Anda di halaman 1dari 22

HAK ASASI MANUSIA DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM

ACARA PIDANA DAN UNDANG-UNDANG PEMASYARAKATAN


Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Hak Asasi Manusia

Disusun Oleh :

Belinda azalia 171000243

Dhelicia Putri A 171000278

Innayati Azzamir 171000151

Wapa Oktaviani 171000259

Kelas : B

Dosen Pembimbing :

MELANI,S.H.,M.H

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS PASUNDAN

2019
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Nilai-nilai HAM merupakan nilai-nilai yang tidak secara spesifik terdapat dalam lingkup
kebudayaan atau agama-agama tertentu, tetapi merupakan nilai-nilai yang ada di seluruh
kebudayaan dan agama di dunia. Hampir seluruh nilai-nilai yang ada di dunia mengagungkan
penghormatan pada kehidupan dan martabat manusia. Meski demikian, perjuangan untuk
mengakui dan menerima HAM merupakan perjuangan panjang, yang seringkali menjadi
bagian dari sejarah sosial politik bangsa-bangsa di dunia dan terus mengalami
perkembangan.1

Perkembangan HAM dilandasi pada pemikiran tentang hak-hak manusia yang bersifat
kodrati, inheren dan tidak dapat dicabut. Pemikiran ini, yang juga dilandasi dengan dukungan
berbagai ajaran dan teori tersebut, telah mendorong revolusi Perancis dan revolusi Amerika,
yang tercermin kemudian dalam dokumen-dokumen HAM saat itu. Sejalan dengan itu,
muncul prinsip-prinsip demokrasi sebagai bentuk kebebasan politik yang memastikan adanya
kebebasan warga negara untuk berpartisipasi aktif, atau mengambil bagian dalam proses
pembuatan keputusan politik.

Dalam perkembangan dan penyempurnaan nilai-nilai HAM tersebut, setidaknya terdapat 3


(tiga) generasi yang mencakup perkembangan hak-hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi
sosial dan budaya dan hak-hak solidaritas/kolektif. Perkembangan tersebut sejalan dengan
perkembangan paham liberalisme, sosialisme dan pemikiran tentang demokrasi. Pengaruh
paham liberalisme, mendalilkan kebebasan sipil individu untuk memenuhi diri sendiri tanpa
pengaruh dari luar, yang kemudian memunculkan kebebasan liberal sebagai hak-hak
sipilpasif untuk tidak diganggu (terutama oleh negara), dan kebabasan demokratik terhadap
negara sebagai hak-hak politik untuk berpartisipasi.

Paham ini kemudian mendapatkan kritik dari aliran sosialis yang menolak ajaran
liberalisme tentang pemisahan negara dan masyarakat, perlunya rekonsiliasi kepentingan
individu dan masyarakat, serta persyaratanpersyaratan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya
lebih dahulu daripada hak-hak sipil dan politik. Pada akhir perang dingin dan pengaruh

1
Manfred Nowak, “Pengantar Pada Rezim HAM Internasional”, Pustaka Hak Asasi Manusia Raoul Wallenberg
Institute, 2003.
globalisasi kemudian mendorong pengembangan ide universalime HAM, yang sebelumnya
secara de facto HAM hanya bermakna bagi sekelompok kecil saja. Kemudian, sejarah
kolonialisme dan imperialime menjadikan adanya gerakan untuk mendorong adanya hak-hak
kolektif masyarakat, yang salah satunya adalah perjuangan hak untuk menentukan nasib
sendiri.

Dalam pengertian terkini, HAM adalah hak-hak yang melekat pada semua manusia, tidak
membedakan kebangsaan, tempat tinggalnya, jenis kelaminnya, asal usul kebangsaaan dan
etnisitas, warna kulit, agama atau keyakinan, bahasa, atau status-status lainnya. UU No. 39
Tahun 1999 memberikan pengertian bahwa HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada
hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan
pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia.2

Rancangan Undang-undang (RUU) KUHP yang saat ini drafnya masih dibahas di
Departemen Hukum dan HAM menuai banyak kritikan. Kritik yang utama adalah RUU ini
dianggap “over criminalization”. Sejumlah delik baru dan delik-delik yang tersebar dalam
sebagian besar UU yang mencantumkan tindak pidana dimasukkan dalam RUU KUHP ini.
Akibatnya RUU menjadi sangat luas dari sisi jumlah pasalnya maupun cakupan permasalah
yang akan dipidanakan. Selain sangat luas, RUU KUHP memasukkan kejahatan-kejahatan
dengan karakteristik khusus baik dari segi materi hukum pidananya maupun hukum acaranya.
Hal ini diprediksikan berakibat tidak akan efektifnya penerapan RUU KUHP terhadap
beberapa jenis kejahatan yang berkarakter khusus tersebut3.

Salah satu kejahatan yang akan dimasukkan ke dalam RUU KUHP adalah tindak pidana
hak asasi manusia yang meliputi tindak pidana genosida, tindak pidana terhadap
kemanusiaan, tindak pidana dalam masa perang atau konflik bersenjata dan tindak pidana
penyiksaan. Tindak pidana tersebut tertera pada Bab IX Pasal 394-404 RUU KUHP.

