Anda di halaman 1dari 9

A.

ASAS LEGALITAS
Asas legalitas dalam hukum pidana merupakan asas yang fundamental.
Pertama kali asas ini dituangkan dalam Konstitusi Amerika 1776, dan setelah
itu dalam Pasal 8 Declaration de droits de l'homme et du citoyen 1789 di
Perancis. Asas legalitas ini kemudian tercantum dalam KUHP berbagai negara
di dunia. Di Perancis, asas ini pertama kali termuat dalam Pasal 4 Code Penal
yang disusun oleh Napoleon Bonaparte (tidak ada pelanggaran, tidak ada delik
tidak ada kejahatan yang dapat dipidana berdasarkan aturan hukum yang ada,
sebelum aturan hukum itu dibuat terlebih dulu). Di Belanda, asas legalitas
diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Wetboek van Strafrecht yang dengan tugas
menentukan "Geen feit is strafbaar dan uit kracht van eene daaraan
voorafgegane wettelijke strafbepalingen".1
Menurut Machteld Boot, asas legalitas mengandung beberapa syarat:
pertama, nullum crimen, noela poena sine lege praevia, yang berarti, tidak ada
perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang sebelumnya.
Konsekuensi dari makna ini adalah menentukan bahwa hukum pidana tidak
boleh berlaku surut. Kedua, nullum crimen, noela poena sine lege scripta,
artinya, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada perbuatan pidana tanpa undang-
undang tertulis. Konsekuensi dari makna ini, adalah bahwa semua perbuatan
pidana harus tertulis. Ketiga, nullum crimen, noela poena sine lege certa,
artinya tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa aturan undang-
undang yang jelas. Konsekuensi dari makna ini, adalah harus jelasnya rumusan
perbuatan pidana sehingga tidak bersifat multitafsir yang dapat membahayakan
kepastian hukum. Keempat, nullum crimen, noela poena sine lege stricta,
artinya tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang
yang ketat. Konsekuensi dari makna ini secara implisit adalah tidak
diperbolehkannya analogi. Ketentuan pidana harus ditafsirkan secara ketat,
sehingga tidak menimbulkan perbuatan pidana baru.2
1. ASAS LEGALITAS PADA CIVIL LAW
1
I Made Widyana, Asas-asas Hukum Pidana, Fikahati Aneska, Jakarta, 2010, hlm. 20.
2
Eddy O.S. Hiariej, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Erlangga, Jakarta, 2009,
hlm. 29.
Dalam tradisi sistem civil law, ada empat aspek asas legalitas yang
diterapkan secara ketat, yaitu: peraturan perundang-undangan (law),
retroaktivitas (retroactivity), lex certa, dan analogi.3 Beberapa aspek
legalitas ini penjelasaannya sebagai berikut:
1) Lex Scripta: tertulis
Dalam civil law system, aspek pertama adalah pemidanaan harus
didasarkan pada undang-undang, dengan kata lain berdasarkan hukum
yang tertulis. Undang-undang (statutory, law) harus mengatur mengenai
tingkah laku (perbuatan) yang dianggap sebagai tindak pidana. Tanpa
undang-undang yang mengatur mengenai perbuatan yang dilarang, maka
perbuatan tersebut tidak bisa dikatakan sebagai tindak pidana. Hal ini
berimplikasi bahwa hukum kebiasaan/hukum yang hidup tidak bisa
dijadikan dasar menghukum seseorang. Tidak bisanya kebiasaan menjadi
dasar penghukuman bukan berarti kebiasaan tersebut tidak mempunyai
peran dalam hukum pidana. Ia menjadi penting dalam menafsirkan
element of crimes yang terkandung dalam tindak pidana yang dirumuskan
oleh undang-undang tersebut.4
2) Lex Certa: Jelas dan rinci
Dalam kaitannya dengan hukum yang tertulis, pembuat undang-
undang (legislatif) harus merumuskan secara jelas dan rinci mengenai
perbuatan yang disebut dengan tindak pidana (kejahatan, crimes). Hal
inilah yang disebut dengan asas lex certa atau bestimmtheitsgebot.
Pembuat undang-undang harus mendefinisikan dengan jelas tanpa samar-
samar (nullum crimen sine lege stricta), sehingga tidak ada perumusan
yang ambigu mengenai perbuatan yang dilarang dan diberikan sanksi.
Perumusan yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan
ketidakpastian hukum dan menghalangi keberhasilan upaya penuntutan
(pidana) karena warga selalu akan dapat membela diri bahwa

