Anda di halaman 1dari 6

UJIAN AKHIR SEMESTER

FILSAFAT HUKUM DAN ETIKA


(Dr. Gusagis Khomanur Ngaziz, S.H., M.H.)

Nama : WILLY RAYMOND


NIM : 01659220048

Pemindahan Narapida Narkoba dari sejumlah Lapas di Jawa Barat ke Nusa Kambangan.

Aristoteles menjelaskan mengenai keadilan. Menurutnya, keadilan dimaknai sebagai


keseimbangan. Adapun ukuran keseimbangan menurut Aristoteles adalah kesamaan numerik
dan kesamaan proporsional.1 Aristoteles membagi keadilan menjadi dua, yaitu:2 Keadilan
distributif adalah keadilan yang berlaku dalam ranah hukum publik, yaitu fokus pada distribusi
kekayaan dan barang lain yang diperoleh masyarakat. Kedua, Keadilan korektif berhubungan
dengan membetulkan atau membenarkan sesuatu yang salah, memberikan kompensasi bagi
pihak yang dirugikan atau memberikan hukuman yang pantas bagi pelaku kejahatan.

Nusa Kambangan merupakan Lapas yang memiliki tingkat keamanan yang sangat tinggi
di Indonesia. Letaknya terasing di sebuah pulau di wilayah Jawa Tengah. Dengan lokasi
geografis yang merupakan sebuah pulau, hal ini membuat Narapidana Narkoba terasing dari
masyarakat. Sesuai dengan teori keadilan korektif, bahwa Narapidana ini mendapatkan
kompensasi atas kesalahan/kejahatan yang telah dilakukannya. Dengan terasingnya para
Narapidana ini dan telah dijatuhi hukuman mati / pidana seumur hidup membuat penegakan
hukum pemberatasan peredaran Narkoba menjadi kuat, karena sanksi yang dikenakan atas kasus
Narkoba ini sangat keras yang bertujuan untuk memberikan efek jera yang sangat mengerikan
(diasingkan dan dihukum mati atau diasingkan seumur hidup), sehingga masyarakat lain akan
menjadi takut untuk melakukan transaksi atau penggunaan Narkoba.

1
Hyronimus Rhiti, Filsafat Hukum, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2011, hal. 241
2
ibid, hal. 241 -242
Kedudukan Pancasila adalah sebagai Staatsfundamentalnorm (Norma fundamental
Negara).

Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011 membahas mengenai hirarki peraturan perundang-


undangan di Indonesia. Pembentukan UU ini sedikit banyak terpengaruh oleh Teori Hukum
Murni dari Hans Kelsen. Teori hukum murni ini menurut Kelsen adalah sebuah teori hukum
yang bersifat positif. Sehingga kemudian dapat disimpulkan bahwa teori hukum ini ingin
berusaha menjawab pertanyaan tentang “apa hukum itu?” tetapi bukan pertanyaan “apa hukum
itu seharusnya”. Teori ini mengkonsentrasikan pada hukum saja dan menginginkan lepas
dengan ilmu pengetahuan yang lainnya, dengan atas dasar bahwa ilmu hukum berdiri sendiri
dan merupakan sui generis.3Kelsen sekali lagi ingin memisahkan pengertian hukum dari segala
unsur yang berperan dalam pembentukan hukum seperti unsur-unsur psikologi, sosiologi,
sejarah, politik, dan bahkan juga etika. 4 Semua unsur ini termasuk ide hukum atau isi hukum. Isi
hukum tidak pernah lepas dari unsur politik, psikis, social budaya dan lain-lain. Sehingga
pengertian hukum menurut Hans Kelsen adalah hukum dalam konteks formalnya, yaitu sebagai
peraturan yang berlaku secara yuridis, itulah hukum yang benar menurut perspektif teori hukum
murni (das reine Recht)

Menurut Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno menyebut Pancasila sebagai
philosopische grondslag atau pandangan hidup bangsa Indonesia. Oleh karena itu, Pancasila
memiliki dua kepentingan yaitu Pancasila diharapkan senantiasa menjadi pedoman dan petunjuk
dalam menjalani keseharian hidup manusia Indonesia baik dalam berkeluarga, bermasyarakat
maupun berbangsa. Kedua, Pancasila diharapkan sebagai dasar negara sehingga suatu
kewajiban bahwa dalam segala tatanan kenegaraan entah itu dalam hukum, politik, ekonomi
maupun sosial masyarakat harus berdasarkan dan bertujuan pada Pancasila.

