Anda di halaman 1dari 426

HUKUM ADMINISTRASI DAN ACARANYA

BAB I

PENDAHULUAN

A. Negara Hukum

Munculnya pemikiran tentang negara hukum

sebenarnya dimulai sejak abad XIX sampai dengan abad

XX. Arti negara hukum itu sendiri pada hakikatnya

berakar dari konsep teori kedaulatan hukum yang pada

prinsipnya menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi di

dalam suatu negara adalah hukum, oleh sebab itu

seluruh alat perlengkapan negara apapun namanya

termasuk warga negara harus tunduk dan patuh serta

1
menjunjung tinggi hukum tanpa kecuali. Krabe

mengemukakan bahwa: 1

“Negara sebagai pencipta dan penegak hukum di


dalam segala kegiatannya harus tunduk pada
hukum yang berlaku. Dalam arti ini hukum
membawahkan negara. Berdasarkan pengertian
hukum itu bersumber dari kesadaran hukum
rakyat, maka hukum mempunyai wibawa yang
tidak berkaitan dengan seseorang (impersonal)”.

Berdasarkan konsep inilah berkembang teori

negara hukum yang menghendaki adanya unsur-unsur

tertentu dalam penyelenggaraan sistem ketatanegaraan,

yaitu:2

1. Jaminan Hak Asasi Manusia3 (Warganegara).

Unsur ini ditempatkan yang pertama kali karena

sejatinya negara itu terbentuk karena adanya kontrak

sosial.4 Dari kontrak sosial inilah individu-individu

dalam ikatan kehidupan bersama dalam negara

1
Usep Ranawijaya, Hukum Tatanegara Dasar-Dasarnya, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hlm.
181.
2
Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern, Refika Aditama, 2009, hlm. 27.
3
Musdah Mulia, Islam dan Hak Asasi Manusia, Naufan Pustaka, Bandung, 2010. hlm. 18. Ada
empat hal pokok HAM yakni hak individual, hak kolektif, hak sipil dan politik serta hak ekonomi,
sosial dan budaya.
4
Bandingkan dengan Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, 2005, hlm. 61.

2
menyerahkan hak-hak politik dan sosialnya kepada

komunitas negara, maka negara harus memberikan

jaminan kepada hak-hak yang melekat di dalam

individu-individu maupun di dalam ikatan kehidupan

kemasyarakatan. Hal ini bisa terjadi, karena di dalam

kontrak sosial tersebut kedudukan antara negara

sebagai suatu ikatan organisasi di satu pihak dengan

warga negara secara keseluruhan di pihak lain adalah

sejajar. Masing-masing mempunyai hak dan

kewajiban yang sama. Oleh sebab itulah diantara

keduanya harus saling memberikan perlindungan,

dan karena negara adalah organisasi kekuasaan,

dimana sifat kodrati kekuasaan itu cenderung

disalahgunakan, maka kewajiban untuk melindungi

hak-hak asasi warga negara menjadi mutlak dan

diletakkan dalam tanggung jawab maupun tugas dari

negara.

2. Pemisahan atau Pembagian Kekuasaan.

3
Untuk memberikan jaminan terhadap perlindungan

hak-hak asasi manusia, maka kekuasaan di dalam

negara harus dipisah-pisah dan dilaksanakan oleh

beberapa organ negara. Sejarah peradaban manusia

membuktikan bahwa ketika kekuasaan itu

dilaksanakan secara absolut oleh satu tangan dan

dilaksanakan secara otoriter karena tidak dilandasi

aturan main, maka terjadilah penindasan terhadap

harkat dan martabat kemanusiaan. Oleh sebab itulah,

antara kekuasaan menjalankan pemerintahan

(eksekutif), kekuasaan membentuk perundang-

undangan (legislatif), dan kekuasaan untuk

melaksanakan peradilan (yudikatif) harus dipisahkan.

Implementasi dari prinsip pemisahan kekuasaan ini

dapat beraneka ragam. Ada yang berdimensi

pembagian kekuasaan, yakni pemisahan dari aspek

kelembagaan sedangkan mengenai fungsi dan

tugasnya masih tetap bisa saling berhubungan. Ada

4
juga yang berdimensi pemisahan secara tegas baik

secara kelembagaan maupun fungsi dari masing-

masing pemegang kekuasaan tersebut. Terlepas dari

implementasi tersebut, pada hakikatnya unsur

adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan yang

ada di dalam organisasi kekuasaan yang disebut

negara tetap bertujuan agar kekuasan-kekuasaan itu

tidak disalahgunakan yang pada akhirnya justru

menindas harkat dan martabat kemanusiaan dari

warga negara.

3. Asas Legalitas Pemerintahan.

Maksud dari asas ini adalah pemerintah dalam

melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya harus

berdasarkan pada hukum atau peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Hukum harus menjadi

landasan bagi negara dalam menjalankan

pemerintahan.

4. Prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak.

5
Prinsip seperti ini bagi negara hukum sangatlah

penting. Supremasi hukum yang diletakkan dalam

kehidupan ketatanegaraan harus benar-benar

terjamin pelaksanaannya. Peradilan yang bebas dan

tidak memihak tidak semata-mata diletakkan dalam

konteks kebebasan lembaga peradilan, yakni melalui

prinsip independensi hakim, melainkan harus

diletakkan dalam konteks proses peradilan dalam

rangka penegakan hukum (law enforcement). Dengan

demikian dalam mekanisme proses peradilan yang

harus bebas dan tidak memihak menyangkut organ-

organ penegak hukum, seperti hakim, Jaksa,

Kepolisian maupun para pengacara (advokat).

Dalam pada itu menurut Sunaryati Hartono

dinyatakan:5

Dalam UUD 1945 Pasca Amandemen Pasal 1

ditambahkan dengan satu ayat yang berbunyi: “(3)

5
Sunaryati Hartono, Ombudprudensi, Lembaga Negara Ombudsman, Jakarta, 2010, hlm. 11

6
Negara Indonesia adalah Negara hukum” Menjadi

pertanyaan: Bagaimanakah bentuk dan sistem Hukum

dalam Negara Hukum itu ? Faham tentang Hukum dan

Negara Hukum berasal dari abad ke-18 yang

menganggap Hukum identik dengan Undang-undang

dan kodifikasi. Karena itu faham “Negara Hukum” di

abad itu diartikan sebagai negara yang berdasarkan

undang-undang, yang mengikat baik warga negara

maupun Pemerintah dan Penguasa. Tetapi di abad ke-

20 faham Negara Hukum seperti itu sudah dirasakan

terlalu sempit, karena meredusir “Hukum” menjadi

Undang-undang atau peraturan perundang-undangan

semata, yang seringkali menghapus unsur kepatutan

dan keadilan. Karena itu di abad ke-20 Negara Hukum

diartikan sebagai negara yang sistem Hukum dan

penyelenggaraan negara tidak hanya memelihara

ketertiban dan keamanan, tetapi juga karena itu suatu

Negara Hukum di abad ke-20 diukur berdasarkan

7
tingkat kesejahteraan masyarakat pada umumnya di

negara itu.

Dalam teori negara hukum maka dapat diuraikan

adanya tiga tipe negara hukum yakni negara hukum

dengan konsep rechsstaat, rule of law dan negara

hukum hukum Pancasila. Konsep negara hukum

tersebut adalah sebagai berikut:

1. Konsep negara hukum Rechsstaat

Konsep Rechtsstaat berkembang dalam sistem

hukum Eropa Kontinental. Perkembangan sistem

hukum Eropa Kontinental terjadi dalam beberapa fase

sebagai berikut:6

a. Fase Formasi Hukum Romawi;

Fase formasi hukum Romawi dimulai saat

lahirnya sistem hukum Eropa Kontinental, yakni

ketika mulai berlakunya Undang-Undang Dua

6
Munir Fuady, Negara Hukum ...Op.Cit, hlm. 56

8
Belas Pasal (The Twelve Tables) di Romawi. Hal

tersebut terjadi di sekitar tahun 400 SM.

b. Fase Kematangan Hukum Romawi;

Fase kematangan hukum Romawi terjadi

pada saat mulai berlakunya kumpulan undang-

undang yang sangat spektakuler di Romawi, yakni

saat mulai berlakunya Corpus Juris Civilis, yang

dibuat atas supervisi dari Kaisar Justinian, di abad

VI Masehi.

c. Fase Kebangkitan Kembali Hukum Romawi;

Fase Kebangkitan Kembali Hukum Romawi

ini terjadi tatkala timbulnya semangat di Eropa

untuk memahami dan menerapkan kembali

hukum Romawi, yang terjadi pada abad XI Masehi.

Hal ini dimulai dengan mereka beramai-ramai

mempelajari hukum Romawi di Universitas of

Bologna (Italia), yang dilakukan dalam tahun 11

Masehi.

9
d. Fase Resepsi Hukum Romawi;

Fase Resepsi Hukum Romawi ini terjadi tatkala

sistem hukuRomawi, khususnya yang disebut

dengan Jus Commune, diberlakukan di berbagai

negara Eropa, yang terjadi sejak awal abad XVI

Masehi.

e. Fase Kodifikasi Hukum;

Fase kodifikasi ini terjadi tatkala dibuat

beberapa kodifikasi di berbagai negara, yang paling

spektakuler tentu saja Code Napoleon di Perancis,

yang terdiri dari Code Civil, Code Penal, Code Du

Commrece. Hal ini terjadi sejak awal abad XIX.

f. Fase Resepsi Kodifikasi;

Fase Resepsi Kodifikasi ini terjadi tidak lama

setelah terciptanya kodifikasi di Perancis (dengan

Code Napoleon), ditandai dengan banyaknya negara

di benua Eropa dan juga negara-negara di benua

lain yang memberlakukan Code Napoleon, dengan

10
di sana-sini dilakukan perubahan. Belanda

misalnya mulai antara lain memberlakukan

Burgerlijke Wetboek dalam tahun 1838, yang

kemudian dibawa ke Indonesia dan berlaku dalam

tahun 1848.7

Sementara itu istilah negara hukum sebenarnya

baru mulai tampil kemuka dalam abad ke-19. Cita-

cita negara hukum pada asalnya sangat dipengaruhi

oleh aliran individualisme. Dalam dunia Barat ide

negara hukum ini telah mendapat dorongan kuat dari

renaissance dan reformasi. Manusia pribadi meminta

pengakuan hukum yang lebih layak. Segala sesuatu

ini sebagai reaksi atas kekuasaan tak terbatas yang

telah bertambah dari raja-raja, terkenal sebagai

zaman absolutisme.8

2. Konsep Negara Hukum Rule of Law

7
Ibid., hlm. 57.
8
Sudargo Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung, 1983, hlm. 1.

11
Sedangkan negara hukum dengan konsep Rule

of Law adalah konsep dimana tindakan-tindakan

negara terhadap warganya dibatasi oleh hukum.

Konsep ini berkembang di negara dengan sistem

hukum Anglo Saxon. Sistem hukum Anglo Saxon atau

disebut juga dengan sistem hukum common law,

merupakan suatu sistem hukum yang berlaku di

Inggris dan di negara-negara bekas jajahannya

sampai saat ini. Karena itu, sistem hukum Anglo

Saxon ini berlaku sampai saat ini misalnya di Inggris,

Amerika Serikat, Kanada, Australia, India, Malaysia,

Singapura, dan lain-lain.

Istilah “Anglo Saxon” itu sendiri berasal dari

nama bangsa, yaitu bangsa Angel-Sakson, yang

pernah menyerang dan menjajah Inggris, sebelum

akhirnya pada tahun 1066 ditaklukkan oleh Hertog

Normandia William Sang Penakluk (1028-1087) dalam

suatu pertempuran berdarah di Hasting. Kala itu,

12
William mempertahankan hukum kebiasaan

masyarakat pribumi, dengan memasukkan juga

unsur-unsur hukum feodal yang berasal dari sistem

hukum Eropa Kontinental. Hukum Kebiasaan

tersebut tetap saja berlaku, bahkan sebagai satu-

satunya sumber hukum, yang merupakan hukum

kebiasaan lokal bangsa Anglo-Saxon, Karena

merupakan hukum kebiasaan (common law) dari

sinilah muncul istilah sistem hukum “common law”

yang merupakan istilah lain dari sistem hukum

”Anglo Saxon”. Hukum Anglo Saxon itu sendiri

sebenarnya terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut:9

a. Hukum Common Law dalam arti sempit, yang

berasal dari hukum adat Inggris yang

dikembangkan oleh putusan-putusan pengadilan

(judge made law).

9
Munir Fuady, Perbandingan Hukum…, Op.Cit., hlm. 58

13
b. Hukum Equity, yang berkembang sejak abad XV

dan XVI, tetapi kaidah-kaidahnya tetap berlaku

sampai saat ini.

c. Statute Law yang merupakan hukum yang ditulis

dalam undang-undang, yang berbeda dengan

sistem hukum Eropa Kontinental, statute law

kurang populer di negara-negara yang menganut

sistem hukum Anglo Saxon tersebut.

Dalam tatanan sistem hukum Anglo Saxon ini

lahir konsep Rule of Law. Konsep Rule of Law adalah

konsep yang menyatakan bahwa pemerintahan

dijalankan berdasarkan kekuasaan hukum. Hukum

menempatkan individu sebagai pihak yang harus

dilindungi. Pelanggaran terhadap hak individu adalah

pelanggaran hukum. Selanjutnya, bahwa

pelanggaran-pelanggaran atas hak-hak individual ini

hanya dapat dilakukan, apabila diperbolehkan dan

berdasarkan peraturan-peraturan hukum. Inilah yang

14
dinamakan pula azas legalitas dari negara hukum.

Tiap tindakan negara harus berdasarkan hukum.

Peraturan-peraturan perundang-undangan yang telah

diadakan lebih dahulu, merupakan batas kekuasaan

bertindak negara. Jadi negara membentuk undang-

undang justru untuk membatasi kekuasaan negara

melalui pemerintahannya agar tidak sewenang-

wenang.

Dicey, mengatakan bahwa supremasi hukum

dari arti Rule of Law adalah:10

1) Supremasi absolut ada pada hukum, bukan pada

tindakan kebijaksanaan atau prerogatif penguasa.

2) Berlakunya prinsip persamaan dalam hukum

(equality before the law) dimana semua orang harus

tunduk kepada hukum, dan tidak seorang pun

yang berada di atas hukum (above the law).

10
Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern, op.cit, hlm. 3.

15
3) Konstitusi merupakan dasar dari segala hukum

bagi negara yang bersangkutan. Dalam hal ini,

hukum yang berdasarkan konstitusi harus

melarang setiap pelanggaran terhadap hak dan

kemerdekaan rakyat.

Menurut Dicey, makna dari supremasi hukum,

dengan mengutip hukum klasik dari Pengadilan-

pengadilan di Inggris, adalah sebagai berikut: Hukum

menduduki tempat tertinggi, lebih tinggi dari

kedudukan raja, terhadapnya raja dan

pemerintahannya harus tunduk, dan tanpa hukum

maka tidak ada raja dan tidak ada pula kenyataan

hukum ini.11

Pandangan para ahli filsafat hukum terhadap

rule of law dapat dikelompokkan ke dalam tiga

kategori sebagai berikut menurut Ann Van Wynen

11
Ibid., hlm. 2.

16
Thomas, sebagaimana dikutip oleh Munir Fuady

bahwa:12

1. Pandangan yang memandang hukum tidak lain

dari pengaturan dari pihak otoritas untuk

menyelesaikan hubungan-hubungan hukum, yang

dilaksanakan sesuai dengan kehendak dan

kekuasaan dari penguasa. Karena itu, konsep rule

of law dalam pengertian ini berarti keharusan

adanya suatu ketertiban umum yang

dipertahankan bila perlu melalui upaya paksa atau

ancaman-ancaman. Sehingga, konsep rule of law

dalam pengertian ini tidak pernah memiliki misi

untuk membatasi kegiatan, kekuasaan, dan

kedaulatan pejabat negara.

2. Pandangan yang memandang rule of law tidak

hanya merupakan pengaturan pihak otoritas untuk

menyelesaikan hubungan-hubungan hukum,

12
Ibid., hlm. 5.

17
melainkan juga menerima pengaturan dan

pembatasan terhadap tugas-tugas otoritas.

3. Pandangan yang memandang rule of law sebagai

konsensus dari masyarakat untuk suatu

ketertiban, sesuai prinsip-prinsip moral dan

keadilan.

Karena itu, konsep Rule of Law mempunyai

esensi dasar berupa:13

1. Negara memiliki hukum yang adil.

2. Berlakunya prinsip distribusi kekuasaan.

3. Semua orang, termasuk penguasa Negara harus

tunduk kepada hukum.

4. Semua orang mendapat perlakuan yang sama

dalam hukum.

5. Perlindungan hukum terhadap hak-hak rakyat.

3. Negara Hukum Pancasila yang Bertanggungjawab

13
Ibid., hlm. 6.

18
Menurut Soediman Kartohadiprodjo, Pada

tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan

Kemerdekaan Indonesia menetapkan berlakunya

Undang-Undang Dasar yang sekarang dikenal dengan

sebutan UUD NRI Tahun 1945. Pada alinea ke empat

dari Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 itu termuat

rumusan berikut “..., maka disusunlah Kemerdekaan

Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-

Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk

dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia14

yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada:

Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil

dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan

yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan/perwakilan, serta dengan

14
Strong, C.F., Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, Studi Perbandingan Tentang Sejarah dan
Bentuk, Terjemahan, Derta Sri Widowatie, Nusa Media, Bandung, 2011, hlm. 105. Negara kesatuan
adalah negara yang memiliki pelaksanaan kebiasaan otoritas legislatif tertinggi oleh satu kekuasaan
pusat. Berbeda halnya dengan negara federal, yakni suatu alat politik yang dimaksudkan untuk
merekonsilisasikan kekuasaan dan persatuan nasional dengan pemeliharaan hak-hak negara. Jadi
negara kesatuan adalah negara yang kekuasaan legislatifnya dibagi antara kekuasaan pusat dengan
kekuasaan daerah dengan unit-unit yang lebih kecil.

19
mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh

rakyat Indonesia”. Kata-kata “ ... dengan berdasarkan

kepada ... “ dalam alinea keempat dari Pembukaan itu

menunjukkan, bahwa keseluruhan pasal-pasal dari

Undang-undang Dasar itu disusun berdasarkan

Pancasila. Dengan kata lain, UUD NRI Tahun 1945 itu

dijiwai oleh, dan karena itu pemahamannyapun harus

didasarkan pada Pancasila. Dengan demikian, maka

Pancasila itu adalah asas atau “guiding principle”

dalam menegara di Indonesia. Sebagai asas menegara,

Pancasila dapat dikatakan sebagai Ideologi Negara.

Secara yuridis, Pancasila itu adalah pokok kaidah

negara yang fundamental. Dengan demikian, sebagai

guiding principle, Pancasila itu adalah norma kritis

untuk menguji dan mengkaji berbagai tindakan dan

putusan di bidang-bidang politik, kenegaraan, hukum

dan ekonomi.15

15
Soediman Kartohadiprodjo, Op.Cit., hlm. 27.

20
Dari apa yang telah dikemukakan di atas,

dapat disimpulkan, bahwa proses perumusan

Pancasila16 adalah hasil usaha para pemimpin

pergerakan nasional untuk menetapkan dasar-dasar

atau asas-asas untuk mewujudkan kemerdekaan dan

menyusun serta menyelenggarakan kemerdekaan itu

dalam suatu negara nasional. Dilihat dari sudut

politik praktis, maka Pancasila itu adalah perumusan

dan konsensus nasional yang secara moral mengikat

setiap insan politik Indonesia dalam menjalankan

kegiatan politik sebagai “guiding principle”.

Penempatan dalam pembukaan dan kedudukannya

dalam Undang-Undang Dasar, menyebabkan

Pancasila juga mempunyai kekuatan hukum. Karena

itu pula, perilaku dalam menjalankan kegiatan politik

yang secara konstitusional konsisten dengan UUD

16
Muchsin, Ikhtisar Sejarah Hukum, STIH IBLAM, Jakarta, 2004, hlm. 36.

21
NRI Tahun 1945 adalah pola perilaku (politik) yang

dijiwai oleh Pancasila.17

Dari apa yang telah dikemukakan tadi, tampak

bahwa UUD NRI Tahun 1945 tidak dibuat

berdasarkan ajaran dan pemahaman tentang hukum,

negara dan politik sebagaimana yang dikembangkan

di barat, jadi tidak berdasarkan dan tidak dijiwai

individualisme yang dikembangkan oleh John Locke,

Rousseau, Montesquieu, Kant, Hegel dan pemikir-

pemikir barat lain yang lebih kemudian. UUD NRI

Tahun 1945 oleh para pembentuknya secara sadar

disusun berdasarkan suatu falsafah yang berbeda

dengan falsafah yang melandasi dan menjiwai

undang-undang dasar yang ditemukan di dunia barat

(Amerika, Eropa, Australia, dan lain-lain) dan di

negara-negara lain yang dipengaruhi oleh dunia

pemikiran barat. Karena itu, sekali lagi, seyogyanya

17
Soediman Kartohadiprodjo, Op.Cit ., hlm. 28.

22
UUD Tahun 1945 dibaca, dipahami dan

diimplementasikan berdasarkan dari dalam semangat

Pancasila.18

Konsep negara hukum Pancasila oleh Sunaryati

Hartono difalsifikasi menjadi Negara hukum yang

bertanggungjawab ialah negara yang pembentukan

undang-undangnya dilakukan secara benar. Maria

Farida Indrarti Soeprapto19 mengatakan bahwa suatu

peraturan perundangan harus dibentuk sesuai

dengan asas-asas pembentukan peraturan

perundang-undangan yang baik (Algemeine

Beginselen van Berhorlijke Wetgeving). Asas

pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang

baik seperti dikemukakan di atas dirumuskan juga

dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

18
Ibid., hlm. 29.
19
Maria Farida Indrarti Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan, Bagian II, Kanisius, Jakarta,
2007, hlm. 231.

23
undangan khususnya Pasal 5 yang dirumuskan

sebagai berikut: Pasal 5:20

“Dalam membentuk Peraturan Pcrundang-undangan

harus berdasarkan pada asas pembentukan

Peraturan Perundang-undangan yang baik yang

meliputi:

a. kejelasan tujuan;

b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;

c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan;

d. dapat dilaksanakan;

e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;

f. kejelasan rumusan; dan

g. keterbukaan.”

4. Negara hukum berkeadilan

Menurut Asep Warlan, Tujuan hukum tidak bisa

dilepaskan dari tujuan akhir dan hidup bernegara

dan bermasyarakat yang tidak dapat dilepaskan dari

20
Lihat Pasal 5 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.

24
nilai-nilai dan falsafah hidup masyarakat itu sendiri,

yakni keadilan (rechtsvaardigheid atau justice).

Dengan demikian keberadaan hukum merupakan

sarana untuk mewujudkan kebahagiaan dan

kesejahteraan hidup lahir batin dalam kehidupan

bersama. Menurut Teori Pengayoman, implementasi

dalam tatanan hukum nasional harus bercirikan

responsif terhadap perkembangan dan aspiratif

terhadap pengharapan masyarakat. Atau dengan kata

lain, hukum ditujukan untuk menciptakan kondisi

kemasyarakatan yang manusiawi, sehingga

memungkinkan proses-proses kemasyarakatan

berlangsung secara wajar dan patut. Dengan

demikian, secara adil setiap manusia memperoleh

kesempatan yang luas untuk mengembangkan

seluruh potensi (lahiriah dan batiniah)

kemanusiaannya secara utuh. Adapun usaha

mewujudkan pengayoman ini akan mencakup: (1)

25
ketertiban dan keteraturan yang memunculkan

prediktabilitas; (2) kedamaian yang berketengarahkan

ketemteraman;(3) keadilan yang meliputi: keadilan

distributif, keadilan komutatif, keadilan vindikatif,

dan keadilan protektif; (4) kesejahteraan dan keadilan

sosial; (5) pembinaan akhlak luhur berdasarkan

Ketuhanan YME. Jadi tepatlah kiranya kata adil dan

keadilan disebut dua kali dalam Pancasila dan lima

kali dalam Pembukaan UD 1945 yang merupakan

staatsfundamentalnorm, sehingga memastikan bahwa

keadilan adalah saripati dalam kehidupan manusia

Indonesia yang beradab.21

Dalam kaitannya dengan berkeadaban,

nampaknya Asep Warlan Yusuf menekankan pada

sistem demokrasi yang harus berkeadaban. Dalam

Negara dengan sistem demokrasi berkeadaban,

dasarnya tetap bersumber pada negara kesejahteraan,


21
Asep Warlan Yusuf, Memuliakan Hukum yang Berkeadilan dalam Alam Hukum yang
Berkeadilan, Dalam: Butir-butir Pemikiran dalam Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2008, hlm. 220-
221.

26
maka sebagai negara kesejahteraan yang

berkeadaban, demokrasinya tidak boleh dilakukan

dengan melanggar hukum. Hukum dalam negara

demokrasi dan kesejahteraan harus berkeadilan.

Sehingga bagi Asep Warlan Yusuf, negara hukum

adalah negara hukum yang berkeadaban. Penekannya

tidak pada konsep keadilan. Mengapa demikian?

Hukum yang berkeadilan atau hukum yang

memuliakan keadilan ialah hukum yang dalam

penegakannya selalu menghargai dan menghormati

nilai-nilai berkeadaban. Tanpa nilai yang beradab

atau tanpa perbuatan yang beradab atau dapat

dikatakan tanpa prinsip berkeadaban mustahil

menciptakan hukum yang memuliakan keadilan.

Hukum yang meemuliakan keadilan terletak pada

adanya kepastian hukum, mengikuti pendapat Mochtar

Kusumaatmadja dengan teori hukum pembangunan,

maka demi unifikasi dan kodifikasi parsial, hokum

27
harus berbentuk tertulis. Ini juga merupakan aspek

legalitas dalam rangka law is a tool social engineering.

Dengan uraian di atas maka diperoleh kejelasan

serta kepastian hukum adalah terletak pada undang-

undang yang tidak multi tafsir, jelas, dapat

dilaksanakan, penegakan hukum yang progresif serta

mencerminkan rasa keadilan, karena kepastian hukum

juga bukti adanya kristalisasi keadilan. Keadilan, walau

disadari mempunyai berbagai konsep namun pada

hakekatnya tetap sama yakni semua orang akan

memperoleh haknya atau bagiannya yang seimbang

sesuai amal perbuatannya, bukan terletak pada jasa

atau tidak berjasanya seseorang atau juga bukan pada

semua adalah sama karena sebenarnya semua tidaklah

sama. Untuk itu L.J. van Apeldoorn berpendapat bahwa

kepastian hukum adalah kepastian suatu undang-

undang. Namun kepastian hukum tidak menciptakan

keadilan oleh karena nilai pasti dalam undang-undang

28
mewajibkan hal tertentu sedangkan kepentingan

manusia/penduduk tidak tentu. Misalnya: Undang-

undang antar penduduk dibuat secara umum (yaitu

memberi peraturan-peraturan yang umum), walaupun

alasannya tidak selalu tepat, karena beranekawarnanya

urusan-urusan manusia sangat tidak tentu, padahal

undang-undang harus menetapkan sesuatu yang

tentu.22

B. Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN)

1. Sejarah Badan Peradilan Tata Usaha Negara

(BPTUN)

Negara Kesatuan Republik Indonesia dibentuk

berdasarkan Konstitusinya yaitu Undang-undang

Dasar Tahun 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945

sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan. Dalam

Undang-undang Dasar Tahun 1945 tersebut

22
L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramitha, Jakarta, 2009, hal. 14

29
dinyatakan tentang tujuan Negara. Tujuan negara

tersebut terdapat dalam Pembukaan Undang-undang

Dasar Tahun 1945 yang setelah empat kali

amandemen, terakhir tahun 2002, diberi nama

lengkap Undang-undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, tujuan negara tidak berubah.

Tujuan negara adalah merupakan kepentingan utama

daripada tatanan suatu negara. Menata suatu negara

dimulai dari pembentukan hukum23.

Tujuan negara Indonesia adalah melindungi

segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah

Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut

melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan

kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan

23
Achmad Ali dengan mengutip pendapat Paton, memandang bahwa hukum dapat
didefinisikan dengan mengutip satu dari 5 kemungkinan yang ada yakni sesuai dengan sifat-sifatnya
yang mendasar, logis, relijius, ataupun etis; menurut sumbernya yaitu kebiasaan, preseden atau
undang-undang; menurut efeknya di dalam kehidupan masyarakat; menurut metode pernyataan
formalnya atau pelaksanaan otoritasnya dan menurut tujuan yang ingin dicapai. Lihat: Achmad Ali,
Menguak Tabir Hukum, Edisi Kedua, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2008, hlm. 17.

30
sosial.24 Tujuan negara ini kemudian dijabarkan

dalam isi atau batang tubuh Undang-undang Dasar

Negara Republik Indonesia 1945. Palaksanaannya

dalam bentuk pelbagai peraturan perundang-

undangan sebagai hukum25 tidak bergerak yang

dalam wujud hukum yang bergerak menjadi Rule of

Law (pemerintahan berdasarkan hukum).

