DISUSUN OLEH :
Edy Sanjaya, S.H., M.Hum
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TUJUH BELAS AGUSTUS SEMARANG
TAHUN 2011
Pada asasnya, terminologi hukum adat berasal dari kata adatrecht dipergunakan
Snouck Hurgronye dan dipakai sebagai terminologi teknis yuridis oleh van Vollenhoven.
Kemudian, terminologi hukum adat Zaman Hindia Belanda diatur ketentuan Pasal 11
Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia (AB) dengan terminologi
godsdientige wetten, volksinstelingen en gebruiken, ketentuan Pasal 75 ayat 3 Reglement
op het Beleid der Regeling van Nederlands Indie (RR) dengan terminologi Instellingen en
gebruiken des volks, berikutnya menurut ketentuan Pasal 128 Wet op de Staatsinrichting
van Nederlandsch Indie atau Indische Saatsregeling (IS) dipergunakan terminologi
godsdientige wetten en oude herkomsten dan berdasarkan ketentuan Stb. 1929 Nomor 221
jo Nomor 487 terakhir dipergunakan terminologi adatrecht.
Dikaji dari perspektif peraturan perundang-undangan Indonesia saat ini (ius
constitutum) terminologi hukum adat dikenal dengan istilah, hukum yang hidup dalam
masyarakat, living law, nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat, hukum tidak tertulis, hukum kebiasaan, hukum Indonesia asli, dan
lain sebagainya. Selain itu, terminologi hukum adat beserta masyarakat adatnya
mempunyai korelasi erat, integral dan bahkan tak terpisahkan yang lazim diungkapkan
4
dalam bentuk petatah petatih. Sebagai contoh, misalnya dalam masyarakat Aceh dikenal
dengan ungkapan matee anek mepat jerat matee adat phat tamita yang diartikan kalau
anak mati masih dapat dilihat pusaranya, akan tetapi kalau adat dihilangkan/mati, maka
1
Berdasarkan kesimpulan Hasil Seminar Hukum Adat dan Pembangunan Hukum Nasional pada
tahun 1976 yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) maka Hukum Adat
diartikan sebagai, hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik
Indonesia yang disana-sini mengandung unsur agama.
2
Mohd. Din, Aspek Hukum Eksistensi Hukum Pidana Adat di Indonesia, Makalah Penelitian
Eksistensi Hukum Pidana Adat di Indonesia: Pengkajian Asas, Teori, Norma, Praktik dan Prosedurnya di
Banda Aceh, tanggal 27-29 Juni 2010, hlm. 5
akan sulit dicari. Ungkapan lainnya, berupa murip i kanung edet, mate i kanung bumi
yang berarti bahwa keharusan mengikuti aturan adat sama dengan keharusan ketika mati
harus masuk ke perut bumi.
Eksistensi berlakunya hukum adat selain dikenal dalam instrumen hukum nasional
juga diatur instrumen Internasional. Ketentuan Pasal 15 ayat (2) International Covenant on
Civil and Political Rights (ICCPR) menyebutkan bahwa, Nothing in this article shall
prejudice the trial and punishment of any person for any act or omission which, at the time
when it was committed, was criminal according to the general principles of law recognized
by the community of nations. Kemudian rekomendasi dari Konggres Perserikatan BangsaBangsa (PBB) tentang The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders dinyatakan
bahwa sistem hukum pidana yang selama ini ada di beberapa negara (terutama yang
berasal/diimpor dari hukum asing semasa zaman kolonial), pada umumnya bersifat obsolete
and unjust (telah usang dan tidak adil) serta outmoded and unreal
(sudah ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan kenyataan). Alasannya karena sistem
hukum di beberapa negara tidak berakar pada nilai-nilai budaya dan bahkan ada
diskrepansi dengan aspirasi masyarakat, serta tidak responsif terhadap kebutuhan sosial
masa kini. Kondisi demikian oleh Konggres PBB dinyatakan sebagai faktor kontribusi
untuk terjadinya kejahatan.
Ruang lingkup dan dimensi hukum adat sebagaimana konteks di atas teramat luas
dimana diatur dalam instrumen hukum, baik instrumen Nasional dan Internasional. Selain itu,
dikaji dari dimensi substansinya hukum adat dapat terbagi menjadi hukum perdata adat,
hukum tata negara adat, hukum pidana adat (delichtentrecht) dan lain sebagainya.
Terminologi hukum pidana adat, delik adat, hukum pelanggaran adat atau hukum adat
5
pidana cikal bakal sebenarnya berasal dari hukum adat. Apabila dikaji dari perspektif
sumbernya, hukum pidana/perdata adat juga bersumber baik sumber tertulis dan tidak tertulis.
Tegasnya, sumber tidak tertulis dapat merupakan kebiasaan-kebiasaan yang timbul, diikuti
dan ditaati secara terus menerus dan turun temurun oleh masyarakat adat
3
Lilik Mulyadi, Makalah Penelitian Eksistensi Hukum Pidana Adat di Indonesia: Pengkajian
Asas, Teori, Norma, Praktik dan Prosedurnya, untuk wilayah Pengadilan Tinggi Banda Aceh, Medan,
Denpasar, Mataram dan Banjarmasin, bulan Juni-Juli 2010, hlm. 2 dan Laporan Penelitian yang diterbitkan
oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Peradilan Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2010, hlm. 4 serta hasil
penelitian dari para respondent pada 5 (lima) Pengadilan Tinggi dalam 4 (empat) lingkungan peradilan
menentukan istilah Hukum Pidana Adat untuk PT Banda Aceh sebanyak 68%, PT Mataram (90%), PT
Medan (72%), PT Denpasar (55%), PT Banjarmasin (80%), Delik Adat untuk PT Banda Aceh (24%), PT
Mataram (0%), PT Medan (20%), PT Denpasar (10%), PT Banjarmasin (16%), Hukum Adat Pidana untuk
PT Banda Aceh (4%), PT Mataram dan PT Medan (0%), PT Denpasar (3%), PT Banjarmasin (8%) dan
Hukum Pelanggaran Adat untuk PT Banda Aceh (20%), PT Mataram (10%), PT Medan (4%), PT Denpasar
(31%) dan PT Banjarmasin (16%).
bersangkutan. Untuk sumber tertulis misalnya dapat dilihat dalam Kitab Ciwasasana atau
Purwadhigama pada masa Raja Dharmawangsa pada abad ke-10, Kitab Gajahmada,
Kitab Simbur Cahaya di Palembang, Kitab Kuntara Raja Niti di Lampung, Kitab Lontara
ade di Sulawesi Selatan, Kitab Adi Agama, Kitab Manawa Dharma Sastra, Awig-Awig
di Bali dan semua peraturan-peraturan yang dituliskan seperti di atas daun lontar, kulit
atau bahan lainnya dan sebagainya.
Akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu, perubahan dan dinamika
masyarakat yang teramat kompleks di satu sisi sedangkan di sisi lainnya terhadap regulasi
6
ternyata eksistensi hukum pidana/perdata adat beserta peradilan adat tersebut dapat
dikatakan antara ada dan tiada. Ada 5 (lima) argumentasi yang patut dikemukakan
dalam konteks ini mengapa diasumsikan eksistensinya demikian.
Pertama, dikaji dari dimensi asas legalitas formal dan asas legalitas materiil.
Pada dasarnya asas legalitas lazim disebut dengan terminologi principle of legality,
legaliteitbeginsel, non-retroaktif, de la legalite atau ex post facto laws.
