D
I
S
U
S
U
N
Oleh
ABDUL KAHAR MARANJAYA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
September 2023
RENCANA PEMBELAJARAN SEMESTER
MATA KULIAH : HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
DAFTAR ISI
Suatu negara disebut sebagai “negara hukum yang demokratis”, karena di dalamnya
mengakomodasikan prinsip-prinsip negara hukum dan prinsip-prinsip demokrasi, yaitu:
1) Supremasi Hukum (Supremacy of Law) Adanya pengakuan normatif dan empirik terhadap
prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai
pedoman tertinggi. Pengakuan normatif mengenai supremasi hukum terwujud dalam
pembentukan norma hukum secara hirarkis yang berpuncak pada supremasi konstitusi.
Sedangkan secara empiris terwujud dalam perilaku pemerintahan dan masyarakat yang
mendasarkan diri pada aturan hukum.
2) Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law) Setiap orang adalah sama kedudukannya
dalam hukum dan pemerintahan. Segala sikap dan tindakan diskriminatif adalah sikap dan
tindakan terlarang, kecuali tindakan-tindakan yang bersifat khusus dan sementara untuk
mendorong mempercepat perkembangan kelompok tertentu (affirmative action).
3) Asas Legalitas (Due Process of Law) Segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas
peraturan perundangundangan yang sah dan tertulis.Peraturan perundang-undangan tersebut
harus ada dan berlaku terlebih dulu atau mendahului perbuatan yang dilakukan.Dengan
demikian, setiap perbuatan administratif harus didasarkan atas aturan atau rules and
procedures.Agar hal ini tidak menjadikan birokrasi terlalu kaku, maka diakui pula prinsip
friisermessen yang memungkinkan para pejabat administrasi negara mengembangkan dan
menetapkan sendiri beleidregels atau policy-rules yang berlaku internal dalam rangka
menjalankan tugas yang dibebankan oleh peraturan yang sah.
4) Pembatasan Kekuasaan. Adanya pembatasan kekuasaan negara dan organ-organ negara
dengan cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahan
kekuasaan secara horisontal.Pembatasan kekuasaan ini adalah untuk menghindari
penyalahgunaan kekuasaan dan mengembangkan mekanisme checks and balances antara
cabang-cabang kekuasaan.
5) Organ-Organ Pemerintahan Yang Independen. Sebagai upaya pembatasan kekuasaan, saat
ini berkembang pula adanya pengaturan kelembagaan pemerintahan yang bersifat
independent, seperti bank sentral, organisasi tentara, kepolisian, dan kejaksaan. Selain itu,
ada pula lembaga-lembaga baru seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi
Pemilihan Umum, Ombudsman, Komisi Penyiaran Indonesia, dan lain-lain. Independensi
lembaga-lembaga tersebut dianggap penting untuk menjamin demokrasi agar tidak dapat
disalahgunakan oleh pemerintah.
6) Peradilan Bebas dan Tidak Memihak. Peradilan bebas dan tidak memihak (independent and
impartial judiciary) mutlak keberadaannya dalam negara hukum.Hakim tidak boleh
memihak kecuali kepada kebenaran dan keadilan, serta tidak boleh dipengaruhi oleh
siapapun baik oleh kepentingan jabatan (politik) maupun kepentingan uang (ekonomi).Untuk
menjamin kebenaran dan keadilan, tidak diperkenankan adanya intervensi terhadap putusan
pengadilan.
7) Peradilan Tata Usaha Negara. Meskipun peradilan tata usaha negara adalah bagian dari
peradilan secara luas yang harus bebas dan tidak memihak, namun keberadaannya perlu
disebutkan secara khusus.Dalam setiap negara hukum, harus terbuka kesempatan bagi warga
negara untuk menggugat keputusan pejabat administrasi yang menjadi kompetensi peradilan
tata usaha negara.Keberadaan peradilan ini menjamin hakhak warga negara yang dilanggar
oleh keputusan-keputusan pejabat administrasi negara sebagai pihak yang
berkuasa.Keberadaan peradilan tata usaha negara harus diikuti dengan jaminan bahwa
keputusan pengadilan tersebut ditaati oleh pejabat administrasi negara.
8) Peradilan Tata Negara (Constitutional Court). Disamping peradilan tata usaha negara, negara
hukum modern juga lazim mengadopsi gagasan pembentukan mahkamah konstitusi sebagai
upaya memperkuat sistem check and balances antara cabang-cabang kekuasaan untuk
menjamin demokrasi. Misalnya, mahkamah ini diberi fungsi melakukan pengujian atas
konstitusionalitas undang-undang dan memutus sengketa kewenangan antar lembaga-
lembaga negara yang mencerminkan cabang-cabang kekuasaan negara yang dipisah-
pisahkan.
9) Perlindungan Hak Asasi Manusia. Adanya perlindungan konstitusional terhadap HAM dengan
jaminan hukum bagi tuntutan penegakannya melalui proses yang adil. Terbentuknya negara
dan penyelenggaraan kekuasaan negara tidak boleh mengurangi arti dan makna kebebasan
dasar dan HAM.Maka jika di suatu negara hak asasi manusia terabaikan atau pelanggaran
HAM tidak dapat diatasi secara adil, negara ini tidak dapat disebut sebagai negara hukum
dalam arti yang sesungguhnya.
10) Bersifat Demokratis (Democratische Rechtsstaat). Dianut dan dipraktekkannya prinsip
demokrasi atau kedaulatan rakyat yang menjamin peran serta masyarakat dalam proses
pengambilan keputusan kenegaraan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang
diterapkan dan ditegakkan mencerminkan perasaan keadilan masyarakat. Hukum dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara
sepihak oleh dan/atau hanya untuk kepentingan penguasa.Hal ini bertentangan dengan
prinsip demokrasi.Hukum tidak dimaksudkan untuk hanya menjamin kepentingan beberapa
orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan keadilan bagi semua orang.Dengan
demikian negara hukum yang dikembangkan bukan absolute rechtsstaat, melainkan
democratische rechtsstaat.
11) Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (Welfare Rechtsstaat). Hukum
adalah sarana untuk mencapai tujuan yang diidealkan bersama.Cita-cita hukum itu sendiri,
baik yang dilembagakan melalui gagasan negara hukum maupun gagasan negara demokrasi
dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan umum.Dalam konteks Indonesia, gagasan
negara hukum yang demokratis adalah untuk mencapai tujuan nasional sebagaimana tertuang
dalam pembukaan UUD 1945.
12) Transparansi dan Kontrol Sosial. Adanya transparansi dan kontrol sosial terhadap setiap
proses pembuatan dan penegakan hukum sehingga dapat memperbaiki kelemahan
mekanisme kelembagaan demi menjamin kebenaran dan keadilan. Partisipasi secara
langsung sangat dibutuhkan karena mekanisme perwakilan di parlemen tidak selalu dapat
diandalkan sebagai satu-satunya saluran aspirasi rakyat.Ini adalah bentuk representation in
ideas yang tidak selalu inherent dalam representation in presence.
Di Indonesia sesuai dengan rapat staff Pengajar Fakultas Hukum Negeri seluruh Indonesia
pada tanggal 26-28 Maret 1973 di Cibulan, memutuskan bahwa sebaiknya istilah yang
dipakai adalah Hukum Administrasi Negara, dengan alasannya:
1. Hukum Administrasi Negara merupakan istilah yang luas pengertiannya, sehingga membuka
kemungkinan kearah pengembangan cabang ilmu hukum ini yang lebih sesuai dengan
perkembangan pembangunan dan kemajuan Negara Kesatuan Republik Indonesia di masa yang
akan datang.
2. Hukum Adminstrasi Negara Hukum Administrasi Negara:
a. Sarana bagi penguasa untuk mengatur dan mengendalikan masyarakat
b. Mengatur cara-cara partisipasi warga negara dalam proses pengaturan dan pengendalian
tersebut
c. Sebagai perlindungan hukum 4. Menetapkan norma-norma fundamental bagi penguasa untuk
pemerintahan yang baik ( Philipus M. Hadjon dkk, 1994 : 28 )
Konsepsi Pemerintah.
a. Ada dua konsepsi pemerintah yaiutu dalam arti Luas dan arti Sempit. Pemerintah dalam arti
luas adalah semua lembaga negara yang terdiri dari lembaga-lembaga legislatif, eksekutif dan
yudikatif. Dalam arti sempit pemerintahan adalah segala kegiatan, fungsi, tugas dan kewajiban
yang dijalankan oleh lembaga eksekutif untuk mencapai tujuan negara. Pemerintahan dalam
arti luas adalah segala kegiatan yang terorganisir yang bersumber pada kedaulatan dan
kemerdekaan, berlandaskan pada dasar negara, rakyat atau penduduk dan wilayah negara itu
demi tercapainya tujuan negara. Di samping itu dari segi struktural fungsional pemerintahan
dapat didefinisikan pula sebagai suatu sistem struktur dan organisasi dari berbagai macam
fungsi yang dilaksanakan atas dasar-dasar tertentu untuk mewujudkan tujuan Negara.
b. Untuk mencegah atau menyelesaikan konplik antara pemerintah dan masyarakat, maka
dibentuk landdasan hokum yaitu Hukum Adminstrasi Negara yang mengatur hak dan
kewajiban masing-masing.
c. Hukum Administrasi Negara mengatur hubungan antara pemerintah dan warga negara dan
juga administrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dalam negara hukum, seperti
Indonesia maka kehadiran Hukum Administrasi Negara menjadi penting karena segala
tindakan yang diambil oleh pemerintah harus berdasarkan pada hukum. HAN bagi badan atau
pejabat HAN menjadi dasar, landasan atau pedoman Badan atau pejabat dalam menjalankan
tugas, fungsi dan kewenangannya. Bagi masyarakat HAN berfungsi untuk melindungi
masyarakat dari tindakan sewenang-wenang badan attau pejabat adminstrasi negara.
BAB II.
ORGANISASI ADMINISTRASI NEGARA,
HAK DAN KEWAJIBAN PEJABAT PEMERINTAHAN.
Lebih jauh, mari kita gali kembali apakah yang menjadi perbedaan antara Negara dan
Pemerintah.
Pertama, Negara merupakan sebuah asosiasi inklusif yang mencakup seluruh lembaga negara di
ranah publik serta seluruh anggota komunitas. Sedangkan, Pemerintah merupakan
bagian dari Negara dan merupakan sarana Negara dalam menjalankan tugas. Dengan
kata lain, Pemerintah bisa dikatakan sebagai “otak” dari sebuah Negara dalam
menjalankan tugas dan fungsinya.
Kedua, Negara merupakan sebuah entitas yang berkelanjutan atau bahkan permanen. Sedangkan
Pemerintah merupakan sebuah entitas yang bersifat temporer atau sementara.
Pemerintah akan terus berganti dalam kurun waktu tertentu guna mengisi sistem yang
ada dalam negara. Sistem tersebut juga dapat direformasi apabila dibutuhkan.
Ketiga, Negara merupakan sebuah representasi dari public interest atau kepentingan publik yang
luas. Negara juga merupakan sebuah entitas yang netral dan tidak memihak. Sementara,
Pemerintah merepresentasikan kelompok yang berada dalam kekuasaan pada waktu
tertentu.
Ada tiga dasar pertimbangan hukum dikeluarkan UU Nomor 30 tahun 2014 tentang
Adminstrasi Pemerintahan, yaitu:
1. bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan, badan
dan/atau pejabat pemerintahan dalam menggunakan wewenang harus mengacu pada
asas-asas umum pemerintahan yang baik dan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
2. bahwa untuk menyelesaikan permasalahan dalam penyelenggaraan pemerintahan,
pengaturan mengenai administrasi pemerintahan diharapkan dapat menjadi solusi dalam
memberikan pelindungan hukum, baik bagi warga masyarakat maupun pejabat
pemerintahan;
3. bahwa untuk mewujudkan pemerintahan yang baik, khususnya bagi pejabat
pemerintahan, undang-undang tentang administrasi pemerintahan menjadi landasan
hukum yang dibutuhkan guna mendasari keputusan dan/atau tindakan pejabat
pemerintahan untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat dalam penyelenggaraan
pemerintahan;
Sedangkan yang menjadi Ruang Lingkup UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan meliputi semua aktivitas:
a. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang menyelenggarakan Fungsi Pemerintahan
dalam lingkup lembaga eksekutif;
b. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang menyelenggarakan Fungsi Pemerintahan dalam
lingkup lembaga yudikatif;
c. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang menyelenggarakan Fungsi Pemerintahan dalam
lingkup lembaga legislatif; dan
d. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan lainnya yang menyelenggarakan Fungsi Pemerintahan
yang disebutkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan/atau
undangundang.
BAB III.
PERIHAL SUMBER HUKUM ADMINSTRASI NEGARA.
Secara umum sumber hukum adalah segala sesuatu yang telah menimbulkan aturan-aturan yang
mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, artinya jika dilanggar akan mengakibatkan sanksi
tegas dan nyata.
Sumber hukum dapat diartikan sebagai bahan-bahan yang digunakan sebagai dasar oleh
pengadilan dalam memutus perkara. Kata sumber hukum sering digunakan dalam beberapa arti,
yaitu:
1. Sebagai asas hukum, sebagai sesuatu yang merupakan permulaan hukum, misalnya kehendak
Tuhan, akal manusia, jiwa bangsa
2. Menunjukkan hukum terdahulu yang memberi bahan-bahan kepada hukum yang sekarang
berlaku, misalnya hukum Perancis, hukum Romawi
3. Sebagai sumber berlakunya, yang memberi kekuatan berlakunya secara formal kepada
peraturan hukum (penguasa, masyarakat)
4. Sebagai sumber dari mana kita dapat mengenal hukum, misalnya dokumen, undang-undang,
lontar, batu bertulis
5. Sebagai sumber terjadinya hukum: sumber yang menimbulkan hokum.
Arti Sumber Hukum -Van Apeldoorn menjelaskan istilah sumber hukum dapat diartikan dari segi
Historis/sejarah, sosiologis, filsafat, agama dan arti formal. Berikut penjelasannya:
a. Para ahli sejarah mengaitkan istilah sumber hukum ke dalam dua arti, yaitu:Dalam arti sumber
pengenalan hukum, yakni seluruh tulisan, dokumen dan lainnya, di mana kita dapat belajar
mengenal hukum suatu bangsa pada suatu waktu. Misalnya UU, keputusan hakim, piagam-
piagam yang memuat perbuatan tulisan. Dalam arti sumber-sumber dari mana pembentuk
undang-undang memperoleh bahan dalam membentuk undang-undang, juga dalam arti sistem-
sistem hukum, serta dari mana tumbuhnya hukum positif suatu negara.
b. Sumber Hukum dalam Arti Sosiologis. Menurut para ahli sosiologi, sumber hukum diartikan
sebagai faktor-faktor yang menentukan isi hukum positif, misalnya keadaan ekonomi,
pandangan agama hingga psikologis.
c. Sumber Hukum dalam Arti Filsafat. Dalam filsafat hukum, istilah sumber hukum dipakai dalam
dua arti:
i). Sebagai sumber untuk isi hokum;
ii). Sebagai sumber untuk kekuatan mengikat dari hokum.
d. Sumber Hukum aspek Agama. Sumber hukum dari aspek agama adalah kitab suci dan
perjalanan hidup nabi serta para sahabat dan pendapat pemimpin agama yang dianutnya.
Sumber hukum dalam Islam digolongkan menjadi tiga, yaitu Al-Qur'an, hadis, dan ijtihad. Al-
Qur'an merupakan sumber pertama hukum Islam yang memuat panduan kehidupan manusia.
Adapun hadis merupakan sumber hukum Islam setelah Al-Qur'an yang berisi perkataan,
perbuatan, dan ketetapan Nabi Muhammad saw. Para ulama menggunakan metode ijtihad untuk
menentukan suatu hukum yang tidak terdapat dalam nash Al-Qur'an maupun hadits.
e. Sumber Hukum dalam Arti Formal. Para ahli hukum praktis juga memiliki pendapat berbeda
soal sumber hukum. Sumber hukum diartikan sebagai peristiwa-peristiwa timbulnya hukum
yang berlaku (yang mengikat hakim dan penduduk).
Jenis Sumber Hukum. Sumber hukum terbagi menjadi dua jenis, yaitu materil dan formal.
1. Sumber hukum materil adalah tempat di mana materi hukum diambil. Ada faktor yang
membantu pembentukan suatu hukum, misalnya hubungan sosial, situasi sosial ekonomi,
tradisi, hasil penelitian ilmiah hingga keadaan geografis.
2. Sumber hukum formal meninjau suatu hukum dari segi pembentukannya. Terdapat
rumusan aturan yang merupakan dasar kekuatan mengikat suatu aturan agar dapat ditaati
masyarakat dan penegak hukum. Adapun sumber hukum formal dapat dibedakan menjadi:
a. Undang-undang;
b. Kebiasaan adat/Konvensi;
c. Traktat atau perjanjian atau konvensi internasional;
d. Yurisprudensi
e. Pendapat ahli hukum terkenal/terkemuka.
Pancasila sebagai cita hukum memiliki fungsi konstitutif dan fungsi regulatif.
a. Fungsi konstitutif bahwa Pancasila dapat menentukan dasar suatu tata hukum yang
memberi arti dan makna bagi hukum itu sendiri, tanpa itu hukum akan kehilangan arti dan
maknanya sebagai hukum.
b. Sedangkan fungsi regulatif bahwa Pancasila dapat menentukan adil atau tidak adilnya suatu
produk hukum yang dibuat (Moh Mahfud MD, 2012: 54).
c. Pendapat lain mengatakan Pancasila mempunyai 4 (empat) fungsi dalam kehidupan
Bangsa Indonesia, yaitu:
1. Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa; merupakan rangkaian nilai-nilai luhur yang
ada dalam kehidupan manusia yang digunakan sebagai pedoman, baik untuk menata
kehidupan pribadi maupun dalam berinteraksi dalam masyarakat dan dengan
lingkungan sekitarnya.
2. Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia; merupakan suatu nilai dan norma
dalam mengatur dan menyelenggarakan pemerintahan dan/atau negara.
3. Pancasila sebagai Ideologi Negara dan Bangsa Indonesia; merupakan pandangan hidup
Bangsa dan Negara Indonesia, sehingga dapat menjadi petunjuk dalam menyelesaikan
setiap permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
4. Pancasila sebagai Ideologi Terbuka; merupakan ideologi yang tidak bersifat kaku dan
tertutup, tetapi bersifat terbuka, aktual, dinamis dan mampu menyesuaikan dengan
perkembangan zaman, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta
perkembangan masyarakat (M. Ali Mansyur, 2006: 138-140).
Nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa Sila Ketuhanan Yang Maha Esa memiliki nilai yang berbasis pada
moral agama. Setiap produk peraturan perundang-undangan yang dibuat harus mencerminkan
Nilai Ketuhanan, yang diwujudkan dalam norma-norma yang menghargai keanekaragaman
agama dan kepercayaan serta memberikan jaminan perlindungan terhadap setiap agama dan
kepercayaan yang ada. Tidak ada peraturan perundang-undangan yang dibuat mendiskriminasi
agama dan kepercayaan tertentu, menimbulkan isu negatif terhadap agama dan kepercayaan
tertentu dan menimbulkan perlakuan sewenang-wenang pada pemeluk agama dan kepercayaan
tertentu. Meyakini dan memeluk agama atau kepercayaan adalah hak asasi setiap orang yang
tidak boleh dilanggar dan dikurangi oleh siapapun, termasuk negara.
2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab memiliki nilai
kemanusiaan, yaitu menghargai dan melindungi Hak Asasi Manusia tanpa diskriminasi. Hak
Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri manusia yang dimiliki sejak lahir bahkan
masih dalam kandungan. Hak ini harus dapat dicerminkan dalam setiap peraturan perundang-
undangan yang dibuat.
3. Persatuan Indonesia Sila Persatuan Indonesia memiliki nilai Persatuan, yaitu mempersatukan
seluruh Bangsa Indonesia, yang berasal dari berbagai daerah yang berbeda dengan kebudayaan
yang beranekaragam. Tidak boleh produk peraturan perundang-undangan yang dihasilkan
justru menimbulkan disintegrasi bangsa. Mahfud MD mengatakan kebijakan dan politik hukum
yang dibangun ke depan harus tetap menjaga integrasi dan keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (Mahfud MD, 2009: 31).
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
Nilai yang terkandung dalam sila ini adalah nilai demokrasi dan kerakyatan. Kerakyatan yang
memiliki makna bahwa setiap peraturan perundang-undangan yang dibuat harus ditujukan
untuk kepentingan rakyat atau masyarakat, bukan untuk kepentingan golongan tertentu atau
penguasa. Nilai demokrasi mengandung arti dalam pembuatan peraturan perundang-undangan
memerlukan peran serta semua pihak, tidak saja pemerintah. Rakyat wajib berpartisipasi dalam
pembuatan peraturan perundang-undangan dan negara atau pemerintah wajib menyediakan
mekanisme agar partisipasi rakyat dapat tersalurkan dengan baik. Hal ini sebagai konsekuensi
bahwa Indonesia sebagai negara demokrasi, dimana dalam pembuatan kebijakan dan peraturan
dalam negara selalu melibatkan rakyat melalui perwakilannya di DPR.
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia Sila ini mengandung nilai keadilan bagi seluruh
rakyat Indonesia. Artinya peraturan perundang-undangan yang dibuat harus memperlihatkan
nilai keadilan dalam setiap norma yang ada. Indonesia bukanlah negara yang menganut faham
liberalism tetapi secara ideologis adanya keseimbangan antara individualisme dan kolektivisme
dengan menekankan kepada kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Karena itu,
hukum yang dibuat haruslah mampu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
BAB IV.
KEDUDUKAN, KEWENANGAN,
DAN TINDAKAN HUKUM PEMERINTAHAN.
Hukum terbagi menadi 2 kelompok yaitu hukum public dan hukum privat. Tujuan dari
diberlakukannya hukum adalah untuk membatasi perilaku masyarakat dan juga mewujudkan
keadilan di dalam masyarakat.
Pengertian Hukum Publik
Hukum publik adalah keseluruhan peraturan yang merupakan dasar negara untuk mengatur pula
bagaimana caranya negara melaksanakan tugasnya, jadi merupakan perlindungan kepentingan
negara.maka dari itu untuk memperhatikan kepentingan umum, maka pelaksanaan peraturan
hukum publik dilakukan oleh penguasa. Ciri-ciri hukum publik antara lain:
– Ruang lingkupnya merupakan kepentingan negara atau masyarakat dengan orang perseorangan
– Penguasa negara berkedudukan lebih tinggi ketimbang orang perseorangan.
– Hukum publik ditegakkan demi tujuan bersama dan kepentingan masyarakat luas.
– Ada banyak hubungan antar negara, masyarakat, individu serta usur politik di dalamnya.
Macam-macam hukum publik
▪ Hukum tata negara
▪ Hukum Adminstrasi Negara/tata usaha negara
▪ Hukum internasional
▪ Hukum pidana.
Ciri khas hukum publik adalah mengatur kepentingan umum. Salah satu contoh hukum publik
adalah Hukum Administrasi Negara dan tindakan hukum publik yang dilakukan oleh pemerintah
masuk dalam ranah Hukum Administrasi Negara, sehingga untuk mengetahui ciri khas tindakan
hukum publik dapat diketahui dari ciri khas Hukum Administrasi Negara.
Ciri atau karakteristik dari tindakan hukum publik yang dilakukan oleh pemerintah adalah:
1. Untuk Kepentingan Umum
2. Dilakukan atas dasar kewenangan
3. Tidak adanya kesetaraan posisi antara yang mengatur dengan yang diatur
4. Sanksinya tegas dan dipertahankan secara sepihak oleh penguasa (dapat dipaksakan)
(Sudarsono, 2008: 7-8).