Konsep Rule of Law adalah konsep yang

menyatakan bahwa pemerintahan dijalankan

berdasarkan kekuasaan hukum. Hukum

menempatkan individu sebagai pihak yang harus

dilindungi. Pelanggaran terhadap hak individu adalah

pelanggaran hukum. Selanjutnya, bahwa

pelanggaran-pelanggaran atas hak-hak individual ini

hanya dapat dilakukan, apabila diperbolehkan dan

berdasarkan peraturan-peraturan hukum. inilah yang

24
Lihat Alinea Keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945.
25
Franz Magnis Suseno, Etika Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001, hlm. 68.
Hukum adalah suatu sistem norma-norma yang mengatur kehidupan dalam masyarakat. Bersama
dengan norma-norma sopan santun dan moral, norma-norma hukum termasuk dalam kelompok norma
umum kelakuan manusia.

31
dinamakan pula azas legaliteit dari negara hukum.

Tiap tindakan negara harus berdasarkan hukum.

Peraturan-peraturan perundang-undangan yang telah

diadakan lebih dahulu, merupakan batas kekuasaan

bertindak negara. Jadi negara membentuk undang-

undang justru unuk membatasi kekuasaan negara

melalui pemerintahannya agar tidak sewenang-

wenang. Undang-undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 yang memuat azas-azas

hukum dan peraturan-peraturan hukum harus

ditaati, juga oleh pemerintah atau badan-badannya

sendiri.

Munir Fuady mengatakan:

“Konsep negara Rule of Law merupakan konsep

negara yang dianggap paling ideal saat ini, meskipun

konsep tersebut dijalankan dengan persepsi yang

berbeda-beda. Terhadap istilah “rule of law” ini dalam

bahasa Indonesia sering juga diterjemahkan sebagai

32
“supremasi hukum” (supremacy of law) atau

“pemerintahan berdasarkan atas hukum”,26

Pengakuan kepada suatu negara sebagai negara

hukum (government by law) sangat penting, karena

kekuasaan negara dan politik bukanlah tidak terbatas

(tidak absolut). Perlu pembatasan-pembatasan

terhadap kewenangan dan kekuasaan negara dan

politik tersebut, untuk menghindari timbulnya

kesewenang-wenangan dari pihak penguasa. Dalam

negara hukum tersebut, pembatasan terhadap

kekuasaan negara dan politik haruslah dilakukan

dengan jelas, yang tidak dapat dilanggar oleh

siapapun. Karena itu, dalam negara hukum, hukum

memainkan peranannya yang sangat penting, dan

berada di atas kekuasaan negara dan politik. Karena

itu pula, kemudian muncul istiah “pemerintah di

bawah hukum” (government under the law). Maka

26
Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern, Refika Aditama, Jakarta, 2009 hlm. 1.

33
terkenallah konsep yang di negara-negara yang

berlaku Common Law disebut sistem “pemerintahan

berdasarkan hukum, bukan berdasarkan (kehendak)

manusia” (government by law, not by men). Atau

sistem pemerintahan yang berdasarkan rule of law,

bukan rule of men. Sedangkan di negara-negara Eropa

Kontinental dikenal konsep “negara hukum”

(rechtstaat), sebagai lawan dari “negara kekuasaan”

(machstaat). Rechstaat ini adalah istilah bahasa

Belanda yang punya pengertian yang sejajar dengan

pengertian rule of law di negara-negara yang belaku

sistem Anglo Saxon. Dalam bahasa Indonesia sering

disebut sebagai “negara hukum”.

Indonesia sebagai negara hukum menekankan

adanya kegiatan pemerintah yang dijalankan sesuai

dengan ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

(sebagaimana telah diamandemen), kedaulatan berada

34
di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-

Undang Dasar. Selanjutnya menurut ketentuan Pasal

1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, negara Indonesia adalah

negara hukum. Hal ini berarti bahwa sistem

penyelenggaraan pemerintahan negara27 Republik

Indonesia harus berdasarkan atas prinsip kedaulatan

rakyat dan prinsip negara hukum. Berdasarkan

prinsip-prinsip tersebut, maka segala bentuk

keputusan dan tindakan aparatur penyelenggara

pemerintahan dengan demikian harus berdasarkan

atas kedaulatan rakyat dan hukum, dan tidak

berdasarkan kekuasaan yang melekat pada

kedudukan aparatur penyelenggara pemerintahan itu

sendiri.

A. Hamid S. Attamimi, mengutip pendapat

Burkens mengatakan, bahwa negara hukum


27
Ateng Syafrudin, Mengarungi Dua Samudera, Sayagatama, Bandung, 2006, hlm. 272.
Penyelenggaraan pemerintahan dapat ditinjau dari etika normative yakniberdasarkan teori nilai dan
teori kewajiban.

35
(rechtsstaat) secara sederhana adalah negara yang

menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan

negara dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut

dalam segala bentuknya dilakukan di bawah

kekuasaan hukum28.

Dalam negara hukum, segala sesuatu harus

dilakukan menurut hukum (everything must be done

according to law). Negara hukum menentukan bahwa

pemerintah harus tunduk pada hukum dan bukannya

hukum yang harus tunduk pada pemerintah.

Immanuel Kant dan Fichte memberikan

pengertian negara hukum dalam arti sempit (formil)

dan negara hukum dalam arti luas (materiil). Dalam

arti sempit (formil), negara hanya sebagai penjaga

malam (nachwakerstaat) artinya negara tersebut

hanya menjaga keamanan semata dan baru bertindak

ketika keamanan atau ketertiban umum terganggu.

28
A. Hamid S. Attamimi, Teori Perundang-Undangan Indonesia, Makalah pada Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap di Fakultas Hukum UI, Jakarta, 25 April 1992, hlm. 8.

36
Lain halnya dengan negara hukum dalam arti luas

(material), negara dalam hal ini bukan hanya menjaga

keamanan dan ketertiban semata melainkan juga

terlibat secara aktif dalam urusan kemasyarakatan

demi kesejahteraan umum bagi warganya. Oleh

karena itu pengertian negara hukum dalam arti

material sangat erat hubungannya dengan pengertian

negara kesejahteraan atau “welfare state”.29

Pandangan para ahli filsafat hukum terhadap

rule of law dapat dikelompokkan ke dalam tiga

kategori sebagai berikut menurut Ann Van Wynen

Thomas, sebagaimana dikutip oleh Munir Fuady

bahwa:30

1. Pandangan yang memandang hukum tidak lain dari

pengaturan dari pihak otoritas untuk

menyelesaikan hubungan-hubungan hukum, yang

dilaksanakan sesuai dengan kehendak dan


29
Djoko Prakoso, Peradilan Tata Usaha Negara (Undang-undang Nomor5/1986), Liberty,
Yogyakarta, 1988, hlm. 1.
30
Munir Fuady, Op.Cit., hal. 5.

37
kekuasaan dari penguasa. Karena itu, konsep rule

of law dalam pengertian ini berarti keharusan

adanya suatu ketertiban umum yang

dipertahankan bila perlu melalui upaya paksa atau

ancaman-ancaman. Sehingga, konsep rule of law

dalam pengertian ini tidak pernah memiliki misi

untuk membatasi kegiatan, kekuasaan, dan

kedaulatan Pejabat negara.

2. Pandangan yang memandang rule of law tidak

hanya merupakan pengaturan pihak otoritas untuk

menyelesaikan hubungan-hubungan hukum,

melainkan juga menerima pengaturan dan

pembatasan terhadap tugas-tugas otoritas.

3. Pandangan yang memandang rule of law sebagai

konsensus dari masyarakat untuk suatu

ketertiban, sesuai prinsip-prinsip moral dan

keadilan.

38
Karena itu, konsep Negara Rule of Law

mempunyai esensi dasar berupa:31

a. Negara memiliki hukum yang adil.

b. Berlakunya prinsip distribusi kekuasaan.

c. Semua orang, termasuk penguasa Negara harus

tunduk kepada hukum.

d. Semua orang mendapat perlakuan yang sama

dalam hukum.

e. Perlindungan hukum terhadap hak-hak rakyat.

Untuk melaksanakan konsep negara

berdasarkan atas hukum dalam pemerintahan hukum

maka sebenarnya masih dapat ditambahkan beberapa

elemen lagi agar suatu hukum dalam pemerintahan

menjadi hukum yang baik dalam suatu tatanan

negara hukum, antara lain dapat ditambahkan

31
Ibid., hal. 6.

39
elemen-elemen hukum sebagai berikut sebagaimana

diuraikan oleh Munir Fuady:32

1. Hukum harus dibuat secara sah oleh pihak yang

memiliki kewenangan yang sah (DPR dan Presiden

pada tingkat pusat dan DPRD dengan Gubernur

atau Walikota/bupati untuk tingkat daerah).

2. Hukum harus memenuhi persyaratan yuridis,

sosiologis, ekonomis, moralitas, filosofis, dan

modern.

3. Hukum harus selalu rasional.

4. Hukum harus bertujuan untuk mencapai kebaikan,

keadilan, kebenaran, ketertiban, efisiensi,

kemajuan, kemakmunan, dan kepastian hukum.

5. Hukum harus komunikatif, transparan, dan

terbuka untuk diakses oleh masyarakat.

6. Hukum harus aplikatif.

32
Ibid., hal. 8

40
7. Hukum lebih baik mencegah pelanggaran daripada

menghukum pelanggaran. Hukum lebih baik

mencegah daripada menghukum.

Selanjutnya, ada dua unsur dalam hukum yang

paling penting sehingga hukum tidak menabrak

prinsip-prinsip negara hukum adalah “kepastian”

hukum (certainty) dan prediktif. Jadi berbicara

tentang negara hukum berarti berbicara tentang

konsep negara yang berdasarkan kepada hukum,

sedangkan jika kita berbicara tentang negara

demokrasi, berarti kita berbicara tentang konsep

negara yang berdasarkan kepada kehendak rakyat.

Negara hukum pada pelaksanaan asas kepastian

hukum berarti suatu negara yang melaksanakan

ketentuan undang-undang yang dibentuknya

sebagaimana bunyi undang-undang. Namun

kepastian hukum tidak hanya dilihat dalam wujudnya

undang-undang namun bagaimana law enforcement

41
yaitu hukum dalam aksinya. Aksi hukum berhenti

ketika eksekusi atau pelaksanaan putusan pengadilan

telah dilakukan dengan baik artinya juga kepastian

hukum terdapat dalam pelaksanaan putusan suatu

pengadilan. Kepastian hukum dapat saja

mengabaikan rasa keadilan.

Konsep Negara hukum sangat percaya bahwa

hukum yang ditegakkan melalui mesin-mesin hukum

dapat mencapai suatu keadilan, padahal dalam

banyak hal, keadilan yang didambakan manusia

tersebut sangatlah relatif sifatnya, karenanya keadilan

seringkali hanya merupakan mimpi dan mitos saja.

Hukum dan keadilan sering hanya menjadi “candu”

bagi masyarakat. Namun demikian, kepastian hukum

dengan berbagai kelemahannya, telah merupakan

syarat utama agar negara tersebut dapat maju dan

kokoh dengan dukungan masyarakat yang mantap.33

33
Ibid., hal. 9

42
Dalam Liber Amicorum CFG. Sunaryati Hartono,

AF Elly Erawati menyatakan:

Mungkin agak berbeda dengan para ahli hukum


Indonesia lainnya, Sunaryati Hartono selalu
mengartikan hukum dalam arti yang luas, bukan
hanya sekadar norma atau kaidah yang memiliki
sanksi apabila dilanggar. Artinya menurut hukum
tidak bisa dimaknai secara normatif belaka, apalagi
untuk konteks masyarakat Indonesia yang
mengalami perubahan sosial secara terus menerus
sejak kemerdekaan tahun 1945. Beliau menulis
bahwa pada umumnya di Indonesia setiap kali
orang menyebut dengan istilah hukum maka yang
selalu dengan cepat terlintas di benak orang-orang
adalah undang-undang, perundang-undangan,
atau peraturan tertulis lainnya. Pendapat ini beliau
buktikan dengan mengutip definisi hukum
menurut Ensiklopedia Indonesia tahun 1982 yang
diterbitkan oleh Ichtiar Baru–Van Hoeve, Jakarta,
yang menyebutkan bahwa hukum merupakan
rangkaian kaedah, peraturan-peraturan, tata
aturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis ...
yang menentukan atau mengatur hubungan-
hubungan antar anggota masyarakat. Padahal
sebenarnya menurut beliau: “Hukum mempunyai
begitu banyak aspek dan terdiri dari jauh lebih
banyak komponen atau unsur yang lain, seperti
misalnya filsafat hukum, sumber hukum, kaedah
hukum, pelayanan hukum, profesi hukum,
lembaga hukum, pranata hukum, prosedur dan
mekanisme hukum, hukum acara, pendidikan
hukum, perilaku profesi hukum, kesadaran hukum
dan sebagainya. Semua itulah yang membangun
sistem hukum, yaitu hubungan dan kaitan

43
pengaruh mempengaruhi satu sama lain antara
berbagai komponen atau unsur yang disebut di
atas tadi. Aspek atau unsur mana yang dianggap
paling penting tergantung dari falsafah hukum
yang dianut oleh sistem hukum yang
bersangkutan. 34

Sunaryati Hartono dalam beberapa pendapatnya

juga selalu menegaskan perlunya ahli hukum, praktisi

hukum, ataupun akademisi, serta membedakan

pengertian hukum nasional dan hukum positif

Indonesia. Menurutnya, secara konseptual kedua

istilah itu memiliki perbedaan yang sangat esensial.

Dalam makalahnya yang berjudul “Landasan,

Kerangka dan Struktur, dan Materi Sistem Hukum

Nasional Kita”, beliau kembali menegaskan perbedaan

arti kedua istilah tersebut. Hukum Nasional adalah

ius contituendum sedangkan hukum positif adalah ius

constitutum. Hukum positif Indonesia adalah hukum

yang kini sudah ada dan berlaku di Indonesia,

34
Elly Erawati, Bayu Seto Hardjowahono, Ida Susanti, Beberapa Pemikiran tentang
Pembangunan Sistem Hukum Nasional Indonesia, Liber Amicorum untuk Prof. Dr. CFG. Sunaryati
Hartono, SH, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011, hlm. 7.

44
sedangkan hukum nasional Indonesia adalah hukum

yang belum seluruhnya ada di Indonesia dan karena

itu masih dipikirkan bagaimana membentuknya dan

apa serta bagaimana kerangka dan landasannya serta

filsafah dan materinya.35

Kemudian, Sunaryati Hartono menegaskan

bahwa yang diartikan sebagai Hukum Nasional

adalah:36

Seluruh filsafah hukum, nilai-nilai, asas-asas dan


norma hukum, maupun aparatur dan lain-lain
sumber daya manusia yang tergabung dalam
lembaga dan organisasi hukum selanjutnya,
proses dan prosedur serta interaksi dari
pelaksanaan hukum yang secara utuh
mewujudkan dan menggambarkan kehadiran
suatu tatanan hukum yang
menumbuhkembangkan kehidupan berbangsa,
bernegara, dan bermasyarakat yang berdasarkan
nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.

Seluruh komponen dalam definisi Hukum

Nasional itu merupakan bagian-bagian yang tidak

35
Ibid., hlm. 8.
36
Sunaryati Hartono, Potitik Pembaharuan Hukum Datam Pembangunan Hukum Di Indonesia,
Forum Komunikasi Penelitian Bidang Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, tanggal 5
Desember 1994 di Bandungan, Semarang; dan dalam Langkah Kebijaksanaan Pembinaan Hukum
Nasional Pada Pembangunan Jangka Panjang Tahap II.

45
terlepas dari sistem hukum tersebut. Artinya, sebagai

suatu sistem maka Hukum Nasional terdiri dari

sejumlah komponen atau bagian atau aspek yang

terkait satu sama lain oleh paling sedikit satu asas

atau prinsip, dan saling mempengaruhi sehingga

perubahan pada komponen yang satu akan

menimbulkan perubahan pula pada komponen-

komponen yang lain.37

Bagi Sunaryati Hartono, Dalam buku Ph.M.

Langbroek dan P. Rijkema, berjudul

“Ombudsprudentie” dikatakan bahwa kini telah terjadi

pergeseran dari faham negara hukum demokrasi ke

negara hukum yang bertanggungjawab.38

Dikatakan bahwa pergeseran dari Faham

Negara Hukum yang Demokratis ke Negara Hukum

yang bertanggung jawab ini disebabkan karena:39

37
Sunaryati Hartono, Landasan, Kerangka, Struktur Dan Materi Sistem Hukum Nasional Kita.
38
Ph. M. Langbroek & P. Rijpkema. Ombudsprudentie. (Boom Juridische Uitgevers, Den,
Haag 2004), hal 9, dsl. Dalam Sunaryati Hartono, Ombudsprudentie, op.cit.
39
Ibid.

46
1. Untuk mengembangkan dirinya warga negara dan

penduduk kini lebih tergantung pada Pemerintah

daripada sebelumnya;

2. Selama abad ke-20 terjadi perkembangan dan

pertumbuhan lembaga-lembaga birokrasi yang

secara kolektif (sebagai lembaga) atau oleh Pejabat

atau aparatur pemerintah (secara individual) dapat

menimbulkan ketidak seimbangan dalam

hubungan antara warga negara (yang lemah) dan

lembaga pemerintahan (yang sangat kuat), sehingga

mudah terjadi penyalahgunaan wewenang oleh

pemerintah terhadap warga masyarakat.

Terjadinya pergeseran dari negara hukum

demokratis ke negara hukum bertanggung jawab,

adalah, karena pada saat ini konsep “negara hukum”

sudah beralih dari negara hukum dalam arti sempit,

(yaitu negara yang pengambilan keputusannya

semata-mata berdasarkan peraturan perundang-

47
undangan saja), menuju ke negara hukum yang

demokratis. Sementara di pertengahan abad ke-20

faham negara hukum yang demokratis itu bahkan

terus bergeser menjadi faham negara hukum yang

bertanggungjawab.40

Titik tolak Negara Hukum yang berdasarkan

peraturan perundang-undangan adalah bahwa setiap

keputusan yang diambil oleh lembaga Negara dan

aparat Pemerintahan senantiasa harus berlandaskan

dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan,

yang ditentukan oleh wakil-wakil rakyat (DPR). Inilah

yang disebut asas legalitas atau asas kepastian

hukum.41

Ciri utama negara ini adalah munculnya

kewajiban pemerintah untuk mewujudkan

kesejahteraan umum bagi warganya. Dengan kata

lain, ajaran welfare state merupakan bentuk konkrit


40
Ph.M. Langbroek & P. Rijkema. Ombudsprudentie, (Den Haag: Boom Jurisdiche Uitgevers,
2004), h.9- 10, Dalam Sunaryati Hartono, Ibid, hal. 14.
41
Ibid.

48
dari peralihan prinsip “staatsonthouding”, yang

membatasi peran negara dan pemerintah untuk

mencampuri kehidupan ekonomi dan sosial

masyarakat, menjadi “staatsbemoeienis” yang

menghendaki negara dan pemerintah terlibat aktif

dalam kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat,

sebagai langkah mewujudkan kesejahteraan umum

disamping menjaga ketertiban dan keamanan (rust en

orde). Menurut E. Utrecht, sejak negara turut serta

secara aktif dalam pergaulan kemasyarakatan, maka

lapangan pekerjaan pemerintah makin lama makin

luas, administrasi negara diserahi kewajiban

menyelenggarakan kesejahteraan umum (bestuurzorg)

42. Tuntutan pelaksanaan kesejahteraan rakyat

mengakibatkan kekuasaan pemerintah tidak mungkin

lagi dikungkung semata-mata melaksanakan

wewenang yang didasarkan kepada Undang-undang.

42
E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, 1988,
hlm. 28-29.

49
Disamping berlakunya asas legalitas, untuk mencapai

hasil yang lebih baik pemerintah membutuhkan

kebebasan untuk bertindak sendiri yang dikenal

dengan Freies Ermessen.

Asas legalitas adalah salah satu prinsip dari

negara hukum yang bersifat universal (wetmatigheid

van het bestuur), yang mengandung makna bahwa

setiap tindakan hukum pemerintahan harus

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

berlaku, atau setiap tindakan hukum pemerintahan

harus berdasarkan pada kewenangan yang diberikan

oleh peraturan perundang-undangan. Asas tersebut

selain untuk menjamin kepastian hukum juga

dimaksudkan untuk menjamin dilaksanakannya

perlakuan yang sama oleh pemerintah. Maksudnya,

setiap orang yang berada dalam situasi seperti yang

ditentukan dalam undang-undang, berhak dan

berkewajiban untuk bertindak seperti yang ditentukan

50
dalam undang-undang tersebut. Di Perancis asas

tersebut dikenal dengan sebutan “le principe de la

legalite de l’administration”, di Jerman dengan sebutan

“Gesetzmassigkeit der Verwaltung”. Sedangkan di

Inggris asas tersebut merupakan bagian dari prinsip

“rule of law”.43

Dengan mendasarkan pada asas legalitas itulah

pemerintah melakukan berbagai tindakan hukum

dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan. Karena

dalam setiap tindakan hukum mengandung makna

penggunaan kewenangan, maka di dalamnya tersirat

adanya kewajiban pertanggungjawaban. Dalam

perspektif hukum publik, tindakan pemerintahan

tersebut selanjutnya tertuang dalam apa yang disebut

sebagai instrumen hukum dan kebijakan seperti

peraturan (regeling), keputusan (besluit), peraturan

kebijakan (beleidsregel), dan ketetapan (beschikking).


43
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
Buku I Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Pustaka sinar Harapan, Jakarta, 1993,
hlm. 83.

51
Sesuai sifatnya, tidak semua instrumen hukum

pemerintahan tersebut mampu menimbulkan akibat

hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata

secara langsung, yang berarti juga tidak dapat secara

langsung menuntut pertanggungjawaban kepada

pemerintah. Hanya instrumen hukum ketetapan

(beschikking) atau yang dalam undang-undang

tentang Peradilan Tata Usaha Negara digunakan

terminology Keputusan Tata Usaha Negara, yang dapat

menimbulkan akibat hukum secara langsung,

sehingga dapat dituntut pertanggungjawabannya

kepada pemerintah melalui gugatan ke pengadilan.

Dalam penyelenggaraan pemerintahan dan

kenegaraan, pertanggungjawaban itu melekat pada

jabatan, yang secara yuridis dilekati dengan

kewenangan. Dalam perspektif hukum, adanya

kewenangan inilah yang melahirkan

pertanggungjawaban. Hal itu sejalan dengan prinsip

52
“geen bevoegdheid zonder verantwoordelijkheud”; atau

“there is no authority without responsibility”. Pemberian

wewenang tertentu untuk melakukan tindakan

hukum tertentu, mengandung pertanggungjawaban

atas penggunaaan wewenang yang diberikan. A.D.

Belinfante menyatakan, “Niemand kan een

bevoegdheid uitoefenen zonder verantwording schuldig

te zijn of zonder dat of die uitoefening controle

bestaan”44 (tidak seorangpun dapat melaksanakan

kewenangan tanpa memikul kewajiban tanggung

jawab atau tanpa ada pelaksanaan pengawasan).

Menurut Suwoto, pengertian tanggung jawab

mengandung dua aspek, yaitu aspek internal dan

aspek eksternal. Pertanggungjawaban yang

mengandung aspek internal, hanya diwujudkan dalam

bentuk laporan pelaksanaan kekuasaan. Sedangkan

pertanggungjawaban yang mengandung aspek

44
A.D. Belinfante sebagaimana dikutip oleh Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara,
Cetakan Kedua, UII Press, Yogyakarta, 2003, hlm. 253.

53
eksternal, adalah pertanggungjawaban terhadap pihak

ketiga, apabila dalam melaksanakan kekuasaan itu

menimbulkan penderitaan atau kerugian.45

Sehubungan dengan pertanggungjawaban dan

tuntutan ganti kerugian sebagai akibat tindakan

hukum pemerintah tersebut, diperlukan adanya suatu

lembaga yang dapat memberikan putusan dalam hal

terjadi benturan kepentingan antara pemerintah dan

anggota masyarakat.

Badan peradilan administrasi pada hakikatnya

adalah salah satu badan yang dibentuk untuk

mengawasi tindakan pemerintah dan mempunyai

wewenang melakukan koreksi terhadap

penyimpangan yang dilakukan organ pemerintah

disamping adanya organ pengawasan yang lain. Organ

pengawasan lain tersebut antara lain, badan atasan

hirarkis organ pemerintahan dan badan banding

45
Suwoto, Kekuasaan dan Tanggung Jawab Presiden Republik Indonesia, Disertasi,
Universitas Airlangga, Surabaya, 1990, hlm. 80.

54
administrasi sebagai pengawas internal, lembaga

politik MPR, DPR(D), BPK, MA, lembaga-lembaga

swadaya masyarakat termasuk media massa dan

kelompok masyarakat yang mempunyai perhatian

terhadap bidang-bidang tertentu, komisi Ombudsman

Nasional, dan Badan Peradilan Umum.46

Sebagaimana telah dikemukakan dalam bab I

pada tanggal 29 Desember 1986, pemerintah dengan

persetujuan DPR telah mengundangkan Undang-

undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata

Usaha Negara yang juga disebut sebagai peradilan

administrasi lahirnya Undang-undang ini sangat

penting artinya secara yuridis formal memberi

landasan hukum bagi lembaga yudikatif untuk

menilai tindakan badan/Pejabat Tata Usaha Negara

dalam melaksanakan tugas menyelenggarakan urusan

pemerintahan. Peradilan Tata Usaha Negara telah

46
Paulus E. Lotulung, Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi Hukum Terhadap Pemerintah,
Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hlm. XVI.

55
tebentuk sejak diundangkan Undang-undang Nomor 5

Tahun 1986, namun secara efektif baru beroperasi

pada tanggal 14 Januari 1991 yaitu seiring dengan

dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun

1991 tentang Penerapan Undang-undang Nomor 5

Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Upaya-upaya pembentukan BPTUN dimulai

sejak UUD Tahun 1945, hingga saat disahkannya

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana

kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 9

Tahun 2004 dan terakhir dengan Undang-undang

Nomor 51 Tahun 2009 dan resmi beroperasi pada

tanggal 14 Januari 199147.

47
Dengan Keppres Nomor 52/1990, dibentuk untuk pertama kali PTUN di Jakarta, Medan,
Palembang, Surabaya, dan Ujung Pandang. Kemudian setelah itu dengan PP Nomor 7/1991, resmi
beroperasi melayani masyarakat pencari keadilan.

56
Upaya pembentukan BPTUN sebagai pranata

khusus berlangsung melalui perdebatan-perdebatan

yang panjang, dalam kurun waktu yang cukup lama48.

Alasan utama keinginan untuk membentuk

BPTUN, di samping alasan historis, Indonesia sebagai

penganut kelompok hukum civil law, yang diwarisi

dari pemerintah kolonial Belanda adalah juga alasan

kerinduan untuk memperoleh keadilan di bidang

sengketa TUN. Indonesia terlalu lama mengalami

masa penjajahan di bawah pemerintahan kolonial

Belanda. Pada waktu itu terjadi kesewenang-

wenangan, penindasan, pemerasan, dan sebagainya.

Tidak pernah ada kontrol, seperti yang berlangsung di

negaranya sendiri. Kerinduan itupun tetap ada,

bahkan lebih keras lagi, di zaman kemerdekaan,

48
Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, Undang-
Undang tentang PTUN disahkan pada tanggal 29 Desember 1986 (Lihat: UU Nomor5/1986, LN
Nomor 77/1986), kemudian PTUN dibentuk untuk pertama kalinya di Jakarta, Medan, Palembang,
Surabaya, dan Ujung Pandang (Lihat: Keppres Nomor 52/1990, dan resmi beroperasi melayani
masyarakat pencari keadilan pada tanggal 14 Januari 1991 (Lihat: PP Nomor 7/1991, LN Nomor 8/
1991). Jadi, PTUN terbentuk setelah 46 (empat puluh enam) tahun Indonesia Merdeka: Dalam Lintong
Siahaan, Teori Hukum dan Wajah PTUN Setelah Amandemen 2004, Perum Percetakan Negara RI,
Jakarta, 2009, hlm. 33.

57
karena sistem kontrol itu masih tetap belum ada,

meskipun pemerintahan itu telah beralih ke tangan

bangsa Indonesia sendiri.49 Perkembangan BPTUN

adalah sejalan dengan perkembangan kekuasaan

kehakiman sejak Indonesia merdeka.

2. Kompetensi Absolut Peradilan Tata Usaha Negara

Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN)

disebut juga “Peradilan Administrasi Negara”.50

Peradilan Tata Usaha Negara adalah badan peradilan

yang memeriksa dan memutus sengketa Tata Usaha

Negara. Adapun yang dimaksud dengan sengketa Tata

Usaha Negara adalah :

“Sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha

Negara antara orang atau badan hukum perdata

dengan badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik

dipusat maupun didaerah, sebagai akibat

dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara,


49
Lintong O Siahaan, Teori Hukum dan Wajah PTUN Setelah Amandemen 2004, Perum
Percetakan Negara, Jakarta, 2009, hlm. 34.
50
Undang-Undang Nomor5 tahun 1986, Pasal 144

58
termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku”.51

Atas dasar rumusan tersebut, sengketa Tata

Usaha Negara mengandung: pertama, subyek

sengketa adalah orang atau badan hukum perdata

dengan badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.

