Anda di halaman 1dari 12

PENEGAKAN HUKUM DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

Muhammad Fadli
Mahasiswa Program Strata 1 Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang
Muhammadfadlilahat19@gmail.com

Abstrak
Tulisan ini menyajikan tentang penegakan hukum dalam perspektif hukum Islam.
Dalam penegakan hukum di Indonesia pendekatan yang digunakan kebanyakan adalah
pendekatan KUHP yang merupakan warisan kolonial Belanda namun hasilnya kurang
optimal. Oleh karena itu penting kiranya melakukan pendekatan hukum Islam sebagai
alternatif. Di dalam hukum Islam tindak pidana korupsi masuk dalam ranah hukuman ta’zir
sehingga ulil amri dapat berijtihad untuk menentukan jenis hukuman bagi koruptor. Korupsi
dimasukkan dalam hukuman ta’zir karena memiliki sifat yang khas berbeda dengan tindak
kejahatan yang telah ada dalam hukum Islam sehingga Ulil Amri berwenang menentukan
jenis hukumannya dengan berijtihad.
Kata kunci : penegakan hukum, perspektif hukum Islam
Abstract
This paper presents about law enforcement in the perspective of Islamic law. In law
enforcement in Indonesia the approach used mostly is the Criminal Code approach which is a
legacy of the Dutch colonial but the results are lacking optimal. Therefore it is important to
approach Islamic law as alternative. In Islamic law, the criminal act of corruption is included
in the realm of punishment ta'zir so that ulil amri can make ijtihad to determine the type of
punishment for corrupt. Corruption is included in the ta'zir punishment because it has a
distinctive nature different from crimes that already exist in Islamic law so that Ulil Amri
authorized to determine the type of punishment with ijtihad.
Keyword : Law enforcement, Islamic legal perspective
Pendahuluan
Kehidupan manusia dalam pergaulan masyarakat membutuhkan suatu keadaan yang
tertib agar dapat menjalani hidup dengan tenteram, damai, dan sejahtera. Kebutuhan akan
ketertiban ini merupakan syarat yang paling fundamental bagi terciptanya suatu masyarakat
yang teratur. Sedangkan ketertiban itu sendiri merupakan tujuan yang paling pokok dan
pertama dari segala hukum. Hal ini merupakan implikasi dari sebuah kenyataan hidup bahwa
manusia diciptakan oleh Allah SWT hidup berdampingan dengan manusia lainnya.
Hukum, sebagai aturan bagi manusia untuk bertingkah laku yang pada saat ini masih
berlaku dan digunakan di Indonesia sebagai hukum positif merupakan produk buatan
manusia dan bahkan ada yang merupakan produk hukum warisan kolonial contohnya Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang diadopsi menjadi hukum nasional yang
sampai sekarang masih diberlakukan. Produk hukum tersebut pada dasarnya adalah buatan
manusia yang sudah tentu memiliki banyak kelemahan-kelemahan di dalam penerapannya
atau proses penegakan hukum itu sendiri. Proses penegakan hukum khususnya seringkali
dipandang bersifat diskriminatif, inkonsisten, tidak memakai paramater yang objektif, dan
mengedepankan kepentingan kelompok tertentu. Tolok ukur yang digunakan adalah
seringkali terjadi disparitas pidana atau perbedaan dalam menjatuhkan pidana untuk berbagai
macam kejahatan.
Metode Penelitian
Metode dalam artikel ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode
deskriptif analisis untuk menjawab permasalahan yang diajukan. Peneliti mengkaji data-data
melalui studi literatur dengan mengumpulkan data dari sumber referensi seperti jurnal, buku,
dan artikel melalui sumber digital. Metode ini berbeda dengan metode kuantitatif, karena
metode ini berangkat dari data, memanfaatkan teori sebagai bahan penelitian yang nantinya