Sedangkan ciri atau karakter dari tindakan hukum privat dapat dilihat dari ciri hukum privat itu
sendiri, karena tindakan hukum privat tunduk pada hukum privat (hukum perdata). Sehingga ciri
atau karakteristik tindakan hukum privat adalah:
1. Mengatur kepentingan individu
2. Dibuat atas dasar konsensus para pihak
3. Terdapat kesetaraan posisi diantara para pihak
4. Dipertahankan sendiri oleh para pihak
5. Sanksinya tergantung kemauan para pihak (Sudarsono, 2008: 9).
Kewenangan Pemerintah.
a. Kewenangan (authority) merupakan kekuasaan formal yang bersumber dari peraturan
perundang-undangan. Namun dalam Negara Hukum (rechtstaat) seperti Indonesia, tindakan
pemerintah tidak saja berdasarkan pada kewenangan yang bersumber dari peraturan
perundang-undangan tetapi pemerintah juga memiliki kewenangan yang disebut sebagai
kewenangan bebas (freies ermessen), yaitu kewenangan untuk bertindak sesuai keinginan
sendiri yang didasarkan pada asas-asas umum pemerintahan yang baik.
b. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh alasan bahwa setiap tindakan pemerintah harus
berdasarkan pada hukum, tetapi ketika tidak ada peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang tindakan yang akan diambil maka pemerintah tidak boleh menunda atau
tidak memberikan pelayanan yang baik dan cepat kepada masyarakat.
c. Karena itulah, pemerintah diberikan kewenangan bebas (freies ermessen) yang dapat
digunakan manakala belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
tindakan yang akan diambil.
Kewenangan yang dimiliki pemerintah dalam rangka menjalankan Good Governance dapat
melalui 2 (dua) hal, yaitu:
1) Asas Legalitas (berdasar peraturan perundang-undangan) Asas Legalitas dimaknai sebagai
setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan. Artinya
sebelum tindakan itu diambil harus ada peraturan perundang-undangan yang mengatur terlebih
dahulu tentang tindakan yang diambil tersebut. Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan
yang baik (good governance) pemahaman terhadap asas-asas pemerintahan menjadi hal yang
sangat penting.
2) Asas-asas pemerintahan yang baik dapat dilihat dari dua golongan, yaitu ;
a) Golongan I dilihat dari Proses/Prosedurnya, dimana dalam pembuatan keputusan dan
kebijakan harus memperhatikan:
1). Pejabat yang mengeluarkan kebijakan/keputusan tidak boleh mempunyai kepentingan
pribadi baik langsung maupun tidak langsung terhadap kebijakan/keputusan yang
dikeluarkannya,
2). Kebijakan/keputusan yang dibuat tidak boleh merugikan atau mengurangi hak-hak
warganegara. Kebijakan/keputusan tersebut harus tetap membela kepentingan rakyat, dan
3).Antara Konsiderans (pertimbangan/motifasi) dengan diktum/penetapan keputusan tersebut
harus sesuai dan didasarkan pada fakta-fakta yang dapat dipertangungjawabkan.
b. Golongan II dilihat dari kebenaran fakta-fakta, yaitu : 1
1). Asas larangan kesewenang-wenangan Kesewenang-wenangan ini bisa timbul apabila
perbuatan pejabat atau keputusan yang dibuatnya tidak mempertimbangkan semua faktor
yang relevan dengan perbuatan pejabat atau keputusan yang bersangkutan secara lengkap
dan wajar. Salah satu ciri dari pejabat yang sewenang-wenang adalah tidak mau dikritik,
sulit untuk mendapat masukan/pendapat.
2). Asas larangan penyalahgunaan wewenang atau Larangan de‟tournrment de fouvior
Penyalahgunaan wewenang terjadi bilamana wewenang digunakan untuk tujuan yang
bertentangan atau tidak sesuai dengan maksud dari wewenang itu diberikan atau ditentukan
undang-undang.
3). Asas Kepastian Hukum Asas kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang
mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, keputusan, dan keadilan dalam
setiap kebijakan penyelenggaraan Negara.
4). Asas Kepentingan Umum Asas kepentingan umum adalah asas yang mendahulukan
kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan kolektif.
5). Asas Keterbukaan Keterbukaan adalah membuka diri terhadap hak masyarakat untuk
memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif terhadap penyelenggara
negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan
rahasia Negara.
6). Asas Proporsionalitas Proporsionalitas adalah mengutamakan keseimbangan antara hak dan
kewajiban penyelenggara negara.
7). Asas Profesionalitas Asas Profesionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian yang
berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
8). Asas Akuntabilitas Asas Akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan
dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan negara harus dapat dipertanggungjawabkan
kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pelaksanaan asas akuntabilitas membutuhkan prinsip-prinsip, seperti;
a. Harus ada komitmen dari pimpinan dan seluruh staff instansi untuk melakukan
pengelolaan pelaksanaan misi agar akuntabel,
b. Harus merupakan suatu sistem yang dapat menjamin penggunaan sumber-sumber daya
secara konsisten dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
c. Harus dapat menunjukkan tingkat pencapaian tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan,
d. Harus berorientasi pada pencapaian visi dan misi serta hasil dan manfaat yang diperoleh,
dan
e. Harus jujur, obyektif, transparan, dan inovatif sebagai katalisator perubahan manajemen
instansi pemerintah dalam bentuk pemutakhiran metode dan teknik pengukuran kinerja
dan penyusunan laporan akuntabilitas.
Terdapat panca fungsi hukum sebagai upaya penegakan hukum yang merupakan condition
sine quanon atau syarat mutlak untuk fungsi hukum itu sendiri, yaitu:
1. Fungsi direktif, sebagai pengarah dalam pembangunan untuk membentuk masyarakat yang
hendak dicapai sesuai dengan tujuan kahidupan bernegara.
2. Fungsi integrative, sebagai pembina kesatuan bangsa.
3. Fungsi stabilitatif, sebagai pemelihara (termasuk didalamnya hasil-hasil pembangunan)
dan menjaga keselarasan, keserasian, dan keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan
bermasyarakat.
4. Fungsi perfektif, sebagai penyempurna baik terhadap sikap tindak administrasi negara
maupun sikap tindak warga apabila terjadi pertentangan dalam kehidupan bernegara dan
bermasyarakat.
5. Fungsi korektif, sebagai pengoreksi atas sikap tindak (baik administrasi negara maupun
warga) apabila terjadi pertentangan hak dan kewajiban untuk mendapatkan keadilan.
Dalam Pasal 10 ayat (2) UU RI No. 23 Tahun 2014 dinyatakan “Dalam menyelenggarakan urusan
pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat:
a. Melaksanakan sendiri; atau
b. Melimpahkan wewenang kepada Instansi Vertikal yang ada di daerah atau gubernur sebagai
wakil pemerintah pusat berdasarkan asas dekonsentrasi.
Menurut E. Utrech tindakan pemerintahan itu dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu:
1.Yang bertindak ialah administrasi Negara sendiri.
2.Yang bertindak ialah subyek hukum (sama dengan badan hukum) lain yang tidak termasuk
administrasi Negara dan yang mempunyai hubungan istimewa atau hubungan biasa dengan
pemerintah.
3.Yang bertindak ialah subyek hukum lain yang tidak termasuk administrasi Negara dan
menjalani pekerjaanya berdasarkan suatu keonsesi atau berdasarkan izin (vergunning) yang
diberikan oleh pemerintah.
4.Yang bertindak ialah subyek hukum lain yang tidak masuk administrasi Negara dan yang diberi
subsidi pemerintah
5.Yang bertindak ialah pemerintah bersama-sama subyek hukum lain yang bukan administrasi
negara dan kedua belah pihak itu bergabung dalam bentuk kerjasama (vorm van
samenwerking) yang diatur oleh hukum privat
6.Yang bertindak ialah yayasan yang didirikan oleh pemerintah atau diawasi pemerintah.
7.Yang bertindak ialah subyek hukum lain yang bukan administrasi Negara tetapi diberi sesuatu
kekuasaan memerintah (delegasi perundang-undangan).
BAB V.
INSTRUMEN PEMERINTAHAN DAN DISKRESI .
Peraturan Kebijaksanaan
Pelaksanaan Pemerintah sehari-hari menunjukkan, badan atau pejabat Tata Usaha Negara acap
kali menempuh berbagai langkah kebijaksanaan tertentu, antara lain menciptakan apa yang kini
sering dinamakan peraturan kebijaksanaan. Produk semacam peraturan kebijaksanaan tidak
terlepas kaitan penggunaan freies ermessen. Karena itu sebelum menjelaskan peraturan
kebijaksanaan terlebih dahulu dikemukakan mengenai “freies ermessen”
Freies ermessen berasal dari kata Freies artinya bebas, lepas, tidak terkait, dan merdeka.
Sedangkan ermessen mempertimbangkan, menilai, menduga, dan memperkirakan. Jadi Freies
ermessen adalah orang yang memiliki kebabasan untuk menilai, menduga, dan
mempertimbangkan sesuatu, istilah ini secara khas digunakan Pemerintah. Sehingga Freies
ermessen diartikan juga sebagai salah satu sarana yang memberikan ruang gerak bagi pejabat atau
Badan Administrasi Negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada
Undang-undang.
Didalam praktek penyelenggaraan Pemerintahan, Freies ermessen dilakukan oleh aparat
Pemerintah atau Administrasi Negara dalam hal-hal sebagai berikut :
1. Belum ada peraturan Perundang-undangan yang mengatur tentang penyelesaian in konkrito
terhadap suatu masalah tertentu, padahal masalah tersebut menuntut penyelesaian segera.
Misalnya dalam menghadapi bencana alam, atau wabah penyakit menular.
2. Peraturan Perundang-undangan yang menjadi dasar berbuat aparat Pemerintah memberikan
kebebasan sepenuhnya, missal dalam pemberian ijin berdasarkan pasal 1 HO, setiap pemberi
ijin bebas untuk menafsirkan pengertian “menimbulkan keadaan bahaya” sesuai dengan situasi
dan kondisi daerah masing-masing.
3. Adanya delegasi Undang-undang, maksudnya aparat Pemerintah diberi kekuasaan untuk
mengatur sendiri, yang sebenarnya kekuasaan ini merupakan kekuasaan aparat yang lebih tinggi
tingkatannya, missal dalam menggali sumber-sumber keuangan daerah. Daerah bebas untuk
mengelolahnya asalkan sumber itu merupakan sumber yang sah.
Peraturan Kebijaksanaan
a. Keberadaan peraturan kebijaksanaan tidak dapat dilepaskan dengan kewenangan bebas
(vrijebevoegdheid) dari pemerintah yang sering disebut dengan istilah freies ermessen.
b. Freies Ermessen kemudian menjadi asal muasal lahirnya peraturan kebijaksanaan, yang
mengandung dua aspek, yaitu:
1. Kebebasan menilai yang bersifat obyektif, yaitu kebebasan menafsirkan mengenai ruang
lingkup wewenang yang dirumuskan dalam peraturan dasar wewenangnya;
2. Kebebasan menilai yang bersifat subyektif, yaitu kebebasan untuk menentukan sendiri
dengan cara bagaimana dan kapan wewenang yang dimiliki administrasi negara itu
dilaksanakan.
c. Menurut Philipus M. Hadjon (1994:152), peraturan kebijaksanaan pada hakekatnya
merupakan produk dari perbuatan tata usaha negara yang bertujuan “naar buiten gebracht
schricftelijk beleid”, yaitu menampakkan keluar suatu kebijakan tertulis. Sebagaimana
pembuatan dan penerapan peraturan perundang-undangan, yaitu harus memerhatikan
beberapa persyaratan, pembuatan dan penerapan peraturan kebijaksanaan juga harus
memerhatikan beberapa persyaratan.
d. Menurut Indroharto, perbuatan peraturan kebijaksanaan harus memperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
1. Tidak boleh bertentangan dengan peraturan dasar yang mengandung wewenang
diskresionari yang dijabarkan itu
2. Tidak boleh nyata-nyata bertentangan dengan nalar yang sehat
3. Harus dipersiapkan dengan cermat
4. Isi dari kebijaksanaan harus memberikan kejelasan yang cukup mengenai hak-hak dan
kewajiban-kewajiban dari warga yang terkena peraturan itu
5. Tujuan-tujuan dan dasar-dasar pertimbangan mengenai kebijaksanaan yang akan
ditempuh harus jelas
6. Harus memenuhi syarat kepastian hukum material.
e. Menurut Van Kreveld, J.H (1983: 9-10) ciri-ciri dari peraturan kebijaksanaan adalah sebagai
berikut:
1. Peraturan itu tidak ditemukan dasarnya dalam undang-undang
2. Peraturan itu bisa berbentuk tertulis, bisa juga berbentuk tidak tertulis
3. Peraturan itu memberikan petunjuk secara umum.
Freies Ermessen Freies Ermessen berasal dari kata Frei yang artinya bebas, lepas, tidak terikat
dan merdeka. Ermessen berarti mempertimbangkan, menilai, menduga dan memperkirakan.
Sehingga Freies Ermessen diartikan orang yang memiliki kebebasan untuk menilai, menduga, dan
mempertimbangkan sesuatu. Dalam kaitannya dengan pemerintahan, Freies Ermessen diartikan
sebagai salah satu sarana yang memberikan ruang bergerak bagi pejabat atau badan-badan
administrasi negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada undang-
undang (Marcus Lukman, 1996: 205)
Walaupun pemerintah diberikan kewenangan bebas (freies ermessen) atau diskresi, namun
penggunaannya harus memenuhi syarat-syarat, yaitu:
a. Sesuai dengan tujuan diskresi, yaitu: - Melancarkan penyelenggaraan pemerintahan - Mengisi
kekosongan hukum - Memberikan kepastian hukum dan - Mengatasi stagnasi pemerintahan dalam
keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum
b. Tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
c. Sesuai dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik
d. Berdasarkan alasan-alasan yang obyektif
e. Tidak menimbulkan konflik kepentingan dan
f. Dilakukan dengan ektikad baik Di samping syarat-syarat tersebut, freies ermessen juga memiliki
unsur-unsur, yaitu:
a. Ditujukan untuk menjalankan tugas-tugas servis publik.
b. Merupakan sikap tindak yang aktif dari administrasi negara.
c. Sikap tindak itu dimungkinkan oleh hukum
d. Sikap tindak itu diambil atas inisiatif sendiri
e. Sikap tindak itu dimaksudkan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan penting yang timbul
secara tiba-tiba.
f. Sikap tindak itu dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral kepada Tuhan maupun
secara hukum (Sjachran Basah, 1992: 68)
Dalam UU RI No. 30 Tahun 2014 kewenangan bebas (freies ermessen) ini disebut dengan
istilah diskresi. Dalam Pasal 1 angka 9 UU No. 30 Tahun 2014 dinyatakan “Diskresi adalah
Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan
untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam
hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap
atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan”. Dalam Pasal 8 ayat (2) UU RI No.
30 Tahun 2014 dinyatakan “Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam menggunakan
wewenang wajib berdasarkan: a. Peraturan perundang-undangan; dan b. Asas-Asas Umum
Pemerintahan yang Baik (AUPB)”
Diskresi.
a. Sejatinya diskresi yang dimiliki pejabat pemerintahan merupakan wewenang administrasi
yang bersifat bebas atau biasa disebut dengan wewenang bebas (vrij bevoegdheid).
b. Setiap diskresi yang dimiliki pejabat pemerintahan, memiliki makna akan kebijaksanaan,
keleluasaan, penilaian dan kebebasan untuk menentukan sesuatu tindakan atau keputusan.
c. Diskresi yang dimiliki pejabat pemerintahan merupakan kewenangan dalam pelaksanaan
tugasnya dengan pertimbangan sendiri, mengambil pilihan untuk melakukan atau tidak
melakukan suatu tindakan tertentu.
d. Pengertian diskresi dalam tradisi continental law mempunyai padanan dengan istilah bevoegd
(berwenang), yang berarti kewenangan yang metekat pada suatu tindakan tertentu. Penggunaan
istilah bevoegdheid telah seringkali dipakai dalam hukum publik maupun hukum perdata,
karena kewenangan merupakan konsep inti dari hukum tata negara dan hukum administrasi.
Hal inilah yang mempertegas pernyataan Robert Bierstedt, yang menganggap wewenang
sebagai kekuasaan yang dilembagakan (authority is institutionalized power)(Harold
D.Lasswell & Abraham Kaplan, Kekuasaan dan Masyarakat : Kerangka Kerja untuk
Penyelidikan Politik, New Haven : Yale University Press, 1950: 74).
e. Salah satu ciri utama dari sebuah diskresi, terletak pada kebebasan untuk mempertimbangkan,
menentukan atau memilih suatu tindakan tertentu berdasarkan kemauan pejabat publik yang
bersangkutan. Didalamnya menyangkut kebebasan mengartikan atau menafsirkan ruang
lingkup wewenangnya dan kebebasan untuk menentukan sendiri dengan cara bagaimana dan
kapan wewenang yang dimilikinya itu akan digunakan. Terdapat 3 (tiga) bentuk kebebasan
diskresioner pejabat pemerintahan, yaitu: kebebasan mengambil kebijakan
(beleidsvrijheid) (Philiphus M.Hadjon‚ 1993: 4- 5), kebebasan mempertimbangkan
(beoordelingsvrijheid)(Lukman, 1996: 191),dan kebebasan interpretasi
(intrepretatievrijheid)(HR Ridwan, 2014: 16).
f. Wewenang bebas (vrij bevoegdheid) berupa diskresi yang dimiliki oleh pejabat publik tersebut,
bukanlah bebas untuk berbuat semaunya dan terlepas dari aturan hukum. Dalam bevoegd
terkandung hak dan kewajiban yang menjadi batasan dan ukuran penilaian, apakah
kewenangan berupa diskresi itu dilakukan sesuai dengan aturan normatif yang melahirkan
kewenangan itu (Kaligis, 2008: l4).
g. Meski demikian, menyerahkan pengujian diskresi yang menyimpang dan merugikan warga
negara melalui Peradilan Umum itu sesungguhnya tidak tepat karena 2 (dua) alasan; Pertama,
kompetensi absolut Peradilan Umum adalah di bidang Hukum Pidana dan Hukum Perdata,
sementara diskresi itu merupakan tindakan pemerintahan yang didasarkan pada norma-norma
Hukum Administrasi, sehingga seharusnya akan lebih tepat jika menyerahkan bandul
kewenangan ini kepada Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN); Kedua, dasar pengujian
(toetsingsgrond)terhadap diskresi itu bukan onrechtmatige overheidsdaad (OOD), tetapi asas-
asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB)[21] terutama asas larangan menyalahgunakan
wewenang (verbod van detourtement de pouvoir) dan asas larangan bertindak sewenang-
wenang (verbod van willekeur), disamping peraturan perundang-undangan.[22] [22] Ridwan
HR, dalam Disertasi berjudul Diskresi dan Tanggung Jawab Pejabat dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan... Op.Cit.,hlm. 349.
Diskresi hanya dapat dilakukan dalam hal tertentu dimana peraturan perunfang-undangan yang
berlaku tidak mengaturnya atau karena peraturan yang aada yang mengatur tentang sesuatu hal
tidak jelas dan hal tersebut dilakukan dalam keadaan darurat/mendesak demi kepentingan umum
yang telah ditetapkan dalam suatu perundang-undangan. Sedangkan yang dimaksud persoalan-
persoalan mendesak, sekurang-kurangnya mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
a.Persoalan-persoalan yang muncul harus menyangkut kepentingan umum, yaitu, kepentingan
bangsa dan negara, kepentingan masyarakat luas, kepentingan rakyat banyak/bersama, serta
kepentingan pembangunan.
b.Munculnya persoalan tersebut secara tiba-tiba, berada diluar rencana yang telah ditentukan.
c.Untuk menyelesaikan persoalan tersebut, peraturan perundang-undangan belum menganturnya
atau hanya mengatur secara umum, sehingga administrasi negara mempunyai kebebasan untuk
menyelesaikan atas inisiatif sendiri.
d.Prosedurnya tidak dapat diselesaikan menurut administrasi normal, atau jika diselesaikan
menurut prosedur normal administrasi justru kurang berdaya guna dan berhasil guna.
e.Jika persoalan tersebut tidak diselesaikan dengan cepat, maka akan menimbulkan kerugian
bagi kepentingan umum.
BAB VI.
KEPUTUSAN/KETETAPAN ADMINISTRASI NEGARA.
Istilah dan Pengertian.
Di Indonesia istilah beschikking diperkenalkan pertama kali oleh WF.Prins. Istilah beschikking ini
ada yang menerjemahkannya dengan ketetapan, seperti E.Utrecht, Bagir Manan, Sjachran Basah,
dan lain-lain dengan keputusan seperti WF.Prins, Philippus M. Hadjon, SF. Marbun dan lain-lain.
Djenal Hoesen dan Muchsan mengatakan bahwa penggunaan istilah keputusan barangkali akan
lebih tepat untuk menghindari kesimpangsiuran pengertian dengan istilah ketetapan. Menurutnya,
di Indonesia istilah ketetapan sudah memiliki pengertian teknis yuridis, yaitu sebagai ketetapan
MPR yang berlaku keluar dan kedalam. Seiring dengan berlakunya UU No 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, istilah beschikking itu diterjemahkan dengan
keputusan. (Ridwan HR 2016 : 140).
Berikut ini terdapat definisi keputusan yang diberikan oleh beberapa sarjana:
1. Keputusan adalah perbuatan dilapangan pemerintahan yang dilakukan oleh penguasa
berdasarkan atas wewenangnya yang istimewa (Saputra, 1988:46).
2. Beschikking adalah suatu perbuatan hukum yang bersegi satu (sepihak) yang dilakukan oleh
alat-alat pemerintahan berdasarkan suatu kekuasaan istimewa (E. Utrecht, 1957 :55).
3. Beschikking adalah sebagai suatu tindakan hukum sepihak dalam lapangan pemerintahan yang
dilakukan oleh alat pemerintahan berdasarkan wewenang yang ada pada alat atau organ itu
(WF.Prins, 1975:55).
4. Keputusan atau ketetapan adalah tindakan hukum yang dilakukan oleh alat alat pemerintahan,
pernyataan kehendak mereka dalam menyelenggarakan hal khusus dengan maksud
mengadakan perubahan dalam lapangan hubungan hukum.
Adapun E.Utrecht menyatakan bahwa ada beberapa macam-macam keputusan tata usaha
Negara, diantaranya
1. Ketetapan Positif dan Ketetapan Negatif
Ketetapan Positif merupakan ketetapan yang menimbulkan hak/ dan kewajiban bagi yang
dikenai ketetapan. Sedangkan Ketetapan Negatif merupakan ketetapan yang tidak
menimbulkan perubahan dalam keadaan hukum yng telah ada. Adapun ketetapan negatif
ini dapat berbentuk:
• Pernyataan tidak berkuasa (Onbevoegd-Verklaring)
• Pernyataan tidak diterima (Nietontvankelijk Verklaring)
• Atau suatu penolakan (Afwijzing).
Keputusan Positif dan Negatif Keputusan positif adalah keputusan yang menimbulkan hak
dan kewajiban bagi yang dikenai keputusan, sedangkan keputusan negatif adalah
keputusan yang tidak menimbulkan perubahan keadaan hukum yang telah ada. Keputusan
positif terbagi dalam lima golongan, yaitu:
1. Keputusan, yang pada umumnya melahirkan keadaan hukum baru.
2. Keputusan, yang melahirkan keadaan hukum baru bagi objek tertentu.
3. Keputusan, yang menyebabkan berdirinya atau bubarnya badan hukum.
4. Keputusan, yang membebankan kewajiban baru kepada seseorang atau beberapa
orang ( perintah ).
5. Keputusan, yang memberikan hak baru kepada seseorang atau beberapa orang (
keputusan yang menguntungkan ).
Keputusan negatif dapat berbentuk pernyataan tidak berkuasa, pernyataan tidak diterima
atau ssuatu penolakan. Keputusan negatif yang dimaksudkan disini adalah keputusan yang
ditinjau dari akibat hukumnya yakni tidak menimbulkan perubahan hukum yang telah ada.