Kaidah-kaidah hukum yang berlaku di Negara Indonesia salah satunya adalah Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Ruang lingkup berlakunya Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981), terdapat dalam Pasal

2
Soetandyo Wignjosoebroto, “Hak Asasi Manusia, Konsep Dasar dan Perkembangan pengertiannya dari Masa
ke Masa”, Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara XVI tahun 2007, Lembaga Studi dan Advokasi
Masyarakat (ELSAM).
3
Lihat Penjelasan Pasal 2, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (UU No. 8 Tahun 1981)
2 KUHAP, yang berbunyi: “Undang-Undang ini berlaku untuk melaksanakan tata cara
peradilan dalam lingkungan peradilan umum pada semua tingkat peradilan”4.

Loebby Loeqman mendefinisikan Sistem Peradilan Pidana sebagai suatu rangkaian


antara unsur atau faktor yang saling terkait satu dengan lainnya sehingga menciptakan suatu
mekanisme sedemikian rupa sehingga sampai tujuan dari sistem tersebut yaitu untuk
mencapai suatu masyarakat yang terbebas dari kejahatan.5

Barda Nawawi Arief berpendapat Sistem Peradilan Pidana (SPP) pada hakekatnya identik
dengan sistem penegakan hukum pidana. Sistem penegakan hukum pada dasarnya merupakan
sistem kekuasaan / kewenangan menegakkan hukum. Kekuasaan / kewenangan menegakkan
hukum ini dapat diidentikkan dengan istilah kekuasaan kehakiman. Karena SPP pada
hakekatnya juga diidentikkan dengan sistem kekuasaan kehakiman di bidang hukum pidana
yang diimplementasikan / diwujudkan dalam empat sub sistem yaitu :

1. Kekuasaan penyidikan oleh lembaga penyidik.

2. Kekuasaan penuntutan oleh lembaga penuntut umum.

3. Kekuasaan mengadili / menjatuhkan putusan oleh badan peradilan dan,

4. Kekuasaan pelaksanaan hukum pidana oleh aparat pelaksana eksekusi.

Keempat sub sistem itu merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum pidana yang
integral atau sering disebut dengan istilah Sistem Peradilan Pidana atau SPP terpadu atau
integrated criminal justice system. Dengan demikian kekuasaan kehakiman (di bidang hukum
pidana) dilaksanakan oleh empat badan / lembaga seperti tersebut di atas. Keempat badan
itulah yang dapat disebut sebagai badan-badan kehakiman menurut istilah yang disebut dalam
Pasal 24 UUD 1945 (sebelum amandemen ke-3). Jadi badan-badan kehakiman yang disebut
oleh UUD 1945 tidak dapat diidentikkan dengan badan-badan peradilan yang disebut dalam
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yang mengalami perubahan berdasarkan Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 1999 kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

4
Ifdhal Kasim, “Kodifikasi Hukum Pidana dalam Kerangka Perlindungan Hak Asasi Manusia”, Makalah dalam
Focus Group Discussion yang diselenggarakan ELSAM, Jakarta, 28 Oktober 2006.
5
Loebby Loeqman, 2002, Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Hukum Acara Pidana (HAP), Datacom, Jakarta,
hlm. 19.
Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan pengertian
Lembaga Pemaasyarakatan diatur pada pasal (3) yaitu: “Lembaga Pemasyarakatan yang
selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan
Anak Didik Pemasyarakatan.” Sementara menurut pasal 3 Undang-Undang Pemasyarakatan
fungsi sistem pemasyarakatan adalah menyiapkan warga binaan pemasyrakatan agar dapat
berintegrasi secara sehat dengan masyarakat sehingga dapat berperan kembali sebagai
anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab.6

B. IDENTIFIKASI MASALAH

Adapun yang menjadi pokok permasalahan adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana Penerapan HAM dalam penyidikan ?


2. Bagaimana Penerapan HAM dalam penuntutan ?
3. Bagaimana kedudukan HAM dalam pemeriksaan di muka sidang pengadilan ?
4. Bagaimana kedudukan HAM dalam lapas ?

6
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana tentang Sistem Peradilan Pidana Terpadu, BP Universitas
Diponegoro Semarang, 2007, hal. 19, 20,
BAB II

PEMBAHASAN

1. HAK ASASI MANUSIA DALAM PENYIDIKAN


Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana,
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo UndangUndang Nomor 35 Tahun 1999 jo
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman,
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dan Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, maka baik
hakim, jaksa dan polisi diatur secara terpisah dan mandiri, yang tentunya berdampak pada
pelaksanaan penegakan hukum, yaitu terjadinya tumpang tindih tugas, kewenangan dan
tanggung jawab antara polisi, jaksa dan hakim, bahkan terdapat kesan koordinasi fungsional
dalam sistim peradilan pidana terpadu (intergrated Judiciary System) tidak berjalan
sebagaimana yang diharapkan.

Sistem peradilan pidana (Criminal Justice System) sebagai suatu sistem dalam
penegakan hukum pidana berupaya untuk menanggulangi masalah kejahatan dimaknai
sebagai upaya untuk mengendalikan atau membatasi kejahatan agar berada dalam batas-batas
toleransi masyarakat. Komponen-komponen yang berkerja dalam sistem ini meliputi
kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Empat komponen ini
diharapkan dapat bekerjasama sehingga menghasilkan suatu keterpaduan yang dikenal
dengan integrated criminal justice system.