Ketentuan asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP menentukan: Tiada suatu
peristiwa dapat dipidana selain dari kekuatan ketentuan undang-undang pidana yang
mendahuluinya. (Geen feit is strafbaar dan uit kracht van een daaran voorafgegane
wetteljke strafbepaling). Apabila dipadankan asas legalitas formal dan materiil hendaknya
diatur dalam peraturan perundang-undangan dan diimplementasikan secara integral. Pada
asas legalitas dasar patut dipidana suatu perbuatan adalah undang-undang yang sudah ada
sebelum perbuatan tersebut dilakukan. Kemudian asas legalitas materiel menentukan
bahwa dasar patut dipidana suatu perbuatan adalah hukum yang hidup dalam masyarakat
yaitu hukum tidak tertulis atau hukum adat.
Konklusi dasar dari apa yang diterangkan di atas menyebutkan asas legalitas
sebagaimana ketentuan Pasal 1 KUHP memang merupakan salah satu asas fundamental
yang harus tetap dipertahankan, namun penggunaan harus dengan bijaksana dan hati-hati,
karena kalau kurang bijaksana dan kurang hati-hati, justru dapat menjadi bumerang.
Sungguh sangat tragis dan menyayat hati apabila dengan dalih Pasal 1 KUHP, nilai-nilai
hukum yang ada dan hidup dalam masyarakat tidak dapat tersalur dengan baik atau
bahkan ditolak sama sekali. Dikatakan tragis dan menyayat hati karena berarti nilai-nilai
hukum adat/hukum yang hidup di dalam masyarakat telah dibunuh/dimatikan oleh
bangsanya sendiri lewat senjata/peluru/pisau yang diperoleh dari bekas penjajah (yaitu
lewat Pasal 1 KUHP/WvS).
Kedua, dikaji dari perspektif UU Nomor 1 dart Tahun 1951 dimana eksistensinya
Pengadilan Adat mulai tidak diakui dan dihapuskan yang berlanjut setelah dikodefikasikan
Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU Nomor 14 Tahun 1970), yang kemudian
dirubah dengan UU Nomor 35 Tahun 1999, jis UU Nomor 4 Tahun 2004, UU Nomor 48
Tahun 2009) tidak dikenal lagi eksistensi Pengadilan Adat. Pada ketentuan Pasal 1 ayat (2)
UU drt 1 Tahun 1951 disebutkan bahwa, Pada saat yang berangsur-angsur akan ditentuan
oleh Menteri Kehakiman dihapuskan...segala Pengadilan Adat (Inheemse
6
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana (Menyongsong
Generasi Baru Hukum Pidana Indonesia), Pidana Pengukuhan Guru Besar, Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro, Semarang, 1994, hlm. 25
7
Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat, Alumni, Bandung, 1979, hlm. 298
pertimbangan
penghapusan peradilan adat karena peradilan adat tidak memenuhi persyaratan sebagai
alat perlengkapan pengadilan sebagaimana yang dikehendaki oleh UUDS dan tidak
dikehendaki rakyat.
Akan tetapi, penghapusan peradilan adat dalam konteks di atas, hakikatnya tidak
menghapuskan jenis peradilan adat dalam bentuk lain yaitu peradilan desa (dorpjustitie).
Aspek dan dimensi ini bertitik tolak sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (3) UU drt 1
Tahun 1951 yang menegaskan bahwa, Ketentuan yang tersebut dalam ayat (1) tidak
sedikitpun juga mengurangi hak kekuasaan yang sampai selama ini telah diberikan
kepada hakim-hakim perdamaian di desa-desa sebagaimana dimaksud dalam pasal 3a
Rechterlijke Organisatie. Konklusi dasar konteks di atas, tersirat dan tersurat
menentukan peradilan adat yang dihapuskan berdasarkan undang-undang darurat adalah
peradilan adat dalam arti inheemsche rechtspraak, sedangkan kewenangan peradilan adat
yang dilakukan oleh kepala-kepala kesatuan masyarakat hukum adat yaitu peradilan desa
(dorpjustitie) tetap dilanjutkan.
Padahal sebelumnya, pada zaman Hindia Belanda Peradilan Adat dikenal dalam
dua bentuk yaitu Peradilan Pribumi atau Peradilan Adat (Inheemsche rechtspraak) dan
Peradilan Desa (Dorpjustitie). Kemudian dimensi ini berlanjut pada zaman pendudukan
Jepang peradilan adat tetap diakui dan berlangsung, walaupun UU Nomor 14 Tahun 1942
(dirubah dengan UU Nomor 34 Tahun 1942), telah menyederhanakan sistem peradilan
dimana perbedaan peradilan gubernemen dan peradilan untuk orang pribumi telah
dihapuskan. Sudikno Mertokusumo menyebutkan bahwa di Sumatra peradilan adat
dengan tegas dinyatakan tetap berlaku dan dipertahankan berdasarkan Pasal 1 undangundang tentang Peraturan Hakim dan Mahkamah (Sjihososjiki-rei) yang dimuat dalam
Tomi-seirei-otsu No. 40 tanggal 1 Desember 1943.
10
Ketiga, Dikaji dari perspektif yuridis, teoretis, sosiologis dan filosofis implisit dan
eksplisit eksistensi Peradilan Adat harus diakui. Aspek dan dimensi ini ini bertitik tolak
kepada ketentuan Pasal 18B ayat (2), Pasal 28I ayat (3) dan Pasal 24 ayat (3) UUD NKRI
1945, Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001, UU Nomor 17 Tahun 2007 dan Keputusan
10
11
diatur, diakui dan dihormatinya eksistensi kesatuan masyarakat adat beserta hak-hak
tradisionalnya. Kemudian, adanya penghormatan terhadap identitas budaya, keragaman
budaya bangsa dan hak masyarakat tradisional sebagai bagian dari hak asasi manusia
sehingga selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Berikutnya, diakuinya
eksistensi tentang badan-badan peradilan sebagai bagian kekuasaan kehakiman yang
diatur dalam undang-undang.
Selain itu, dimensi ketentuan tersebut dikaji dari perspektif yuridis, berarti secara
konstitusional politik hukum mengakui hak-hak tradisional kesatuan masyarakat hukum adat
in casu peradilan adat. Perspektif filosofis, adanya penghormatan, pengakuan dan eksistensi
nilai-nilai kemanusiaan dan hak asasi manusia oleh negara termasuk juga hak dalam hal
melaksanakan peradilan yang kemudian harus dijabarkan dalam politik hukum kekuasaan
kehakiman Indonesia. Perspektif sosiologis, peradilan adat sebagai bagian hak tradisional
kesatuan masyarakat hukum adat dalam kenyataannya masih hidup dalam masyarakat. Fakta
sosiologis ternyata relatif tidak mendapat pengakuan dalam politik hukum kekuasaan
kehakiman. Perspektif teoretis, adanya penghormatan, pengakuan dan eksistensi hak-hak
tradisional kesatuan masyarakat hukum adat hendaknya harus ditindaklanjuti oleh negara
dengan peraturan perundang-undangan bersifat nasional. Konsekuensi logis dimensi ini
berarti pengakuan hak-hak tradisional masyarakat hukum adat dalam UUD NKRI 1945,
seharusnya eksistensi peradilan adat juga imperatif diakui dalam undang-undang. Tetapi
realitanya, ternyata sampai kini belum ada undang-undang berlaku secara nasional yang
memberikan pengakuan terhadap eksistensi peradilan adat.
11
Pasal 18B ayat (2) berbunyi, Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undangundang, Pasal 28I ayat (3) berbunyi, Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras
dengan perkembangan zaman dan peradaban, Pasal 24 ayat (3) berbunyi, Badan-badan lain yang
fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang. Ketetapan MPR Nomor
IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, ditentukan bahwa
pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam harus dilaksanakan sesuai dengan prinsipprinsip, antara lain: 1. Menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi keanekaragaman dalam
unifikasi hukum; 2. Mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman
budaya bangsa atas sumber daya agrarian/sumber daya alam. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007
tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 (RP JPN 2005-2025), yakni: 1.
