Anda di halaman 1dari 3

Dalam konteks yang lebih luas, sasaran studi ilmu dan penelitian hukum mencakup tiga hal.

Pertama, kaedah hukum yang meliputi asas-asas hukum, kaedah hukum dalam arti sempit dan
peraturan hukum konkret; kedua, sistem hukum; dan ketiga, penemuan hukum.
Apabila kita kaitkan hubungan antara tiga fase dalam pemikiran hukum pidana dengan
sasaran studi ilmu dan penelitian hukum, ada beberapa benang merah yang dapat kita tarik.
Pertama, dalam memnghadapi perkembangan zaman, acap kali hal-hal yang nyata ada
bersifat naif empiris, tidak dapat dicakup oleh suatu kaedah hukum. Kedua, dengan
mengingat bahwa hukum adalah sebuah sistem yang terdiri dari sub-sussistem, kekurangan
yang ada pada satu subsistem yang lain akan diisi oleh subsistem lainnya. Ketiga, refleksi
filsafat tentang arti penting dan tujuan hukum itu sendiri dapat digunakan untuk mengisi
kekosongan hukum terhadap hal-hal baru diperlukan penemuan hukum.
Dalam penemuan hukum, hakim perdata memiliki radius kegiatan yang lebih luas daripada
hakim pidana yang jangkauan penerapan normanya dibatasi secara ketat pada suatu norma
yang dinyatakan dilanggrar. Hal ini berkaitan erat dengan asas legalitas dalam hukum pidana.
Asas tersebut menyatakan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali atas kekuatan
undang-undang yang sudah ada terlebih dulu sebelum perbuatan itu dilakukan.
(3)
Sudikno Mertokusumo memberi jawaban bahwa lazimnya penemuan hukum adalah proses
pembentukan hukum oleh hakim atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk
menerapkan peraturan hukum umum pada peristiwa konkret. Masih menurut Sudikno
Mertokusumo dengan mengutip Eikema Holmes, penemuan hukum selanjutnya didefinisikan
sebagai proses konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan
mengingat peristiwa konkret tertentu.
Definisi ini tidak jauh berbeda dengan pengertian penemuan hukum yang dikemukakan oleh
Loudoe, bahwa penemuan hukum bukan suatu proses yang logis belaka melalui subsumpsi
dari fakta ketentuan undang-undang, akan tetapi adalah juga penilaian dari fakta pada
ketentuan undang-undang.
Ada dua undur penting dalam penemuan hukum. Pertama, hukum/sumber hukum dan kedua
adalah fakta. Pada awalnya, unsur hukum/sumber hukum dalam penemuan hukum adalah

undang-undang. Hal ini berkaitan dengan suatu postulat yang dikenal dengan istilah De wet
is onschendbaar(undang-undang tidak dapat diganggu gugat) yang dalam hukum Belanda
tertuang secara eksplisit dalam pasal 120 Grondwet. Oleh karena itu, unsur hukum/sumber
hukum dalam penemuan hukum tidak hanya meliputi undang-undang semata, tetapi juga
meliputi sumber hukum lainnya, yaitu doktrin, yurisprudensi, perjanjian, dan kebiasaan.
(55-56)
Selanjutnya kita membahas fakta sebagai unsur penemuan hukum. Hal ihlaw dalam
penemuan hukum. Sebelum hukum adalah penilaian terhadap fakta-fakta berdasarkan hukum.
Sebelum hukum diterapkan pada peristiwa konkret, terlebih dulu kita harus menetapkan apa
yang sesungguhnya menjadi situasi faktual sebagai penemuan suatu kebenaran, kemudian
situasi faktual itu dapat dipandang sebgai relevan secara yuridis, seleksi dan kualifikasi atas
fakta-fakta.
Masih dalam konteks hukum pidana, yang selalu menjadi persoalan adalah bagaimana cara
menerapkan peraturan hukum yang umum sifatnya terhadap peristiwa konkret. Dengan kata
lain, persoalan terbesar penemuan hukum dalam hukum pidana adalah cara menemukan
hukum tersebut, entah dengan jalan penafsiran atau anologi.
(57-58)
Oleh karena itu, sebelum membahas lebih lanjut mengenai penafsiran dan analogi dalam
hukum pidana, terlebih dahulu perlu diketahui asas-asas umum tentang penafsiran.
Pertama, ada dua asas utama dalam prinsip regulasi yang saling terkait erat, yaitu asas
proporsionalitas dan asas subsidiaritas. Asas proporsionalitas adalah keseimbangan antara cara dan
tujuan dari suatu undang-undang. Sementara itu asa subsidiaritas kita hadapi jika suatu persoalan sulit
memunculkan berbagai alternative pemecahan, sehingga kita harus memilih pemecahan yang paling
sedikit menimbulkan kerugian.1
Kedua, prinsip relevansi dalam hukum pidana, yaitu keberlakuan hukum pidana yang hanya
mempersoalkan penyimpangan perilaku social yang patut mendapat reaksi atau koreksi dari sudut
pandang hukum pidana.2

1 eddy hlm.58

Ketiga, asas kepatutan dari Marten Luther. Asas ini menyatakan bahwa kepatutanlah yang
harus menguji logika yuridis. Demikian pula menurut van der Ven, yang memperingatkan penggunaan
logika hukum yang berlebihan dalam upaya menerangkan perundang-undangan. Menurutnya hanya
dengan melepaskan diri dari logikalah, kita dapat mendayagunakan secara penuh ketentuan
perundang-undangan yang sangat formil mekanistis untuk kepentingan manusia dalam masyarakat
serta penataan lalu lintas pergaulan.3

2 eddy hlm. 58

3 eddy hlm. 58

Anda mungkin juga menyukai