Anda di halaman 1dari 16

ASAS LEGALITAS DIKAITKAN DENGAN KASUS

PENCUCIAN UANG
MATA KULIAH HUKUM PIDANA
DOSEN PEMBIMBING :
Dr. H. Ahmad Cholidin, S.H, M.H

Penyusun :
Adicha Syahada Amri (1113043000018)

Prodi Perbandingan Madzhab dan Hukum


Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia adalah sebuah negara yang berlandaskan hukum. Segala
sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara diatur oleh hukum dan berbagai macam peraturan baik itu
undang-undang, perpres, perpu, peraturan pemerintah, perda, dan lain
sebagainya.
Perkembangan tindak pidana semakin lama semakin maju terutama
dalam bidang perbankan atau korporasi. Tindak pidana pencucian uang
( money laundering) merupakan suatu golongan tindak pidana khusus dan
tergolong suatu kejahatan besar. Hukum yang mengatur tentang tindak
pidana money laundering (pencucian uang) sendiri sudah ada, namun
sampai kini dirasa masih belum memenuhi rasa keadilan masyarakat. Lalu
bagaimana kaitannya dengan Asas Legalitas yang menjadi salah satu pilar
asas Hukum Pidana di Indonesia? Berikut makalah ini akan mengupas tuntas
perihal masalah tersebut.
B. Identifikasi Masalah

Apa yang dimaksud dengan Asas Legalitas dalam Hukum Pidana


Indonesia ?

Apa yang dimaksud dengan Tindak Pidana Pencucian Uang


(Money Loundry)?

Apa hubungan Asas Legalitas dengan Tindak Pidana Pencucian


Uang (Money Loundry) ?

C. Tujuan Pemakalah

Menjelaskan Asas Legalitas

Menjelaskan Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Loundry)

Menjelaskan keterkaitan antara Asas Legalitas dan tindak Pidana


Pencucian Uang (Money Loundry)

BAB II
PEMBAHASAN
I.

ASAS LEGALITAS
A. SEKILAS SEJARAH ASAS LEGALITAS

Kemunculan asas legalitas dilatarbelakangi sejarah yang sangat


panjang di mulai dari zaman Romawi kuno yang dapat dijelaskan sebagai
berikut :
In ancient Roman law that uses the Latin, is not known what thecalled
the principle of legality. At the time the crime known criminal called extra
ordinaria, which means 'the crimes that are not mentioned in the law'. In
between criminal extra ordinaria this is the famous criminal stellionatus
(deed wicked / evil). Historically, this criminal extra ordinaria kings adopted
the ruling. Soopen a very wide opportunity to apply it arbitrarily. Bytherefore,
the thought of must be specified in regulationsfirst invitation deeds what
could be nvicted. From hereconstraints arise for states to apply criminal
law.
(Dalam hukum Romawi kuno yang menggunakan bahasa Latin, tidak
dikenal apa yang disebut asas legalitas. Pada saat itu dikenal kejahatan yang
disebut criminal extra ordinaria, yang berarti kejahatan-kejahatan yang
tidak disebut dalam undang-undang. Di antara criminal extra ordinaria
(perbuatan durjana/jahat). Dalam sejarahnya, criminal extra ordinaria ini
diadopsi raja-raja yang berkuasa. Sehingga terbuka peluang sewenangwenang. Oleh karena itu, timbul pemikiran tentang harus ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan terlebih dahulu perbuatan-perbuatan apa
saja yang dapat dipidana. Dari sini timbul batasan-batasan kepada negara
untuk menerapkan hukum pidana).1
Pada Tahun 1791 yaitu setelah adanya revolusi Perancis dibentuklah
suatu Code Penal yang dalam Code Penal inilah yang menurut para ahli
hukum pidana dianggap sebagai embrio dari asas legalitas dalam Pasal 1
Ayat (1) KUHP, kemudian pada tahun 1810 seorang penulis berkebangsaan
Inggris yang bernama Bentham dengan pemikirannya yang dituangkan
dalam suatu tulisan sangat mempengaruhi pembentuk Code Penal sehingga
terbentuk suatu Code Penal baru, dan karena sejarahnya bangsa Perancis
1