akan menghasilkan sebuah teori baru.
Hasil dan Pembahasan
Pengertian Hukum
Dilansir dari wikipedia.com, Hukum adalah kumpulan peraturan yang terdiri dari
norma dan sanksi-sanksi. Hukum juga merupakan sesuatu yang berkaitan dengan erat dengan
kehidupan manusia yang merujuk pada hal penting yang berkaitan dengan pelaksanaan atas
rangkaian penegakan kekuasan penegakan hukum oleh kelembagaan yang berwenang dan
bergerak dibidang hukum ini.
Pengertian Hukum Islam
Hukum Islam atau yang sering dikenal dengan syariat islam adalah segala macam
hukum atau peraturan yang tujuannya untuk mengatur segala urusan umat islam dalam
menangani perkara dunia dan akhirat.
Pengertian Perspektif
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Perspektif memiliki arti yaitu sudut pandang
yang sering digunakan oleh manusia untuk memilih opini dan kepercayaan terhadap suatu
hal. Perspektif sendiri memiliki istilah dari bahasa latin yaitu “Perspicere” dan dalam bahasa
inggris yakni “Point of View”.
Pemberantasan Korupsi
Penegakan hukum, yang lekat dengan sistem peredilan. Karena proses peradilan pada
hakikatnya suatu proses menegakkan hukum. Jadi identik dengan “sistem kekuasaan
kehakiman”, karena “kekuasaan kehakiman” pada dasarnya merupakan
"kekuasaan/kewenangan menegakkan hukum". Sistem peradilan (atau sistem penegakan
hukum) dilihat secara integral, merupakan satu kesatuan berbagai sub- sistem yang terdiri
dari komponen ”substansi hukum” (legal substance), ”stuktur hukum” (legal structure), dan
”budaya hukum” (legal culture), dan yang terakhir adalah nilai-nilai budaya hukum
(komponen kultural). Yang dimaksud dengan nilai-nilai “budaya hukum” (legal culture)
dalam konteks penegakan hukum, tentunya lebih terfokus pada nilai-nilai filosofi hukum,
nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat dan kesadaran/sikap perilaku hukum/perilaku
sosialnya, dan pendidikan/ilmu hukum.
Penting untuk menyampaikan suatu contoh penegakan hukum dalam hal korupsi
mengingat korupsi masalah tindak pidana yang menjamur dan sedang dalam upaya untuk
diberantas. Untuk itu penting kiranya disampaikan pengertian korupsi. Adapun yang
dimaksud dengan korupsi adalah “Dengan sengaja melakukan kesalahan atau melalaikan
tugas yang diketahui sebagai kewajiban, atau tanpa hak menggunakan kekuasaan, dengan
tujuan memperoleh keuntungan yang sedikit banyak bersifat pribadi.” Demikian pula,
pendapat yang kurang lebih sama yang dikemukakan oleh Alfiler, bahwa korupsi adalah:
“Purposive behavior which may be deviation from an expected norm but is undertake
nevertheless with a view to attain materials or other rewards.”, yang artinya yaitu “Perilaku
bertujuan yang mungkin merupakan penyimpangan dari norma yang diharapkan tetapi tetap
dilakukan dengan maksud untuk memperoleh materi atau imbalan lainnya”.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa korupsi suatu perbuatan yang
melanggar hukum dan selama ini penanganannya hanya merujuk pada KUHP, sehingga
makalah ini akan memberikan alternatif pemberantasan korupsi dengan pendekatan Hukum
Islam.
Pengertian Pendekatan Hukum Islam
Yang dimaksud dengan pendekatan hukum Islam seperti yang disampaikan oleh Prof.
Dr. Hazairin : “Dalam negara Republik Indonesia tidak boleh terjadi atau berlaku sesuatu
yang bertentangan dengan kaidah-kaidah Islam bagi umat Islam atau kaidah-kaidah Kristiani
bagi umat kristiani/Katolik atau bertentangan dengan kaidah-kaidah agama Hindu Bali bagi
orang-orang Hindu Bali atau yang bertentangan dengan kesusilaan agama Budha bagi orang-
