Tak Penuhi Asas Legalitas, YLBHI Desak Penghapusan Pasal Penodaan Agama
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum merupakan intrumen untuk menegakkan keadilan yang wujudnya berupa
pedoman perilaku dengan fungsi utamanya mengatur perilaku manusia. Dalam
pendekatan doktrinal, hukum dikonsepsikan sebagai an instrumen of the state or polis
concerened with justice, with rules of conduct to regulate human behavior. Menurut
pandangan ini hukum merupakan instrumen untuk menegakkan keadilan yang wujudnya
berupa pedoman perilaku dengan fungsi utamanya mengatur perilaku manusia (Samekto,
2012 : 1).
Indonesia adalah negara hukum yang menganut sistem civil law. Sistem hukum
civil law lebih mengutamakan peraturan tertulis daripada peraturan yang tidak tertulis.
Sebagai konsekuensiya maka penerapan asas legalitas menjadi mutlak diperlukan dalam
perberlakuan hukumya. Penerapan asas ini dimaksudkan untuk menjamin adanya
kepastian hukum bagi setiap orang yang berada diwilayah hukum tersebut.
Asas legalitas atau yang dalam bahasa latin sering disebut dengan istilah “nullum
delictum nulla poena sine praevia lege poenali” adalah asas yang memberlakukan hukum
untuk hal-hal dan sesuatu yang akan datang, artinya untuk hal-hal yang terjadi sesudah
peraturan itu diterapkan (Sudarto, 1990 : 22). Dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP), asas legalitas terdapat pada pasal 1 ayat (1) yang berbunyi : “Suatu
perbuatan tidak dapat di pidana kecuali berdasarkan ketentuanketentuan perundang-
undangan pidana yang telah ada”. 3 Sudarto dalam Hukum Pidana I menjelaskan bahwa
rincian dari pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tersebut
mempunyai implikasi dua hal : a. Suatu tindak pidana harus dirumuskan / disebutkan
dalam peraturan perundang-undangan yang tertulis. b. Peraturan undang-undang ini harus
ada sebelum terjadinya tindak pidana. Menurut Sudarto, konsekwensi dari poin pertama
diatas adalah perbuatan seseorang yang tidak tercantum dalam undang-undang sebagai
tindak pidana juga tidak dapat dipidana. Jadi dengan adanya asas ini, hukum yang tidak
tertulis tidak mempunyai kekuatan untuk diterapkan. Sedangkan konsekwensi kedua dari
poin kedua diatas adalah adanya larangan penggunaan analogi untuk membuat suatu
perbuatan menjadi suatu tindak pidana sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang.
Analogi disini artinya memperluas berlakunya suatu peraturan dan mengabtraksikanya
menjadi aturan hukum yang menjadi dasar peraturan itu (ratiolegis) dan kemudian
menetapkan aturan yang bersifat umum ini kepada perbuatan konkrit yang tidak diatur
dalam undang-undang (Sudarto, 1990 : 23). Asas legalitas (non retroaktif) merupakan
asas utama yang digunakan dalam penerapan peraturan perundang-undangan di
Indonesia, akan tetapi dalam peradilan HAM berat di Indonesia asas legalitas dapat
dikecualikan. Artinya dalam peradilan HAM berat asas yang digunakan adalah asas
retroaktif (pemberlakuan surut). Hal ini tercantum dalam Undang-Undang No. 26 Tahun
2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia pasal 43 ayat (1)4 yang berbunyi :
“Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkanya undang-
undang ini, diperiksa dan diputus oleh pengadilan HAM ad hoc.” 5 Selain itu dalam
penjelasan pasal 4 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
disebutkan : “… Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dapat
dikecualikan dalam hal pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia yang digolongkan
kedalam kejahatan kemanusiaan.”6 Disisi lain hak untuk tidak di tuntut atas dasar
undang-undang yang berlaku surut juga merupkan hak asasi manusia yang paling asasi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis menarik beberapa rumusan
masalah dalam tulisan ini. Adapun rumusan masalah dalam tulisan ini adalah sebagai
berikut :
1. Apa Pengertian Asas Legalitas?
2. Bagaimana Penerapan Asas Legalitas Di Indonesia?
3. Bagaimana Alasan Pelanggaran Asas legalitas Dalam Kasus tersebut?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Asas Legalitas
Asas legalitas adalah suatu jaminan dasar bagi kebebasan individu dengan
memberi batas aktivitas apa yang dilarang secara tepat dan jelas. [1][2] Asas ini juga
melindungi dari penyalahgunaan wewenang hakim, menjamin keamanan individu
dengan informasi yang boleh dan dilarang.[2] Setiap orang harus diberi peringatan
sebelumnya tentang perbuatan-perbuatan ilegal dan hukumannya. [2] Jadi berdasarkan
asas ini, tidak satu perbuatan boleh dianggap melanggar hukum oleh hakim jika
belum dinyatakan secara jelas oleh suatu hukum pidana dan selama perbuatan itu
belum dilakukan.
