Anda di halaman 1dari 11

ILMU NEGARA

MODUL 12
KEGIATAN BELAJAR 12

2020
KEGIATAN BELAJAR 12

TEORI HUBUNGAN NEGARA DENGAN HUKUM

A. Deskripsi Singkat

Pada kegiatan belajar 12 ini, peserta kuliah akan mempelajari


mengenai Teori Hubungan Negara dengan Hukum. Di kegiatan
belajar 12 ini, akan dijelaskan tentang ajaran kedaulatan negara,
ajaran kedaulatan hukum, ajaran hukum murni, dan postulat
keseimbangan.

B. Relevansi

Materi dalam kegiatan belajar ini berkaitan Teori Hubungan


Negara dengan Hukum. Diharapkan bagi peserta mata kuliah
dapat menghubungkan negara dengan hukum melalui ajaran
kedaulatan.

C. Capaian Pembelajaran
1. Uraian
Teori hubungan negara dengan hukum:
a. Ajaran Kedaulatan Negara
Menurut John Austin, yang melihat tiap peraturan hukum
sebagai suatu “comand of lawgiver”, maka orang harus
memisahkan antara “positive law” dan “ethics” (ideal
law). Positive law adalah hukum yang berlaku, yaitu
kaidah-kaidah yang bersanksi dan dibuat serta
dipertahankan oleh suatu “sovereign”, yaitu “command of
the lawgiver” sebagai “lastgiver”. (Samidjo,1986:308).
Selanjutnya dipaparkan bahwa pandangan Austin yang
luas, hukum harus dianggap sebagai perintah dari
penguasa. Hukum positif adalah suatu peraturan berbuat
yang umum, yang diberikan oleh golongan yang
kedudukan politisnya lebih tinggi (political superior)
kepada golongan yang kedudukan politisnya lebih rendah
(political inferior).
Oleh karena itu, pengertian “perintah” tersebut
memerlukan adanya person tertentu untuk mengeluarkan
perintah tersebut, dan juga terkandung suatu sanksi di
dalamnya apabila perintah tersebut tidak ditaati.
Selain itu, Jellinek mengemukakan pendapatnya bahwa
negara mempunyai kekuasaan memerintah. Oleh karena
itu, memerintah berarti mempunyai kecakapan untuk
melaksanakan kemauannya kepada kemauan yang lain
untuk dijalankan tanpa syarat. (Samidjo,1986:308).
Menurut Jellinek, hukum itu adalah penjelmaan dari
kehendak atau kemauan negara. Maka, negaralah yang
menciptakan hukum, dan negara adalah satu-satunya
sumber hukum, yang memiliki kekuasaan tertinggi atau
kedaulatan. (Max Boli Sabon, 1994:117).
b. Ajaran Kedaulatan Hukum
Ajaran ini menganggap bahwa hukum lebih fundamental
daripada negara. Atau dengan kata lain bahwa adanya
hukum lebih dahulu daripada negara. Oleh karena itu,
hukum dapat mengikat negara.
Teori ini membentuk bangunan negara hukum, yaitu
suatu negara yang bekerja berlandaskan pada hukum,
undang-undang dasar atau konstitusi, dan berdasarkan
tata tertib hukum. (Samidjo, 1986: 308).
Krabe menyatakan bahwa dalam kenyataannya negara
tunduk kepada hukum. Pandangan Krabe tersebut
ditanggapi oleh Jellinek dengan mengemukakan teori
Selbstbindung, yaitu suatu ajaran yang menyatakan
bahwa negara dengan sukarela mengikatkan diri atau
mengharuskan dirinya tunduk kepada hukum sebagai
penjelmaan dari kehendaknya sendiri. Sedangkan faktor-
faktor penyebab negara menjadi sukarela untuk tunduk
kepada hukum dijawab oleh Jellinek bahwa di dalam
lapangan hukum, disamping faktor kemasyarakatan juga
ada faktor ideal, yaitu rasa hukum, kesadaran hukum, dan
rasa keadilan. Hal inilah yang memperkuat pandangan
Krabe bahwa alasan-alasan sebagai faktor yang
memengaruhi selbstbindung tersebut kedudukannya
berada di atas negara, yaitu kesadaran hukum. (Max Boli
Sabon, 1994:118)
Menurut teori kedaulatan hukum ( Rechts-souvereniteit),
yang memiliki kekuasaan tertinggi adalah hukum, karena
baik raja/penguasa, rakyat, maupun negara itu sendiri
semuanya tunduk kepada hukum. Menurut Krabe, hukum
itu sendiri bersumber dari rasa hukum yang terdapat
dalam masyrakat itu sendir. Rasa hukum ini, yang disebut
insting hukum sebagai tingkatan terendah, sebaliknya
disebut sebagai kesadaran hukum dalam tingkatan yang
lebih tinggi. (Max Boli Sabon, 1994:119)
Krabe mengatakan bahwa rasa hukum itu terdapat pada
diri setiap individu, di samping rasa lainnya seperti rasa
kesusilaan, rasa keindahan, dan rasa keagungan. Hukum
merupakan penjelmaan dari salah satu bagian perasaan
manusia, yang dalam perhubungannya dengan manusia-
manusia lain penjelmaan tersebut dalam bentuk norma.
Ada bermacam-macam norma, dan norma-norma itu
terlepas dari kehendak individu yang bersangkutan,