Dengan kata lain, bukan keputusan negatif atau fiktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3 UU No.5 Tahun 1986 tentang PTUN jo. UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan UU
PTUN tersebut diatas.
2. Ketetapan Deklaratoir atau Ketetapan Konstitutif
Ketetapan Deklaratoir merupakan ketetapan yang hanya menyatakan bahwa hukumnya
demikian (Rechtsvastellende Beschikking). Sedangkan ketetapan konstitutif adalah
ketetapan dalam membuat hukum (Rechtsheppend). Keputusan yang bersifat konstitutif
dapat berupa hal-hal sebagai berikut.
1). Keputusan -keputusan yang meletakkan kewajiban untuk melakukan sesuatu, tidak
melakukan sesuatu, atau memperkenankan sesuatu.
2). Keputusan -keputusan yang memberikan status pada seseorang, lembaga, atau
perusahaan, dan oleh karena itu seseorang atau perusahaan itu dapat menerapkan
aturan hukum tertentu.
3). Keputusan-keputusan yang meletakkan prestasi atau harapan pada perbuatan
pemerintah, subsidi atau bantuan.
3. Ketetapan Kilat (Eenmalig) dan Ketetapan yang Tetap atau Permanen (Blijvend)
Ketetapan Eenmalig adalah ketetapan yang hanya berlaku sekali atau ketetapan sepintas
lalu atau ketetapan yang bersifat kilat (Vluctige Beschikking). Sedangkan Ketetapan
Permanen adalah ketetapan yang memiliki masa berlaku yang lama.
Menurut WF. Prins, ada 4 macam ketetapan kilat:
1. Ketetapan yang bermaksud mengubah redaksi (teks) ketetapan lama
2. Suatu ketetapan negatif
3. Penarikan atau pembatalan suatu ketetapan
4. Suatu pernyataan pelaksanaan (Uitvoerbaarverklaring)
4.Ketetapan yang Menguntungkan dan Ketetapan yang Memberi Beban
Ketetapan bersifat menguntungkan artinya ketetapan itu memberi hak-hak atau
memberikan kemungkinan untuk memperoleh sesuatu yang tanpa adanya ketetapan itu
tidak akan ada atau bilamana ketetapan itu memberikan keringanan beban yang ada atau
mungkin ada. Sedangkan ketetapan yang memberikan beban adalah ketetapan yang
meletakkan kewajiban yang sebelumnya tidak ada atau ketetapan mengenai penolakan
terhadap permohonan untuk memperoleh keringanan.
5. Ketetapan yang Bebas dan Ketetapan yang Terikat
Ketetapan yang bersifat bebas adalah ketetapan yang didasarkan pada kebebasan bertindak
yang dimiliki oleh pejabat tata usaha Negara. Sedangkan Ketetapan yang terikat adalah
Ketetapan itu hanya melaksanakan ketentuan yang sudah ada tanpa adanya ruang
kebebasan bagi pejabat yang bersangkutan. Jadi Keputusan yang bersifat bebas adalah
keputusan yang didasarkan pada kewenangan bebas atau kebebasan bertindak yang
dimiliki oleh pejabat tata usaha negara baik dalam bentuk kebebasan kebijaksanaan
maupun kebebasan interpretasi, sedangkan keputusan yang terikat adalah keputusan yang
didasarkan pada kewenangan pemerintahan yang bersifat terikat, artinya keputusan itu
hanya melaksanakan ketentuan yang sudah ada tanpa adanya ruang kebebasan bagi pejabat
yang bersangkutan.
6. Ketetapan Perorangan dan Ketetapan Kebendaan
Ketetapan Perorangan adalah ketetapan yang diterbitkan berdasarkan kualitas pribadi
orang tertentu. Sedangkan ketetapan kebendaan adalah keputusan yang diterbitkan atas
dasar kualitas kebendaan. Keputusan Perorangan dan Kebendaan Keputusan perorangan
adalah keputusan yang diterbitkan berdasarkan kualitas pribadi orang tertentu atau
keputusan yang berkaitan dengan orang, seperti keputusan tentang pengangkatan atau
pemberhentian seseorang sebagai pegawai negeri atau sebagai pejabat negara, keputusan
menganai surat izin, mengemudi, dan sebagainya, sedangkan keputusan kebendaan adalah
keputusan yang diterbitkan atas dasar kualitas kebendaan atau keputusan yang berkaitan
dengan benda, misalnya sertifikat hak atas tanah. Dapat terjadi sesuatu keputusan itu
dikategorikan bersifat perseorangan sekaligus kebendaan, misalnya surat izin mendirikan
bangunan atau izin usaha industri. Dalam hal ini keputusan itu memberikan hak pada
seseorang yang akan mendirikaan bangunan atau industri (tertuju pada orang), dan sisi lain
keputusan itu memberikan keabsahan didirikannya bangunan atau insdustri (tertuju pada
benda).
A.M Donner seorang tokoh ahli hukum dari belanda mengemukakan akibat-akibat dari
keputusan yang tidak sah yaitu sebagai berikut.
a. Keputusan itu harus dianggap batal sama sekali.
b. Berlakunya keputusan itu dapat digugat: 1) Dalam banding (beroep) 2) Dalam pembatalan oleh
jabatan (amtshalve vernietiging) karena bertentangan dengan undang-undang. 3) Dalam
penarikan kembali ( interekking ) oleh kekuasaan yang berhak (competent) mengeluarkan
keputusan itu.
c. Dalam hal keputusan tersebut, sebelum dapat berlaku, memerlukan persetujuan (penuguhan)
suatu badan kenegaraan yang lebih tinggi, maka persetujuan itu tidak diberi.
d. Keputusan itu diberi tujuan lain daripada tujuan permulaannya (conversie).
Dalam keputusan TUN tersebut layaknya memiliki syarat-syarat sahnya suatu keputusan yakni:
a. Syarat Materil, yaitu syarat yang berkaitan dengan isi, syarat materiil tersebut di bagi menjadi 3
bagian yaitu :
1. Harus di buat oleh aparat yang berwenang;
2. Keputusan tata usaha negara tidak mengalami kekurangan yuridis yang artinya tidak
memiliki unsur-unsur paksaan, kekhilafan (unsur kesengajaan) dan penipuan;
3. Tujuan ketetapan sama dengan tujuan yang mendasarinya.
b. Syarat Formil, yaitu syarat yang berkaitan dengan bentuk. Syarat formil di bagi menjadi 3 bagian
yaitu :
1. Bentuk ketetapan harus sama dengan bentuk yang di kehendaki oleh peraturan yang
mendasarinya;
2. Prosedur harus sama dengan bentuk yang di atur dalam peraturan yang mendasarinya;
3. Syarat khusus yang di kehendaki oleh peraturan dasar harus tercermin dalam keputusan.
Adapun kekuatan hukum dari keputusan Tata usaha Negara ada 2 macam:
a. Kekuatan hukum Formil (formeel rechtskracth) Yakni merupakan ketetapan yang mempunyai
pengaruh yang dapat diadakan oleh karena adanya ketetapan itu. Maksudnya ketetapan tersebut
tidak dapat lagi dibantah oleh suatu alat hukum (rechtsmiddel). Adapun ketetapan memiliki
hukum formil dibagi lagi menjadi dua yakni pertama, ketetapan yang telah mendapat
persetujuan untuk berlaku dari alat negara yang lebih tertinggi yang berhak memberikan
persetujuan tersebut. Kedua, suatu ketetapan dimana permohonan untuk banding terhadap
ketetapan itu ditolak atau karena tidak menggunakan hak bandingnya dalam jangka waktu yang
di tentukan oleh undang-undang.
b. Kekuatan hukum materiil (Materiele Rechtskracht) Yakni merupakan ketetapan yang
mempunyai pengaruh yang dapat diadakan oleh karena isi ketetapannya tersebut. Maksudnya,
ketetapan tersebut tidak lagi dapat ditiadakan oleh alat negara yang membuatnya.
Sedangkan menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang No. 9 Tahun 2004
tentang Peradilan Tata Usaha Negara:
1. Keputusan Tata Usaha Negara Positif (Pasal 1 angka (3)); Yaitu penetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha
Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, bersifat konkrit,
individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau Badan Hukum
Perdata.
2. Keputusan Tata Usaha Negara Fiktif (Pasal 3 angka (1)) Yaitu keputusan Tata Usaha Negara
yang seharusnyadikeluarkan oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara menurut kewajibannya
tetapi ternyata tidak diterbitkan, sehingga menimbulkan kerugian bagi seseorang atau Badan
Hukum Perdata. Contoh : Dalam kasus kepegawaian, seorang atasan berkewajiban membuat
DP3 atau mengusulkan kenaikan pangkat bawahannya, tetapi atasannya tidak melakukan.
3. Keputusan Tata Usaha Negara Fiktif Negatif (Pasal 3 ayat (2)) Yaitu keputusan Tata Usaha
Negara yang dimohonkan seseorang atau Badan Hukum Perdata, tetapi tidak ditanggapi atau
tidak diterbitkan oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan. Sehingga dianggap
bahwa Badan/Pejabat Tata Usaha Negara telah mengeluarkan keputusan penolakan (negatif).
Contoh : Pemohon IMB, KTP, Sertipikat, dsb apabila dalam jangka waktu yang ditentukan tidak
dijawab/diterbitkan, maka dianggap jelas-jelas menerbitkan keputusan Tata Usaha Negara yang
menolak.
Kewenangan membuat peraturan perundang-undangan seharusnya menjadi ranah wilayah
lembaga legislatif kalau kita berpedoman kepada ajaran Trias Politika, tetapi menurut
Bagir Manan (1995: 335) ada beberapa alasan yang menjadi dasar diberikannya
kewenangan membuat peraturan perundang-undangan kepada eksekutif (pemerintah),
yaitu:
a. Paham pembagian kekuasaan lebih menekankan pada perbedaan fungsi daripada pemisahan
organ yang terdapat dalam ajaran pemisahan kekuasaan. Dengan demikian, fungsi pembentukan
peraturan perundang-undangan tidak harus terpisah dari fungsi penyelenggaraan pemerintahan.
b. Paham yang memberikan kekuasaan pada negara atau pemerintah untuk mencampuri kehidupan
masyarakat, baik sebagai negara kekuasaan atau negara kesejahteraan. Paham ini memerlukan
instrumen hukum yang akan memberikan dasar bagi negara atau pemerintah untuk bertindak.
c. Untuk menunjang perubahan masyarakat yang berjalan makin cepat dan kompleks diperlukan
percepatan pembentukan hukum. Hal ini mendorong administrasi negara untuk berperan lebih
besar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan
d. Berkembangnya berbagai jenis peraturan perundang-undangan baik ditingkat pusat maupun di
tingkat daerah.
Berdasarkan beberapa definisi tersebut, tampak ada beberapa unsur yang terdapat dalam
beschikking, yaitu:
1. Pernyataan kehendak sepihak
2. Dikeluarkan oleh organ pemerintah
3. Didasarkan pada kewenangan hukum yang bersifat publik
4. Ditujukan untuk hal khusus atau peristiwa kongkret dan individual
5. Dengan maksud untuk menimbulkan akibat hokum.
Berdasarkan definisi tersebut tampak bahwa Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN)
memiliki unsur-unsur sebagai berikut:
a. Penetapan tertulis bukan hanya dilihat dari bentuknya saja tetapi lebih ditekankan kepada
isinya, yang berisi kejelasan tentang:
a). Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara mana yang mengeluarkannya;
b). Maksud serta mengenai hal apa isi tulisan tersebut; dan
c). Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan di dalamnya.
Hal tersebut membawa konsekuensi bahwa sebuah memo atau nota pun kalau sudah memenuhi
ketiga kreteria di atas dapat dianggap sebagai Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).
b. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN Sebagai suatu Keputusan TUN, Penetapan tertulis
itu juga merupakan salah satu instrumen yuridis pemerintahan yang dikeluarkan oleh Badan
atau Pejabat TUN dalam rangka pelaksanaan suatu bidang urusan pemerintahan. Selanjutnya
mengenai apa dan siapa yang dimaksud dengan Badan atau Pejabat TUN sebagai subjek
Tergugat, disebutkan dalam pasal 1 angka 2 UU RI No. 5 Tahun 1986:“Badan atau Pejabat Tata
Usaha negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
c. Berisi tindakan Hukum TUN Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa suatu Penetapan
Tertulis adalah salah satu bentuk dari keputusan Badan atau Pejabat TUN, dan keputusan yang
demikian selalu merupakan suatu tindakan hukum TUN. Tindakan hukum TUN adalah suatu
keputusan yang menciptakan, atau menentukan mengikatnya atau menghapuskannya suatu
hubungan hukum TUN yang telah ada.
d. Berdasarkan Peraturan perundang-undangan; bahwa semua keputusan dan/atau tindakan
administrasi pemerintahan yang dilakukan oleh pemerintah harus berdasarkan pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
e. Bersifat konkret diartikan obyek yang diputuskan dalam keputusan itu tidak abstrak, tetapi
berwujud, tertentu atau dapat ditentukan.
f. Bersifat individual, diartikan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak ditujukan untuk
umum, tetapi tertentu baik alamat maupun yang dituju. Kalau yang dituju itu lebih dari satu
orang, maka tiap-tiap individu harus dicantumkan namanya dalam keputusan tersebut.
g. Bersifat final, diartikan keputusan tersebut sudah definitif, keputusan yang tidak lagi
memerlukan persetujuan dari instansi atasan atau instansi lain, karenanya keputusan ini dapat
menimbulkan akibat hukum.
h. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata Menimbulkan Akibat
Hukum artinya menimbulkan suatu perubahan dalam suasana hukum yang telah ada.
Sebagai suatu tindakan hukum, Penetapan Tertulis harus mampu menimbulkan suatu
perubahan dalam hubungan-hubungan hukum yang telah ada, seperti:
a. Menguatkan suatu hubungan hukum atau keadaan hukum yang telah ada (declaratoir);
b. Menimbulkan suatu hubungan hukum atau keadaan hukum yang baru (constitutief)
c. 1. Menolak untuk menguatkan hubungan hukum atau keadaan hukum yang telah ada. 2.
Menolak untuk menimbulkan hubungan hukum atau keadaan hukum yang baru (Amrah
Muslimin, 1985: 118-119)
BAB VII.
BADAN/PEJABAT MEMPEROLEH & MEMPERGUNAKAN KEWENANGAN
DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN .
Negara merupakan sebuah organisasi atau badan tertinggi yang memiliki kewenangan untuk
mengatur perihal yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat luas serta memiliki
kewajiban untuk mensejahterakan, melindungi dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Kewenangan
dalam Hukum Administrasi Negara adalah Kekuasaan menggunakan sumberdaya untuk mencapai
tujuan organisasi dan secara umum tugas di definisikan sebagai kewajiban atau suatu pekerjaan yg
harus dikerjakan seseorang dalam pekerjaannya. Penggerak organisasi negara itu sendiri adalah
pejabat pemerintahan.
Sumber Kewenangan.
Setiap penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan harus memiliki legitimasi. Dalam hukum
Administrasi, dikenal 3 (tiga) sumber kewenangan, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat.
1. Atribusi (Attribute: toekenning van een bestuursbevoegheid door een wetgever aan een
bestuursorgaan) adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang
kepada organ pemerintahan. Berdasarkan UndangUndang No. 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan ( selanjutnya disebut UU Administrasi Pemerintahan), Atribusi
adalah pemberian Kewenangan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan oleh Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau Undang-Undang;
2. Delegasi (Delegatie: overdracht van een bevoegheid van het ene bestuursorgaan aan een ander)
adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ
pemerintahan lainnya. Berdasarkan UU Administrasi Pemerintahan, delegasi adalah
pelimpahan Kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung
gugat beralih sepenuhnya kepada penerima delegasi;
3. Mandat (Mandaat: een bestuursorgan laat zijn bevoegheid names hem uitoefenen door een ande)
terjadi jika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas
namanya. Berdasarkan UU Administrasi Pemerintahan, mandat adalah pelimpahan
kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat
tetap berada pada pemberi mandat.
Kewenangan seperti ini bersumber dari:
a. Atribusi, yaitu pemberian kewenangan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau Undang-Undang.
b. Delegasi, yaitu pelimpahan kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih
tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab
dan tanggung gugat beralih sepenuhnya kepada penerima delegasi.
c. Mandat, yaitu pelimpahan kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih
tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah dengan tangung jawab
dan tangung gugat tetap berada pada pemberi mandat.
Dalam Pasal 9 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintah (yang selanjutnya ditulis UU RI No. 30 Tahun 2014) dinyatakan:
(1) Setiap Keputusan dan/atau Tindakan wajib berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan dan AUPB
(2) Peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar Kewenangan; dan
b. Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dalam menetapkan dan/atau melakukan
Keputusan dan/atau Tindakan.
(3) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan
dan/atau Tindakan wajib mencantumkan atau menunjukkan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang menjadi dasar Kewenangan dan dasar dalam menetapkan dan/atau melakukan
Keputusan dan/atau Tindakan.
(4) Ketiadaan atau ketidakjelasan peraturan perundang-undangan sebagaimana pada ayat (2) huruf
b, tidak menghalangi Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang untuk
menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan sepanjang memberikan
kemanfaatan umum dan sesuai dengan AUPB.
Defenisi dan Ruang Lingkup.
1. Wewenang adalah hak yang dimiliki oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau
penyelenggara negara lainnya untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam
penyelenggaraan pemerintahan.
2. Penyalahgunaan wewenang adalah penggunaan wewenang oleh Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan dalam mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan
pemerintahan yang dilakukan dengan melampaui wewenang, mencampuradukkan
wewenang, dan/atau bertindak sewenang-wenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
dan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
3. Permohonan penilaian unsur penyalahgunaan wewenang adalah permintaan tertulis kepada
Pengadilan untuk menilai ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang yang
dilakukan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan dalam keputusan dan/atau tindakan.
BAB VIII.
PERLINDUNGAN HUKUM, PENEGAKAN HUKUM, DAN
PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM DALAM HUKUM
ADMINSTRASI NEGARA
Perlindungan hukum adalah upaya melindungi secara hukum terhadap Jiwa Raga, Harta Benda
seseorang dan Hak Asasi Manusia HAM, yang terdiri dari hak untuk hidup, hak kemerdekaan, hak
beragama dll. Jadi pelanggaran hukum apapun yang dilakukan terhadap hal-hal tersebut di atas
akan dikenakan sanksi hukum/hukuman. Kalau kita membahas tentang Perlindungan Hukum
terhadap masyarakat ada beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu siapa yang memberikan
perlindungan ?, payung hukumnya apa ?, dan bagaimana perlindungannya ?.
1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 hasil amandemen Undang-undang
Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai payung hukum tertinggi di dalam upaya
memberikan perlindungan hukum terhadap masyarakat, mengatur tentang tiga hal pokok, yaitu:
1). Perlindungan terhadap hak dan kewajiban asasi manusia Hak Asasi Asasi yang diatur dalam
UUD RI Tahun 1945 adalah ;
i). Hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupan (Pasal 28 A),
ii). Hak untuk berkeluarga, melanjutkan keturunan dan setiap anak berhak atas kelangsungan
hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi (Pasal 28 B),
iii). Hak untuk mengembangkan diri dan memajukan diri, hak untuk mendapatkan pendidikan
(Pasal 28 C),
iv). Hak untuk diberlakukan sama didepan hukum, hak untuk bekerja dan mendapatkan
imbalan, hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, hak untuk
mendapatkan status kewarganegaraan (Pasal 28 D),
v). Hak untuk memeluk agama dan kebebasan meyakini kepercayaan, hak untuk kebebasan
berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. (Pasal 28 E),
vi). Hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi (Pasal 28 F),
vii). Hak untuk mendapatkan perlindungan dan rasa aman (Pasal 28 G),dan
viii). Hak untuk hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan
hidup yang baik dan sehat serta hak memperoleh pelayanan kesehatan (Pasal 28 H ayat
(1)).
Kewajiban Asasi Manusia yang diatur dalam UUD RI Tahun 1945 adalah :
1. Menghormati Hak Asasi Manusia orang lain (Pasal 28J ayat (1)),
2. Tunduk dan taat pada undang-undang / hukum (Pasal 28J ayat (2)), dan
3. Dalam pembelaan negara yaitu wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara
(Pasal 30 ayat (1).
2. Susunan Ketatanegaraan yang bersifat mendasar
a. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD
yang dipilih melalui pemilihan umum, yang mempunyai wewenang : 1. mengubah dan
menetapkan Undang-undang Dasar 2. pelantikan dan penyumpahan Presiden dan Wakil
Presiden
b. Presiden Kedudukan Presiden ; 1. sebagai Kepala Pemerintahan a. kekuasaan tertinggi di
bidang administrasi negara yang dibantu oleh menteri-menteri negara b. menetapkan undang-
undang bersama DPR c. menetapkan PerPu, dalam hal kegentingan yang memaksa d.
menetapkan Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan undang-undang e. menetapkan Perpres
dan Keppres 2. sebagai Kepala Negara a. Kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan
Laut, dan Angkatan Udara b. Menyatakan perang, membuat perdamaian, perjanjian dengan
negara lain berdasarkan persetujuan DPR c. Presiden menyatakan keadaan bahaya d.
Mengangkat duta dan konsul dengan persetujuan DPR e. Menerima penempatan Duta negara
lain f. Memberi Grasi dan Rehabilitasi berdasarkan pertimbangan Mahkamah Agung g.
Memberi Amnesti dan Abolisi berdasarkan pertimbangan DPR h. Memberi gelar, tanda jasa
dan tanda kehormatan lainnya.
c. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fungsi DPR adalah 1. Legislasi a. mengajukan rancangan
undang-undang b. memberi persetujuan pembentukan undang-undang c. memberi persetujuan
dalam hal Presiden membuat perjanjian dengan negara lain 2. Anggaran, yaitu memberikan
persetujuan terhadap Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 3.
Pengawasan, yaitu melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan
d. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Anggota DPD dipilih dari setiap Propinsi melalui Pemilihan
Umum, yang mempunyai wewenang ; 1. DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumberdaya alam, dan
sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan
daerah. 2. DPD ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumberdaya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta memberikan pertimbangan kepada DPR atas
rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-
undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. 3. DPD dapat melakukan
pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan,
pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara,
pajak, pendidikan, agama, serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada DPR sebagai
bahan pertimbangan untuk ditindak lanjuti.
e. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Anggota BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan
pertimbangan DPD dan diresmikan oleh Presiden, yang mempunyai tugas untuk memeriksa
pengelolaan dan tanggungjawab tentang keuangan negara.
f. Mahkamah Agung (MA) Lembaga Negara yang menjalankan kekuasaan kehakiman, yang
mempunyai wewenang : - Memeriksa dan memutus permohonan kasasi, sengketa kewenangan
mengadili dan permohonan PK - Menguji secara materiil/Judicial Review peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang - Memutus dalam tingkat I dan
terakhir sengketa yang timbul karena perampasan kapal asing dan muatannya oleh kapal perang
RI - Memberi pertimbangan kepada Presiden dalam hal grasi dan rehabilitasi - Memberi
pertimbangan hukum kepda lembaga tinggi negara lainnya - Melakukan pengawasan tertinggi
dalam penyelenggaraan peradilan
g. Mahkamah Konstitusi (MK) Lembaga Negara yang menjalankan kekuasaan kehakiman, yang
mempunyai wewenang : 1. Mengadili tingkat I dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk; - menguji undang-undang terhadap Undang-undang Dasar - memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-undang Dasar -
memutus pembubaran partai politik - memutus perselisihan tentang hasil Pemilu. 2. Memberi
putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran
hukum 3. Pembagian dan pembatasan kekuasaan a. Legislatif yaitu kekuasaan di bidang
legislasi yang dijalankan oleh DPR b. Eksekutif yaitu kekuasaan di bidang pemerintahan yang
dijalankan oleh Presiden dan Wakil Presiden dibantu oleh menteri-menterinya c. Yudikatif yaitu
kekuasaan di bidang kehakiman yang dijalankan oleh Mahkamah Agung dengan badan-badan
peradilan di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer,
peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Perbuatan melawan hukum oleh pemerintah yang berbentuk melanggar hak subjektif orang lain
tidak hanya terbatas pada perbuatan yang bersifat privaterechtlijk saja, tetapi juga perbuatan yang
bersifat publicrechtlijk. Penguasa dapat dianggap melakukan perbuatan melawan hukum
karena melanggar hak subyektif orang lain, apabila :
(1) Penguasa melakukan perbuatan yang bersumber pada hubungan hukum perdata serta
melanggar ketentuan dalam hukum tersebut;
(2) penguasa melakukan perbuatan yang bersumber pada hukum public serta melanggar ketentuan
kaidah hukum tersebut.