Arah pembangunan hukum harus memerhatikan kemajemukan tatanan hukum yang berlaku; dan 2.
Pengakuan terhadap hak-hak adat dan ulayat atas sumber daya alam. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun
2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah Nasional 2004-2009 (RP JMN 20042009), yakni: 1. Penghormatan dan penguatan kearifan lokal dan hukum adat dalam rangka mewujudkan
tertib perundang-undangan; dan 2. Peningkatan kapasitas kelembagaan pengelolaan sumber daya alam dan
lingkungan hidup di pusat dan daerah termasuk lembaga masyarakat adat.
Keempat, dalam tataran kebijakan legislasi yang bersifat lokal eksistensi Peradilan
Adat tetap diakui. Pada masa kini, justru peradilan adat diakui dalam Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua dan untuk daerah Aceh
Nangroe Darussalam sebagaimana UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
eksistensi Pengadilan Adat masih diterapkan dan dikenal dengan istilah Peradilan Adat
Gampong atau Peradilan Damai.
12
Berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 2006 di Aceh penjabarannya dibuat ketentuan perundanganundangan dalam bentuk Qanun yang berhubungan dengan hukum adat seperti Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008
tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat, Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat.
Kemudian selain dibuat Qanun Aceh (Qanun tingkat Propinsi) terdapat juga Qanu-Qanun tingkat Kabupaten/Kota
antara lain di dalam Qanun Kabupaten Aceh Tengah Nomor 10 Tahun 2002 tentang Hukum Adat Gayo. Di Aceh,
pengadilan adat yang dikenal dengan istilah Pengadilan Gampong atau Pengadilan Damai juga
diimplementasikan dalam Keputusan Bersama seperti di Kabupaten Aceh Tengah adanya Keputusan Bersama
antara Bupati, Ketua DPRK dan Ketua M AA Kabupaten Aceh Tengah No. 373 Tahun 2008, No 320/DPRK/2008,
No.Pol B/810/2008 Res Aceh Tengah dan No. 110/M AA/V/2008 yang kemudian juga ditindaklanjuti Keputusan
Bersama Gubernur Aceh, Kepolisian Daerah (Polda) Aceh, dan Ketua M ajelis Adat Aceh (M AA), nomor
189/677/2011, 1054/M AA/XII/2011, dan B/121/I/2012, aparatur gampong (desa) wajib menyelesaikan setiap
kasus tindak pidana ringan (tipiring) yang terjadi di gampong, melalui peradilan adat gampong. Hakikatnya
peradilan adat Gampong berwenang mengadili perkara-perkara
Batas Tanah, Pelanggaran ketentuan adat dalam bersawah dan pertanian lainnya, Kekerasan dalam rumah
tangga yang bukan kategori penganiayaan berat, Perselisihan antar dan dalam keluarga, Pembagian harta
warisan, Wasiat, Fitnah, Perkelahian, Pertunangan dan perkawinan, Pencurian, Ternak (ternak makan
tanaman dan pelepasan ternak di jalan sehingga dapat mengganggu kelancaran lalu lintas), Kecelakaan
lalu lintas (kecelakaan ringan), dan Ketidakseragaman turun ke sawah. Kemudian perkara di luar
kewenangan peradilan adat Gampong adalah Pembunuhan, Perzinahan, Pemerkosaan, Narkoba, Ganja dan
sejenisnya, Pencurian (berat, kerbau, kendaraan bermotor, dan lain-lain), Subversif, Penghinaan terhadap
pemerintah yang sah (Presiden dan Gubernur), Kecelakaan lalu lintas yang berat (kematian), Penculikan,
Khalwat, dan Perampokan bersenjata.
Negara (Pengadilan Negeri) dengan dakwaan yang sama melanggar hukum adat dan
dijatuhkan pidana penjara menurut ketentuan KUH Pidana (Pasal 5 ayat (3) sub b UU drt
Nomor 1 Tahun 1951) sehingga dalam keadaan demikian pelimpahan berkas perkara
serta tuntutan Kejaksaan di Pengadilan Negeri harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk Verklaard).
Konklusi dasar dari yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut menentukan bahwa
Mahkamah Agung RI sebagai Badan Peradilan Tertinggi di Indonesia tetap menghormati
putusan Kepala Adat (Pemuka Adat) yang memberikan sanksi adat/obat adat terhadap para
pelanggar norma hukum adat. Badan Peradilan Umum tidak dapat dibenarkan mengadili
untuk kedua kalinya pelanggar hukum adat tersebut dengan cara memberikan pidana penjara
(ex Pasal 5 ayat (3) sub b UU dart Nomor 1 tahun 1951 jo pasal-pasal KUH Pidana). Oleh
karena itu, konsekuensi logisnya dapat dikatakan bahwa bila Kepala Adat tidak pernah
memberikan sanksi adat/obat adat terhadap pelanggar hukum adat, maka hakim badan
peradilan negara berwenang penuh mengadilinya berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b
UU dart Nomor 1 tahun 1951 jo pasal-pasal KUH Pidana.
siperempuan dapat dianggap melanggar hukum yang hidup dan melanggar kaidah-kaidah
kepatutan serta suatu perbuatan yang melanggar moral karena perbuatan tersebut tidak
dikualifikasikan sebagai delik oleh KUH Pidana (tidak ada bandingannya). Oleh karena
itu, hakim memutuskan bahwa terdakwa telah melakukan kejahatan melakukan suatu
perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana, tetapi
tiada bandingannya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil.
Kemudian Putusan Pengadilan Negeri Luwuk Nomo r 27/Pid/1983
dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Tinggi Palu Nomo r 6/Pid/1984 tanggal 9 April
1984 dengan dilakukan perbaikan dan penambahan berupa pertimbangan dimana untuk
memenuhi rasa keadilan masyarakat yang mengganggap perbuatan tersebut adalah tindak
pidana maka hakim memutuskan terdakwa telah melakukan kejahatan bersetubuh dengan
seorang wanita di luar nikah. Akan tetapi oleh Mahkamah Agung melalui Putusan
Mahkamah Agung RI Nomo r 666 K/Pid/1984 tanggal 23 Februari 1985 maka
putusan Pengadilan Tinggi tersebut diperbaiki sekedar kualifikasi dimana perbuatan yang
dilakukan oleh terdakwa merupakan suatu perbuatan yang dikategorisasikan sebagai
perbuatan zinah menurut hukum adat.
Pada dasarnya Putusan Mahk amah Agung RI No mor 666 K/Pid/1984 tanggal
23 Februari 1985 tidak menetapkan sanksi adat atas pelanggaran yang dilakukan oleh
terdakwa. Hakim yudex facti (Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi) dan hakim yudex
yuris (Mahkamah Agung RI) langsung menetapkan hukuman bagi terdakwa melalui
sanksi pidana. Tegasnya, dengan kata lain sanksi pidana yang dijatuhkan oleh hakim
bukan merupakan hukuman pengganti.
Terhadap putusan konteks di atas maka H.R. Otje Salman Soemadiningrat
13
menyebutkan sampai sekarang pun masih banyak hakim yang mendasarkan putusannya
pada hukum pidana adat atau mengggap hukum pidana adat masih berlaku. Pertama
bahwa hukum adat tidak mengenal pemisahan secara tegas antara hukum pidana dengan
hukum perdata (privat). Dan diantara keduanya saling berkaitan satu sama lain.
Sehubungan dengan hal tersebut, tidak ada perbedaan prinsip prosedur penyelesaian
perkara-perkara pelanggaran adat. Jika terjadi pelanggaran para fungsionaris hukum
(penguasa/kepala adat) berwenang mengambil tindakan konkret, baik atas inisiatif sendiri
atau berdasarkan pengaduan pihak yang dirugikan.