Komparisi Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana Islam Dan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP, h.27-28

pernah menjajah bangsa Belanda maka pada tahun 1881 Wetboek van
Strafrecht Belanda terbentuk tanpa sesuatu komentar apapun Pasal 4 Code
Penal telah dijadikan suatu ketentuan dalam Wetboek van Strafrecht
dikarenakan Belanda pernah menjajah Indonesia, maka berdasarkan asas
konkordansi ketentuan dari Belanda diberlakukan di Indonesia, maka Pasal 4
Code Penal dikenal di Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP.2

Ibid h. 30

Ditinjau dari sejarah kelahirannya ketentuan dalam Pasal 1 Ayat (1)


KUHP mempunyai hubungan yang erat dengan usaha manusia untuk
mendapatkan suatu kepastian hukum dengan kata lain pencantuman asas
legalitas dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP bertujuan mencegah kesewenangwenangan penguasa yang dapat merugikan individu maupun masyarakat.
Menurut Lamintang asas legalitas ini yang dalam rumusan bahasa
latin yaitu nullum crimen noela poena sine praevia lege poenali yang
diciptakan oleh Paul Johan Anselm von Feuerbach pada abad ke-19 dalam
bukunya yang berjudul lehrbuch des Peinlichen Rechts (1801), yang
artinya tidak ada (nullum) delik, tiada pidana (poena) tanpa (sine) terlebih
dahulu diadakan (preavia) ketentuan (lege poenali). Ajaran Feuerbach ini
dikemukannya sehubungan dengan pembatasan keinginan manusia untuk
melakukan suatu kejahatan, ajaran ini dikenal dengan teori Psychoolgise
zwang yang memuat tiga ketentuan yaitu :3
a.

Nulla puna sine lege, yang bermakna bahwa setiap penjatuhan hukuman
haruslah didasarkan pada suatu undang-undang pidana.
b.
Nulla Poena Sine Crimine, yang artinya bahwa suatu penjatuhan
hukuman hanyalah dapat dilakukan, apabila
perbuatan yang
bersangkutan telah diancam dengan suatu hukuman oleh undang-undang.
c.
Nullum Crimen Sine Poena Legali, yang artinya bahwa perbutan yang
telah diancam dengan hukuman oleh undang-undang itu apabila dilanggar
dapat berakibat dijatuhkannya hukuman seperti yang diancamkan
undang-undang terhadap pelanggarnya.
Selain itu dalam asas legalitas terdapat hal-hal penting yang tidak
lepas dari pengertian asas legalitas yang dapat diuraikan secara garis
besar sebagai berikut :
In countries that adopt the principle of individualistic schools oflegality
ismaintained, whereas in the socialist principle of stateThis lot is no longer
the Soviet adopted a clearsince 1926.This is in accordance with the
tradition of civil law systems, thatThere are four aspects of the legality
principle is strictly applied, namelylegislation (law), retroaktivitas
(retroactivity),lex chert, and analogies. Regarding this fourth aspect,
Roelof H. Haveman said that though it might be said that not everyaspect
is that strong on its own, the combination of the four aspects gives amore
true meaning to principle of legality.
(Di negara-negara yang menganut faham individualistis asas legalitas
ini dipertahankan, sedangkan di negara yang sosialis asas ini banyak yang
tidak dianut lagi seperti Soviet yang menghapus sejak tahun 1926. Hal
demikian sesuai dengan tradisi sistem civil law, bahwa ada empat aspek
asas legalitas yang diterapkan secara ketat, yaitu peraturan perundangundangan (law), retroaktivitas (retroactivity), lex certa, dan analogi.
Mengenai keempat aspek ini, Roelof H. Haveman menyatakan bahwa
meskipun bisa dikatakan bahwa tidak setiap Aspek ini yang kuat dengan
3

P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Cet. III, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1997, h. 132-134.