Dengan demikian, perbuatan seseorang yang cakap tidak mungkin dikatakan
dilarang, selama belum ada ketentuan yang melarangnya, dan ia mempunyai
kebebasan untuk melakukan perbuatan itu atau meninggalkannya, sehingga ada nash
yang melarangnya.[2] Ini berarti hukum pidana tidak dapat berlaku ke belakang
terhadap suatu perbuatan yang belum ada ketentuan aturannya, karena
itu hukum pidana harus berjalan ke depan.
Pada awalnya asas legalitas berhubungan dengan teori Von Feurbach, yang
disebut dengan teori Vom Psycologischen Zwang. Teori ini berarti anjuran agar
dalam penentuan tindakan-tindakan yang dilarang, tidak hanya tercantum macam-
macam tindakannya, tetapi jenis pidana yang dijatuhkan. Asas legalitas berlaku
dalam ranah hukum pidana dan terkenal dengan adagium legendaris Von
Feuerbach yang berbunyi nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali.
Secara bebas, adagium tersebut dapat diartikan menjadi “tidak ada tindak pidana
(delik), tidak ada hukuman tanpa (didasari) peraturan yang mendahuluinya”. Secara
umum, Von Feuerbach membagi adagium tersebut menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Tidak ada hukuman, kalau tak ada ketentuan Undang-undang (Nulla poena sine
lege);
2. Tidak ada hukuman, kalau tak ada perbuatan pidana (Nulla poena sine
crimine);
3. Tidak ada perbuatan pidana, kalau tidak ada hukuman yang berdasarkan
Undang-undang (Nullum crimen sine poena legali).
Adagium tersebut merupakan dasar dari asas bahwa ketentuan pidana tidak dapat
berlaku surut (asas non-retroaktif) karena suatu delik hanya dapat dianggap sebagai
kejahatan apabila telah ada aturan sebelumnya yang melarang delik untuk dilakukan,
bukan sesudah delik tersebut dilakukan.
Eddy O.S. Hiariej (2012) memberikan makna dalam adagium tersebut, sebagai
asas yang memiliki dua fungsi: (i) Fungsi melindungi yang berarti Undang-Undang
pidana melindungi rakyat terhadap kekuasaan Negara yang sewenang-wenang; (ii)
Fungsi instrumentasi, yaitu dalam batas-batas yang ditentukan Undang-Undang,
pelaksanaan kekuasaan oleh Negara tegas-tegas diperbolehkan. Fungsi melindungi
lebih pada hukum pidana materil (hukum pidana) yang mengacu pada frasa pertama
(nulla poena sine lege) dan kedua (nulla poena sine crimine), sementara fungsi
instrumentalis lebih pada hukum pidana formil (hukum acara pidana) yang mengacu
pada frasa ketiga (nullum crimen sine poena legali).
Satu dan lain dalam perkara-perkara pidana, untuk pemecahan kasus-kasus
perbuatan pidana, penting untuk diketahui; empat makna asas legalitas yang
dikemukakan oleh Jeschek dan Weigend (Machteld Boot: 2001) diantaranya:
C. Tak Penuhi Asas Legalitas, YLBHI Desak Penghapusan Pasal Penodaan Agama
Ketua YLBHI Asfinawati mengatakan, pasal mengenai penodaan agama tersebut
terdapat di KUHP, Undang-Undang Ormas, serta Undang-Undang tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik. "Agar tidak multitafsir dan menjadi pasal yang
mengkriminalilasikan kebebasan berpendapat, beragama, berkeyakinan, dan hak
berekspresi lainnya," ujar Asfinawati dalam diskusi daring.