Apabila dikaitkan dengan pendapat Sjachran Basah

mengklasifikasi sengketa administrasi ke dalam

sengketa intern (sengketa antar administrasi negara)

dan sengketa ekstern (sengketa antara administrasi

negara dengan rakyat),52 maka sengketa Tata Usaha

Negara dimaksud termasuk sengketa ekstern dan

bukannya sengketa intern. Kedua, obyek sengketa

adalah Keputusan Tata Usaha Negara, sehingga dapat

dikatakan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara

merupakan conditio sine qua non bagi timbulnya

sengketa Tata Usaha Negara. Artinya tanpa adanya

51
Ibid, Pasal 1 angka 3.
52
Sjachrahan Basah, Op. Cit., hlm 210-224.

59
Keputusan Tata Usaha Negara tidak akan ada

sengketa Tata Usaha Negara. Sedangkan yang

dimaksud dengan Keputusan Tata Usaha Negara,

Pasal 1 angka 9 Undang-undang Nomor 51 Tahun

2009 merumuskan:

“Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu


penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan
hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang
bersifat konkrit, individual dan final, yang
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau
badan hukum perdata”.

Dengan rumusan demikian, pengertian

Keputusan Tata Usaha Negara mengandung elemen-

elemen tertentu sebagai kepastian untuk menentukan

bahwa keputusan organ pemerintah itu sebagai

Keputusan Tata Usaha Negara yang menjadi kompetisi

absolute Peradilan Tata Usaha Negara menurut

undang-undang PERATUN. Dalam dunia Ilmu

Pengetahuan Hukum Administrasi Negara, Keputusan

Tata Usaha Negara dengan unsur-unsur diatas lazim

60
disebut “ketetapan” atau “penetapan” (beschikking).53

Maksud penetapan tertulis adalah cukup ada hitam

diatas putih karena “istilah” penetapan “tertulis”

terutama menunjuk kepada isi dan bukan bentuk

keputusan…”54 sehingga sebuah memo atau nota saja

dapat memenuhi syarat sebagai penetapan tertulis.

Mengenai pengetian badan atau Pejabat Tata Usaha

Negara dirumuskan dalam Pasal 1 angka 2 Undang-

undang Nomor 5 Tahun 1986, yaitu: “Badan atau

Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan…”.

Selanjutnya penjelasan Pasal 1 ayat 1 undang-undang

tersebut menyatakan “…urusan pemerintahan ialah

kegiatan yang bersifat eksekutif”. Terhadap ketentuan

Philipus M. Hadjon menyatakan :

“Nampaknya istilah eksekutif begitu populer


kita gunakan tanpa menyadari kontradiksi yang
terdapat dalam pengertian itu sendiri. Pada
dasarnya pemerintah tidak hanya
melaksanakan undang-undang tetapi atas dasar

53
Bagir Manan, op.cit, hlm.97
54
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986, Pasal 1 angka 3 dan penjelasan

61
“freis ermessen” dapat melakukan perbuatan-
perbuatan lainnya meskipun belum diatur
secara tegas oleh undang-undang. Kepustakaan
Belanda lebih populer menggunakan istilah
“bestuur” dari pada istilah “uitvoerende macht”…
dalam kaitannya dengan KTUN, disamping
keputusan pelaksanaan (executive decision atau
gebonden beschikking) juga ada keputusan
bebas (discretionary decision atau vrije
beschikking). Kepustakaan Belanda
menggambarkan kegiatan/lapangan “bestuuren”
adalah seluruh lapangan kegiatan negara
setelah dikurangi “regel giving” dan
“rechtspraak”. Dengan demikian kalau
pengertian Tata Usaha Negara diartikan sebagai
urusan pemerintahan (Pasal 1 angka 1) maka
urusan pemerintahan itu tidak hanya meliputi
kegiatan yang bersifat eksekutif saja. Mungkin
konsep Belanda tersebut dapat kita gunakan
untuk merumuskan pengertian urusan
pemerintahan itu secara tepat. Hal ini menjadi
sangat penting artinya apabila kita kaitkan
dengan “toetsingsgronden…”.55

Untuk itulah pengertian badan atau Pejabat

Tata Usaha Negara janganlah diartikan semata-mata

secara struktual tetapi lebih ditekankan pada aspek

fungsional.56

55
Philipus M. Hadjon, et.al.op.cit, hlm.138
56
Ibid. Hlm. 139

62
Dalam penjelasan Pasal 1 angka 3 Undang-

undang Nomor 5 Tahun 1986, ditentukan: tindakan

hukum Tata Usaha Negara adalah perbuatan hukum

badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang

bersumber pada suatu ketentuan hukum Tata Usaha

Negara. Sehubungan dengan itu, kesulitan timbul

dalam menentukan kriteria yang digunakan untuk

mengkualifikasi suatu tindakan badan atau Pejabat

Tata Usaha Negara sebagai tindakan hukum Tata

Usaha Negara (administrasi).

Arti tindakan hukum Tata Usaha Negara

tidaklah sama dengan tindakan badan atau Pejabat

Tata Usaha Negara. Yuridis-teoritis, tindakan hukum

Tata Usaha Negara yang digariskan dalam Pasal 1

angka 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986

termasuk dalam jajaran tindakan hukum publik yang

bersifat sepihak (bersegi satu) dan diarahkan pada

sasaran yang individual.

63
Dari sifatnya sebagai tindakan hukum publik,

perlu dipahami perbedaan antara tindakan

pemerintah yang berdasarkan hukum publik dengan

“bestuurhandeling” yang berdasar hukum privat. Bagi

pemerintah dasar untuk melakukan tindakan hukum

publik adalah adanya kewenangan yang berkaitan

dengan jabatan, sedangkan dasar untuk melakukan

tindakan hukum privat adalah adanya kecakapan

bertindak (bekwaamheid) dari subyek hukum (orang

atau badan hukum). Dengan perbedaan terebut,

tanggung gugat sehubungan dengan suatu tindakan

hukum publik ada pada Pejabat (ambtsdrager),

sedangkan tanggung gugat sehubungan dengan

tindakan suatu tindakan hukum privat yang

dilakukan pemerintah ada pada badan hukum

(public). Jadi gugatan dalam sengketa Tata Usaha

Negara ditunjukkan kepada badan atau Pejabat Tata

Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan,

64
sedangkan dalam gugatan perdata ditujukan kepada

pemerintah sebagai badan hukum publik.57

Elemen konkrit diartikan dalam penjelasan

Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun

1986: “Obyek yang diputuskan dalam Keputusan Tata

Usaha Negara tidak abstrak, tetapi terwujud, tertentu

atau dapat ditentukan”, sedangkan bersifat individual

diartikan: ”...Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak

ditujukan untuk umum, tetapi tertentu baik alamat

maupun hal yang dituju. Kalau yang dituju itu lebih

dari seorang, tiap-tiap nama orang yang terkena

putusan itu disebutkan. Umpamanya keputusan

tentang atau pelebaran jalan dengan lampiran yang

menyebutkan nama-nama orang yang terkena

keputusan tersebut.”

Dalam penjelasan tersebut, individual diartikan

secara formal, yaitu “disebutkan”. Kalau tidak

57
Ibid, hlm. 139-140

65
disebutkan meskipun yang dituju jelas alamatnya,

maka tidak termasuk dalam pengertian individual.

Dalam keadaan konkrit dapat terjadi badan atau

Pejabat Tata Usaha Negara tidak menyebut nama dan

dengan demikian keputusannya tidak termasuk

kompetensi absolute Peradilan Tata Usaha Negara.

Untuk itulah, interprestasi fomal tidak cukup mampu

menjaring konsep sifat individual yang memberikan

perlindungan hukum bagi “justiciabelen”. Penggunaan

interprestasi materiil bagi pengertian individual

mutlak diperlukan.58

Unsur final hendaknya dikaitkan dengan akibat

hukum. Kriteria ini dapat digunakan untuk menelaah

apakah tahapan dalam suatu Keputusan Tata Usaha

Negara barantai sudah mempunyai kualitas

Keputusan Tata Usaha Negara. Kualitas mana

ditentukan oleh ada tidaknya akibat hukum. Contoh:


58
Philipus M. Hadjon, Peradilan Tata Usaha Negara: Tantangan Awal di Awal Penerapan
Undang-undang Nomor5 tahun 1986, Yuridika, Majalah Fakultas Hukum Unair, Surabaya. Nomor 2-3
tahun IV, Maret-April-Mei-Juni, 1991, hlm. 113.

66
permohonan izin tidak dapat diproses karena instansi

X tidak memberikan rekomendasi. Dalam hal ini

demikian penolakan perberian rekomendasi sudah

menimbulkan akibat hukum, jadi sudah final,

meskipun akibat hukum tersebut bukan akibat nyata.

Elemen menimbulkan akibat hukum bagi seseorang

atau badan hukum perdata membawa konsekuensi

bahwa penggugat haruslah seseorang atau badan

hukum perdata.

Sementara itu rumusan Pasal 1 angka 3

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 yang

menyatakan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara

tersebut harus “berdasarkan peraturan perundang-

undangan yang berlaku”, hal tersebut adalah sebagai

konsekuensi Indonesia sebagai negara hukum, yang

menganut asas legalitas pemerintahan, asas mana

menghendaki penyelenggaraan pemerintahan harus

67
berdasar kepada Undang-undang (wetmatigheld van

het bestuur).59

Dengan elemen-elemen tersebut, ternyata

pengertian Keputusan Tata Usaha Negara belum

tuntas. Masih terdapat pengurangan untuk hal-hal

yang tercantum dalam Pasal 2 dan penambahan

untuk hal-hal yang tertera dalam Pasal 3, serta

pembatasan terhadap keadaan seperti dimaksud pada

Pasal 49. Berdasarkan Undang-undang Nomor 51

Tahun 2009, Pasal 2 huruf f dan g diubah sehingga

selengkapnya bersembunyi:

Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata

Usaha menurut Undang-undang ini:

a. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan

perbuatan hukum perdata.

b. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan

pengaturan yang bersifat umum.

59
Indroharto (I), op.cit, hlm. 72

68
c. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih

memerlukan persetujuan.

d. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan

berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana atau Peraturan perundang-undangan lain

yang bersifat hukum pidana.

e. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan

atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan

berdasarkan ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

f. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha

Tentara Nasional Indonesia.

g. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik dipusat

maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum.

Apabila dikaji, apa yang tercantum dalam Pasal

2 tersebut adalah hal-hal yang memenuhi unsur-

unsur Pasal 1 angka 3 namun dikecualikan sebagai

69
Keputusan Tata Usaha Negara, dan sebagian isi Pasal

2 tersebut dapat dikatakan “berlebihan”. Misalnya

huruf a, dengan sendirinya tidak memenuhi unsur

“tindakan hukum Tata Usaha Negara”. Huruf b,

dengan sendirinya tidak memenuhi unsur “konkrit”

dan huruf c dengan sendirinya tidak memenuhi unsur

“final”, demikian juga dengan huruf d dan e,

sedangkan huruf f, masih bersifat problematis.60

Khusus untuk huruf g dengan telah dibentuknya

Mahkamah Konstitusi, berdasarkan Undang-undang

Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

dimana kewenangan antara lain “memutus

perselisihan tentang hasil pemilihan umum”,61 maka

mencantumkan huruf f pada Pasal 2 tersebut sudah

tepat.

Pasal 3 Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009

menentukan sebagai berikut :


60
Wicipto Setiadi, Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara : Suatu Perbandingan,
Cetakan Pertama, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 1994, hlm. 101-102.
61
Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003, Pasal 10 ayat (1) huruf d.

70
1) Apabila badan atau Pejabat Tata Usaha Negara

tidak mengeluarkan keputusan sedangkan hal itu

menjadi kewajibannya, maka hal tersebut

disamankan dengan Keputusan Tata Usaha

Negara.

2) Jika badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak

mengeluarkan keputusan yang dimohon,

sedangkan jangka waktu sengketa ditentukan

dalam peraturan perundang-undangan dimaksud

telah lewat maka badan atau Pejabat Tata Usaha

Negara tersebut dianggap telah menolak

mengeluarkan keputusan dimaksud.

3) Dalam hal peraturan perundang-undangan yang

bersangkutan tidak menentukan jangka waktu

sengketa dimaksud dalam ayat (2) maka setelah

lewat jangka waktu empat bulan sejak

diterimanya permohonan, badan atau Pejabat

71
Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap

telah mengeluarkan keputusan penolakan.

Ketentuan Pasal 3 itu tampak sebagai kebalikan

dari Pasal 2, yaitu hal-hal yang meskipun tidak

sepenuhnya memenuhi unsur Keputusan Tata Usaha

Negara yang dimaksud Pasal 1 angka 3, namun

dikategorikan sebagai Keputusan Tata Usaha Negara.

Hal ini merupakan perluasan pengertian Keputusan

Tata Usaha Negara, karena tidak berbuat dan tidak

ada keputusan tertulispun diidentikan dengan

Keputusan Tata Usaha Negara. Keputusan Tata Usaha

Negara adalah keputusan yang fiktif-negatif sifatnya.

Rumusan demikian dimaksudkan agar badan atau

Pejabat Tata Usaha Negara selalu bersikap tanggap

dan tertib dalam memberikan pelayanan kepada

masyarakat (public sevice). Pasal 3 Undang-undang

72
Nomor 5 Tahun 1986 dengan demikian telah

memperluas kompetensi absolute PERATUN.62

Pasal 49 Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009

menyatakan:

Pengadilan tidak berwenang memeriksa,


memutus dan menyelesaikan sengketa Tata
Usaha Negara tertentu dalam hal keputusan
yang disengketakan itu dikeluarkan:
a. Dalam waktu perang, keadaan bahaya,
keadaan bencana alam atau keadaan luar
biasa yang membahayakan, berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
b. Dalam keadaan mendesak untuk
kepentingan umum berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Kalau ketentuan Pasal 3 dapat diartikan sebagai

memperluas kompetensi absolute PERATUN, maka

apa yang ditentukan dalam Pasal 49 adalah bersifat

mempersempit ruang lingkup kompetensi PERATUN,

karena Keputusan Tata Usaha Negara yang

dikeluarkan dalam keadaan-keadaan tersebut diatas

62
Indoharto (I), Op.Cit, hlm. 187.

73
tidak termasuk dalam kompetensi PERATUN. Kapan

keadaan-keadaan tersebut terjadi, pada prinsipnya

untuk ketentuan Pasal 49 huruf a tidak akan begitu

menimbulkan permasalahan. Namun sehubungan

dengan rumusan Pasal 49 huruf b yang menyangkut

kriteria kepentingan umum apabila peraturan

perundang-undangan tidak jelas mengatur, maka hal

tersebut akan tergantung pada penafsiran dan

kearifan hakim untuk menentukannya. Seyogyanya

melalui peraturan perundang-undangan harus

ditentukan kriteria apa yang dimaksud dengan

kepentingan umum itu.63 Hal ini perlu dilakukan

untuk menjamin agar tidak terjadi penghalalan segala

macam tindakan badan atau Pejabat Tata Usaha

Negara atas dalih kepentingan umum.

3. Ciri-Ciri dan Asas-asas Peradilan Tata Usaha

Negara

63
Suparto Wijoyo, Karakteristik Hukum Acara Peradilan Administrasi, Airlangga University
Press, Surabaya, 1997, hlm. 13.

74
Ciri utama yang membedakan hukum acara

Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia dengan

hukum acara perdata atau hukum acara pidana

adalah hukum acaranya secara bersama-sama diatur

dengan hukum materilnya yaitu dalam Undang-

undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana diubah

dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang

perubahan atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986

tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan terakhir

dengan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009.

Pengaturan mengenai hukum acara bersama-

sama dengan hukum materil atau dengan susunan

dan kompetisi badan peradilan dalam satu undang-

undang itu dapat diterima, sebab cara pengaturan

hukum acara dalam hukum positif menurut Sjachran

75
Basah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian,

yaitu:64

1. Ketentuan prosedur berperkara diatur bersama-

sama dengan hukum materilnya atau dengan

susunan, kompetensi dari badan yang melakukan

peradilan dalam bentuk undang-undang atau

peraturan lainnya.

2. Ketentuan prosedur berperkara diatur tersendiri

masing-masing dalam bentuk Undang-undang atau

bentuk peraturan lainnya.

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 beserta

undang-undang perubahannya mengikuti kelompok

yang pertama dalam memberikan pengaturan

mengenai hukum acaranya. Penjelasan umum angka

5 Undang-undang tersebut menyatakan :

64
Sjachran Basah, Hukum Acara Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Administrasi
(HAPIA), Cetakan Kedua, Rajawali Pers, Jakarta, 1992, hlm. 2.

76
Dalam undang-undang ini juga diatur mengenai

hukum acara yang digunakan dalam proses Peradilan

Tata Usaha Negara, yang meliputi hukum acara

pemeriksaan tingkat pertama dan hukum acara

pemeriksaan tingkat banding. Hukum acara yang

digunakan Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai

persamaan dengan hukum acara yang digunakan

pada peradilan umum untuk perkara perdata, dengan

beberapa perbedaan, antara lain :

a. Pada Peradilan Tata Usaha Negara hakim berperan

lebih aktif dalam proses persidangan guna

memperoleh kebenaran materil dan untuk itu

Undang-undang ini mengarah pada ajaran

pembuktian bebas.

b. Suatu gugatan Tata Usaha Negara pada dasarnya

tidak bersifat menunda pelaksanaan Keputusan

Tata Usaha Negara yang disengketakan.

77
Ketentuan tersebut, sering menimbulkan

interprestasi yang keliru seakan-akan hukum acara

Peradilan Tata Usaha Negara sama dengan hukum

acara perdata, sehingga dalam praktek ada beberapa

pihak yang cenderung hanya mengedepankan

persamaan hukum acara ini, dan mengabaikan

adanya perbedaan-perbedaan prinsip lainnya antara

hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara dengan

hukum acara perdata.

Jika diperbandingkan, terdapat perbedaan yang

bersifat hakiki antara hukum acara Peradilan Tata

Usaha Negara dengan hukum acara perdata.

Mengenai sifat hukum acara perdata sesuai dengan

asas-asasnya, menurut Sudikno Mertokusumo, 65

1. Hakim bersifat menunggu

… yaitu inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak

diserahkan sepenuhnya kepada yang

65
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, edisi ketiga, cetakan Pertama,
Liberty Yogyakarta, 1988, hlm 2-3.

78
berkepentingan… kalau tidak ada tuntutan hak

atau penuntutan, maka tidak ada hakim (wokein

klager ist, ist kein richter, nemo judex sine acoter).

2. Hakim pasif

Hakim di dalam memeriksa perkara perdata

bersikap pasif dalam arti kata bahwa ruang lingkup

atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada

hakim untuk diperiksa pada asasnya ditentukan

oleh para pihak yang berperkara dan bukan oleh

hakim.

3. Sifat terbukanya persidangan

Sidang pemeriksaan pengadilan pada asasnya

adalah terbuka untuk umum, yang berarti bahwa

setiap orang dibolehkan hadir dan mendengarkan

pemeriksaan di persidangan.

4. Mendengar kedua belah pihak

79
Di dalam hukum acara perdata kedua belah pihak

haruslah diperlakukan sama, tidak memihak dan

didengar bersama-sama.

5. Putusan harus disertai alasan-alasan

Semua putusan pengadilan harus memuat alasan-

alasan putusan yang dijadikan dasar untuk

mengadili.

6. Beracara dikenakan biaya.

7. Tidak ada keharusan mewakilkan.

Menurut Philipus M. Hadjon menerangkan

sebagai berikut:66

a. Hakim Tata Usaha Negara tidak usah membatasi

diri pada bagian yang dipertentangkan dari suatu

keputusan akan tetapi dapat menguji seluruh

keputusan atas keabsahannya, juga lepas dari

motivasi yang mengajukan gugatan.

66
Philipus M. Hadjon et.al, op.cit, hlm 313.

80
b. Kemungkinan adanya “reformatio in peius”

(mengubah vonis yang merugikan

penggugat/pembanding).

c. Bisa juga bahwa suatu pembatalan yang bersifat

hukum administrasi ke suatu hasil yang lebih

negatif bagi seorang penggugat dibandingkan

dengan apa yang dihasilkan keputusan yang asli.

d. Hakim Tata Usaha Negara hanyalah dapat

membatalkan suatu keputusan.

e. Dalam hal itu penguasa harus mengambil suatu

keputusan baru dengan memperhatikan putusan

hakim. Bisa juga bahwa keputusan baru itu

mengenai isi sama dengan yang dibatalkan namun

hanya lebih baik dimotifasi dan atau lebih cermat

dipersiapkan.

f. Tindakan para penguasa adalah sentral dan bukan

(juga) tindakan dari penggugat (banding).

81
g. Hak gugat dari pihak ketiga dapat dimungkinkan

dari sifat hukum positif yang melandasi penetapan

penguasa.

h. Pihak-pihak tidak bisa menentukan bersama

apakah dapat dikatakan ada suatu keputusan. Hal

itu ditentukan sendiri oleh hukum positif.

Selain perbedaan perbedaan seperti tersebut

diatas, hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara

mempunyai ciri khas yang tercermin dalam asas-asas

hukum yang melandasi hukum acara Peradilan Tata

Usaha Negara. Asas-asas tersebut adalah :

a. Asas Praduga rechmatig (vermoeden van

rechtmatigheld-praesumptio iustae causa) yang

berupa “gugatan tidak menunda pelaksanaan

keputusan badan atau Pejabat Tata Usaha Negara

yang digugat” hal mana sebagaimana tercermin

pada Pasal 67 ayat (1) Undang-undang Nomor 5

Tahun 1986 yang berbunyi “Gugatan tidak

82
menunda atau menghalangi dilaksanakannya

keputusan badan atau Pejabat Tata Usaha Negara

serta tindakan badan atau Pejabat Tata Usaha

Negara yang digugat.

b. Asas pembuktian bebas (vrij bewijs). Hakim yang

menetapkan beban pembuktian. Penjelasan Pasal 5

Undang-undang Nomor 5 Tahun 198667

menegaskan: “…Undang-undang ini mengarah pada

ajaran pembuktian bebas”. Dengan arahan

demikian secara simplistik akan mudah dikatakan

bahwa ketentuan hukum acara Peradilan Tata

Usaha Negara tersebut bertumpu pada asas

pembuktian bebas. Asas ini dianut ketentuan Pasal

107 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang

menggariskan:

“Hakim yang menentukan apa yang harus

dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian

67
Dalam UU Nomor 9 Tahun 2004 jis UU Nomor 51 Tahun 2009 masih sama.

83
pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian

diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti

berdasarkan keyakinan hakim”.

Dari ketentuan tersebut dapat dilihat seberapa

besar peranan hakim Peradilan Tata Usaha Negara

dalam hal pembuktian.

c. Asas keaktifan hakim (active recher-dominus litis).

Keaktifan hakim selama proses pemeriksaan

sengketa, dimaksudkan untuk mengimbangi

kedudukan para pihak karena tergugat adalah

badan atau Pejabat Tata Usaha Negara sedangkan

penggugat adalah seorang atau badan hukum

perdata yang diasumsikan dalam posisi lemah

dibandingkan tergugat selaku pemangku jabatan

publik. Apalagi pada saat pembukatian biasanya

alat bukti yang diperlukan dalam proses

persidangan tidak dimiliki oleh penggugat,

melainkan dimiliki oleh tergugat. Asas keaktifan

84
hakim dapat ditemukan antara lain dalam

ketentuan Pasal 63 ayat (2) butir a, b, Pasal 80 ayat

(1), Pasal 85, Pasal 95 ayat(1), dan Pasal 103 ayat

(1).

d. Asas erga omnes. Sengketa Tata Usaha Negara

adalah sengketa hukum publik. Dengan demikian

putusan Pengadilan Tata Usaha Negara berlaku bagi

siapa saja, tidak hanya bagi para pihak yang

bersengketa. Dalam kaitan ini kiranya ketentuan

mengenai intervensi seperti diatur dalam Pasal 83

tidak mutlak adanya. Pihak ketiga yang

berkepentingan seyogyanya hanya didengar

keterangannya sebagai saksi.

Disamping asas-asas sebagaimana diuraikan

diatas, perlu ditegaskan bahwa Peradilan Tata Usaha

Negara pada dasarnya menegakkan hukum publik,

yakni hukum administrasi sebagaimana dinyatakan

dalam ketentuan Pasal 47 Undang-undang Nomor 5

85
Tahun 1986 yaitu bahwa hanya sengketa Tata Usaha

Negara yang termasuk dalam kewenangan Peradilan

Tata Usaha Negara. Hal tersebut lebih ditegaskan lagi

dalam rumusan tentang Keputusan Tata Usaha

Negara (Pasal 1 angka 3) yang mensyaratkan adanya

“tindakan hukum Tata Usaha Negara” untuk adanya

suatu Keputusan Tata Usaha Negara.

Memahami dan menyadari akan adanya

perbedaan yang hakiki antara hukum acara Peradilan

Tata Usaha Negara dengan hukum secara perdata

dalam menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara di

Peradilan Tata Usaha Negara adalah mutlak.

Sehubungan dengan ini Indroharto menyatakan :68

“Bagi kebanyakan orang, mengajukan suatu gugatan

TUN itu bukan merupakan hal yang mudah

dilakukan… Selain itu perlu memahami pengertian

dasar TUN serta Pasal-Pasal hukum acara yang

68
Indroharto(II), op.cit, hlm.15

86
diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986,

ia perlu pula menyadari berlakunya beberapa ciri-ciri

khas dari hukum acara TUN ini yang berbeda dari

yang berlaku dalam proses hukum acara perdata”.

Ini menunjukkan, bahwa untuk dapat

memahami hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara

tidak cukup hanya mempelajari Pasal-Pasal dalam

Undang-undang tersebut dan penjelasannya,

melainkan juga harus dipahami karakteristik hukum

acara Peradilan Tata Usaha Negara. Indroharto

mengungkapkan pula adanya ciri dasar proses di

muka Peradilan Tata Usaha Negara, yakni:69

1. Dalam proses peradilan TUN itu selalu tersangkut

baik kepentingan umum maupun kepentingan

perseorangan.

69
Ibid, hlm.25-28

87
2. Hendaknya disadari kenyataan masing-masing

unsur pokok yang akan berinteraksi dalam proses

PERATUN seperti:

a. Para hakim dan staf kepaniteraannya.

b. Para pencari keadilan yang akan mengajukan

sengketa ke PERATUN.

c. Para badan atau Pejabat TUN yang selalu akan

berkedudukan sebagai tergugat.

3. Tujuan dan gugatan di PERATUN adalah selalu

untuk memperoleh putusan hakim yang

menyatakan keputusan yang digugat itu tidak sah

atau batal. Berbeda dengan proses perdata, maka

dalam proses ini tidak dikenal gugatan rekonpensi

maupun pembarengan beberapa gugatan bersama-

sama (samenloop van vorderingen).

4. Dalam proses peradilan ini terdapat keseragaman

dan kesederhanaan dalam arti hukum acaranya

88
hanya terdiri dari acara biasa dan acara-acara

khusus.

5. Pemeriksaan yang dilakukan selama proses berjalan

adalah bersifat contradictoir.

6. Dalam hukum TUN itu berlaku suatu asas, bahwa

selama suatu keputusan TUN itu tidak digugat,

maka ia selalu dianggap sah menurut hukum.

Keputusan TUN semacam itu berlaku sah menurut

hukum. Keputusan TUN semacam itu berlaku sah

dan memperoleh kekuatan tetap kalu tenggangan

waktu untuk menggugat telah lewat tanpa adanya

suatu gugatan yang diajukan terhadapnya.

7. Dalam proses PERATUN itu berlaku asas

pembuktian bebas terbatas.

Salah satu ciri yang terdapat dalam hukum acara

TUN yang pada umumnya berlaku di negara-negara

Barat adalah, bahwa segi material dari hukum

pembuktiannya itu tidak banyak diatur. Disana

89
berlaku yang disebut ajaran pembuktian bebas yang

bebas. Penentuan tentang luas pembuktian,

pembagian beban pembuktian, penilaian hasil

pembuktian dan pemilihan tentang alat-alat

pembuktiannya kalau dibandingkan dengan hukum

pembuktian dalam proses perdata tampak seperti

tidak ada pengaturannya yang bersifat ketat.

Dengan begitu segala sesuatunya diserahkan

kepada pendapat hakim. Sedangkan dalam undang-

undang kita ini karena pilihan alat pembuktiannya

sudah ditentukan secara limitatif Undang-undang

kita ini lalu dikatakan bebas yang terbatas.

