Disusun Oleh :
Nama : I Gusti Bagus Indra Kumara
NIM : 20200110159
Kelas : A2
Semester : IV
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NGURAH RAI
Pertemuan 1
Pengertian Hukum dan Hak Asasi Manusia
Pengertian Hukum
Hukum sebagai objek ”Ilmu Hukum” harus dapat didefinisikan atau mempunyai definisi,
yang berfungsi untuk memberikan suatu orientasi yang jelas dan tegas tentang disipilin
ilmu yang dinamai “Ilmu Hukum” agar yang belajar hukum mampu membedakan antara
disiplin ilmu hukum yang dipelajarinya dengan disiplin ilmu lainnya. Berdasarkan
kenyataan yang ada dalam penelurusan kepustakaan terkait filsafat,teori dan ilmu ilmu
hukum banyak ahli hukum yang telah memberikan definisi hukum, memang ditemui
perbedaan formulasi rumusan antara satu dengan lainnya, akan tetapi itu hal yang sangat
wajar dalam kajian keilmuan jika ditemukan beberapa definisi untuk suatu objek dari
sumber subjek yang berbeda.
Berikut ini adalah pengertian hukum menurut dari para ahli :
Van Vollenhoven (Het Adatrecht van Nederland Indie), mengemukakan bahwa
hukum adalah suatu gejala dalam pergaulan hidup yang bergolak terus menerus
dalam keadaan saling berbenturan dengan gejala-gejala lainnya;
Hans Kelsen (Reine Rechtslehre), menyatakan bahwa hukum adalah terdiri dari
suatu kaedah-kaedah menurut mana orang harus berlaku;
Prof. Achmad Ali (Teori Hukum), menyatakan bahwa hukum serangkaian aturan
yang tersusun dalam suatu system,yang berisikan petunjuk tentang apa yang
boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan, perintah dan larangan bagi warga
masyarakat, yang disertai sanksi pemaksa;
Sudiman(Pengantar Tata Hukum di Indonesia), menyatakan hukum adalah
pikiran atau anggapan orang tentang adil dan tidak adil mengenai hubungan antar
manusia.
Pengertian Hak Asasi Manusia
Menurut Pasal 1 Butir 1 UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, seperangkat
hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh Negara,hukum,pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia. Dirujuk dari sumbernya, HAM berasal dari
TUHAN, sedangkan hak dasar asalnya dari negara atau pemerintah. HAM bersifat
universal,sedangkan hak dasar bersifat domestic. Fungsi HAM adalah mengawal Hak
Dasar (Legal Rights). Filosofis HAM adalah Kebebasan yang berbasis atas penghormatan
atas kebebasan orang lain. Artinya kebebasan HAM tidak tak terbatas, oleh karena tatkala
memasuki wilayah kebebasan orang lain maka daya kebebasan itu berakhir. DF.
Scheltens, mengemukakan bahwa HAM adalah hak yang diperoleh setiap manusia
sebagai konsekuensi ia dilahirkan menjadi manusia, karenanya HAM harus dibedakan
dengan hak dasar. HAM berasal dari kata Mensen Rechten, sedangkan hak dasar berasal
dari kata Grond Rechten.
Terdapat terminology yang biasanya dipergunakan dalam tradisi akademik tentang
sebutan HAM, istilah satu dengan lainnya masing-masing analog, sehingga menggunakan
salah satu diantaranya telah terwakilkan pula yang lainnya, istilah-istilah yang dimaksud
adalah sebagai berikut :
Human Rights : hak pokok atau hak dasar yang dibawa oleh manusia sejak lahir
yang secara kodrat melekat pada setiap manusia dan tidak dapat diganggu gugat
karena merupakan anugrah Tuhan Yang Maha Esa;
Natural Rights: suatu kebebasan tiap manusia untuk menggunakan kekuatannya
sendiri sesuai dengan kehendakannya dalam rangka pemeliharaan atas dirinya
demi hidupnya;
Fundamental Rights: sekelompok hak yang telah diakui dengan tingkat
perlindungan yang tinggi dari perambahan, hak-hak ini secara khusus
diidentifikasi dalam konstitusi,atau telah ditemukan dibawah proses hukum;
Civil Rights: kelas hak yang melindungi kebebasan individu dari pelanggaran
oleh pemerintah,organisasi sosial,dan individu swasta. Mereka menjamin hak
seseorang untuk berpatisipasi dalam kehidupan sipil dan politik masyarakat dan
negara tanpa diskriminasi atau represi;
Hak-hak Asasi Manusia : silahkan cermati Pasal 1 Butir 1 UU No.39 Tahun 1999
Tentang HAM;
Hak Kodrati : hak-hak yang senantiasa melekat pada manusia karena ia manusia,
atau hak –hak yang dimiliki manusia sebagai bagian eksistensinya (Thomas
Paine).