Menurut dia, selama ini terjadi perluasan penggunaan pasal untuk perbuatan yang
dianggap telah melakukan penodaan agama. Terlebih, dalam penggunaan pasal
tersebut juga diperparah dengan tidak adanya definisi yang jelas. Sehingga hal itu
menyebabkan penegak hukum cenderung dipengaruhi oleh desakan massa atau
publik, terutama untuk kasus yang digambarkan sudah "viral". Untuk itu, menurut
Asfinawati, gangguaan ketertiban umum masih menjadi alasan untuk menangkap atau
memproses kasusnya. "Penegakan hukum cenderung dipengaruhi oleh tekanan publik
dalam hal ini ada kesamaan pernyatan dari kepolisian yang sudah viral," ucap dia.
"Kalau UU ITE pasti akan ada kata jimatnya, kasus ini sudah viral sehingga harus
ditindaklanjuti," kata Asfinawati. Pasal yang digunakan dalam menjerat kasus
penodaan tersebut meliputi Pasal 156a KUHP, Pasal 59 (3) UU Ormas, dan Pasal 28
(2) Jo 45a (2) UU ITE. Adapun sebaran 38 kasus penodaan itu terjadi di 16 provinsi
yang meliputi Sulawesi Selatan 6 kasus, Jawa Timur 5 kasus, Maluku Utara 5 kasus,
Jawa Barat 4 kasus, dan Sumatera Utara 4 kasus. Kemudian, 8 kasus menggunakan
Pasal 156a KUHP, 7 kasus dengan Pasal 45a (2) UU ITE, 6 kasus dengan Pasal 156a
jo 45a (2), 3 kasus tidak diketahui, 1 kasus Pasal 27 (3) UU ITE, dan 1 kasus pasal 27
(3) jo 45a (2) UU ITE. Kasus tersebut juga dianggap sebagai penodaan agama oleh
publik, aparat penegak hukum, termasuk Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).
Kasus itu mulai dari penafsiran agama, dituduh menghina agama, hingga mengaku-
ngaku Islam. Termasuk menggunakan logo kepala anjing untuk nasi bungkus dan
membubarkan shalat Jumat dalam rangka protokol kesehatan Covid-19.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perkembangan Asas Legalitas dalam Hukum Pidana Indonesia tidak lagi kaku.
Dalam penerapannya asas legalitas dapat dikecualikan terutama dalam terjadinya
kejahatan terhadap hak asasi manusia. Pelaku dapat dihukum dengan ketentuan hukum
yang dibuat kemudian untuk menjamin keadilan, meskipun dengan mengenyampingkan
kepastian hukum. Meskipun dibuat kemudian tetap harus dibuat tertulis karena dalam
hukum pidana positif di Indonesia harus ada ketentuan tertulis yang menjadi dasar dan
tidak dapat menghukum orang dengan menggunakan hukum kebiasaan.Penerapan asas
legalitas dalam Hukum Pidana Internasional lebih fleksibel, mengingat bahwa salah satu
sumber hukum internasional adalah kebiasaan internasional. Kejahatan terhadap hak asasi
manusia merupakan jus cogens yang dianggap kejahatan internasional yang
mengakibatkan semua negara berhak melakukan penuntutan terhadap para pelaku.
Pengecualian terhadap asas ini dalam hukum pidana internasional untuk memastikan
pelaku kejahatan dihukum dan keadilan dapat ditegakkan.
B. Saran
Berpijak dari penjelasan diatas maka sudah sewajarnya paradigma penegakan dan
pemberlakuan hukum adalah untuk mempertahankan umat manusia, baik secara individu
maupun kolektif dari kehilangan kehidupan, kemerdekaan serta kebebasan dari segala
bentuk diskriminasi. Keberadaan hukum harus melekat secara kodrati dan universal
(tidak terbatas ruang dan waktu) tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh
siapapun dan sebaliknya Hukum harus dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh
setiap manusia, negara dan bangsa guna menjaga harkat dan martabat manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Asmawi. Teori Mashlahat dan Relevansinya dengan Perundang-Undangan Pidana
Khusus di Indonesia, Jakarta; Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama Republik
Indonesia, 2010.
A.Rayhan, Undang-Undang KUHPdan KUHAP, Jakarta; Citra Media Wacana, 2008, hal.
13.
Amiruddin. (2012). Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada. Christianto, H. (2009). Pembaharuan Makna Legalitas Dalam Pidana Indonesia.
Jurnal Hukum Dan Pembangunan Tahun, 39(3).
https://id.wikipedia.org/wiki/Asas_legalitas
https://nasional.kompas.com/read/2020/06/09/19360271/tak-penuhi-asas-legalitas-ylbhi-
desak-penghapusan-pasal-penodaan-agama?page=all