Selain itu perlu diperhatikan bahwa kehadiran

Peradilan Tata Usaha Negara melalui Undang-undang

Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah

dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 dan

terakhir dengan Undang-undang Nomor 51 Tahun

2009, seperti diuraikan dalam penjelasan umum

90
angka 1 undang-undang tersebut “…tidak semata-

mata memberikan perlindungan terhadap hak-hak

perseorangan, tetapi sekaligus juga melindungi hak-

hak masyarakat”. Adapun Pasal-Pasal yang langsung

menyangkut perlindungan hak-hak masyarakat

adalah: Pasal 49, Pasal 55, dan Pasal 67 Undang-

undang Nomor 5 Tahun 1986.

4. Sengketa Tata Usaha Negara

Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986

dan perubahannya, yang dimaksud dengan sengketa

TUN terdiri dari beberapa unsur sebagai berikut:

1. sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha

Negara;

2. sengketa tersebut antara orang atau badan hukum

perdata dengan Badan atau Pejabat TUN;

3. sengketa yang dimaksud sebagai akibat

dikeluarkannya KTUN.

91
Menjadi pertanyaan adalah apakah Tata Usaha

Negara itu hanya melaksanakan fungsi untuk

menyelenggarakan kegiatan yang bersifat pelaksanaan

peraturan perundang-undangan saja? Dalam praktik,

Tata Usaha Negara tidak hanya melaksanakan fungsi

untuk menyelenggarakan kegiatan yang bersifat

pelaksanaan peraturan perundang-undangan, tetapi

juga melaksanakan fungsi untuk menyelesaikan

urusan pemerintahan yang penting dan mendesak

yang belum diatur dalam peraturan perundang-

undangan, misalnya dalam menghadapi terjadinya

bencana nasional (banjir, gempa, dan sebagainya).

Pelaksanaan fungsi yang terakhir ini adalah

berkaitan dengan adanya kebebasan bertindak (freies

ermessen, discretionary power atau pouvoir

discretionnare) yang menjadi wewenang dari Badan

atau Pejabat TUN.

92
Philipus M. Hadjon70, menyatakan yang

dimaksud dengan urusan pemerintahan adalah

kegiatan yang bersifat eksekutif. Tampaknya istilah

eksekutif begitu populer digunakan tanpa menyadari

kontradiksi yang terdapat dalam pengertian itu

sendiri. Pada dasarnya pemerintah tidak hanya

melaksanakan undang-undang, tetapi atas dasar

”Freies Ermessen” dapat melakukan perbuatan-

perbuatan lainnya meskipun belum diatur secara

tegas oleh undang-undang”.

Oleh karena itu, Indroharto71 lalu memberi arti

pada “urusan pemerintahan” dalam perumusan Pasal

1 angka 8 yaitu “semua kegiatan penguasa dalam

negara yang tidak merupakan kegiatan atau aktivitas

pembuatan peraturan perundang-undangan (legislatif)

dan bukan pula kegiatan atau aktivitas mengadili

70
Philipus M. Hadjon., Op.Cit, hlm. 138.
71
Indroharto, Usaha Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku
I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Cetakan IV, 1993, hlm. 78.

93
(yudikatif) yang dilakukan oleh badan-badan

Pengadilan yang bebas”.

Arti yang diberikan pada “unsur pemerintahan”

oleh Indroharto tersebut sama dengan arti yang

diberikan oleh Philipus M. Hadjon ketika

mengemukakan: “Apa sebenarnya kandungan dan

“fungsi pemerintahan” itu? Fungsi dan pemerintahan

itu dapat ditentukan sedikit banyak dengan

menempatkannya dalam hubungan dengan fungsi

perundang-undangan dan peradilan. Pemerintahan

dapat dirumuskan secara negatif sebagai segala

macam kegiatan penguasa yang tidak disebutkan

sebagai suatu kegiatan perundang-undangan atau

peradilan”.

Sengketa TUN tersebut harus sengketa antara

orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau

Pejabat TUN. Dengan demikian tidak mungkin sampai

94
terjadi adanya sengketa TUN sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 1 angka 10 antara:

1. Orang atau badan hukum perdata dengan orang

atau badan hukum perdata, atau

2. Badan atau Pejabat TUN dengan badan atau Pejabat

TUN.

Sengketa TUN selalu sebagai akibat dari

dikeluarkannya KTUN. Antara sengketa TUN dengan

dikeluarkannya KTUN selalu harus ada hubungan

sebab akibat. Tanpa dikeluarkannya KTUN, tidak

mungkin sampai terjadi adanya sengketa TUN.

Kemudian dengan memperhatikan apa yang dimaksud

dengan sengketa TUN seperti di atas, dapat ditarik

kesimpulan bahwa sengketa TUN itu adalah sengketa

di bidang hukum publik.72

5.Badan atau Pejabat TUN

72
Bambang Priyambodo, Op.Cit., hlm. 217

95
Menurut Pasal 1 Angka 8 yang dimaksud

dengan Badan atau Pejabat TUN adalah badan atau

Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

berlaku atau dengan perkataan lain, Badan atau

Pejabat TUN adalah badan atau Pejabat yang

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

berlaku mempunyai wewenang untuk melaksanakan

urusan pemerintahan. Dengan demikian, ukuran atau

kriteria agar suatu badan atau Pejabat dapat disebut

sebagai Badan atau Pejabat TUN adalah berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku, badan

atau Pejabat tersebut mempunyai wewenang untuk

melaksanakan urusan pemerintahan. Wewenang

tersebut yang ada pada Badan atau Pejabat TUN

dapat diperoleh dengan cara atribusi, delegasi atau

mandat. Apakah yang dimaksud dengan “urusan

pemerintahan” adalah kegiatan yang bersifat

96
eksekutif. Apakah dengan demikian sesuai dengan

teori Trias Politika Badan atau Pejabat TUN itu hanya

mempunyai tugas untuk melaksanakan peraturan

perundang-undangan saja?

Di dalam kenyataannya Badan atau Pejabat

TUN itu tidak sekadar melaksanakan peraturan

perundang-undangan saja, karena ada urusan

pemerintahan yang tidak atau belum diatur oleh

peraturan perundang-undangan atau semua

peraturan perundang-undangan yang sudah ada dan

berlaku belum menampung semua urusan

pemerintahan.

Keadaan yang demikian ini dapat dimengerti,

karena urusan pemerintahan itu luas ruang

lingkupnya dan sifatnya kompleks, apalagi kalau

diingat pula bahwa setiap peraturan perundang-

undangan tidak akan mungkin dapat

97
memperhitungkan setiap urusan pemerintahan yang

akan datang.

Oleh karena itu, sudah tepat jika kemudian

Indroharto mengemukakan bahwa yang dimaksud

dengan kegiatan yang bersifat eksekutif adalah

kegiatan yang bukan kegiatan legislatif atau yudikatif.

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa dari

ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 Angka 8

tersebut dapat diketahui suatu badan atau Pejabat

adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara,

ukuran atau kriteria yang menentukan adalah badan

atau Pejabat tersebut berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku mempunyai

wewenang untuk melaksanakan urusan

pemerintahan, sedangkan yang dimaksud dengan

urusan pemerintahan ialah kegiatan yang bersifat

98
eksekutif. Kemudian apakah yang dimaksud dengan

kegiatan yang bersifat eksekutif itu?73

Di Belanda istilah administratief disebut juga

dengan istilah bestuur. Bestuur dapat pula diartikan

sebagai fungsi pemerintahan, yaitu fungsi

pemerintahan yang tidak termasuk di dalamnya

fungsi pembentukan undang-undang dan fungsi

peradilan, sehingga melahirkan doktrin wetmatigheid

van bestuur yang kemudian berkembang menjadi

rechtsmatigheid van bestuur. Jalan pikiran demikian

ini sesuai dengan teori Montesquieu yang membagi

kekuasaan negara dalam tiga fungsi kekuasaan

negara, yakni fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatif.

Jadi kekuasaan eksekutif hanya terbatas pada

fungsinya melaksanakan undang-undang.74

Apakah yang dimaksud dengan peraturan

perundang-undangan? Pasal 1 Angka 2 Undang-


73
S. F. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia, FH UII
Press Yogyakarta, 2011, hlm. 164.
74
Ibid.

99
undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan memberikan

pengertian Peraturan Perundang-undangan adalah

peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang

mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan

oleh lembaga negara atau Pejabat yang berwenang

melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan

Perundang-undangan.

6.Wewenang dan Kewenangan Pejabat TUN

Tindakan Hukum Tata Usaha Negara adalah

perbuatan hukum Badan atau Pejabat TUN yang

bersumber pada ketentuan Hukum Tata Usaha

Negara yang dapat menimbulkan hak atau kewajiban

pada orang lain atau dengan perkataan lain, tindakan

hukum Tata Usaha Negara adalah tindakan dari

Badan atau Pejabat TUN yang dilakukan atas dasar

100
peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang

menimbulkan akibat hukum mengenai urusan

pemerintah terhadap seseorang atau badan hukum

perdata.

Tindakan hukum dari Badan atau Pejabat TUN

tersebut atas dasar peraturan perundang-undangan

menimbulkan akibat hukum mengenai urusan

pemerintahan, maka dapat dikatakan tindakan

hukum dari Badan atau Pejabat TUN itu selalu

merupakan tindakan hukum publik yang bersifat

sepihak.

Perlu untuk diperhatikan bahwa tidak selalu

tindakan hukum oleh Badan atau Pejabat TUN

merupakan tindakan Hukum Tata Usaha Negara,

tetapi hanya tindakan hukum dari Badan atau Pejabat

TUN yang menimbulkan akibat hukum mengenai

urusan pemerintahan saja yang merupakan tindakan

Hukum Tata Usaha Negara.

101
7.Keputusan Tata Usaha Negara

Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) atau

beschikking berbeda dengan peraturan yang bersifat

regeling. KTUN merupakan perbuatan hukum publik

bersegi satu yang dilakukan oleh Badan/Pejabat TUN

berdasarkan kekuasaannya yang istimewa. Para ahli

hukum lain menyebut dengan istilah ketetapan sebagai

terjemahan dari beschikking, merupakan tindakan yang

bersifat hukum publik yang banyak dilakukan oleh

Badan ataupun oleh Pejabat TUN.75

KTUN adalah suatu penetapan tertulis yang

dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang berisi

tindakan Hukum Tata Usaha Negara yang

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final

yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau

Badan Hukum Perdata. Istilah “penetapan tertulis”

75
Lutfi Effendi, Op.Cit., hal. 53.

102
menunjuk pada isi dan bukan kepada bentuk yakni

adanya persyaratan tertulis, untuk kemudahan

pembuktian (memo, nota bukan KTUN yang dapat

memenuhi persyaratan tertulis) dan akan merupakan

suatu keputusan Pejabat atau Badan TUN, apabila

jelas:

1. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara mana yang

mengeluarkannya;

2. Maksud serta mengenai hal apa isi tulisan itu;

3. Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang

ditetapkan di dalamnya.

Pengertian di atas menurut Pasal 1 Angka 9

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang

Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana kemudian

diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004

dan terakhir dengan Undang-undang Nomor 51 Tahun

2009 lebih sempit dari pengertian beschikking yang

terdapat dalam kepustakaan ilmu hukum.

103
Sedangkan regeling sebagai peraturan yang

bersifat mengatur dilandasi oleh asas-asas

pembentukan peraturan perundang-undangan yang

baik, yang dilandasi dari algemene beginselen van

behoorlijke wetgeving.76

Jeremy Bentham mengatakan, proses legislasi

suatu aturan menjadi undang-undang harus

memperhatikan tiga prinsip manfaat (utility). Prinsip ini

berfungsi seperti seharusnya, artinya agar prinsip ini

dapat menjadi landasan bagi suatu sistem penalaran

legislasi, diperlukan tiga syarat:77

a. Meletakkan gagasan-gagasan yang jelas dan tepat

pada kata manfaat, secara sama persis dengan

semua orang yang menggunakannya.

b. Menegakkan kesatuan dan kedaulatan prinsip ini,

dengan secara tegas membedakannya dengan

76
Yuliandri, Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2009, hlm. 14.
77
Jeremy Bentham, Teori Perundang-undangan, Prinsip Legislasi Hukum Perdata dan Hukum
Pidana, Nuansa, Bandung, 2006, hlm. 25.

104
segala kesatuan dan kedaulatan lain. Prinsip ini

tidak bisa dianut secara umum, tetapi harus

diterima tanpa kecuali.

c. Menemukan proses aritmatika moral yang dapat

digunakan untuk mencapai hasil-hasil yang

seragam.

C. Hukum Administrasi Negara

Definisi bukanlah merupakan satu-satunya cara

untuk menjelaskan suatu konsep, apalagi untuk konsep

hukum yang sejak dulu telah diingatkan oleh Immanuel

Kant: “Noch suchen die Juristen eine Definition zu ihrem

Begriffe von Recht”. Namun demikian telah banyak

definisi yang diketengahkan tentang hukum

administrasi. Definisi-definisi tersebut meskipun kurang

lengkap, namun setidak-tidaknya memberikan

105
gambaran pertama/elemen tentang hukum

administrasi.78

Buku-buku hukum administrasi, baik dalam

bahasa Belanda, bahasa Inggris, bahasa Indonesia dan

juga lain-lainnya senantiasa diawali dengan deskripsi

ataupun definisi tentang hukum administrasi. Di antara

buku-buku tersebut, buku-buku dalam bahasa

Indonesia yang diketengahkan antara lain: Kuntjoro

Purbopranoto, Beberapa Catatan Hukum Tata

Pemerintahan Dan Peradilan Administrasi Negara, juga

buku lainnya yang pada bagian awal menguraikan hal

serupa yaitu Perkembangan Hukum Administrasi

Indonesia; E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi

Negara Indonesia; W.F. Prins terjemahan R. Kosim

Adisapoetra, Pengantar Ilmu Hukum Administrasi Negara;

Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara.

Buku-buku dalam bahasa Belanda yang diketengahkan

78
Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada University Press,
Yogyakarta, 2005, hlm. 21

106
antara lain : P. de Haan et al., Bestuursrecht in de Sociale

Rechtsstaat; Rapport van de Commissie inzake Algemene

Bepalingen van Administratief Recht; van Wijk-

Konijnenbelt, Hoofdstukken Van Administratief Recht; B.

De Goede, Beeld van het Nederlands Bestuursrecht;

F.A.M. Stroink, Inleiding in het Staats - en Administratief

Recht.79

Kuntjoro Purbopranoto dalam bukunya Beberapa

Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan

Administrasi Negara memaparkan secara historis

komparatif deskripsi dan definisi hukum administrasi.

Secara historis diawali dari J.M. Baron de Gerando

diikuti oleh J. Oppenheim, C. Van Vollenhoven, R.

Kranenburg, J.H.A. Logemann dan lain-lain. Secara

komparatif diketengahkan deskripsi dan definisi dari

79
Ibid., hlm. 22.

107
penulis-penulis Nederland, Belgia, Prancis, Jerman,

Inggris, Amerika Serikat, dan Indonesia.80

E. Utrecht mengawali deskripsi hukum

administrasi dengan menguraikan lapangan administrasi

negara. W.F. Prins memaparkan deskripsi hukum

administrasi dari segi tempatnya dalam ilmu hukum.

Prajudi Atmosudirdjo memaparkan deskripsi dan definisi

hukum administrasi dari pendekatan “public

administration”. Disinilah letak perbedaan antara Prajudi

Atmosudirdjo dengan ketiga penulis lainnya. Ketiga

penulis lainnya mendekati hukum administrasi dari

pandangan kontinental (Belanda), sedangkan Prajudi

Atmosudirdjo dari pandangan Anglosaxon tentang “public

administration”. Memang tidak disangkal

manfaat/kegunaan public administration, baik bagi

hukum administrasi maupun bagi pengelolaan negara,

80
Ibid.

108
namun hendaklah disadari tentang lapangan/ruang

lingkup serta watak keilmuan dari masing-masingnya.81

Diawali dari buku Kuntjoro Purbopranoto,

beberapa definisi dan deskripsi yang diketengahkan

untuk bahan analisis adalah J.M. Baron de Gerando, J.

Oppenheim, C. van Vollenhoven, R. Kranenburg dan

J.H.A. Logemann.

Deskripsi dari J. Oppenheim mengetengahkan

perbedaan terhadap tinjau negara oleh hukum tata

negara dan oleh hukum administrasi. Hukum Tata

Negara menyoroti negara dalam keadaan bergerak.

Pendapat tersebut selanjutnya dijabarkan oleh C. van

Vollenhoven dalam definisi hukum tata negara dan

definisi hukum administrasi. Hukum Tata Negara adalah

keseluruhan peraturan hukum yang membentuk alat-

alat perlengkapan negara dan menentukan kewenangan

alat-alat perlengkapan negara tersebut (het staatsrecht is

81
Ibid., hlm. 23.

109
dat complex van rechtsvoorschriften, dat organen instelt

en daaran bevoegdheden toekent - Hukum administrasi

adalah keseluruhan ketentuan yang mengikat alat-alat

perlengkapan negara, baik tinggi rendah, setelah alat-

alat itu akan menggunakan kewenangan-kewenangan

ketatanegaraan.

Definisi-definisi tersebut kemudian memang

cukup mendapat kritikan dari J.H.A. Logemann (dalam

bukunya Over de Theorie van een Stellig Staatsrecht)

karena tidak cukup memisahkan hukum administrasi

dari hukum tata negara. Tidak cukup pembeda tersebut

karena dari definisi tersebut, masalah penetapan

wewenang masuk dalam bidang hukum tata negara

sedangkan penggunaan wewenang adalah masuk bidang

hukum administrasi.82

R. Kranemburg dan juga J.H.A. Logemann tidak

memisahkan hukum administrasi dari hukum tata

82
Ibid., hlm. 23

110
negara secara tegas. Keduanya memandang hukum

administrasi sebagai segi hukum dari hukum tata

negara.

Suatu hal yang patut dicatat dari Logemann

adalah konsepnya tentang ”ambt” (jabatan).

Perlembangan hukum administrasi di Belanda dwasa ini

justru sangat bergutang budi terhadap konsep

Logemann tentang ”ambt”. Lebih-lebih hal itu dikaitkan

dengan tindak pemerintahan. Konsep ”ambt” akan

menentukan apakah suatu tindakan termasuk tindak

hukum administrasi ataukah termasuk perbuatan

hukum keperdataan. Perbuatan hukum perdataan yang

dilakukan oleh organ administrasi negara tidak

termasuk lapangan administrasi negara.83

E. Utrecht mengawali deskripsi hukum

administrasi dengan mengetengahkan berbagai hal, yaitu

lapangan administrasi negara, hukum administrasi

83
Ibid.

111
negara, ilmu pemerintahan dan public administration,

hukum administrasi negara sebagai himpunan

peraturan-peraturan istimewa, hukum administrasi

negara dan hukum tata negara, sumber-sumber hukum

administrasi negara. Dalam telaahan ini hanya

diketengahkan deskripsi tentang lapangan administrasi

negara. Tidak berarti bahwa bagian lainnya tidak

penting. Bagian-bagian lainnya seperti hukum tata

negara dan hukum administrasi negara akan diuraikan

pada paragraf lain, demikian juga misalnya tentang

sumber-sumber hukum administrasi negara.84 E Utrecht

mengetengahkan: ”Hukum administrasi negara (hukum

pemerintahan) menguji hubungan hukum istimewa yang

diadakan akan memungkinkan para penjabat

(ambtsdrager) administrasi negara melakukan tugas

mereka yang khusus”.

84
Ibid., hlm. 24

112
W.F. Prins dalam tulisannya De Vrijheid der

Administratie yang dimuat dalam Gedenkboek

Rechtswetenschappelzjk Hoger Onderwijs in Indonesie

oleh R. Kosim Adisapoetra diolah menjadi Pengantar Ilmu

Hukum Administrasi Negara, mengetengahkan deskripsi

hukum administrasi negara antara lain uraian tentang :

hukum administrasi negara dan tempatnya dalam ilmu

hukum, hukum administrasi negara dan hukum negara

(hukum tata negara), hukum administrasi negara dan

hukum perdata, hukum administrasi negara dan hukum

pidana.85

Dalam deskripsi tentang hukum administrasi

negara dan tempatnya dalam ilmu hukum, W.F. Prins

juga berpaling pada C. van Vollenhoven yang pada tahun

1919 mengumumkan hasil studinya tentang Thorbecke

en het Administratief Recht. Pada tahun 1927 Van

85
Ibid., hlm. 25.

113
Vollenhoven memberikan ciri hukum administrasi

negara sebagai berikut:86

“untuk sebagian hukum administrasi negara


merupakan pembatasan terhadap kebebasan
pemerintah, jadi merupakan jaminan bagi
mereka, yang harus taat kepada pemerintah;
akan tetapi untuk sebagian besar hukum
administrasi mengandung arti pula, bahwa
mereka yang harus taat kepada pemerintah
menjadi dibebani pelbagai kewajiban yang tegas
bagaimana dan sampai dimana batasnya, dan
berhubung dengan itu, berarti juga, bahwa
wewenang pemerintah menjadi luas dan tegas”

Prajudi Atmosidirdjo dalam bukunya Hukum

Administrasi Negara merumuskan definisi kerja hukum

administrasi negara adalah hukum yang secara khas

mengenai seluk beluk daripada administrasi negara dan

terdiri atas dua tingkatan. Hukum Administrasi Negara

Heteronom, bersumber pada UUD, TAP MPR, dan UU

adalah hukum yang mengatur seluk beluk organisasi

dan fungsi administrasi negara. Hukum Administrasi

86
Ibid.

114
Negara Otonom adalah hukum operasional yang dicipta

oleh Pemerintah dan Administrasi Negara sendiri.87

Administrasi negara mempunyai pengertian yang

bersifat kombinatif (verzamelterm), yakni:

(1) administrasi negara sebagai organisasi;

(2) administrasi yang secara khas mengejar tercapainya

tujuan yang bersifat kenegaraan (publik), artinya

tujuan-tujuan yang ditetapkan Undang-undang secara

”dwingend recht” (hukum yang memaksa).

Sekedar perbandingan diketengahkan juga

pemikiran tentang fungsi pemerintah yang lebih

diarahkan kepada fungsi pembinaan dan

pengayoman.Fungsi tersebut juga dengan sendirinya

mengharapkan peningkatan partisipasi masyarakat

terhadap pelaksanaan fungsi pemerintah.

Komisi penyatuan hukum administrasi Belanda

dalam laporannya Algemene Bepalingen van

87
Ibid., hlm. 26.

115
Administratief Recht cetakan kelima, 1984, h. 1 - 2

mengatakan bahwa: Het begrip openbaar bestuur ... kan

in tweeerlei zin worden opgevat : in de zin van

bestuursfunctie (het besturen) en in de zin van “complex

van bestuursorganen” ... Men kan de functie van het

bestuur naar haar inhoud enigermate bepalen door haar

te stellen tegenover de functies van wetgeven en

rechtspraak. Bestuur zou men dan - negatief - kunnen

omschrijven als alle werkzaamheid van de overheid welke

niet als wetgeving of rechtspraak is aan te merken”.

(pengertian openbaar bestuur ... dapat mengandung arti

ganda : dalam arti fungsi pemerintah (besturen) dan

dapat berarti “keseluruhan organ pemerintah” Fungsi

pemerintah berdasarkan isinya dapat ditentukan dengan

melawankannya kepada fungsi pembentukan undang-

undang dan peradilan. Pemerintah dapat dilukiskan —

secara negatif, — semua kegiatan pemerintah yang tidak

termasuk pembuatan undang-undang atau peradilan).

116
1. Perkembangan Hukum Administrasi

Hukum administrasi telah berkembang dalam

suasana manakala pihak Pcmerintah mulai menata

masyarakat dan dalam kaitan itu menggunakan

sarana hukum, umpamanya dengan menetapkan

keputusan-keputusan larangan tertentu atau dengan

menerbitkan sistem-sistem perizinan. Oleh karena itu

dapat disepakati bahwa, hukum administrasi dalam

bentuk sangat awalnya sudah terlalu kuno, oleh

karena pihak Pemerintah juga sejak dahulu kala telah

bertanggungjawab atas penataan dan pengelolaan

masyarakat secara lebih kurang. Hukum administrasi

dalam bentuk yang demikian ini nampaknya

senantiasa merupakan ‘hukum administrasi luar

biasa’, yakni suatu hukum administrasi dalam bentuk

suatu peraturan perundang-undangan tertentu, juga

ketentuan-ketentuan pelaksanaan tambahan yang

tertentu dan jika diperlukan beberapa yurisprudensi

117
dalam suatu bidang konkrit yang terbatas dan urusan

Pemerintah.88

Maka orang sudah melihat dalam pertengahan

pertama dan abad ke-20 contoh-contoh hukum

administrasi dalain bentuk aturan-aturan menurut

undang-undang untuk mencegah rintangan, untuk

melindungi monumen-monumen, untuk

meningkatkan pembangunan perumahan yang baik,

untuk meningkatkan keselamatan dalam situasi

ketenagakerjaan, dan sebagainya. Hasilnya adalah

suatu hukum administrasi yang sangat tersebar :

dengan kata lain, timbullah berbagai macam hukum

administrasi yang perlu disesuaikan dengan tugas

Pemerintah yang akan dilaksanakan.

Dengan berkembangnya tugas-tugas

Pemerintah itu, orang dapat melihat bahwa pada

berbagai bidang urusan Pemerintah itu terjadi suatu

88
Ibid., hlm. 29.

118
penumpukan dan pengeluaran aturan dan

keputusan-keputusan pemerintahan. Dengan

demikian terjadi bidang-bidang hukum administrasi

yang luar biasa yang merupakan lebih kurang sebagai

yang berdini sendiri; hukum perpajakan, hukum

pencegahan atau hukum lingkungan, hukum

pengaturan lapangan, dan seterusnya. Setiap bidang

hukum administrasi mengenai undang-undangnya

sendiri, pemberian aturan dan yurisprudensi yang

selanjutnya diberlakukan, tetapi juga para praktisinya

sendiri dan, dalam lingkungan universitas, mata

kuliahnya sendiri. Bidang-bidang tersebut kita

sebutkan sebagai “bagian hukum administrasi yang

luar biasa” atau “hukum administrasi khusus’.

Sebagai lawan istilah ‘hukum administrasi

luar biasa” kita kenal istilah hukum administrasi

umum”. Sebegitu peranan pihak pemerintah menjadi

lebih penting atas berbagai bidang sosial dan dengan

119
demikian hukum administrasi khusus meningkat

pada bidang-bidang itu dan menjadi tambah sulit,

maka timbul kebutuhan untuk mempelajari unsur-

unsur bersama dari hukum administrasi khusus itu

dalam kaitannya satu sama lain. Oleh karena itu, di

semua bidang urusan pemerintah kita temukan

umpamanya “perizinan”, dan pada setiap bidang

timbul pertanyaan apakah suatu izin dapat “ditarik

kembali”. Penelitian unsur-unsur bersama dari

bagian-bagian khusus hukum administrasi menuju

kepada “hukum administrasi umum” : suatu

kumpulan unsur umum yang ada kaitannya dengan

segi-segi hukum publik dan tindakan pihak

pemerintah.

Perkembangan hukum administrasi umum

boleh dikatakan baru saja tumbuh di banyak negara.

Secara garis besar dapat dikatakan bahwa baru sejak

Perang Dunia Kedua mulai berkembang hukum

120
administrasi umum sebagai bagian dari ilmu hukum.

Dapat dikatakan bahwa, perkembangan hukum

(pemerintahan) administrasi umum yang sedang giat

dilaksanakan di banyak nojara, bergerak dalam tiga

taraf secara berturut-turut. Pada setiap taraf

dftambahkan suatu faktor yang jangkauannya jauh.89

1. Pada mulanya perkembangan hukum administrasi

umum itu hanya merupakan suatu perkembangan

dalam ilmu pengetahuan sendiri. Buku-buku

diterbitkan yang menjelaskan bentuk-bentuk

hukum bersama dan dalam kaitannya dengan

bentuk-bentuk itu membentuk suatu teori. Namun,

perkembangan llmiah itu sendiri tidaklah

mencukupi untuk membuat hukum pemerintahan

umum menjadi berkembang dengan baik. Memang

telah muncul buku-buku pertama mengenai

hukum pemerintahan umum.

89
Ibid., hlm. 31.

121
2. Perkembangan kedua yang penting dimulai dengan

diperkenalkannya peradilan administrasi negara.

Manakala pembuat undang-undang memutuskan

untuk memberi kesempatan mengajukan banding

pada seorang hakim administrasi negara terhadap

keputusan-keputusan atas dasar sejumlah besar

undang-undang, maka melalui yurisprudensi

timbul suatu interpretasi (penafsiran) bersama atas

unsur-unsur yang serupa dalam berbagai undang-

undang. Maka ada pula kemungkinan bahwa,

Hakim menganggap pemerintah tenikat pada

pninsip-prinsip etika pemerintahan yang tak

tertulis; yang berakibatkan terjadinya suatu pola

norma-norma bersama yang berlaku bagi

pelaksanaan semua jenis nang dan instansi

pemerintahan. Tanpa adanya suatu peradilan

administrasi negara yang mencakup semuanya,

perkembangan hukum pemerintahan umum akan

122
tetap bernasib terbatas. Dengan diperkenalkannya

peradilan administrasi negara dalam banyak hal

sekaligus dibenikan suatu dorongan yang besar

terhadap pembentukan teori dalam bidang hukum

pemerintahan umum.