Menurut Sjachran Basah, perlindungan terhadap warga negara diberikan dalam hal:
a. Bila mana sikap tindak administrasi negara itu menimbulkan kerugian terhadapnya, sedangkan
perlindungan terhadap administrasi negara itu sendiri dilakukan terhadap sikap tindaknya
dengan baik dan benar menurut hukum baik tertulis maupun tidak tertulis.
b. Dalam rangka perlindungan hukum, keberadaan asas-asas umum pemerintahan yang baik
memiliki peranan penting sehubungan dengan adanya langkah mundur pembuat undang-
undang, yang memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk membuat peraturan
peundang-undangan, dan adanya freies ermessen pada pemerintah.
c. Namun di sisi lain, pemberian kewenangan ini dapat menjadi peluang terjadinya pelanggaran
kehidupan masyarakat oleh pemerintah.
Pennegakan Hukum.
Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan Hukum menurut Soerjono Soekanto sebagai
berikut:
a) Faktor hukumnya sendiri;
b) Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan Hukum;
c) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan Hukum;
d) Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan;
e) Faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia
didalam pergaulan hidup.
Macam-macam sanksi dalam Hukum Administrasi Negara Seiring dengan luasnya ruang lingkup
dan keragaman bidang urusan pemerintahan yang masing-masing bidang itu diatur dengan
peraturan tersendiri, macam dan jenis sanksi dalam rangka penegakanperaturan itu menjadi
beragam. Pada umumnya macam-macam dan jenis sanksi itu dicantumkan dan ditentukan secara
tegas dalam peraturan perundang-undangan bidang administrasi trtentu. Secara umum dikenal
beberapa macam sanksi dalam hukum administrasi yaitu:
a) Paksaan pemerintah (bestuursdwang)
b) Penariakan kembali keputusan yang menguntungkan (ijin, subsidi, pembayaran, dan sbagainya)
c) Pengenaan uang paksa oleh pemerintah (dwangsom)
d) Pengenaan denda administratif (administratieve boete).
Macam-macam sanksi tersebut tidak selalu dapat diterapkan secara keseluruhan pada suatu bidang
administrasi Negara tertentu. (Ridwan, HR. 2011:303)
BAB IX.
ASAS-ASAS UMUM PEMERINTAHAN YANG LAYAK (AAUPL)
Sejarah Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) di dunia.
a. Sejarah Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) di Belanda AUPB merupakan
terjemahan dari ‘Algemene Beginselen van Behoorlijk Bestuur’ (ABBB), sebuah istilah dalam
Bahasa Belanda.
b. Di Inggris, prinsip ini dikenal sebagai ‘The Principal of Natural Justice’ atau ‘The General
Principles of Good Administration’,
c. Sementara di Perancis diistilahkan sebagai ‘Les Principaux Generaux du Droit Coutumier
Publique’ dan di Belgia disebut sebagai ‘Algemene Rechtsbeginselen’,
d. di Jerman dinamakan ‘Allgemeine Grundsätze der Ordnungsgemäßen Verwaltung’.
e. Secara umum, menurut L.P. Suetens, AUPB diartikan sebagai Prinsip-prinsip Umum
Pemerintahan yang Baik (AUPB) yang pada dasarnya merupakan aturan hukum publik yang
wajib diikuti oleh pengadilan dalam menerapkan hukum positif. Prinsip-prinsip AUPB ini
merupakan kategori khusus dari prinsipprinsip hukum umum dan dianggap sebagai sumber
formal hukum dalam hukum administrasi, meskipun biasanya melibatkan hukum yang tidak
tertulis. Jadi, dalam menjalankan pemerintahannya, pejabat Tata Usaha Negara (TUN) wajib
berpedoman pada ABBB dalam menjalankan urusanurusannya di bidang administrasi negara.
f. Pemerintah Belanda merasa perlu menyusun pedoman bagi Pemerintah dalam menjalankan
kewenangannya, sehingga tidak terjadi benturan kepentingan antara Pemerintah dan rakyat.
Untuk itu, Pemerintah pernah membentuk komisi ahli yang diketuai oleh de Monchy (1946–
1950) dan yang diketuai oleh Van der Grinten (1949-1950). Pada tahun 1946, Komisi de
Monchy bertugas memikirkan dan meneliti beberapa alternatif tentang ‘verhoogde
rechtsbescherming’ atau peningkatan perlindungan hukum bagi rakyat dari tindakan
Administrasi Negara yang menyimpang. Pada tahun 1950, Komisi de Monchy melaporkan hasil
penelitiannya tentang ‘verhoogde rechtsbescherming’ dalam bentuk ‘algemene beginselen van
behoorlijk bestuur’ atau asas-asas umum pemerintahan yang baik. Hasil penelitian Komisi de
Monchy tidak seluruhnya disetujui oleh Pemerintah, atau ada beberapa hal yang menyebabkan
perbedaan pendapat antara Komisi de Monchy dengan Pemerintah yang menyebabkan
dibubarkannya Komisi ini oleh Pemerintah. Kemudian, Pemerintah membentuk Komisi Van
der Grinten yang tugasnya sama dengan Komisi de Monchy. Namun, Komisi kedua ini juga
mengalami nasib yang sama. Karena ada beberapa pendapat yang diperoleh dari hasil
penelitiannya tidak disetujui oleh Pemerintah, maka Komisi ini pun dibubarkan oleh Pemerintah
tanpa membuahkan hasil.
Sejarah perkembangan AUPB di Indonesia dapat dilihat dari perkembangan prinsip AUPB
dalam berbagai peraturan perundang-undangan, praktik penerapan AUPB dalam putusan
pengadilan atau yurisprudensi serta doktrin. Perkembangan AUPB dari prinsip yang tidak tertulis
bergeser menjadi norma hukum tertulis berlangsung cukup lambat. Sejak UU PTUN 1986, AUPB
tidak diatur secara eksplisit. Pasal 53 ayat (2) UU PTUN 1986 tidak secara eksplisit menyebut
AUPB sebagai dasar pengajuan gugatan Keputusan TUN. Pada saat pembentukan UU PTUN
1986, risalah UU menyatakan bahwa Fraksi ABRI sudah mengusulkan konsep AUPB. Namun
usulan itu ditolak oleh Menteri Kehakiman, Ismail Saleh, dengan alasan praktik ketatanegaraan
maupun dalam Hukum Tata Usaha Negara di Indonesia, belum mempunyai kriteria “algemene
beginselen van behoorlijk bestuur” (asas-asas umum pemerintahan yang baik), seperti halnya di
Belanda dan di negara-negara Eropa Kontinental.
Pengertian AAUPL dari beberapa pakar, Jazim Hamidi menyimpulkan unsur–unsur yang
membentuk pengertian AAUPL, sebagai berikut:
1. AAUPPL merupakan nilai-nilai etik yang hidup dan berkembang dalam lingkungan hukum
administrasi Negara;
2. AAUPPL berfungsi sebagai pegangan bagi Penjabat Administrasi Negara dalam menjalankan
fungsinya, merupakan alat uji bagi Hakim Administrasi dalam menilai tindakan Administrasi
Negara (yang berwujud penetapan/beschikking), dan sebagai dasar pengajuan gugatan bagi
pihak penggugat;
3. Sebagian besar AAUPPL masih merupakan asas–asas yang tidak tertulis, masih abstrak, dan
dapat digali dalam praktik kehidupan bermasyarakat;
4. Sebagian asas yang lain sudah menjadi kaidah hukum tertulis, dan terpencar dalam berbagai
peraturan hukum positif. Meskipun sebagian dari asas itu berubah menjadi kaidah hukum
tertulis, namun sifatnya tetap sebagai asas hukum.
Menurut Indroharto, AUPB sangat penting dalam kajian administrasi Negara, disebabkan:
1. AUPB merupakan bagian dari hukum positif yang berlaku;
2. AUPB merupakan norma bagi perbuatan-perbuatan administrasi Negara, di samping norma
hukum tertulis dan tidak tertulis;
3. AUPB dapat dijadikan alasan untuk mengajukan gugatan, dan akhirnya AUPB dapat dijadikan
“alat uji”, oleh Hakim untuk menilai sah tidaknya atau batal tidaknya keputusan Administrasi
Negara.
Selanjutnya Indroharto AUPB memberikan tiga aspek penemuan hukum, antara lain:
1. Pada bidang penafsiran dan penerapan dari ketentuan peraturan perundang-undangan;
2. Pada bidang pembentukan beleid pemerintah di mana organ pemerintah diberi kebebasan
kebijaksanaan oleh peraturan perundang-undangan atau tidak terdapat ketentuan-ketentuan
yang membatasi kebebasan kebijaksanaan yang akan dilakukan itu;
3. Pada waktu pelaksanaan kebijaksanaan.
Terkait dengan yang dikemukakan oleh Indroharto,
a. Sjachran Basah mengemukakan: “Walaupun Administrasi Negara memiliki keleluasaan dalam
menentukan kebijakan-kebijakan, tetapi sikap tindaknya itu haruslah dapat
dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan secara hukum harus
memperhatikan batas atas dan batas bawah, dengan memperhatikan UUD 1945 sebagai tolak
ukurnya.”
b. Sedangkan Philipus M. Hadjon menyatakan, belum ada daftar khusus yang menyebutkan
berapa jumlah asas dari AUPB tersebut secara definitif, karena asas-asas ini merupakan
“levende beginselen” yang berkembang menurut praktik khusus melalui putusan-putusan
lembaga Peradilan.
Istilah ‘asas’ dalam Asas Umum Pemerintahan yang Baik, atau AUPB, menurut pendapat Bachsan
Mustafa dimaksudkan sebagai:
a. ‘asas hukum’, yaitu suatu asas yang menjadi dasar suatu kaidah hukum. Asas hukum adalah
asas yang menjadi dasar pembentukan kaidah-kaidah hukum, termasuk juga kaidah hukum tata
pemerintahan. Kaidah atau norma adalah ketentuan-ketentuan tentang bagaimana seharusnya
manusia bertingkah laku dalam pergaulan hidupnya dengan manusia lainnya. Ketentuan tentang
tingkah laku dalam hubungan hukum dalam pembentukannya, sekaligus penerapannya,
didasarkan pada asas-asas hukum yang diberlakukan. Perlakuan asas hukum dalam lapangan
hukum tata pemerintahan sangat diperlukan, mengingat kekuasaan aparatur pemerintah
memiliki wewenang yang istimewa, lebih-lebih di dalam rangka penyelenggaraan kesejahteraan
dan kepentingan umum dalam fungsinya sebagai bestuurszorg.
b. Kata ‘umum’ berarti sesuatu yang bersifat menyeluruh dan mencakup hal-hal yang bersifat
mendasar dan diterima sebagai prinsip oleh masyarakat secara umum. Kata ‘pemerintahan’
disebut juga sebagai Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang dirumuskan dalam Pasal 1
angka 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, menyatakan Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan, berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penjelasan atas Pasal 1 angka 1 menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan urusan pemerintahan adalah kegiatan yang bersifat eksekutif.
Jika kita mendasarkan pada definisi Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara di atas, maka
apparat pemerintah dari tertinggi sampai dengan terendah mengemban 2 (dua) fungsi, yaitu:
1. Fungsi memerintah (bestuursfunctie) Kalau fungsi memerintah (bestuursfunctie) tidak
dilaksanakan, maka roda pemerintahan akan macet.
2. Fungsi pelayanan (vervolgens functie) Fungsi pelayanan adalah fungsi penunjang, kalau
tidak dilaksanakan maka akan sulit menyejahterakan masyarakat.
Dari rumusan pengertian para pakar tentang AUPB tersebut di atas, dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
a. AUPB merupakan norma hukum (tertulis) dan atau norma etik (tidak tertulis) yang khusus
berlaku di lingkungan administrasi negara;
b. AUPB merupakan asas yang penting karena menjadi pedoman bagi Pejabat TUN dalam
menjalankan kewenangannya;
c. AUPB sebagai prinsip-prinsip penting yang wajib diikuti oleh Hakim, berfungsi sebagai alat uji
bagi Hakim Administrasi untuk sah atau tidaknya KTUN;
d. AUPB sebagai dasar pengajuan gugatan bagi pihak penggugat;
e. AUPB yang bersifat tidak tertulis berlaku mengikat manakala dijadikan dasar bagi Hakim TUN
dalam memutus perkara;
f. AUPB salah satu fungsinya adalah sebagai arahan atau patokan bagi pelaksanaan wewenang
administrasi negara untuk memberikan dan menentukan batas-batas manakah yang harus
diperhatikan oleh suatu Pejabat TUN dalam bertindak;
g. AUPB sebagai alat uji bagi Hakim di Peradilan TUN untuk menilai sah atau tidaknya suatu
KTUN.
Pendapat Philipus ini didukung oleh pendapat Indroharto, yang memerinci dasar-dasar
pertimbangan untuk menguji Keputusan Administrasi Negara yang dapat digugat, dengan
berdasarkan pada 4 hal, yaitu:
1. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2. Melanggar larangan detournement de pouvoir;
3. Menyimpang dari nalar yang sehat (melanggar larangan willekeur);
4. Bertentangan dengan AUPB.
Sedangkan untuk menguji tindakan penyelenggaraan pemerintahan dari aspek formil, maka asas
yang dipakai adalah:
a. “asas keadilan”, “asas fair play”, “asas kecermatan”. Asas keadilan diartikan sama dengan
“asas keseimbangan”, asas fair play dan
b. “asas permainan yang layak”. Beberapa asas ini penting untuk menguji dari aspek formil dalam
penyelenggaraan pemerintahan.
c. Adil berarti adanya perlakukan yang seimbang, “equal”, “adanya perlakuan yang adil”, dan
tindakan yang dilakukan oleh penyelenggara negara adalah tindakan yang wajar yang
seharusnya dijalankan oleh penyelenggara pemerintahan dalam batas-batas yang normal.
Dari ketiga belas asas tersebut, jika dibandingkan dengan asas-asas yang sudah diakui di dalam
doktrin, terdapat enam asas baru, yaitu asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas
kemanfaatan, asas pelayanan yang baik, asas akuntabilitas, dan asas profesionalitas. Adapun 13
asas penting yang dianut oleh ketujuh undang–undang tersebut adalah sebagai berikut: 1. Asas
Kepastian Hukum; 2. Asas Kepentingan Umum (asas baru); 3. Asas Keterbukaan (asas baru); 4.
Asas Kemanfaatan (asas baru); 5. Asas Ketidakberpihakan / tidak diskriminatif; 6. Asas
Kecermatan; 7. Asas Tidak menyalahgunakan kewenangan; 8. Asas Pelayanan yang baik (asas
baru); 9. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara; 10.Asas Akuntabilitas (asas baru); 11.Asas
Proporsionalitas; 12.Asas Profesionalitas (asas baru); 13.Asas Keadilan.
Berdasarkan perbandingan prinsip AUPB menurut 7 (tujuh) undang-undang (UU) tentang asas
kepastian hukum hanya disebut di dalam 6 (enam) UU, yaitu, UU PTUN 2004, UU Anti KKN
1999, UU AP 2014, UU Pemda 2014, UU PB 2009, dan UU ASN 2014. Adapun penjelasannya
adalah sebagai berikut:
1. Asas kepastian hukum menurut UU PTUN 2004 mengacu kepada penjelasan asas kepastian
hukum menurut UU Anti KKN 1999.
2. Asas kepastian hukum menurut UU Anti KKN 1999 adalah “asas dalam negara hukum yang
mengutamakan landasan peraturan perundang– undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap
kebijakan Penyelenggara Negara”.
3. Asas kepastian hukum menurut UU AP 2014 adalah “asas dalam negara hukum yang
mengutamakan landasan ketentuan peraturan perundang– undangan, kepatutan, keajegan, dan
keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan pemerintahan”. Pengertian ini hampir sama
dengan yang ada dalam UU Anti KKN 1999, hanya saja ditambahkan kata “keajegan”.
4. Asas kepastian hukum menurut UU Pemda 2014 adalah “asas dalam negara hukum yang
mengutamakan landasan ketentuan peraturan perundang– undangan dan keadilan dalam setiap
kebijakan penyelenggara negara”. Pengertian ini sama persis dengan yang terdapat dalam UU
Anti KKN 1999.
5. Asas Kepastian hukum menurut UU Pelayanan Publik 2009 adalah “jaminan terwujudnya hak
dan kewajiban dalam penyelenggaraan pelayanan”. Pengertian asas kepastian hukum menurut
UU PB 2009, berbeda dengan keempat UU sebelumnya, yaitu kepastian hukum lebih
ditekankan pada terwujudnya hak dan kewajiban warga negara dalam penyelenggaraan
pelayanan publik.
6. Asas kepastian hukum menurut UU ASN 2014 adalah “dalam setiap penyelenggaraan kebijakan
dan Manajemen ASN, mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan
keadilan.
Berdasarkan perbandingan 7 UU, asas keterbukaan dianut oleh 6 UU yaitu: UU PTUN 2004, UU
Anti KKN 1999, UUAP 2014, UU Pemda 2014, UU PB 2009, UU Ombudsman 2008. Pengertian
asas keterbukaan menurut 6 UU tersebut adalah sebagai berikut:
1. Asas keterbukaan menurut penjelasan UU PTUN 2004 mengacu kepada UU Anti KKN 1999.
2. Asas keterbukaan menurut penjelasan UU Anti KKN 1999 adalah asas yang membuka diri
terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak
diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas
hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara.
3. Asas keterbukaan menurut UU AP 2014 adalah asas yang melayani masyarakat untuk
mendapatkan akses dan memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif dalam
penyelenggaraan pemerintahan dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi
pribadi, golongan, dan rahasia negara.
4. Asas keterbukaan menurut UU Pemda 2014 adalah asas yang membuka diri terhadap hak
masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang
penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi,
golongan, dan rahasia negara.
5. Asas keterbukaan menurut UU PB 2009 adalah setiap penerima pelayanan dapat dengan mudah
mengakses dan memperoleh informasi mengenai pelayanan yang diinginkan.
6. Asas keterbukaan menurut UU Ombudsman adalah ‘cukup jelas’.
Berdasarkan perbandingan 7 UU, hanya UU AP 2014 yang menganut asas kemanfaatan. Menurut
UU AP 2014 yang dimaksud asas kemanfaatan adalah manfaat yang harus diperhatikan secara
seimbang antara:
1. Kepentingan individu yang satu dengan kepentingan individu yang lain;
2. Kepentingan individu dengan masyarakat;
3. Kepentingan Warga Masyarakat dan masyarakat asing;
4. Kepentingan kelompok masyarakat yang satu dan kepentingan kelompok masyarakat yang lain;
5. Kepentingan pemerintah dengan Warga Masyarakat;
6. Kepentingan generasi yang sekarang dan kepentingan generasi mendatang;
7. Kepentingan manusia dan ekosistemnya; 8. Kepentingan pria dan wanita.
Berdasarkan perbandingan 7 UU, terlihat bahwa asas kecermatan hanya dianut oleh UU AP 2014.
Penjelasan asas kecermatan menurut UU AP 2014 adalah asas yang mengandung arti bahwa suatu
Keputusan dan/atau Tindakan harus didasarkan pada informasi dan dokumen yang lengkap untuk
mendukung legalitas penetapan dan/ atau pelaksanaan Keputusan dan/atau Tindakan, sehingga
Keputusan dan/ atau Tindakan yang bersangkutan dipersiapkan dengan cermat, sebelum
Keputusan dan/atau Tindakan tersebut ditetapkan dan/atau dilakukan. Unsur-unsur yang terdapat
di dalam asas kecermatan berdasarkan UU AP 2014 adalah sebagai berikut:
1. Keputusan dan/atau Tindakan;
2. Didasarkan pada dokumen yang lengkap;
3. Cermat sebelum Keputusan dan/atau Tindakan tersebut ditetapkan dan/ atau dilakukan.
Pasal 18 UU AP 2014 juga mengelaborasi salah satu indikator asas penyalahgunaan wewenang
yaitu; “melampaui wewenang”. Kapan suatu Badan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan
melampaui wewenang, maka menurut ketentuan Pasal 18 ayat (1) UU AP 2014, yang dimaksud
melampaui wewenang yaitu apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan:
a. melampaui masa jabatan atau batas waktu berlakunya Wewenang;
b. melampaui batas wilayah berlakunya Wewenang; dan/atau
c. bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kemudian Pasal 18 ayat (2) UU AP 2014 menyebutkan bahwa suatu Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan dikategorikan mencampuradukkan Wewenang apabila Keputusan dan/atau
Tindakan yang dilakukan:
a. di luar cakupan bidang atau materi Wewenang yang diberikan; dan/atau
b. bertentangan dengan tujuan Wewenang yang diberikan.
Selanjutnya Pasal 18 ayat (3) UU AP 2014 menyebutkan; Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
dikategorikan bertindak sewenang-wenang apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan:
a. tanpa dasar Kewenangan; dan/atau
b. bertentangan dengan Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Menurut Prof. Jean Rivero dan Prof. Waline, pengertian penyalahgunaan kewenangan dalam
Hukum Administrasi dapat diartikan dalam 3 wujud, yaitu:
a. Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan
kepentingan umum atau untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan;
b. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar ditujukan
untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan
oleh Undang-Undang atau peraturan-peraturan lain;
c. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang seharusnya
dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar
terlaksana;
Berdasarkan perbandingan 7 UU, ditemukan bahwa asas pelayanan yang baik hanya dianut oleh
UU AP 2014, dengan penjelasan: asas yang memberikan pelayanan yang tepat waktu, prosedur
dan biaya yang jelas, sesuai dengan standar pelayanan, dan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Unsur-unsur yang terdapat dalam penjelasan asas pelayanan yang baik tersebut:
1. Memberikan pelayanan yang tepat waktu, prosedur dan biaya yang jelas;
2. Sesuai dengan standar pelayanan;
3. Ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan perbandingan 7 UU, asas Tertib Penyelenggaraan Negara hanya dianut oleh 3 UU,
yaitu, UU PTUN 2004, UU Anti KKN 1999, dan UU Pemda 2014. Adapun penjelasan asas tertib
penyelenggaraan Negara menurut ketiga UU tersebut:
1. Asas tertib penyelenggaraan negara menurut UU PTUN 2004 mengacu kepada penjelasan asas
tertib penyelenggaraan negara menurut UU Anti KKN 1999.
2. Asas tertib penyelenggaraan negara menurut UU Anti KKN 1999 adalah asas yang menjadi
landasan keteraturan, keselarasan, dan keseimbangan dalam pengendalian Penyelenggara
Negara. 3. Asas tertib penyelenggaraan negara menurut UU Pemda 2014 adalah asas yang
menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian
penyelenggara negara.
Berdasarkan perbandingan 7 UU, asas akuntabilitas dianut oleh 6 UU, yaitu, UU PTUN 2004, UU
Anti KKN 1999, UU Pemda 2014, UU PB 2009, UU ASN 2014, UU Ombudsman 2008. Adapun
yang dimaksud asas akuntabilitas menurut 6 UU tersebut:
1. Asas akuntabilitas menurut UU PTUN 2004 mengacu kepada penjelasan asas akuntabilitas
menurut UU Anti KKN 1999.