Masing-masing komponen secara administratif berdiri sendiri, mempunyai tugas dan


fungsi tersendiri sesuai dengan kewenangan dan pengaturan yang dimilikinya. Setiap masalah
dalam subsistim satu dengan yang lainnya adalah saling berhubungan dan setiap masalah
dalam salah satu subsistim akan menimbulkan dampak pada sub sistem lainnya.

Dalam kaitan tugas antara polisi, jaksa dan hakim dalam sistem peradilan pidana terpadu,
terlihat perbedaan tugas dan wewenang ketiga institusi tersebut sebagai bagian dari subsistem
peradilan pidana Indonesia bahwa yang pada saat berlakunya KUHAP tugas polisi terpisah
sama sekali dengan tugas jaksa dan hakim. Polisi sebagai penyidik dan Jaksa sebagai
Penuntut dan hakim sebagai orang yang memutuskan perkara. Adanya pemisahan tersebut
hendaknya menurut Mardjono Reksodiputro, “tidak boleh mengganggu usaha adanya satu
kebijakan penyidikan, penuntutan dan pengadilan yang akan merupakan pedoman kerja
bersama dalam proses peradilan pidana”. 7

Selanjutnya Mardjono Reksodiputro Dalam Efi Laila , juga mengemukakan bahwa


apabila keterpaduan dalam sistem tidak dilakukan maka diperkirakan akan terdapat tiga
kerugian sebagai berikut:

1. kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masing masing instansi,
sehubungan dengan tugas mereka bersama;

2. kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok masing-masing instansi


(sebagai subsistem dari sistem peradilan pidana); dan

3. karena tanggung jawab masing-masing instansi sering kurang jelas terbagi, maka
setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektifitas menyeluruh dari sistem peradilan
pidana. 8

Dalam upaya penanggulangan kejahatan, sinkronisasi (keterpaduan) antara penegak


hukum memang merupakan suatu hal yang sangat penting bahkan ketiadaan
sinkronisasi/keterpaduan merupakan salah satu faktor penyebab gagalnya pemberantasan
kejahatan. Hubungan yang terpadu antara polisi, jaksa dan hakim dalam sistem peradilan
pidana merupakan hal yang sangat penting artinya yaitu dalam penyelesaiaan perkara pidana
pada tahap pra-ajudikasi.

Pengertian Penyidik Pada Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, menentukan bahwa penyidikan perkara Pelanggaran
Hak Asasi Manusia Berat dilakukan oleh Jaksa Agung. Dalam melaksanakan tugasnya
sebagai penyidik terdapat beberapa catatan sebagai berikut :

a. Pada Pasal 21 ayat (3) menyebutkan bahwa adanya kata “Dapat” dimaksudkan agar
Jaksa Agung dalam mengangkat Penyidik Ad Hoc dilakukan sesuai dengan kebutuhan.
Dapat saja Jaksa Agung tidak perlu mengangkat penyidik Ad Hoc, tetapi masalahnya
karena tidak mungkin Jaksa Agung sendiri yang melakukan penyidikan terhadap semua
Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat.

7
Mardjono Rekspdiputro. 1993. Menuju Pada Satu Kebijakan Kriminal Dalam HAM Dalam Sistim Peradilan
Pidana, Pusat Pelayanan Hukum Dan Keadilan, Jakarta, hal 96.
8
Efi Laila Kholis, 2003, Hubungan Polisi Dan Jaksa Dalam Peradilan Pidana Terpadu”Media Hukum Vol 2 No
8 November 2003, Hal. 42.
b. Berhubungan dengan dipergunakannya kalimat “Dan/Atau”, maka penyidik Ad Hoc
yang dimaksud terdiri atas :

1. Unsur Pemerintah saja

2. Unsur masyarakat yang terdiri dari organisasi politik, organisasi kemasyarakatan,


lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan seperti perguruan tinggi.

Untuk dapat diangkat menjadi penyidik Ad Hoc, pasal 21 ayat (4) menetukan harus
memenuhi beberapa syarat sebagai berikut :

a. Warga Negara Republik Indonesia;

b. Berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam


puluh lima) tahun;

c. Berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian dibidang
hukum; d. Sehat jasmani dan rohani;

e. Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan baik;

f. Setia pada Pancasila dan UUD 1945; dan

g. Memiliki pengetahuan dan kepedulian dibidang Hak Asasi Manusia.

Pengangkatan penyidik harus dituangkan dalam suatu keputusan Jaksa Agung. Karena
yang mengangkat penyidik Ad Hoc adalah jaksa Agung, maka dengan sendirinya sumpah
atau janji harus diucapkan dihadapan Jaksa Agung. Meskipun pejabat POLRI tertentu Pasal 6
ayat (1) KUHP jo. Pasal 2 ayat (1) huruf a jo. PP Nomor 27 Tahun 1983 ayat (2) adalah
penyidik, tetapi untuk melakukan penyidikan terhadap Pelanggarah Hak Asasi Manusia Berat
harus diangkat dan disumpah dihadapan Jaksa Agung menjadi penyidik Ad hoc (Dari Unsur
Pemerintah).

