281.
118
H.B. Vos, Op.Cit, hlm. 46.
119
Ibid, hlm. 214. lihat juga Jan Remmelink, Op.Cit, hlm. 359.

26
grondslag ligt (ratio legis), en daarna die meer algemene regel toepast op een
geval, dat niet onder de tekst van het rechtsvoorschrift zelf valt. Dit geval
moet dan met de gevallen, welke er wel onder behoren,zoveel gelijkenis,
overeenkomstigheid (analogie), vertonen, dat gelijke berechting
gerechtvaardigd lijkt. Toepassing van analogie is slechts geoorloofd,
indienaan te nemen is, dat er een leemte in de wet is, dat derhalve de
wetgever niet aan het geval gedacht heeft (vergeten gevallen) of er niet aan
kon denken (nieuwe gevallen), en alleen daarom de wet niet zo ruim
formuleerde dat het geval wel onder de tekst zou vallen. Is niet aan te nemen,
dat de wetgever het geval overhet hoofd gezien heeft, dan dient het met een
redenering a contrario juist niet op gelijke wijze berecht te worden. Of men in
een bepaald geval analogie moet toepassen, dan wel omgekeerd a contrario
moet concluderen, dat de wetgever blijkens het ongenoemd laten het
betrokken geval niet onder de desbetreffende regel heeft willen brengen, is
telkens aan het oordeel van de rechter overgelaten120.

Adapun alasan Pompe untuk menerima penggunaan analogi dalam hukum pidana
adalah sejarah Pasal 1 ayat (1) KUHP yang pada intinya menyatakan bahwa dapat
dipidananya suatu perbuatan sepenuhnya diserahkan kepada hakim. Dengan demikian tidak
ada larangan untuk menggunakan analogi. Secara tegas dinyatakan oleh Pompe, ”De
geschiedenis van art. I Sr. kan ook leiden naar art. I2, tweede lid, van het Crimineel Wetboek
voor het Koningrijk Holland, waar aan de rechter uitdrukkelijk wordt overgelaten, over de
strafbaarheid van het feit ”volgens de regelen van uitlegkunde” te beslissen, hetzij naar de
woorden hetzij naar de zin (m.a.w ratio) der wet121. Pada bagian lain dalam bukunya, untuk
mempertahankan penggunaan analogi dalam hukum pidana, Pompe menyatakan :

Met beperke dit verbod, als vormende een uitzondering, dan ook tot wat art. I, eerste
lid, Sr. naar zijn tekst inhoudt, en breide deze bepaling niet zelve buiten de tekst uit.
De besproken bepaling betreft alleen de strafbaarheid van het feit. Bij de
strafbaarheid uitsluitende omstandigheden, waarbij het immers niet om het
strafbare feit, maar om de daarvoor strafbare persoon gaat (en waarbij overigens
niet de strafbaarheid, maar de straffeloosheid wordt bepaald), is de toepassing van
analogie dus ook op het door mij thans afgewezen standpunt aanvaardbaar te
achten. Evenmin is op dit standpunt analogie verboden t. a. v. de vervolgbaarheid, de
uitvoerbaarheid der straf. Voor het strafprocesrecht geldt art. I Sv122.

Sependapat dengan Pompe adalah Jonkers yang membolehkan penerapan analogi


dalam hukum pidana dan menurutnya tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (1) KUHP.
Dengan membandingkan analogi dan beberapa metode interpretasi lainnya, Jonkers
menyatakan :
Er zijn vershilliende methoden van wetsuitleg : de histrorische, de
grammaticale, de logische, de systematische, de extensieve, de telelogische
en de analogische. Vooral de laatste drie hebben aanleiding gegeven tot
velerlei discussies, omdat daarbij de vraag rist of zij voor strafrecht

120
Pompe, Op.Cit, hlm. 50 – 51.
121
Ibid, hlm. 52.
122
Ibid, hlm. 54.

27
geoorloofd zijn. De extensieve stelt zich op den basis van ruimen wetsuitleg,
de teleologische speurt naar het doel, de strekking der bepaling en de
analogische gaat zoover, dat zij rekening wil houden met de
overeenkomstigheid der feiten en de norm, die aan straf bepaling ten
gronslag ligt. Vele vooraanstaande juristen en ook de jurisprudentie
aanvarden voor het strafrecht, althans voor zoover de strafbaarstelling
betreft, de analogie niet. Zij zijn van meening, dat het reeds besproken eerste
lid van art. 1 W.v.S. – geen feit is strafbaar dan krachtens een daaraan
voorafgegane wettelijke strafbepaling – zich hiertegen verzetten zou. Ik kan
deze opvatting niet dellen. Bij analogische interpretatie valt men terug op de
wet en ik kan niet inzien, dat de regel van artikel 1 lid 1 daardoor geweld zou
worden aangedaan123.

