Sekilas tentang Qanun Nomor 7 tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat
Setelah disahkan Qanun Nomor 7 Tahun 2013 tentang hukum acara jinayat pada
tanggal 13 Desember 2013 menjadi sebuah solusi bagi penerapan hukum acara jinayat di
Aceh Darussalam lahir berdasarkan adanya kewenangan pemerintah daerah aceh dalam
membentuk Qanun sebagai satuan pemerintah otonom yang berhak mengatur dan
mengurus rumah tangga daerahnya sendiri. Adapun tujuan Qanun hukum acara jinayat
dari perkara jinayat, dengan menerapkan aturan hukum acara jinayat secara tepat dan
benar. Kedua. Memberi jaminan dan perlindungan hukum kepada korban, pelapor, saksi,
masyarakat, tersangka, dan terdakwa secara seimbang sesuai dengan ajaran Islam. Ketiga.
Mengupayakan agar mereka yang pernah melakukan jarimah bertaubat secara sungguh-
sungguh, sehingga tidak lagi mengulangi perbuatan jarimah. Adapun ruang lingkup
berlakunya Qanun Hukum Acara Jinayat adalah untuk lembaga penegak hukum dan setiap
Presiden Republik Indonesia Dr. Susilo Bambang Yudhoyono pada saat pidato pada
hari lahir Pancasila pada tanggal 1 Juni 2006 menjelaskan bahwa “…salah satu yang sangat
penting dan dalam urut-urutan Pancasila justru kita sepakati menjadi sila yang pertama yaitu
bagaimana hubungan antara negara dan agama atau makna tentang ketuhanan, dan
erat antara agama dan negara, karena itu baik secara rigid (mutlak), maupun secara longgar
(nisbi), Negara Republik Indonesia tidak mengenal doktrin pemisahan antara agama dan
1
Sejak tahun 2010 s/d sekarang
negara. Sebagai negara hukum pancasila, negara memberikan beberapa perlakukan
khusus kepada daerah tertentu yang memiliki otonomi khusus. Munculnya Qanun Hukum
Acara Jinayat di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan amanat otonomi
daerah . Menurut Bagir Manan ada 4 (empat) asas dalam landasan politik hukum otonomi
daerah yaitu Pertama. Otonomi cq otonomi daerah sebagai objek kajian keilmuan yang
mempunyai konsekuensi terhadap corak, isi dan tata kelola otonomi daerah. Hingga saat ini
otonomi c.q otonomi daerah sebagai kajian ilmiah dijumpai dalam kajian ilmu politik
(political science), ilmu pemerintahan (public administration), ilmu hukum tata negara
(constitutional law) dan ilmu hukum administrasi negara (administrative law). Kedua.
Landasan filosofis (pancasila), ada 2 sila Pancasila yang relevan dengan otonomi daerah
yaitu Persatuan Indonesia dan Keadilan Sosial. Ketiga. Landasan kultural, otonomi daerah
budaya (dan kenyataan sosiologis) setempat. Keempat. Landasan konstitusi. Ada 2 pasal
Undang-undang Dasar 1945 yang berkaitan langsung dengan otonomi daerah, yaitu pasal 1
ayat 1 dan pasal 18 Undang-undang Dasar 1945. Berdasarkan pasal tersebut, maka prinsip
otonomi daerah adalah subsistem Negara Kesatuan RI, susunan otonomi terdiri dari
provinsi, kabupaten dan kotamadya, daerah otonomi berhak mengatur dan mengurus rumah
tangga sendiri berdasarkan otonomi dan tugas pembantuan, otonomi daerah dijalankan
atas dasar otonomi seluas-luasnya. Adapun maksud otonomi seluas luasnya adalah semua
urusan pemerintahan ada diselenggarakan daerah, kecuali ditetapkan oleh pusat. Undang-
keamanan, keuangan, luar negeri, peradilan). Pemberian daerah istimewa bagi Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam, bukan dalam makna historis, tetapi atas dasar ketentuan
undang-undang. Hak istimewa bagi pemerintahan Aceh, dipertalikan dengan hak istimewa
Sistem hukum Indonesia telah lama menerapkan tata urutan peraturan perundang-
undangan. Dengan adanya tata urutan perundang-undangan, maka sistem perundang-
undangan di Indonesia mengadopsi ajaran Stufenbau des Recht dari Hans Kelsen.
