Bab 5
Hukum dan Keadilan
Hukum baru disebut hukum bila isinya adil. Keadilan berarti tuntutan
agar setiap orang (tanpa memandang latar belakang sosial-politiknya) yang
memenuhi kriteria suatu hukum harus diperlakukan secara sama dihadapan
hukum tersebut. Dihadapan hukum, semua orang menjadi sama derajatnya.
Misalnya, peraturan lalu-lintas berlaku bagi siapa saja yang melintas di suatu
jalan. Seorang yang ditangkap karena melanggar suatu peraturan lalu-lintas
tidak dapat membela diri dengan mengatakan dirinya adalah anak Kapolda,
dan lain sebagainya (di dasarkan pada: Franz Magnis-Suseno, 1994, Etika
Politik, Jakarta, Gramedia, hal. 81-82). Jadi hanya hukum yang adil yang dapat
menghantar masyarakat menuju kesejahteraan.
Keadilan adalah kewajaran perlakuan (diukur menurut kepatutan
rasional) yang diterima oleh para subyek hukum. Ini yang disebut oleh John
Rawls sebagai “Justice as Fairness”.1 Misalnya, merupakan peraturan yang
tidak adil bila melarang orang dari ras dan agama tertentu untuk berbelanja
di toko tertentu.
“Keadilan sebagai kewajaran” (justice as fairness) dengan demikian
tergantung pada budaya di mana para subyek hukum hidup. Namun,
kebudayaan bukan sesuatu yang tertutup dan selesai, sehingga tetap
mungkin mengadakan komunikasi antar budaya. Dengan kata lain, tetap
dapat dilakukan komunikasi antar subyek hukum dari berbagai latar-
belakang budaya untuk merumuskan keadilan.
Keinginan para individu untuk hidup bersama menuntut mereka
mengadakan pergaulan yang rasional dan moral. Inilah yang kemudian
mendorong mereka membuat norma-norma pengatur kehidupan bersama
tersebut. Melalui norma-norma hidup bersama ini, maka kehidupan bersama
tidak di dasarkan pada kekuatan atau kuasa. Atau dengan kata lain, suatu
norma yang baik akan merupakan norma yang mampu memanusiawikan
1 John Rawls, 1983, Justice as Fairness, Oxford University Press, hal. 11-17.
20
Bab 5Filsafat Hukum/donny danardono
penggunaan kuasa dan kekuatan agar tidak menindas yang lain. Maka,
kepatuhan subyek hukum dikarenakan norma hukum itu rasional dan moral,
sehingga bisa melindungi hak-haknya. Mereka patuh bukan karena takut
pada sanksi.
1. Aturan hidup bersama terdiri dari tiga jenis2:
2Uraian ini di dasarkan pada: Theo Huijbers, 1995, Filsafat Hukum, Yogyakarta, Kanisius, hal.,
65-68; Franz Magnis-Suseno, 1993, Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral,
Yogyakarta, Kanisius, hal., 19; Franz Magnis-Suseno, 1994, Etika Politik, Jakarta, Gramedia,
hal. 68-69 dan 79-84.
21
Bab 5Filsafat Hukum/donny danardono
suara hati, jadi demi kesadaran moral, kita harus melanggar hukum.
Kalaupun kita kemudian dihukum, hal itu tidak berarti bahwa kita ini orang
yang buruk”.3 Memang seringkali hukum tidak bisa dipakai mengukur
baik-buruknya seseorang sebagai manusia, sebab fungsi hukum
sekedar menjamin ketertiban umum.
4. Rule of Law: secara harafiah berarti pengaturan oleh norma hukum. Dengan
demikian dianggap, bahwa di antara ketiga norma hidup bersama yang
paling harus dipatuhi adalah norma hukum. Dengan kata lain yang patut
disebut sebagai law hanyalah undang-undang (lex atau wet), jadi yang
boleh membuat law hanyalah negara. Sebab, dianggap, hanya hukum
yang bisa menciptakan ketertiban umum. Jadi suatu norma hukum harus
tetap ditaati, walaupun isinya tidak adil. Rule of Law ini berasal dari tradisi
hukum Anglo Saxon.
Tradisi rule of law muncul karena menganggap adanya jarak yang lebar
antara norma yang abstrak dengan kasus-kasus yang konkrit. Karena
itu untuk kepastian hukum, yang harus diberlakukan adalah norma
3Franz Magnis-Suseno, 1993, Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Jakarta,
Gramedia, hal. 19.
22
Bab 5Filsafat Hukum/donny danardono
4 para anggota juri dipilih dari rakyat jelata, bahkan seringkali mereka tidak memahami
hukum. Tujuannya agar masing-masing anggota juri dapat memberikan penilaian yang wajar
(fair) terhadap perkara yang sedang diperiksa.
23
Bab 5Filsafat Hukum/donny danardono
24