3
Roelof H. Heveman, The Legality of Adat Criminal Law in Modern Indonesia,Tata
Nusa, Jakarta, 2002, hlm. 50.
4
ELSAM, Asas Legalitas KUHP Dalam Rancangan 2005, Posistion Paper Advokasi
RUU KUHP Seri 1, Jakarta, 2006, hlm. 6-7.
ketentuanketentuan seperti itu tidak berguna sebagai pedoman perilaku.5
Namun demikian ELSAM berpendapat, dalam prakteknya tidak
selamanya pembuat undang-undang dapat memenuhi persyaratan di atas.
Tidak jarang perumusan undang-undang diterjemahkan lebih lanjut oleh
kebiasaan yang berlaku di dalam masyarakat apabila norma tersebut
secara faktual dipermasalahkan.6
3) Analogi
Analogi artinya memperluas berlakunya suatu peraturan dengan
mengabstraksikannya menjadi aturan hukum yang menjadi dasar dari
peraturan itu (ratio legis) dan kemudian menerapkan aturan yang bersifat
umum ini kepada perbuatan konkrit yang tidak diatur dalam undang-
undang.7
Penerapan peraturan secara analogi ini dilakukan apabila ada
kekosongan (leemte ata lucke) dalam undangundang untuk perbuatan
(peristiwa) yang mirip dengan apa yang diatur oleh undangundang. Akan
tetapi sebaliknya apabila ada peristiwa (baru) yang tidak diatur dalam
undangundang maka peraturan itu tidak diterapkan, apabila tidak sesuai
dengan rasio dari peratura tersebut. Penggunaan yang demikian itu
disebut “argumentum a contrario” (pemberian alasan secara
dibalik/bewijs van het tegendeel).8
Seperti disebutkan di muka, asas legalitas membatasi secara rinci
dan cermat tindakan apa saja yang dapat dipidana. Namun demikian,
dalam penerapannya, ilmu hukum memberi peluang untuk dilakukan
interpretasi terhadap rumusan-rumusan perbuatan yang dilarang
tersebut.9 Dalam ilmu hukum pidana dikenal beberapa metode atau cara

