Anda di halaman 1dari 8

Judul : STUDI KOMPARATIF ANTARA ASAS LEGALITAS HUKUM PIDANA POSITIF

DENGAN HUKUM PIDANA ISLAM.

Abstract: The purpose of this study is to determine the meaning, similarities and differences in
the principle of legality according to positive criminal law and Islamic criminal law. The
research method used in this research is normative juridical method through literature study as a
form of research. Literature study is chosen with the aim of analyzing legal materials
systematically. The principle of legality in Positive Criminal Law aims to protect society by
limiting the authority of the authorities while in Islamic criminal law the principle of legality has
the aim of ennobling humans by protecting offspring, property, mind, soul, and religion. The
principle of legality according to positive criminal law and according to Islamic criminal law
have similarities, it can be seen from the applicable environment and interpretation theory.
Basically, the understanding of the principle of legality according to positive criminal law and
Islamic criminal law is not much different. It's just that in Islamic criminal law analogies are
allowed while in positive criminal law analogies are not allowed.
Keywords: Principle of Legality, Law, Criminal, Islam
Abstrak : Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengertian, persamaan dan
perbedaan asas legalitas menurut hukum pidana positif dan hukum pidana Islam. Metode
penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif melalui studi
kepustakaan sebagai bentuk penelitiannya. Studi kepustakaan dipilih dengan tujuan untuk
menganalisa bahan hukum secara sistematis. Asas legalitas dalam Hukum Pidana Positif
bertujuan untuk melindungi masyarakat dengan cara membatasi wewenang penguasa sedangkan
dalam hukum pidana Islam asas legalitas memiliki tujuan untuk memuliakan manusia dengan
menjaga keturunan, harta, akal, jiwa, dan agama. Asas legalitas menurut hukum pidana positif
dan menurut hukum pidana Islam memiliki persamaan, hal itu dapat diketahui dari lingkungan
berlakunya dan teori penafsiran. Pada dasarnya, pengertian asas legalitas menurut hukum pidana
positif dan hukum pidana Islam tidak jauh berbeda. Hanya saja dalam hukum pidana Islam
penganalogian diperbolehkan sedangkan di dalam hukum pidana positif penganalogian tidak
diperbolehkan.
Kata kunci : Asas Legalitas, Hukum, Pidana, Islam
PENDAHULUAN:
Hukum hadir di setiap masyarkat di berbagai dunia. Oleh karena itu, hukum memiliki
sifat universal, berlaku di manapun dan kapan pun . Dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-undang
Dasar 1945, Indonesia secara tegas dinyatakan sebagai negara hukum. Dalam konteks
pemerintahan negara, salah satu hal yang sangat penting adalah penerapan sistem hukum dalam
kehidupan masyarakat. Pandangan ini bukan hanya karena Indonesia mengadopsi prinsip negara
hukum, tetapi juga sebagai hasil dari pemantauan kritis terhadap perkembangan masyarakat
Indonesia yang menuju ke arah modernisasi. SITASI(Teguh Prasetiyo & abdul Halim
Barkatullah, 2005, Politik Hukum Pidana, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm, 6.)
Dalam Pasal 1 Ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyatakan bahwa suatu
tindakan tidak dapat dihukum pidana kecuali jika tindakan tersebut telah diatur dalam undang-
undang sebelum tindakan itu dilakukan. Prinsip ini dikenal dengan sebutan asas legalitas, yang
mengatur bahwa hukum pidana berlaku berdasarkan undang-undang yang ada pada saat tindakan
dilakukan. Dalam bahasa Latin, prinsip ini disebut "nullum delictum sine praevia lege peonali,"
yang berarti bahwa tidak ada tindak pidana tanpa undang-undang pidana yang telah ada
sebelumnya.