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
tidak ada ketentuan yang berkaitan dengan wewenang Jaksa Agung sebagai penyidik, kecuali
ketentuan mengenai wewenang untuk melakukan penangkapan Pasal 11 ayat (1) dan
penahanan serta penahanan lanjutan Pasal 12 ayat (1) oleh karena itu, atas dasar Pasal 10
ketentuan yang berkaitan dengan Jaksa Agung sebagai penyidik menunjuk pada ketentuan
mengenai wewenang dari pihak sebagaimana yang ditentukan dalam KUHP.
Wewenang untuk penerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya Pelanggaran Hak
Asasi Manusia Berat telah menjadi KOMNAS HAM sebagai penyidik (Pasal 19 ayat 1 dan
Pasal 1 ayat 2), maka Jaksa Agung sebagai penyidik hanya mempunyai wewenang seperti
ditentukan dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b, c, d, e, f, g, h dan I KUHP. Penyidik Ad Hoc juga
mempunyai wewenang seperti wewenang dari Jaksa Agung seperti penyidik, kecuali
wewenang untuk melakukan penangkapan, dan penahanan serta penahanan lanjutan seperti
yang dilakukan dalam Pasal 11 ayat (i) jo dan Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2000.

Pelaksanaan Penyidikan Setelah penyidik menerima hasil penyelidikan yang sudah


lengkap dari penyelidik, maka penyidik baru memulai melakukan penyidikan terhadap
Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat tersebut. Pada Pasal 22 ayat (1) menyebutkan bahwa :
jangka waktu penyidikan yang dihitung sejak tanggal hasil penyelidikan diterima dan
dinyatakan lengkap oleh penyidik.

Penyidikan yang belum selesai dalam jangka waktu 90 (sembilan pulh) hari, lalu Pasal
22 ayat (2) ditentukan bahwa jangka waktu tersebut dapat diperpanjang paling lama 90
(sembilan puluh) hari dan jika telah diperpanjang masih saja belum selesai, oleh Pasal 22 ayat
(3) ditentukan bahwa jangka waktu dapat diperpanjang lagi paling lama 60 (enam puluh) hari.
Jadi jangka waktu yang sudah ditentukan untuk melakukan penyidikan paling lama adalah
240 (dua ratus empat puluh) hari.

Perpanjangan jangka waktu penyidikan tersebut, baik menurut Pasal 22 ayat (2) maupun
Pasal 22 ayat (3) diberikan oleh Ketua Pengadilan Hak Asasi Manusia sesuai dengan daerah
hukumnya. Hasil penyidikan yang dilakukan oleh penyidik terhadap Pelanggaran Hak Asasi
Manusia Berat dapat berupa diperoleh atau tidak diperolehnya bukti yang cukup bahwa
tersangka melakukan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat.

2. HAK ASASI MANUSIA DALAM PENUNTUTAN


Didalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
juga tidak terdapat ketentuan tentang apa yang dimaksud dengan “penuntutan”, yang ada
hanya ketentuan tentang apa yang dimaksud dengan “penyelidikan” yang terdapat pada Pasal
1 angka 5. maka “penuntutan” dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, juga harus
dilihat ketentuan yang terdapat dalam KUHAP. Berpedoman pada Pasal 1 angka 7 KUHAP,
yang dimaksud dengan penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan
perkara pidana ke Pengadilan Hak Asasi Manusia yang berwenang dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam KUHAP dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim
di sidang pengadilan. Pasal 23 ayat (1) menentukan bahwa penuntutan perkara Pelanggaran
Hak Asasi Manusia Berat dilakukan oleh Jaksa Agung. Dalam melaksanakan tugasnya
sebagai penuntut umum, Jaksa Agung bisa saja tidak mengangkat penuntut umum Ad Hoc,
namun masalahnya tidak mungkin Jaksa Agung sendiri yang akan melakukan penuntutan
terhadap semua Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat. Menurut Pasal 23 ayat (2) penuntut
umum Ad hoc terdiri atas :

a.UnsurPemerintahan
b. Unsur masyarakat, yang menurut penjelasan Pasal 23 ayat (2) diutamakan diambil
dari mantan penuntut umum di Peradilan umum atau oditur di Peradilan Militer.

Agar dapat diangkat menjadi Penuntut Umum Ad hoc, Pasal 23 ayat (4) menetukan harus
memenuhi beberapa syarat sebagai berikut :

1. Warga Negara Republik Indonesia


2. Berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam
puluh lima) tahun
3. Berpendidikan Sarjana Hukum dan berpengalaman sebagai Penuntut Umum
4. Sehat jasmani dan rohani
5. Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela
6. Setia kepada Pancasila dan UUD 1945
7. Memiliki pengetahuan dan kepedulian dibidang Hak Asasi Manusia.

Pengangkatan penuntut umum Ad hoc tersebut dituangkan dalam suatu keputusan Jaksa
Agung. Perlu mendapat perhatian, meskipun setiap jaksa dapat bertindak sebagai penuntut
umum (pasal 1 huruf a KUHAP jo. pasal 1 angka 1 Undang- Undang nomor 16 Tahun 2004),
tetapi untuk dapat bertindak sebagai Penuntut Umum terhadap Pelanggaran Hak Asasi
Manusia Berat, jaksa harus diangkat sebagai Penuntut Umum Ad Hoc. Jadi, selain
mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya, jaksa tersebut harus sekali lagi
mengucapkan sumpah dan janji sebagai penuntut umum Ad Hoc dihadapan Jaksa Agung.9