sendirinya, kombinasi dari empat aspek memberikan makna lebih benar


prinsip legalitas.4
Prisip legality merupakan karakteristik yang esentieel, baik ia
dikemukakan oleh rule of law konsep, maupun oleh faham echtstaat
dahulu, maupun oleh konsep socialist legality. Demikian misalanya
larangan berlakunya hukum pidana secara retroaktif atau retrospective,
larangan analogi, berlakukanya asas nullum delictum dalam hukum
pidana, kesemuanya itu merupakan suatu refleksi dari prinsip legality.
Moeljatno menyebutkan bahwa asas legalitas mengandung tiga
pengertian, yaitu:5
Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana
kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan
undang-undang.
Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan
analogi (kiyas).
Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.
Mengenai Asas legalitas ini secara jelas dapat diketahui di dalam
Pasal 1 Ayat (1) KUHP yang berbunyi : Suatu perbuatan tidak dapat
dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan-ketentuan perundang-undangan
pidana yang telah ada sebelumnya.
Dalam asas legalitas terdapat dua macam prinsip / asas untuk patut
tidaknya seseorang dipidana hal ini terkait dengan adanya hukum tertulis
dan hukum tidak tertulis, prinsip / asas tersebut adalah :
Asas legalitas formal yang sudah dirumuskan secara eksplisit dalam
Pasal 1 Ayat (1) KUHP. Asas ini menggariskan, bahwa dasar untuk
menentukan patut tidaknya suatu perbuatan dianggap melawan
hukum atau perbuatan pidana, sehingga karenanya pelakunya dapat
dipidana adalah ketentuan dalam Undang-undang yang sudah ada
sebelum perbuatan itu dilakukan.
Asas legalitas material, prinsip ini tidak dirumuskan secara formal
dalam KUHP, tetapi prinsip ini dipegang teguh oleh masyarakat. Asas
legalitas ini menggariskan bahwa untuk menentukan melawan hukum
atau perbuatan pidana adalah nilai-nilai dalam bermasyarakat.6
B. PENGERTIAN ASAS LEGALITAS

Komparisi Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana Islam Dan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, h. 27-28
5

Moeljatno, 2002, Asas Asas Hukum Pidana, Cet. Ke VII, Rineka Cipta, Jakarta, h. 25

Komparisi Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana Islam Dan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, h. 31-32.

Asas Legalitas termasuk asas yang boleh dikatakan sebagai tiang


penyangga hukum pidana. Asas ini tersirat di dalam Pasal 1 KUHP yang
dirumuskan demikian :7
(1) tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan
pidana dalam perundang- undangan yang telah ada sebelum
perbuatan dilakukan.
(2) Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan perundangundangan, dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa.
Adapun arti dari Asas Legalitas itu sendiri ialah bahwa orang yang
melakukan tindak pidana, dapat dipidana apabila orang tersebut dapat
dinyatakan bersalah.
Makna Asas Legalitas , ialah :8
a. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana
kalau perbuatan itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu
aturan hukum.
b. Untuk menentukan adanya tindak pidana tidak boleh digunakan
analogi.
c. Undang- undang hukum pidana tidak berlaku mundur/ surut.
Akan tetapi dari pandangan tersebut para pembentuk undang-undang
sepakat, untuk mengisi kekosongan dalam peraturan perundangundangan, asas legalitas diberikan celah untuk dilakukannya interpretasi
judisial. Interpretasi judisial yang dimaksud adalah menjalankan undangundang setelah undang-undang itu menjadi jelas atau menjalankan kaidah
yang oleh undang-undang tidak dinyatakan dengan jelas.9
II.

PENCUCIAN UANG (MONEY LOUNDRY)


A. SEKILAS SEJARAH PENCUCIAN UANG

Istilah pencucian uang atau money loundering ini telah dikenal sejak
dekade tahun 1930 di Amerika Serikat, yaitu ketika seorang mafia
membeli perusahaan yang sah dan resmi sebagai strateginya Investasi
terbesar adalah perusahaan pencucian pakaian atau disebut Laundromat
yang saat itu terkenal di Amerika Serikat.Pada dekade 1920-1930 ada
kelompok penjahat yang dipimpin Al Capone adalah seorang penjahat
terkenal dari Amerika Serikat. Ia melakukan money laundry terhadap uang
haram yang didapatnya dengan menggunakan jasa seorang akuntan
cerdas bernama Meyer Lansky. Money laundry yang dilakukannya adalah
melalui usaha binatu (laundry). Itulah asal muasal nama money
7

Prof.Dr.Teguh Prasetyo, S.H, M.Si, Hukum Pidana. Edisi Revisi, Raja Grafindo
Persada,2011, Jakarta, h.37
8