13
Hal ini semata-mata dilakuka untuk menetapkan hukum (verklaring van recht)
berupa sanksi adat (adatreactie) yang dianggap dapat membetulkan hukum adat yang
dilanggar tersebut. Sanksi adat ini dapat dilakukan oleh si pelanggar dengan cara membayar
ganti rugi, kepada pihak yang terkena akibat pelanggaran tersebut (rechtsherstel), atau
membayar uang adat kepada pihak yang terkena dan/atau masyarakat.
Terakhir, bahwa setiap hukum adat selalu berkaitan atau mengandung unsur budaya
dan keyakinan (magis religius) yang hidup dalam masyakarat. Begitu pula dalam hal
berhubungan kelamin, sesuatu yang karena sifatnya dianggap sakral dan tabu (Pemali: Jawa)
dilakukan oleh orang kecuali bagi mereka yang sudah resmi menjadi suami istri atau dalam
sebuah ikatan rumah tangga. Dalam perspektif yang demikian, berarti setiap hukum yang
hidup dengan tidak mengandung unsur magis religius atau tidak berhubungan dengan unsur
budaya dan keyakinan yang tumbuh dalam masyarakat, bukanlah hukum adat.
11
Bahwa perbuatan pidana adat yang dilakukan oleh terdakwa tersebut tidak ada
bandingannya di dalam KUH Pidana dan oleh karena itu menurut hakim banding
terdakwa harus dipersalahkan melanggar hukum adat berdasarkan ketentuan Pasal
5 ayat (3) sub b UU Dart Nomor 1 Tahun 1951.
Atas Putusan Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara Nomor 32/Pid/B/1987/PT
Sultra tanggal 11 Nopember 1987 tersebut maka terdakwa menyatakan kasasi ke
Mahkamah Agung RI. Kemudian Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1644
K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991 pada pokoknya menyebutkan bahwa Mahkamah
Agung setelah memeriksa perkara ini berpendirian yudex factie dinilai telah salah
menerapkan hukum sehingga putusannya harus dibatalkan dan selanjutnya Mahkamah
Agung RI mengadili sendiri perkara tersebut. Pada hakikatnya pendirian Mahkamah
Agung berdasarkan pertimbangan hukum sebagai berikut:
Bahwa terdakwa yang oleh Kepala Adar harus membayar seekor kerbau dan satu
piece kain kaci karena telah melakukan pelanggaran adat itu adalah merupakan
suatu hukuman adat (sanksi adat). Hukuman mana telah dijalani terdakwa.
Bahwa hukuman adat tersebut adalah sepadan dengan kesalahan terhukum
sehingga menurut ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b UU Drt Nomor 1 Tahun 1951
sehingga terdakwa tidak dapat dijatuhi hukuman pidana lagi oleh pengadilan.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas maka Mahkamah Agung kemudian
membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara dan mengadili sendiri
perkara tersebut dengan menyatakan tuntutan penuntut umum pada kejaksaan negeri
Kendari tidak dapat diterima dan membebankan biaya perkara kepada
negara.
Konklusi dasar dari yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut menentukan bahwa
Mahkamah Agung RI sebagai Badan Peradilan Tertinggi di Indonesia tetap menghormati
putusan Kepala Adat (Pemuka Adat) yang memberikan sanksi adat/obat adat terhadap para
pelanggar norma hukum adat. Badan Peradilan Umum tidak dapat dibenarkan mengadili
untuk kedua kalinya pelanggar hukum adat tersebut dengan cara memberikan pidana penjara
(ex Pasal 5 ayat (3) sub b UU dart Nomor 1 tahun 1951 jo pasal-pasal KUH Pidana). Oleh
karena itu, konsekuensi logisnya dapat dikatakan bahwa bila Kepala Adat tidak pernah
memberikan sanksi adat/obat adat terhadap pelanggar hukum adat, maka hakim badan
peradilan negara berwenang penuh mengadilinya berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b
UU dart Nomor 1 tahun 1951 jo pasal-pasal KUH Pidana.
12
Putusan
14
begitu tepat, karena yang benar adalah Lokika Sanggraha. Berdasarkan ketentuan Pasal
359 Kitab Adiagama, maka Lokika Sanggraha berasal dari bahasa sansekerta, yakni Lokika
berasal dari kata laukika berarti orang umum, orang banyak. Sedangkan Sanggraha berasal
dari kata Samgraha yang berarti pegang (dalam arti luas), sentuh, hubungan. Kemudian
dalam Kamus Jawa-Indonesia, dijelaskan bahwa pengertian Lokika
(I) adalah masyarakat, penduduk, dunia, adat (tata) cara, tuduhan dan dakwaan. Maka
kalau dipergunakan istilah Logika Sanggraha dimana Logika berasal dari Logic, Logis
(bahasa latin) sedangkan Sanggraha dari bahasa Samskerta, maka menurut persepsi saya
dapat dikategorisasikan ke dalam gejala bahasa salah kaprah.
Dimensi Lokika Sanggraha merupakan Delik Adat diatur dalam ketentuan
Pasal 359 Kitab Adiagama, perumusan Delik Adat Lokika Sanggraha adalah:
Malih lokika sanggraha, loewir ipoen, djadma mededemenan, sane mowani
neherang deen ipoen, djening djirih patjang kesisipang, awanan ipoen
ngererehang daja, saoebajan iloeh kesanggoepin ; wastoeraoeh ring
papadoewantoengkas paksana, sane loeh ngakoe kasanggama, sane mowani
nglisang mapaksa ngoetjapang dewek ipoen kaparikosa antoek iloeh, jan
aspoenika patoet tetes terangang pisan, jan djati imowani menemenin wenang
ipoen sisipang danda oetama sahasa 24.000, poenika mawasta Lokia
Sanggraha, oetjaping sastra.
Sedangkan terjemahan bebasnya :
Lagi Lokika Sanggraha yaitu : orang bersanggama, yang peria tidak berlanjut
sukanya, karena takut akan dipersalahkan, makanya mencari daya upaya, janji
si wanita disanggupi, akhirnya sampai di pengadilan, berbeda pengakuannya si
wanita mengaku disenggama, si peria seketika menyatakan malah dirinya yang
14
Lilik Mulyadi, Delik Adat Lokika Sanggraha Di Bali, Majalah Varia Peradilan, Penerbit
IKAHI (Ikatan Hakim Indonesia), Jakarta, Oktober, 1987, hlm. 164
13
diperkosa oleh si wanita. Kalau demikian harus diusut agar jelas, kalau benar si
peria yang berbuat, patut ia dihukum denda ; 24.000,- itu yang disebut Lokika
Sanggraha sesuai bunyi sastra.
Dari ketentuan Pasal 359 Kitab Adiagama dan hasil Rumusan Seminar Delik
Adat Lokika Sanggraha yang diadakan FH Unud tanggal 19 oktober 1985, maka
pengertian secara umum delik Adat Lokika Sanggraha adalah hubungan percintaan
antara pria dan wanita yang kedua-duanya sama-sama tidak berstatus kawin yang telah
melakukan persetubuhan dengan janji kawin, akan tetapi janji tersebut tidak ditepati oleh
satu fihak.
Inti/hakikat yang tercermin melalui perumusan tersebut, ternyata delik adat
Lokika Sanggraha merupakan delik formal karena unsur kehamilan bukanlah merupakan
unsur esensial untuk adanya Delik Adat ini dimana yang penting adalah unsur janji
tidak ditepati oleh si pria. Sedangkan munculnya pelaku Delik Adat Lokika Sanggraha di
pengadilan dikarenakan adanya pengaduan dari pihak wanita dimana si pria mengingkari
janjinya. Dengan demikian Delik Adat ini merupakan delik aduan (Kracht-Delicten).