orang Budha”.
Penulis berpendapat para penegak hukum yang menjalankan ilmu hukum harus
amanah. Maksudnya adalah bahwa tugas yang diemban merupakan tanggung jawab dari
Allah yang harus dipertanggung jawabkan diakherat kelak. Tuntunan Tuhan dalam
menegakkan keadilan (dalam pandangan Islam) ,antara lain terlihat dalam Al-Qur’an :An-
Nisaa’:58 : apabila kamu menghukum di antara manusia, maka hukumlah dengan adil; An-
Nisaa’:135 : janganlah kamu mengikuti hawa nafsumu karena ingin menyimpang dari
kebenaran/keadilan; Al-Maidah:8 : janganlah kebencianmu kepada suatu kaum/golongan,
mendorong kamu berlaku tidak adil; Asy-Syuura:15 : perlakuan adil wajib ditegakkan
terhadap siapa saja, kendati terhadap orang yang tidak seagama; Al-Maidah: 42 : Dan jika
kamu memutuskan perkara mereka (orang Yahudi), maka putuskanlah (perkara itu) di antara
mereka dengan adil, sesungguhnya Allah orang-orang yang adil”.
Dengan melihat ayat-ayat diatas maka dapat disimpulkan bahwa hakekat ilmu hukum
yang berketuhanan ( Islam ) adalah ilmu hukum yang menerapkan prinsip- prinsip keadilan
yang berarti tidak ada yang merasa dirugikan, objektif yaitu tidak memihak kepada siapapaun
sekalipun pada kerabatnya sendiri, impartial berarti tidak juga memihak pada kelompoknya,
sukunya, rasnya dan lain sebagainya. Dan didalam keadilan juga termasuk didalamnya unsur
kebenaran, kejujuran, kearifan dan bijaksana.
Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum di Indonesia
Berdasarkan pada rumusan, kenyataan, dan pandangan yang dikemukakan pada
bagian pendahulluan diatas, maka pada dasarnya supremasi hukum di Indonesia belum dapat
terwujud, yang disebabkan oleh beberapa kendala, yaitu:
1. Kualitas Hidup Masyarakat
Indonesia sebagai negara berkembang yang kehidupan masyarakatnya masih
berada pada tingkat menengah kebawah, mengakibatkan masyarakat selalu
“berdesakan” untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang kian meningkat. Dalam
kondisi yang demikian dapat mengakibatkan terjadinya pelanggaran dan kejahatan.
Rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat menjadi kendala besar dalam berprilaku
sesuai hukum. Sebab iklim yang kurang kondusif dapat berakibat lemahnya
penerapan terhadap hukum. Dalam sejarah, sebagai perbandingan, telah dipraktekkan
oleh Khlaifah Umar bn Khattab r.a. bahwa: pada masa pemerintahannya terjadi masa
paceklik (masa krisis) yang melanda bangsa Arab. Dalam kondisi krisis tersebut,
banyak orang melakukan pelanggaran hukum, seperti mencuri untuk mempertahankan
kehidupan keluarga mereka, padahal mereka telah memahami bahwa mencuri adalah
suatu pelanggaran dalam hukum Islam yang ditetapkan Allah SWT. Sebagaimana
dalam firman-Nya surah Al-Maidah ayat 38 yang artinya: “Pencuri laki-laki dan
pencuri perempuan, potonglah tangan keduanya sebagai balasan perbuatan
keduanya”.
Pada ayat tersebut menetapkan bahwa pencuri harus dihukum potong tangan,
namun dalam kenyataannya khalifah Umar bin Khattab tidak melaksanakan hukum
potong tangan, bahkan beliau mengampuninya dengan alasan mereka dalam keadaan
terdesak untuk memenuhi kepentingan hidupnya yang bersifat “dharuriyah”.
Tindakan yang dilakukan oleh khalifah Umar bin Khattab r.a. tersebut sesuai dengan
tujuan hukum diadakan oleh pembuat hukum menurut hukum Islam, sebagaimana
yang dikemukakan oleh Mukhtar Yahya bahwa:
“Tujuan hukum (syari’ah) diadakan oleh pembuat hukum (Syari’) adalah untuk
merealisir kemaslahatan umum, memberikan kemanfaatan dan menghindarkan
kemafsadahan bagi ummat manusia, karena itu para ulama ushul mengemukakan