3. Perkembangan yang ketiga timbul manakala

pembuat undang-undang memutuskan dengan

tujuan menyelaraskan tindakan-tindakan

pemerintah untuk mengadakan “pembuatan

undang-undang umum”, yakni aturan aturan sah

yang dalam garis besarnya berlaku bagi

pelaksanaan wewenang tertentu, dengan kata lain,

yang berlaku untuk pelaksanaan wewenang atas

dasar undang-undang yang sama sekali berlainan.

Dengan demikian, di berbagai negara ada

perundang-undangan umum dalam kasus

memasuki rumah, mempersiapkan keputusan,

memotivasi (mencari alasan bagi) keputusan,

123
penetapan prosedur surat-surat keberatan dan

banyak hal lain yang berlaku ecara bersamaan

dengan semua bagian khusus dan hukum

administrasi. Untungnya ialah bahwa semua warga

negara, senantiasa mengetahui siapa pegawai dan

alat pemerintahan, norma-norma mana yang

berlaku.

Perkembangan perundang-undangan umum,

memungkinkan pembangunan dan hukum

administrasi umum secara mantap. Memang

perundang-undangan menuju selanjutnya pada

pembuatan aturan-aturan dan yurisprudensi. Ilmu

pengetahuan akan dapat lebih memusatkan diri

secara khusus kepada perundang-undangan umum

itu.

2. Lapangan Hukum Administrasi Khusus dan

Hukum Administrasi Umum

124
Yang dimaksudkan dengan lapangan hukum

administrasi khusus adalah peraturan-peraturan

hukum yang berhubungan dengan bidang tertentu

dan kebijaksanaan penguasa seperti contoh : hukum

atas tata ruang dan hukum perizinan bangunan.

Sebaliknya yang dimaksudkan dengan hukum

administrasi umum adalah peraturan-peraturan

hukum yang tidak terikat pada suatu bidang tertentu

dan kebijaksanaan penguasa, seperti contoh :

algemene beginselen van behoorlijk bestuur (asas-asas

umum pemerintahan yang baik), undang-undang

peradilan tata usaha negara.90

Untuk menelaah masing-masing bidang

hukum administrasi tersebut, yaitu hukum

administrasi khusus dan hukum administrasi umum,

maka dapat dilihat:91

90
Ibid., hlm. 32.
91
Ibid., hlm. 33.

125
a. Penelitian Lapangan Hukum Administrasi

Khusus

W.F. Prins mengemukakan bahwa

perkembangan hukum administrasi bermuIa dari

lapangan-lapangan khusus karena kebutuhan

untuk mengatur lapangan-lapangan pekerjaan

pemerintahan dalam bidang khusus tertentu.

Lapangan khusus itu begitu luasnya sehingga W.F.

Prins dalam uraiannya pun hanya mengadakan

seleksi lapangan-lapangan khusus tertentu saja.

Untuk jelasnya pendapat W.F. Prins tersebut

dikutip sekedarnya.

Hukum Administrasi Negara telah

berkembang dengan agak tidak teratur, seajalan

dengan keperluan untuk mengatur satu cabang

pekerjaan pemerintahan (wajib militer, hukum

kepolisian), atau berhubungan dengan keperluan

untuk menyusun sesuatu segi kegiatan manusia

126
(hukum perburuhan, hukum perikatan). Di bidang

tersebut belakangan ini, selain daripada peraturan

hukum administrasi negara, yang oleh pemerintah

diawasi agar orang mentaatinya, acapkali terdapat

pula aturan hukum perdata. Namun demikian,

hukum seperti hukum perburuhan dan hukum

perikatan ini biasanya suka digolongkan sebagai

bagian luar biasa hukum administrasi negara.

Kalau kita gunakan daftar Prof. Padmo

Wahjono sebagai petunjuk untuk koleksi hukum

administrasi positif - khususnya lapangan hukum

administrasi khusus, dapatlah kita seleksi daftar

tersebut di atas, bidang-bidang mana yang akan

kita teliti.

Dengan bertitik tolak dari pengertian

hukum administrasi dan lapangan hukum

administrasi adalah lapangan “bestuur” dan

127
“besturen”, dari daftar tersebut dapat kita

kelompokkan aturan-aturan yang meliputi:

1. aturan pokok yang memuat garis-garis besar

sebagai instruksi di bidang penyelenggaraan

kesejahteraan sosial;

2. bidang tata hukum yang diasumsikan timbul

atau tumbuh dari sistem GBHN;

a. aturan-aturan di bidang ekonomi;

b. aturan-aturan di bidang agama dan

kepercayaan terhadap Tuhan YME;

c. aturan di bidang politik, aparatur pemerintah,

hukum, penerangan dan pers serta hubungan

luar negeri.

3. Bidang tata hukum yang asumsinya tumbuh

dari kegiatan manusia Indonesia seutuhnya;

4. Bidang tata hukum yang dihubungkan dengan

depertemen yang mengasuhnya (objecten van

staatszorg).

128
Perlu ditekankan di sini bahwa seperti telah

dikatakan sebelumnya, daftar dari Padmo Wahjono

tersebut hanyalah suatu indikator awal dalam

melakukan penelitian tentang lapangan khusus

hukum administrasi. Dengan demikian daftar itu

bukanlah suatu daftar yang limitatif Untuk sebagai

perbandingan dan juga masih merupakan langkah

awal dalam meneliti lapangan khusus hukum

administrasi, dapat juga diketengahkan di sini

daftar aturan hukum administrasi yang terdapat

dalam Himpunan Peraturan Perundang-undangan

Republik Indonesia (disusun menurut sistem

Engelbrecht - 1987). Menurut himpunan tersebut

termasuk Aturan Hukum Administrasi adalah:

1. Ketentuan-ketentuan tentang benlakunya dan

peralihan undang-undang baru (diumuinkan

dengan pengumuman Publicatie 3 Maret 1848 S.

No. 10);

129
2. Peraturan tentang menghilangkan hambatan-

hambatan yang timbul dalam pelaksanaan

pekerjaan-pekerjaan untuk kepentingan umum

karena ketentuan-ketentuan dalam keputusan-

keputusan badan-badan umum pemerintahan

(ordonansi 24 Maret 1931; S. 1931 - 125 (mb. II

April 1931);

3. Peraturan Pengurusan Administrasi (regelen voor

het administratief beheer) S. 1933- 381;

4. Undang-undang Perbendaharaan Indonesia

(ICW);

5. Peraturan Keuangan Perusahaan Negara

Indonesia (Indonesische Bedzijvenwet, IBW);

6. Panitia Urusan Piutang Negara dan Badan

Urusan Piutang Negana;

7. Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah, Pelaksaaaan Tata Usaha

130
Keuangan Daerah, dan Penyusunan Perhituagan

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;

8. Penetapan Penggunaan Sisa Laba Bersih Bank-

bank Milik Negara;

9. Jaminan Simpanan Uang Pada Bank;

10. Ketentuan-ketentuan Pokok Kearsipan;

11. Statistik;

12. Sensus;

13. Pokok-pokok Kepegawaian;

14. Pengangkatan Dalam Pangkat Pegawai Negeri

Sipil;

15. Pengangkatan Kepala Kelurahan dan Perangkat

Kelurahan Menjadi Pegawai Negeri Sipil;

16. Sumpah Jabatan Pegawai Negeri Sipil;

17. Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil;

18. Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil;

19. Perawatan, Tunjangan Cacat, Dan Uang Duka

Pegawai Negeri Sipil;

131
20. Asuransi Sosial Pegawai Negeri Sipil;

21. Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil;

22. Pemeliharaan Kesehatan Pegawai Negeri Sipil

dan penerimaan Pensiun beserta Anggota

Keluarganya;

23. Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda-Duda

Pegawai;

24. Penetapan Pensiun Pokok Pensiunan Pegawai

Negeri Sipil dan Janda/Duda

25. Veteran Republik Indonesia;

26. Pemberian Tunjangan Perintis Pergerakan

Kebangsaan/Kemerdekaan;

27. Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan

Sosial;

28. Pelayanan Kesejahteraan Sosial bagi Fakir

Miskin;

29. Pemberian Bantuan Penghidupan Orang

Jompo;

132
30. Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis;

31. Pengumpulan Uang atau Barang;

32. Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan;

33. Kesejahteraan Anak;

34. Undian;

35. Pokok-pokok Kesehatan;

36. Hygiene;

37. Penyakit Karantina;

38. Hygiene untuk Usaha-usaha Bagi Umum;

39. Wabah Penyakit Menular;

40. Kesehatan Jiwa;

41. Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis

serta Transplantasi Mata dan atau Jaringan

Tubuh Manusia;

42. Transfusi Darah;

43. Tenaga Kesehatan;

44. Wajib Kerja Tenaga Paramedis;

133
45. Pendaftaran Ijazah dan Pemberian Izin

Menjalankan Pekerjaan Dokter/Dokter

Gigi/Apoteker;

46. Wajib Simpan Rahasia Kedokteran;

47. Farmasi;

48. Pembukaan Apotek;

49. Apotik;

50. Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di

Sekolah;

51. Perguruan Tinggi;

52. Pengawasan Pendidikan dan Pengajaran Asing;

53. Pokok-pokok Perumahan;

54. Penjualan Rumah-rumah Negeri kepada

Pegawai Negeri;

55. Pelaksanaan Penjualan Rumah Negeri;

56. Penyerahan Tugas Mengenai Menyewa Rumah-

rumah/Pekarangan-pekarangan Milik Partikelir

Yang Diperlukan Oleh Instansi Pemerintah Sipil

134
Kepada Masing-masing Kementerian Yang

Bersangkutan;

57. Hubungan Sewa Menyewa Perumahan;

58. Rumah Susun;

59. Ordonasi Gangguan (Hinderordonnantie);

60. Ordonansi Perlindungan Alam

(natuurbeschermings- ordonnantie). Dicabut

dengan Undang-Undang No. 5 Th. 1990 tentang

Kiservasi.

61. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan

62. Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan

63. Perlindungan Hutan

64. Perencanaan Hutan

65. Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan

Hasil Hutan

66.Ordonansi Berburu (jachtordonantie 1931)

Dicabut dengan UndangUndang Konservasi

67. Perikanan

135
68. Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati di Zona

Ekonomi Eksklusif Indonesia

69. Irigasi

70. Peraturan Pembentukan Kota

(Stadsvormingsverordening)

71. Ordonansi Pembentukan Kota

(Stadsvormingsordonantie)

72. Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan

Kesehatan Hewan

73. Pembuatan, Persediaan, Peredaran dan

Pemakaian Vaksin serta Bahan-bahan

Diagnostika Biologis untuk Hewan

74. Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan

75. Kewajiban Perusahaan Minyak Memenuhi

Kebutuhan Dalam Negen

76. Ketenagalistrikan

77. Pengusahaan Kelistrikan

78. Ketentuan-ketentuan Pokok Tenaga Atom

136
79. Perindustrian

80. Kewenangan Pengaturan dan Pembinaan

Industri

81. Izin Usaha Industh

82. Penyederhanaan Pemberian Izin Usaha Industri

83. Ketentuan-ketentuan Pokok Transmigrasi

84. Penyelenggaraan Transmigrasi

85. Ketentuan-ketentuan Pokok Pers

86. Dewan Pers

87. Pembinaan Perfilman

88. Organisasi Kemasyarakatan

Daftar dari Himpunan Peraturan tersebut di

atas meskipun masih mengandung kekurangan

baik dari segi kuantitatif maupun materi namun

sudah menggambarkan kepada kita betapa luasnya

peraturan hukum administrasi.

Dalam mengadakan penelitian dan

mengembangkan hukum administrasi disarankan

137
agar dikembangkan bidang-bidang hukum

administrasi yang menunjang Pembangunan

Nasional sesuai dengan arah pembangunan yang

digariskan oleh Garis-garis Besar Haluan Negara.

Dengan demikian dapat dikembangkan bidang-

bidang hukum administrasi yang menunjang

pembangunan pertanian, perindustrian dan

bidang-bidang lainnya.

b. Penelitian lapangan Hukum Administrasi Umum

Yang mana sebenarnya lapangan hukum

administrasi umum? Dengan kata lain, yang mana

bentuk-bentuk hukum itu dan permasalahan-

permasalahan yuridis yang terjadi dalam bagian

khusus dan hukum administrasi itu. Untuk

memperoleh gambaran dari keseluruhan aspek

hukum administrasi umum itu kita menggunakan

cara pemikiran yang benikut. Hubungan antara

pthak pemenintah dengan masyarakat pada

138
masing-masing bidang urusan pemerintah ditandai

oleh dua saluran kegiatan:

a. pihak pemerintah mempengaruhi masyarakat

umum;

b. masyarakat mempengaruhi kalangan

pemerintah.

Pihak pemerintah mempunyai tugas-tugas

tertentu terhadap masyarakat seperti melindungi

masyarakat terhadap ancaman mar negen atau

melaksanakan suatu kebijaksanaan lingkungan.

Untuk dapat melaksanakan sepenuhnya tugas-

tugas itu, pemerintah mempunyal wewenang, yaitu

kekuasaan yuridis akan orangorang pnibadi,

badan-badan hukum dan memberikan pada

pegawai negen bawahan hak-hak atau kewajiban-

kewajiban yang dapat dan boleh mereka pegang

sesuai dengan/menurut hukum. Namun

pemerintah tidak mempunyai kekuasaan yang

139
sangat besar. Dalam suatu negara yang demokratis

berlaku ketetuan bahwa wewenang pihak

pemerintah dalam beberapa bentuk selalu terbatas,

bahwa wewenang itu dilaksanakan oleh badan-

badan yang dibentuk secara demokratis, bahwa

dan kalangan masyarakat dapat disalurkan

pengaruh atas penanganan wewenang-wewenang

itu, sementara kemudian dalam hal pelaksanaan

wewenang tersebut dapat dimintakan pertimbangan

dan seorang hakim yang tidak berat sebelah.

Pemerintah berusaha melaksanakan pengendalian

dalam masyarakat melalui sarana-sarana yang

dapat diperkuat dengan; antara lain, hukuman-

hukuman. Masyarakat kembali mempengaruhi juga

pemerintah, apakah dengan cara menyusun badan-

badan pemerintah itu agak berlainan jika tenjadi

ketidaksenangan mengenai suatu kebijaksanaan

pemerintah tertentu, ataupun dengan jalan tidak

140
mengesahkan keputusan-keputusan tertentu oleh

seorang hakim. Dengan demikian, ada suatu kaitan

antara kedua saluran itu. Beberapa keputusan

pemerintah tertentu mengakibatkan hasil-hasil

pemilihan tertentu yang kembali dapat

berpengaruh pada timbulnya keputusan-keputusan

pemerintah yang baru. Hukum tata negara dan

hukum administrasi memuat aturan-aturan yang

menguasai jalannya lingkaran politik dan

pemerintahan, jadi aturan aturan mengenai

organisasi pemenintah, mengenai alat-alatnya,

pengendalian, tentang dipengaruhinya pihak

penguasa oleh masyarakat umum dan tentang

perlindungan oleh hakim.

Hukum tata negara memuat prinsip-prinsip

dasar, aturan-aturan pokok dan tata tertib hukum

publik ini. Aturan-aturan pokok itu dapat

ditemukan dalam berbagai konstitusi (undang-

141
undang dasar). Disitu kita menemukan badan-

badan yang paling penting:

(a) sarana-sarana yang terpenting, umpamanya

keputusan-keputusan Presiden, undang-

undang, dan sebagainya;

(b) hak-hak asasi atau hak-hak dasar;

(c) bentuk upaya untuk mempengaruhi pemerintah

seperti dalam pemilihan umum atau hak petisi;

(d) dan perlindungan oleh kekuasaan kehakiman

yang bebas;

Hukum administrasi juga mengenal aturan-

aturan yang berkaitan dengan proses politik dan

pemerintahan. Jika malahan hukum tata negara

terdiri dan aturan-aturan mendasar dari tata tertib

negara, yakni lebih banyak berkaitan dengan

proses potitik dalam suatu masyarakat hukum

tertentu dan organisasinya, maka hukum

administrasi lebih banyak berurusan dengan

142
pelaksanaan pembentukan aspirasi politik itu, jadi

relatif lebih banyak dengan proses pemerintahan

dan organisasinya. Ini berarti bahwa, hukum

administrasi tidak terpisah dari hukum tata negara,

tetapi sebenarnya merupakan suatu bentuk lain

daripadanya. Kemudian ini membuktikan bahwa

proses pemerintahan adalah di bawah kekuasaan

dan harus terarah pada proses politik. Suatu

pemisahan yang tajam antara hukum tata negara

dengan hukum administrasi tentu tidak dapat

dilakukan: keduanya saling berkaitan satu sama

lain. Hukum administrasi jadinya ada hubungan

dengan pelaksanaan segala hasil dari proses politik.

Sebelumnya sudah dikatakan bahwa “politik” itu

sangat mengembangkan banyaknya tugas-tugas

pemerintah oleh sejumlah alasan yang banyak.

Bersamaan dengan itu juga “permasalahan para

pelaksana” pemerintahan itu bertambah terus.

143
D. Teori Hukum

Diakuinya hukum sebagai aturan bertindak negara

dan pemerintah serta warga negara dalam kehidupan

bernegara, berbangsa dan bermasyarakat adalah

dicantumkannya kalimat bahwa negara berdasarkan

pada hukum dalam konstitusi negara tersebut.

Indonesia, dalam konstitusinya, adalah negara hukum

berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) Perubahan

Ketiga Undang-Undang Dasar 1945. Ini menunjukkan

bahwa segala kegiatan negara dan pemerintahannya

harus berdasarkan hukum dan undang-undang.

Konstitusi merupakan sesuatu yang sangat penting

bagi setiap bangsa dan negara, baik yang sudah lama

merdeka maupun yang baru saja memperoleh

144
kemerdekaannya.92 Konstitusi memiliki fungsi-fungsi

yang oleh Jimly Asshiddiqie, diperinci sebagai berikut:93

a. Fungsi pengatur hubungan kekuasaan antara organ

negara.

b. Fungsi pengatur hubungan kekuasaan antara organ

negara dengan warga negara.

c. Fungsi pemberi atau sumber legitimasi terhadap

kekuasaan negara ataupun kegiatan

penyelenggaraan kekuasaan negara.

d. Fungsi penyalur atau pengalih kewenangan dari

sumber kekuasaan yang asli (yang dalam sistem

demokrasi adalah rakyat) kepada organ negara.

e. Fungsi simbolik sebagai pemersatu (symbol of unity),

sebagai rujukan identitas dan keagungan

kebangsaan (identity of nation), serta sebagai center of

ceremony.

92
Taufiqurrohman Syahuri, 2004, Hukum Konstitusi, Proses dan Prosedur Perubahan UUD di
Indonesia 1945-2002, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 29.
93
Ibid.

145
f. Fungsi sebagai sarana pengendalian masyarakat

(social control), baik dalam arti sempit hanya di

bidang politik, maupun dalam arti luas mencakup

bidang sosial dan ekonomi.

g. Fungsi sebagai sarana perekayasa dan pembaruan

masyarakat (social engineering atau social reform).

Negara Kesatuan Republik Indonesia dibentuk

berdasarkan Konstitusinya yaitu Undang-Undang Dasar

Tahun 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 sehari

setelah Proklamasi Kemerdekaan. Dalam Undang-

Undang Dasar Tahun 1945 tersebut dinyatakan tentang

tujuan negara. Tujuan negara tersebut terdapat dalam

Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang

setelah empat kali amandemen, terakhir tahun 2002,

diberi nama lengkap Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, tujuan negara tidak

berubah. Tujuan negara ini adalah merupakan

kepentingan utama daripada tatanan suatu negara.

146
Menata suatu negara dimulai dari pembentukan hukum

sebagai aturan yang mengatur ketertiban dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tujuan negara Indonesia sebagaimana tercantum

dalam Alinea ke IV Undang-Undang Dasar Tahun 1945

adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan

seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan

kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa

dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan

keadilan sosial. Tujuan negara ini kemudian dijabarkan

dalam isi atau batang tubuh Undang-Undang Dasar

Tahun 1945. Pelaksanaannya dalam bentuk pelbagai

peraturan perundang-undangan sebagai hukum tidak

bergerak yang dalam wujud hukum yang bergerak

menjadi pemerintahan berdasarkan hukum.

Hukum adalah suatu produk hubungan-hubungan

dan perimbangan-perimbangan kemasyarakatan maka

147
didalam proses penciptaan dan perkembangannya ia

ditentukan oleh sejumlah aspek hubungan-hubungan

dan perimbangan-perimbangan tersebut.94 Perimbangan-

perimbangan yang terjadi di dalam masyarakat yang

mempengaruhi perkembangan hukum yakni adanya

faktor-faktor politik, ekonomis, religi-ideologis dan

kultur budaya.

Presiden Amerika Serikat, Barack Hussein Obama,

dalam kuliah umum yang diberikan di hadapan civitas

akademika Universitas Indonesia, mengatakan bahwa

Indonesia adalah negara yang dibangun dari

keberagaman, Bhinneka Tunggal Ika, yang menjunjung

tinggi supremasi hukum yang dibangun dari demokrasi,

toleransi dan agama. Pembangunan, termasuk hukum,

tidak dapat mengabaikan nilai-nilai demokrasi, nilai-

nilai toleransi dan nilai-nilai agama. Keadilan hanya

dapat tercipta jika hukumnya menghargai adanya

94
John Gillesen dan Frits Gorle, 2005, Sejarah Hukum, Suatu Pengantar, Terjemahan, Disadur Oleh:
Freddy Tengker, Refika Aditama, Jakarta, hlm. 91.

148
keberagaman tersebut yang dibentuk menjadi satu

sistem hukum dari Sabang sampai Merauke.

Pembentukan hukum itu sendiri memang tidak terlepas

dari beberapa faktor yang menentukan isi dari hukum

seperti faktor politik, faktor ekonomi, faktor agama dan

faktor sosial.95

Faktor-faktor yang mempengaruhi hukum tersebut

di atas terdiri dari :96

a. Faktor politik di Indonesia yang terutama sejak

reformasi 1998 memainkan peranan penting dalam

pembentukan hukum (peraturan perundang-

undangan) yaitu peran Dewan Perwakilan Rakyat

dan Lembaga Kepresidenan (Presiden) sebagai

penguasa. Dengan demikian kita dapat pula

mengatakan bahwa oleh karena negara adalah

ekspresi atau paling tidak merupakan forum

95
Barack Hussein Obama, Bicara Tentang Indonesia, Kuliah Umum, Jakarta, Balairung Universitas
Indonesia, Rabu, 10 November 2010.
96
Otje Salman dan Anthon F. Susanto, 2007, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka
Kembali, Refika Aditama, Bandung, hlm. 153.

149
kekuatan-kekuatan politik yang dijalankan oleh

partai politik yang ada di dalam masyarakat, maka

hukum adalah hasil sebagian pembentukan

keputusan yang diambil dengan cara yang tidak

langsung oleh penguasa. Hukum adalah hasil proses

politik yang tidak lepas dari pengaruh partai politik.

b. Faktor ekonomi yang mempengaruhi pembentukan

hukum adalah adanya kegiatan perekonomian yang

merupakan unsur-unsur ekonomis yang mempunyai

pengaruh atas perkembangan kemasyarakatan. Jadi,

disini dapat dijumpai suatu ikatan yang tidak dapat

dibantah lagi antara kekuatan-kekuatan politik dan

ekonomi, dalam makna inilah maka ekonomi

merupakan faktor penting dalam evolusi hukum.

c. Di samping faktor-faktor politik dan ekonomi

ternyata faktor agama dan terutama faktor-faktor

150
kultural/budaya menggunakan pengaruhnya yang

begitu menentukan bagi perkembangan hukum.97

Faktor-faktor kultural atau budaya bangsa ini tidak

hanya penting bagi penghalusan teknik hukum yang

semakin meningkat, namun penting pula pengaruhnya

yang berkelanjutan terhadap pandangan-pandangan

yang dianut oleh pergaulan hidup tentang asal-muasal,

peran dan finalitas hukum. Hukum di Indonesia harus

dibentuk tidak hanya bersumber dari jiwa rakyat dan

positivistic, namun juga merupakan pencerminan nilai

keadilan seperti yang dikemukakan oleh W.A.M. Luypen,

juga oleh Satjipto Rahardjo, bahkan B. Arief Sidharta.

Kita memerlukan bahan dasar, yang tidak saja

berkarakter Indonesia dengan plus minusnya, tetapi

sekaligus bahan dasar itu harus bisa dan siap untuk

97
Ibid.

151
diolah, bahan dasar tersebut akan berkaitan dengan

bagaimana pendidikan hukum memainkan peran dalam

upaya pembaharuan. Karena pendidikan diakui

merupakan salah satu pemegang otoritas sentral dalam

pengembangan keilmuan (sains dan teknologi) dan

produk manusia yang dihasilkannya. Posisinya semakin

jelas bahwa pendidikan tidak hanya melahirkan para

ahli (profesional) tetapi sekaligus intelektual yang tidak

begitu saja menerima kemapanan dan menyerah

terhadap perubahan, tetapi sebagaimana dijelaskan

Carvers,98 bahwa sistem pendidikan harus melahirkan

orang yang memiliki kompetensi, tegas, rasional,

pragmatis dan imajinatif (kreatif).

Ateng Syafrudin berpendapat:

98
Ibid.

152
Fungsi utama hukum adalah untuk memelihara dan
mempertahankan ketertiban yang telah dicapai. Di
samping itu fungsi hukum harus memenuhi lima
unsur, yaitu direktif, integratif, stabilitatif, perfektif,
dan korektif.99

Menurut Lawrence Friedman,100 sistem hukum

meliputi Pertama, struktur hukum (legal structure) yaitu

bagian-bagian yang bergerak di dalam suatu mekanisme

sistem atau fasilitas yang ada dan disiapkan dalam

sistem. Misal pengadilan, kejaksaan. Kedua, substansi

hukum (legal substance), yaitu hasil aktual yang

diterbitkan oleh sistem hukum. Misal putusan hakim

dan undang-undang. Ketiga, budaya hukum (legal

culture), yaitu sikap publik atau nilai-nilai, komitmen

moral dan kesadaran yang mendorong bekerjanya

sistem hukum, atau keseluruhan faktor yang

menentukan bagaimana sistem hukum memperoleh

99
Ateng Syarifudin, 1989, Penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah Berkenaan Dengan Undang-
undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Bahan Penyuluhan Hukum, Universitas Katolik
Parahyangan, Bandung. hlm. 1.
100
Lawrence M. Friedman, 1990.The Republic of Choice; Law, Authority, and Culture, Harvard
University Press, tanpa halaman.

153
tempat yang logis dalam kerangka budaya milik

masyarakat.

Sistem hukum menurut Ateng Syarifudin adalah

kesatuan utuh dari tatanan-tatanan yang terdiri dari

bagian-bagian atau unsur-unsur yang satu sama lain

saling berhubungan dan kait-mengkait mengikat secara

erat.101

Jadi apa sebenarnya hukum itu? Lili Rasjidi

berpendapat, satu masalah yang belum mencapai kata

putus di antara para ahli hukum ialah tentang

pendefinisian hukum. Hingga saat ini pendapat tentang

perlunya suatu definisi hukum masih dipertentangkan

orang. Sebagian menyatakan bahwa suatu definisi

tentang hukum diperlukan, terutama bagi mereka yang

baru mempelajari hukum, setidak-tidaknya merupakan

suatu pegangan pendahuluan untuk mempelajari

hukum lebih lanjut. Dengan mengetahui apa yang

101
Ateng Syafrudin, Op.Cit.

154
dimaksudkan dengan hukum itu melalui perumusan

tadi, maka ia memperoleh pengertian tentang apa yang

akan dipelajarinya. Adanya definisi akan membantu

mereka yang baru mempelajari hukum menunjukkan

jalan (open the way), ke arah mana ia harus berjalan.

Karena bertindak sebagai pembuka jalan inilah, definisi

hukum itu dianggap oleh sebagian para ahli hukum

sebagai amat berharga dan perlu. Terlebih-lebih lagi

apabila definisi itu adalah hasil dari pikiran dan

penyelidikan sendiri.102 Hukum itu banyak seginya,

sangat luas ruang lingkupnya, jadi tidak mungkin

untuk dirumuskan dalam suatu definisi yang hanya

terdiri dari beberapa kalimat saja.