9
Atmasasmita, Romli. 2001. Referensi hukum, Hak Asasi Manusia Dan Penegakan Hukum. CV Mandar Maju. Bandung.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 wewenang Jaksa Agung sebagai Penuntut
Umum adalah untuk melakukan penahanan lanjutan yang terdapat dalam pasal 12 ayat (1).
Dan kewajiban untuk melimpahkan berkas perkara Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat ke
Pengadilan Hak Asasi Manusia paling lambat 70 (tujuh puluh) hari terhitung sejak tanggal
hasil penyidikan diterima (pasal 24). Atas dasar pasal 10, ketentuan yang berkaitan dengan
wewenang jari Jaksa Agung sebagai penuntun umum sebagaimana penuntut umum yang
ditentukan dalam KUHAP.10
Pelaksanaan Penuntutan Meskipun yang bertindak baik sebagai penyidik yang berupa
berkas perkara Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat dari pnyidik kepada penuntut umum
harus dilakukan secara formil, dengan maksud untuk menghitung jangka waktu penuntutan,
kaena pasal 24 menentukan bahwa penuntutan dilaksanakan paling lambat 70 (tujuh puluh)
hari terhitung sejak tanggal penyidikan diterima oleh penuntut umum dari penyidik.

Pada awaktu penuntut umum melimpahkan perkara Pelnggaran Hak Asasi Manusia Berat
ke Pengadilan Hak Asasi Manusia, terdapat 2 (dua) hal yang perlu mendapat perhatian.

a. Dengan memperhatikan ketentuan yang terdapat didalam pasal 203 ayat (1) dan pasal
205 KUHAP, acara pemeriksaan disidang pengadilan Acara Pemeriksaan Biasa (Bab XVI
bagian Ketiga dan Bagian keempat KUHAP)Karena :

1. Pembuktian dan penerapan hukumnya pada perkara Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Berat adalah tidak mudah dan sifatnya tidak sederhana.

2. Diantara pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, ancaman pidananya


yang paling singkat adalah 5 (lima) tahun.

b. Surat dakwaan jangan sampai disusun secara kumulatif (gabungan)atau subside


(pengganti) dengan tindak pidana yang bukan pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, karena
surat dakwaan tentang tindak pidana yang bukan merupakan merupakan pelanggaran Hak
Asasi Manusia Berat, bukan merupakan lingkup kewenangan absolute atau kompetensi
absolute atau kompetensi absolute pemeriksaan dari Pengadilan Hak Asasi Manusia.11

10
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. 1995

11
Justisia. 1999. Jurnal Penelitian Ilmu Hukum. Fakultas Hukum Unila. Lampung
3. HAK ASASI MANUSIA DALAM PEMERIKSAAN DI MUKA
PERSIDANGAN PENGADILAN

Perlindungan terhadap HAM yang dimaksudkan disini dibedakan atas tiga bagian yakni :

1. Perlindungan HAM, dalam/pada waktu dilakukannya tindakan-tindakan Hukum oleh


penyidik (polisi) berupa: penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan.

Untuk diperbolehkannya Penyidik (polisi) melakukan penangkapan,penahanan,


penggeledahan dan penyitaan, harus dipenuhi lebih dahulu syarat-syarat yang ditentukan oleh
KUHAP, selanjutnya dapat dilakukan penangkapan, penahanan, dan penggeledahan, serta
penyitaan itu. Syarat-syarat penangkapan diatur dalam pasal 17, 18, dan 19 KUHAP, syarat-
syarat penggeledahan diatur dalam pasal 33, 34, dan 36 KUHAP, syarat-syarat penahanan
diatur dalam pasal 21 KUHAP, sementara syarat-syarat penyitaan terdapat dalam pasal 38,
41, 42, dan 43 KUHAP.

2. Adanya jaminan HAM, tersangka dan terdakwa selama proses peradilanyang dilindungi
hukum.

Jaminan HAM dan perlindungan HAM seseorang yang terlibat proses peradilan, terdapat
di dalam KUHAP (pasal-pasal 50, s/d 68, 72, 79, 80,, 81, 95 dan pasal 97 KUHAP).

3. Adanya keyakinan Hakim

Dalam setiap tingkat proses peradilan, mulai dari tingkat pemeriksaan penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan dipersidangan pengadilan, ada saja kemungkinan terjadinya
rekayasa-rekayasa untuk membuat seseorang tersangka dan terdakwa menjadi bersalah dan
dijatuhi hukuman oleh Pengadilan. Biasanya Hakim dapat memahami dan mengetahui/dapat
membaca adanya rekayasa-rekayasa tersebut. Karena itu Hakim dalam menghukum atau
tidak menghukum seseorang (terdakwa) tidak cukup berdasarkan kepada ada atau tidak
adanya bukti secara juridis formal saja, tetapi harus ada pula keyakinan Hakim berdasarkan
bukti juridis yang membuktikan seseorang itu bersalah. jika Hakim tidak yakin akan
bersalahnya seseorang (terdakwa) itu, Hakim tidak dapat menjatuhkan hukuman dan dapat
membebaskan terdakwa. Jadi dapat dikatakan bahwa keyakinan Hakim merupakan
perlindungan terakhir terhadap HAM seorang terdakwa yang disidangkan pengadilan.
Perlindungan hak asasi manusia yang dikaitkan dengan ketentuan hukum Indinesia juga
tertuang dalam UU No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman melalui beberapa asas yaitu:

a. Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan
pembedaan perlakuan ;

b. Penangkapan, penahan, penggeledahan, dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan


perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang dan hanya
dalam hal dan dengan cara yang diatur dengan undang-undang ;

c. Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka
sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan
yang menyataklan kesalahan dan memperoleh kekuatan hukum tetap.