Menurut Jonkers, penerapan analogi dalam peradilan pidana sebelum kasus


pencurian listrik adalah Putusan Rechtbank Leeuwarden 10 Desember 1919, NJ 1920. Di
veemarkt (pasar hewan), A berdiri di sebelah sapi, seolah-olah sapi itu adalah miliknya
sendiri. B yang hendak membeli sapi, sungguh-sungguh mengira bahwa A adalah pemilik
sapi tersebut. B kemudian membayar sejumlah uang kepada A dan membawa sapi itu
pulang ke rumahnya. Pengadilan menganggap A yang berdiri di dekat sapi tersebut dan
seolah-olah pemilik sapi, identik dengan perbuatan ’mengambil’ sebagaimana dimaksud
dalam pasal pencurian. Komentar Jonkers terhadap putusan tersebut adalah :

“Het sterkste staaltje op diet gebied is wel te vinden in een vonnis van de
rechtbank te Leeuwarden (vonnis 10 December 1919 N.J. 1920, blz. 187),
waarin het gaan en blijven staan bij een op de markt zich los gemaakt
hebbende koe en het vervolgens verkoopen van de koe als een daad van
wegneming wordt aangemerkt. De rechtbank is zoo eerlijk in dit vonnis te
overwegen, dat difstal mogelijk is, ook al heeft in letterlijken zin geen
wegneming plaats gehad en voegt daaran toe, dat zij bereid is iets wegnemen
te noemen, wat helemaal geen wgenemen is nl124”.

Terlepas dari boleh – tidaknya penggunaan anlogi dalam hukum pidana, Herman
Mannheim mengemukakan ada dua macam analogi. Pertama, analogi undang-undang atau
gesetzes analogie. Kedua, analogi hukum atau rechtsanalogie. Dalam penerapan hukum
pidana, analogi yang dibolehkan adalah analogi undang-undang dan bukan analogi hukum.
Kendatipun demikian sulit dibedakan antara analogi undang-undang dan analogi hukum125.
Menurut Cherif Bassiouni ada tiga katagori analogi. Pertama, analogi untuk menciptakan
perbuatan pidana baru yang sudah diduga tetapi tidak dirumuskan oleh pembentuk undang-
undang. Kedua, analogi diterapkan apabila bunyi undang-undang tidak cukup jelas atau
gagal merumuskan unsur-unsur dari suatu perbuatan pidana. Ketiga, analogi diterapkan
terhadap pemidanaan dalam hal tidak defenisikan oleh pembentuk undang-undang. Masih
menurut Bassiouni, bahkan pada sistem hukum dengan pendekatan positivisme yang ketat,

123
Jonkers, 1946, Op.Cit, hlm. 42.
124
Ibid, hlm. 43.
125
Andi Hamzah dalam Pembangunan Hukum Pidana Indonesia, Asosiasi Pengajar Hukum Pidana Dan
Kriminologi Indonesia, 2008, Perkembangan Hukum Pidana Dalam Era Globalisasi, Perum Percetakan Negara
RI, Jakarta, hlm.33.

28
asas legalitas membolehkan analogi terhadap pemidanaan namun dalam batas-batas yang
telah ditentukan oleh pembentuk undang-undang. Akan tetapi, pada sistem hukum yang
menerapkan asas legalitas sangat ketat, sepenuhnya melarang penggunaan analogi dengan
mengingat pada klausula aturan favor reo. Artinya, hakim harus menjatuhkan putusan yang
meringankan terdakwa126.