Menurut Lord Loyd of Hampstead, tidak

berhasilnya definisi-definisi hukum yang banyak dibuat

oleh para ahli hukum hingga saat ini untuk dapat

diterima secara universal, disebabkan oleh tidak atau

102
Lili Rasjidi dan Ira Tania Rasjidi, 2002, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung,.hlm
38.

155
kurang dipahaminya hakikat hukum. Lili Rasjidi

berpendapat bahwa, suatu perumusan tentang hukum

yang dapat mencakup segala segi dari hukum yang luas

itu memang tidak mungkin dibuat. Sebab, suatu definisi

tentunya memerlukan berbagai persyaratan seperti

jumlah kata yang digunakan yang sedapat mungkin

tidak terlalu banyak, mudah dipahami, pokoknya

pendek, singkat, dan jelas. Hukum yang banyak seginya

tidak mungkin dapat dituangkan hanya ke dalam

beberapa kalimat saja. Jadi hukum harus dilihat

sebagai suatu keseluruhan proses mulai dari

pembentukannya sampai dengan penciptaan hasil karya

hukum dan pelaksanaan eksekusi suatu putusan

Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Hukum, apabila dilihat selalu menjelaskan

kesamaan, yaitu dimulai dengan penjelasan struktur

dari ilmu hukum itu, misalnya ilmu hukum selalu

terdiri dari dua penjelasan umum, yaitu ilmu hukum

156
yang dogmatik dan ilmu kenyataan hukum, kemudian

kedua bagian itu selanjutnya akan dipilah-pilih lagi

secara lebih spesifik. Kedua disiplin itu satu sama lain

memiliki wilayah yang berbeda (paling tidak dipandang

secara berbeda), sehingga untuk masuk ke wilayah satu

dengan wilayah yang lain diperlukan perpindahan atau

penggabungan sarana/alat untuk mencapai wilayah

tersebut. Hukum akan selalu dilihat melalui sudut

pandang yang berbeda-beda tersebut.103

Banyak para sarjana dan ahli hukum yang

berpandangan berbeda tentang hukum. Sebut saja

H.L.A. Hart misalnya membedakan tentang cara

pandang orang hukum terhadap hukum dan cara

pandang orang non hukum terhadap hukum. Hans

Kelsen, Paul Scholten, Lili Rasjidi, Otje Salman dan B.

Arief Sidharta melakukan hal yang sama untuk

memaknai hukum, yaitu memecahnya menjadi bagian

103
Anthon F. Susanto, 2007, Hukum Dari Consilience Menuju Paradigma Hukum Konsruktif-
Transgresif, Refika Aditama, Jakarta, hlm. 60.

157
yang paling kecil untuk kemudian melakukan

penjumlahan kembali guna memperoleh bentuknya

yang cukup jelas. Hal yang sama dilakukan oleh

Lawrence Friedmann (dalam sistem hukum) sistem

hukum terdiri dari struktur, substansi, dan kultur.

Lawrence Friedmann kemudian memecah unsur-unsur

sistem hukum itu menjadi bagian perbagian yang jika

dirangkai kembali akan membentuk suatu bangunan

baru yang dapat diubah sehingga orang awan akan

melihat hukum dalam bentuknya yang berbeda-beda.

Ibarat seorang arsitek maka arsitektur hukum

bergantung, kembali kepada tujuan negara.

Namun hukum dapat dilihat dalam lapangan

hukum utama, seperti publik dan privat, kemudian

bagian atau tahap selanjutnya ditempatkan pula

wilayah-wilayah lebih khusus, seperti hukum pidana,

hukum perdata, hukum dagang, dan lain-lain sesuai

dengan lapangan utama yang ada di atasnya. Bagian

158
satu dengan bagian lain ada pada wilayah yang sudah

jelas dan pasti, sehingga dengan sangat mudah

seseorang dapat menjelaskan bahwa Hukum Tata Usaha

Negara asal katanya dari bestuursrecht dan

administratief recht.

Peter Leyland dan Terry Woods mengatakan:

First we must ask another question: What in fact is


administrative law? Normally, it is regarded as the
area of law concerned with the control of
governmental powers, powers which originate in
parliamentary legislation or in the prerogative. Or the
subordinate powers exercised by individuals and
bodies acting under the power given by primary
legislation (or legislation of a binding nature
emanating from the European Community). It may,
then, operate in respect of controlling the prerogative
powers of ministers, but it might equally well apply to
the minutiae of administration in central and local
government. It embodies general principles which can
be applied to the exercise of the powers and duties of
authorities in order to ensure that the myriad of rules
and discretionary powers available to the executive
conform to basic standards of legality and fairness.
The ostensible purpose of these principles is to ensure
that, as well as observance of the rule of law, there is
accountability, transparency and effectiveness in the
exercise of power in the public domain. By now it will
already be apparent that this is a very large arena.
Unfortunately, there is no universally accepted
method of dividing it up, of objectively segregating one

159
area of concern from another. Nevertheless, for
convenience sake, we can list those activities that it
conventionally concerns, e.g., social security, health,
housing, planning, education, immigration, the
exercise of powers by central and local government
and the police, tribunals and inquiries. You will also
notice that these roughly correspond to the main
activities of the modern state. In so far as it is
possible to identify a common body of rules and
procedures that apply in these areas, such rules,
taken together, form the basis of what we call
administrative law.

(“Pertama kita harus bertanya: Apa sebenarnya

Hukum Tata Usaha negara? Biasanya, itu dianggap

sebagai bidang hukum yang bersangkutan dengan

kontrol kekuasaan pemerintah, kekuasaan yang berasal

dalam undang-undang parlemen atau dalam hak

prerogatif. Atau kekuasaan bawahan dilakukan oleh

individu dan badan-badan yang bertindak di bawah

kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang primer

(atau undang-undang yang bersifat mengikat yang

berasal dari Masyarakat Eropa). Mungkin, kemudian,

beroperasi dalam hal mengendalikan kekuatan hak

prerogatif menteri, tapi mungkin sama baiknya berlaku

160
untuk hal kecil di bidang tata usaha pemerintah pusat

dan daerah. Ini mencakup prinsip-prinsip umum yang

dapat diterapkan pada pelaksanaan tugas kekuasaan

dan otoritas untuk memastikan bahwa berbagai aturan

dan kekuasaan diskresi yang tersedia untuk eksekutif

sesuai dengan standar dasar legalitas dan keadilan.

Tujuan nyata dari prinsip-prinsip ini adalah untuk

memastikan bahwa ketaatan terhadap aturan hukum,

ada akuntabilitas, transparansi dan efektivitas dalam

pelaksanaan kekuasaan di domain publik. Saat itu

sudah jelas bahwa hal tersebut adalah arena yang

sangat besar. Sayangnya, tidak ada metode yang

diterima secara universal yang menerangkan tentang hal

itu, yang secara objektif merupakan pemisahan satu

bidang dimana memerlukan perhatian dari yang lain.

Namun, demi kenyamanan, kita dapat mengetahui

daftar kegiatan-kegiatan yang konvensional, misalnya,

keamanan, sosial kesehatan, perumahan, perencanaan,

161
pendidikan, imigrasi, pelaksanaan kekuasaan oleh

pemerintah pusat dan daerah dan polisi, serta

pengadilan. Kita dapat melihat kegiatan utama negara

yang modern. Sejauh mungkin untuk mengidentifikasi

seperangkat aturan dan prosedur yang berlaku di

daerah-daerah, aturan seperti itu, diambil bersama-

sama, membentuk dasar dari apa yang kita sebut

Hukum Tata Usaha Negara.”104

Soediman Kartohadiprodjo berpendapat:105

Kalau kita menghadapi yang kita namakan

“hukum”, yang dalam bahasa Jerman “Recht”, “droit”

dalam bahasa Perancis atau “law” dalam bahasa

Inggris, maka bagi pembicara yang pertama-tama

menarik dan minta perhatiannya ialah, bahwa hukum

itu sesuatu yang bertalian dengan kehidupan manusia.

Tidak ada suatu fakta atau peristiwa yang oleh hukum

104
Peter Leyland Terry Woods. 1994, Textbook on Administrative Law. Blackstone Press Limited,
London.. hlm. 1-2.
105
Soediman Kartohadiprodjo, Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa, Gatra Pustaka, Jakarta,
2010, hlm. 78.

162
diberi akibat yang tidak menyangkut di dalamnya

manusia. Malahan manusia dalam hubungannya

dengan manusia lainnya, dan bukan manusia seorang

diri. Suatu peristiwa yang oleh hukum diberi akibat

ialah misalnya perkawinan. Peristiwa yang kita

namakan perkawinan itu adalah suatu peristiwa di

mana manusia yang satu dengan manusia yang lain

yang berbeda kelaminnya saling mengikat dirinya untuk

secara abadi hidup berdampingan. Peristiwa inilah yang

diberi akibat oleh hukum, dan karena itu disebutnya

peristiwa hukum.

Jadi, hukum adalah segala aturan yang bersanksi

yang mengatur tingkah laku manusia yang dibentuk

berdasarkan penilaian tentang tingkah laku manusia itu

yang pada dasarnya tergantung dari penglihatan

manusia yang menilai tadi tentang tempat individu

dalam pergaulan hidup. Sedangkan negara hukum

Pancasila adalah negara berdasarkan hukum dimana

163
kegiatan pemerintahan dan negara harus sesuai dengan

hukum yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila.106

Pendapat Soediman Kartohadiprodjo tentang hukum

dan negara dalam kerangka Pancasila terkait

kedaulatan rakyat sebenarnya mirip pendapat

Rousseau. Pendapat Rousseau adalah bahwa hukum itu

kehendak etis umum. Rousseau menentang kekuasaan

absolut, Rousseau, seperti juga John Locke,

mengkonstruksi teorinya tentang hukum dalam konteks

perlindungan individu. Sesuai semangat Aufklarung,

Rousseau, melihat keberadaan sejati manusia sebagai

oknum yang memiliki otonomi etis. Kebebasan bagi si

individu adalah dasar ontologi hidupnya. Itulah

sebabnya, hukum sebagai tatanan publik hanya bisa

dipahami dalam realitas dasar itu.107

Sebagai manifestasi volonte generale, hukum itu

berfungsi sebagai tatanan yang melindungi kepentingan


106
Ibid.
107
Bernard. L. Tanya, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Waktu, Genta
Publishing, Yogyakarta, 2010, hlm. 86.

164
bersama sekaligus kepentingan pribadi, termasuk milik

pribadi. Dalam hukum yang demikian itu, implikasi hak

dan kebebasan tiap orang tetap dihormati, sehingga

tetap merasa bebas dan merdeka seperti sedia kala.

Hidup dalam tertib hukum tersebut dirasa jauh lebih

baik ketimbang suasana kehidupan sebelumnya, di

mana masing-masing orang berlomba untuk diri sendiri

tanpa secara terencana membangun kepentingan

bersama. Jadi dapat dikatakan bahwa hidup dalam

tertib hukum niscaya membawa manusia pada keadilan

dan kesusilaan. Dalam keadilan dan kesusilaan

tersebut, kebebasan masih tetap ada, hanya saja bukan

tanpa batas, melainkan dibatasi oleh kemauan umum.

Bisa dimengerti jika Rousseau menempatkan hukum

sebagai inti dari semua kehidupan sosial yang adil dan

bermoral.108

108
Ibid., hlm. 87.

165
Untuk memastikan suatu aturan hukum benar-

benar mencerminkan kehendak umum, maka Rousseau

mensyaratkan agar perlu adanya badan legislasi yang

merupakan representasi rakyat. Tapi badan itu tidak

boleh dibiarkan berjalan sendiri tanpa kontrol karena

bagaimanapun bahaya kehendak individu selalu

menghantui setiap kekuasaan. Ada semacam kredo yang

harus dipatuhi oleh badan legislasi, yakni setia pada

volonte generale. Ketika suatu rancangan peraturan

diajukan, yang menjadi isu utama, bukan badan itu

setuju atau tidak setuju, melainkan apakah rancangan

itu selaras dengan volonte generale atau tidak. Itu

adalah syarat mutlak, karena ia akan mengikat

individu-individu yang punya otonomi dan bebas.109

Selanjutnya, dalam sistem negara modern,

dijalankan dengan pada prinsipnya menerapkan ajaran-

ajaran dari Rousseau, Montesqiueu, dan lain-lain, di

109
Ibid., hlm. 88.

166
mana negara yang bersangkutan sudah mulai

menerapkan dan mengembangkan sistem negara

demokrasi, dengan pembatasan terhadap kekuasaan

kepala negara melalui sistem distribusi kekuasaan

dengan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak

rakyat. Inggris yang paling awal mempraktikkan sistem

negara demokrasi modern, dengan sistem pemerintahan

berdasarkan kepada Magna Charta (tahun 1215),

Habeas Corpus Act (tahun 1679), Bill of Rights (tahun

1688), dan lain-lain. Kemudian, negara Amerika Serikat

muncul di barisan terdepan yang secara revolusioner

dan komprehensif menciptakan sistem negara modern,

yang dimulai dengan terciptanya Virginia Bill of rights

(tahun 1776) kemudian disusul dengan Konstitusi

negara Amerika Serikat (tahun 1778).110

Banyak orang-orang Amerika, pada lain pihak, tak

percaya atas filsafat hukum sama sekali. Sering

110
Ibid.

167
dikatakan bahwa hukum Amerika, seperti hukum

Inggris, adalah sangat empiris dalam metodenya, bahwa

hukum itu melangkah maju dari kasus ke kasus dan

dari masalah ke masalah, mencari pemecahan-

pemecahan praktis dengan tidak mengacu kepada suatu

perangkat doktrin-doktrin yang sistematis atau suatu

teori yang komprehensip. Kehidupan hukum demikian,

menurut salah seorang yuris yang paling termasyhur,

Oliver Wendell Holmes Jr., mengatakan: ”Tidak

merupakan logika tetapi pengalaman. Pengalaman,

demikian kiranya banyak orang dan khususnya

pengalaman hukum, kehidupan hukum, hanya dapat

dipahami/dipandang dari segi pragmatis: pertama satu

hal terjadi dan kemudian suatu hal lain, tergantung dari

suatu keserbaragaman faktor-faktor yang hanya secara

dangkal saling berkaitan”.111

111
Harold J. Berman, 1996, Segi-segi Filosofis Hukum Amerika, Dalam Ceramah Tentang Hukum
Amerika Serikat, Tata Nusa, Jakarta, hlm. 267.

168
Penjaminan hak asasi manusia dan keadilan

terdapat dalam hukum, dapat dibentuk melalui undang-

undang agar tercipta kepastian hukum. Agar hukum

dipatuhi oleh masyarakat, dalam suatu negara hukum,

hukum haruslah benar. Hukum yang benar tersebut

harus pula ditegakkan secara benar. Doktrin

pelaksanaan hukum yang benar ini populer dengan

sebutan due process of law. Secara historis, istilah due

process of law mempunyai konotasi bahwa segala

sesuatu harus dilakukan secara adil. Konsep due

process of law sebenarnya terdapat dalam konsep hak-

hak fundamental (fundamental rights) dan konsep

kemerdekaan/kebebasan yang tertib (ordered liberty).

Konsep due proces of law yang prosedural pada

dasarnya didasari atas konsep hukum tentang keadilan

yang fundamental (fundamental fairness). Dalam

perkembangannya, due process of law yang prosedural

merupakan suatu proses atau prosedur formal yang

169
adil, logis, dan layak, yang harus dijalankan oleh yang

berwenang.

Meuwissen dalam bukunya, sebagaimana

diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta, mengatakan

apakah teori hukum itu? Teori hukum itu menyibukkan

diri dengan suatu tri-tugas. Pertama, Ia memberikan

suatu analisis tentang pengertian ‘hukum’ dan tentang

pengertian-pengertian lain yang dalam hubungan ini

relevan. Kedua, Ia menyibukkan diri dengan hubungan

antara hukum dan logika. Ketiga, Ia memberikan suatu

filsafat ilmu dan ilmu hukum dan suatu ajaran metode

untuk praktek hukum. Meuwissen berpendapat bahwa

tiap filsafat hukum memiliki pandangan sendiri tentang

teori hukum. Di lain pihak beberapa teori hukum juga

memiliki implikasi-implikasi kefilsafatan (hukum). Hal

ini tampak jelas misalnya pada apa yang dinamakan

teori hukum empirik, yang sangat berorientasi pada

aliran-aliran tertentu dan filsafat ilmu modern (misalnya

170
Rasionalisme Kritikal)112 sampai kepada teori

hermeneutika hukum yang berkembang di Amerika

Serikat.

Perkembangan teori hukum adalah seiring dengan

perkembangan filsafat hukum. Diawali dengan teori

hukum alam. Yang dimaksudkan dengan hukum alam

menurut ajaran ini ialah hukum yang berlaku universal

dan abadi. Menilik sumbernya, hukum alam ini ada

yang bersumber dari Tuhan (irasional) dan yang

bersumber dari akal (rasio) manusia. Pemikiran hukum

alam yang berasal dari Tuhan dikembangkan misalnya

dan terutama oleh para pemikir skolastik pada Abad

Pertengahan seperti Thomas Aquino, Gratianus

(Decretum), John Salisbury, Dante, Piere Dubois,

Marsilius Padua, Johannes Haus, dan lain-lain, pada

tahun 1700 an. 113

112
B. Arief Sidharta, 2008, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum
dan Filsafat Hukum, Refika Aditama, Jakarta, hlm. 31.
113
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Op,Cit., hlm. 53.

171
Apabila aliran sebelumnya menganggap penting

hubungan antara hukum dan moral, maka aliran

hukum positif justru menganggap bahwa kedua hal

tersebut merupakan dua hal yang harus dipisahkan. Di

dalam aliran ini dikenal adanya dua sub aliran yang

terkenal, yaitu:114

a. Aliran hukum positif yang analitis, pendasarnya

adalah John Austin (1800).

b. Aliran hukum positif yang murni, dipelopori oleh

Hans Kelsen.

Perkembangan teori hukum setelah positivisme

hukum adalah teori hukum utilitarianisme. Tokoh

terkemuka dari aliran ini ialah Jeremy Bentham (1748-

1832) di samping juga John Stuart Mill (1806-1873) dan

Rudolf von Jhering (1818-1889). Jeremy Bentham

menerapkan salah satu prinsip dari aliran

utilitarianisme ke dalam lingkungan hukum, yaitu:

114
Ibid., hlm. 55

172
manusia akan bertindak untuk mendapatkan

kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan mengurangi

penderitaan. Ukuran baik-buruknya suatu perbuatan

manusia tergantung kepada apakah perbuatan itu

mendatangkan kebahagiaan atau tidak. Teori ini

mendasarkan bahwa hukum dibentuk harus

memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi

kesejahteraan umat manusia.115

Perkembangan berikutnya adalah aliran teori

hukum mazhab sejarah. Hukum bersumber dari jiwa

rakyat. Oleh karena itu hukum itu akan berbeda pada

setiap waktu dan tempat. Tidaklah masuk akal kalau

terdapat hukum yang sifatnya universal dan abadi.

Pencetusnya adalah von Savigny yang mengatakan

bahwa apa yang menjadi isi dari hukum itu ditentukan

oleh pergaulan hidup manusia dari masa ke masa.

Hukum berkembang dari suatu masyarakat sederhana

115
Ibid., hlm. 60.

173
yang tercermin pada setiap tingkah laku individu-

individu kepada masyarakat yang kompleks, di mana

kesadaran hukum rakyat nampak pada ucapan-ucapan

para ahli hukumnya. Mazhab sejarah dikembangkan

kemudian oleh Sir Henry Maine dengan bukunya

Ancient Society (1822-1888).116

Perkembangan teori hukum selanjutnya

mendapatkan modernisasi dengan penghargaan yang

tinggi terhadap masyarakat sebagai pencipta budaya

hukum. Didasari oleh mazhab sejarah lahir aliran

sociological jurisprudence yang dapat dikatakan sebagai

salah satu aliran dari berbagai-bagai pendekatan. Aliran

ini tumbuh dan berkembang di Amerika, dan dipelopori

oleh Roscoe Pound dengan karya-karyanya yang

terkenal seperti Scope and Purpose of Sociological

Jurisprudence (1912), Outline of Lectures on

Jurisprudence (1903), The Spirit of Common Law (1921),

116
Ibid., hlm. 64.

174
An Introduction to the Philosophy of Law (1922), The Task

of Law (1944), Interpretations of Legal History (1923), dan

lain-lain. Tokoh-tokoh lainnya antara lain Benjamin

Cardozo dan Kantorowics. Tidak dapat disangkal bahwa

ajaran Sociological Jurisprudence ini tergolong aliran-

aliran sosiologis dibidang hukum yang di Benua Eropa

dipelopori oleh seorang ahli hukum bangsa Austria

bernama Eugen Ehrlich (1826-1922), yang mula

pertama menulis tentang hukum dipandang dari sudut

sosiologi dengan judul Grundlegung der Soziologie des

Rechts (diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh

Walter L. Moll: Fundamental Principles of the Sociology of

Law, pada tahun 1936). Dalam mencoba menelaah

antara sosiologi hukum Eropa dan sociological

jurisprudence di Amerika Serikat, dalam kata pengantar

untuk buku Gurvitch, Roscoe Pound antara lain menulis

bahwa terdapat sedikit perbedaan cara pendekatan

antara keduanya. Sosiologi hukum itu merupakan

175
cabang sosiologi yang mempelajari pengaruh timbal-

balik antara hukum dan masyarakat dengan titik tolak

pendekatannya dari masyarakat ke hukum, sedangkan

sociological jurisprudence merupakan suatu teori hukum

yang mempelajari pengaruh hukum terhadap

masyarakat, dan sebagainya, dengan pendekatan dari

hukum ke masyarakat.117

Berikutnya adalah teori hukum dari mazhab

realisme. Realisme adalah suatu gerakan dalam cara

berpikir dan cara bekerja tentang hukum. Realisme

adalah suatu konsepsi mengenai hukum yang berubah-

ubah dan sebagai alat untuk mencapai tujuan sosial,

maka tiap bagiannya harus diselidiki mengenai tujuan

maupun hasilnya. Hal ini berarti bahwa keadaan sosial

lebih cepat mengalami perubahan daripada hukum.

Realisme hukum berkembang dengan dasar sociological

jurisprudence. Tokohnya John Chipman Gray, Oliver

117
Ibid., hlm. 65-66.

176
Wendell Holmes, Karl Lewelyn, Jerome Frank, William

James, dan lain-lain (1950). Beberapa penulis

memasukkan pula Roscoe Pound ke aliran ini selain

sebagai pendasar aliran sociological jurisprudence. Hal

ini barangkali berkaitan dengan anggapannya yang

tidak mengesampingkan faktor akal dalam

pembentukan hukum sebagaimana yang dikemukakan

oleh aliran positivisme hukum dan teori lainnya yang

terkenal, bahwa hukum itu merupakan alat untuk

membangun masyarakat (law is a tool of social

engineering).118

Pertengahan abad keduapuluh sampai awal abad

kedua puluh satu berkembang teori hukum

hermeneutika. Teori ini mengkaji positivisme hukum

yang saat sekarang menjadi teori hukum berlakunya

undang-undang di setiap negara di dunia, khususnya

negara berkembang termasuk Indonesia. Positivisme

118
Ibid., hlm. 67-69.

177
menjadi peletak dasar asas legalitas dalam hukum

Indonesia yang kemudian mengarah pada pemerintahan

oleh aturan (rule-governance). Prinsip itu sendiri telah

mendapat tantangan dalam literatur filsafat dan sosial-

teoretis, khususnya dengan mulai dikenalnya

pertentangan tajam atau dikotomi antara konteks-

praktik yang teratur dan yang tidak teratur atau antara

apa yang normal dan yang abnormal. Penerapan aturan

dalam setting normal memang bisa terwujud walaupun

rumit, meskipun demikian rule governance secara

keseluruhan menjadi runtuh dalam kondisi-kondisi

yang tidak teratur atau dalam keadaan ketika terjadi

kekosongan ‘paradigma’ atau wacana yang dikelola oleh

aturan. Dengan demikian sebagai salah satu contoh,

Richard Rorty dalam karyanya Philosophy and the Mirror

of Nature membedakan secara tajam antara wacana

‘normal’ dan wacana ‘abnormal’ suatu pembedaan yang

menurut dia sejalan dengan pertentangan antara

178
epistemologi dan hermeneutika, atau antara

‘kesepadanan’ dan ‘percakapan.’ Dalam pandangannya,

wacana normal berlangsung melalui serangkaian

konvensi yang telah disepakati mengenai apa yang

dianggap sebagai ‘sumbangan’ relevan, sementara

wacana abnormal dipraktikkan oleh orang yang ‘tidak

mengetahui konvensi-konvensi atau oleh orang yang

mengabaikannya.’

Hermeneutika berlaku sebagai antitesis terhadap

pengetahuan ‘sistematis’ dan epistemik, meskipun di

bagian lain ia juga membedakan secara lebih hati-hati

lagi antara tipe hermeneutika normal atau tipe biasa

dan tipe yang lebih radikal atau ‘luar biasa’ (yang

cenderung hendak menggulingkan aturan atau konvensi

yang lazim). Perbedaan yang terakhir ini ditolak secara

mendasar oleh Stanley Rosen dalam Hermeneutics as

Politics. Dengan mengambil segi pengetahuan epistemik

dan rule-governance rasional, Rosen memandang

179
hermeneutika (dalam arus dominannya) sebagai ajakan

untuk bersikap menengahi dan menjadi juru damai bagi

kekacauan intelektual dan politik. Gregory Leyh

menyatakan bahwa ia tidak bermaksud untuk

membahas secara mendalam hubungan antara

hermeneutika dan politik secara umum melainkan

hendak mengkaji dampak hermeneutika terhadap

dimensi kehidupan politik yang sesuai tradisi tergolong

dalam tema pemerintahan oleh hukum (rule of law).119

Dalam upaya menegakkan hukum maka undang-

undang memegang peranan penting agar hukum itu

sendiri dapat dilaksanakan. Faktor yang menghambat

penegakkan hukum adalah dari undang-undang itu

sendiri, karena ketidakjelasan pasal dalam undang-

undang, misal pasal yang menimbulkan multi tafsir,

sehingga undang-undang tidak dapat dilaksanakan

119
Gregory Leyh, 2008. Hermeneutika Hukum, Sejarah Teori dan Praktek (Legal Hermeneutics), Nusa
Media, Bandung, hlm. 15-17.

180
sebagaimana maksud dari tujuan pembentukannya.

Untuk itu perlu dilakukan suatu kajian.

Kajiannya dapat dilakukan dengan hermeneutika

hukum/undang-undang. Objek kajian hermeneutika

hukum dapat berupa teks hukum, naskah-naskah

hukum klasik, dokumen resmi negara, ayat-ayat al-

ahkam atau konstitusi sebuah negara. Pendapat ini juga

benar, sebab dokumen sejarah atau tatanan norma

dalam kehidupan bernegara itu tidak semuanya bisa

dipahami oleh rakyatnya.120

Dalam hal ini, diperlukan suatu lembaga resmi

untuk menafsirkannya. Lembaga resmi itu, bisa berupa

sebuah lembaga negara, komisi negara, badan hukum,

atau individu yang diberi wewenang dan tugas untuk itu

(peran interpretatif). Ketiga, objek kajian hermeneutika

hukum dapat juga berupa peristiwa hukum atau

pemikiran hukum. Sebab, peristiwa hukum maupun

120
Jazim Hamidi, 2008, Mengenal Lebih Dekat Hermeneutika Hukum, Dalam Butir-butir Pemikiran
Dalam Hukum, Refika Aditama, Bandung, hlm. 82.

181
hasil pemikiran/doktrin hukum itu dalam pengertian

hukum dapat dijadikan alat bukti ataupun sumber

hukum.121 Sebagai contoh, doktrin tentang negara

hukum rechtsstaat atau rule of law (hasil

pemikiran/pendapat para ahli yang kompeten) itu

merupakan sumber hukum materiil dalam pengertian

Hukum Tata Negara. Dalam pengertian dan

pembidangan kajian yang terurai seperti di atas, objek

kajian hermeneutika hukum menjadi lebih jelas dan

terukur. Jika dicermati maka objek kajian hermeneutika

hukum itu berupa: teks hukum, ayat-ayat al-ahkam,

doktrin hukum, asas hukum, prinsip-prinsip hukum,

norma hukum (nasional dan internasional), maupun

yurisprudensi putusan peradilan dan keputusan

masyarakat Hukum Adat juga termasuk objek kajian

hermeneutika hukum.122

121
Ibid.
122
Ibid.

182
BAB II

HUKUM ACARA TATA USAHA NEGARA

A. Pemeriksaan Pengadilan Pada Sidang Pertama

183
Apa yang dimaksud dengan pemeniksaan sidang

pengadilan tingkat Pertama adalah pemeriksaan yang

dilakukan oleh:123

a. Pengaditan Tata Usaha Negara untuk semua sengketa

Tata Usaha Negara sebagai berikut:

1. yang tidak disediakan upaya administratif, baik

berupa keberatan maupun banding administratif,

atau

2. yang telah mendapatkan keputusan melalui upaya

administratif yang berupa keberatan, atau

b. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara untük sengketa

Tata Usaha Negara yang telah mendapatkan

keputusan melalui upaya administratif yang berupa

banding administratif atau keberatan dan banding

administratif.