d. Kepada seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut, dipidana ataupun diadili tanpa
alasan yang berdasarkan undang-undang dan atau karena kekeliruan mengenai orangnya
atau hukum yang diterapkan wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat
penyidikan dan para pejabat penegak hukum yang sengaja atau karena kelalaiannya
menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana, dan atau dikenakan
hukuman adminsitrasi.

e. Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana, dan biaya ringan serta bebas,
jujur, dan tidak memihak.

f. Setiap orang yang tersangkut perkara, wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan
hukum yang semat-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas
dirinya;

g. Kepada seorang tersangka, sejak saat dilakukan penangkapan dan atau penahan selain
wajib diberi tahu dakwaan dan dasar hukum apa yang didakwaakan kepadanya, juga
wajib diberi tahu haknya itu termasuk hak untuk menghubungi dan minta bantuan
penasehat hukum;

h. Peradilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa;

i. Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali dalam hal yang
diatur dalam undang-undang;
j. Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan negeri yang bersangkutan.

Walaupun terdapat alasan yang dapat memberikan penghalalan terhadap kewenangan


aparat penegak hukum untuk membatasi hak asasi manusia yang berkaitan dengan hukum
acara di Indonesia, tetapi penghormatan hak asasi manusia dalam arti menegakkan keadilan
tidak boleh ditinggalkan oleh aparat penegak hukum ( Effendi, 1994 :129 – 130).

Hukum dapat menjadi sarana untuk menggerakan perubahan masyarakat dan


pembangunan. Dalam dinamika perubahan masyarakat dan pelaksanaan pembangunan
terdapat pula benturan-benturan kepentingan, yang kemudian dapat pula menimbulkan suatu
tindakan yang tidak selaras dengan perubahan masyarakat dan pembangunan. Benturan-
benturan ini hendaknya diselesaikan dengan menggunakan prosedur hukum yang telah
diberlakukan, dan tidak pula menggunakan sarana hukum yang tidak sebagaimana mestinya
atau penyalahgunaan wewenang demi kepentingan tertentu.

Dalam upaya menciptakan ketertiban dan ketentraman dalam masyarakat terutama untuk
pelaksanaan pembangunan diperlukan adanya suasana yang mendukung dan kondusif. Untuk
itu diperlukan upaya-upaya penegakan hukum dan perlindungan hukum. Tetapi, tidaklah pula
dapat dijadikan alasan untuk bertindak sewenang-wenang berupa perampasan kemerdekaan
seseorang atau sekelompok orang dengan tanpa dasar dan dugaan yang kuat melakukan
perbuatan melawan hukum yang jelas dan terang. Pelaksanaan pembangunan harus tetap
memperhatikan beberapa aspek yang berkaitan dengan hak asasi manusia.

Berkaitan dengan ini KUHAP telah memberikan perlindungan terhadap hak asasi
manusia, berkaitan dengan tindakan seseorang atau sekelompok orang yang melakukan
pelanggaran atau kejahatan, dan tindakan aparat penegak hukum dalam menjalankan tugas
dan fungsi sebagai aparat penegak hukum dalam memberikan perlindungan hukum bagi
semua pihak dan negara. Sehingga tindakan yang melampaui batas atau Politik Kenegaraan...
77 tindakan pemerkosaan HAM yang tidak dibenarkan oleh aturan hukum yangberlaku dapat
dihindarkan. Bagaimanpun juga, hak asasi dalam pelaksanaannya masuk kedalam persoalan
hukum dan diatur oleh hukum, dengan demikian landasan hukum yang ada dan memuat serta
mengatur hak asasi harus tetap dijaga oleh Pemerintah. Oleh karena itu, Pemerintah yang
memiliki kelebihan satu tingkat/satu derajat di atas warga negara, harus pula menjamin
terciptanya hukum dan keadilan dalam masyarakat (Effendi, 1994 ; 127).
4. HAK ASASI MANUSIA DIDALAM LAPAS

Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga


Pemasyarakatan (LAPAS) maupun di Rumah Tahanan, yang sekarang ini keduanya
menjalankan fungsi pemasyarakatan. Meskipun terpidana kehilangan kemerdekaannya,
terdapat hak-hak narapidana yang tetap diakui, dihormati, dan dilindungi dalam sistem
pemasyarakatan Indonesia.Perlindungan HAM bagi Narapidana menjadi salah satu sasaran
kebijakan Kementrian Hukum dan HAM yang dituangkan dalam berbagai bentuk peraturan
perundang-undangan. Kebijakan ini yang kemudian dilaksanakan oleh Unit Pelaksana Teknis
Lembaga Permasyarakatan di seluruh Indoneisia.