5
Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,2003,hlm. 358.
6
ELSAM, Op.Cit, hlm. 6-7
7
Muchamad Iksan, Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana : Studi Komparatif Asas
Legalitas Hukum Pidana Indonesia Dan Hukum Pidana Islam (Jinayah), Jurnal Serambi Hukum
Volume 11, Nomor 01, 2017, hlm. 10.
8
Sudarto, Hukum Pidana I, Cetakan ke-dua Yayasan Sudarto Fakultas Hukum UNDIP,
Semarang,1990, hlm. 22-23.
9
Muchamad Iksan, Op.Cit, hlm. 10.
penafsiran, yaitu: penafsiran tata bahasa atau gramatikal, penafsiran
logis, penafsiran sistematis, penafsiran historis, penafsiran teleologis atau
sosiologis, penafsiran kebalikan, penafsiran membatasi, penafsiran
memperluas, dan penafsiran analogi.10
Dari sekian banyak metode penafsiran tersebut, penafsiran
analogi telah menimbulkan perdebatan di antara para yuris yang terbagi
ke dalam dua kubu, menerima dan menentang penafsiran analogi. Secara
ringkas, penafsiran analogi adalah apabila terhadap suatu perbuatan yang
pada saat dilakukannya tidak merupakan tindak pidana, diterapkan
ketentuan hukum pidana yang berlaku untuk tindak pidana lain yang
mempunyai sifat atau bentuk yang sama dengan perbuatan tersebut,
sehingga kedua perbuatan tersebut dipandang analog satu dengan
lainnya.11
4) Non-retroaktif
Asas legalitas dipandang dari ruang berlakunya hukum pidana
menurut waktu yang berkaitan dengan non retroaktif menghendaki
bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan yang merumuskan
tindak pidana tidak dapat diberlakukan secara surut (non retroaktif).12
2. ASAS LEGALITAS PADA COMMON LAW
Penerapan asas legalitas memiliki variasi yang beragam antar satu
negara dengan negara lainnya, tergantung apakah sistem pemerintahan yang
berlaku di negara bersangkutan bersifat demokratis atau tiranis. Variasi juga
tergantung pada keluarga hukum yang dianutnya. Sistem Eropa Kontinental
cenderung menerapkan asas legalitas lebih kaku daripada penerapannya di
negara-negara yang menganut sistem Common law, karena di negara-negara
Eropa Kontinental asas legalitas menjadi alat untuk membatasi kekuasaan
negara.13 Di negara-negara yang menggunakan sistem Common Law asas

10
Sofyan Sastrawidjaja, Hukum Pidana: Asas Hukum Pidana Sampai pada Peniadaan
Pidana, Armica, Bandung, 1995,hlm. 68-72.
11
Ibid, hlm. 10-11
12
Loc.Cit.
13
Sri Rahayu, Implikasi Asas Legalitas Terhadap Penegakan Hukum Dan Keadilan,
Jurnal Inovatif,, Volume 7, Nomor 3, 2014, hlm. 3.
legalitas tidak begitu menonjol, karena prinsip-prinsip rule of law telah
tercapai dengan berkembangnya konsep due proses of law yang didukung
oleh hukum acara yang baik. Dalam hal ini analogi tidak dijinkan tetapi
bahkan menjadi basis pembaharuan Common Law. Amerika Serikat lebih
ketat dalam membatasi analogi dan berlakunya asas retroaktif hanya dalam
hukum acara, khususnya hukum pembuktian.14
B. ASAS MENS REA
Mens rea (niat jahat) adalah suatu kriteria yang harus ada dalam tindak
pidana. Karena untuk dapat mempertanggungjawabkan suatu tindakan pidana
dari seseorang sangat ditentukan adanya niat jahat (mens rea).
Dalam hukum pidana sistem pertanggungjawaban (liability) yang
demikian inilah yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Bahwa ajaran kesalahan
ini dalam bahasa latin dikenal dengan sebutan mens rea, yaitu suatu doktrin
yang dilandaskan pada maxim Actus non facit reum nisi mens sit rea yang
berarti “suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika
pikiran orang itu jahat”15
1. ASAS MENS REA PADA CIVIL LAW
Pada sistem civil law, khususnya pada sistem hukum pidana Belanda
tidak mengenal istilah actus reus dan mens rea, umumnya para ahli hukum
pidana menggunakan istilah syarat atau unsur subjektif dan syarat atau
unsur objektif. Apabila berbicara hukum pidana dalam sistem hukum civil
law dengan menggunakan istilah actus reus dan mens rea akan
menimbulkan kerancuan pemahaman. Meskipun konsep actus reus dengan
syarat objektif terdapat persamaan, tetapi mempunyai pengertian yang
berbeda. Meskipun pengertian mens rea dan syarat subjektif terdapat
persamaan, tetapi terdapat perbedaan pengertian, terutama dalam
menentukan konsep kesalahan dan pertanggungjawaban pidana. Pada
umumnya pengertian syarat objektif digunakan dalam pengertian perbuatan