Pertemuan 2
Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia Di Indonesia
Hak Asasi Manusia adalah konsep hukum yang menyatakan bahwa manusia memiliki
hak yang melekat pada dirinya dan tidak bisa dilepas oleh siapapun. Pada prinsipnya,
HAM tidak bisa dicabut, tidak dapat dibagi, saling berhubungan, dan saling bergantung.
Apabila ditelusuri, sejarah lahirnya HAM di dunia bermula sejak periode sebelum
Masehi. Sedangkan di Indonesia sendiri, sejarah perkembangan HAM dapat dirasakan
sejak sebelum kemerdekaan. Perkembangan HAM di Indonesia pada periode sebelum
kemerdekaan ditandai dengan kemunculan organisasi-organisasi pergerakan nasional,
sebagai berikut :
Budi Utomo Pada 1908, terbentuk organisasi bernama Budi Utomo, yang menjadi
salah satu wujud nyata adanya kebebasan berpikir dan berpendapat di depan
umum. Lahirnya organisasi Budi Utomo ini juga memicu masyarakat memiliki
pemikiran tentang hak untuk ikut serta secara langsung ke dalam pemerintahan.
Selain itu, nilai-nilai HAM yang disuarakan organisasi ini adalah hak untuk
merdeka dan menentukan nasib sendiri;
Perhimpunan Indonesia , Selain Budi Utomo organisasi lain yang juga terbentuk
pada 1908 adalah Perhimpunan Indonesia. Perhimpunan Indonesia menghimpun
suara para mahasiswa yang ada di Belanda, yang melahirkan konsep HAM guna
memperjuangkan hak negara Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri;
Sarekat Islam , Selanjutnya adalah organisasi Sarekat Islam (SI) yang bertujuan
untuk mengusahakan penghidupan yang layak dan terbebas dari penindasan
diskriminasi dan kolonialisme. Akar dari SI adalah prinsip-prinsip HAM yang
sesuai dengan ajaran Islam.
Partai Komunis Indonesia, Organisasi lain yang juga ikut memperjuangkan HAM
adalah Partai Komunis Indonesia atau PKI. PKI memiliki landasan untuk
memperjuangkan hak yang bersifat sosial.
Indische Partij dan Partai Nasional Indonesia , Indische Partij (IP) dan Partai
Nasional Indonesia memperjuangkan hak untuk mendapat kemerdekaan dari
penjajah. Dengan lahirnya berbagai organisasi yang bersuara tentang HAM,
muncul pula beberapa perdebatan. Salah satunya adalah pendapat dari Supomo,
yang mengatakan bahwa rakyat Indonesia sudah bersatu dengan negaranya,
sehingga tidak perlu lagi melindungi mereka dari negaranya.
Setelah kemerdekaan, hal yang masih diperdebatkan adalah tentang hak untuk merdeka,
hak berorganisasi dalam politik, dan hak berpendapat di parlemen. Oleh sebab itu,
Indonesia menjamin hak para rakyatnya untuk berserikat, berkumpul, dan
menyampaikan pendapat yang tercantum dalam UUD 1945 Pasal 28.