Sehingga Pancasila merupakan pedoman hidup seluruh bangsa Indonesia sebagai


identitas bangsa. Sedangkan untuk dasar pembentukan hukum di Indonesia sesuai hirarki
perunda-undangan mengacu kepada Undang-Undang Dasar 1945 yang memiliki hirarki
tertinggi peraturan perundang-undangan di Indonesia.

3
Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta,
2005, Hal 3
4
Hans Kelsen, Pure Theori of Law, Berkely: University California Press, 1978, Hal 5-13
Pembentukan Satgas Penanganan Covid 19
Pemerintah Indonesia dalam menghadapi Pandemi Covid 19, menggunakan hukum
sebagai salah satu cara untuk menekan perkembangan dan peningkatan kasus Covid 19. Hal ini
sseuai dengan fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial. Roscoe Pound menganggap bahwa
hukum sebagai alat rekayasa sosial (Law as a tool of social engineering and social controle)
yang bertujuan menciptakan harmoni dan keserasian agar secara optimal dapat memenuhi
kebutuhan dan kepentingan manusia dalam masyarakat. Keadilan adalah lambang usaha
penyerasian yang harmonis dan tidak memihak dalam mengupayakan kepentingan anggota
masyarakat yang bersangkutan. Untuk kepentingan yang ideal itu diperlukan kekuatan paksa
yang dilakukan oleh penguasa negara.

Pengendalian sosial mengatur tingkah laku sesuai dengan norma-norma yang ditetapkan,
yang membawa keseragaman tingkah laku dan mengarah pada persatuan antar individu.
Keluarga menjaga keutuhannya, karena anggotanya berperilaku serupa sesuai dengan norma
keluarga.

Pembentukan Satgas Covid 19 ini membuat sebuah rekayasa sosial untuk meredam
penyebaran Covid 19, contoh rekayasa sosial yang dibuat adalah, untuk masuk ke tempat umum
atau penggunaan transportasi publik wajib telah di vaksin, hal ini merupakan sebuah rekayasa
sosial yang dilakukan pemerintah melalui peratutan perundangan-undangan agar seluru
masyarakat dipaksa melakukan vaksin, apabila tidak maka tidak dapat beraktivitas. Selain itu
Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat yang diatur oleh Perda masing-masing daerah,
aturan ini mengatur kapasitas pengunjung dan jam operasional perkantoran, pertokoan, mall dan
tempat public lainnya.

Hukum sebagai kontrol sosial sangat terlihat nyata dalam penanganan kasus Covid 19
ini. Pemerintah memiliki power yang sangat absolut untuk mengatur semua masyarakatnya
dalam menghadapi Covid 19 ini, sesuai dengan tujuan hukum sebagai rekayasa sosial yang
salah satunya ditujukan untuk mencapai cita-cita/ tujuan suatu negara.
Pemberlakuan Kembali Hukum Mati Di Amerika Serikat

Hukum pidana merupakan salah satu bagian dari hukum pada umumnya. Hukum pidana
ada untuk memberikan sanksi bagi siapa saja yang melakukan kejahatan. Berbicara mengenai
hukum pidana tidak terlepas dari hal-hal yang berkaitan dengan pemidanaan. Arti kata pidana
pada umumnya adalah hukum sedangkan pemidanaan diartikan sebagai penghukuman. Menurut
Moeljatno, dihukum berarti diterapi hukum, baik hukum perdata maupun hukum pidana.
Hukuman adalah hasil atau akibat dari penerapan hukum tadi yang mempunyai arti lebih luas,
sebab dalam hal ini tercakup juga keputusan hakim dalam lapangan hukum perdata5.
Filsafat hukum merupakan bagian dari filsafat umum, karena ia menawarkan refleksi
filosofis mengenai landasan hukum umum6. Salah satu bagian dari Filsafat hukum yang
membahas mengenai pemidanaan adalah Teori Pemidanaan. Mengenai teori pemidanaan, pada
umumnya dapat dikelompokkan dalam tiga golongan besar, yaitu teori absolut atau teori
pembalasan (vergeldings theorien), teori relatif atau teori tujuan (doel theorien), dan teori
gabungan (verenigings theorien)7
Pemberlakuan hukuman mati merupakan hal yang telah sesuai dengan teori absolut atau
teori pembalasan (vergeldings theorien). Kejahatan yang lebih keras dihukum dengan hal yang
lebih keras. Teori Absolut didasarkan pada pemikiran bahwa pidana tidak bertujuan untuk
praktis, seperti memperbaiki penjahat tetapi pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya
sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi keharusan, dengan kata lain hakikat pidana adalah
pembalasan (revegen).