namun berlaku bagi individu yang bersangkutan.
Demikian pula hukum sendiri adalah terlepas dari negara,
akan tetapi berlaku bagi negara. (Max Boli Sabon,
1994:119).
c. Ajaran Hukum Murni
Hans Kelsen menggambarkan bentuk teori ketiga, yaitu
bahwa negara merupakan suatu ketertiban kaidah.
Ketertiban negara (state order) adalah personifikasi dari
ketertiban hukum (legal order). Karena itu, maka
“negara” dan hukum adalah dua pengertian yang sama
(identik).
Apabila Austin tidak merumuskan dengan sadar suatu
filsafat sampai ke detail-detailnya, maka Hans Kelsen
dengan jelas mendasarkan pada doktrin van Kan (van
Kan mengatakan bahwa hukum bertujuan menjaga
kepentingan tiap-tiap manusia supaya kepentingan itu
tidak dapat diganggu. Artinya, hukum mengandung suatu
pertimbangan kepentingan mana yang lebih besar
daripada yang lain _belangenafweging, pertimbangan
kepentingan anggota masyarakat yang satu terhadap yang
lain, kepentingan anggota masyarakat terhadap
kepentingan masyarakat_).
Dengan kata lain, hukumbertugas menjamin adanya
kepastian hukum dalam pergaulan manusia.
(Samidjo,1986:312).
Kalau kebanyakan ahli-ahli filsafat menekankan bahwa
jurisprudence, harus mempelajari hubungan antara hukum
dan keadilan, justru Kelsen menginginkan untuk
membebaskan “hukum” dari hal-hal yang bersifat
metafisika (filsafat) yang selama ini menyelubungi
hukum dengan spekulasi-spekulasi keadilan atau dengan
doktrin “ius naturale”.
Hans Kelsen ingin menciptakan suatu ilmu pengetahuan
hukum yang murni, dengan menghilangkan semua unsur-
unsur yang tidak ada hubungannya, yaitu unsur-unsur
nonyuridis (etis dan sosiologis), dan memisahkan
jurispredence dari ilmu-ilmu pengetahuan sosial, seperti
yang telah dilakukan oleh kaum analis dengan tegas.
Kelsen menolak untuk memberi defenisi “hukum”
sebagai suatu perintah. Karena hal tersebut menggunakan
pertimbangan-pertimbangan subyektif dan politis,
sedangkan Kelsen menghendaki ilmu pengetahuan
hukum benar-benar objektif. Oleh karena itu, Kelsen
tidak mengikuti jejak Austin dalam memberi defenisi
hukum sebagai suatu perintah penguasa.
Menurut Kelsen, hukum dan negara itu sebenarnya adalah
hal yang sama, hanya ditinjau dari aspek yang berbeda.
Suatu tertib hukum menjadi suatu negara, apabila tertib
hukum itu telah mengdakan badan-badan (organ-organ,
lembaga-lembaga) guna menciptakan, mengundangkan,
dan melaksanakan hukum. (Samidjo, 1986:313)
Dengan kata lain, dinamakan tertib hukum bila ditinjau
dari aspek peraturan-peraturan yang abstrak. Dinamakan
negara bila kita menyelidiki badan-badan yang
melaksanakan hukum. Tetapi itu hanyalah peninjauan hal
yang sama, dari dua sudut.
d. Postulat Keseimbangan
Menurut Krabe, ada bermacam-macam norma, dan
norma-norma itu terlepas dari kehendak individu yang
bersangkutan, namun berlaku bagi individu yang
bersangkutan. Demikian pula hukum sendiri adalah
terlepas dari negara, akan tetapi berlaku bagi negara.
Pandangan Krabe tersebut kemudian disanggah oleh
Struycken, dalam bukunya yang berjudul “Recht en
Gezag critische beschouwing van Krabbe’s Moderne
Staatsidee”. Struycken mengatakan bahwa rasa hukum
individu tidak dapat dijadikan sebagai sumber hukum
karena ia selalu berubah pada setiap waktu. Rasa hukum
juga berbeda antara golongan yang satu dengan golongan
yang lain. Demikian pula dengan rasa hukum, yang saling
berbeda antara individu yang satu dengan individu yang
lain. Jadi, jika hukum didasarkan kepada rasa hukum
individu, maka bukan hukum yang bersifat umum yang
dicapai, melainkan anarki. (Max Boli Sabon, 1994:119).
Namun, pandangan dari Struycken ini dibantah oleh
Kranenburg, yang mengatakan bahwa di dalam
masyarakat memang ada ketentuan yang bersifat tetap
dalam reaksi kesadaran hukum manusia. Misalnya, setiap
anggota masyarakat merasa berkesamaan hak untuk
menerima keuntungan atau kerugian, atau perlakuan sama
terhadap keadilan dan ketidak adilan, kecuali ada syarat
khusus yang menetukan lain. Hal ini yang disebut hukum
keseimbangan, atau postulat keseimbangan. Jadi rasa
hukum setiap individu adalah tidak sama dan selalu
berubah, akan tetapi di antara rasa hukum itu ada unsur-
unsur yang sama dalam reaksi kesadaran hukum, yang
bersifat tetap. (Max Boli Sabon, 1994:119-120).