Ibid
, h. 39
9
Siti, Kebijakan dalam menindaklanjuti asas legalitas, data diakses tanggal 8 Agustus
2011, alvalaible from: URL :http://siti.staff.ugm.ac.id/

loundering. 10Usaha binatu milik Al Capone ini ternyata berkembang maju


dengan berbagai perolehan hasil uang haram dari proses kejahatan lain
yang berpa cabang usaha yang ditanamkan ke perusahaan pencucian
pakaian ini, seperti uang hasil proses minuman keras illegal, hasil
perjudian, dan hasil perusahaan pelacuran.
Al Capone pun dijebloskan ke dalam penjara berdasarkan
pelanggaran terhadap Volsted Act. Suatu hal yang sangat luar biasa pada
saat mana kepolisian yang bersenjata tidak pernah berhasil
menangkapnya. Bahkan konfrontasi bersenjata yang dilakukan polisi
untuk menghancurkan kelompok Al Capone dan menangkapnya selalu
gagal, karena kelompok itu pun memiliki persenjataan yang sama lengkap
dan mematikan dengan yang dimiliki polisi.11

B. PENGERTIAN PENCUCIAN UANG


Pencucian uang adalah suatu proses atau perbuatan yang bertujuan
untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang atau harta
kekayaan yang diperoleh dari hasil tindak pidana yang kemudian diubah
menjadi harta kekayaan yang seolah-olah berasal dari kegiatan yang
sah.12
Dalam buku kitab Blaks Law Dictiniory, istilah money laundering di
artikan dengan, term applied to taking money gotten illegally and
washing or laundering it so it appears to have been gotten legall (istilah
yang diterapkan untuk mengambilan uang yang didapat secara ilegal dan
mencucinya atau pencucian sehingga tampaknya didapatkan secara
legall).13
Sedangkan menurut para ahli hukum, pencucian uang atau money
laundering memiliki berbagai pengertian dari masing-masing ahli hokum
tersebut. Seperti pengertian dari ahli hukum Sarah N. Welling, the process
by which one conceals the existence, illegal source, or illegal application
of income, and than disguises that income to make it appear legitimate
(sebuah proses dimana untuk menyembunyikan keberadaan, sumber
ilegal, atau cara ilegal pendapatan, dan juga penyamaran hingga
pendapatan untuk menjadi tampak sah).14
10

Adrian Sutedi ,S.H.,MH, HUKUM PERBANKAN: Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger,
Likuidasi, Dan Kepailitan, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, h. 17.
11
Ivan Yustiavandana, Arman Nefi dan Adiwarman, TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DI
PASAR MODAL, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010, h. 7.
12

Adrian Sutedi ,S.H.,MH, HUKUM PERBANKAN: Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger,
Likuidasi, Dan Kepailitan, Jakarta: Sinar Grafika, 2007,h. 19.
13
thelawdictionary.org/money-laundering/, diakses pada 10 September 2013, pukul
15.00.
14

Ivan Yustiavandana ,Arman Nefi , dan Adiwarman, TINDAK PIDANA PENCUCIAN DI


PASAR MODAL, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010, h. 11.

Pengertian pencucian uang dalam UU no. 25 Tahun 2003 adalah


perbuatan menempatkan, menstranfer, membayarkan, membelanjakan,
menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri,
menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta Kekayaan yang diketahui
atau patut diduga merupakan hasil tindakan pidana dengan maksud untuk
menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga
seolah-olah menjadi harta Kekayaan yang sah (Pasal 1 angka 1 Undangundang No. 25 Tahun 2003 tentang perubahan atas Undang-Undang No.
15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang). Sedangkan dalam
UU No. 8 Tahun 2010 tantang Pencegahan dan pembarantasan tindak
Pidana Pencucian uang, pengertian pencucian uang mengalami perluasan
menjadi segala perbuatan yang memenuhi unsure-unsur tindak pidana
sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.15

Tahap-Tahap atau Mekanisme Pencucian Uang.