Orde Lama, pada periode ini, sistem politik di Indonesia dipengaruhi oleh sistem
liberalisme dan parlementer, sehingga perkembangan HAM juga ikut
terpengaruh. Beberapa pencapaian perjuangan HAM pada masa ini yaitu:
Partai politik semakin banyak bermunculan, meskipun tumbuh dengan
ideologinya masing-masing.
Hak pers, pada periode ini memiliki kebebasan.
Pemilihan umum dilaksanakan secara bebas, jujur, dan demokrasi.
Dewan Perwakilan Rakyat, menunjukkan hasil kerja yang baik dengan
pengawasan dan kontrol yang seimbang.
Keberadaan partai politik dengan ideologi yang berbeda-berbeda, tetap
memiliki visi yang sama yaitu untuk memasukkan tentang hak asasi
manusia ke dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar.’
Pada periode ini, Indonesia juga sempat bergabung dalam dua konvensi HAM
internasional, sebagai berikut :
Konvensi Jenewa tahun 1949, yang membicarakan tentang hak bagi
korban perang, tawanan perang, dan perlindungan sipil saat perang.
Konvensi tentang hak politik perempuan yang berisi mengenai hak
perempuan tanpa diskriminasi dan hak permepuan untuk mendapat
jabatan publik.
Pada 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden, yang
berdampak pada sistem politik, di mana kebebasan untuk berpendapat,
berkumpul, dan menyampaikan pemikiran dengan tulisan sangat dibatasi.
Orde Baru, Pemerintahan Orde Baru berusaha memberikan penolakan terkait
konsep HAM, berikut ini beberapa alasannya :
HAM merupakan pemikiran yang berasal dari Barat, dan dianggap
bertolak belakang dengan nilai-nilai budaya Bangsa Indonesia dan dasar
negara Pancasila.
Rakyat Indonesia mengenal HAM melalui Undang-Undang Dasar 1945
yang lahir lebih dulu dibandingkan dengan Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia (DUHAM).
Permasalahan mengenai HAM yang berasal dari Barat dianggap menjadi
senjata yang tidak terlihat untuk memojokkan negara berkembang seperti
Indonesia.
Faktanya, pada masa Orde Baru telah banyak terjadi pelanggaran HAM.
Misalnya, kebijakan politik yang diterapkan bersifat sentralistis dan tidak
menerima pendapat yang berbeda dengan pemerintah. Kemudian, terjadi
beberapa kasus mengenai pelanggaran HAM pada masa Orde Baru, seperti G30S
(1965), Peristiwa Tanjung Priok (1984), Kasus Kedung Ombo (1989), dan masih
banyak lainnya. Pada masa ini, HAM masih dianggap sebagai buah pemikiran
dari negara luar atau Barat dan dinilai sebagai pengHAMbat proses
pembangunan. Di sisi lain, sebagian besar masyarakat merasa bahwa HAM itu
luas dan terbuka. Pada 1993, akhirnya dibentuk lembaga mandiri yang bernama
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM. Fungsi dari Komnas
HAM adalah melaksanakan kajian, perlindungan, penelitian, penyuluhan,
pemantauan, investigasi dan mediasi soal masalah HAM. Selama Orde Baru,
berikut ini beberapa konvensi HAM yang diikuti oleh Indonesia :
Konvensi tentang penghapusan bentuk diskriminasi terhadap perempuan,
tertuang dalam UU No. 7 tahun 1984.
Konvensi anti-apartheid, tertuang dalam UU No. 48 tahun 1993.
Konvensi Hak Anak, tertuang dalam keputusan Presiden No. 36 tahun
1990
1998-sekarang, Memasuki era Reformasi, HAM mengalami perkembangan yang
cukup pesat. Buktinya adalah lahirnya TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang
HAM. Selain itu, HAM juga mendapatkan perhatian besar dari pemerintah
dengan melakukan amandemen UUD 1945 guna menjamin HAM. Setelah itu,
ditetapkannya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia.
Pertemuan 3
Teori dan Prinsip-Prinsip HAM
Teori Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia adalah hak yang melekat secara inherent pada diri manusia karena ia
manusia. Satu satunya alasan seseorang memiliki hak asasi adalah karena ia manusia.