Hak-hak narapidana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di


Indonesia. Hal tersebut secara eksplisit diatur dalam pasal 14 UU RI No. 12 Tahun 1995
tentang Pemasyarakatan, meliputi :

a. Melakukan ibadah sesuai agama atau kepercayaannya.

b. Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani.

c. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran.

d. Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak.

e. Menyampaikan keluhan.

f. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak
dilarang.

g. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan.

h. Menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum, atau orang tertentu lainnya.

i. Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi).

j. Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga.

k. Mendapatkan pembebasan bersyarat.

l. Mendapatkan cuti menjelang bebas, dan


m. Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang
berlaku

Hak –hak narapidana lebih lanjut diatur dalam PP No 32 tahun 1999 tentang Syarat dan
Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, yaitu :

1. Ibadah, terdapat dalam pasal 2 sampai dengan pasal 4.


2. Perawatan Rohani dan Perawatan Jasmani, terdapat dalam pasal 5 sampai dengan
pasal 8.Perawatan rohani yang meliputi bimbingan rohani dan pendidikan budi
pekerti. Perawatan jasmani meliputi kesempatan melakukan olah raga dan rekreasi,
pemberian perlengkapan pakaian, tidur, dan mandi.
3. Pendidikan dan Pengajaran, terdapat dalam pasal 9 sampai dengan pasal 13.
4. Pelayanan Kesehatan dan Makanan, terdapat dalam pasal 14 sampai dengan pasal
25.
5. Keluhan secara lisan maupun tertulis, terdapat dalam pasal 26.
6. Bahan Bacaan dan Siaran Media Massa, terdapat dalam pasal 27 dan 28. 1 PP No
32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan
7. Upah dan Premi, khususnya bagi narapidana yang bekerja, terdapat dalam pasal 29.
8. Kunjungan, terdapat dalam pasal 30 sampai dengan pasal 33.
9. Remisi, terdapat dalam pasal 34 dan pasal 35.
10. Asimilasi dan Cuti, terdapat dalam pasal 36 sampai dengan pasal 42.
11. Pembebasan bersyarat, terdapat dalam pasal 43 sampai dengan pasal 48.
12. Cuti Menjelang Bebas, terdapa dalam pasal 49 dan pasal 50. 13. Hak-hak lain,
yaitu hak politik, hak memilih, dan hak keperdataan, terdapat dalam pasal 51 sampai
dengan pasal 53.12
Selain itu, sebagai manusia narapidana juga memiliki hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi meskipun sedang menjalani pidana penjara (non derogable rights). Berikut ini
pasalpasal yang mengatur tentang hak-hak yang tidak dapat dikurangi (non derogable rights),
yaitu :

 Pasal 28 I ayat (1) UUD Negara RI 1945


 Pasal 37 TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998
 Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

12
PP No 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan
Menurut International Covenant on Civil and Political Rights sebagaimana telah

diratifikasi oleh pemerintah Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005


Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik, kategori hak-hak yang tidak dapat
dikurangi (non derogable rights), antara lain :

1) hak atas hidup (rights to life);

2) hak bebas dari penyiksaan (rights to be free from torture);

3) hak bebas dari perbudakan (rights to be free from slavery);

4) hak bebas dari penahanan karena gagal memenuhi perjanjian (utang);

5) hak bebas dari pemidanaan yang berlaku surut;

6) hak sebagai subjek hukum; dan

7) hak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan agama.

Berdasarkan Pasal 10 ICCPR ditegaskan bahwa semua orang yang kehilangan


kebebasannya, diperlakukan secara berperikemanusiaan dan dengan rasa hormat mengenai
martabat pribadi insan bawahannya.

Hak-hak tersebut di atas merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi (non
derogable rights) meskipun narapidana sedang menjalani pidana penjara. Peraturan
perundangundangan tentang hak tersebut menunjukkan upaya pemerintah untuk memberikan
pengakuan, penghormatan dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia setiap warga
negara tanpa kecuali.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPILAN

Berdasarkan dan pembahasan pada halaman sebelumnya, maka dalam tulisan ini dapat
disimpulkan beberapa hal:

1. Penyelesain perkara pelanggaran Hak Asasi harus melewati beberapa tahap sebelum
ke proses pengadilan yaitu tahap penyelidikan dan penyidikan. Dalam Undang-
Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia banyak sekali
faktor penghambat dalam penyelesaian perkara pelanggaran Hak Asasi bahwa, pada
penerapannya dalam proses penyelidikan dan penyidikan banyak ditemui beberapa
permasalahan yaitu pada tahap proses penyelidikan yang dilakukan oleh KOMNAS
HAM dan kemudian hasil dari penyelidikan terkadang berkas atau laporan kurang
lengkap yang disetorkan kepada penyidik sehingga memakan waktu yang lama dalam
pelengkapan berkas. Hal ini tentunya sagat memakan waktu yang cukup lama dan
juga cukup rentan karena apabila terdapat bukti permulaan yang kurang cukup dan
kesimpulan hasil penyelidikan disampaikan kepada penyidik dirasakan oleh penyidik
kurang lengkap, maka pasti akan terjadi bolak-balik berkas. Dan untuk diperhatikan
meskipun hasil penyelidikan yang dilakukan oleh penyelidik sudah dituangkan dalam
bentuk berita acara dan dibuat dalam lingkup proyustisia, berita acara tersebut tidak
dapat langsung digunakan sebagai bahan penyusunan berkas perkara. Berita acara
yang dapat digunakan sebagi bahan penyusunan berkas perkara adalah berita acara
yang dibuat oleh penyidik.
2. Upaya mengatasi faktor-faktor penghambat penuntutan pelangaran hak asasi manusia
dalam mengatasi permasalahan adalah sebagai berikut :
a. Undang-Undang
b. Penegak Hukum Penegakkan HAM membutuhkan aparat yang mandiri dan
memiliki otoritas moral yang tinggi,
c. Faktor sarana dan fasilitas Adanya peradilan Hak Asasi Manusia di seluruh wilayah
Indonesia sehingga penegakan hukum dapat dijalnkan semestinya Dukungan sarana
dan prasarana.
d. Faktor masyarakat artinya penegakan Hak Asasi Manusia dan pro aktif dalam
melakukan pengawasan dalam penegakan Hak Asasi Manusia.
e. Faktor Kebudayaan Peranan pemerintah harus ada dalam mensosialisasikan budaya
kesadaran hukum di Indonesia bagi masyarakat kita sehingga dalam penegakan
hukum tidak terlalu sulit karena masyrakat telah tertib dan sadar hukum.