2. Latihan

Dalam latihan ini, peserta kuliah diharapkan menjawab soal


berikut ini. Setelah menjawab, peserta kuliah diharapkan dapat
menelusuri jawabannya pada bagian uraian.

 Soal pertama: uraikan mengenai ajaran hukum murni.


 Soal kedua: kemukakan mengenai postulat
keseimbangan.

Hasil pekerjaan dapat didiskusikan dengan peserta


lainnya. Tentu saja,kolaborasi membahas jawaban dilakukan
setelah peserta kuliah menyelesaikan kedua soal ini secara
mandiri.

3. Pustaka
a. Abu Daud Busroh, 2001, Ilmu Negara, PT Bumi Aksara,
Jakarta.
b. Azhary, 1995, Negara Hukum Indonesia (Analisis
Yuridis Normatif tentang Unsur-unsurnya), UI PRESS,
Jakarta.
c. C.F. Strong, 2004, Konstitusi-konstitusi Politik Modern;
Kajian tentang Sejarah dan Bentuk-bentuk Konstitusi
Dunia (terj.), Nuansa dan Nusamedia, Bandung.
d. Dahlan Thaib, dkk., 2004, Teori dan Hukum Konstitusi,
Rajawali Pers, Jakarta.
e. F. Isjwara, 1992, Pengantar Ilmu Politik, Binacipta,
Bandung.
f. Hans Kelsen, 2006, Teori Umum tentang Hukum dan
Negara, Nusamedia dan Nuansa, Bandung.\
g. Inu Kencana Syafiie, 1996, Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara, Pustaka Jaya, Jakarta.
h. Jimly Asshiddiqie, 1996, Pergumulan Peran Pemerintah
dan Parlemen dalam Sejarah, UI PRESS, Jakarta.
i. Jimly Asshiddiqie, 2005, Konstitusi dan
Konstitusionalisme Indonesia, Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta.
j. Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara (Jilid II), Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta.
k. Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara (Jilid I), Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta.
l. Jujun S. Suriasumantri, 1981, Ilmu dalam Perspektif
(Sebuah Kumpulan Karangan tentang hakekat Ilmu), PT
Gramedia, Jakarta.
m. M. Solly Lubis, 1982, Asas-asas Hukum Tata Negara,
Alumni, Bandung.
n. M. Solly Lubis, 1990, Ilmu Negara, Mandar Maju,
Bandung.
o. Max Boli Sabon, 1994, Ilmu Negara (Buku Panduan
Mahasiswa), PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
p. Miriam Budiardjo, 2002, Dasar-dasar Ilmu Politik, PT
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
q. Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1983, Pusat Studi
Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas
Indonesia dan CV Sinar Bakti, Jakarta.
r. Ni’matul Huda, 2005, Negara Hukum, Demokrasi, dan
Judicial Review, UII Press, Yogyakarta.
s. Padmo Wahjono, 1986, Negara Republik Indonesia,
Rajawali Pers, Jakarta.
t. Samidjo, 1986, Ilmu Negara, Armico, Bandung.
u. Sjachran Basah, 1997, Ilmu Negara (Pengantar, Metode,
dan Sejarah Perkembangan), Citra Aditya Bakti,
Bandung.
v. Soehino, 1986, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta.
w. Romi Librayanto,2009,Ilmu Negara Suatu
Pengantar,Refleksi,Makassar

D. Tugas dan Lembar Kerja


Pada tugas ini,peserta diharapkan membuat uraian mengenai
Teori Hubungan Negara dengan Hukum. Buatlah analisis,terdiri
dari minimal 3 paragraf,dan setiap paragraf, minimal 10
kalimat.
E. Tes Formatif

F. Umpan Balik dan Tindak Lanjut

Bila Anda merasa telah menjawab tes formatif dengan


baik,bandingkanlah jawaban anda tersebut dengan kunci
jawaban yang disediakan. Jika hasil perhitungan menunjukkan
anda telah mencapai tingkat penguasaan sama atau lebih besar
dari 80%. Anda dipersilakan untuk meneruskan ke kegiatan
belajar berikutnya.
Untuk mengetahui persentase penguasaan materi pada kegiatan
belajar 12 ini, anda cukup menghitung menggunakan rumus
berikut:
Jumlah jawaban benar × 100 = %
Seluruh soal

Anda mungkin juga menyukai