2. Asas akuntabilitas menurut penjelasan UU Anti KKN 1999 adalah asas yang menentukan bahwa
setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi
negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Asas akuntabilitas menurut UU Pemda 2014 adalah asas yang menentukan bahwa setiap
kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi
negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4. Asas akuntabilitas menurut UU PB 2009 adalah: Proses penyelenggaraan pelayanan harus dapat
dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
5. Asas akuntabilitas menurut UU ASN 2014 adalah bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari
kegiatan Pegawai ASN harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
6. Asas akuntabilitas menurut UU Ombudsman 2008 adalah ‘cukup jelas’.
Berdasarkan penjelasan tersebut, unsur–unsur yang terkandung dalam asas akuntabilitas menurut
UU PTUN 2004, UU Anti KKN 1999, UU Pemda 2014 dapat dirangkum sebagai berikut:
1. Kegiatan Penyelenggara Negara;
2. Harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat;
3. Sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan perbandingan 7 UU, asas proporsionalitas dianut oleh 4 UU, yaitu, UU PTUN 2004,
UU Anti KKN 1999, UU Pemda 2014, UU ASN 2014.
1. Asas proporsionalitas menurut UU PTUN 2004 adalah mengacu kepada penjelasan asas
proporsionalitas menurut UU Anti KKN 1999.
2. Asas proporsionalitas menurut UU Anti KKN 1999 adalah asas yang mengutamakan
keseimbangan antara hak dan kewajiban Penyelenggara Negara.
3. Asas proporsionalitas menurut UU Pemda 2014 adalah asas yang mengutamakan keseimbangan
antara hak dan kewajiban penyelenggara negara.
4. Asas proporsionalitas menurut UU ASN 2014 adalah mengutamakan keseimbangan antara hak
dan kewajiban Pegawai ASN.
Unsur-unsur yang terdapat dalam asas proporsionalitas menurut UU PTUN 2004, UU Anti KKN
1999, dan UU Pemda 2014:
1. Keseimbangan antara hak dan kewajiban;
2. Penyelenggara Negara.
Sedangkan unsur–unsur yang terdapat dalam asas proporsionalitas menurut UU ASN 2014:
1. Keseimbangan antara hak dan kewajiban;
2. Pegawai ASN.
Berdasarkan perbandingan 7 UU, asas profesionalitas dianut oleh 5 UU yaitu: UU PTUN 2014,
UU Anti KKN 1999, UU Pemda 2014, UU PB 2009, UU ASN 2014.
1. Asas profesionalitas menurut UU PTUN 2004 mengacu kepada penjelasan asas profesionalitas
menurut UU Anti KKN 1999.
2. Asas profesionalitas menurut UU Anti KKN 1999 adalah asas yang mengutamakan keahlian
yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Asas profesionalitas menurut UU Pemda 2014 adalah asas yang mengutamakan keahlian yang
berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4. Asas profesionalitas menurut UU PB 2009 adalah bahwa pelaksana pelayanan harus memiliki
kompetensi yang sesuai dengan bidang tugas.
5. Asas profesionalitas menurut UU ASN 2014 adalah mengutamakan keahlian yang berlandaskan
kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan pengertian tersebut dapat diuraikan unsur-unsur yang termuat dalam asas
profesionalitas menurut UU PTUN 2004, UU Anti KKN 1999, UU Pemda 2014, UU ASN 2014
adalah sebagai berikut:
1. Mengutamakan keahlian/kompetensi;
2. Berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang–undangan/ sesuai bidang tugas.
Kemudian, unsur-unsur yang termuat dalam asas profesionalitas menurut UU PB 2009 adalah
sebagai berikut:
1. Pelaksana pelayanan;
2. Memiliki kompetensi yang sesuai dengan bidang tugas.
Berdasarkan perbandingan ketujuh UU, hanya UU Pemda 2014, UU ASN 2014, dan UU
Ombudsman 2008 yang menganut asas keadilan. Penjelasan mengenai asas keadilan menurut 3
UU tersebut:
1. Asas keadilan menurut UU Pemda 2014 adalah bahwa setiap tindakan dalam penyelenggaraan
negara harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara.
2.Asas keadilan dan kesetaraan menurut UU ASN 2014 adalah bahwa pengaturan
penyelenggaraan ASN harus mencerminkan rasa keadilan dan kesamaan untuk memperoleh
kesempatan akan fungsi dan peran sebagai Pegawai ASN.
3. Asas keadilan menurut UU Ombudsman adalah ‘cukup jelas’. Berdasarkan penjelasan tersebut,
unsur-unsur yang terdapat dalam asas keadilan menurut UU Pemda 2014 adalah:
1. Setiap tindakan dalam penyelenggaraan negara;
2. Mencerminkan keadilan secara proporsional;
3. Bagi setiap warga negara.
Sedangkan unsur-unsur asas keadilan menurut UU ASN 2014 adalah:
1. Penyelenggaraan ASN;
2. Mencerminkan rasa keadilan dan kesamaan;
3. Untuk memperoleh kesempatan akan fungsi dan peran sebagai Pegawai ASN.
Berdasarkan telaah atas 7 (tujuh) UU, doktrin hukum, dan yurisprudensi perkara TUN, dapat
disimpulkan:
1. Kedudukan AUPB sebagai norma hukum positif telah menempatkan AUPB sebagai asas yang
mengikat kuat.
2. AUPB sebagian besar telah menjadi norma hukum tertulis dan sebagian lainnya merupakan
prinsip yang tidak tertulis.
3. AUPB telah memiliki kedudukan sebagai dasar atau alasan bagi Penggugat untuk mendalilkan
gugatan dalam perkara TUN di pengadilan.
4. AUPB merupakan alat uji bagi hakim TUN untuk menguji keabsahan atau pembatalan sebuah
Keputusan TUN, sehingga, konsekuensinya, pelanggaran terhadap AUPB dapat disebutkan
secara tegas oleh Hakim dalam amar putusan.
5. AUPB dapat dijadikan dasar bagi Hakim dalam memaknai kekaburan Hukum di bidang Hukum
Administrasi Negara, asalkan didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang tepat dan
akurat, dengan indikator-indikator yang jelas, serta didukung oleh fakta-fakta hukum yang
terungkap di persidangan.
Dalam UU RI No. 28 Tahun 1999 sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3, asas-asas umum
penyelenggaraan negara meliputi:
1. Asas Kepastian Hukum - Yang dimaksud dengan "Asas Kepastian Hukum" adalah asas dalam
negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan
keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara.
2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara - Yang dimaksud dengan "Asas Tertib Penyelenggaraan
Negara" adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keseraslan, dan keseimbangan dalam
pengendalian Penyelenqgara Negara.
3. Asas Kepentingan Umum - Yang dimaksud dengan "Asas Kepentingan Umurn" adalah asas
yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif.
4. Asas Keterbukaan - Yang dimaksud dengan "Asas Keterbukaan" adalah asas yang membuka
diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak
diskrirninatif tentang penyeienggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas
hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara.
5. Asas Proporsionalitas - Yang dimaksud dengan "Asas Proporsionalitas" adalah asas yang
mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban Penyelenggara Negara.
6. Asas Profesionalitas - Yang dimaksud dengan "Asas Profesionalitas" adalah asas yang
mengutamakan keahlian yang beriandaskan kode etik dan ketentuan peraturan
perundangundangan yang berlaku. dan
7. Asas Akuntabilitas - Yang dimaksud dengan "Asas Akuntabilitas" adalah asas yang menentukan
bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi
negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Sedangkan dalam UU RI No. 30 Tahun 2014 sebagaimana disebutkan dalam Pasal 10 ayat
(1), yang termasuk dalam Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) adalah:
a. Kepastian hokum Yang dimaksud dengan „asas kepastian‟ hukum adalah asas dalam negara
hukum yang mengutamakan landasan ketentuan peraturan perundang-undangan, kepatutan,
keajegan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan pemerintahan.
b. Kemanfaatan Yang dimaksud dengan „asas kemanfaatan‟ adalah manfaat yang harus
diperhatikan secara seimbang antara:
1. Kepentingan individu yang satu dengan kepentingan individu yang lain
2. Kepentingan individu dengan masyarakat
3. Kepentingan warga masyarakat dan masyarakat asing
4. Kepentingan kelompok masyarakat yang satu dengan kepentingan kelompok masyarakat yang
lain
5. Kepentingan pemerintah dengan warga masyarakat
6. Kepentingan generasi yang sekarang dan kepentingan generasi mendatang
7. Kepentingan manusia dan ekosistemnya
8. Kepentingan pria dan wanita
c. Ketidakberpihakan Yang dimaksud dengan „asas ketidakberpihakan‟ adalah asas yang
mewajibkan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam menetapkan dan/atau melakukan
Keputusan dan/atau Tindakan dengan mempertimbangkan kepentingan para pihak secara
keseluruhan dan tidak diskriminatif.
d. Kecermatan Yang dimaksud dengan „asas kecermatan‟ adalah asas yang mengandung arti
bahwa suatu Keputusan dan/atau Tindakan harus didasarkan pada informasi dan dokumen yang
lengkap untuk mendukung legalitas penetapan dan/atau pelaksanaan Keputusan dan/atau
Tindakan sehingga Keputusan dan/atau Tindakan yang bersangkutan dipersiapkan dengan
cermat sebelum Keputusan dan/atau Tindakan tersebut ditetapkan dan/atau dilakukan.
e. Tidak menyalahgunakan kewenangan Yang dimaksud dengan „asas tidak menyalahgunakan
kewenangan‟ adalah asas yang mewajibkan setiap Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak
menggunakan kewenangannya untuk kepentingan pribadi atau kepentingan yang lain dan tidak
sesuai dengan tujuan pemberian kewenangan tersebut, tidak melampaui, tidak
menyalahgunakan, dan/atau tidak mencampuradukkan kewenangan.
f. Keterbukaan Yang dimaksud dengan „asas keterbukaan‟ adalah asas yang melayani masyarakat
untuk mendapatkan akses dan memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif
dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi
pribadi, golongan dan rahasia negara.
g. Kepentingan umum Yang dimaksud dengan „asas kepentingan umum‟ adalah asas yang
mendahulukan kesejahteraan dan kemanfaatan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif,
selektif dan tidak diskriminatif.
h. Pelayanan yang baik Yang dimaksud dengan „asas pelayanan yang baik‟ adalah asas yang
memberikan pelayanan yang tepat waktu, prosedur dan biaya yang jelas, sesuai dengan standar
pelayanan dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB X.
PELAYANAN PUBLIK OLEH PEMERINTAH
Pelayanan Publik Oleh Pemerintah.
Dasar Menimbang Undang Undang Nomoor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
merumuskan:
a. bahwa negara berkewajiban melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak
dan kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik yang merupakan amanat Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa membangun kepercayaan masyarakat atas pelayanan publik yang dilakukan
penyelenggara pelayanan publik merupakan kegiatan yang harus dilakukan seiring dengan
harapan dan tuntutan seluruh warga negara dan penduduk tentang peningkatan pelayanan publik;
c. bahwa sebagai upaya untuk mempertegas hak dan kewajiban setiap warga negara dan penduduk
serta terwujudnya tanggung jawab negara dan korporasi dalam penyelenggaraan pelayanan
publik, diperlukan norma hukum yang memberi pengaturan secara jelas;
d. bahwa sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas dan menjamin penyediaan pelayanan publik
sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik serta untuk memberi
perlindungan bagi setiap warga negara dan penduduk dari penyalahgunaan wewenang di dalam
penyelenggaraan pelayanan publik, diperlukan pengaturan hukum yang mendukungnya.
Banyak pakar organisasi dan manajemen memberikan batasan yang berbeda-beda tentang definisi
Pelayanan Publik.
a. Kata dasar "Pelayanan" menurut Pasalong (2010:128), didefinisikan sebagai aktivitas
seseorang, sekelompok dan/atau organisasi baik secara langsung maupun tidak langsung untuk
memenuhi kebutuhan.
b. Sedangkan definisi "Pelayanan Publik" menurut Mahmudi (2010:223), adalah segala kegiatan
pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan
kebutuhan publik dan pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.
c. Definisi lain Pelayanan publik menurut Harbani Pasolong (2007:128) adalah setiap kegiatan
yang dilakukan oleh pemerintah terhadap sejumlah manusia yang memiliki setiap kegiatan yang
menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun
hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik.
d. Sementara Sinambela dalam buku "Reformasi Pelayanan Publik" (2014:5) menyatakan bahwa
"Pelayanan publik adalah pemenuhan keinginan dan kebutuhan masyarakat oleh penyelenggara
negara. Negara didirikan oleh publik (masyarakat) tentu saja dengan tujuan agar dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pada hakikatnya negara dalam hal ini pemerintah
(birokrat) haruslah dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Kebutuhan dalam hal ini bukanlah
kebutuhan secara individual akan tetapi berbagai kebutuhan yang sesungguhnya diharapkan
oleh masyarakat, misalnya kebutuhan akan kesehatan, pendidikan dan lain-lain."
e. Sementara pakar luar negeri seperti Roth (1926: 1) mendefenisikan sebagai layanan yang
tersedia untuk masyarakat baik secara umum (seperti museum) atau secara khusus (seperti di
restoran makanan). Sedangkan Lewis & Gilman (2005:22) mendefinisikan pelayanan publik
adalah kepercayaan publik. Warga negara berharap pelayanan publik dapat melayani dengan
kejujuran dan pengelolaan sumber penghasilan secara tepat dan dapat dipertanggungjawabkan
kepada publik. Pelayanan publik yang adil dan dapat dipertanggungjawabkan menghasilkan
kepercayaan publik. Dibutuhkan etika pelayanan publik sebagai pilar dan kepercayaan publik
sebagai dasar untuk mewujudkan pemerintah yang baik.
f. Sementara definisi menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang,
jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.
Kata "barang, jasa dan pelayanan administratif" dalam bagian penjelasan dianggap sudah jelas,
tetapi sebenarnya maksud "barang" bukanlah barang yang bisa diperdagangkan oleh manusia
sehari-hari tetapi yang dimaksud adalah barang publik (public goods) yang penyediannya
dilakukan oleh pemerintah.
Pelaksanaan pelayanan publik di Indonesia diawasi oleh sebuah lembaga independen yang
terbebas dari wilayah eksekutif bernama Ombudsman Republik Indonesia. Kewenangan
Ombudsman dalam mengawasi pelaksanaan pelayanan publik sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 1 Undang-Undang No. 37 Tahun 2008 bahwa Ombudsman adalah lembaga negara yang
mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik yang
diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan
oleh BUMN, BUMD dan BHMN serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas
menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari
APBN dan/atau APBD.
Mukarom dan Laksana (2018:85) menyatakan bahwa 17 standar pelayanan publik yang
dapat ditetapkan oleh pihak penyelenggara adalah sebagai berikut:
1 Prosedur pelayanan - Prosedur pelayanan merupakan hal yang dibakukan bagi pemberi dan
penerima pelayanan termasuk pengaduan masyarakat.
2 Waktu penyelesaian - Waktu penyelesaian merupakan hal yang telah ditetapkan sejak saat
pengajuan permohonan sampai dengan peenyelessaian pelayanan, termasuk pengaduan
masyarakat.
3 Biaya pelayanan - Biaya pelayanan adalah hal termasuk dalam rincian yang telah ditetapkan
dalam proses pemberian pelayanan.
4 Produk pelayanan - Produk pelayanan merupakan hasil pelayanan yang diterima oleh masyarakat
sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh pihak pemerintah.
5 Sarana dan Prasarana - Sarana dan prasarana merupakan penyediaan sarana dan prasarana
pelayanan yang memadai oleh penyelenggara pelayanan publik.
6 Kompetensi petugas pemberi pelayanan - Kompetensi petugas pemberi pelayanan harus
ditetapkan dengan tepat berdasarkan pengetahuan, keahlian, keterampilan, sikap, dan perilaku
yang diperlukan masyarakat.
Pelaksana dalam menyelenggarakan pelayanan publik harus berperilaku sebagai berikut:
a. adil dan tidak diskriminatif;
b. cermat; c. santun dan ramah;
d. tegas, andal, dan tidak memberikan putusan yang berlarut-larut;
e. profesional;
f. tidak mempersulit;
g. patuh pada perintah atasan yang sah dan wajar;
h. menjunjung tinggi nilai-nilai akuntabilitas dan integritas institusi penyelenggara;
i. tidak membocorkan informasi atau dokumen yang wajib dirahasiakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan;
j. terbuka dan mengambil langkah yang tepat untuk menghindari benturan kepentingan;
k. tidak menyalahgunakan sarana dan prasarana serta fasilitas pelayanan publik;
l. tidak memberikan informasi yang salah atau menyesatkan dalam menanggapi permintaan
informasi serta proaktif dalam memenuhi kepentingan masyarakat;
m. tidak menyalahgunakan informasi, jabatan, dan/atau kewenangan yang dimiliki;
n. sesuai dengan kepantasan; dan o. tidak menyimpang dari prosedur.
BAB XI.
PENYELENGGARAAN ADMINSTRASI PEMERINTAHAN
PEGAWAI DAN KEUANGAN NEGARA
ASN adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja
yang bekerja pada instansi pemerintah. ASN terdiri dari dua kategori yaitu PNS dan PPPK.
Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS adalah warga negara Indonesia yang
memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai ASN secara tetap oleh pejabat pembina
kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan.
Sedangkan, Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja yang selanjutnya disingkat PPPK adalah
warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, yang diangkat berdasarkan perjanjian
kerja untuk jangka waktu tertentu dalam rangka melaksanakan tugas pemerintahan.
PNS dan PPPK juga memiliki hak sebagai aparatur sipil negara. PPPK sebagaimana dimaksud,
diberikan gaji dan tunjangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Selain itu, dalam rangka pengembangan kompetensi untuk
mendukung pelaksanaan tugas, PPPK dan PNS diberikan kesempatan untuk pengetahuan sesuai
dengan perencanaan pengembangan kompetensi pada Instansi Pemerintah.
Tidak hanya itu, ASN juga memiliki kewajiban yang harus dijalani oleh PNS maupun PPPK.
Kewajiban itu adalah:
a. Setia dan taat kepada Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan pemerintah
b. Menjaga persatuan dan kesatuan bangsa
c. Melaksanakan kebijakan yang dirumuskan pejabat pemerintah
d. Menaati ketentuan peraturan perundang-undangan
e. Melaksanakan tugas kedinasan
f. Menunjukkan integritas dan keteladanan sikap, perilaku, dan tindakan
g. Bersedia ditempatkan di seluruh wilayah NKRI
Secara umum, ada beberapa sistem pengangkatan pegawai, yaitu sebagai berikut:
a. Spoils system Pada sistem ini, pengangkatan pegawai didasarkan pada keanggotaan partai.
Pejabat yang berwenang mengangkat pegawai yang berasal dari partainya untuk mengisi
jabatan-jabatan penting dalam suatu organisasi. Sistem ini merupakan sistem yang tertua dan
banyak negara yang tidak menggunakannya. Karena dalam sistem ini, pengangkatan pegawai
kurang memperhatikan faktor kompetesi yang menjadi hal penting bagi tercapainya efisiensi
dan efektivitas dalam pekerjaan.
b. Nepotism system Sistem ini merupakan sistem pengangkatan pegawai didasarkan hubungan
keluarga, saudara, teman dekat. Sama dengan spoils system, pengangkatan pegawai tidak
didasarkan pada kompetensi pegawai sehingga mutu kerja tidak sesuai dengan seharusnya.
Karena adanya hubungan kedekatan antara pimpinan dan pegawai. Pada akhirnya pimpinan
sungkan untuk memberikan sanksi kepada pegawai yang melanggar karena adanya hubungan
keluarga. Patronage system Dalam sistem ini, pengangkatan pegawai didasarkan pada
keinginan untuk membantu pegawai tersebut, misalnya karena adanya hubungan politik atau
hubungan keluarga. Pada hakikatnya, sistem ini tidak jauh berbeda dengan spoils system
ataupun nepotism system.
c. Merit system Sistem ini merupakan pengangkatan pegawai didasarkan pada
kecakapan/kompetensi pegawai. Dalam sistem ini, terdapat anggapan bahwa negara dapat maju
apabila pegawai-pegawainya adalah orang yang memiliki kecakapan/kompetensi. Akan tetapi,
pegawainya juga perlu diberikan pelatihan agar produktivitas pekerjaan dapat meningkat dan
efisiensi pekerjaan tercapai.
d. Career system Dalam sistem ini, pengangkatan pegawai didasarkan pada kecakapan/kompetensi
pegawai. Akan tetapi, dalam pengembangan pegawai dan untuk mengisi jabatan tertentu,
beberapa perhitungan seperti masa kerja pegawai, kesetiaan, dan syarat-syarat objektif lainnya
turut di perhitungkan.
Keuangan Negara.
Pengertian.
Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta
segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan
milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
BAB XII.
PEMBINAAN, PENGEMBANGAN DAN PENGAWASAN ADMINSTRASI
PEMERINTAHAN
Pembinaan dan Pengawasan Adminstrasi Negara.
a. Pembinaan adalah usaha, tindakan, dan kegiatan yang dilakukan secara berdaya guna dan
berhasil guna untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Sementara pengawasan adalah suatu
bentuk pemeriksaan atau pengontrolan atas suatu kegiatan untuk mengetahui dan menilai
pelaksanaan kegiatan tersebut.
b. Pengertian Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Pembinaan dan
Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah didefinisikan dalam Pasal 1 angka 1 dan 2
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2017 Tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah sebagai berikut:
1) Pembinaan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah adalah usaha, tindakan, dan kegiatan
yang ditujukan untuk mewujudkan tercapainya tujuan penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2) Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah adalah usaha, tindakan, dan kegiatan
yang ditujukan untuk menjamin penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berjalan secara
efisien dan efektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kata pembinaan dapat mempunyai tiga arti sebagai berikut :
1. Proses, perbuatan cara membina (misal : negara, dsb.);
2. Pembaharuan, penyempurnaan;
3. Usaha, tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara berdaya guna dan hasil guna untuk
memperoleh hasil yang baik.
Pengertian Pengawasan
Kata “Pengawasan” berasal dari kata “awas” berarti “penjagaan”. Istilah pengawasan dikenal
dalam ilmu manajemen dengan ilmu administrasi, yaitu sebagai salah satu unsur dalam kegiatan
pengelolaan.
Pengawasan dalam administrasi negara dimaksudkan untuk mengetahui apakah tujuan negara itu
tercapai atau tidak. Leonad D. White menyebutkan bahwa maksud pengawasan itu adalah:
1. Untuk menjamin bahwa kekuasaan itu digunakan untuk tujuan yang diperintah dan mendapat
dukungan serta persetujuan dari rakyat.
2. Untuk memproteksi hak-hak asasi manusia (human rights, mensenrechten, droit de l'home) yang
telah dijamin undang-undang dari pada tindakan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).
Jika membahas tentang pengawasan maka tidak terlepas dari apa yang diawasi dan siapa yang
menjadi pengawas dari objek pengawasan tersebut. Objek pengawasan ini banyak macamnya,
tergantung dari program atau kegiatan yang dilaksanakan. Secara garis besar objek pengawasan
dapat dikelompokkan menjadi 4, yakni:
a) Kuantitas dan kualitas program, yakni barang atau jasa yang dihasilkan oleh kegiatan atau
program tersebut.
b) Biaya program, dengan menggunakan 3 macam standar, yakni modal yang dipakai, pendapatan
yang diperoleh, dan harga program.
c) Pelaksanaan program, yaitu pengawasan terhadap waktu pelaksanaan, tempat pelaksanaan, dan
proses pelaksanaan, apakah sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam perencanaan.
d) Hal-ihwal yang bersifat khusus, yaitu pengawasan yang ditujukan kepada hal-hal khusus yang
ditetapkan oleh pimpinan atau manajer.