Pada dasarnya, delik adat Lokika Sanggraha banyak terjadi dalam praktik
peradilan di Bali. Kalau dikaji lebih detail, bagi masyarakat Bali Delik Adat Lokika
Sanggraha merupakan perbuatan pidana yang mengganggu perasaan hukum dan perasaan
keadilan dalam masyarakat adat yakni mengganggu keseimbangan kosmos baik alam
lahir dan alam gaib. Apabila kalau dikorelatifkan ke dalam KUHP ternyata perbuatan
tersebut tidak diatur di dalamnya. Dalam ketentuan Pasal 10 KUHP maka jenis
pemidanaan berupa pemulihan kewajiban adat tidak dikenal di dalamnya. Kalau
seorang pelaku Delik Adat Lokika Sanggraha telah dijatuhi pidana penjara, ternyata bagi
masyarakat adat kuranglah sempurna tanpa diikuti pemulihan kewajiban adat guna
mengembalikan keadaan kosmos yang terganggu. Sehingga bagi masyarakat adat Bali
menghendaki penyelesaian bersifat materiil juga hendaknya diikuti pula penyelesaian
bersifat immateriil serta berorientasi bersifat keagamaan. Penjatuhan pidana dalam
hukum adat Bali bertujuan mengembalikan keseimbangan alam kosmos yakni alam lahir
(sekala) dengan alam gaib (niskala) yang telah terganggu, oleh karena itu aspek
agama Hindu berupa tata upacara keagamaan merupakan hal fundamental di dalamnya.
Sebagai misal dapat disebut bahwa suatu Delik Adat Lokika Sanggraha yang
dilakukan di sebuah tempat suci (Pura), kemudian oleh hakim pelakunya dijatuhi putusan
sesuai Pasal 5 ayat 3 sub b UU Dart. Nomor 1 Tahun 1951 jo Pasal 359 Kitab Adiagama
yakni selama 3 (tiga) bulan penjara. Akan tetapi hal ini tidaklah cukup. Menurut Agama
14
Hindu maka pura merupakan tempat suci dan keramat, sehingga untuk itu pelakunya
selain dijatuhkan putusan penjara tersebut haruslah pula dibebankan kewajiban untuk
mengadakan upacara keagamaan di tempat tersebut sehingga alam kosmos yang
terganggu (sebel), jadi pulih kembali.
Penyelesaian demikian itu menurut pandangan masyarakat Adat Bali erat sekali
hubungan dengan konsepsi Agama Hindu itu sendiri yakni berupa Tri Hita Karana atau Tiga
Hal yang menyebabkan kebahagiaan. Tri Hita Karana itu mempunyai dimensi berupa
Parhyangan (keselarasan hubungan Pencipta dengan manusia sebagai mahluk ciptaannya),
Pawongan (keselarasan hubungan manusia yang satu dengan yang lain) dan Pelemahan
(keselarasan hubungan antara manusia dengan alam sekelilingnya). Hal-hal inilah yang
melandasi mengapa penyelesaian Delik Adat Lokika Sanggraha bagi masyarakat Adat Bali di
samping diinginkan berupa pidana penjara juga ditambah kewajiban adat di dalamnya.
Nomor 3898 K/Pdt/1989 tanggal 19 November 1992 . Pada tingkat Pengadilan Negeri
(Putusan Pengadilan Negeri Kefamenanu No. 11/Pdt/G/1988/PN. Kef tanggal 13 Februari
1989) kasus posisi globalnya Edmundus, seorang pria menjalin cinta dengan Matilda, seorang
gadis dari kecamatan Biboki-Timor Timur. Kemudian, akibat janji-janji Edmundus akan
mengawininya maka Matilda bersedia digauli Edmundus, sehingga hamil. Matilda meminta
Edmundus untuk meminangnya, akan tetapi tidak dilakukan. Kemudian Matilda
memberitahukan kehamilannya pada orang tuanya. Orang tua gadis Matilda menghubungi
orang tua Edmundus untuk menyelesaikan secara musyawarah, dengan ikut hadirnya pula
Kepala Desa dan Kepala Kecamatan setempat. Orang tua Edmundus menerima baik saran
dari keluarga Matilda tersebut. Namun pada hari yang sudah ditentukan, keluarga Edmundus
ternyata tidak hadir. Karena merasa malu dan tidak ada tanggapan positif dari keluarga
Edmundus untuk menyelesaikan masalah kehamilan Matilda maka Matilda beserta orang tua
dan seluruh keluarga Matilda mengajukan gugatan kepada Edmundus beserta orang tua dan
seluruh keluarganya di Pengadilan Kefamenanu.
15
Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun IX, No. 95, Penerbit IKAHI (Ikatan Hakim
Indonesia), Agustus, 1993, hlm. 5-31
15
VII ikut bersama-sama bertanggung jawab terhadap perbuatan melanggar Hukum Adat
yang dilakukan Tergugat VII, kemudian seluruh Tergugat (Tergugat I-Tergugat VII)
secara tanggung renteng membayar sanksi adat berupa 10 ekor sapi dan uang Rp.
1.000.000,00 dan tuntutan adat berupa 5 ekor sapi dan uang Rp. 1.000.000,00.
Akan tetapi, Putusan Pengadilan Negeri ini kemudian dibatalkan oleh Pengadilan
Tinggi NTT dan Tim-Tim di Kota Kupang (Putusan PT NTT dan TIM-TIM Nomor
76/Pdt/1989/PT. K, tanggal 27 Juli 1989) dan menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat
diterima karena perbuatan para Tergugat bukan merupakan pelanggaran adat Pualeu
Manleu dan Tam-noni melainkan pelanggaran adat Tatam Fani Benas, yaitu laki-laki
yang tidak bersedia bertanggung jawab atas kehamilan si gadis dalam perbuatannya.
Putusan Pengadilan Tinggi tersebut dilakukan upaya hukum kasasi oleh Para
Penggugat. Kemudian Mahkamah Agung melalui Putusan Mahkamah Agung RI Nomor
3898 K/Pdt/1989 tanggal 19 November 1992, membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi
karena dipandang yudex facti telah salah menerapkan hukum, dikarenakan:
Sebagai ganjaran (sanksi adat/obat adat) atas perbuatan pria yang telah
merenggut perawan si gadis sebelum pernikahan tiba, dan kemudian
meninggalkan si gadis tanpa alasan, maka akan dikenakan sanksi adat
yang bersifat pemulihan keseimbangan, yang merupakan rehabilitasi nama
baik si wanita (Pualeu Manleu). Sedangkan Tata m fani benas pihak
pelaku kejahatan adat (pria) wajib menyerahkan ganti rugi kepada orang
tua si gadis, hal ini tidak dapat dipertukarkan dengan tuntutan adat Pualeu
Manleu.
Hakikat dan abstrak hukum Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 3898
K/Pdt/1989 tanggal 19 November 1992 ditentukan dalam menghadapi kasus gugatan
perdata yang fundamentum petendi dan petitumnya berdasarkan pada pelanggaran
Hukum Adat dan penegakan sanksi adat/obat adat, bila dalam persidangan Penggugat
dapat membuktikan dalil gugatannya, maka hakim dalam memutus perkara tersebut harus
16
Hukum Adat Pualeu Manleu di Timor Timur, merupakan adat dimana ditentukan besarnya
belis (sanksi adat/obat adat) yang harus dibayar oleh keluarga pria kepada keluarga wanita. Hukum Adat
Tam-noni adalah merupakan adat yang menentukan besarnya belis yang harus dibayar oleh seorang pria
yang telah kawin bila ingin keluar dari lingkungan keluarga si perempuan (istrinya) maka suami ini harus
membayar belis berupa seorang anak hasil perkawinannya dan lima ekor sapi dan sejumlah uang.