1. Panggilan Para Pihak

123
R. Wiyono, Op.Cit., hlm. 129.

184
Sesuai dengan hari, tempat, dan waktu sidang

yang telah ditetapkan, kepada para pihak dipanggil

dan panggilan kepada para pihak dianggap sah jika

masing-masing pihak telah menerima surat panggilan

yang dikirimkan dengan surat tercatat oleh Panitera

(Pasal 65). Surat panggilan yang ditujukan kepada

Tergugat disertai salinan gugatan dengan

pemberitahuan bahwa gugatan itu dapat dijawab

dengan tertulis. Apa yang dimaksud dengan ”surat

tercatat”, dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1986 tidak dijelaskan, sehingga dengan demikian apa

yang dimaksud dengan “surat tercatat” tidak hanya

surat tercatat yang dikirim melalui PT Pos & Giro,

tetapi juga termasuk surat yang dikirim tidak melalui

PT Pos & Giro, asal ada tanda penerimaan dari

penerima. Dalam pemeriksaan dengan acara biasa,

jangka waktu antara panggilan dan hari sidang, tidak

boleh kurang dari 6 (enam) hari sejak diterimanya

185
surat panggilan, tetapi dalam pemeriksaan dengan

acara cepat, jangka waktu antara panggilan dan hari

sidang, boleh kurang dari 6 (enam) hari sejak

diterimanya surat panggilan (Pasal 64 ayat (2)),

apalagi kalau diingat tenggang waktu untuk jawaban

dan pembuktian serta pemeriksaan dengan acara

cepat sudah ditentukan tidak boleh lebih dan 14

(empat belas) hari.124 Dalam hal salah satu pihak

berkedudukan atau berada di luar wilayah Republik

Indonesia, Ketua Pengadilan yang bersangkutan

melakukan pemanggilan dengan cara meneruskan

surat penetapan han sidang beserta salinan gugatan

tersebut kepada Departemen Luar Negeri Republik

Indonesia yang selanjutnya mengirimkan surat

penetapan han sidang beserta salman gugatan

tersebut ke pihak yang dipanggil melalui Perwakilan

Republik Indonesia di luar negeri dalam wilayah

124
Pasal 99 ayat (3).

186
tempat yang bersangkutan berkedudukan atau

berada. Petugas Perwakilan Republik Indonesia dalam

jangka waktu 7 (tujuh) hari sejak dilakukan

pemanggilan tersebut wajib memberi laporan kepada

Pengadilan yang bersangkutan.

2. Ketidakhadiran Para Pihak

a. Penggugat Tidak Hadir

Pasal 71 ayat (1) menentukan: “Dalam hal

penggugat atau kuasanya tidak hadir di persidangan

pada hari pertama dan hari yang ditentukan dalam

panggilan yang kedua tanpa alasan yang dapat

dipertanggungjawabkan, meskipun setiap kali

dipanggil dengan patut, gugatan dinyatakan gugur

dan penggugat harus membayar biaya perkara”.

Dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 71

ayat (1) tersebut dapat diketahui bahwa gugatan

akan dinyatakan gugur jika memenuhi syarat-syarat

sebagai berikut:

187
a. Penggugat atau kuasanya 2 (dua) kali tidak hadir

di persidangan, yaitu:

1. pada hari pertama sidang, dan

2. pada hari yang ditentukan dalam panggilan

yang kedua;

b. ketidakhadiran Penggugat atau kuasanya tersebut

tanpa adanya alasan yang dapat

dipertanggungjawabkan;

c. Penggugat atau kuasanya telah dipanggil dengan

patut.

ad. a

Apa yang dimaksud dengan Penggugat atau

kuasanya tidak hadir di persidangan pada hari

pertama sidang, kiranya sudah jelas.

Yang perlu dijelaskan adalah apa yang

dimaksud dengan “Penggugat atau kuasanya tidak

hadir di persidangan pada hari yang ditentukan

dalam panggilan yang kedua”.

188
Untuk menjelaskan dapat diberikan contoh

sebagai berikut.

Pada hari sidang kedua, Penggugat atau

kuasanya hadir di persidangan, tetapi pada hari

sidang ketiga, Peuggugat atau kuasanya tidak hadir

di persidangan tanpa alasan yang dapat

dipertanggungjawabkan, meskipun pada hari sidang

kedua, Penggugat atau kuasanya telah

diberitahukan oleh Hakim Ketua Sidang agar hadir

di sidang pada hari yang sudah ditentukan, yaitu

hari sidang keempat.

Pada hari sidang keempat, temyata Penggugat

atau kuasanya tidak hadir di persidangan, sehingga

Penggugat atau kuasanya dipanggil untuk hadir

pada hari sidang kelima.

Jika pada hari sidang kelima, temyata

Penggugat atau kuasanya tidak hadir di

persidangan, maka inilah yang dimaksud dengan

189
Penggugat atau kuasanya tidak hadir di persidangan

pada hari yang ditentukan dalam panggilan yang

kedua.

Jadi, apa yang dimaksud dengan Penggugat

atau kuasanya tidak hadir di persidangan pada hari

pertama dan hari yang ditentukan dalam panggilan

kedua bukan berarti Penggugat atau kuasanya tidak

hadir di persidangan pada hari pertama sidang dan

hari kedua sidang secara berturut-turut.

ad. b

Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986

tidak ada ketentuan yang menyebutkan apa yang

dimaksud dengan “tanpa alasan yang dapat

dipertanggungjawabkan” pada Pasal 71 ayat (1).

Oleh karena itu, kepada hakim diberikan

kebebasan untuk menilai apakah yang dimaksud

dengan “tanpa alasan yang dapat

dipertanggungjawabkan” tersebut.

190
Sebagai contoh mengenai “tanpa adanya alasan

yang dapat dipertanggungjawabkan” adalah

Penggugat atau kuasanya tidak hadir di persidangan

tanpa alasan sama sekali atau tidak hadir di

persidangan, karena Penggugat atau kuasanya

masih sibuk mengurus usaha dagangnya.

ad. c

Yang dimaksud dengan “dipanggil dengan

patut” pada Pasal 71 ayat (1) adalah dipanggil

dengan sah.

Pasal 65 menentukan: “Panggilan terhadap

pihak yang bersangkutan dianggap sah apabila

masing-masing telah menerima surat panggilan yang

dikirimkan dengan surat tercatat”.

Dari adanya ketentuan yang terdapat dalam

Pasal 65 tersebut, dapat diketahui bahwa Penggugat

atau kuasanya baru dapat dikatakan telah “dipanggil

dengan patut”, jika Penggugat atau kuasanya telah

191
menerima yang dapat dibuktikan dengan adanya

tanda terima surat panggilan.

Jadi, gugatan akan dinyatakan gugur jika

Penggugat atau kuasanya tidak hadir di persidangan

pada hari pertama dan hari yang ditentukan dalam

panggilan yang kedua tanpa alasan yang dapat

dipertanggungjawabkan.

Akan tetapi, Pasal 71 ayat (2) menentukan

bahwa Penggugat masih dapat mengajukan gugatan

sekali lagi sesudah membayar uang muka biaya

perkara.

Arti dari ketentuan tersebut adalah bahwa hak

yang diberikan kepada Penggugat untuk mengajukan

gugatan lagi hanya 1 (satu) kali saja, sehingga jika

misalnya gugatan yang dimaksud dinyatakan lagi

gugur, maka Penggugat sudah tidak mempunyai hak

untuk mengajukan gugatan.

b. Tergugat Tidak Hadir

192
Pasal 72 menentukan: “(1) Dalam hal tergugat

atau kuasanya tidak hadir di persidangan dua kali

sidang berturut-turut dan/atau tidak menanggapi

gugatan tanpa alasan yang dapat

dipertanggungjawabkan meskipun setiap kali telah

dipanggil dengan patut, maka Hakim Ketua sidang

dengan surat penetapan meminta atasan tergugat

untuk memerintahkan tergugat hadir danlatau

menanggapi gugatan. (2) Dalam hal setelah lewat

dua bulan sesudah dikirimkan dengan surat tercatat

penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

tidak diterima berita, baik dan atasan tergugat

maupun dan tergugat, maka Hakim Ketua Sidang

menetapkan hari sidang berikutnya dan

pemeriksaan sengketa dilanjutkan menurut acara

biasa, tanpa hadirnya tergugat. (3) Putusan terhadap

pokok gugatan dapat dijatuhkan hanya setelah

193
pemeriksaan mengenai segi pembuktannya

dilakukan secara tuntas”.

Dari adanya ketentuan yang terdapat dalam

Pasal 72 tersebut, dapat diketahui bahwa dalam

hukum acara Tata Usaha Negara juga dikenal

adanya putusan verstek seperti yang terdapat dalam

hukum acara perdata atau hukum acara pidana.

Putusan verstek adalah putusan yang

dijatuhkan di luar hadirnya atau tanpa hadirnya

tergugat atau terdakwa.

Hanya saja agar hakim dapat menjatuhkan

putusan verstek, harus dipenuhi beberapa syarat

sebagai berikut:

a. Tergugat atau kuasanya tidak hadir di

persidangan 2 (dua) kali berturut-turut atau tidak

menanggapi gugatan;

194
b. ketidakhadiran Tergugat atau tidak menanggapi

gugatan tersebut tanpa adanya alasan yang dapat

dipertanggungjawabkan;

c. Tergugat atau kuasanya telah dipanggil dengan

patut;

d. dengan penetapan Hakim Ketua Sidang meminta

kepada atasan Tergugat untuk memenintahkan

Tergugat hadir di persidangan dan/atau

menanggapi gugatan;

e. dua bulan setelah penetapan Hakim Ketua Sidang

dikirimkan kepada atasan Tergugat, belum

diterima berita, baik dari atasan Tergugat maupun

dari tergugat;

f. tahap pembuktian dalam pemeriksaan tersebut,

telah dilakukan secara tuntas.

ad. a

Ketidakhadiran Tergugat atau kuasanya di

persidangan tersebut tidak harus dimulai pada hari

195
sidang pertama seperti yang menjadi syarat

ketidakhadiran Penggugat atau kuasanya jika

gugatan akan dinyatakan gugur.125

Yang menjadi syarat adalah ketidakhadiran

Tergugat atau kuasanya tersebut hams terjadi secara

berturut-tumt atau dengan perkataan lain tidak

boleh diselingi dengan kehadiran Tergugat atau

kuasanya di antara kedua ketidakhadiran Tergugat

atau kuasanya di persidangan.

Meskipun Tergugat atau kuasanya hadir di

persidangan 2 (dua) kali berturut-turut, tetapi

kehadiran Tergugat atau kuasanya di persidangan

tersebut dapat juga menjadi salah satu alasan

bahwa sengketa Tata Usaha Negara dilakukan

pemeriksaan dengan acara biasa tanpa kehadiran

Tergugat, jika Tergugat atau kuasanya tidak

menanggapi gugatan.

125
Pasal 71 ayat (1).

196
Yang dimaksud dengan tidak menanggapi

gugatan adalah di samping berupa tidak

memberikan jawaban terhadap isi gugatan (Pasal 74

ayat (1)), juga dapat berupa tidak mengajukan duplik

terhadap replik yang diajukan Penggugat atau

kuasanya.

Rasio dan pemeriksaan dilanjutkan dengan

acara biasa tanpa kehadiran Tergugat atau

kuasanya, meskipun sebelumnya Tergugat atau

kuasanya hadir di persidangan 2 (dua) kali berturut-

turut, namun tidak menanggapi gugatan tersebut

adalah Tergugat atau kuasanya mengakui dalil-dalil

yang telali diajukan oleh Penggugat, baik yang

terdapat dalam surat gugatan maupun dalam replik.

ad. b

Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986

juga tidak ada ketentuan yang menyebutkan apa

yang dimaksud dengan “alasan yang dapat

197
dipertanggungjawabkan” pada perumusan Pasal 72

ayat (1).

Oleh karena itu, kepada hakim diberikan

kebebasan untuk menilai apakah yang dimaksud

dengan “tanpa alasan yang dapat

dipertanggungjawabkan” tersebut.

Sebagai contoh dari tanpa adanya alasan yang

dapat dipertanggungjawabkan adalah Tergugat atau

kuasanya tidak hadir di persiciangan tanpa alasan

sama sekali atau tidak hadir di persidangan, karena

pemangku jabatan yang definitif masih dalam proses

penggantian.

ad. c

Yang dimaksud dengan “dipanggil dengan

patut” dalam Pasal 72 ayat (1) adalah sama artinya

dengan dimaksud “dipanggil dengan sepatutnya”

dalam Pasal 7 ayat (1).

198
ad. d

Yang dimaksud dengan “Hakim Ketua Sidang”

dalam Pasal 72 ayat (1) adalah Hakim yang ditunjuk

sebagai Ketua Sidang, baik dalarn pemeriksaan

dengan acara biasa maupun pemeriksaan dengan

acara cepat.

Permintaan Hakim Ketua Sidang kepada

atasan dan Tergugat untuk memenintahkan

Tergugat hadir di persidangan dan!atau menanggapi

gugatan, harus dituangkan dalam bentuk berupa

penetapan Hakim Ketua Sidang dan tidak dapat

dituangkan hanya dalam bentuk berupa surat biasa.

ad. e

Jangka waktu 2 (dua) bulan dalam Pasal 72

ayat (2) adalah jangka waktu maksimal.

Yang dimaksud dengan “tidak diterima berita”

dalam ketentuan tersebut adalah tidak tenima berita

199
tentang Tergugat untuk hadir di persidangan

dan/atau menanggapi gugatan.

ad. f

Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986

tidak ada ketentuan yang menyebutkan apa yang

dimaksud dengan “setelah pemeriksaan mengenai

segi pembuktiannya dilakukan secara tuntas” dalam

Pasal 72 ayat (3).

Oleh karena itu, kepada hakim diberikan

kebebasan untuk menilai apakah yang dimaksud

dengan “setelah pemeriksaan mengenai segi

pembuktiannya dilakukan secara tuntas tersebut.

Meskipun demikian, yang jelas hakim tetap

dituntut untuk selalu mengikuti Jika terdapat lebih

dan seorang Tergugat, Pasal 73 menentukan: (1)

Dalam hal terdapat lebih dari seorang tergugat dan

seorang atau lebih di antara mereka atau kuasanya

tidak hadir di persidangan tanpa alasan yang dapat

200
dipertanggungjawabkan, pemeriksaan sengketa itu

dapat ditunda sampai hari sidang yang ditentukan

Hakim Ketua Sidang. (2) Penundaan sidang itu

diberitahukan kepada pihak yang hadir, sedang

terhadap pihak yang tidak hadir oleh Hakim Ketua

Sidang diperintahkan untuk dipanggil sekali lagi. (3)

Apabila pada hari penundaan sidang sebagaimana

dimaksud dalam ayat (2) tergugat atau kuasanya

masih ada yang tidak hadir, sidang dilanjutkan

tanpa kehadirannya”.

c. Tahap-Tahap Pemeriksaan

Sebelum mengemukakan tahap-tahap

pemeriksaan, perlu diketahui bahwa dalam Hukum

Acara Tata Usaha Negara berlaku asas beracara

dengan surat atau tulisan (schrijelijke procedure),

artinya bahwa pemeriksaan terhadap pokok gugatan

berjalan dengan surat-menyurat di muka hakim.

Meskipun demikian Hukum Acara Tata Usaha

201
Negara masih membuka peluang pemeriksaan

dilakukan dengan lisan, misalnya pada pemeriksaan

persiapan atau pemeriksaan saksi. Pada umumnya

mengenai tahap-tahap pemeriksaan di persidangan,

dapat dikemukakan sebagai berikut:

a. tahap pembacaan isi gugatan dari Penggugat dan

pembacaan jawaban dan Tergugat;

b. tahap pengajuan replik;

c. tahap pengajuan duplik;

d. tahap pengajuan alat-alat bukti;

e. tahap pengajuan kesimpulan;

f. tahap penjatuhan putusan.

Demi kelancaran pemeriksaan Sengketa Tata

Usaha Negara, Pasal 80 menentukan bahwa Hakim

Ketua Sidang berhak di dalam sidang memberikan

petunjuk kepada Penggugat dan Tergugat mengenai

upaya hukum dan alat bukti yang dapat digunakan.

202
ad. a

Pasal 74 ayat (1) menentukan: “Pemeriksaan

sengketa dimulai dengan membacakan isi gugatan

dari surat yang memuat jawabannya oleh Hakim

Ketua Sidang dan jika tidak ada surat jawaban,

pihak tergugat diberi kesempatan untuk mengajukan

jawabannya.” Ketentuan yang terdapat dalam Pasal

74 ayat (1) tersebut dalam praktik pelaksanaannya

adalah sebagai berikut: Atas persetujuan tergugat,

Hakim Ketua Sidang tidak sampai membacakan isi

gugatan dari surat gugat yang diajukan Penggugat,

karena pada surat panggilan sidang yang ditenima

oleh Tergugat sudah terlampir salinan dari surat

gugat, sehingga isi gugatan sudah diketahui oleh

Tergugat. Pada umumnya pada hari sidang tersebut

Tergugat belum dapat menyerahkan jawaban kepada

Hakim Ketua Sidang, sehingga Hakim Ketua Sidang

menetapkan hari sidang selanjutnya untuk memberi

203
kesempatan kepada Tergugat mengajukan jawaban.

Akan tetapi, jika seandainya pada hari sidang

tersebut, Tergugat sudah dapat menyerahkan

jawaban kepada Hakim Ketua Sidang, dalam praktik

pelaksanaannya, Hakim Ketua Sidang juga tidak

sampai membacakan jawaban yang diajukan oleh

Tergugat dan cukup memberikan salinannya kepada

Penggugat. Jawaban yang diajukan oleh Tergugat

tersebut dapat berupa alternatif sebagai berikut:

1. eksepsi saja, yang dapat berupa:

a. eksepsi tentang kewenangan absolut Pengadilan

(Pasal 77 ayat (1)) Eksepsi ini sebenarnya dapat

diajukan setiap waktu selama pemeriksaan dan

meskipun tidak ada eksepsi tersebut, apabila

hakim mengetahui karena jabatannya, wajib

menyatakan bahwa pengadilan tidak berwenang

mengadili sengketa yang bersangkutan;

204
b. eksepsi tentang kewenangan relatif Pengadilan

(Pasal 77 ayat (2)) Eksepsi ini diajukan sebelum

disampaikan jawaban atas pokok sengketa dan

eksepsi tersebut harus diputus sebelum pokok

sengketa diperiksa;

c. eksepsi lain yang tidak mengenai kewenangan

pengadilan (Pasal 77 ayat (3))

Eksepsi ini hanya dapat diputus bersama-sama

dengan pokok sengketa;

A TA U

2. jawaban pokok sengketa dan eksepsi,

A TA U

3. jawaban pokok sengketa saja.

Jika eksepsi tentang kewenangan absolut

Pengadilan atau eksepsi tentang kewenangan relatif

Pengadilan, oleh putusan hakim dinyatakan

dikabulkan, maka sudah tentu Hakim Ketua Sidang

tidak akan menetapkan hari sidang selanjutnya

205
untuk memberikan kesempatan kepada Penggugat

mengajukan replik. Terhadap putusan hakim

tersebut, Penggugat dapat mengajukan permohonan

banding.

Akan tetapi, jika eksepsi tentang kewenangan

absolut pengadilan atau eksepsi tentang kewenangan

relatif pengadilan, oleh hakim diputus tidak diterima,

atau eksepsi lain yang tidak mengenai kewenangan

Pengadilan oleh hakim dinyatakan akan diputus

bersama-sama dengan pokok sengketa, maka Hakim

Ketua Sidang menetapkan hari sidang selanjutnya

untuk memberikan kesempatan kepada Penggugat

untuk mengajukan replik.

ad. b

Tahap selanjutnya adalah Penggugat

mengajukan replik, artinya Penggugat mengajukan

atau memberikan tanggapan terhadap jawaban yang

telah diajukan oleh Tergugat.

206
Sebelum Penggugat mengajukan replik, atas

dasar ketentuan yang terdapat dalam Pasal 75 ayat

(1), Penggugat dapat mengubah alasan yang

mendasari gugatannya, asal disertai alasan yang

cukup serta tidak merugikan kepentingan Tergugat.

Terhadap alasan yang mendasari gugatan

tersebut, harus dipertimbangkan dengan saksama

oleh hakim. Replik diserahkan oleh Penggugat

kepada Hakim Ketua Sidang dan salinannya oleh

Hakim Ketua Sidang diserahkan kepada Tergugat.

Dalam praktik pelaksanaannya, Hakim Ketua

Sidang tidak sampai membacakan replik yang

diajukan oleh Penggugat, karena Tergugat sudah

diberi salinannya. Kemudian Hakim Ketua Sidang

menetapkan han sidang selanjutnya untuk memberi

kesempatan kepada Tergugat mengajukan duplik.

ad. c

207
Pada hari sidang yang telah ditetapkan,

Tergugat mengajukan duplik, artinya Tergugat

mengajukan atau memberikan tanggapan terhadap

replik yang telah diajukan oleh Penggugat.

Sebelum Tergugat mengajukan duplik, atas

dasar ketentuan yang terciapat dalam Pasal 75 ayat

(2), tergugat dapat mengubah alasan yang mendasari

jawabannya, asal disertai alasan yang cukup serta

ticlak merugikan kepentingan Penggugat.

Terhadap alasan yang mendasari jawaban

tersebut, harus dipertimbangkan dengan saksama

oleh hakim.

Duplik diserahkan oleh Tergugat kepada

Hakim Ketua Sidang dan salinannya oleh Hakim

Ketua Sidang diserahkan kepada Penggugat.

Dalam praktik pelaksanaannya, Hakim Ketua

Sidang juga tidak sampai membacakan duplik yang

208
diajukan oleh Tergugat, karena Penggugat sudah

diberikan salinannya.

Setelah Tergugat mengajukan duplik,

kemudian Hakim Ketua Sidang menetapkan hari

sidang untuk membenikan kesempatan kepada

Penggugat dan Tergugat mengajukan alat-alat bukti.

Hakim Ketua Sidang tidak sampai memberikan

kesempatan kepada Penggugat untuk memberikan

tanggapan terhadap duplik tersebut, karena dalam

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tidak ada

ketentuan yang mengaturnya.

ad. d

Pada tahap pengajuan alat-alat bukti, baik

Penggugat maupun Tergugat sama-sama

mengajukan alat-alat bukti yang terbatas berupa:

1. Surat atau tulisan (Pasal 100 ayat (1) huruf a)

Jika yang diserahkan ke sidang pengadilan

oleh Penggugat atau Tergugat adalah fotokopi dari

209
alat bukti yang berupa surat atau tulisan, maka

pada waktu sidang pengadilan berlangsung,

Penggugat atau Tergugat harus memperlihatkan

asli dari alat-alat bukti tersebut kepada hakim

untuk diteliti apakah fotokopi dari alat-alat bukti

yang dimaksud sesuai atau tidak sesuai dengan

aslinya.

Jika fotokopi dari alat-alat bukti ternyata

tidak sesuai dengan aslinya, maka oleh hakirn

penyerahan fotokopi alat bukti tersebut ditolak.

Sebaliknya jika fotokopi dari alat bukti

sesuai dengan aslinya, maka oleh hakim

penyerahan fotokopi dari alat-alat bukti diterima

dan terus diberikan register pada fotokopi dan alat

bukti tersebut, sedang asli alat buktinya

diserahkan kembali kepada Penggugat atau

Tergugat, kecuahi tentunya jika hakim memandang

210
perlu asli alat bukti tersebut tetap ada di

pengadilan.

Untuk kepentingan pemeriksaan dan apabila

Hakim Ketua Sidang memandang perlu, Hakim

Ketua Sidang dapat memerintahkan pemeriksaan

terhadap surat yang dipegang oleh Pejabat Tata

Usaha Negara atau pejabat lain yang menyimpan

surat itu atau meminta penjelasan dan keterangan

tentang sesuatu yang bersangkutan dengan

sengketa itu.126

Hakim Ketua Sidang dapat memerintahkan

pula supaya surat tersebut diperlihatkan kepada

pengadilan dalam persidangan yang akan

ditentukan untuk keperluan itu.

Apabila surat itu merupakan bagian dari

sebuah daftar, sebelum diperhihatkan oleh

penyimpannya, dibuat salinan surat itu sebagai

126
Pasal 85 ayat (1).

211
ganti yang asli sehama surat yang asli belum

diterima kembali dari pengadilan.

Jika pemeriksaan tentan benamya suatu

surat menimbulkan persangkaan terhadap orang

yang masih hidup bahwa surat itu dipalsukan

olehnya, Hakim Ketua Sidang dapat mengirimkan

surat yang bersangkutan kepada penyidik yang

berwenang dan pemeriksaan sengketa Tata Usaha

Negara dapat ditunda dahulu sampai putusan

pidananya dijatuhkan.

2. keterangan ahli (Pasal 100 ayat (1) huruf b)

3. keterangan saksi (Pasal 100 ayat (1) huruf c)

Dalam praktik orang yang dapat memberikan

keterangan ahli disebut saksi ahli, sedang orang

yang dapat memberikan keterangan saksi disebut

saksi fakta.

Atas permintaan salah satu pihak atau

karena jabatannya Hakim Ketua Sidang dapat

212
memerintahkan seorang saksi untuk didengar

dalam persidangan.127

Apabila saksi tidak datang tanpa alasan yang

dapat dipertanggungjawabkan, meskipun telah

dipanggil dengan patut dan hakim cukup

mempunyai alasan untuk menyangka bahwa saksi

sengaja tidak datang, Hakim Ketua Sidang dapat

memberi perintah supaya saksi dibawa oleh polisi

ke persidangan.128

Seorang aksi yang tidak bertempat tinggal di

daerah hukum pengadilan yang bersangkutan,

tidak diwajibkan datang ke pengadilan tersebut,

tetapi pemeriksaan saksi itu dapat diserahkan

kepada pengadilan yang daerahnya meliputi tempat

kediaman saksi.129

127
Pasal 86 ayat (1).
128
Pasal 86 ayat (2).
129
Pasal 86 ayat (3).

213
Pejabat yang dipanggil sebagai saksi wajib

datang sendiri di persidangan.130

Saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji

dan didengar dalam persidangan pengadilan

dengan dihadiri oleh para pihak yang

bersangkutan.131

Apabila salah satu pihak telah dipanggil

secara patut, tetapi tidak datang tanpa alasan yang

dapat dipertanggungjawabkan, maka saksi dapat

didengar keterangannya tanpa hadimya salah satu

pihak yang bersengketa.132

Dalam hal saksi yang akan didengar tidak

dapat hadir di persidangan karena halangan yang

dapat dibenarkan oleh hukum, hakim dibantu oleh

panitera datang ke tempat kediaman saksi untuk

130
Pasal 93.
131
Pasal 94 ayat (1).
132
Pasal 95 ayat (2).

214
mengambil sumpah atau janjinya dan mendengar

saksi tersebut.133

Menarik untuk dikemukakan bahwa

menurut Indroharto134, pendengaran saksi di

bawah sumpah dapat pula dilakukan di dalam

pemeriksaan persiapan.

Dalam pemeriksaan di sidang Pengadilan

tersebut, di samping hakim sendiri yang

mengajukan pertanyaan kepada saksi ahli

dan/atau saksi fakta, kepada Penggugat dan

Tergugat juga diberikan kesempatan untuk

mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada sanksi

ahli dan/atau saksi fakta melalui Hakim Ketua

Sidang.

Dalam praktik, Hakim Ketua Sidang

memberikan kesempatan kepada Penggugat dan

133
Pasal 95 ayat (3).
134
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku
II, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, Cetakan IV, hlm. 202.

215
Tergugat untuk mengajukan pertanyaan secara

langsung kepada saksi ahli dan/atau saksi fakta.

Jika menurut pertimbangan Hakim Ketua

Sidang, pertanyaan yang disampaikan tidak ada

kaitannya dengan sengketa Tata Usaha Negara

yang sedang diperiksa, maka pertanyaan yang

dimaksud ditolak, artinya pertanyaan oleh Hakim

Ketua Sidang tidak diteruskan kepada saksi ahli

dan saksi fakta untuk dijawab.

Pada tahap pengajuan alat bukti tersebut,

yang diajukan oleh penggugat atau tergugat hanya

terbatas pada ketiga alat bukti tersebut, karena

alat-alat bukti lain yang sudah ditentukan adalah

berupa pengakuan para pihak (Pasal 100 ayat (1)

huruf d) dan pengetahuan hakim (Pasal 100 ayat (1)

huruf e).

ad.e

216
Pada tahap pengajuan kesimpulan ini,

pemeriksaan terhadap sengketa Tata Usaha Negara

sudah selesai.

Masing-masing pihak mengemukakan

pendapat yang terakhir berupa kesimpulan dan hasil

pemeriksaan di sidang Pengadilan mengenai sengketa

Tata Usaha Negara antara Penggugat dengan

Tergugat, yang intinya adalah sebagai berikut.

1. Penggugat mengajukan kesimpulan bahwa

Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan

oleh Tergugat agar dinyatakan batal atau tidak

sah.

2. Tergugat mengajukan kesimpulan bahwa

Keputusan Tata Usaha Negara yang telah

dikeluarkan adalah sah.

Sudah tentu kesimpulan tersebut oleh masing-

masing pihak disertai alasanalasannya dan jika ada

dengan menunjuk alat bukti yang berupa pengakuan

217
para pihak (Pasal 100 ayat (1) huruf d), yaitu

Penggugat dengan menunjuk pada bagian-bagian dari

jawaban dan duplik, sedang Tergugat dengan

menunjuk pada bagian-bagian dari replik.

ad. f

Setelah Penggugat dan Tergugat

mengemukakan kesimpulan, maka hakim Ketua

Sidang menyatakan sidang ditunda, karena Majelis

Hakim akan mengadakan musyawarah untuk

mengambil putusan.