Berdasarkan teori tersebut, struktur tata hukum di Indonesia menurut pasal 7 ayat 1
Tahun 2011 secara historis merupakan pengganti Algemeene Bepalingen van Wet giving
Struktur tata hukum dan hirarki Qanun Nomor 7 Tahun 2013 telah sesuai dengan
maksud pasal 7 ayat 1 huruf (f) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
pembentukan peraturan perundang-undangan dan telah memenuhi pasal 81 huruf (e) dan
pasal 86 ayat (1) dan (3) Qanun Nomor 7 tahun 2013 yang mana telah diundangkan dalam
Lembaran Aceh Tahun 2013 Nomor 7. Menurut Soetandyo Wignjosoebroto, bahwa terjadi
proses introduksi dan transpalansi hukum Eropa Kontinental (civil law) ke dalam hukum
Indonesia. Hal ini dapat dilihat karena hukum Indonesia menggunakan kodifikasi dan hukum
pembuat legislasi untuk melahirkan produk hukum yang berkualitas. Perda (qanun) sebagai
salah satu bagian dari hirarki peraturan perundang-undangan, tentunya memiliki beberapa
batasan yaitu perda (qanun) dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan
terganggunya kerukunan antar warga masyarakat. Apabila masyarakat tidak setuju dengan
Qanun (perda) yaitu pemerintah pusat dan Mahkamah Agung (MA). Dasar hukum
kewenangan pemerintah pusat dalam pembatalan perda (Qanun) diatur dalam pasal 145
ayat 2 dUndang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, sedangkan
kewenangan Mahkamah Agung (MA) diatur dalam pasal 24 A ayat 1 Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan pasal 31 ayat 1 Undang-undang Nomor 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (MA) sebagaimana telah diubah dua kali terakhir
Mahkamah Agung (MA) dalam bentuk putusan. Pemberian kewenangan kepada Mahkamah
undang, in casu Perda (Qanun), dimaksudkan untuk melaksanakan asas negara hukum
yaitu dalam rangka perlindungan hukum bagi rakyat atas regulasi yang dibuat oleh
pemerintah daerah. Dalam pelaksanaan uji materi tersebut, maka Mahkamah Agung
menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2011 tentang hak uji
materil. Sistem hukum Indonesia tidak dikenal adanya putusan terhadap peraturan
perundang-undangan yang bersifat batal demi hukum (nul and void atau van rechtswege
neitg) yang dipakai adalah sifat dapat dibatalkan (vernetigbaar). Adapun asas yang
kepustakaan dikenal asas praesumptio iustae causa, yang maknanya adalah bahwa
penggunaan asas ini, maka akibat hukum yang terjadi adalah ex nunc atau sejak adanya
pembatalan, yang dalam praktek hakum di Indonesia belum diatur dalam undang-undang.
Ditinjau dari segi politik hukum pidana, maka Qanun hukum acara jinayat dibentuk
untuk memenuhi syarat keadilan dan berdaya guna. Dengan adanya Qanun Hukum Acara
Jinayat, tentunya terjadi pembaharuan hukum pidana di Indonesia. Qanun hukum acara
jinayat dalam proses pembentukannya telah berorientasi kepada pendekatan nilai dan
norma. Latar belakang dan urgensi diadakannya qanun hukum acara jinayat tentunya dapat
ditinjau dari aspek sosiopolitik, sosiofilosofis, sosiokultural, atau dari berbagai kebijakan
Beberapa bagian dari pasal dari Qanun Hukum Acara Jinayat ada mirip dengan
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Diantaranya adalah dikenal istilah
pra peradilan. Yang mana menurut Qanun Nomor 7 Tahun 2013 pra peradilan yaitu
memeriksa dan memutus tentang Pertama. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan,
penuntutan, Kedua. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi setiap orang yang perkara
jinayatnya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Pelaksaan sidang pra
peradilan dilaksanakan dengan hakim tunggal dan dibantu oleh seorang panitera.
Kemudian mengenai alat bukti, terdapat perbedaan Qanun Nomor 7 Tahun 2013
dengan Kitab Undang-undang Hukum acara Pidana (KUHAP). Bagi KUHAP alat bukti diatur
dalam pasal 184 ayat 1 KUHAP yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan
keterangan terdakwa. Sedangkan alat bukti dalam Qanun hukum Acara jinayat adalah
adalah Pertama. Keterangan saksi. Kedua. Keterangan Ahli. Ketiga. Barang bukti.