16
menerapkan Hukum Adat yang masih berlaku di daerah bersangkutan setelah mendengar
Tetua Adat stempat. Selain itu, pelanggaran kasus pelanggaran Hukum Adat, di samping
melalui gugatan perdata, dapat pula ditempuh melalui tuntutan pidana sebagaimana
ketentuan Pasal 5 ayat 3 sub b Undang-Undang Nomor 1/drt/1951.
17
global kasus
ini (Putusan
Pengadilan
Negeri Mataram
No.
Mahkamah Agung RI, Penemuan Masalah Hukum dan Pemecahan Masalah Hukum Reader III
Jilid I, Tim Pengkajian Hukum M ahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta, 1991, hlm. 647-656
17
malu karena masyarakat telah mengetahui bahwa perkawinan Penggugat dan Tergugat
adalah perkawinan yang tidak sah karena tidak nikah. Selain itu, selama menjalani hidup
bersama tersebut, uang yang dikeluarkan Penggugat untuk membiayai Penggugat dan
Tergugat dalam penghidupannya serta biaya orang tua dan anak Tergugat keseluruhannya
berjumlah Rp. 1.465.160, (satu juta empat ratus enam puluh lima ribu seratus enam puluh
rupiah) dan ganti rugi sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah).
Putusan Pengadilan Negeri Mataram No. 073/PN.MTR/PDT/1983 tanggal 1
Maret 1984 maka gugatan Penggugat dikabulkan sebagian oleh karena Tergugat telah
melakukan tidak menepati janji untuk menikahi Penggugat dan menghukum Tergugat
untuk membayar ganti rugi kepada Penggugat sebagai pemulihan nama baik Penggugat
sejumlah Rp. 2.5000.000, (dua juta lima ratus ribu rupiah).
Atas putusan ini, maka Tergugat melakukan upaya hukum banding. Kemudian,
Pengadilan Tinggi Nusa Tenggara Barat melalui Putusan Nomor: 65/PDT/1984/PT.NTB
tanggal 26 Juli 1984 membatalkan putusan Pengadilan Negeri Mataram dengan dasar
pertimbangan, bahwa tindakan Penggugat Terbanding mengambil keputusan untuk
hidup bersama dengan Tergugat Pembanding serta tinggal di rumah Tergugat
Pembanding dengan resiko tidak jadi nikah adalah tanggungan Penggugat Terbanding
sendiri serta tidak dapat dibebankan kepada Tergugat Pembanding.
Putusan Pengadilan Tinggi ini kemudian dilakukan upaya hukum kasasi.
Putusan Mahkamah Agung RI Reg. No. 3191 K/Pdt/1984 tanggal 8 Februari 1989
kemudian membatalkan putusan yudex facti karena salah menerapkan hukum dengan
alasan sebagai berikut:
Bahwa dari keterangan saksi I Drs. Nanang Muhamad sebagai atasan tergugat
asal, ternyata tergugat asal telah mengakui bahwa dia berjanji untuk
mengawini penggugat asal, tetapi karena dinilai tidak baik untuk dijadikan
istri tergugat asal dan lagi pula tidak mendapat persetujuan dari keluarganya,
maka tergugat asal tidak jadi mengawini penggugat asal;
Bahwa dari surat bukti yang diajukan penggugat asal sebagai petunjuk
terbukti tergugat asal telah selalu menyebut penggugat asal sebagai isterinya,
sehingga dapat disimpulkan tergugat asal berkeinginan untuk mengawininya;
Bahwa dengan tidak dipenuhinya janji untuk mengawini tersebut, tergugat
asal telah melanggar norma kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat dan
perbuatan tergugat asal tersebut adalah suatu perbuatan melawan hukum,
sehingga menimbulkan kerugian terhadap diri penggugat asal, maka tergugat
asal wajib memberi ganti kerugian seperti apa yang tertera dalam amar
putusan nanti;
Bahwa mengenai tuntutan ganti rugi yang diajukan penggugat asal terhadap
semua biaya yang telah dikeluarkan selama hidup bersama itu, oleh karena
tidak diperjanjikan sebelumnya, maka tuntutan tersebut harus ditolak.
18
18
Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun IX, No. 98, Penerbit IKAHI (Ikatan Hakim
Indonesia), November, 1993, hlm. 35-46
19
sebagai rumah kediaman, juga dipergunakan untuk tempat usaha berupa bengkel sepeda
motor.
Melihat kenyataan demikian, maka Soegiman Cs melalui musyawarah minta
kepada Poniman, agar ia menyerahkan kembali tanah yang didudukinya. Poniman
menolak dan bahkan mengirim uang sewa tanah melalui pos wesel kepada Soegiman
Cs. Uang sewa yang dikirim oleh Poniman tersebut, telah ditolak oleh Soegiman Cs.
Karena musyawarah desa tidak berhasil maka Soegiman Cs (anak-anak Ny. Irodinomo)
melakukan gugatan ke Pengadilan Negeri Yogyakarta yang pada pokoknya menyatakan
bahwa hubungan hukum indung (pinjam pakai tanah sengketa) antara Ny. Irodinomo
(Pemilik) dan Ny. Asir (Pengindung) telah berakhir/putus semenjak mereka berdua telah
meninggal dunia.
Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta No. 56/Pdt/G/1987/PN.YK tanggal 12
September 1987 mengabulkan gugatan Penggugat dengan ratio decidendi bahwa lembaga
Adat Ngindung, menurut Hukum Adat, berlakunya hanya kepada para pihak yang
mengadakan hubungan hukum saja. Dalam hal ini antara Ny. Irodinomo dan Ny. Asir. Oleh
karena itu, dengan meninggalnya Ny. Asir (sebagai Pengindung), maka status ngindung yang
melekat pada dirinya itu, tidak dapat diwariskan kepada ahli warisnya kalau Pengindung itu
mempunyai anak kandung. Apalagi dalam kasus ini, hubungan antara Tergugat dengan Ny
Asir almarhum ternyata tidak ada hubungan waris, sehingga dengan meninggalnya Ny. Asir,
maka hubungan ngindung yang telah terjadi semasa hidupnya, menjadi putus dan berakhir.
Oleh karenanya, sejak saat itu penghunian oleh Tergugat Poniman di atas tanah sengketa
menjadi penghuni tanpa didukung oleh titel yang sah.
Tergugat menolak putusan Hakim Pertama tersebut dan melakukan upaya
hukum banding. Kemudian, Putusan Pengadilan Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta
Nomor 85/Pdt/1988/PT.Y tanggal 3 November 1988, membatalkan putusan Pengadilan
Negeri Yogyakarta. Hakim banding pada Pengadilan Tinggi DIY berpendapat dan
mempertimbangkan bahwa mengenai masalah kepemilikan tanah, tidak dapat dibuktikan
hanya dengan bukti berupa pembayaran pajak atau Surat Pembayaran Pajak Tanah
(IPEDA) saja. Dalam kasus ini, Penggugat hanya mengajukan bukti IPEDA atas nama
Ny. Irodinomo untuk membuktikan bahwa tanah sengketa adalah hak miliknya, sehingga
bukti demikian kurung cukup untuk membuktikan pemilikan tanah sengketa. Kemudian
Pengadilan Tinggi membatalkan putusan hakim pertama dan selanjutnya mengadili
sendiri, yang amarnya bahwa gugatan penggugat tidak dapat diterima.