Referensi

Alfredson, Gudmundur, and Eide, Asbjorn (Editor), 1999, The Universal Declaration Of
Human Rights : A Common Standard Of Achievment, Martinus Nijhoff Publishers, The
Hague/Boston/London

Bakry, H. Oemar, 1983, Tafsir Rahman, Mutiara, Jakarta

Bassiouni, M. Cherif, 2003, Introduction To International Criminal Law, Transnational


Publisher, Inc. Ardsley, New York

Bemmelen, J.M. Van, En Hattum, W.F.C. Van, 1953, Hand En Leerboek Van Het Nederlandse
Strafrecht, S. Gouda Quint – D. Brouwer En Zoon, Arnhem

Bemmelen, J.M. Van, En Burgersdijk, H., 1955, Arresten Over Strafrecht, Vijfde Druk, H.D.
Tjeenk Willink & Zoon N.V. – Haarlem

Boot, Machteld, 2001, Nullum Crimen Sine Lege and the Subject Matter Jurisdiction of the
International Criminal Court : Genocide, Crimes Against Humanity, War Crimes,
Intersentia, Antwerpen – Oxford – New York

Cassese, Antonio, 2003, International Criminal Law, Oxford University Press

David, Rene, & Brierley, John E.C, 1985, Major Legal Systems In The World Today, Third
Edition, Stevens & Sons, London

Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2013, Rancangan Undang-
Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Direktorat Jenderal Hukum Dan
Perundang-Undangan

El, M.Shokry, – Dakkak, 2000, State’s Crimes Against Humanity : Genocide, Deportation And
Torture : From The Prespectives Of International And Islamic Laws, A.S. Noordeen

Elzinga, D.J., Rest, PH.S. van, Valk, J. De, 1995, Het Nederlandse Politierecht, Tjeenk Willink
Zwole

Enschede, Ch.J., 2002, Beginselen Van Strafrecht, Kluwer, Deventer

126
M. Cherif Bassiouni, Op.Cit, hlm. 179 – 180.

29
Gillisen, John, Dan Gorle, Frist, 2005, Sejarah Hukum : Suatu Pengantar, Refika Aditama,
Bandung

Hamzah, Andi, 1995, Perbandingan Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta

, dalam Pembangunan Hukum Pidana Indonesia, Asosiasi Pengajar Hukum


Pidana Dan Kriminologi Indonesia, 2008, Perkembangan Hukum Pidana Dalam Era
Globalisasi, Perum Percetakan Negara RI, Jakarta

Hiariej, Eddy O.S, Kinerja Polisi, Surat Kabar Harian KOMPAS, Kamis, 6 November 2003

, 2005, Criminal Justice System In Indonesia, Between Theory And Reality,


Asia Law Review Vol.2, No. 2 December 2005, Korean Legislation Research Institute

, 2007, Pemikiran Remmelink Mengenai Asas Legalitas, Jentera Jurnal


Hukum, Edisi 16 – tahun IV, April – Juni 2007

Huda, Chairul, 2006, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan ; Tinjauan Kritis Terhadap Teori
Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Kencana Prenada Media,
Jakarta

International Institute Of Human Rights, 2001, International Protection Of Human Rights,


Collection Of Texts, First week, Allee Rene Cassin, Strasbourg, France

Jonkers, J.E., 1946, Handboek Van Het Nederlansch – Indische Strafrecht, E.J. Brill, Leiden

Kelsen, Hans, 1944, General Theory Of Law And State, Russell & Russell, New York

King, M., 1981, A Framework Of Criminal Justice, Croom Helm, London

Kasim, Ifdhal, 2001, Hak Sipil Dan Politik ; Esai-Esai Pilihan, ELSAM, Jakarta

Lee, Roy S., 1999, The International Criminal Court : The Making of The Rome Statute ;
Issues, Negotiations, Results, Kluwer Law International, The Hague – London – Boston

Lembaga Alkitab Indonesia, 2000, Alkitab Dan Kidung Jemaat, cetakan kedua

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2003, Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang
Mahkamah Konstitusi, Sekretariat Jenderal

MD, Moh. Mahfud, 2006, Beberapa Catatan Tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
003/PUU-IV/2006 Tentang Perbuatan Melawan Hukum Secara Materiil, Disampaikan
dalam diskusi publik Eksaminasi Putusan Mahkamah Konstitusi dengan perkara nomor
: 003/PUU-IV/2006 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