jenis-jenis tujuan umum perundang-undangan pada 3 macam yaitu: “Alumurudh-
dharuriyah, Al-umurul-hajiyah dan Al-umurul-tahsiniyah”. Alumurudh-dharuriyah
adalah merupakan hal-hal yang menjadi sendieksistensi kehidupan manusia yang
harus ada demi kemaslahatan mereka”.
2. Rumusan Hukum
Salah satu faktor yang mempengaruhi penegakan hukum di Indonesia adalah
rumusan hukum itu sendiri, lemahnya suatu rumusan hukum menjadi salah satu
kendala untuk mencapai supremasi hukum. Kualitas suatu peraturan tidak hanya
dilihat dari segi substansinya, tetapi juga harus dilihat dari segi struktur dan
budayanya. Hukum tidak hanya dibuat tanpa mempertimbangkan untuk apa peraturan
itu dibuat? Untuk siapa peraturan itu? Dimana peraturan itu diterapkan?
Indonesia sebagai negara bekas jajahan Hindia Belanda, berakibat sebagian
besar rumusan peraturannya masih merupakan pengaruh hukum produk Hindia
Belanda. Sebagai akibat tersebut peraturan yang dibuat oleh pembuat hukum di
Indonesia (pemerintah) masih dipengaruhi politik hukum Hindia Belanda yang
melihat tujuan aturan hukum yang yang bersifat intrumental Rumusan hukum yang
bersifat simbolis tidak mungkin mempunyai dampak positif untuk mencapai
supremasi hukum, sebab hukum mempunyai pengaruh yang besar terhadap tingkah
laku masyarakat, sebagaimana yang dikemukakan Joseph (dalam Ahmad Ali).
Pengaruh aturan hukum terhadap sikap warga masyarakat tergantung pula untuk
tujuan apa aturan hukum bersangkutan dibuat, yang pada dasarnya dapat dibedakan
pada dua tujuan yaitu:
a. Tujuan aturan hukum yang bersifat simbolis, yaitu tidak tergantung pada
penerapannya agar aturan hukum tadi mempunyai efek tertentu. Misalnya larangan
untuk meminum minuman keras, efek simbolis aturan hukum itu ada kalau warga
masyarakat sudah yakin bahwa meminum minuman keras, tidak jadi soal, yang
penting ia sudah mengetahui bahwa perbuatannya salah.
b. Tujuan aturan hukum yang bersifat instrumental, suatu aturan hukum yang bersifat
instrumental apabila tujuan terarah pada suatu sikap perilaku konkrit, sehingga efek
hukum tadi akan kecil sekali apabila tidak diterapkan dalam kenyataannya. Jadi suatu
aturan hukum mengenai larangan meminum minuman keras barulah mempunyai efek
instrumental jika warga masyarakat berhenti minum minuman keras, tanpa
memperdulikan apakah ia berhenti karena salah ataukah ia berhenti karena merasa
takut dikenakan sanksi hukum.
3. Kualitas Sumber Daya Manusia
Peningkatan mutu bukan hanya diharapkan bagi penegak hukum yang terlibat
langsung dan yang tidak langsung, tetapi juga sangat diharapkan bagi masyarakat
secara keseluruhan. Rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat merupakan salah satu
kendala penegakan hukum untuk mencapai supremasi hukum. Karena itu,
peningkatan pengetahuan masyarakat dalam berbagai bentuk dan cara perlu
ditingkatkan, sebab kalau tidak demikian, masyarakat sulit untuk menyesuaikan diri
dengan perkembangan dunia yang semakin kompleks.
Berkenaan dengan penegakan hukum di Indonesia, peranan masyarakat sangat
diharapkan keterlibatannya. Keterlibatan masyarakat tersebut memerlukan
pengetahuan yang cukup memadai dalam melaksanakan aktivitas mereka sesuai
bidang masing-masing. Dalam ajaran Islam dengan berdasarkan pada Al-Qur’an dan
Hadits Rasullullah SAW. Menegaskan pentingnya pengetahuan (keahlian) seseorang
dalam menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya, sebagaimana firman-Nya
surah Al-Isra’ (17) ayat 36 yang artinya:
“Dan janganlah kamu mengikuti (menyelesaikan) apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya
itu akan dimintai pertanggung jawab”.