20
20
20
Pasal 18B ayat (2) berbunyi, Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-
22
23
melainkan dengan tata hukum adat yang ditetapkan Residen dengan persetujuan Direktur
Kehakiman di Batavia. Eksistensi peradilan ini berdasarkan ketentuan Pasal 74 RR/Pasal
130 IS yang menentukan, dimana saja penduduk asli tidak dibiarkan mempunyai
peradilan sendiri, diseluruh Indonesia diberikan peradilan atas nama Raja. Dimana
penduduk dibiarkan mempunyai peradilan sendiri disitu terdapat peradilan asli
(Inheemshe
rechtspraak).
Kedua,
Peradilan
Desa
(dorpjustitie).
Peradilan
ini
dilaksanakan oleh Hakim Desa atau Hakim Adat baik untuk lingkungan peradilan
gubernemen (gouvernements-rechtspraak), peradilan pribumi/peradilan adat, maupun
peradilan swapraja (zelfbestuur rechtspraak) di luar Jawa dan madura, yang berwenang
mengadili perkara-perkara kecil yang merupakan urusan adat dan urusan desa. Walaupun
sesungguhnya peradilan desa sudah lama berlaku dalam kehidupan masyakarat di
pedesaan, namun Pemerintah Hindia Belanda baru mengakui sejak tahun 1945, ketika
disisipkannya Pasal 3a RO dengan Stb 1935 Nomor 102.
Dalam zaman pendudukan Jepang peradilan adat tetap diakui dan berlangsung,
walaupun UU Nomor 14 Tahun 1942 (dirubah dengan UU Nomor 34 Tahun 1942), telah
menyederhanakan sistem peradilan dimana perbedaan peradilan gubernemen dan peradilan
untuk orang pribumi telah dihapuskan. Sudikno Mertokusumo menyebutkan bahwa di
Sumatra peradilan adat dengan tegas dinyatakan tetap berlaku dan dipertahankan berdasarkan
Pasal 1 undang-undang tentang Peraturan Hakim dan Mahkamah (Sjihososjiki-rei) yang
dimuat dalam Tomi-seirei-otsu No. 40 tanggal 1 Desember 1943.
21
Pada masa selanjutnya, era UU drt 1 Tahun 1951, eksistensi peradilan adat mulai
tidak diakui dan dihapus. Pada ketentuan Pasal 1 ayat (2) UU drt 1 Tahun 1951 menyebutkan
bahwa, Pada saat yang berangsur-angsur akan ditentukan oleh Menteri Kehakiman
dihapuskan...segala Pengadilan Adat (Inheemse rechtspraak in rechtstreekbestuurd gebied)
kecuali peradilan agama jika peradilan itu menurut hukum yang hidup merupakan satu
bagian tersendiri dari peradilan Adat. Kemudian, penjelasan otentik pasal tersebut
menyebutkan dasar pertimbangan penghapusan peradilan adat karena peradilan adat tidak
memenuhi persyaratan sebagai alat perlengkapan pengadilan sebagaimana yang dikehendaki
oleh UUDS dan tidak dikehendaki rakyat.
Akan tetapi, penghapusan peradilan adat dalam konteks di atas, hakikatnya tidak
menghapuskan jenis peradilan adat dalam bentuk lain yaitu peradilan desa (dorpjustitie).
Aspek dan dimensi ini bertitik tolak sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (3) UU drt 1
21
24
Tahun 1951 yang menegaskan bahwa, Ketentuan yang tersebut dalam ayat (1) tidak
sedikitpun juga mengurangi hak kekuasaan yang sampai selama ini telah diberikan
kepada hakim-hakim perdamaian di desa-desa sebagaimana dimaksud dalam pasal 3a
Rechterlijke Organisatie. Konklusi dasar konteks di atas, tersirat dan tersurat
menentukan peradilan adat yang dihapuskan berdasarkan undang-undang darurat adalah
peradilan adat dalam arti inheemsche rechtspraak, sedangkan kewenangan peradilan adat
yang dilakukan oleh kepala-kepala kesatuan masyarakat hukum adat yaitu peradilan desa
(dorpjustitie) tetap dilanjutkan.
Perkembangan berikutnya, lewat perjalanan panjang undang-undang kekuasaan
kehakiman (UU Nomor 19 Tahun 1964, UU Nomor 14 Tahun 1970, UU Nomor 35
Tahun 1999, UU Nomor 4 Tahun 2004 dan UU Nomor 48 Tahun 2009), tetap juga tidak
mengakui eksistensi peradilan adat. Dalam undang-undang tersebut ditentukan peradilan
negara sebagai satu-satunya lembaga peradilan di wilayah Indonesia, sehingga peradilan
adat jelas tidak diakui eksistensinya.
22
Pada masa kini, justru peradilan adat diakui dalam Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua dan untuk daerah Aceh
Nanggroe Darussalam sebagaimana UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan
Aceh eksistensi Pengadilan Adat masih diterapkan dan dikenal dengan istilah Peradilan
Adat Gampong atau Peradilan Damai. Ketentuan Pasal 50 ayat (1) menyebutkan bahwa,
Kekuasaan kehakiman di Provisi Papua dilaksanakan oleh Badan Peradilan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan, kemudian ayat (2) berbunyi, Di samping
kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui adanya peradilan
adat di dalam masyarakat hukum adat tertentu. Kemudian, dalam Pasal 9 ayat (3)
Peraturan Daerah Khusus Propinsi Papua Nomor 20 Tahun 2008 tentang Peradilan Adat
di Papua disebutkan bahwa, penyelenggaraan peradilan adat diurus oleh hakim adat.
Kemudian Pasal 51 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 selengkapnya
menyebutkan bahwa:
22
Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 14 Tahun 1970. Akan tetapi dalam Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun
2004 ditentukan, Semua peradilan diseluruh wilayah negara Republik Indonesia adalah peradilan negara dan
ditetapkan dengan undang-undang. Kemudian, penjelasan Pasal 3 ayat (1) menyebutkan bahwa,
ketentuan ini tidak menutup kemungkinan penyelesaian perkara dilakukan di luar peradilan negara
melalui perdamaian atau arbitrase. Terminologi perkara dalam penjelasan tersebut dapat dimaknai
perkara perdata maupun perkara pidana, sehingga dimensi ini masih memberi peluang untuk diakuinya
praktek penyelesaian perkara di luar pengadilan seperti dilakukan melalui peradilan adat. Tegasnya, implisit
UU Nomor 4 Tahun 2004 masih memberi peluang dilakukan praktek penyelesaian perkara di luar
pengadilan melalui dimensi peradilan adat. Akan tetapi, peluang diterapkannya peradilan adat ditutup
kembali dengan keluarnya UU 48 Tahun 2009 implisit tidak mengakui dan pengakuan terhadap peradilan
adat yang dalam penjelasan Pasal 2 ayat (3) hanya menyatakan cukup jelas.
25
27
Bagan 1
Peradilan Adat Bersifat Mandiri
LINGKUNGAN PERADILAN
Peradilan
Umum
Peradilan
Agama
Peradilan
Milite r
Peradilan
Tata Usaha
Peradilan
Adat
Pengadilan
Tinggi
Pengadilan
Tinggi
Agama
Mahkamah
Milite r Ting g i
Pen g a di l a n Ting g i
Tata Usaha
Negara
Pengadilan
Tinggi
Adat
Mahkamah
Agung
Pada hakekatnya, pembentukan Peradilan Adat bersifat mandiri ini bersifat ingin
lebih mendudukan posisi hukum adat, institusi adat dan fungsionaris hukum adat secara
sosiologis, filosofis, teoretis dan normatif sejajar (selevel) dengan sistem hukum nasional.