Fokus utama dari hak asasi manusia adalah kehidupan dan martabat manusia. Martabat
manusia akan terganggu ketika mereka menjadi korban pelecehan seksual, penyiksaan,
perbudakan; termasuk jika hidup tanpa kecukupan pangan, sandang dan perumahan. Asal
usul gagasan mengenai hak asasi manusia dapat diruntut kembali sampai jauh kebelakang
hingga ke zaman kuno dengan filsafat Stoika hingga ke zaman modern. Di kalangan para
ahli hukum terdapat tiga teori utama yang menjelaskan asal muasal lahirnya pemikiran
mengenai hak asasi manusia, yakni teori hukum kodrati, positivisme, dan anti-utilitarian.
Teori Hukum Kodrati
Pemikiran yang kemudian melahirkan teori hukum kodrati tidak lepas dari
pengaruh tulisan-tulisan santo Thomas Aquinas. Menurut Aquinas, hukum
kodrati merupakan bagian dari hukum Tuhan yang dapat diketahui melalui
penalaran manusia. Gagasan Aquinas meletakan dasar-dasar mengenai hak
individu yang bersifat otonom. Setiap manusia dianugrahi identitas individual
yang unik oleh Tuhan, dan hal ini terpisah oleh Negara. Namun gagasan Aquinas
menuai banyak kritik karena tidak empiris, bagaimana kita tahu Tuhan telah
memberikan hak tertentu pada semua orang. Hugo de Groot, atau dekenal
dengan Grotius, mengembangkan lebih lanjut teori hukum kodrat Aquinas
dengan memutus asal-usulnya yang theistic dan membuatnya menjadi produk
pemikiran sekuler yang rasional. Menurut Grotius eksistensi hukum kodtrat
dapat diketahui dengan menggunakan penalaran yang benar, dan derajat
kesahihannya tidak bergantung pada Tuhan. Hukum kodrati yang merupakan
landasan hukum positif atau hukum tertulis, dapat dirasionalkan dengan
menggunakan aksional logika dan ilmu ukur. Sepanjang Abad 17, pandangan
Grotius terus disempurnakan. Melalui teori ini hak-hak individu yang subyekstif
diterima dan diakui. Tokoh yang dianggap paling berjasa dalam meletakan dasar-
dasar teori hukum kodrati ialah John Locke dan JJ Rousseau. Dalam buku
klasiknya: “The Second Trities of Civil Government and a Letter Concerning
Toleration”, John Locke mengajukan sebuah postulasi pemikiran bahwa semua
individu dikaruniai oleh alam hak yang melekat atas hidup, kebebasasan dan
kepemilikan, yang merupakan milik mereka sendiri dan tidak dapat dicabut atau
dipreteli oleh Negara. Melalui suatu ―kontrak social‖ (social contract),
perlindungan atas hak yang tidak dapat dicabut ini diserahkan pada Negara.
Apabila penguasa Negara mengabaikan kontrak social itu dengan melanggar
hak-hak kodrati individu, maka rakyat di Negara itu bebas menurunkan sang
penguasa dan menggantinya dengan suatu pemerintah yang bersedia
menghormati hak-hak tersebut. Rousseau mengikuti teori kontrak social. Tetapi
berbeda dengan Locke, Rousseau mengatakan bahwa hukum kodrati tidak
menciptakan hak-hak kodrati individu, melainkan hak kedaulatan warga Negara
sebagai suatu kesatuan. Setiap hak yang diturunkan dari suatu hukum kodrati aka
nada pada warga Negara sebagai satu kesatuan yang bisa diidentifikasi melalui
kehendak umum (general will). Gagasan Locke mengenai hak-hak kodrati inilah
yang melandasi munculnya revolusi hak dalam revolusi Inggris Amerika Serikat,
dan Prancis pada Abad ke-17 dan ke-18. Teori hukum kodrtati melihat hak asasi
lahir dari Tuhan sebagai bagian dari kodrat manusia. Ketika manusia lahir sudah
melekat alam dirinya sejumlah hak yang tidak dapat diganti apalagi dihilangkan,
apapun latar belakang agama, etnis, kelas social, dan orientasi seksual mereka.