Perspektif Hukum Islam tentang Upaya Penegakan Hukum


Sejak awal, syariat Islam tidak memiliki tujuan lain kecuali kemaslahatan manusia.
Ungkapan standar bahwa syariat Islam dicanangkan demi kebahagiaan manusia, lahir-batin,
duniawi-ukhrawi, sepenuhnya mencerminkan maslahat. Akan tetapi, keterikatan yang
berlebihan terhadap nas, seperti dipromosikan oleh faham ortodoks, telah membuat prinsip
maslahat hanya menjadi jargon kosong, dan syariat yang pada mulanya adalah jalan, telah
menjadi jalan bagi dirinya sendiri.43 Hukum haruslah didasarkan pada sesuatu yang tidak
disebut hukum, tetapi lebih mendasar dari hukum. Yakni sebuah sistem nilai yang dengan
sadar dianut sebagai keyakinan yang harus diperjuangkan: maslahat atau keadilan.
Dengan demikian, jelas bahwa yang fundamental dari bangunan pemikiran hukum
Islam adalah maslahat, maslahat manusia universal, atau dalam ungkapan yang lebih
operasional disebut “keadilan sosial”. Tawaran teoritik (ijtihadi) apa pun dan bagaimana pun,
baik didukung dengan nas atau pun tidak, yang bisa menjamin terwujudnya maslahat
kemanusiaan, dalam kacamata Islam adalah sah, dan umat Islam terikat untuk mengambilnya
dan merealisasikannya. Sebaliknya, tawaran teoritik apa pun dan yang bagaimana pun, yang
secara meyakinkan tidak mendukung terjaminnya maslahat, lebih-lebih yang membuka
kemungkinan terjadinya kemudaratan, dalam perspektif Islam, adalah fasid, dan umat Islam
secara individu atau kolektif terikat untuk mencegahnya.
Tawaran kaidah yang lebih menekankan pada substansi, yaitu maslahatkeadilan,
bukan berarti segi formal dan tekstual dari ketentuan hukum harus diabaikan. Ketentuan
legal-formal-tekstual yang sah, bagaimana pun, harus menjadi acuan tingkah laku manusia
dalam kehidupan bersama, jika tidak ingin menjadi anarki. Akan tetapi, pada saat yang sama,
perlu disadari sedalam-dalamnya bahwa patokan legal-formal dan tekstual hanyalah
merupakan cara bagaimana cita maslahat itu diaktualisasikan dalam kehidupan nyata. Ini
berarti bahwa ketentuan formaltekstual, yang bagaimana pun dan datang dari sumber apa
pun, haruslah selalu terbuka dan atau diyakini terbuka untuk direvisi atau diperbarui sesuai
dengan tuntutan maslahat dan cita keadilan.
Hukum Islam dalam melihat keadilan ini menggambarkannya sebagai suatu perintah
yang lebih tinggi karena tidak hanya memberikan hak dari setiap orang tapi juga sebagai
rahmat, dan berlaku adil dinilai sebagai langkah menuju ketakwaan. Konsepsi inilah yang
disinyalir QS al-Ma’idah/5: 8 yang arti nya sebagai berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah
sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak
adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Ayat ini mendeskripsikan bahwa dalam menetapkan hukum tidak boleh berat sebelah
ataupun melakukan kecurangan dalam memutuskan suatu perkara karena adanya intervensi
pihak tertentu. Semua manusia adalah sama di hadapan hukum.
Perlakuan yang sama antara pihak yang berperkara sangat fundamental dalam Islam,
sehingga Islam menuntut kepada penegak hukum untuk mempertahankan hal itu pada setiap
kasus yang ditanganinya, walaupun seorang pejabat atau Kepala Negara sekali pun, harus
diperlakukan sama dengan rakyat biasa. Jika seorang hakim memberi penghormatan atau
keistimewaan yang tidak perlu dan perlakuan khusus kepada Kepala Negara/pejabat, maka
tidak ada keadilan yang bisa diharapkan darinya.
Al-Mawardi menyatakan, tidak ada satu pun yang akan merusak dunia lebih kuat
daripada ketidakadilan (unjustice). Lebih jauh al-Mawardi mengatakan bahwa ketidakadilan
menimbulkan fasad (kerusakan) dalam masyarakat dan kharab (kehancuran) peradaban
masyarakat, disebabkan karena tidak terwujudnya maqasid syari’ah. Ada enam hal yang
menjadi sumber bagi terciptanya ketertiban sosial dan politik, tepatnya ketertiban dunia
(salah al-dunya) menurut al-Mawardi, yaitu: Pertama, adanya sebuah agama yang mapan,
yang dapat mengatur nafsu manusia dengan benar. Kedua, adanya seorang penguasa yang
kuat. Ketiga, adanya keadilan untuk menjamin terjaganya hubungan cinta dan ketundukan
yang saling menguntungkan antara rakyat dan penguasa, sehingga tercipta kemakmuran
negara. Keempat, adanya hukum dan tata tertib, yang menghasilkan rasa aman universal.
Kelima, adanya kemakmuran ekonomi secara umum yang berakar pada berlimpahnya
sumberdaya dan banyaknya pendapatan. Keenam, adanya harapan orang banyak akan
terpeliharanya berbagai berbagai aktivitas produksi serta peradaban dan kemajuan yang
berkesinambungan.
Terlepas dari itu, upaya penegakan hukum bukan hanya menjadi tanggungjawab para
penegak hukum. Penegak hukum harus didukung oleh peraturan, undang-undang, dan hukum
yang juga harus berperikeadilan serta mampu memperbaiki tatanan sosial. Hukum yang
memungkinkan rakyat kecil untuk memperoleh peluang mencapai posisi dan kondisi yang
lebih baik, adalah salah satu contohnya.
PENUTUP
Dalam perspektif hukum islam, penegakan hukum memiliki peran yang sangat
penting dalam menjaga ketertiban, keadilan, dan kesejahteraan masyarakat. Prinsip-prinsip
hukum islam mendorong penegakan hukum yang adil, transparan, dan berdasarkan kepada
keadilan yang mutlak. Penegakan hukum dalam perspektif hukum islam memiliki tujuan
utama untuk menjaga keseimbangan sosial, melindungi hak asasi manusia, dan mencegah
terjadinya pelanggaran hukum. Hukum Islam menekankan petingnya pemeliharaan keadilan
dan kesetaraan di antara anggota masyarakat, tanpa pandang bulu terhadap status sosial,
kekayaan, atau kekuasaan. Secara keseluruhan, penegakan hukum dalam perspektif hukum
islam mengutamakan prinsip-prinsip keadilan, akuntabilitas, dan pencegahan. Tujuannya
adalah untuk menciptakan masyarakat yang adil, harmonis, dan sejahtera, dimana hak-hak
individu dihormati dan kepentingan bersama dijaga. Dengan penegakan hukum yang kokoh,
diharapkan terwujudnya hukum keadilan yang berkelanjutan dalam rangka mencapai
kesejahteraan dan kebahagian bagi seluruh umat manusia.
Daftar Pustaka
Agyarni, L. (2015). HUKUM PIDANA DALAM PERSPEKTIF ISLAM. Hukum Islam.