14
Muladi, Demokrasi, Hak Asasi Manusi, Dan Reformasi Di Indonesia, Habibie Center,
Jakarta, 2002, hlm. 74.
15
Haris Yudhianto, Penerapan Asas Kesalahan Sebagai Dasar Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi, Jurnal Pendidikan Dewantara, Volume 4, Nomor 2, 2018, hlm. 202-203.
yang bersifat melawan hukum, karena sifat melawan hukum adalah unsur
dari syarat objektif. Unsur utama dari syarat subjektif adalah kesalahan, baik
kesalahan sebagai kesengajaan, kealpaan maupun bertanggung jawab.16
2. ASAS MENS REA PADA COMMON LAW
Konsep pertanggungjawaban pidana yang menganutsatu prinsip
utama yang hanya mendasarkan pada ajaran kesalahan sebagai mens rea,
konsep ini di anut oleh sistem hukum di Inggris dan Amerika Serikat
dengan prinsipan act does not make a person guilty unless his mind is guilty,
yang artinya suatu perbuatan tidakdapat menjadikan seseorang bersalah
bilamana maksud tidak bersalah.17
Jonathan Herring, mens rea merupakan unsur dari tindak pidana
(element of criminal offence), sehingga dalam sistem common law sangat
beralasan bahwa kesalahan atau mens rea dari pembuat harus dibuktikan
oleh penuntut umum. Alasan ini didasarkan pada kenyataan bahwa mens
rea dalam hukum pidana di negara yang menganut sistem common law
melekat pada setiap tindak pidana, dan merupakan unsur utama. Pada
prinsipnya unsur mens rea ini merupakan unsur mutlak pada setiap tindak
pidana, tetapi dalam beberapa tindak pidana tertentu tidak merupakan syarat
yang menentukan misalnya dalam tindak pidana dalam bentuk
strictlialbility.18
C. ASAS STRICT LIABILITY
Sehingga secara harafiah istilah strict liability bila diterjemahkan berarti
: Tanggung jawab secara tegas, Tanggung jawab secara tepat, Tanggung jawab
secara teliti, Tanggung jawab secara keras. Konsep strict liability berasal dari
para ahli hukum Anglo-saxon (common law countries). Konsep ini

16
Louis Fernando A.S.H. Simanjuntak, Perbandingan Hukum Pidana Kontemporer,
Makalah Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran,
Bandung, 2020, hlm. 3.
17
Ibid, hlm. 1.
18
Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, Mandar Maju, Bandung, 1996,
hlm. 56-57.
dimaksudkan untuk menanggulangi tindak pidana yang melanggar
kesejahteraan masyarakat (public welfare offences).19
Doktrin strict liability dalam hukum pidana dikemukakan oleh Roeslan
Saleh yaitu : “dalam paktik pertanggungjawaban pidana menjadi lenyap jika
ada salah satu keadaan-keadaan yang memaafkan. Praktek pula melahirkan
aneka macam tingkatan keadaan-keadaan menilai yang dapat menjadi syarat
ditiadakanyya pengenaan pidana, sehingga dalam perkembangannya lahir
kelompok kejahatan yang untuk pengenaan pidananya cukup dengan strict
liability.20
1. ASAS STRICT LIABILITY PADA CIVIL LAW
Dalam perkembangan hukum pidana yang terjadi belakangan,
diperkenalkan pula tindak-tindak pidana yang pertanggungjawaban
pidananya dapat dibebankan kepada pelakunya sekalipun pelakunya tidak
memiliki mens rea yang disyaratkan. Cukuplah apabila dapat dibuktikan
bahwa pelaku tindak pidana telah melakukan actus reus, yaitu melakukan
perbuatan yang dilarang oleh ketentuan pidana atau tidak melakukan
perbuatan yang diwajibkan oleh ketentuan pidana. Tindak-tindak pidana
yang demikianitu disebut offences of strict liability atau yang sering dikenal
juga sebagai offences ofabsolute prohibition. Strict liability disebut juga
absolute liability.
Istilah dalam Bahasa Indonesia yang saya gunakan adalah
"pertanggung jawaban mutlak". Mardjono Reksodiputro dalam salah satu
tulisannya diterapkannya asas strict liability di Indonesia yang menganut
sistem Eropa Continental, yaitu “Berhubung kita tidak mengenal ajaran
strict liability yang berasal dari sistem hukum Anglo-Amerika tersebut,