Teori Positivisme atau Utilitarian
Jeremy BentHAM menentang teori hukum kodrati habis-habisan. Kritik
terbesarnya mendasarkan bahwa teori hukum kodrati tidak bisa dikonfirmasi dan
diverifikasi kebenarannya. Bagi BentHAM, hak kodrati adalah anak yang tidak
memiliki ayah. Karena hak barulah ada apabila ada hukum yang mengaturnya
terlebih dahulu. Menurut BentHAM, eksistensi manusia ditentukan oleh tujuan
(utilitas) mencapai kebahagiaan bagi sebagian besar orang. Penerapan suatu hak
atau hukum ditentukan oleh apakah hak atau hukum tersebut memberikan
kebahagiaan terbesar bagi sejumlah manusia yang paling banyak. Setiap orang
memiliki hak, tetapi hak tersebut bisa hilang apabila bertentangan dengan
kebahagiaan dari mayoritas banyak orang. Kepentingan individu harus berada di
bawah kepentingan masyarakat. Karena pandangan yang mengutamakan banyak
orang tersebut, teori positivisme dikenal juga sebagai teori utilitarian. John
Austin mengembangkan gagasan yang sistematis mengenai teori positivism.
Menurut Austin, satu-satunya hukum yang shahih adalah perintah dari kekuasaan
politik yang berdaulat dengan disertai aturan dan sanksi yang tegas. Dengan cara
inilah suatu system yang rasional yang terdiri dari aturan-aturan yang saling
berkaitan dapat dikonfirmasi. Dalam pandangan Austin hak barulah muncul jika
ada aturan dari penguasa yang melindungi individu dan harta benda mereka.
Dalam pandangan teori positivisme hak barulah ada jika ada hukum yang telah
mengaturnya. Moralitas juga harus dipisah secara tegas dalam dimensi hukum.
Adapun kepemilikan hak dari tiap individui bisa dinikmati apabila diberikan
secara resmi oleh penguasa atau Negara. Dan yang paling menonjol dalam
pandangan ini ialah mempriorotaskan kesejahteraan mayoritas. Sedangkan
kelompok minoritas yang preferensinya tidak diwakili oleh mayoritas bisa
diabaikan dan kehilangan hak-haknya.
Teori Keadilan
Teori keadilan lahir dari kritik terhadap teori positivism. Tokoh yang
mengembangkan teori ini ialah Ronald Drowkin dan John Rawls. Teori Drowkin
sangat mendasarkan pada kewajiban untuk memperlakukan warganya secara
sama yang di emban Negara. Tentunya, nilai-nilai moral, kekuasaan, atau
menggunakan pendasaran lainnya sebagai alasan untuk mengesampingkan hak
asasi manusia—kecuali prinsip perlakuan sama itu sendiri. Oleh karenanya hak
asasi manusia dimaksudkan sebagai benteng—atau ―trump‖ dalam istilah yang
digunakannya sendiri— individu atas kehendak public yang merugikan atau
yang menjadikannya tidak mendapat perlakuan yang sama. Gagasan lainnya
adalah pandangan dari John Rawls yang kemudian mengenalkan konsep soal
keadilan distributive. Ada dua hal penting dalam hal ini, yakni keadilan
(fairness) dan kesamaan. Dalam pandangan Rawls, tiap orang memiliki hak yang
di dasarkan pada konsep keadilan yang tidak bisa di tawar-tawar, pun hal
tersebut terkait dengan isu kesejahteraan masyarakat secara umum. Untuk itu,
keadilan akan terwujud apabila didasarkan pada prinsi-prinsip posisi asal nya
masing-masing. Dalam keadaan ini tiap orang akan diasumsikan memilih dua