5
Moeljatno, Membangun Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1985, hlm. 40
6
Joachim Friedrich, Filsafat Hukum : Perspektif Historis. Terjemahan Raisul Muttaqien, PT Nuansa dan PT Nuansa
Media, Bandung, 2004, hal. 3
7
E. Utrecht, Hukum Pidana I, (Jakarta:Universitas Jakarta, 1958), hal. 157
Perbedaan antara Realisme Hukum Amerika Serikat dan Realisme Hukum
Skandinavia

Realisme hukum adalah mengkaji hukum dalam konteks realitas, maka tidak terlepas
kajiannya dengan praktik hakim di pengadilan sebagai penegak hukum (law enforcement) dan
perilaku manusia dalam kehidupan empiris. Oleh karena itu, realisme hukum itu dibagi menjadi
dua kelompok, yakni realisme hukum Amerika yang menitikberatkan pada pengalaman-
pengalaman praktis hakim dalam mengadili perkara, dan realisme hukum Skandinavia yang
lebih menekankan pada perilaku manusia sebagai suatu kenyataan empiris.

Aliran Realisme Amerika Serikat merupaka kumpulan pemikiran yang beragam, tetapi
mempunyai satu fokus pandangan yang sama tentang hukum.Aliran ini berkembang pada abad
ke-19 sampai ke-20 di Amerika Serikat. Pada mulanya, paham laissez faire merupakan paham
yang dominan, dimana semua kegiatan ilmu pengetahuan selalu dipengaruhi oleh formalisme.
Apa yang dilakukan pembuat keputusan publik seringkali dianggap tidak jelas. Sehingga
realisme hukum Amerika memandang bahwa hukum dalam aksi/tindakan sering kali lebih
penting dari hukum yang ada dalam buku

Aliran realisme di Skandinavia dilatar belakangi oleh diterimanya cara berpikir empiris
ala Inggris. Ciri pendekatan dalam realisme Skandinavia adalah pendekatan psikologi. Sehingga
ilmu psikologi lebih banyak digunakan untuk mendalami fenomena hukum. Adapun ciri
realisme ini diantaranya: pemikiran ini berwatak sosiologis, namun menekankan pada
pentingnya hukum untuk ditempatkan di dalam konteks kebutuhan yang faktual di dalam
kehidupan masyarakat. Selain itu aspek praktis dari jalannya proses peradilan sangat
diperhatikan.

Perbedaan antara realisme Amerika Serikat dan Skandinavia, yaitu:

1. Realisme Amerika Serikat lebih menaruh perhatian terhadap aspek-aspek perilaku


pengadilan ketimbang terhadap pertanyaan-pertanyaan hukum yang dihasilkan dari
perhatian terhadap sifat dan hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang

2. Dasar filsafat Skandinavia adalah penolakan terhadap konsep tentang pikiran (mind)
yang encakup fenomena-fenomena mental, yang merupakan tiak lebih dari reaksi-
reaksi otak.
3. Bagi kaum realisme Skandinavia, yang disebut “ide-ide”, semata-mata merupakan
rasionalisasi-rasionalisasi dari eksistensi objektif, ide-ide itu semata-mata ungkapan
verbal dari reaksi-reaksi terhadap fakta-fakta dan kondisi-kondisi (lingkungan-
lingkungan) eksternalnya.

Anda mungkin juga menyukai