Secara umum terdapat beberapa tahap dalam melakukan usaha
pencucian uang, yaitu sebagai berikut.
1. Tahap Penempatan (Placement)
Tahap Placement merupakan tahap pengumpulan dan penempatan
uang hasil kejahatan di suatu Bank atau tempat tertentu yang
diperkirakan aman guna mengubah bentuk uang tersebut agar tidak
terindentifikasi. Biasanya dana yang ditempatkan berupa uang tunai
dalam jumlah besar yang dibagi ke dalam jumlah yang lebih kecil dan
ditempatkan di beberapa rekening di beberapa tempat.16
Tahap Ini, memindahkan uang haram dari sumbernya untuk
menghindarkan jejak dengan metode smurfing. Metode ini mengelabui
ketentuan untuk melaporkan transaksi uang tunai sesuai dengan
peraturan yang berlaku. Dalam tahap ini bisa juga penempatan uang hasil
criminal itu dimasukkan dalam sisten keuangan, baik dengan cara
memasukkan ke deposito, saham, atau mengonversikannya ke dalam
mata uang lain.17
Bentuk kegiatan pada tahap ini antara lain sebagai berikut:18
15

Santoso, T., Chandra, R., Sinaga, A.C., muhajir, M. dan Mardiah, s., PANDUAN
INVESTIGASI DAN PENUNTUTAN DENGAN PENDEKATAN HUKUM TERPADU, Bogor: Cifor,
2011, h. 49.
16
Ibid h.49.
17
Elvyn, G. Masassya, CARA CERDAS MENGELOLA KEUANGAN PRIBADI, Jakarta: PT Elex
Media Komputindo, 2006, h. 125.

o Menempatkan dana pada bank. Kadang kegiatan ini diikuti


dengan pengajuan kredit/pembiayaan.
o Menyetorkan uang pada bank atau perusahaan jasa keuangan
lain sebagai pembayaran kredit untuk mengaburkan audit
trail.
o Menyelundupkan uang dari suatu Negara ke Negara lain.
o Membiayai suatu usaha yang seola-olah sah atau terkait
dengan usaha yang sah berupa kredit/pembiayaan sehingga
mengubah kas menjadi kredit pembiayaan.
o Membeli barang-barang berharga yang bernila tinggi untuk
keperluan pribadi, membelikan hadiah yang nilainya mahal
sebagai penghargaan atau hadiah kepada pihak lain yang
pmbayarannya dilakukan melalui bank atau perusahaan jasa
keuangan lain.
2. Tahap Pelapisan atau Layering
Tahap Layering merupakan upaya untuk mengurangi jejak asal uang
tersebut atau cirri-siri asli dari uang hasil kejahatan tersebut atau nama
pemilik uang hasil tindak pidana, dengan melibatkan tempat-tempat atau
bank di Negara-negara dimana kerahasiaan bank akan menyulitkan
pelacakan jejak uang. Tindakan ini dapat berupa transfer dana ke Negara
lain dalam bentuk mata uang asing, pembelian property, pembelian
saham pada bursa efek menggunakan deposit di bank A untuk meminjam
uang di bank B dan sebagainya.19
Layering (pelapisan) adalah suatu proses pemindahan dana dari
beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil upaya placement ke
tempat lainnya melalui serangkaian transaksi yang kompleks yang
didesain untuk menyamarkan/mengelabui sumber uang haram tersebut,
misalnya bearer bonds, forex market, stocks. Disamping cara tersebut,
langkah lain yang digunakan adalah dengan menciptakan sebanyak
mungkin account dari perusahaan fiktif/semu dengan memanfaatkan
aspek kerahasiaan bank dan keistimewaan hubungan antara nasabah
bank dengan pengacara. Upaya ini dilakukan untuk menghilangkan jejak
atau usaha audit sehingga seolah-olah merupakan transaksi finansial
yang legal.20
3. Tahap Penggabungan atau Tahap Integration
Tahap Integration merupakan tahap pengumpulan dan menyatukan
kembali uang hasil kejahatan yang telah melalui tahap pelapisan dalam
suatu proses arus keuangan yang sah. Pada tahap ini uang hasil kejahatan
18