prinsip keadilan pokok. Prinsip pertama, tiap orang akan diberikan hak yang
sama luasnya. Prinsip kedua adalah kesetaraan yang di dasarkan pada kompetisi
yang adil dan hanya dijustifikasi bila ia menguntungkan bagi pihak yang paling
di rugikan. Bila di antara keduanya mengalami pertentangan maka kebebasan
yang setara harus dimenangkan dari kesempatan yang setara. Pilihan atas kedua
prinsip ini, menurut Rawls, akan mengemuka karena para pihak yang
mengadakan kontrak berada dalam keadaan tanpa pengetahuan atau tidak tahu
berbagai fakta yang akan menempatkan posisi kita di suatu masyarakat
Prinsip-Prinsip Hak Asasi Manusia
Prinsip-Prinsip Hak Asasi Manusia dikemukakan oleh beberapa ahli yaitu :
Manfred Nowak menyebut bahwa prinsip hak asasi manusia ada empat yaitu universal
(universality), tak terbagi (indivisibility), saling bergantung, (interdependent), saling
terkait (interrelated). Rhona K.M. Smith menambahkan prinsip lain yaitu kesetaraan
(equality) dan non-diskriminasi (non discrimination).Beberapa kalangan menyebutkan
bahwa prinsip tak terbagi (indivisibility), saling bergantung (interdependent) dan saling
terkait (interrelated) merupakan prinsip turunan dari prinsip universal (universality).
Prinsip Universal (universality) : prinsip ini mengatakan bahwa semua orang, di
seluruh belahan dunia manapun, agamannya apapun, warga Negara manapun,
berbahasa apapun, etnis manapun, tanpa memandang identitas politik dan
antropologis apapun, dan terlepas dari status disabilitasnya, memiliki hak yang
sama. Penegasan akan prinsip ini dilakukan melalui Pasal 5 Deklarasi Wina
tentang Program Aksi yang berbunyi “semua hak asasi manusia adalah universal,
tak terbagi, saling bergantung, saling terkait (all human rights are universal,
indivisibile, interdependent and interrelated)”.
Prinsip Tak Terbagi : prinsip ini dimaknai dengan ―semua hak asasi manusia
adalah sama-sama penting dan oleh karenanya tidak diperbolehkan
mengeluarkan hak-hak tertentu atau kategori hak tertentu dari bagiannya‖. Setiap
orang memiliki seluruh kategori hak yang tidak dapat dibagi-bagi. Sebagai
analogi, seseorang tidak bisa hanya menerima hak politik tanpa menerima hak-
hak social dan budaya.
Prinsip Saling Bergantung : prinsip ini dimaknai dengan jenis hak tertentu akan
selalu bergantung dengan hak yang lain. Contohnya, hak atas pekerjaan akan
bergantung pada terpenuhinya hak atas pendidikan.
Prinsip Saling Terkait : prinsip ini dipaHAMi bahwa satu hak akan selalu terkait
dengan hak yang lain. Entah itu hak untuk hidup, menyatakan pendapat, memilih
agama dan kepercayaan, dan hak-hak lainnya, adalah hak-hak yang mempunyai
keterkaitan satu dengan lainnya dalam perlindungan dan pemenuhan hak asasi
manusia secara keseluruhan. Dengan kata lain, tiap hak asasi terhubung dalam
satu mata rantai. Apabila satu mata rantai putus, maka hak-hak yang lain akan
terlanggar. Prinsip saling terkait mempunyai dua unsur, yaitu saling
membutuhkan (interdependence) dan saling terhubung (interrelatedness).