3. Perlindungan hukum yang diberikan oleh aturan hukum dalam hukum acara di
Indonesia meliputi pembatasan hak asasi manusia terhadap seseorang atau
sekelompok orang yang diduga telah melakukan perbuatan melawan hukumdalam
bentuk pelanggaran dan kejahatan atas ketentuan yang berlaku dalam hukum positif di
Indonesia. Hukum Acara Pidana yang termuat dalam Undang-Undang No. 8/ 1981,
sebagai upaya perlindungan hukum bagi penegakan negara hukum Indonesia yang
menganut sistem demokrasi, di mana warga negara tetap diberi kesempatan untuk
menggunakan hak-haknya walaupun sudah berada dalam status diduga melakukan
pelanggaran atau kejahatan berdasarkan ketentuan yang berlaku di Indonesia.

4. Disamping keadaan terpidana yang sedang menjalani masa hukumannya di Lembaga


Pemasyarakatan yang kehilangan kemerdekaannya, terdapat hak-hak narapidana yang
tetap diakui, dihormati, dan dilindungi dalam sistem pemasyarakatan Indonesia.
Pengakuan, penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak narapidana ini sejalan
dengan pengakuan, penghormatan dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM). Hal
ini nampak pada pengaturan hak-hak narapidana melalui peraturan perundang-
undangan yang berlaku di Indonesia maupun aturan-aturan internasional tentang HAM
yang diadopsi dan digunakan di Indonesia. Peraturan perundang-undangan yang
mengatur hak-hak narapidana sesuai atau sejalan dengan pengakuan, penghormatan dan
perlindungan Hak Asasi Manusia.

B. SARAN
1. Penegakan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia harus ditanggapi serius oleh
pemerintah karena didalam penyelesaian banyak terjadi berbagai hambatan dalam
proses penyelidikan dan penyidikan karena sangat sulit untuk melakukan
pemanggilan saksi dan korban karena pengadilan HAM terbatas dan harus adanya
penyedian sumber daya manusia yang berkulaitas didalam penangan kasus Hak Asasi
Manusia.
2. Pelaksaan penegakan hukum harus di tunjang dengan penegakkan Hak Asasi Manusia
kemauan politik para pemangku kebijakan negara untuk secara sungguh-sungguh
menjalankan dan mengimplementasikan serta menegakkan tata nilai Hak Asasi
Manusia yang ada sehingga pelaksanaan dan hambatanhambatan yang ada dilapangan
dapat di tanggulangi.
3. HAM dalam KUHAP di hukum acara persidangan indonesia, perlu dipraktekan lebih
kondusif dan sering lagi, karna menurut data kasus di setiap persidangan, HAM
terhadap seseorang masih minim dan orang sebagai tergugat atau penggugat di
pengadilan masih belum mengetahui maksud dari HAM dalam suatu acara
persidangan tersebut.
4. Pengaturan hak-hak narapidana sudah sesuai atau sejalan dengan pengakuan,
penghormatan dan perlindungan Hak Asasi Manusia, oleh karena itu peraturan
perundangan tersebut perlu terus ditegakkan dan dilaksanakan di Lapas maupun
Rutan.
DAFTAR PUSTAKA

Atmasasmita, Romli. 2001. Referensi hukum, Hak Asasi Manusia Dan Penegakan Hukum.
CV Mandar Maju. Bandung.

Anonim. (1983). Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Karya Anda: Surabaya.

Budiardjo, Meriam. (1985). Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakrata: Gramedia.

Barda Nawawi Arief. 2007 Kapita Selekta Hukum Pidana tentang Sistem Peradilan Pidana
Terpadu, BP Universitas Diponegoro Semarang,

Efi Laila Kholis, 2003,“Hubungan Polisi Dan Jaksa Dalam Peradilan Pidana
Terpadu”Media Hukum Vol 2 ,Jakarta,

Ifdhal Kasim, 2006 “Kodifikasi Hukum Pidana dalam Kerangka Perlindungan Hak Asasi
Manusia”, Jakarta,

Justisia. 1999. Jurnal Penelitian Ilmu Hukum. Fakultas Hukum Unila. Lampung

Loeqman,Loebby. 2002, Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Hukum Acara Pidana (HAP),
Datacom, Jakarta,

Mardjono Rekspdiputro. 1993. Menuju Pada Satu Kebijakan Kriminal Dalam HAM Dalam
Sistim Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Hukum Dan Keadilan, Jakarta,

Manfred, Nowak. 2003 “Pengantar Pada Rezim HAM Internasional”, Pustaka Hak Asasi
Manusia Raoul Wallenberg Institute,

PP No 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (UU No. 8 Tahun 1981)

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. 1995

Anda mungkin juga menyukai