Anda di halaman 1dari 3

Bab 3/filsafat hukum/donny danardono

Bab 3
PENGERTIAN HUKUM1

Bab 3 ini membahas tentang unsur apa saja yang harus ada pada
hukum. Untuk itu akan dibahas “Hubungan antara Hukum dan Negara: nilai
yuridis hukum”; “Legalitas Hukum”; “Hukum sebagai Norma”; “Hukum
dan Keadilan”

Hukum dan Negara: nilai yuridis hukum:


Hukum merupakan salah satu norma pengatur hidup bersama di
samping norma sopan-santun dan moral (lihat Bab 1). Namun berbeda dari
norma sopan-santun dan moral yang memberikan sanksi psikologis (teguran
atau pengucilan), hukum memberikan sanksi fisik seperti denda, ganti rugi, sita,
penjara atau hukuman mati. Untuk itu tidak setiap orang dapat membuat dan
menerapkan hukum. Karena hal ini hanya akan menyebabkan tindakan main
hakim sendiri. Hukum hanya bisa dibuat dan ditegakkan oleh negara dan
institusi sosial (adat atau swasta) yang disetujui oleh negara. Dengan kata
lain, suatu norma akan memiliki nilai yuridis (keabsahan formal) bila dibuat
oleh negara. Tentang hal ini John Austin mengatakan, bahwa ada dua jenis
hukum, yaitu “Hukum Allah (moral; improperly so called law)” dan “Hukum
Manusia yang dibedakan menjadi hukum yang dibuat oleh negara atau
lembaga swasta (properly so called law atau hukum yang memiliki nilai yuridis)
dan hukum olah raga atau karya ilmiah (improperly so called law atau hukum
yang tidak memiliki nilai yuridis).
Tanggapan: memang hanya negara atau institusi swasta yang
disetujui negara yang dapat membuat hukum. Tapi, perlu diperhatikan,
bahwa tidak dengan sendirinya setiap hukum yang dibuat oleh negara atau
institusi swasta harus dipatuhi. Sebab persoalan hukum sebenarnya bukan
hanya persoalan yuridis (keabsahan formal), tapi juga persoalan

1Uraian pada Bab III ini saya dasarkan pada Theo Huijbers, 1995, Filsafat Hukum, Yogyakarta,
Penerbit Kanisius, hal. 39-50.

13
Bab 3/filsafat hukum/donny danardono

legalitas/legitimasi (keabsahan materiel). Hal ini akan dibahas lebih jauh di Bab
11 dan 12.

Legalitas Hukum:
Seperti yang diuraikan di atas, sebuah peraturan baru merupakan
aturan hidup bermasyarakat yang memiliki nilai yuridis bila dibentuk oleh
negara atau institusi swasta yang disetujui oleh negara. Namun demikian,
nilai yuridis suatu hukum tidak akan membuat semua orang bersedia begitu
saja mematuhi hukum tersebut. Misalnya, seorang warga negara Amerika
Serikat di Amerika Serikat tentu tidak akan begitu saja bersedia mematuhi
suatu peraturan yang sedang berlaku di Indonesia. Pada titik inilah muncul
persoalan legalitas hukum yang merupakan batas yurisdiksi berlakunya suatu
hukum. Legalitas hukum dapat diartikan sebagai tidak bertentangannya suatu
hukum dengan peraturan-peraturan yang lebih tinggi (stuffenbau theorie).
Sedangkan nilai yuridis suatu hukum merupakan syarat formal pembentukan
hukum.

Hukum sebagai Norma


Kita menganggap “hukum sebagai norma” bila kita menginsyafi
makna hukum dalam kehidupan bersama, yakni sebagai pedoman untuk
mencegah konflik yang tidak perlu. Dengan demikian anggapan tentang
“hukum sebagai norma” menunjukkan, bahwa kepatuhan pada hukum
terjadi bukan karena takut pada kekuasaan (yang terwujud dalam bentuk
sanksi), tapi pada kesadaran, bahwa hukum itu diperlukan dalam hidup
bermasyarakat. Sifat “normatif” dari hukum inilah yang membuat suatu
hukum mampu menuntut kewajiban untuk dipatuhi oleh para subyek hukum.

Keadilan Hukum
“Keadilan dalam hukum” merupakan salah satu alasan mengapa
subyek hukum bersedia mematuhi hukum. Sebab apabila subyek hukum
menganggap isi suatu hukum memang dapat secara adil (wajar) melindungi

14
Bab 3/filsafat hukum/donny danardono

hak-haknya, maka dengan sukarela dia akan mematuhi hukum tersebut. Jadi
sungguh tidak masuk akal menuntut kepatuhan hukum karena sanksi yang
ada pada hukum tersebut. Hal ini membutikan, bahwa hukum hanya
merupakan alat dari kekuasaan atau dari elite yang berkuasa. Seharusnya
kepatuhan hukum lebih di dasarkan pada pengetahuan para subyek hukum,
bahwa isi hukum tersebut memang adil atau dapat melindungi hak-hak
mereka, bukan karena takut pada sanksi. Jadi “aspek keadilan dalam hukum”
- dan bukannya sanksi - yang memberi makna hukum sebagai salah satu
norma hidup bersama dalam suatu masyarakat.
Persoalannya adalah bagaimana membentuk hukum yang adil (yang
dapat diterima oleh subyek hukum)? Teori Positivisme Hukum menganggap,
bahwa hukum baru betul-betul adil dan punya kepastian bila dibentuk oleh
lembaga yang berwenang, lewat prosedur yang berlaku dan tertulis, serta bila
hukum tersebut memiliki logika internalnya sendiri (dan dengan demikian
pembentukannya tidak perlu dikaitkan dengan hal-hal non-hukum, seperti
moral, politik atau kebudayaan). Pendapat ini ditolak oleh Teori Hukum
Kodrat Menurut Teori Hukum Kodrat hukum baru adil bila dikaitkan dengan
moralitas. Hukum tidak boleh bertentangan dengan kodrat manusia.
Persoalannya adalah bagaimana menentukan kodrat manusia, sehingga ada
kepastian, bahwa ‘sesuatu’ ini adalah kodrat manusia?. Jűrgen Habermas
(1929) muncul dengan pendapat yang mengatasi perdebatan teori positivisme
hukum dengan teori hukum kodrat. Menurut Habermas, memang hukum
harus dibuat oleh negara, tapi para subyek hukum juga harus terlibat dalam
pembuatannya, yaitu melalui diskusi di ruang publik. Hal ini akan
dibicarakan pada Bab 11 dan 12.

15

Anda mungkin juga menyukai