Aturan mengenai kekuatan berlakunya hukum pidana menurut waktu merupakan aturan yang
sangat mendasar. Disebut mendasar karena aturan ini menjadi indikator berlaku tidaknya sebuah
aturan pidana terhadap suatu tindak pidana yang diperbuat

Pembahasan
Dalam hukum pidana positif di Indonesia asas legalitas tercantum dalam KUHP pasal 1
ayat 1 yang berbunyi “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan
ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya.” Sehingga, dapat dikatakan
bahwa setiap perbuatan yang disebut sebagai tindak pidana harus dirumuskan terlebih dahulu ke
dalam undang-undang dengan menetapkan rumusan yang jelas tentang perbuatan yang
dimaksud. Akibatnya, tidak semua tindakan yang dianggap tercela dapat dipidana.
Asas legalitas merupakan salah satu asas mendasar dalam hukum pidana. Eksistensi asas
ini bertujuan untuk melindungi masyarakat dari kesewenang-wenangan penguasa. Namun,
adanya asas ini juga menghambat keberadaan hukum kebiasaan yang tidak tertulis dan tumbuh
secara natural dalam masyarakat. Adapun tujuan asas legalitas, yaitu:
1. Melindungi warga negara dari perbuatan sewenang-wenang yang dilakukan oleh negara;
2. Melindungi kemerdekaan individu dari tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh
negara;
3. Melindungi kemerdekaan individu dari tindakan sewenang-wenang;
4. Merupakan ekspresi legal positivisme dalam hukum pidana.

Secara pokok, asas legalitas hanya melaksanakan dua fungsi, yaitu; (1) fungsi
perlindungan, yang melindungi masyarakat dari kesewenang-wenangan penguasa dan
hakim. Fungsi ini hanya dimaksudkan untuk kepentingan pelaku. Pelaku tidak bisa
dituntut selama perbuatan mereka tidak termasuk mala prohibita (bertentangan dengan
undang-undang). (2) fungsi pembatasan, untuk membatasi kekuasaan penguasa dan
kewenangan hakim. Fungsi ini juga hanya dimaksudkan untuk kepentingan pelaku,
karena penguasa tidak boleh menuntut pelaku yang melakukan crimina extra ordinaria
(perbuatan tindak pidana yang belum atau tidak dilarang oleh undang-undang pidana),
meskipun menimbulkan kerugian yang luar biasa bagi korban.
Pengertian dan Tujuan Asas Legalitas dalam Hukum Pidana Islam
Semua ketetapan dalam hukum Islam ada di dalam al-Qur’an dan sunah rasul yang
berlaku sampai akhir zaman, maka dari itu hukum Islam telah memuat semua perbuatan yang
dianggap sebagai maksiat, bahkan untuk perbuatan pidana yang belum pernah terjadi
sebelumnya. Sumber-sumber hukum Islam antara lain ialah al-Qur’an, sunnah, hadits, serta ar-
ra’yu (akal pikiran).
Tujuan hukum Islam yakni untuk kemaslahatan manusia. Tujuan ini dapat dicapai dengan
cara mengambil langkah-langkah yang memiliki kemaslahatan dan melarang semua hal yang
tidak diridhoi allah berlandaskan prinsip tauhid. Menurut al-Syathibi, kemaslahatan dapat
terwujud apabila tercapainya 5 (lima) unsur pokok yakni, agama, jiwa, keturunan, akal, dan
harta.
Asas legalitas digunakan untuk memastikan kebebasan individu dengan cara membatasi
hal yang dilarang secara tepat dan jelas. Asas ini juga memastikan agar tidak ada
penyalahgunaan wewenang hakim, menjmin keamanan individu dengan informasi yang boleh
dan dilarang. Setiap individu harus diberi peringatan sebelumnya tentang perbuatan-perbuatan
yang melawan hukum beserta sanksinya. Dengan begitu, perbuatan seseorang yang cakap tidak
mungkin dikatakan dilarang, selama tidak ada ketetapan yang melarangnya. Dan seseorang
memiliki kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatannya, sehingga ada nash
yang tidak memperbolehkannya
Perbandingan pengaturan asas legalitas dalam hukum pidana Indonesia dan hukum
pidana islam
Dalam hukum pidana islam asas legalitas melegalkan penggunaan penafsiran analogi hal tersebut
dikuatkan oleh Riwayat nabi Muhammad sendiri dengan Riwayat yang ditanyakan kepada
sahabat mu’az
“dengan apa engkau memutus suatu perkara?” jawabannya: ”dengan alquran; kalau tidak saya
dapati dengan hadits maka saya ber-ijtihad dengan akal pikiran saya, dan rasul membenarkannya.
“penafsir secara analogi merupakan penggunaan akal pikiran untuk menemukan hukum sehingga
menyelesaikan suatu perkara menjadi lebih mudah
Sedangkan dalam KUHP asas legalitas menafsirkan secara analogi tidak diperbolehkan karena
merupakan sebuah konsekuensi asas legalitas dalam KUHP yang menyatakan ketetapan
dirancang dalam undang-undang sehingga bila menggunakan hermeneutika secara analogi akan
timbul sebuah tindak pidana yang baru tanpa adanya undang-undang dan hakim akan berlaku
sewenang-wenangnya dalam membuat keputusan hukuman kepada seseorang. Menafsirkan
dengan cara analogi juga merupakan sebuah cara untuk menemukan hukum dan dengan larangan
tersebut maka akan menyusahkan dalam memberantas sebuah kasus karena undang-undang
memiliki keterbatasan.
Dalam hukum pidana Islam pengecualian hukum tidak berlaku surut atau non rektoaktif pada
asas legalitas, ada pada Jarimah Qhadzaf contoh kasus pada saat ada tuduhan terhadap istri nabi
yaitu sayyidina Aisyah r.a dimana ia dituduh berzinah dengan Shafwan, dan ternyata tuduhan
tersebut tidaklah benar dan menimbulkan fitnah, dan terhadap penuduhnya nabi SAW. Meskipun
penuduhan sudah terjadi sebelum turunnya nash tersebut, jadi menunjukan sebuah ketentuan
yang berlaku surut. Hal ini dilakukan demi menjaga kehormatan sebuah indvidu.
Namun dalam asas legalitas didalam KUHP, pengecualian prinsip hukum tidak berlaku surut ada
pada Pasal 1 Ayat (2) KUHP, yang berbunyi: “Jika ada perubahan dalam perundang-undangan
sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling
menguntungkan baginya”. Ada sebuah pengecualian terhadap asas non rektoaktif bila mana
seorang subjek hukum melakukan tindak pidana lalu terjadi perubahan undang-undang, dan
undang-undang baru tersebut lebih menguntungkan subjek hukum yang melakukan tindak pidana
tadi, maka dipilihlah undang-undang yang lebih menguntungkan bagi subjek hukum yang
melakukan pidana, karena ada upaya yang dilakukan oleh seorang manusia untuk menciptakan
sebuah hukum yang lebih baik.
Asas legalitas dalam hukum pidana Islam berkaitan dengan panduan yang diberikan oleh
Rasulullah sebagai rahmat bagi seluruh alam. Hukum yang disampaikan oleh Rasulullah
memiliki tujuan untuk melindungi aspek-aspek penting dalam kehidupan, seperti keturunan,
harta, akal, jiwa, dan agama. Sedangkan Asas legalitas dalam KUHP bertujuan untuk membatasi
kekuasaan hakim dalam penerapan hukum sehingga tidak akan muncul kesewenang-wenangan
dalam menetapkan peraturan dan hukuman.
Dalam sebuah komparasi tentunya ada sebuah persamaan, perbedaan, dan kelebihan, kelemahan.
Berikut merupakan persamaan, perbedaan, kelebihan, dan kelemahan antara Hukum Pidana
Positif dengan Hukum Pidana Islam :
 PERBEDAAN