Adrian Sutedi ,S.H.,MH, HUKUM PERBANKAN: Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger,
Likuidasi, Dan Kepailitan, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, h. 24.
19
Santoso, T., Chandra, R., Sinaga, A.C., muhajir, M. dan Mardiah, s., PANDUAN
INVESTIGASI DAN PENUNTUTAN DENGAN PENDEKATAN HUKUM TERPADU, Bogor: Cifor,
2011, h. 45.
20
Op.cit.,h.19

benar-benar telah bersih dan sulit dikenali hasil tindak pidana, dan muncul
kembali sebagai asset investasi yang tampaknya legal.21
Integration (penggabungan) adalah proses pengalihan uang yang
diputihkan hasil kegiatan placement maupun layering ke dalam aktivitasaktivitas atau performa bisnis yang resmi tanpa ada hubungan/links ke
dalam bisnis haram sebelumnya. Pada tahap ini uang haram yang telah
diputihkan dimasukkan kembali ke dalam sirkulasi dalam bentuk yang
sesuai dengan aturan hukum, dan telah berubah menjadi legal. Ada
tulisan yang menyebutkan bahwa cara tersebut juga disebut spin dry
yang merupakan gabungan antara repatriation dan integration. 22
Tindak pencucian uang ini, ditolak oleh pemerintah maupun
masyarakat dengan beberapa alasan berikut yang berdampak buruk
kepada seluruh elemen ekonomi suatu negara, yaitu :
Melemahkan sektor swasta yang sah
Pencucian uang dapat mendirikan perusahaan topeng yang
bergerak dalam kegiatan bisnis. Misalnya di Amerika serikat
,misalnya kejahan terorganisasi menggunakan kedai-kedai pissa
untuk menopengi hasil penyelundupan heroin dan kedai pizza
tersebut menjual pissa dengan haraga murah yang membuat
pengusaha pissa dan perusahaan lainnya yang bersih akan akan
kalah saing. Bila keadaan ini bertahan lama perusahaaan yang sah
tidak bertahan lama dan kejahatan akan semakin sulit diberantas.23
Merusak intregitas Pasar keuangan
Jika pencucian uang hasil kejahatan masuk kedalam ranah negara
(yang biasanya masuk dalam jumlah besar maka hampir dipastikan
akan menimbulkan likuiditas .Institusi keuangan yang menerima
hasil kejahatan memiliki tantangan tambahan dalam mengelola aset
,liabilitas dan operasi mereka .Contoh sejumlah besar uang hasil
kejahatan yang telah dicuci mungkin ada di institusi keuangan
,tetapi menghilang tiba-tiba tanpa pemberitahuan ,melalui transfer
elektronek sebagai respons terhadap faktor non pasar mseperti
penegakan hukum .Hal ini dapat berdampak pada bank itu sendiri
yag menimbulkan masalah likuiditas .Penarikan uang yang telah
dicuci menyebabkan krisis likuiditas dan kegaglan bannk ,karena
bank mengelola sebagian besar hasil kejahatan .Hal ini akan
menimbulakan krisis keuangan dan bank akan tutup sperti Europa
Bank union.24
C. Berisiko Pada Reputasi Negara

21

Ibid ,h.46
Op.cit., h.21
23
Ivan Yustiavandana ,Arman Nefi , dan Adiwarman, TINDAK PIDANA PENCUCIAN DI
PASAR MODAL, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010, h. 14.
24
Ibid, h.15
22

Pencucian uang dapat merudsak reputasi negara .Tidak stu negara


pun di dunia ,terlebih di era global saat ini ,yang bersedia
kehilangan reputasinya akibat pencucian uang. Kepercayaan pasar
akan terkikis karena kegiatan jahat tersebut . Kemudian negara
akan kehilangan kexempatan yang sah untuk memperoleh
keuntungan dari industri keuangannya.25
D. Menimbulakan Biaya Sosial
Pencucian uang merupakan proses yang paling penting dalam
organisasi sehingga dapat melaksanakan kejahatan mereka
.Pencucian uang memungkinkan para penjua dan pengedar narkoba
,penyelundup dan lainnya akan memperluas kegiatannya .Hal ini
dapat berakibat pada pemberantasan
kejahatan tersebut
/penanganan dan penegakan hukum .Pencucian uang bisa-bisa
memindahkan ekonomi pasar ,pemerintah ,dan warga negar kepada
para penjahat .Tidak mustahil ,bila terus menerus meluas ,dalam
kasus
ekstrim
hal
ini
dapat
mengakibatkan
terjadinya
pengambilalihan kekuasaan pemerintah yang sah .26
III.