Keterangan Terdakwa. (pasal 181 ayat 1 Qanun Hukum Acara Jinayat). Kemudian ada
Jika dilihat sistem peradilan jinayat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, maka
unsur penegak hukum jinayat terdiri dari kepolisian, kejaksaan, mahkamah syari’ah,
wilayatul hisbah dan advokat. Qanun Hukum Acara Jinayat juga menganut asas legalitas
yaitu tiada suatu perbuatan (feit) yang dapat dipidana, selain berdasarkan kekuatan
(KUHAP) mempunyai nilai historis dari beberapa dekade, yaitu Periode pemerintahan Hindia
Tahun 1951, Periode Menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981. Tentunya dari faktor
usia, maka KUHAP memliki usia yang lebih matang dengan Qanun Hukum Acara Jinayat.
Usia KUHAP saat ini telah berusia 33 tahun, sedangkan Qanun hukum acara jinayat berusia
9 bulan.
Sejak tahun 1981, KUHAP belum pernah dilakukan perubahan. Oleh sebab itu
anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode tahun 2009 -2014 menargetkan
menyelesaikan RUU KUHAP pada akhir masa jabatan, namun menurut Ketua Baleg
Ignatius Mulyono sempitnya masa jabatan diperkirakan tidak akan mampu menyelesaikan
RUU KUHAP pada tepat waktu. Tentunya dengan dituntaskan Qanun Nomor 7 tahun 2013
hukum acara jinayat oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dapat mengisi
kekosongan hukum formil bagi Hakim Mahkamah Syariah Aceh, yang selama ini
pasal 2 dan pasal 3 (A) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang peradilan agama.
Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa dilingkungan peradilan agama dapat diadakan
dalam lingkungan peradilan agama adalah pengadilan syari’ah Islam atau Mahkamah
otonomi khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh
4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman yang menjelaskan bahwa Peradilan Syari’ah
Qanun Nomor 7 Tahun 2013 tentang hukum acara jinayat, Hakim Mahkamah Syari’ah Aceh
berpedoman kepada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sehingga ada
terdapat prinsip yang tidak sama antara KUHAP dengan hukum materil jinayat di Mahkamah
Syari’ah Aceh. Misalnya ada qanun yang mengatur tentang peran serta masyarakat dalam
kejaksaan dan Mahkamah Syari’ah kesulitan dalam penerapan di lapangan. Kemudian jenis
hukuman jinayat terdiri atas hukuman cambuk, penjara dan denda, sedangkan KUHP hanya
mengenal hukuman penjara dan denda. Dalam Bab 19 Qanun Nomor 7 Tahun 2013
tentang Hukum Acara Jinayat tentunya mengatur bagaimana pelaksanaan uqubat hukuman
Kewenangan kejaksaan dan kepolisian di Mahkamah Syari’ah Aceh juga telah diatur
kejaksaan berwenang menangani perkara pidana yang diatur dalam Qanun sesuai
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Sedangkan kewenangan bagi
dan ketentuan yang mengatur otonomi khusus seperti Provinsi Nanggroe Aceh
jinayah di Aceh.
Ada beberapa kekhususan antara Qanun Nomor 7 Tahun 2013 dibandingkan
KUHAP, diantaranya adalah sumber dana pelaksanaan hukum acara jinayat berdasarkan
dana dan sumber dana pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten dan kota, dan
Qanun Nomor 7 Tahun 2013 tentang hukum acara jinayat terdiri dari 23 BAB dan 286 pasal.
PENUTUP
Penegakkan hukum syari’at Islam di Aceh terkait erat dengan otonomi khusus bagi
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang mana diatur dalam pasal 18 (B) Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjelaskan bahwa negara mengakui dan
istimewa yang diatur dengan Undang-undang. Lahirnya Qanun Nomor 7 Tahun 2013
tentang Hukum Acara Jinayat merupakan salah satu otonomi seluas-luasnya bagi Daerah
Istimewa Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam untuk membentuk peraturan daerah (qanun)
berdasarkan pasal 18 ayat 6 Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Bagi Hakim
Mahkamah Syari’ah Aceh tentunya mempunyai dasar hukum formil dalam pelaksanaan
persidangan, yang mana sebelum disahkan Qanun Hukum Acara Jinayat, Hakim Mahkamah