Ahmad, M. R. (2013). Penegakan Hukum Atas Keadilan Dalam Pandangan Islam. Jurnal
Ilmu Syariah.

Amdani, Y. (2016). KONSEP RESTORATIVE JUSTICE DALAM PENYELESAIAN


TINDAK PIDANA PENCURIAN. Al-'Adalah.

Cahyani, A. I. (2019). Peradilan Agama sebagai Penegak Hukum Islam di Indonesia. Jurnal
Al-Qadau.

Handayani, T. (2018). ALTERNATIF PENEGAKAN HUKUM DALAM PERSPEKTIF .

Harefa, S. (2019). PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA DI


INDONESIA. UBELAJ.

Nasutio, A. R. (2018). Penegakan Hukum Terhadap Tindakan Terorisme. Local Wisdom,


Social, and Arts.

Ningsih, S. W., & Fitri, W. (2022). Aspek Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan Fintech
Syariah. JUSTISI.

Pratiwi, V. L. (2023). PERAN SOSIOLOGI HUKUM PADA PENEGAKAN HUKUM


PELAKU UJARAN KEBENCIAN DI SOSIAL MEDIA. Jurnal Ilmiah Nasional.

Purba, S., Mustamam, & Akhyar, A. (2021). PENEGAKAN HUKUM TERHADAP


PELAKU PERZINAHAN. Jurnal Ilmiah Metadata.

Rahman, M. G., & Tomayahu, S. (2020). Penegakan Hukum Di Indonesia. Jurnal Al-
Himayah.

Sarono, A. (2016). Penegakan Hukum Dalam Perspektif Hukum Islam. Majalah Ekonomi
dan Bisnis.

Sulthon, M. (2013). Upaya Penegakan Hukum dan Keadilan. Jurnal Ilmiah Al-Syir.

Supriyanto, B. H. (2016). Penegakan Hukum Mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) . Jurnal
Al-Azhar Indonesia Seri Pranata Sosial.

Utama, S. M. (2018). Eksistensi Hukum Islam Dalam Peraturan Perundang-undangan di


Indonesia. Wawasan Yuridika.

Anda mungkin juga menyukai