19
Mardjono Reksodiputro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, Pusat
Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, Jakarta,2007, hlm. 110.
20
Ahmad Fathul Majit, Studi Komparasi Asas Strict Liability Dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Dan Kitab Undang – Undang
Hukum Pidana, Skripsi Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah
Magelang, 2019, hlm. 26-27.
maka sebagai alasan pembenar dapat dipergunakan ajaran feit materiel yang
berasal dari sistem hukum Eropa Continental.21
2. ASAS STRICT LIABILITY PADA COMMON LAW
Walaupun pada prinsipnya berlaku asas mens rea, namun pada
sistem common law di Inggris ada delik-delik yang tidak mensyaratkan
adanya mens rea (berupa intention, recklessness, atau negligence). Pelaku
sudah dapat dipidana apabila ia telah melakukan perbuatan sebagaimana
dirumuskan dalam undang-undang tanpa melihat bagaimana sikap batinnya.
Disini berlaku apa yang disebut strict liability yang sering diartikan secara
singkat liability without fault (pertanggungjawaban tanpa kesalahan).
Menurut common law, strict liability berlaku terhadap 3 macam delik:
1) Public nuisance (gangguan terhadap ketertiban umum, menghalangi jalan
raya, mengeluarkan bau tidak enak yang mengganggu lingkungan).
2) Criminal libel (penghinaan/fitnah, pencemaran nama baik)
3) Contempt of Court (pelanggaran tata tertib di pengadilan). Misalnya :
mengancam jaksa, hakim dan saksi.
Prinsip pertanggungjawaban mutlak (strict liability) merupakan
prinsip pertanggung jawaban hukum (liability) yang telah berkembang sejak
lama yang berawal dari sebuah kasusdi Inggris yaitu Rylands v. Fletcher
tahun 1868. Dalam kasus ini Pengadilan tingkat kasasi di Inggris melahirkan
suatu kriteria yang menentukan, bahwa suatu kegiatan atau penggunaan
sumber daya dapat dikenai strict liability jika penggunaan tersebut bersifat
non natural atau diluar kelaziman, atau tidak seperti biasanya. Jenis
pertanggungjawaban ini muncul sebagai reaksi atas segala kekurangan dari
sistem atau jenis pertanggungjawaban fault based liability.
Pertanggungjawaban hukum konvensional selama ini menganut asas
pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (liability based on fault),
artinya bahwa tidak seorangpun dapat dikenai tanggung jawab jika pada

21
Amelia ismi Adli, Perbandingan Hukum Pidana Indonesia dengan Hukum Pidana
Inggris, Academia,
https://www.academia.edu/36488394/Perbandingan_Hukum_Pidana_Indonesia_dengan_Hukum_
Pidana_Inggris , Diakses 4 Desember 2022.
dirinya tidak terdapat unsur-unsur kesalahan. Dalam kasus lingkungan
dokrin tersebut akan melahirkan kendala bagi penegakan hukum
dipengadilan karena dokrin ini tidak mampu mengantisipasi secara efektif
dampak dari kegiatan industrimodern yang mengandung resiko-resiko
potensial. Pertanggung jawaban mutlak padaawalnya berkembang di
negara-negara yang menganut sistem hukum anglo saxon atau common law,
walaupun kemudian mengalami perubahan perkembangan dibeberapa
negarauntuk mengadopsinya. Beberapa negara yang menganut asas ini
antara lain Inggris, Amerika, Belanda, dan Thailand.
D. ASAS VICARIOUS LIABILITY
E. ASAS PRESUMPTION OF INNOCENCE (PRADUGA TAK
BERSALAH)

Anda mungkin juga menyukai