Hukum Pidana Positif Hukum Pidana Islam


1. Dalam perihal hukuman, Hukum 1. Sementara dalam perihal hukuman,
Pidana Positif memberikan satu atau Hukum Pidana Islam menetapkan
dua macam hukuman dengan cara hukuman dengan jelas hal ini
memberikan batas yang paling rendah membuat seorang hakim atau ulil amri
dan yang paling tinggi. tidak membuat dakwaan sendiri.
2. Dalam ketrentuan pidana, Hukum 2. Dalam hukuman, Hukum pidana Islam
Pidana Positif membatasi tindak nas-nas yang menentukan tindak
pidana yang dimasukan kedalam suatu pidana bersifat fleksibel karena semua
aturan pidana hal ini terjadi karena peridtiwa hukum bisa diwadahi.
setiap tindak pidana bisa dikenali
sedetail mungkin dengan
menyebutkan unsur-unsur materilnya.
3. Dalam hukum pidana positif 3. Cara penerapan dalam hukum pidana
penerapan asas legalitas sama saja Islam ada tiga cara penerapan yaitu:
untuk semua tindak pidana. a. Pada tindak pidana ta’zir yang
diancam hukuman demi kemaslahatan
umum
b. Pada tindak pidana yang tidak
begitu berbahaya
c. Pada tindak pidana yang gawat dan
sangat mempengaruhi keamanan dan
ketentraman mayarakat.
4. Pada abad ke-18 maasehi baru 4. Sementara dalam hukum pidana islam
diterapkanlah asas legalitas dalam asas legalitas diterapkan sejak wahyu
hukum positif. diturunkan, terhitung sejaknperiode
madinah