Prinsip Non-Diskriminasi : Diskriminasi terjadi ketika setiap orang diperlakukan
atau memiliki kesempatan yang tidak setara seperti ketidaksetaraan di hadapan
hukum (in equality befor the law), ketidaksetaraan perlakukan (in equality of
treatment), ketidaksetaraan kesempatan pendidikan (in equality of education
opportunity) dan lain-lain. Diskriminasi kemudian dimaknai sebagai “a situation
is discriminatory of in equal if like situations are treated differently or different
situation are treated similarly (sebuah situasi dikatakan diskriminatif atau tidak
setara jika situasi sama diperlakukan secara berbeda dan/atau situasi berbeda
diperlakukan secara sama)”. Prinsip non-diskriminasi (non-discrimination)
kemudian menjadi sangat penting dalam hak asasi manusia. Diskriminasi
memiliki dua bentuk yaitu (a) diskriminasi langsung, yaitu ketika seseorang baik
langsung maupun tidak langsung diperlakukan secara berbeda daripada lainnya,
sedangkan (b) diskriminasi tidak langsung, yaitu ketika dampak praktis dari
hukum dan/atau kebijakan merupakan bentuk diskriminasi walaupun hal itu tidak
ditujukan untuk tujuan diskriminasi.
Prinsip Tanggung Jawab Negara (state responsibility) : prinsip ini dimaknai
bahwa aktor utama yang dibebani tanggungjawab untuk memenuhi, melindungi
dan menghormati hak asasi manusia adalah Negara melalui aparatusnya. Prinsip
ini ditulis di seluruh kovenan dan konvensi hak asasi manusia internasional
maupun peraturan domestik. Pasal 71 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
secara tegas mengatakan bahwa : “Pemerintah wajib dan bertanggung jawab
menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang
diatur dalam Undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan
hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara
Republik Indonesia.
Pertemuan 4
Hubungan Hukum dan HAM, HAM dan Demokrasi.
Hubungan Antara Hukum dan HAM
Hidup bernegara,berpemerintahan,dan bermasyarakat merupakan kehidupan yang dapat
langgeng oleh karena adanya nilai-nilai yang dipatuhi oleh segenap komponen dan atau
elemen dari unsur-unsur perilaku manusia yang ada di dalamnya. Nilai-nilai itu berakar
lalu menjelma sebagai suatu sistem nilai yang dapat menjadi daya perekat dalam menjalin
hidup bersama yang harmonis. Salah satu sistem nilai yang daya lekatnya dipandang
lebih kuat dapat merekatkan tali ikatan dalam kehidupan bersama manusia,adalah hukum
dalam arti rechtsnorm. Mengapa demikian,karena hukumlah sbg salah satu sistem nilai
yang dapat dengan nyata dipaksakan untuk dipatuhi. Kedudukan hukum yang demikian
itu telah memposisikannya sebagai alat(tool) sarana untuk mewujudkan ide,cita, dan
harapan-harapan perwujudan nilai-nilai keadilan kemanusiaan. Keadilan kemanusiaan
hanya akan ada bilamana HAM dihormati. Disinilah ditemukan titik taut, titik
singgung,dan keberpautan (kohesi dan korelasi) antara hukum dan HAM. Atas dasar
itulah nilai-nilai universalis HAM dinormakan dalam hukum dasar negara(konstitusi)
grounddrechteen sebagai grand norm dalam tatanan bernegara, yang kemudian secara
hierarki ditemukan pula pernormaannya untuk dijewantahkan pada peraturan perundang-
undangan dalam arti yang luas. Menurut Prof.Mansyur A Effendy (kapita selekta hukum
2009), mengatakan bahwa: hukum dan HAM merupakan satu kesatuan yang sulit untuk
dipisahkan, keduanya seperti dua sisi dalam satu mata uang. Apabila suatu bangunan
hukum dibangun tanpa hak asasi manusia yang merupakan pengawal bagi hukum dalam
merealisasi perwujudan nilai-nilai keadilan kemanusiaan, maka hukum tersebut menjadi
alat bagi penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya(abuse of power). Sebaliknya
apabila HAM dibangun tanpa didasarkan atas suatu komitmen hukum yang jelas, maka
HAM tersebut hanya akan menjadi bangunan yang rapuh dan mudah untuk disampangi.
Artinya hukum harus berfungsi sebagai instrumentarium yuridis,sarana dan atau tool(alat)
memperhatikan penghormatan terhadap prinsip-prinsip dalam HAM jadi hukumlah yang
menjadi wadah perwujudan nilai-nilai HAM.