Sebelum merujuk lebih dalam mengenai pengawasan, berikut pandangan dari beberapa
para ahli mengenai pengertian pengawasan. diantaranya:
1. Sujamto (1986, 19) mengungkapkan bahwa pengawasan sejatinya adalah Segala usaha
atau kegiatan untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya mengenai
pelaksanaan tugas atau kegiatan, apakah sesuai dengan yang semestinya atau tidak.
2. Siagian (1990, 107) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pengawasan adalah
proses pengamatan daripada pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar
supaya semua pekerjaan yang sedang dilakukan berjalan sesuai dengan rencana yang telah
ditentukan sebelumnya.
3. Sarwoto (1991, 93) memberikan definisi tentang pengawasan adalah kegiatan manajer
yang mengusahakan agar pekerjaan-pekerjaan terlaksana sesuai dengan rencana yang
ditetapkan dan atau hasil yang dikehendaki”.
4. Soekarno K (dalam Situmorang & Juhir, 1994, 20) memberikan pengertian tentang
pengawasan merupakan suatu proses yang menentukan tentang apa yang harus dikerjakan,
agar apa yang harus dikerjakan, agar apa yang diselenggarakan sesuai dengan rencana.
5. Terry (dalam Salihendo, 1994, 25) menyatakan pengawasan adalah mendeterminasi apa
yang dilaksanakan, maksudnya mengevaluasi prestasi kerja dan apabila perlu, menerapkan
tindakan-tindakan korektif sehingga hasil pekerjaan sesuai dengan rencana-rencana. Jadi
pengawasan dapat dianggap sebagai aktivitas untuk menemukan dan mengoreksi
penyimpangan-penyimpangan penting dalam hasil yang dicapai dari aktivitas-aktivitas
yang direncanakan.
6. Kertonegoro (1998, 163) menyatakan pengawasan itu adalah proses melalui manajer
berusaha memperoleh kayakinan bahwa kegiatan yang dilakukan sesuai dengan
perencanaannya.
7. Robbin (dalam Sugandha, 1999, 150) menyatakan pengawasan itu merupakan suatu proses
aktivitas yang sangat mendasar, sehingga membutuhkan seorang manajer untuk
menjalankan tugas dan pekerjaan organisasi.
8. Dale (dalam Winardi, 2000, 224) juga menyampaikan bahwa pengawasan tidak hanya
melihat sesuatu dengan seksama dan melaporkan hasil kegiatan mengawasi, tetapi juga
mengandung arti memperbaiki dan meluruskannya sehingga mencapai tujuan yang sesuai
dengan apa yang direncanakan.
9. Admosudirdjo (dalam Febriani, 2005, 11) mengatakan bahwa pada pokoknya pengawasan
adalah keseluruhan daripada kegiatan yang mengkomparasikan atau mengukur apa yang
sedang atau sudah dilaksanakan dengan kriteria, norma-norma, standar atau rencana-
rencana yang telah ditetapkan sebelumnya.
10. Muchsan (2007, 38) menandaskan bahwasanya pengawasan merupakan kegiatan untuk
menilai suatu pelaksanaan tugas secara de facto, sedangkan tujuan pengawasan hanya
terbatas pada pencocokkan apakah kegiatan yang dilaksanakan telah sesuai dengan tolok
ukur yang telah ditetapkan sebelumnya (dalam hal ini berwujud suatu rencana/plan).
11. Manullang (2012, 179) menyebutkan bahwa pengawasan adalah suatu proses untuk
menetapkan suatu pekerjaan apa yang sudah dilaksanakan, menilainya dan mengoreksi bila
perlu dengan maksud supaya pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan rencana semula.
Unsur-Unsur Pengawasan
Adapun untuk tindakan pengawasan tersebut, maka setidak-tidaknya diperlukan unsur-unsur
sebagai berikut:
1. Adanya kewenangan yang jelas, yang dimiliki oleh aparat pengawas.
2. Adanya suatu rencana yang mantap sebagai alat penguji terhadap pelaksaanaan suatu tugas yang
akan diawasi.
3. Tindakan pengawasan dapat dilakukan terhadap suatu proses kegiatan yang sedang berjalan
maupun terhadap hasil yang dicapai dari kegiatan tersebut.
4. Tindakan pengawasan berakhir dengan disusunnya evaluasi akhir terhadap kegiatan yang
dilaksanakan serta pencocokan hasil yang dicapai dengan rencana sebagai tolok ukurnya.
5. Untuk selanjutnya tindakan pengawasan akan diteruskan dengan tindak lanjut baik secara
administratif maupun secara yuridis.
Fungsi-Fungsi Pengawasan
Adapun untuk fungsi-fungsi pengawasan (Ernie & Saefullah, 2005,12) antara lain:
1. Mengevaluasi keberhasilan dan pencapaian serta target sesuai dengan indikator yang
ditetapkan.
2. Mengambil langkah klarifikasi dan koreksi atas penyimpangan yang mungkin ditemukan.
3. Melakukan berbagai alternatif solusi atas berbagai masalah yang terkait dengan
pencapaian perusahaan.
Sedangkan menurut Maringan(2004, 62), fungsi-fungsi pengawasan adalah:
1. Mempertebal rasa tanggung jawah terhadap pejabat yang diberi tugas dan wewenang dalam
menjalankan pekerjaan.
2. Mendidik para pejabat supaya mereka menjalankan pekerjaan sesuai dengan prosedur yang
sudah ditentukan.
3. Untuk mencegah terjadinya penyimpangan, penyelewengan, kelalaian dan kelemahan
supaya tidak terjadi kerugian yang tidak diinginkan.
4. Untuk memperbaiki kesalahan dan penyelewengan, agar pelaksanaan pekerjaan tidak
mengalami hambatan dan pemborosan-pemborosan.
Macam-Macam atau Bentuk Pengawasan
Tentang hal bentuk-bentuk pengawasan itu sendiri ada 4 macam, yakni:
1. Pengawasan Intern dan Ekstern - Pengawasan intern adalah pengawasan yang dilakukan oleh
orang atau badan yang ada di dalam lingkungan unit organisasi yang bersangkutan.”
Pengawasan dalam bentuk ini dapat dilakukan dengan cara pengawasan atasan langsung atau
pengawasan melekat (built in control) maupun pengawasan yang dilakukan secara rutin oleh
inspektorat jenderal pada setiap kementerian dan inspektorat wilayah untuk setiap daerah yang
ada di Indonesia, dengan menempatkannya di bawah pengawasan Kementerian Dalam Negeri.
Pengawasan ekstern adalah pemeriksaan yang dilakukan oleh unit pengawasan yang berada di
luar unit organisasi yang diawasi. Dalam hal ini di Indonesia adalah Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK), yang merupakan lembaga tinggi negara yang terlepas dari pengaruh kekuasaan
manapun. Dalam menjalankan tugasnya, BPK tidak mengabaikan hasil laporan pemeriksaan
aparat pengawasan intern pemerintah, sehingga sudah sepantasnya di antara keduanya perlu
terwujud harmonisasi dalam proses pengawasan keuangan negara. Proses harmonisasi demikian
tidak mengurangi independensi BPK untuk tidak memihak dan menilai secara obyektif aktivitas
pemerintah. Selain itu, pengawasan eksternal dilakukan dari luar tubuh pemerintah itu sendiri
seperti dari ormas, organisasi kemahasiswaan serta masyarakat secara luas. Sehingga dengan
pengawasan yang dilakukan pemerintah dapat berbenah diri dengan kritikan, masukan serta
pengawasan yang diberikan tersebut yang pada akhirnya pemerintah diharapkan mampu
menjalankan tugas serta tanggung jawabnya dengan baik.
2. Pengawasan Preventif dan Represif - Pengawasan preventif lebih dimaksudkan sebagai,
“pengawasan yang dilakukan terhadap suatu kegiatan sebelum kegiatan itu dilaksanakan,
sehingga dapat mencegah terjadinya penyimpangan.” Lazimnya, pengawasan ini dilakukan
pemerintah dengan maksud untuk menghindari adanya penyimpangan pelaksanaan keuangan
negara yang akan membebankan dan merugikan negara lebih besar. Di samping itu,
pengawasan ini juga dimaksudkan agar sistem pelaksanaan anggaran dapat berjalan
sebagaimana yang dikehendaki. Pengawasan preventif akan lebih berfaedah dan bermakna jika
dilakukan oleh atasan langsung, sehingga penyimpangan yang kemungkinan dilakukan akan
terdeteksi lebih awal.
Di sisi lain, pengawasan represif adalah “pengawasan yang dilakukan terhadap suatu kegiatan
setelah kegiatan itu dilakukan.” Pengawasan model ini lazimnya dilakukan pada akhir tahun
anggaran, di mana anggaran yang telah ditentukan kemudian disampaikan laporannya. Setelah
itu, dilakukan pemeriksaan dan pengawasannya untuk mengetahui kemungkinan terjadinya
penyimpangan.
3. Pengawasan Aktif dan Pasif - Pengawasan dekat (aktif) dilakukan sebagai bentuk “pengawasan
yang dilaksanakan di tempat kegiatan yang bersangkutan.” Hal ini berbeda dengan pengawasan
jauh (pasif) yang melakukan pengawasan melalui “penelitian dan pengujian terhadap surat-surat
pertanggung jawaban yang disertai dengan bukti-bukti penerimaan dan pengeluaran.”
4. Pengawasan kebenaran formil menurut hak (rechtimatigheid) dan pemeriksaan kebenaran
materiil mengenai maksud tujuan pengeluaran (doelmatigheid).
Pengawasan berdasarkan pemeriksaan kebenaran formil menurut hak (rechmatigheid) adalah
“pemeriksaan terhadap pengeluaran apakah telah sesuai dengan regulasi, tidak kedaluwarsa,
dan hak itu terbukti kebenarannya.” Sementara itu, pemeriksaan kebenaran materil mengenai
maksud tujuan pengeluaran (doelmatigheid) adalah “pemeriksaan terhadap pengeluaran apakah
telah memenuhi prinsip ekonomi, yaitu pengeluaran tersebut diperlukan dan beban biaya yang
serendah mungkin.”
Karena obyek dari sengketa administrasi adalah suatu keputusan yang dikeluarkan oleh
pemerintah, maka untuk menghindari terjadinya sengketa administrasi terhadap suatu
keputusan yang dibuat oleh Pemerintah harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Keputusan tersebut harus dibuat oleh Organ atau Badan/Pejabat yang berwenang
membuatnya (bevoegd);
2. Keputusan tersebut harus diberi bentuk dan harus menurut prosedur
pembuatannya (rechtmatige);
3. Keputusan tersebut tidak boleh memuat kekurangan yuridis;
4. Keputusan tersebut isi dan tujuan harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan
dasarnya (doelmatig).
Menurut Nawawi & Martini (1994), dalam melaksanakan pengawasan sebagai unsur
dalam fungsi primer administrasi, dapat dibedakan dua bentuk pengawasan yaitu:
1) Pengawasan langsung
Pengawasan ini dilakukan pada saat kegiatan sedang berlangsung ditempat pelaksanaannya.
Bentuk ini dapat dilakukan dengan cara melakukan pemantauan, peninjauan, pengamatan,
pmeriksaan dan pengecekan. Pengawasan dapat dilakukan dengan memberitahukan kepada
pihak yang akan diawasi mengenai waktu dan bidang yang akan dipantau. Di samping itu
mungkin pula dilakukan sebagai kegiatan surprise yakni secara mendadak tanpa pemberitahuan
terlebih dahulu, sehingga sering juga disebut Inspeksi Mendadak (Sidak). Kedua cara itu
memiliki kebaikan dan kelemahan masing-masing, sehingga hanya bermanfaat sesuai dengan
tujuan dilakukannya pengawasan.
2) Pengawasan tidak langsung
Pengawasan ini dilakukan setelah kegiatan berlangsung, baik dilakukan dari jauh maupun
ditempat pelaksanaannya. Bentuk ini dapat dilakukan dengan cara mencari informasi dari pihak
ketiga, mementa pertanggungjawaban atau laporan kegiatan.Dengan demikian berarti
pengawasan yang dilakukan dengan memeriksa laporan atau pertanggungjawaban, adalah
pengawasan tidak langsung dari jarak jauh. Pengawasan tidak langsung di tempat pelaksanaan
kegiatan, dilakukan dengan menghimpun informasi dari orang lain yang tidak ikut dalam
kegiatannya, namun diperkirakan ia mengetahui proses atau kejadiannya.
Selanjutnya dilihat dari segi pelaksana pengawasan , maka dapat dibedakan dua
jenis pengawasan, yaitu:
1) Pengawasan intern - Mengukur hasil-hasil dari suatu kegiatan yang telah diselesaikan. Ada
empat jenis pengawasan yaitu :
1. Pengawasan melekat
Serangkaian kegiatan yang bersifat sebagai pengendalian yang terus menerus, dilakukan
langsung terhadap bawahannya, secara preventif dan refresif agar pelaksanaan tugas bawahan
tersebut berjalan secara efektif dan efesien sesuai dengan rencana kegiatan dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
2. Pengawasan fungsional
Setiap upaya pengawasan dilakukan oleh aparat yang ditujuk khusus untuk melakukan audit
secara bebas terhadap objek yang diawasinya. Aparat wasnal melakukan tugas berupa
pemeriksaan, verifikasi, komfirmasi, survey, penilaian, audit, dan pemantauan.
3. Pengawasan masyarakat
Pengawasan yang dilakukan masyarakat atas penyelenggaraan suatu kegiatan pengawasan
masyarakat berbentuk control masyarakat terhadap pengelolaan sumber daya organisasi.
4. Pengawasan legislatif
Pengawasan ini mengawasi tata cara penyelenggaraan perintah dan keuangan Negara,
pengawasan legislatif merupakan pengawasan politik terhadap eksekutif.
BAB XIII.
UPAYA ADMINSTRATIF DAN PERADILAN ADMINSTRASI NEGARA.
Pengantar
Pemerintah sebagai organ yang diberi kekuasaan oleh negara untuk melaksanakan fungsi meliputi
pengaturan, pelayanan, pembangunan, pemberdayaan dan fungsi perlindungan terhadap
masyarakat atau warga negara, sering kali dalam melaksanakan fungsinya menimbulkan complain
dalam masyarakat. Terdapat masyarakat yang merasa diperlakukan sewenang-wenang oleh
keputusan atau tindakan penguasa, hak-haknya dirampas oleh penguasa, tidak mendapat pelayanan
yang baik dan tidak mendapat jaminan perlindungan.
a. Pada dasarnya penggunaan kekuasaan Pemerintah kepada warga Negara bukanlah tanpa
persyaratan, melainkan penggunaan kekuasaan atau wewenang itu telah di batasi oleh rambu-
rambu peraturan Perundang-undangan dan Azas umum pemerintahan yang baik (AUPB)
sebagai pedoman berpemerintahan.
b. Mengingat begitu luasnya cakupan tugas administrasi Pemerintahan maka untuk mengarahkan
penyelenggaraan pemerintahan yang lebih sesuai dengan harapan dan kebutuhan masyarakat
(citizen friendly) maka diperlukan pengaturan tata laksana administrasi pemerintahan yang
menjamin perlindungan kepentingan warga masyarakat yang menjadi korban dari sebuah
keputusan atau tindakan pemerintah serta mengatur model pengawasan yang dilakukan
masyarakat yang terdampak oleh tindakan pemerintahan.
c. Pasca berlakunya Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan
masyarakat semakin mudah untuk melakukan kontrol atas keputusan/tindakan Pemerintahan
melalui lembaga Upaya Administratif. Dari pengantar singkat di atas penulis perlu merumuskan
pokok pembahasan untuk mengantarkan rekan tutor mengenali upaya administrasi sebagai
alternatif penyelesaian sengketa administrasi pemerintahan, yaitu mengenai apa itu Upaya
administrasi dan bagaimana masyarakat melakukan upaya administrasi.
Administrasi Pemerintahan dan Upaya Administrasi.
a. Administrasi pemerintahan menurut ketentuan pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 30 Tahun
2014 tentang Administrasi Pemerintahan adalah tata laksana dalam pengambilan keputusan
dan/atau tindakan oleh badan atau pejabat pemerintahan. Dari pengertian tersebut ruang lingkup
dalam administrasi pemerintahan meliputi tata laksana pengambilan keputusan dan tindakan
faktual pemerintahan. Keberlakuan UUAP tidak hanya menyangkut penyelenggaraan
administrasi dalam domain eksekutif saja tapi meliputi penyelenggaraan administrasi
pemerintahan di lingkungan lembaga legislatif, yudikatif dan lembaga Negara lainnya yang
menyelenggarakan melakukan fungsi pemerintahan, tak terkecuali badan/pejabat pemerintahan
di desa.
b. Terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang dilakukan oleh Badan atau pejabat pemerintahan
yang melakukan fungsi pemerintahan di atas, UUAP menyediakan lembaga upaya administratif
untuk melakukan kontrol dan alternatif penyelesaian sengketa administrasi non yudisial melalui
keberatan (administrative bezwaar) dan banding administrasi (administrative beroep). Upaya
administrasi adalah proses penyelesaian sengketa administrasi yang dilakukan dalam
lingkungan administrasi pemerintahan sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan dan/atau
tindakan yang merugikan.
c. Pada pola penyelesaian melalui Upaya administrasi ini komplain masyarakat yang merasa
dirugikan oleh sebuah keputusan atau tindakan akan diselesaikan proses dan di putuskan oleh
internal badan/pejabat pemerintahan yang mengeluarkan keputusan/melakukan tindakan
faktual, apabila hasilnya tidak memuaskan masyarakat dapat menempuh upaya banding
administrasi kepada atasan badan/pejabat pemerintahan.
Masyarakat yang merasa dirugikan oleh Keputusan/tindakan Badan atau pejabat pemerintahan
dapat menempuh upaya administratif keberatan dengan mekanisme yang diatur dalam pasal
77 UU AP sebagai berikut :
a. Keberatan diajukan paling lama 21 hari kerja sejak dikeluarkannya/ diumukannya
keputusan atau dilakukannya tindakan tersebut;
b. Keberatan diajukan secara tertulis kepada badan/pejabat yang telah mengeluarkan
keputusan atau melakukan tindakan yang dimaksud;
c. Badan/pejabat pemerintahan menyelesaikan upaya keberatan paling lama 10 hari kerja
sejak diterimanya keberatan;
d. Dalam hal Badan/pejabat Pemerintahan yang tidak menyelesaikan keberatan dalam jangka
waktu 10 (sepuluh) hari kerja, keberatan dianggap dikabulkan;
e. Badan/Pejabat Pemerintahan berwenang mengabulkan atau menolak keberatan;
f. Keberatan yang dianggap di kabulkan ditindaklanjuti oleh Badan/pejabat Pemerintahan
dengan menetapkan keputusan baru sesuai permohonan keberatan;
g. Badan/Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan keputusan sesuai permohonan keberatan
paling lama 5 (lima) hari kerja setelah berakhirnya tenggang waktu 10 (sepuluh) hari bagi
Badan/pejabat Pemerintahan untuk menyelesaikan keberatan;
h. Jika keberatan ditolak maka Badan/Pejabat Pemerintahan harus menuangkan keputusan
penolakan tersebut secara tertulis dan menyampaikannya kepada pemohon keberatan.
Atas keputusan penolakan upaya keberatan yang diajukan kepada Badan/pejabat Pemerintahan,
masyarakat dapat menempuh upaya banding administratif yang di atur dalam pasal 78 Undang-
undang Nomor: 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dengan mekanisme berikut
ini:
a. Banding administratif dilakukan apabila upaya keberatan yang telah ditempuh sebelumnya
ditolak atau tidak memuaskan;
b. Banding administratif diajukan kepada atasan dari pejabat yang telah menetapkan
keputusan yang dimaksud;
c. Tenggang waktu pengajuan banding administratif adalah 10 (sepuluh) hari kerja sejak
diterimanya keputusan atas permohonan keberatan;
d. Badan/pejabat Pemerintahan menyelesaikan permohonan banding administratif paling
lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya banding tersebut; Jika dalam waktu 10
(sepuluh) hari kerja Badan/pejabat Pemerintahan tidak memberikan jawaban atau
keputusan maka banding administrative dianggap di kabulkan ;
e. Badan/pejabat Pemerintahan berwenang mengabulkan atau menolak permohonan banding
administratif ;
f. Dalam hal banding administratif dikabulkan, maka badan/ pejabat Pemerintahan wajib
menetapkan keputusan baru sesuai permohonan banding dalam waktu 5 (lima) hari kerja
sejak tenggang waktu untuk menyelesaikan banding administratif berakhir;
g. Jika permohonan banding administratif ditolak maka badan/pejabat Pemerintahan harus
menuangkan keputusan penolakan tersebut secara tertulis dan menyampaikannya kepada
pemohon banding;
Mengingat tenggang waktu penyelesaian keberatan dan banding administratif adalah 10 (sepuluh)
hari kerja sejak keberatan/banding di terima maka sebaiknya masyarakat menyampaikan secara
langsung berkas keberatan dan banding administratif secara langsung ke kantor Badan/Pejabat
Pemerintahan dan masyarakat meminta tanda bukti penerimaan. Selain berfungsi sebagai bahwa
seseorang telah melakukan upaya administratif tanda penerimaan juga untuk menghitung
berakhirnya jangka waktu penyelesaian keberatan/banding administratif. Dengan berlakunya
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 2018, upaya administrasi tidak lagi bersifat opsional
tetapi merupakan persyaratan bagi badan hukum atau seseorang yang akan mengajukan gugatan
sengketa Tata Usaha Negara ke Pengadilan Tata Usaha Negara sebagaimana di tegaskan dalam
pasal 2 ayat (1) PERMA Nomor 6 Tahun 2018 sebagai berikut :
(1) Pengadilan berwenang menerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa
administrasi pemerintahan setelah menempuh upaya administrasi;
(2) Menempuh upaya administrasi selain hemat (tidak dikenai biaya) menempuh upaya
administrasi juga sederhana karena cukup dilakukan dengan membuat surat
keberatan/banding keberatan yang memuat identitas pemohon keberatan (nama, tanggal lahir,
tempat tinggal dsb.) disertai alasan-alasan keberatan dan tuntutan (permohonan) yang diminta
untuk diputuskan oleh Badan/Pejabat Pemerintahan.
Dari segi waktu, menempuh upaya administrasi juga lebih cepat dibandingkan waktu penyelesaian
sengketa di Pengadilan yang memakan waktu berbulan-bulan lamanya. Dalam menyelesaikan
upaya administrasi Badan/pejabat Pemerintahan terikat dengan batas waktu yang disediakan oleh
undang-undang yakni yaitu 10 (sepuluh) hari kerja sejak keberatan/banding diterima. Apabila
dalam waktu 10 (sepuluh) hari tidak mengeluarkan keputusan/jawaban tertulis, maka sesuai azas
accepti/fictum positiva dalam hukum administrasi Negara, Badan/pejabat Pemerintahan tersebut
dianggap telah mengabulkan permohonan. Upaya administrasi sebagai alternatif penyelesaian
sengketa administrasi non yudisial di internal Badan/Pejabat Pemerintahan yang hemat, mudah,
sederhana dan cepat sudah selayaknya dijadikan alternatif penyelesaian sengketa administrasi bagi
masyarakat dengan Badan/Pejabat Pemerintahan meski lembaga upaya administrasi bukan model
penyelesaian sengketa yang sempurna yang hasilnya selalu memuaskan masyarakat. Sisi positif
upaya administrasi yang melakukan penilaian secara lengkap suatu Keputusan Tata Usaha Negara
baik dari segi Legalitas (Rechtmatigheid) maupun aspek Opportunitas (Doelmatigheid),
menempatkan para pihak tidak pada keputusan menang atau kalah (Win or Loose) seperti putusan
badan peradilan, tapi dengan pendekatan musyawarah. Sedangkan segi negative upaya
administrasi dapat terjadi pada tingkat obyektifitas penilaian karena Badan/Pejabat tata Usaha
Negara yang menerbitkan Surat Keputusan kadang-kadang terkait kepentingannya secara
langsung ataupun tidak langsung sehingga mengurangi penilaian maksimal yang seharusnya di
tempuh.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
1. Apakah suatu sengketa Tata Usaha Negara harus diselesaikan melalui upaya administrasi atau
tidak, adalah tergantung pada peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar mengeluarkan
keputusan Tata Usaha Negara tersebut
2. Istilah upaya administratif hanya ada dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1986 jo Undang-
Undang No 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, sedangkan peraturan
perundangundangan memakai istilan yang bermacam-macam;
3. Untuk membedakan apakah sengketa harus diselesaikan melalui banding administratif atau
keberatan dapat dilihat dari pejabat atau instansi yang berwenang menyelasaikannya;
a. Apabila diselesaikan oleh instansi atasan Pejabat yang menerbitkan Keputusan Tata Usaha
Negara tersebut atau instansi yang lainnya dari Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang
menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara, maka penyelesaiannya tersebut disebut dengan
“B ANDING ADMINISTRATIF”;
b. Apabila diselesaikan instansi atau Pejabat yang mengeluarkan keputusan Tata Usaha Negara
tersebut, penyelesaian tersebut disebut dengan “KEBERATAN”.