 KELEMAHAN

Kelebihan Kelemahan
Hukum Pidana Islam 1. Dalam asas pidana 1. Hukum Islam
Islam, tidak ada hanya diakui
penghapusan tindak sebagai sumber
pidana berdasarkan hukum positif saja
jabatan, sehingga karena Indonesia
semua orang yang menganut sistem
memiliki jabatan, hukum Eropa
tetap harus kontinental. Oleh
bertanggung jawab karena itu, pelaku
atas perbuatannya. tindak pidana
Pada dasarnya, setiap hanya dapat dijerat
individu yang telah berdasarkan KUHP
mencapai usia (hukum materiil)
kematangan dan KUHAP
beragama harus (hukum formil),
bertanggung jawab yang bersifat
atas tindakannya. mengikat dan tidak
boleh digunakan
2. lebih dari pada itu dalam konteks
cakupan hukum hukum Islam.
pidana islam bukan
hanya terbatas pada 2. Dalam hukum
bidang muamalah pidana Islam, tidak
saja terdapat lembaga
(hablumminannas) yuridis formal
tetapi juga dalam yang secara khusus
bidang ibadah dan bertugas
aqidah mengawasi
(hablumminallah). pelaksanaannya di
Indonesia,
3. Dalam pidana islam sehingga tidak
ada tiga jenis memungkinkan
hukuman yaitu untuk
jarimah, hudud, mengaplikasikan
qishas-diyat, dan hukum pidana
ta’zir. dalam pidan Islam dengan cara
Islam hakim yang sama seperti
memiliki hukum pidana
kewenangan untuk positif.
menghukum pelaku
jarimah yang tidak 3. Hukum pidana
diatur menurut Islam yang
jarimah hudud, berkaitan dengan
qishas-diyat, pidana jarimah
sehingga membuat hudud tidak dapat
seluruh pelaku dirubah-rubah baik
jarimah dalam deraksi maupun
peraturan islam ketentuan
dikenai hukuman. pidananya karena
sudah baku dari
Allah.
Hukum Pidana Positif 1. Hukum pidana positif 1. Penghapusan
di Indonesia bersifat tindak pidana
wajib, sehingga berdasarkan
setiap pelaku tindak
jabatan sering kali
pidana dapat dikenai
hukuman dalam digunakan sebagai
kerangka hukum alasan oleh pelaku
pidana. tindak pidana
dalam hukum
2. terlaksananya hukum pidana positif,
pidana positif tidak
yang menyebabkan
terlepas dari adanya
andil lembaga- pelaku tindak
lembaga tertentu pidana karena
selaku aparat pelaksanaan tugas
penegak hukum. jabatannya
seringkali tidak
3. Hukum pidana positif dapat dihukum.
dapat mengalami
perubahan baik
dalam substansi
maupun ketentuan 2. Dalam hukum
pidananya kapan pidana positif,
saja. hanya ada dua jenis
hukuman yang
dikenal, yaitu
hukuman penjara
dan denda. Ini
karena hakim
dalam sistem ini
dianggap sebagai
pelaksana atau
penegak undang-
undang, dan
karenanya mereka
tidak memiliki
kewenangan untuk
memberikan jenis
hukuman lain
selain yang telah
diatur dalam
KUHP.

3. Hukum pidana
positif hanya
mencakup masalah
muamalah atau
transaksi antara
manusia yang
diawasi oleh
penegak hukum
sebagai perwakilan
pemerintah. Oleh
karena itu,
tindakan yang
terjadi di luar ranah
muamalah tidak
dapat dikenakan
sanksi pidana
positif.

Anda mungkin juga menyukai