Tepatnya, kearifan lokal hukum adat sejajar dengan hukum formal in caqu masuk dalam
lembaga kekuasaan kehakiman. Prakteknya, kearifan lokal hukum adat dalam perkara pidana
banyak dilakukan di luar sistem peradilan pidana yang diselesaikan lembaga pengadilan adat.
Dalam perspektif internasional, dimensi ini juga sejalan dengan ketentuan Pasal 5
Declaration on The Rights of Indigenous People (Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa
tentang Hak-Hak Masyarakat Sipil), yang disahkan pada tanggal 7 September 2007
menentukan bahwa, Masyarakat adat berhak untuk mempertahankan dan memperkukuh
lembaga-lembaga politik, hukum, ekonomi, sosial dan budaya mereka, sementara tetap
mempertahankan hak mereka untuk mengambil bagian sepenuhnya kalau mereka juga
memilih, dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya dari Negara. Berikutnya,
dalam Pasal 34 ditentukan pula, masyarakat adat berhak
untuk
memajukan,
mengembangkan dan memelihara struktur kelembagaan dan adat, kerohanian dan tradisi,
28
prosedur, praktek mereka yang berbeda, dan dalam kasus jika ada, sistem peradilan
mereka atau adat, sesuai dengan standar-standar hak asasi manusia internasional.
Akan tetapi, walaupun demikian konsep ideal pembentukan Peradilan Adat bersifat
mandiri ini bukan berarti tidak mempunyai kelemahan, kendala dan menimbulkan pertanyaan
serta implikasi yang berkorelasi dengan dasar hukum dan kewenangan pelaksanaan Peradilan
Adat, prinsip atau asas Peradilan Adat, fungsionaris Peradilan Adat, proses atau mekanisme
Peradilan Adat dan akhirnya administrasi untuk Peradilan Adat. Dikaji dari perspektif
normatif, emperis dan teoretis maka eksistensi institusi peradilan adat menimbulkan
pertanyaan dan beberapa keraguan. Lebih lanjut dimensi demikian dielaborasi sebagaimana
23
Sinclair Dinnen, Interfaces Between Formal and Informal Justice System To Strengthen
Access to Justice By Disadvantaged System, Makalah disampaikan dalam Practice In Action Workshop
UNDP Asia-Pasific Rights and Justice Initiative, Ahungala Sri Langka, 19-21 November 2003, hlm. 2-4
29
dalam lingkungan peradilan umum, nantinya akan ada 2 (dua) kamar, yaitu kamar Pengadilan
Negeri dan Kamar Pengadilan Adat. Khusus untuk Pengadilan Adat dalam kamar Peradilan
Umum ini, hakim yang akan mengadili perkara adat bersifat campuran antara Hakim Karier
dengan Hakim Ad Hoc. Akan tetapi, bedanya Hakim Ad Hoc di sini tidaklah bersifat
permanen seperti yang dikenal seperti sekarang, melainkan temporer. Tegasnya, Hakim Ad
Hoc akan bersidang sepanjang ada perkara adat dan bila telah selesai menangani perkara adat
maka Hakim Ad Hoc tersebut berstatus kembali seperti semula.
Peradilan adat bersifat quasi atau callaborative approach dirasakan efektif,
efisien dan sesuai dengan kondisi faktual zaman. Pada model ini, maka terhadap upaya
hukum ada dua kemungkinan pilihan yang dapat dilakukan. Pertama, dilakukan upaya
hukum banding pada Pengadilan Tinggi Adat sebagai Pengadilan Tingkat Banding Adat.
Pada Pengadilan Tinggi Adat juga diadili oleh Hakim campuran antara Hakim Karier
dengan Hakim Ad Hoc. Begitu pula upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung RI,
sehingga konsekuensi logisnya maka peradilan kasasi harus ada juga Kamar Kasasi Adat.
Kemungkinan lainnya dapat pula pada tingkat kasasi diadili oleh Hakim Agung dalam
Kamar Pidana/P idana Khusus dan Kamar Perdata/Perdata Khusus tergantung jenis
perkara yang masuk. Konsekuensi logis dimensi ini, maka selanjutnya diperlukan
penambahan pengetahuan, penguasaan hukum adat dan pengalaman terhadap Hakim
Karier pada Kamar Pengadilan Adat, Pengadilan Tinggi Adat dan Hakim Agung pada
Kamar Pidana/Pidana Khusus dan Kamar Perdata/Perdata Khusus.
Apabila dimensi demikian yang dipilih maka bentuk Peradilan Adat dalam
Kamar Peradilan Umum dapat dilihat sebagaimana Bagan 2 berikut ini.
30
Bagan 2
Peradilan Adat Dalam
Kamar Peradilan Umum
LINGKUNGAN PERADILAN
Peradilan
Um u m
Pengadilan
Neg e ri
Pengadilan
Adat
Peradilan
Agama
Peradilan
Milite r
Peradilan
Tat a Usa h a Neg a ra
Pengadilan
Ting gi
Agama
Mah k a m a h
Milite r
Tinggi
Pen g a d il a n
Tinggi
Tata Usaha
Negara
Pengadilan
Tinggi
Mahkamah
Agung
Kedua, agar lebih efisien, ramping, efektif dan dengan perspektif bahwa perkara
adat berdimensi khusus maka dapat pula dibuka kemungkinan bahwa perkara adat tidak boleh
dilakukan upaya hukum banding, sehingga tidak diperlukan adanya Pengadilan Tinggi Adat.
Terhadap perkara adat baik perkara pidana adat maupun perkara perdata adat yang telah
diputus oleh Pengadilan Adat Dalam kamar Peradilan Umum, upaya hukumnya hanya dapat
dilakukan upaya hukumnya langsung kasasi ke Mahkamah Agung RI.
Apabila model ini yang hendak dipilih maka bentuk Peradilan Adat dalam
Kamar Peradilan Umum dapat dilihat sebagaimana Bagan 3 berikut ini.
31
Bagan 3
Peradilan Adat Dalam
Kamar Peradilan Umum
Tanpa Adanya Pengadilan Tinggi Adat
LINGKUNGAN PERADILAN
Peradilan
Um u m
Pengadilan
Neg e ri
Pengadilan
Adat
Peradilan
Agama
Peradilan
Milite r
Peradilan
Tat a Usa h a Neg a ra
Pengadilan
Ting gi
Agama
Mahkamah
Milite r
Ting gi
Pen g a di l a n Ting g i
Tata Usaha
Negara
Pengadilan
Tinggi
Mahkamah
Agung
Pada hakikatnya, pemilihan model peradilan adat dalam kamar peradilan umum
sebagaimana Bagan 2 dan Bagan 3, mempunyai kelebihan dan kekurangan. Pada Bagan 2
dengan dimungkinkan dapat dilakukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi Adat,
maka selintas lebih mengakomodasikan dimensi hak asasi manusia karena pelaku tindak
pidana atau penggugat/tergugat dalam perkara perdata adat, tetap diakomodir haknya
dalam segala bentuk peradilan. Tetapi kekurangannya, akan berakibatkan kepada sarana,
prasarana dan dimensi keuangan negara untuk membentuk Pengadilan Tinggi Adat. Akan
tetapi apabila Bagan 3 yang dipilih maka selintas adanya batasan terhadap upaya hukum
yang dapat dilakukan oleh pelaku atau penggugat/tergugat dalam perkara perdata adat,
sehingga akan berdimensi pembatasan terhadap hak asasi manusia. Akan tetapi
kelebihannya, dapat dihematnya keuangan negara karena tidak diperlukan adanya sarana,
prasarana dan Sumber Daya Manusia untuk membangun Pengadilan Tinggi Adat. Selain
itu, dengan dilakukan upaya hukum langsung ke Mahkamah Agung RI, maka
32
Daftar Referensi