4. Cara pengujian penyelesaian melalui upaya administratif adalah dilakukan secara lengkap dalam
arti dari segi hukum dan kebijaksanaan, sedangkan pengujian di Pengadilan hanya dari segi
hukumnya saja;
5. Dalam hal masih tidak puas terhadap penyelesaian melalui upaya administratif, maka dapat
ditempuh upaya antara lain :
a. Setelah melalui upaya administratif maka dapat diajukan gugatan ke Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara sebagai pengadilan tingkat pertama;
b. Setelah melalui upaya keberatan, maka dapat diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Sebagai negara yang bersumber pada hukum atau negara hukum ( rechtsaat ), oleh karena hal
tersebut timbulnya suatu sengketa TUN tersebut tidaklah perihal yang wajib dipandang sebagai
penghalang atau halangan bagi pemerintah ( badan atau pejabat TUN ) dalam melangsungkan
kewajiban dibidang kepentingan pemerintahan, melainkan harus dilihat sebagai berikut :
1) Dari sudut pendang masyarakat, adalah perwujutan sebagai indonesia yang merupakan negara
atas hukum yang dimana jika setiap masyarakat negara harus dijamin hak-haknya berdasarkan
hukum, serta seluruh penanganan konflik wajib dapat diselesaikan dengan sistem hukum yang
masih berlaku;
2) Dilihat sudut pandang badan atau pejabat TUN, sebagai alat atau waduh dan juga forum untuk
menilai apakah suatau keputusan TUN yang diterbiktan sudah memenuhi terhadap asas-asas
didalam hukum serta keadilan lewat sarana hukum menurut aturan-aturan yang masih berlaku.
Sebaliknya keputusan TUN bagi ketetapan pasal 1 angka (3) UU No.5/1986 mengenai peradilan
TUN merupakan suatu ketetapan yang tertulis yang dikeluarkan oleh badan ataupun pejabat
pemerintah yang mengandung isi tentang tindakan-tindakan hukum pemerintah yang bersumber
pada peraturan perundang-undangan yang berlaku,yang mempunyai sifat konkrit, individuserta
final dan mengakibatkan akibat hukum terhadap seseorang ataupun badan hukum perdata. Dari
kesimpulan penjelasan pasal tersebut nyatanya KTUN adalah dasar dimana lahirnya sebuah
sengketa TUN yang memiliki ciri khusus antara lain :
1) Ketetapan tertulis
2) Dikeluarkan atau diterbitkan oleh pemerintah atau badan dan pejabat TUN
3) Memuat tentang tindakan- tindakan hukum TUN
4) Bersumber pada peraturan perundang-undangan
5) Mempunyai sifat individu, konkrit, dan juga final
6) Menyebabkan akibat hukum untuk seseorang ataupun badan hukum perdata.
Yang tidak termasuk didalam pengertian Keputusan TUN menurut undang- undang PTUN ini
adalah:
1) Keputusan tata usaha negara yang merupakan keputusan ataupun perbuatan hukum perdata 2)
Keputusan tata usaha yang dimana merupakan pengaturan yang bersifat umum
3) Keputusan tata usaha yang masih memerlukan sebuah persetujuan
4) Keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan KUHP dan juga KUHAP
ataupun peraruan lain yang mengenai hukum pidana
5) Keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan atas dasar dari pemeriksaan badan atau peradilan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
6) Keputusan tata usaha negara mengenai tata usaha militer tentara indonesia
7) Kuputusan atas komisi pemilihan umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil
pemilihan umum.
Oleh karena hal tersebut sengketa TUN bukanlah sesuatu yang biasa, melainkan suatu hal yang
wajib diselesaikan serta menggali keseimbangan lewat sarana yang sudah disediakan oleh undang-
undang dan juga peraturan yang berlaku. Bagi UU No 05/86 tentang peradilan TUN untuk dapat
menyelesaikan sengketa TUN yang muncul sebagai akibat diterbitkannya suatu ketetapan ataupun
keputusan TUN ( Beschiking) dapat ditempuh dengan dengan 2 (dua) cara antara lain sebagai
berikut :
I. Melalui prosedur Upaya Administrasi
II. Melalui Gugatan.
Dalam UU No. 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan Mengatur pula upaya administrasi
yang terdapat pada bab 10 mulai dari pasal 75 hingga pasal 78. Upaya administratif dimaksud
selaku cara penanganan sengketa yang ada didalam kawasan administrasi pemerintashan sebagai
akibat dikeluarkannya KTUN/ serta tindakan pemerintah yang merugikan. UU Administrasi
Pemerintah membuka ruang untuk warga masyarakat yang merasa dirinya dirugikan atas suatu
keputusan atupun tindakan oleh badan atatu pejabat tata usaha negara untuk mengajukan upaya
administratifnya. Upaya Administratif terdiri dari berapa tahapan yaitu :
a. Administratif bezwar ( Keberatan )
b. Administratif beroep ( Banding ).
Pada dasarnya, upaya keberatan bagi UU Administrasi Pemerintah No. 30/2014 diterapkan dengan
metode antara lain :
a) Pada prosedur Keberatan harus ditujukan dengan cara tertulis pada badan atau pejabat yang
sudah mengeluarkan keputusan atau melaksanakan tindakan tata usaha negara yang dimaksud
b) Pada prosedur Keberatan diajukan setidaknya dalam kurun waktu 21 hari kerja setelah
dikeluarkannya keputusan ataupun dilakukannya kegiatan tersebut
c) Badan atau pejabat pemerintah menuntaskan setidaknya dalam kurun waktu 10 hari kerja setelah
diterimanya kebertan tersebut
d) Badan atau pejabat pemerintah berhak menerima ataupun menolak keberatan yang diajukan.
Maka sebaliknya keberatan yang diajukan dan dikabulkan oleh pejabat TUN harus menentukan
keputusan yang baru sesuai dengan permohonan oleh masyarakat.
Akan tetapi bila keberatan tersebut ditolak maka badan atau pejabat TUN wajib menuangkan
keputusan penyangkalan itu dengan cara tertulis serta mengkonfirmasi pada pemohoman
kebaratan. Sedangkan itu, upaya banding administratifnya bagi UUAP :
a) Prosedur Banding administrasi dilaksanakan bila upaya keberatan yang telah ditempuh tidak
memuaskan
b) Prosedur Banding administratif ditujukan pada pimpinan dari atasan yang sudah dari pejabat
yang sudah memutuskan keputusan yang dimaksud
c) Batas waktu untuk pengajuan banding administrasi merupakan 10 hari semenjak diterimanya
keputusan atas pengajuan keberatan
d) Pejabat tata usaha negara harus menyelesaikan permohonan banding selambatlambatnya 10 hari
kerja setelah menerima surat banding tersebut
e) Badan dan pejabat tata usaha negara berhak memberikan jawaban banding yaitu mengabulkan
dan menolak permohonan banding yang diajukan.
Supaya kekuasaan itu tidak disaelewengkan serta perlindungan atas hukum senantiasa terjaga
untuk itu butuhdibuatnya pengawasan kepada administrasi negara. menurut utrecht timbulnya
kesulitan tersebutb disebabkan antara lain:
• Aturan-aturan mengenai hukum administrasi berubah lebih cepat juga sering kali mendadak, lain
halnya dengan hukum privat dan hukum pidana yang dimana perubahannya dengan lambat dan
juga berangsur – angsur.
• Dilihat dari segi pembentukannnya atau pembuatannya, hukum administrasi negara tidak berada
pada suatu tanagn. Di luar pembuatan undang undang hampir semua departteman serta badan
atau pejabat pemerintahan daerah membuat sendiri peratruan hukum administrasinya.
Bagi Paulus Effendie Lotung, saat sebelum berlakunya UU No. 05/1986 alur yang digunakan
dalam penanganan konflik anatara masyarakat dengan badan atau pejabat TUN didalam
melaksanakan tugasnya mengenai hukum publik merupakan antara lain :
a. Penangan konflik melalui alur internal administrasi melalui pimpinan badan ataupun pejabat
TUN yang berhubungan, yang biasa diketahui sebagai administrasi Beroep atau alur pengajuan
Keberatan :
b. Penanganan sengketa yang dijalankan oleh pejabat TUN atau bdan-badan peradilan semu,
sebenarnya dengan cara struktur organisasi yang merupakan bagian dari badan ataupun pejabat
administratif.
c. Penanganan oleh badan peradilan yang dapat berbentuk :
• pengadilan administrasi khusus
• Pengadilan umum.
Kesimpulan mengenai pemahaman tersebut nyatanya KTUN adalah penyebab dari lahirnya suatu
sengketa TUN yang memiliki kriteria sebagai berikut:
1) Terdapat ketetapan tertulis
2) Dibuat dan dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN
3) Mengandung tindakan- tindakan hukum TUN
4) Bersumber pada undang-undang serta peraturan yang berlaku
5) Mempunyai sifat final,individual serta konkrit 6) Menyebabkan akibat hukum untuk seseorang
ataupun badan hukumperdata.
Menurut penjelasan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 02/1991 mengenai arahan penerapan
ketentuan di dalam UU No. 05/1986 yaitu:
1. Upaya administratif yaitu :
a. Pengajuan gugatan berupa surat keberatan yang diperuntukkan terhadap badan ataupun
pejabat TUN yang telah mengeluarkan surat keputusan atau penetapan
b. Pengajuan gugatan berupa banding administratif yang diarahkan pada pimpinan atasan dari
pejabat ataupun lembaga lain dari badan ataupun pejabat TUN yang telah mengaluarkan
keputusan dan telah memeriksa kembali keputusan TUN tersebeut
2. Bila aturan dasarnya hanya mengatur tentang upaya administrasi dalam bentuk Keberatan, maka
surat gugatan yang menjadi sengketa TUN diajukan langsung pada pengadilan TUN sebagai
pengadilan tingkat pertama setelah menempuh upaya keberatan
3. Bila aturan dasarnya mengatur upaya administrasi berbentuk Keberatan dan mengharuskan
untuk melakukan banding administratif, maka gugatan yang menjadi sengketa TUN tersebut
dan telah diputus ditingkat banding diajukan langsung peda Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara sebagai pengadilan tingkat pertama.
Adapun ketentuan tentang Keputusan tata usaha negara menurut UU administrasi pemerintah
adalah:
1) Ketetapan ialah penentuan secara tertulis berupa tindkan-tindakan faktual. Yang dimaksud oleh
tindakan faktual adalah dimana pemerintah berindak atas hukum dengan nyata, serta seringkali
tindakan pemerintah tersebut mengakibatkan kerugian juga akibat hukum bagi masyarakat.
Kewenanga yang dimilii oleh pengadilan TUN adalah hanya menguji dan memeriksa atas
keputusan yang berhubungan dengan tindakan pemerintah berupa tindakan faktual.
2) Berikutnya adalah keputusan dari badan ataupun pejabat TUN yang berada di dalam lingkungan
legislatif, eksekutif, dan juga yudikatif serta lembaga negara yang lain. Ketika keputusan
tersebut dikeluarkan oleh lembaga penyelenggara yang ruang lingkupnya mencakup legislatif,
lembaga yudikatif, dan juga lembaga eksekutif, atapun penyelenggara negara lain bila
keputusan yang dikeluarkan mengakibatkan akibat hukum bagi masyarakat ataupun badan
hukum perdata yang berakibat merugikan sehingga dapat diajukannya surat gugatan terhadap
pengadilan maka keputusan tersebut merupakan rana hdari pengadilan TUN karena merupakan
kompetensi ataupun kewenangan absolutnya. Namun perihal itu bisa dilakukan bila tidak
berlawanan dengan aturan yang berlaku dan juga memenuhi semua persyaratan selaku sengketa
tata usaha negara, yang berpedoman pada UU No. 05/86 dan juga UU No. 30/2014
3) Bersumber pada asas-asas umum pemerintahan yang baik dan juga aturan perundang-undangan
yang masih berlaku. Pada nomor ini masih mengenai penekanan dari ciri-ciri ataupun unsur
yang wajib terdapat didalam sebuah sengketa TUN yang akan menjadi kewenangan atas
peradilan TUN . perihal yang lain penekanan kedua ialah setiap sengketa yang ditimbulkan oleh
keputusan badan atau pejabat TUN yang hendak diajukan surat gugatan terhadap pengadilan
TUN wajib melandaskan kepada asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Pada asas-asas umum pemerintahan yang baik didalam hukum administrasi negara dipaparkan
menjadi sebagai berikut ; prinsip kejelasan hukum, prinsip penyeimbang, prinsip kecocokan
dalam mengambil keputusan pengganti, prinsip berperan cermat, prinsip dorongan untuk setiap
ketetapan, prinsip janganlah mencampukan kewenangan dengan kewenagan lain, prinsip
permainan yang patut, prinsip keadilan ataupun kemsamarataan, prinsip menanggapi
pengharapan yang lazim, prinsip meniadakan dampak suatu keputusan yang diputus batal,
prinsip perlindungan HAM, prinsip kebijaksanaan, prinsip penyelenggara dalam kepentingan
umum.
4) Final adalah keputusan yang telah dikeluarkan oleh badan ataupun pejabat TUN yang
berwenang. Nilai tersebut tidak sering ditemui dalam pengadilan TUN dikarenakan dalam
praktek peradilan merupakan keputusan ataupun ketetapan yang saling berhubungan dimana
suatu keputusan masih ditindak lanjuti serta menjadi syarat buat bisa dikeluarkannya suatu
keputusan yang lain
5) Keputusan yang dapat mengakibatkan akibat hukum, dalam artian ini keputusan yang dimaksud
adalah keputusan yang dikeluarkan oleh badan ataupun pejabat pemerintah yang berpotensi
menimbulkan akibat hukum bagi masyarakat, jadi keputusan tersebut belum secara jelas
mengakibatkan akibat hukum terhadap masyarakat melainkan masih dalam prediksi. Hal
tersebut dapat diajukan terhadap pengadilan TUN karena merupakan kewenangan absolut dari
pengadilan TUN tersebut. Bila diamati gugatan yang diajukan oleh masyarakat dalam hal ini
akan lebih sulit untuk dipecahkan karena kata berpontensi tersebut menunjukkan terhadap
ketidak pastian hukumnya.
6) Keputusan yang sedang berlaku untuk masyarakat. Dalam hal ini keputusan yang berlaku untuk
masyarakat tertera pada pasal 1 angka 15 UU No.30/2014 yang menyatakan seseorang ataupun
badan hukum perdata yang memiliki kepentingan dengan keputusan yang dikeluakan oleh
badan ataupun pejabat TUN. Penjelasan tersebut adalah untuk seseorang ataupun badan hukum
perdata yang mana hampir sama dengan kata individual yang terdapat di UU peradilan tata
usaha negara. Yang dapat menggugat keputusan TUN adalah badan hukum perdata atau
seseorang yang dirugikan akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha tersebut secara langsung
ataupun tidak.
Secara garis besarnya, upaya administrasi didalam UU No. 30/2014 terdiri dari dua tahapan.
Tahapan yang utama adalah upaya keberatan yang alurnya sebagai berikut :
1) Keberatan yang diajukan harus dengan cara tertulis yang ditujukan kepada badan ataupun
pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan ataupun melaksanakan tindakan TUN yang telah
dimaksud
2) Keberatan ini harus diajukan paling lambat 21 hari semenjak di publikasikannya atau
disampaikannya keputusan TUN tersebut
3) Setelah menerima gugatan, adan atau pejabat harus menanggapi keberatan tersebut dengan
kurun waktu paling lama adalah 10 hari
4) Dalam hal badan atau pejabat menerima permintaan gugatan maka badan atau pejabat
pemerintah harus mengganti keputusan awal dengan keputusan baru yang dikehendaki oleh
seseorang ataupun badan hukum perdata.
Sebaliknya jika badan atau pejabat TUN menolak gugatan tersebut maka badan atau pejabat TUN
harus menuangkan isi dari penolakan tersebut dengan cara tertulis dan disampaikan kepada
seseorang ataupun badan hukum perdata Selanjutnya adalah tahapan upaya administrasi yang
kedua menurut UU No. 30/2014 yaitu banding administrasi alurnya sebagai berikut :
• Banding administratif dapat dilakukan jika didalam upaya keberatan belum mendapatkan jalan
keluar ataupun penolakan
• Banding administratif ini ditujukan terhadap pimpinan dari badan ataupun pejabat TUN yang
mengeluarkan keputusan dan tindakan tersebut
• Batas waktu untuk pengajuan proses banding administratif sendiri adalah 10 hari kerja semenjak
keputusan keberatan di terima oleh seseorang ataupun badan hukum perdata.
• Kewajiban badan atau pejabat pemerintah adalah menyelesaikan banding administratif tersebut
selama 10 hari kerja.
Penjelasan umum alenia ke lima UU No.30/2014 merupakan alat penghubung dengan lingkungan
di peradilan TUN, yang mempunyai makna sebagai berikut.
1. Jaminan untuk perlindungan non judicial serta judicial penduduk masyarakat
2. Jaminan untuk perlindungan non judicial untuk masyarakat berupa membolehkan masyarakat
untuk mengajukan keberatan dan juga banding administratif terhadap keputusan ataupun
tindakan tata usaha negara yang menurut masyarakat telah merugikan.
3. Jaminan untuk perlindungan judicial untuk masyarakat berupa membolehkan masyarakat untuk
mengajukan gugatan ke pengadilan TUN atas keputusan ataupun tindakan pejabat TUN.
Sebagai lembaga pengawas (judicial), ciri-ciri yang melekat pada Peradilan Tata Usaha Negara
adalah sebagai berikut:
1. Pengawasan yang dilakukan bersifat “external control” karena dia merupakan lembaga yang
berada di luar kekuasaan Administrasi Negara (bestuur).
2. Pengawasan yang dilakukan lebih menekankan pada tindakan represif atau lazim disebut
“control a posteriori” karena dilakukan setelah terjadi perbuatan yang dikontrol.
3. Pengawasan itu bertitik tolak pada segi “legalitas” karena hanya menilai dari segi hukum
(rechtmatig)-nya saja. Dalam beracara di Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, ada beberapa
Asas-asas Umum Peradilan yang Baik yang harus dipatuhi Hakim, yaitu:
a. Menjunjung tinggi hak seseorang untuk mendapatkan Putusan (right to a decision);
b. Setiap orang berhak mengajukan Perkara sepanjang mempunyai kepentingan (no interest, no
action);
c. Larangan untuk menolak mengadili, kecuali ditentukan lain oleh UndangUndang; d. Putusan
harus dijatuhkan dalam waktu yang pantas dan tidak terlalu lama;
e. Asas imparsialitas (tidak memihak).
f. Asas kesempatan untuk membela diri (audi et alteram partem).
g. Asas obyektivitas (no bias), tidak ada kepentingan pribadi atau pihak lain.
h. Menjunjung tinggi prinsip “nemo judex in rex sua”, yaitu Hakim tidak boleh mengadili
perkara di mana ia terlibat di dalam perkara a quo.
i. Penalaran hukum (legal reasoning) yang jelas dalam isi putusan. j. Akuntabilitas (dapat
dipertanggungjawabkan).
k. Transparansi (keterbukaan).
l. Kepastian hukum dan konsistensi.
m. Menjunjung hak-hak manusia.
Fungsi pengawasan Peradilan Tata Usaha Negara memang sulit dilepaskan dengan fungsi
perlindungan Hukum bagi masyarakat (individu-individu), sebab seolah-olah posisi individu di
depan Pengadilan berada pada pihak yang lebih lemah. Tolok ukur bagi hakim Pengadilan Tata
Usaha Negara dalam mengadili sengketa Keputusan Tata Usaha Negara1 adalah Pasal 53 ayat (2)
Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara.124 Ketentuan tersebut menyatakan:
“Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana telah dimaksud dalam pada ayat
(1) adalah:
1. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
2. Peraturan perundang-undangan yang digugat itu bertentangan Asas-asas Umum Pemerintahan
Yang Baik.”
Alat uji yuridis terhadap Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat adalah sebagai berikut:
1. Aspek-aspek umum Pengujian
a. Pengujian oleh Instansi atasan, maka pengujian dilakukan secara lengkap, baik dari segi
hukum maupun dari segi kebijaksanaan.
b. Pengujian secara lengkap dilakukan dalam prosedur keberatan oleh instansi yang
mengeluarkan keputusan semula maupun oleh instansi banding administratif.
c. Pengujian oleh Hakim Peradilan Tata Usaha Negara adalah pengujian khusus dari segi
hukumnya saja.
2. Ruang Lingkup Pengujian Pengujian dari Segi Hukum meliputi:
a. Pengujian tentang kewenangan, berwenang atau tidak pejabat dalam mengeluarkan
Keputusan Tata Usaha Negara.
b. Pengujian yang bersifat formal yang berkaitan dengan soal apakah pembentukan keputusan
telah menurut prosedur yang ditentukan.
c. Pengujian yang bersifat formal yang menyangkut rumusan keputusan itu sendiri apakah
sudah cukup jelas atau bersifat dubius.
d. Pengujian secara substansi, apakah isi keputusan sesuai dengan norma hukum material.
3. Dasar-dasar Pengujian Dasar-dasar pengujian adalah juga merupakan alasan–alasan untuk
mengajukan gugatan di Peratun sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang
tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yakni:
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat bertentangan dengan Peraturan Perundang-
undangan yang berlaku.
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat bertentangan dengan Asas-Asas Umum
Pemerintah yang Baik.
Obyek PTUN Obyek sengketa TUN adalah Keputusan Tata Usaha Negara. Yang dimaksud
dengan Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan
atau pejabat TUN yang berisikan tindakan hukum TUN yang berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, yang bersifat kongkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat
hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Sehingga sebuah memo atau nota dapat
memenuhi syarat tertulis menurut ketentuan tersebut asal dalam memo atau nota tersebut dengan
jelas menyebut :
1. Badan atau Jabatan TUN mana yang mengeluarkannya,
2. Maksud serta mengenai hal apa isi tulisan itu,
3. Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan didalamnya.
Ketentuan harus tertulis tersebut ada pengecualiannya, apabila ;
1. Badan atau Pejabat TUN tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi
kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan TUN,
2. Jika suatau Badan atau Pejabat TUN tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan
jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud telah
lewat, maka Badan atau Pejabat TUN tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan
yang dimaksud,
3. Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkuatan tidak menentukan janagka waktu
seperti tersebut diatas, maka setelah lewat waktu empat bulan sejak diterimanay permohonan,
Badan atau Pejabat TUN yang bersangkuatan dianggap telah mengeluarkan keputusan
penolakan.
Tidak termasuk pengertian Keputusan Tata Usaha Negara, ada sekelompok keputusan tata usaha
negara yang ditentukan dalam pasal 2 tidak dianggap atau tidak termasuk atau dikeluarkan dari
pengertian Keputusan Tata Usaha Negara.