30
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Kerjasama Pusat Kajian Anti-Korupsi
Fakultas Hukum UGM, Badan Penerbit Pers Mahasiswa MAHKAMAH dan Indonesian
Court Monitoring, Yogyakarta, 24 Agustus 2006

Moeljatno, 1955, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungan Jawab Dalam Hukum Pidana,
Pidato diucapkan pada upacara peringatan Dies Natalis ke VI Universitas Gadjah Mada,
di Sitihinggil Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1955

, 2000, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta

Montesquieu, 2007, The Spirit Of Laws : Dasar-Dasar Ilmu Hukum Dan Ilmu Politik,
Penerjemah : M.Khoiril Anam, Nusamedia

Muladi, 2005, Hak Asasi Manusia : Hakekat, Konsep Dan Implikasinya Dalam Prespektif
Hukum Dan Masyarakat, Refika Aditama, Bandung

Nasution, Adnan Buyung dan Zen, A. Patra M., (Penyunting), 2006, Instrumen Internasional
Pokok Hak Asasi Manusia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta

Noyon, T.J., & Langemeijer, G.E., 1947, Het Wetboek Van Strafrecht, Vijfde Druk, Eerste
Deel Inleiding Boek I, S. Gouda Quint – D. Brouwer En Zoon, Uitgevers Het Huis De
Grabbe – Arnhem

Packer, Herbert L, 1968, The Limits of The Criminal Sanction, Oxford University Press

Poernomo, Bambang, 1982, Asas-Asas Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta

, 1989, Manfaat Telaah Ilmu Hukum Pidana Dalam Membangun


Model Penegakan Hukum Di Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 5 Juli 1989

Pompe, W.P.J., 1959, Hanboek Van Het Nederlandse Strafrecht, Vijfde Herziene Druk, N.V.
Uitgevers – Maatschappij W.E.J.Tjeenk Willink, Zwolle

Prodjodikoro, Wirjono, 2003, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Refika Aditama,


Bandung

Ratner, Steven R., dan Abrams, Jason S., 2001, Accountability For Human Rights Atrocities In
International Law : Beyond The Nuremberg Legacy, Second Edition, Oxford University
Press

Remmelink, Jan, 2003, Hukum Pidana : Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Belanda Dan Padanannya Dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Roberts, Adam, & Guelff, Richard, 2001, Documents On The Laws Of War, Third Edition,
Oxford University Press

31
Sapardjaja, Komariah Emong, 2002, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum
Pidana Indonesia (Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam
Yurisprudensi), Penerbit Alumni, Bandung

Sahetapy, J.E., 1978, Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, Disertasi

, 2003, Asas Retroaktif : Suatu Kajian Ulang, KHN Newsletter, Edisi Mei 2003

Sampson, Fraser, 2001, Blackstone’s Police Manual Crime, Balckstone Press Limited

Schaffmeister, D., Keijzer, N., Sutorius, E.PH., Diterjemahkan oleh Sahetapy, J.E, 1995,
Hukum Pidana, Liberty¸Yogyakarta

Simons, D., 1937, Leerboek Van Het Nederlandsche Strafrecht, Eerste Deel, Zesde Druk, P.
Noordhoof, N.V. – Groningen – Batavia, hlm. 122.

Singer, Richard G., & Gardner, Martin R., 1997, Crimes And Punishment : Cases, Materiils
and Readings In Criminal Law, Secodn Edition, Matthew Bender

Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto , Fakultas Hukum Universitas Diponegoro,
Semarang

Suringa, Hazewinkel, 1953, Inleiding Tot De Studie Van Het Nederlandse Strafrecht, H.D.
Tjeenk Willink & Zoon N.V. – Haarlem

Triffterer, Otto, 1999, Commentary on the Rome Statute of the International Criminal Court,
Nomos Verlagsgesellschaft, Baden-Baden

University Of Leicester, Modul 5, 1998, “Issues In The Criminal Justice Process”, Scarman
Center, University Of Leicester

Utrecht, E., 1960, Hukum Pidana I, Penerbitan Universitas, Bandung

Vos, H.B., 1950, Leerboek Van Nederlands Strafrecht, Derde Herziene Druk, H.D.Tjeenk
Willink & Zoon N.V. – Haarlem

32

Anda mungkin juga menyukai