KETERKAITAN
ASAS
LEGALITAS
PIDANA PENCUCIAN UANG

TERHADAP

TINDAK

Bab ini merupakan yang terpenting dari isi makalah secara


keseluruhan. Asas pilar hukum pidana yaitu asas legalitas, dapat menjadi
momentum penting bagi suatu tindak pidana pencucian uang (money
loundry). Sebab, asas ini memberikan pengertian mendasar jika suatu
kasus terjadi. Hal tersebut diuraikan dalam bunyi Pasal 1 KUHP yang isinya
tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan
pidana dalam perundang- undangan yang telah ada sebelum perbuatan
dilakukan. Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan perundangundangan, dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa.27
Berdasarkan rumusan Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut secara tegas
ditunjuk perbuatan mana yang dapat berakibat pidana; tentu saja bukan
perbuatannya yang dipidana, tetapi orang yang melakukan perbuatan itu,
yaitu :28
1. Perbuatan itu harus ditentukan oleh perundang- undangan pidana
sebagai perbuatan yang pelakunya dapat dijatuhi pidana.
2. Perundang- undangan pidana itu harus sudah ada sebelum
perbuatan itu dilakukan.
Dengan kata lain tidak boleh terjadi suatu perbuatan yang semula
belum diterapkan bahwa pelakunya dapat dipidana, karena dirasakan oleh
25

Ibid, h.20
Ibid, h.31
27
Prof.Dr.Teguh Prasetyo, S.H, M.Si, HUKUM PIDANA, Jakarta : Raja Grafindo Persada,
2011, h.37
28
Ibid, h.38
26

penguasa sangat merugikan, lalu dibuatkan peraturan dan pelakunya


dapat dijerat dengan peraturan tersebut, walaupun perbuatannya telah
lewat, atau boleh dikatakan bahwa perundang- undangan pidana tidak
boleh berlaku surut.
Dari kesimpulan diatas, sebelum kita melihat dengan jelas siapa
pelaku, dan apa tindak pidana yang dilakukan pelaku. Hukuman pidana
tidak berlaku sebelum adanya ketetapan ataupun kejelasan dalam majelis
hakim yang menetapkan bahwa memang pelaku itu bersalah dan telah
melakukan tindak pidana. Begitu juga dengan tindak pencucian uang. Jika
belum jelas siapa akar pelaku yang memulai, juga belum ada konektivitas
yang jelas tentang suatu agenda pencucian uang, serta belum ada bukti
nyata tentang tindak pidana pencucian uang tersebut, maka embelembel hukuman belum boleh diberikan kepada yang terkait.
Undang-Undang Pencucian Uang
Penanganan tindak pidana pencucian uang di Indonesia yang dimulai
sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak
Pidana Pencucian uang sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 25 tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian uang, telah
menunjukkan arah positif. Hal itu, tercermin dari meningkatnya kesadaran
dari pelaksana Undang-Undang tentang tindak Pidana Pencucian Uang,
seperti penyedia jasa keuangan dalam melaksanakan kewajiban
pelaporan, lembaga Pegawas dan Pengatur dalam pembuatan peraturan,
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam kegiatan
analisis, dan penegak hukum dalam menindaklanjuti hasil analisis hingga
penjatuhan sanksi pidana dan/atau sanksi administrative (UU No. 8 Tahun
2010).29
Di dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tersebut pencucian uang
dibedakan dalam tiga tindak pidana:
A.

Pertama
Tindak pidana pencucian uang aktif, yaitu Setiap Orang yang
menempatkan,
mentransfer,
mengalihkan,
membelanjakan,
menbayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri,
mengubah bentuk, menukarkan dengan uang uang atau surat berharga
atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal
usul Harta Kekayaan. (Pasal 3 UU RI No. 8 Tahun 2010).30

29

Santoso, T., Chandra, R., Sinaga, A.C., muhajir, M. dan Mardiah, s., PANDUAN
INVESTIGASI DAN PENUNTUTAN DENGAN PENDEKATAN HUKUM TERPADU, Bogor: Cifor,
2011, h. 48.
30
Undang-Undang No.8 tahun 2010

Berdasarkan UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana


Pencucian uang, perbbuatan pencucian uang dapat dikelompokkan
menjadi aktif dan pasif (Husein 2010). Tindak pidana pencucian uang
yang aktif melibatkan orang yang sengaja melakukan pencucian uang
sebagaimana diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 4 yaitu:
Pasal 3
Setiap orang yang menempatkan, mentranfer, mengalihkan,
membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke
luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat
berharga atau perbuatan lain atas Harta kekayaan yang diketahui atau
perlu diduganya merupakan hasil tindak pidana.
Pasal 4
Setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul,
sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang
sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana.
Berdasarkan Pasal 1 angka 13 UU Pencegahan Pemberantasan Tindak
Pidana pencucian uang, yang dimaksud dengan harta kekayaan adalah
semua benda bergerak maupun benda tidak bergerak, baik berwujud
maupun tidak berwujud, yang diperoleh baik secara langsung maupun
tidak langsung.31
B.