Dengan demikian pengertian penetapan tertulis yang berakibat pula mempersempit ruang lingkup
kompetensi pengadilan. Jenis keputusan yang karena sifatnya atau maksudnya tersebut adalah
seperti berikut ini.
1. Keputusan tata usaha negara yang merupakan perbuatan hukumn perdata, umpanya keputusan
yang menyangkut masalah jual-beli, tukar menukar, sewa-menyewa, pemborongan kerja yang
dilakukan antara instansi pemerintah dan perseorangan yang didasarkan pada ketentuan hukum
perdata.
2. Keputusan tata usaha negara yang merupakan peraturan yang bersifat umum, yakni pengaturan
yang memuat norma-norma hukum yang dituangkan dalam bentuk peraturan yang kekuatan
berlakunya mengikat setiap orang. Misalnya, perubahan arus lalu lintas.
3. Keputusan tata usaha negara yang masih memerlukan persetujuan instansi atasan dan instansi
lain. Adakalanya peraturan dasar menentukan bahwa persetujuan instansi lain itu diperlukan
karena instansi lain tersebut terlibat dalam akibat hukum yang akan ditimbulkan oleh keputusan
itu. Keputusan yang masih memerlukan persetujuan, tetapi sudah menimbulkan kerugian dapat
di gugat di pengadilan di lingkungan peradilan umum.
4. Keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan
berdasarkan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5. Keputusan tata usaha negara mengenai tata usaha negara Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia ( TNI ). Pada dasarnya, badan atau pejabat tata usaha negara di lingkungan TNI tidak
berbeda dengan kedudukan hukum badan atau pejabat tata usaha negara di lingkungan sipil.
Akan tetapi, karena TNI, maka penetapan – penetetapan yang di keluarkan oleh badan atau
pejabat tata usaha negara di lingkungan TNI dikeluarkan dari kompetensi lingkungan peradilan
tata usaha negara.
6. Keputusan panitia pemilihan (Komisi Pemilihan Umum), baik di pusat maupun di daerah
mengenai hasil pemilihan umum. Panitia pemilihan Indonesiaterdiri dari unsur-unsur tokoh
masyarakat yang di pilih dan diseleksi ketat, sehingga apabila hasil pemilihan umum itu telah
disahkan oleh Komisi Pemilihan Umum dalam suatu keputusan, maka berarti hal tersebut
merupakan konsensus bersama yang tidak dapat diganggu gugat lagi.
Istilah penetapan tertulis terutama menunjuk kepada isi dan bukan kepada bentuk keputusan yang
dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
a. Keputusan itu memang diharuskan tertulis, namun yang disyaratkan tertulis bukanlah bentuk
formalnya seperti surat keputusan pengangkatan dan sebagainya.
b. Persyaratan tertulis itu diharuskan untuk kemudahan bagi pembuktian. Oleh karena itu sebuah
memo atau nota dapat memenuhi syarat tertulis tersebut dan akan merupakan suatu Keputusan
Tindakan Hukum Tata Usaha Negara adalah perbuatan hukum Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara yang bersumber pada suatu ketentuan Hukum Tata Usaha Negara yang dapat menimbulkan
hak dan kewajiban pada orang lain.
a. Berisfat konkret, artinya obyek yang diputuskan dalam Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak
abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan, umpamanya mengenai rumah si A, izin
usaha bagi si B, pemberhentian si A sebagai pegawai negeri.
b. Bersifat individual artinya Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak ditunjukan untuk umum,
tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang dituju. Jikalau yang dituju itu lebih dari seorang,
tiap-yiap nama orang yang terkena keputusan itu disebutkan. Umpanya keputusan tentang
pembuatan atau pelebaran jalan dengan lampiran yang menyebutkan nama-nama orang yang
terkena keputusan tersebut.
c. Bersifat final artinya sudah definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum.
Keputusan yang masih memerlukan persetujuan instansi atasan atau instansi lain belum bersifat
final, karenanya belum dapat menimbulkan suatu hak atau kewajiban pada pihak yang
bersangkutan. Umpanya, keputusan pengangkatan seorang pegawai memerlukan persetujuan
dari Badan Administrasi Kepegawaian Negara.
Upaya Administratif.
Upaya administratif adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh orang atau badan hukum
perdata apabila tidak puas terhadap suatu KTUN.
Prosedur tersebut dilaksanakan di lingkungan pemerintahan sendiri dan terdiri atas dua bentuk:
a. Keberatan (Bezwaarschrift)
a. Banding Administratif (Administratif Bereop)
Pengajuan surat banding administratif ditujukan kepada atasan pejabat atau instansi lain yang
berwenang memeriksa ulang KTUN yang disengketakan.
Berbeda dengan prosedur di PTUN, prosedur banding administratif dan prosedur keberatan
dilakukan dengan penilaian yang lengkap, baik dari segi penerapan hukum maupun dari segi
kebijaksanaan instansi yang memutus.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya KTUN, dapat
dilihat apakah suatu KTUN dimungkinkan untuk ditempuh upaya administratif.
Gugatan Melalui PTUN
Penyelesaian sengketa melalui PTUN dapat dilakukan ketika:
1. tidak tersedia penyelesaiannya melalui upaya administratif;
2. jika peraturan dasar dikeluarkannya KTUN hanya menentukan upaya administratif
berupa pengajuan surat keberatan, maka gugatan terhadap KTUN yang
bersangkutan diajukan kepada PTUN;
3. jika peraturan dasarnya menentukan upaya administratif berupa pengajuan surat
keberatan dan/atau mewajibkan pengajuan surat banding administratif, maka gugatan
KTUN yang telah diputus dalam tingkat banding administratif diajukan langsung
kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dalam tingkat pertama yang berwenang.
Adapun alur pengajuan gugatan sengketa tata usaha negara ke PTUN adalah sebagai berikut:
1. Gugatan - Gugatan adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap badan atau pejabat
tata usaha negara dan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan putusan. Adapun yang
menjadi tergugat adalah badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan KTUN
berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya. Alasan yang
bisa digunakan dalam gugatan adalah KTUN bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku serta bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang
baik. Perlu diketahui bahwa gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 90
hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya KTUN.
2. Prosedur Dismissal - Setelah diajukan gugatan, maka akan dilakukan prosedur dismissal
atau rapat permusyawaratan. Prosedur dismissal adalah penelitian yang meliputi segi
administratif dan segi elementer. Dalam rapat permusyawaratan, ketua pengadilan melalui
suatu penetapan berwenang memutuskan gugatan dinyatakan tidak diterima atau tidak
berdasar dengan pertimbangan sebagai berikut:
a. pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang pengadilan;
b. syarat-syarat gugatan tidak dipenuhi oleh penggugat sekalipun telah diberi tahu dan
diperingatkan;
c. gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak;
d. apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh KTUN yang digugat;
e. gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya.
Terhadap penetapan ini dapat diajukan perlawanan kepada pengadilan dalam tenggang
waktu 14 hari setelah diucapkan. Jika perlawanan dibenarkan oleh pengadilan, maka
penetapan gugur demi hukum dan tidak dapat digunakan upaya hukum, sehingga pokok
gugatan akan diperiksa, diputus dan diselesaikan menurut acara biasa.
3. Pemeriksaan Persiapan - Sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai, hakim wajib
mengadakan pemeriksaan persiapan untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas.
Dalam pemeriksaan persiapan, hakim:
a. wajib memberi nasihat kepada penggugat untuk memperbaiki gugatan dan
melengkapinya dengan data yang diperlukan dalam jangka waktu 30 hari;
b. dapat meminta penjelasan kepada badan atau pejabat tata usaha negara yang
bersangkutan.
Apabila dalam jangka waktu 30 hari penggugat belum menyempurnakan gugatan, maka
hakim akan memutus bahwa gugatan tidak dapat diterima. Maka apabila hal demikian
terjadi, penggugat tidak dapat menggunakan upaya hukum, tetapi dapat mengajukan
gugatan baru.
4. Pemeriksaan Perkara - Setelah dilakukan pemeriksaan persiapan maka akan dilakukan
pemeriksaan perkara untuk mendapatkan putusan. Pengadilan memeriksa dan memutus
sengketa dengan 3 orang hakim, dengan pemeriksaan acara biasa. Setelah pemeriksaan
sengketa selesai, kedua belah pihak diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat
terakhir berupa kesimpulan.
5. Putusan - Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat berupa gugatan ditolak,
dikabulkan, tidak diterima, atau gugur.Terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara
dapat dimintakan pemeriksaan banding oleh penggugat atau tergugat kepada Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara. Bahkan jika penggugat tidak juga puas dengan putusan
tersebut, dapat dilakukan upaya hukum kasasi hingga upaya hukum luar biasa peninjauan
kembali kepada Mahkamah Agung.
SEMA Nomor 2 Tahun 1991
Sehubungan dengan kerancuan penggunaan istilah "keberatan" dalam beberapa
peraturan dasar dan instansi lembaga Yang bersangkutan perlu dijelaskan sebagai
berikut:
1. Yang dimaksud upaya administratif adalah:
a. Pengajuan surat keberatan (bezwaarschrift yang ditujukan kepada Badan/Pejabat Tata
Usaha negara yang mengeluarkan Keputusan (penetapan/beschiking) semula.
b. Pengajuan surat banding administratif (administratif bereop) yang ditujukan kepada atasan
pejabat atau instansi lain dari Badan/Pejabat Tata Usaha Negara Yang mengeluarkan
keputusan yang berwenang memeriksa ulang Keputusan Tata Usaha Negara yang
disengketakan.
2. a. Apabila peraturan dasarnya hanya menentukan adanya upaya administratif berupa
pengajuan surat keberatan, maka gugatan terhadap Keputusan Tata Usaha Negara
yang bersangkutan diajukan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara.
b. Apabila peraturan dasarnya menentukan adanya upaya administatif berupa pengajuan
surat keberatan dan/atau mewajibkan pengajuan surat banding administratif, maka
gugatan terhadap Keputusan Tata Usaha Negara yang telah diputus dalam tingkat
banding administratif diajukan langsung kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara dalam tingkat pertama yang berwenang.
Penjelasan Pasal 48
Pasal 48
(1) Upaya administratif adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh seorang atau badan
hukum perdata apabila ia tidak puas terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Prosedur
tersebut dilaksanakan di lingkungan pemerintahan sendiri dan terdiri atas dua bentuk. Dalam
hal penyelesaiannya itu harus dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari yang
mengeluarkan keputusan yang bersangkutan, maka prosedur tersebut dinamakan "banding
administratif. Contoh banding administratif antara lain Keputusan Majelis Pertimbangan
Pajak berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam staatsblad 1912 Nr 29 (Regeling van het
beroep in belastings zaken) jo. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1959 tentang perubahan
"Regeling van het beroep in belastings zaken". Keputusan badan Pertimbangan Kepegawaian
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin
Pegawai Negeri Sipil. Keputusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan Undang-
undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan Undang-
undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta.
Keputusan Gubernur berdasarkan Pasal 10 ayat (2) Undang-undang Gangguan Staatsblad
1926 Nr. 226. Dalam hal penyelesaian Keputusan Tata Usaha Negara tersebut harus
dilakukan sendiri oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan
itu, maka prosedur yang ditempuh tersebut disebut "keberatan". Contoh Pasal 25 Undang-
undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan-ketentuan Umum Perpajakan. Berbeda
dengan prosedur di Peradilan Tata Usaha Negara, maka pada prosedur banding administratif
atau prosedur keberatan dilakukan penilaian yang lengkap, baik dari segi penerapan hukum
maupun dari segi kebijaksanaan oleh instansi yang memutus. Dari ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara
yang bersangkutan dapat dilihat apakah terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara itu
terbuka atau tidak terbuka kemungkinan untuk ditempuh suatu upaya administratif.
(2) Apabila seluruh prosedur dan kesempatan tersebut pada penjelasan ayat (1) telah ditempuh,
dan pihak yang bersangkutan masih tetap belum merasa puas, barulah persoalannya dapat
digugat dan diajukan ke Pengadilan.
Sistem politik islam terbangun secara kokoh setelah Rasulullah hijrah ke Madinah (Yatsrib).Dalam
peran perpolitikannya, beliau membuat undang-undang yang tercermin dalam piagam madinah.
diantara teks piagam tersebut adalah :
a. Butir ke-36 : Tidak ada seorangpun yang boleh keluar dari Madinah kecuali izin Rasulullah
b. Butir ke-24 : Suatu perselisihan antara pihak yang menyetujui piagam ini dikhawatirkan akan
membahayakan kehidupan bersama harus diselesaikan atas ajaran Allah.
c. Butir ke-17 : Perdamaian bagi kaum muslimin adalah satu
Sistem Pemerintahan dalam Islam Menurut Hasan al-Banna sebagaimana dikutip oleh
Muhammad Abdul Qadir Abu Faris,
a. Pemerintahan Islam adalah pemerintah yang terdiri dari pejabat-pejabat pemerintah yang
beragama Islam, melaksanakan kewajibankewajiban agama Islam dan tidak melakukan maksiat
secara terang-terangan, melaksanakan hukum-hukum dan ajaran-ajaran agama Islam.
b. Khilafah adalah pemerintahan Islam yang tidak dibatasi oleh teritorial, sehingga kekhalifahan
Islam meliputi berbagai suku dan bangsa. Ikatan yang mempersatukan kekhalifahan adalah
Islam sebagai agama. Pada intinya, khilafah merupakan kepemimpinan umum yang mengurusi
agama dan kenegaraan sebagai wakil dari Nabi Saw. Dalam bahasa Ibn Khaldun, kekhalifahan
adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-
hukum syariat Islam dan memikul da'wah Islam ke seluruh dunia. Menegakkan khilafah adalah
kewajiban bagi semua kaum muslimin di seluruh penjuru dunia.
Menurut Imam al-Mawardi tugas-tugas yang harus diemban oleh kepala negara (sebagai
kepala pemerintahan) ada sepuluh hal sebagai berikut:
1. Menjaga agama agar tetap berada di atas pokok-pokoknya yang konstan (tetap) dan sesuai
pemahaman yang disepakati oleh generasi salaf (terdahulu) umat Islam. Jika muncul pembuat
bid'ah atau pembuat kesesatan, ia berkewajiban untuk menjelaskan hujjah (alasan) kebenaran
baginya dan menjelaskan pemahaman yang benar kepadanya, serta menuntutnya sesuai dengan
hak-hak dan aturan hukum yang ada, sehingga agama terjaga dari kerancuan dan pemahaman
yang salah.
2. Menjalankan hukum bagi pihak-pihak yang bertikai dan memutuskan permusuhan antar pihak
yang berselisih, sehingga keadilan dapat dirasakan oleh semua orang. Tidak ada orang zalim
yang berani berbuat aniaya dan tidak ada orang yang dizalimi yang tidak mampu membela
dirinya.
3. Menjaga keamanan masyarakat sehingga manusia dapat hidup tenang dan bepergian dengan
aman tanpa takut mengalami penipuan dan ancaman atas diri dan hartanya.
4. Menjalankan hukum had34 sehingga larangan-larangan Allah tidak ada yang melanggarnya dan
menjaga hak-hak hamba-Nya agar tidak hilang binasa.
5. Menjaga perbatasan negara dengan perangkat yang memadai dan kekuatan yang dapat
mempertahankan negara sehingga musuh-musuh negara tidak dapat menyerang negara Islam
dan tidak menembus pertahanannya serta tidak dapat mencelakakan kaum muslimin atau
kalangan kafir mu'ahad (yang diikat janjinya).
6. Berjihad melawan pihak yang menentang Islam setelah disampaikan dakwah kepadanya hingga
ia masuk Islam atau masuk dalam jaminan Islam atau dzimmah. Dengan demikian, usaha untuk
menjunjung tinggi agama Allah di atas agama-agama seluruhnya dapat diwujudkan
7. Menarik fai-i (hasil rampasan) dan memungut zakat sesuai dengan ketentuan yang telah
ditetapkan oleh syari‟at Islam secara jelas dalam nash dan ijtihad.
8. Mengatur penggunaan harta baitul-maal secara efektif, tanpa berlebihan atau kekurangan, dan
memberikannya pada waktunya, tidak lebih dahulu dari waktunya dan tidak pula menundanya
hingga lewat dari waktunya.
9. Mengangkat pejabat-pejabat yang terpercaya dan mengangkat orang-orang yang kompeten
untuk membantunya dalam menunaikan amanah dan wewenang yang ia pegang dan mengatur
harta yang berada di bawah wewenangnya, sehingga tugas-tugas dapat dikerjakan dengan
sempurna dan harta negara terjaga dalam pengaturan orang-orang yang tepercaya.
10. Agar ia melakukan sendiri inspeksi atas pekerjaan para pembantunya dan meneliti jalannya
proyek sehingga ia dapat melakukan kebijakan politik umat Islam dengan baik dan menjaga
negara. la tidak boleh menyerahkan tugas ini kepada orang lain karena sibuk menikmati
kelezatan atau beribadah, karena orang yang terpercaya dapat saja menjadi pengkhianat dan
orang yang baik dapat saja berubah menjadi penipu.
Ada beberapa ciri pemimpin yang tidak amanah dan bisa mengancam kehidupan kaum yang
dipimpinnya, di antaranya:
Pertama, tak memenuhi syarat sebagai seorang pemimpin. Menurut kesepakatan para ulama, syarat
seorang pemimpin adalah: Islam, baligh dan berakal, lelaki, mampu (kafaah), dan sehat anggota
badannya.
Kedua, pemimpin yang hanya mementingkan dirinya sendiri, keluarga, sahabat atau kelompoknya
sendiri (ananiyah dan asobiyah) .
Ketiga, pemimpin yang berbuat sewenang-wenang (khianat, dzhalim). Ia memimpin hanya untuk
meraih kekuasaan, uang, dan mendapat fasilitas dari negara.
Keempat, pemimpin yang menyesatkan rakyat. Ini adalah tipe pemimpin yang paling dikhawatirkan
Rasulullah SAW. Pemimpin seperti ini adalah pemimpin yang berbahaya, bahkan lebih
berbahaya dari Dajjal laknatullah.
Kelima, pemimpin yang merusak tatanan sosial masyarakat. Seperti merajalelanya kemaksiatan,
kejahatan, narkoba, perzinaan, dan tindakan kriminal lainnya, sehingga tampak kerusakan
nyata, tapi dibiarkan atau ada "pembiaran" oleh penguasa.
Dasar-dasar Kepemimpinan.
Pertama, tidak mengambil orang kafir atau orang yang tidak beriman sebagai pemimpin bagi
orang-orang muslim karena bagaimanapun akan mempengaruhi kualitas keberagamaan
rakyat yang dipimpinnya, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an; Surat An-Nisaa:
144.
Kedua, tidak mengangkat pemimpin dari orang-orang yang mempermainkan Agama Islam,
sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Maidah: 57.
Ketiga, pemimpin harus mempunyai keahlian di bidangnya, pemberian tugas atau wewenang
kepada yang tidak berkompeten akan mengakibatkan rusaknya pekerjaan bahkan
organisasi yang menaunginya. Sebagaimana Sabda Rasulullah sa. “Apabila suatu urusan
diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah masa kehancurannya”. (HR
Bukhori dan Muslim).
Keempat, pemimpin harus bisa diterima (acceptable), mencintai dan dicintai umatnya, mendoakan
dan didoakan oleh umatnya. Sebagaimana Sabda Rasulullah saw. “Sebaik-baiknya
pemimpin adalah mereka yang kamu cintai dan mencintai kamu, kamu berdoa untuk
mereka dan mereka berdoa untuk kamu. Seburuk-buruk pemimpin adalah mereka yang
kamu benci dan mereka membenci kamu, kamu melaknati mereka dan mereka melaknati
kamu.” (HR Muslim).
Kelima, pemimpin harus mengutamakan, membela dan mendahulukan kepentingan umat,
menegakkan keadilan, melaksanakan syari’at, berjuang menghilangkan segala bentuk
kemunkaran, kekufuran, kekacauan, dan fitnah, sebagaimana Firman Allah SWT. Dalam
Alquran, Surat Al-Maidah: 8.
Keenam, pemimpin harus memiliki bayangan sifat-sifat Allah swt yang terkumpul dalam Asmaul
Husna dan sifat-sifat Rasul-rasul-Nya.
Karakter yang harus dimiliki dalam sebuah kepemimpinan menurut Islam adalah:
Pertama, Shidiq (jujur). Seorang pemimpin wajib berlaku jujur dalam melaksanakan tugasnya.
Jujur dalam arti luas. Tidak berbohong, tidak menipu, tidak mengada-ngada fakta, tidak
bekhianat, serta tidak pernah ingkar janji dan lain sebagainya.
Kedua, Amanah (tanggung jawab). Setiap pemimpin harus bertanggung jawab atas usaha dan
pekerjaan dan atau jabatan yang telah dipilihnya tersebut. Tanggung jawab di sini artinya,
mau dan mampu menjaga amanah (kepercayaan) masyarakat yang memang secara
otomatis terbeban di pundaknya. Dalam pandangan Islam, setiap pekerjaan manusia
adalah mulia. Pemimpin merupakan suatu tugas mulia, lantaran tugasnya antara lain
memenuhi kebutuhan seluruh anggota masyarakat akan barang dan atau jasa untuk
kepentingan hidup dan kehidupannya.
Ketiga, tidak menipu. Pemimpin hendaknya menghindari penipuan, sumpah palsu, janji palsu,
keserakahan, perselisihan dan keburukan tingkah polah manusia lainnya. Setiap sumpah
yang keluar dan mulut manusia harus dengan nama Allah. Jika sudah dengan nama Allah,
maka harus benar dan jujur. Jika tidak henar, maka akibatnya sangatlah fatal. Oleh sehab
itu, Rasulululah saw selalu memperingatkan kepada para pemimpin untuk tidak
mengobral janji atau berpromosi secara berlebihan yang cenderung mengada-ngada,
semata-mata agar terpilih, lantaran jika seorang pedagang berani bersumpah palsu, akibat
yang akan menimpa dirinya hanyalah kerugian.
Keempat, menepati janji. Seorang pemimpin juga dituntut untuk selalu menepati janjinya, baik
kepada rakayat terlebih lagi tentu saja, harus dapat menepati janjinya kepada Allah swt.
Janji yang harus ditepati oleh para pemimpin. Sementara janji kepada Allah yang harus
ditepati oleh para pemimpin Muslim misalnya adalah salatnya. Sebagaimana Firman
Allah dalam Alquran: “Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kamu di muka
bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyaknya supaya kamu
beruntung. Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk
menuju kepadaNya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhutbah).
Katakanlah: “Apa yang di sisi Allah adalah lebih baik daripada permainan dan
perniagaan”, dan Allah sebaik-baik pemberi rezki” (QS Al Jumu’ah:10-11)
Kelima, murah hati. Dalam suatu hadis, Rasulullah saw menganjurkan agar para pemimpin selalu
bermurah hati dalam melaksanakan pemerintahani. Murah hati dalam pengertian; ramah
tamah, sopan santun, murah senyum, suka mengalah, namun tetap penuh tanggungjawab.
Sabda Rasulullah SAW: “Allah berbelas kasih kepada orang yang murah hati ketika ia
menjual, bila membeli dan atau ketika menuntut hak”. (HR Bukhari)
Keenam, tidak melupakan akhirat. Kepemimpinan adalah perdagangan dunia, sedangkan
melaksanakan kewajiban Syariat Islam adalah perdagangan akhirat. Keuntungan akhirat
pasti lebih utama ketimbang keuntungan dunia. Maka para pemimpin muslim sekali-kali
tidak boleh terlalu menyibukkan dirinya semata-mata untuk mencari keuntungan materi
dengan meninggalkan keuntungan akhirat. Sehingga jika datang waktu salat, mereka
wajib melaksanakannya sebelum habis waktunya.