Kedua
Tindak pidana pencucian uang pasif yang dikenakan kepada setiap
Orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan,
pembayaran,
hibah,
sumbangan,
penitipan,
penukaran,
atau
menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1). Hal tersebut dianggap juga sama dengan melakukan pencucian uang.
Namun, dikecualikan bagi Pihak Pelapor yang melaksanakan kewajiban
pelaporan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. (Pasal 5 UU RI
No. 8 Tahun 2010).32
Berdasarkan Pasal 5 pelaku tindak pidana pasis adalah setiap orang
yang menerima atau menguasai harta kekayaan yang diketahui atau
patut diduga merupakan hasil tindak pidana melalui: a. Penempatan, b.
Pentransferan, c. Pembayaran, d. Hibah, e. Sumbangan, f. penitipan, g.
Penukaran atau h. Menggunakan harta kekayaan.
Unsure obyektif dalam Pasal 5 di atas adalah perbuatan penempatan,
pentranferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran,
atau menggunakan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana. Sedangkan unsure subyektifnya adalah
mengetahui, atau patut diduga, bahwa harta kekayaan yang didapat
merupakan hasil tindak pidana.33

31
32
33

Op.cit.,h.51
Undang-Undang No.8 tahun 2010
Op.cit.,h.51

C.

Ketiga
Dalam Pasal 4 UU RI No. 8/2010, dikenakan pula bagi mereka yang
menikmati hasil tindak pidana pencucian uang yang dikenakan kepada
setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul,
sumber lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang
sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1). Hal ini pun dianggap sama dengan melakukan pencucian uang.34
Sanksi Tindak Pidana Pencucian Uang
Mengenai sanksi terhadap orang yang telah melakukan pencucian
uang telah diatur sedemikian rupa dalam UU TPPU .Seperti halnya dalam
Pasal 3 dalam UU TPPU Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer
mengalihkan,
membelanjakan,
membayarkan,
menghibahkan,
menitipkan,membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan
dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta
Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan
tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan
dapat dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana
penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).35
Dengan demikian, disinilah peran Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK) sebagai lembaga independen yang dibentuk
dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana Pencucian Uang
dengan cara menyediakan informasi inteligen yang dihasilkan dari analisis
terhadap laporan-laporan yang disampaikan kepada PPATK.
Selanjutnya menurut Pasal 140 ayat (1) KUHAP, dalam hal penuntut
umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan
penuntutan, dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan. Jika
menurut pertimbangan penuntut umum suatu perkara tidak terdapat
cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak
pidana, dan perkara ditutup demi hukum maka penuntut umum dapat
memutuskan untuk menghentikan penuntutan melalui surat ketetapan
yang diatur dalam Pasal 140 ayat (2) a KUHAP.
Pada penuntutan, dikenal 2 asas yaitu :
1. Asas Legalitas, yaitu asas yang mewajibkan kepada penuntut umum
untuk melakukan penuntutan terhadap seseorang yang melanggar
peraturan hukum pidana. Asas ini merupakan penjelmaan dari asas
equality before the Law.
34

Undang-Undang No.8 tahun 2010


Adrian Sutedi ,S.H.,M.H. Hukum Perbankan Suatu Tinjauan Pencucian Uang,
Merger,Likuidasi ,dan Kepailitan Jakarta :Sinar Grafika ,2007, h.22
35

2. Asas Oportunitas, yaitu asas yang memberikan wewenang kepada


penuntut umum untuk tidak melakukan penuntutan terhadap
seseorang yang melanggar peraturan hukum pidana denga jalan
mengesampingkan perkara yang sudah ada terang pembuktiannya
untuk kepentingan umum.

Anda mungkin juga menyukai