Putusan dalam musyawarah Majelis Hakim

yang dipimpin oleh Hakim Ketua Majelis merupakan

hasil permufakatan bulat, kecuali jika setelah

diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat

218
dicapai permufakatan bulat, putusan diambil dengan

suara terbanyak.

Apabila musyawarah Majelis Hakim tidak dapat

diambil dengan suara terbanyak, maka suara terakhir

Hakim Ketua Majelis yang menentukan.

Putusan harus diucapkan dalam sidang yang

terbuka untuk umum, artinya umum dapat hadir

untuk mendengarkan putusan yang diucapkan.

Sebagai akibat dari putusan yang diucapkan

tidak dalam sidang yang terbuka untuk umum,

putusan tersebut tidak sah dan tidak mempunyai

kekuatan hukum.

Jika yang memeriksa dan memutus sengketa

Tata Usaha Negara adalah Majelis Hakim, dalam

praktik putusan diucapkan mula-mula oleh Hakim

Ketua Sidang, kemudian para hakim anggota dan

yang terakhir kembali lagi ke Hakim Ketua Sidang.

Putusan harus dituangkan dalam bentuk tertulis.

219
Jika terdapat perbedaan antara putusan yang

diucapkan dengan putusan yang dituangkan dalam

bentuk tertulis, maka yang sah adalah putusan yang

diucapkan karena Pasal 20 Undang-Undang Nomor 4

Tahun 2004 dengan tegas menentukan bahwa semua

putusan Pengadilan hanya sah dan mempunyai

kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang

terbuka untuk umum.

Jadi, yang menentukan sah tidak sahnya suatu

putusan pengadilan adalah diucapkannya putusan

tersebut dan bukan bentuk tertulisnya putusan

pengadilan tersebut.

Apabila Penggugat atau Tergugat atau

Penggugat dan Tergugat tidak hadir pada waktu

putusan diucapkan, atas perintah Hakim Ketua

Sidang salinan putusan itu disampaikan dengan surat

tercatat kepada yang bersangkutan.

220
Terhadap putusan Pengadilan tersebut,

Penggugat dan/atau Tergugat dapat menentukan

sikap sebagai berikut:

a. menerima putusan Pengadilan;

b. 1. mengajukan permohonan pemeriksaan di tingkat

banding, jika yang menjatuhkan putusan adalah

Pengadilan Tata Usaha Negara (Pasal 122);

2. mengajukan permohonan pemeriksaan di tingkat

kasasi, jika yang menjatuhkan putusan adalah

Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagai

Pengadilan Tingkat Pertama (Pasal 51 ayat (4));

c. pikir-pikir dalam tenggang waktu 14 (empat belas)

hari setelah diberitahukan secara sah putusan

Pengadilan, apakah menerima putusan Pengadilan

atau mengajukan permohonan pemeriksaan di

tingkat banding atau kasasi.

Perlu untuk mendapat perhatian, Pasal 130

menentukan bahwa dalam hal Penggugat atau

221
Tergugat telah menerima baik putusan Pengadilan

Tata Usaha Negara, Penggugat atau Tergugat tidak

dapat mencabut kembali pernyataan tersebut,

meskipun jangka waktu untuk mengajukan

permohonan pemeriksaan di tingkat banding belum

lampau.

Meskipun ketentuan yang terdapat dalam Pasal

130 tersebut adalah berkaitan dengan pencabutan

kembali mengenai penerimaan terhadap putusan

Pengadilan Tata Usaha Negara, menurut hemat

penulis ketentuan tersebut sebaiknya juga dapat

diberlakukan pada pencabutan kembali mengenai

penerimaan terhadap putusan Pengadilan Tinggi Tata

Usaha Negara sebagai Pengadilan Tingkat Pertama.

Setelah tahap pemeriksaan maka dilakukan

acara pemeriksaan biasa, atau dapat juga acara

pemeriksaan cepat dan singkat.

222
B. Pemeriksaan Dengan Acara Biasa

1. Pengajuan Gugatan

Pada waktu Pasal 53 ayat (1) belum diadakan

perubahan dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun

2004 sejarang Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009,

dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun

1991 telah diberikan petunjuk lebih lanjut bahwa

gugatan dapat jua diajukan melalui pos.

Dengan demikian pengajuan gugatan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1), dapat dilakukan

dengan cara sebagai berikut:

1. gugatan diajukan langsung oleh Penggugat, atau

2. gugatan diajukan melalui pos oleh Penggugat.

Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan

“Pengadilan yang berwenang dalam perumusan Pasal 53

ayat (1) tersebut, di samping harus memperhatikan

ketentuan tentang kompetensi relatif sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 54, juga harus memperhatikan

223
ketentuan tentang sengketa Tata Usaha Negara yang

harus diselesaikan melalui upaya administratif yang

tersedia.

ad.a Gugatan Diajukan Langsung

Gugatan yang diajukan langsung oleh Penggugat

diterima oleh panitera, tetapi tidak langsung

dimasukkan ke dalam daftar perkara sebelum Penggugat

membayar uang muka biaya perkara yang besarnya

ditafsir oleh Panitera (Pasal 59 ayat (1) jo. ayat (2)), yang

oleh Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia

Nomor 2 Tahun 1991 ditentukan sekurang-kurangnya

sebesar Rp 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah)

Penjelasan Pasal 59 ayat (1) menyebutkan bahwa

yang dimaksud dengan ”uang muka biaya perkara”

adalah biaya yang dibayar lebih dahulu sebagai uang

panjar oleh pihak Penggugat terhadap perkiraan biaya

yang diperlukan dalam proses beperkara seperti biaya

kepaniteraan, biaya meterai, biaya saksi, biaya ahli,

224
biaya alih bahasa, biaya pemeriksaan di tempat lain dan

ruang sidang, dan biaya lain yang diperlukan bagi

pemutusan sengketa atas perintah hakim.

Setelah uang muka biaya perkara dibayar, gugatan

dimasukkan dalam daftar perkara untuk mendapatkan

nomor perkara dan gugatan baru diproses untuk

selanjutnya.135

Jadi, dalam menyelesaikan sengketa Tata Usaha

Negara melalui gugatan, pembayaran uang muka biaya

perkara sifatnya adalah imperatif.

Tanpa adanya pembayaran uang muka biaya

perkara, gugatan tidak akan diproses lebih lanjut.

ad. b. Gugatan Diajukan Melalui Pos

Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Republik

Indonesia Nomor 2 Tahun 1991 ditentukan bahwa dalam

hal gugatan diajukan melalui pos, Panitera harus

memberitahu tentang pembayaran uang muka biaya

135
Pasal 59 ayat (3) dan (4).

225
perkara kepada Penggugat dengan diberi waktu paling

lama (enam) bulan bagi Penggugat itu untuk

memenuhinya dan kemudian diterima di Kepaniteraan

terhitung sejak tanggal dikirimnya surat pemberitahuan

tersebut.

Setelah lewat tenggang waktu 6 (enam) bulan

tersebut dan uang muka biaya perkara belum diterima di

Kepaniteraan, maka gugatan tidak akan didaftar.

Gugatan yang dikirim melalui pos yang belum

dipenuhi pembayaran uang muka biaya perkara

tersebut, dianggap sebagai surat biasa, akan tetapi kalau

sudah jelas merupakan suatu surat gugat, maka

haruslah tetap disimpan di Panitera Muda Bidang

Perkara dan harus dicatat dalam Buku Pembantu

Register dengan mendasarkan pada tanggal diterimanya

gugatan tersebut, agar dengan demikian ketentuan

tenggang waktu dalam Pasal 55 tidak terlampaui.

226
Dengan demikian, gugatan yang diajukan melalui

pos oleh penggugat, seperti halnya gugatan yang

diajukan langsung oleh penggugat, baru diproses lebih

lanjut jika telah dibayar uang muka biaya perkara yang

besamya ditafsir oleh panitera.

Bagaimana jika Penggugat tidak mampu untuk

membayar uang muka biaya perkara?

Pasal 60 ayat (1) menentukan bahwa Penggugat

dapat mengajukan permohonan kepada Ketua

Pengadilan untuk bersengketa dengan cuma-cuma.

Penjelasan Pasal 60 ayat (2) menyebutkan bahwa

seseorang dianggap tidak mampu apabila

penghasilannya sangat kecil, sehingga ia tidak mampu

membayar biaya perkara dan biaya pembelaan perkara

di pengadilan.

Permohonan untuk bersengketa dengan cuma-

cuma (prodeo) oleh penggugat diajukan bersama-sama

dengan surat gugatan kepada Ketua Pengadilan dengan

227
dilampirkan surat keterangan tidak mampu dan Kepala

Desa atau Lurah di tempat kediaman penggugat.136

Permohonan tersebut harus diperiksa dan

ditetapkan lebih dahulu oleh pengadilan sebelum pokok

perkara diperiksa.137

Penetapan oleh pengadilan terhadap permohonan

yang dimaksud diambil di tingkat pertama dan

terakhir138, artinya tidak ada upaya hukum yang dapat

dipergunakan.

Penetapan yang mengabulkan permohonan dan

Penggugat untuk bersengketa dengan cuma-cuma di

tingkat pertama, juga berlaku di tingkat banding dan

kasasi.139

2. Penelitian Administratif

136
Pasal 60 ayat (2).
137
Pasal 61 ayat (1).
138
Pasal 61 ayat (2).
139
Pasal 61 ayat (3).

228
Ketentuan-ketentuan tentang penelitian

administratif secara tegas tidak terdapat dalam Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1986.

Akan tetapi, dari ketentuan yang terdapat dalam

Pasal 62 ayat (2) huruf b dapat diketahui bahwa perlu

diadakan penelitian terhadap syarat-syarat gugatan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56.

Oleh Mahkamah Agung telah diberikan beberapa

petunjuk sebagai berikut:

Yang mempunyai wewenang untuk melakukan

penelitian administratif adalah panitera, wakil panitera

dan panitera muda perkara sesuai dengan pembagian

tugas yang diberikan.

Adapun yang menjadi objek dan penelitian

administratif hanya segi formalnya saja, misalnya segi

formal dari surat kuasa atau segi formal tentang bentuk

dan isi gugatan, apakah sudah sesuai dengan ketentuan

229
yang terdapat dalam Pasal 56, tetapi tidak sampai

menyangkut segi materiil dari gugatan.

Dalam tahap penelitian administratif ini panitera

harus memberikan petunjuk-petunjuk seperlunya dan

dapat meminta kepada Penggugat untuk memperbaiki

yang dipandang perlu.

Panitera tidak berhak menolak pendafiaran perkara

dengan dalih apa pun juga yang berkaitan dengan

masalah gugatan.

Untuk memudahkan pemeriksaan perkara

selanjutnya, maka setelah perkara dimasukkan dalam

daftar perkara dan memperoleh nomor perkara, oleh staf

Kepaniteraan dibuatkan resume gugatan terlebih dahulu

sebelum diajukan kepada Ketua Pengadilan dengan

bentuk formal yang isinya pada pokoknya adalah sebagai

berikut:

a. siapa subjek gugatan dan apakah Penggugat maju

sendiri ataukah diwakili oleh kuasa;

230
b. apa yang menjadi objek gugatan dan apakah objek

gugatan tersebut termasuk dalam pengertian

Keputusan Tata Usaha Negara yang memenuhi unsur-

unsur Pasal 1 butir 3;

c. apakah yang menjadi alasan-alasan gugatan dan

apakah alasan tersebut memenuhi unsur Pasal 53

ayat (2) butir a dan b;

d. apakah yang menjadi petitum atau isi gugatan, yaitu

hanya pembatalan Keputusan Tata Usaha Negara

saja, ataukah ditambah pula dengan tuntutan ganti

rugi/atau rehabilitasi.

Untuk penelitian syarat-syarat formal gugatan,

panitera atau staf Kepaniteraan dapat memberikan

catatan atas gugatan tersebut.

3. Rapat Permusyawaratan

Setelah surat gugatan —beserta resume gugatan—

diterima oleh Ketua Pengadilan dan panitera, maka oleh

Ketua Pengadilan surat gugat tersebut diperiksa dalam

231
rapat permusyawaratan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 62, ayat (1) yang menentukan: “Dalam rapat

permusyawaratan, Ketua Pengadilan berwenang

menentukan dengan suatu penetapan yang dilengkapi

dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan

yang diajukan itu dinyatakan tidak diterima atau tidak

berdasar dalam hal:

a. pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk

dalam wewenang pengadilan;

b. syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 56 tidak dipenuhi oleh penggugat sekalipun ia

telah diberitahu dan diperingatkan;

c. gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan

yang layak;

d. apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah

dipenuhi oleh Keputusan Tata Usaha Negara yang

digugat;

232
e. gugatan yang diajukan sebelum waktunya atau telah

lewat waktunya”. Penjelasan Pasal 62 ayat (1) huruf a

menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “pokok

gugatan” adalah fakta yang dijadikan dasar gugatan.

Atas dasar fakta tersebut, Penggugat mendalilkan

adanya suatu hubungan hukum tertentu dan oleh

karenanya mengajukan tuntutannya.

Sebelum menguraikan lebih lanjut tentang

pemeriksaan surat gugat dalam rapat permusyawaratan,

terlebih dahulu perlu untuk dikemukakan bahwa

prosedur sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 62

ayat (1) tersebut adalah suatu prosedur penyelesaian

yang disederhanakan (vereenvoudigde behandeling,

dismissal procedure) di mana kepada Ketua Pengadilan

diberikan wewenang untuk memutuskan dengan

mengeluarkan suatu penetapan, yaitu penetapan

dismissal yang dilengkapi dengan

pertimbanganpertimbangan bahwa suatu gugatan yang

233
diajukan ke pengadilan dinyatakan tidak diterima atau

tidak berdasar.

Dismissal procedure ini hanya khusus ada di

Hukum Acara Tata Usaha Negara dan tidak terdapat di

Hukum Acara Perdata.

Apa yang dimaksud dengan “Rapat

permusyawaratan dalam perumusan Pasal 62 ayat (2)

dan pelaksanaannya, dalam Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1986 tidak dijelaskan, sehingga tidak heran jika

kemudian timbul bermacam-macam pendapat, misalnya:

a. A. Soedjadi di dalam karyanya yang berjudul Acara

Biasa, Acara Cepat dan Acara Singkat Menurut

Undang-Undang Peraturan dibandingkan dengan Wet

Op De Raad Van State” menyebutkan: “......................

Ketentuan dalam pasal ini adalah kesamaannya

dengan Pasal 105 (1) Wet op de Raad van State yang

berbunyi: Devoorzitter kan onmiddelijk uitspraak doen,

indien het verzoek kennelijk niet ontvankelijk is dan wel

234
indien de verdere behandeling van de zaak hem niet

nodig voorkomt omdat:

1. hetverzoek kennelijk ongegrond is;

2. het aangevallen besluit kennehjk niet in stand kan

bhjven;

3. het aangevallen besluit door het bevoegde

overheidsorgaan is ingestrokken of gewzjzigd, en dit

orgaan kennelijk aan de bezwaren van de verzoeker

is tegemoet gukomen. Dalam pasal ini tidak terdapat

kata-kata: De voozitte in de raadkamer, tetapi hanya

De voorzitter saja, oleh karena itu, saya

berpendapat bahwa kata-kata “dalam rapat

permusyawaratan” supaya dianggap tidak ada atau

tidak perlu dibaca, karena dalam kenyataannya

para Ketua Pengadilan itu sajalah yang membuat

penetapan yang bersangkutan”.

Dari karyanya tersebut dapat diketahui bahwa

menurut A. Soedjadi, tidak ada apa yang dimaksud

235
dengan “rapat permusyawaratan” seperti yang

disebutkan dalam Pasal 62 ayat (1).

Yang memeriksa surat gugatan yang telah

diadakan penelitian administratif oleh staf

Kepaniteraan, menurut A. Soedjadi adalah Ketua

Pengadilan sendiri, karena apa yang dimaksud dengan

“Rapat permusyawaratan” tersebut, sebenarnya

memang tidak ada.

Yang menjadi pertanyaan dan pendapat A.

Soedjadi tersebut adalah apakah dapat dibenarkan

untuk menafsirkan suatu ketentuan dari suatu

undang-undang yang berlaku di Indonesia dengan

mempergunakan tolok ukur atau kriteria suatu

ketentuan dari suatu undang-undang yang tidak

berlaku di Indonesia?

Menafsirkan ketentuan yang sedemikian ini,

menurut hemat penulis kurang tepat, karena setiap

undang-undang bagi suatu negara merupakan produk

236
politik bagi negara yang bersangkutan, sehingga

sudah tentu akan berbeda antara negara satu dengan

lainnya, kecuali jika memang ada kesengajaan dari

pembuat undang-undang untuk membuat undang-

undang yang sama dengan undang-undang yang

berlaku di negara lain.

b. S.F. Marbun dalam karyanya yang berjudul Peradilan

Tata Usaha Negara menyebutkan: Acara Rapat

Permusyawaratan dilakukan sendiri oleh Ketua

Pengadilan sebelum Majelis Hakim Pemeriksa perkara

pokok sengketa ditunjuk. Penetapan atas hasil Rapat

Permusyawaratan akan didengar oleh para pihak

(penggugat dan terugat) sebelum hari sidang

ditentukan dan seterusnya.

Dari karyanya tersebut dapat diketahui bahwa

menurut S.F. Marbun, memang ada apa yang

dimaksud dengan “rapat permusyawaratan” seperti

yang disebutkan dalam perumusan Pasal 62 ayat (1),

237
hanya saja pelaksanaan dari rapat permusyawaratan

tersebut dilakukan sendiri oleh Ketua Pengadilan.

Yang kurang dijelaskan oleh S.F. Marbun

adalah apa yang menjadi alasan atau dasar, sehingga

sampai S.F. Marbun mempunyai pendapat bahwa

acara rapat permusyaratan dilakukan sendiri oleh

Ketua Pengadilan sebelum Majelis Hakim Pemeriksa

perkara pokok sengketa ditunjuk?

c. Indroharto dalam karyanya yang berjudul Usaha

Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata

Usaha Negara Buku II menyebutkan: Rapat

Permusyawaratan itu dihadiri oleh mereka yang ikut

dalam memutuskan sesuatu mengenai perkara yang

bersangkutan, yaitu Ketua Sidang dan para Anggota

Majelis dan Panitera atau Panitera Pengganti yang

akan ikut duduk bersidang dan seterusnya.”

Dari kenyataan dapat diketahui bahwa menurut

Indroharto, memang ada apa yang dimaksud dengan

238
“rapat permusyawaratan” seperti yang disebutkan

dalam perumusan Pasal 62 ayat (1), sedang

pelaksanaan dan rapat permusyawaratan tersebut,

yang hadir tidak hanya Ketua Pengadilan saja, tetapi

juga hadir para Anggota Majelis dan Panitera atau

Panitera Pengganti yang akan ditunjuk untuk

memeriksa perkara yang dimaksud.

d. Philipus M. Hadjon dkk. dalam karyanya yang

berjudul Pengantar Hukum Administrasi Indonesia

menyebutkan: Rapat Permusyawaratan itu terdiri dari

para hakim dan panitera yang diketuai oleh Ketua

Pengadilan Tata Usaha Negara (tingkat pertama) Hasil

rapat permusyawaratan dapat berupa penerimaan

atau penolakan terhadap gugatan dalam bentuk suatu

penetapan yang diucapkan di hadapan kedua belah

pihak yang bersengketa untuk mendengarkannya

setelah dipanggil dengan surat tercatat oleh panitera

dan seterusnya”.Dari karyanya tersebut dapat

239
diketahui bahwa pendapat Philipus M. Hadjon dkk.

sama dengan pendapat Indroharto mengenai apa yang

dirnaksud dengan “rapat permusyawaratan” seperti

yang disebutkan dalam perumusan Pasal 62 ayat (1)

dan pelaksanaannya.

Jika kemudian pendapat dari para pakar tersebut

diperbandingkan, dapat ditarik kesimpulan sebagai

berikut:

a. menurut A. Soedjadi dan S.F. Marbun, penetapan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1),

dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan sendiri tanpa

diadakan musyawarah dengan para hakim, apalagi

sampai dilangsungkan dalam bentuk rapat

permusyawaratan;

b. menurut Indroharto dan Philipus M. Hadjon dkk.,

penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62

ayat (1), dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan setelah

240
musyawarah dengan para hakim dalam suatu rapat

permusyawaratan.

Pelaksanaan dari rapat permusyawaratan yang

disebutkan dalam pertimbangan hukum dan putusan

Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta tersebut adalah

sesuai dengan petunjuk dan Mahkamah Agung Republik

Indonesia yang menentukan bahwa pemeriksaan

dismissal dilakukan oleh Ketua Pengadilan dan Ketua

dapat juga menunjuk seorang hakim sebagai Raporteur

(Raportir).

Dengan memperhatikan semua pendapat tentang

apa yang dimaksud dengan “rapat permusyawaratan”

dalam perumusan Pasal 62 ayat (1) dan pelaksanaannya,

kiranya dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

a. rapat permusyawaratan dapat diartikan sebagai raad

kamer, dalam pemeriksaan kamar tertutup;

b. pemeriksaan terhadap surat gugat yang telah

diadakan penelitian administratif oleh staf

241
Kepaniteraan, dilakukan sendini oleh Ketua

Pengadilan;

c. untuk memeriksa surat gugat tersebut jika Ketua

Pengadilan menghendaki, dapat dilakukan bersama-

sama dengan beberapa hakim.

Pemeriksaan dalam rapat permusyawaratan hanya

terpusat pada apakah gugatan memenuhi salah satu

atau beberapa atau semua ketentuan sebagaimana

dimaksud huruf a, b, c, d, danlatau e dan Pasal 62 ayat

(1) saja, yaitu sebagai berikut.

a. Pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk

dalam wewenang Pengadilan Tata Usaha Negara.

Contoh:

Gugatan yang diajukan bukan merupakan

sengketa Tata Usaha Negara, karena Keputusan Tata

Usaha yang menimbulkan sengketa adalah Keputusan

Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 2.

242
b. Syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 56 tidak dipenuhi oleh penggugat sekalipun

telah diberitahu dan diperingatkan.

Contoh:

Pada waktu diadakan penelitian administratif

oleh staf Kepaniteraan, kepada Penggugat telah

diberitahu dan diperingatkan agar hal yang dituntut

dalam surat gugatan diperbaiki dengan maksud

supaya ada kaitannya dengan dasar gugatan, tetapi

ternyata Penggugat mengabaikan.

c. Gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-

alasan yang layak.

Contoh:

Gugatan yang dasar gugatannya tidak menjurus

pada alasan-alasan gugatan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 53 ayat (2).

243
d. Apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah

terpenuhi oleh Keputusan Tata Usaha Negara yang

digugat.

e. Gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat

waktunya.

Apabila dipandang perlu, pada waktu dilakukan

pemeriksaan dalam rapat permusyawaratan, Ketua

Pengadilan berwenang memanggil dan mendengarkan

keterangan para pihak sebelum Ketua Pengadilan

mengeluarkan penetapan dismissal.

Pemanggilan kedua belah pihak dilakukan dengan

surat tercatat oleh Panitera atas perintah Ketua

Pengadilan.

Dalam melakukan pemeriksaan, Ketua Pengadilan

agar tidak terlalu mudah menerapkan ketentuan-

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat

(1), kecuali mengenai Pasal 62 ayat (1) huruf a dan c.

244
Jika hasil dari pemeriksaan yang dilakukan oleh

Ketua Pengadilan tersebut menunjukkan bahwa gugatan

tidak memenuhi satu atau beberapa atau semua

ketentuan sebagaimana dimaksud oleh huruf a, b, c, d,

dan/atau e dan Pasal 62 ayat (1), maka Ketua

Pengadilan mengeluarkan penetapan yang menunjuk

hakim untuk memeriksa gugatan dengan acara biasa.

4. Pemeriksaan Persiapan

Sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam

Pasal 63 ayat (1), sebelum pemeriksaan pokok sengketa

di muka umum dimulai, Majelis Hakim yang telah

ditetapkan oleh Ketua Pengadilan, wajib mengadakan

pemeriksaan persiapan untuk melengkapi gugatan yang

kurang jelas atau untuk mematangkan perkara.

Pemeriksaan persiapan ini dapat pula dilakukan

oleh Hakim Anggota yang ditunjuk oleh Ketua Majelis

sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh

Ketua Majelis.

245
Oleh karena pemeriksaan persiapan dilakukan

sebelum pemeniksaan pokok sengketa di muka umum

dimulai, maka pemeriksaan persiapan dapat dilakukan

di ruangan musyawarah dalam sidang tertutup untuk

umum, tidak harus di ruangan sidang, bahkan dapat

pula dilakukan di dalam kamar kerja hakim tanpa

memakai toga.

Penjelasan Pasal 63 ayat (1) menyebutkan bahwa

ketentuan yang terdapat dalam Pasal 63 ayat (1) adalah

kekhususan dalam proses pemeriksaan sengketa Tata

Usaha Negara.

Kepada hakim diberi kemungkinan untuk

mengadakan pemeriksaan persiapan sebelum memeriksa

pokok sengketa.

Dalam kesempatan ini hakim dapat meminta

penjelasan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha

Negara yang bersangkutan demi lengkapnya data yang

diperlukan untuk gugatan itu.

246
Wewenang Hakim ini untuk mengimbangi dan

mengatasi kesulitan seseorang sebagai Penggugat dalam

mendapatkan informasi atau data yang diperlukan dan

Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, mengingat

Penggugat clan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara

kedudukannya tidak sama.

Penjelasan Pasal 56 ayat (3) menyebutkan bahwa

dalam kenyataan, Keputusan Tata Usaha Negara yang

hendak disengketakan itu mungkin tidak ada dalam

tangan penggugat.

Dalam hal keputusan itu ada padanya, maka

untuk kepentingan pem\buktian, Penggugat seharusnya

melampirkannya pada gugatan yang diajulan.

Tetapi bagi Penggugat yang tidak memiliki

Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dari

pihak ketiga yang terkena akibat hukum keputusan

tersebut, tentu tidak mungkin melampirkan pada surat

gugat.

247
Dalam rangka pemeriksaan persiapan, hakim

selalu dapat meminta kepada Badan atau Pejabat Tata

Usaha Negara yang bersangkutan untuk mengirimkan

Keputusan Tata Usaha Negara yang sedang

disengketakan itu kepada pengadilan.

Dengan kata “sedapat mungkin” dalam Pasal 56

ayat (3) ditampung semua kemungkinan, termasuk

apabila tidak ada keputusan yang dikeluarkan menurut

ketentuan Pasal 3.

Untuk mencapai tujuan dan pemeriksaan

persiapan, segala sesuatu yang akan dilakukan untuk

pemeriksaan persiapan tersebut diserahkan kepada

kearifan dan kebijaksanaan Ketua Majelis.

Oleh karena itu, dalam pemeriksaan persiapan,

memanggil Penggugat untuk menyempurnakan

gugatannya danlatau Tergugat untuk dimintai

keterangan/penjelasan tentang keputusan yang digugat,

tidak selalu harus didengar secara terpisah.

248
Pemeriksaan persiapan terutama untuk menerima

bukti-bukti dan surat-surat yang berkaitan dengan

gugatan.

Dalam hal adanya tanggapan dan tergugat, tidak

dapat diartikan sebagai replik duplilc.

Jika sampai terjadi hal yang sedemikian, harus

dibuat berita acara pemeriksaan persiapan.

Menurut Indroharto dalam pemeriksaan persiapan,

dapat dilakukan pemeriksaan setempat, pemeriksaan

surat-surat yang disimpan oleh instansi-instansi

tertentu atau pendengaran saksi-saksi yang dapat

memberikan kejelasan mengenai fakta-fakta yang

berkaitan dengan perkara yang bersangkutan.

Dalam melakukan pemeriksaan setempat tidak

perlu dilaksanakan oleh Majelis Hakim yang lengkap,

cukup oleh salah seorang Hakim Anggota yang khusus

ditugaskan untuk melakukan pemeriksaan setempat

yang dituangkan dalam bentuk penetapan.

249
Pasal 63 ayat (2) menentukan bahwa dalam

pemeriksaan persiapan, Hakim:

a. wajib memberi nasihat kepada Penggugat untuk

memperbaiki gugatan dan melengkapinya dengan data

yang diperlukan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh)

hari;

b. dapat meminta penjelasan kepada Badan atau Pejabat

Tata Usaha Negara yang bersangkutan.

C. Pemeriksaan Dengan Acara Singkat

Sebagaimana telah dikemukakan di atas tentang

Acara Pemeriksaan Bisa, jika hasil dari pemeriksaan

yang dilakukan oleh Ketua Pengadilan dalam rapat

permusyawaratan menunjukkan bahwa gugatan tidak

memenuhi semua ketentuan sebagaimana dimaksud

oleh huruf a, b, c, d, danlatau e dan Pasal 62 ayat (1),

maka Ketua Pengadilan lalu mengeluarkan penetapan

250
yang menunjuk Majelis Hakim untuk memeniksa

gugatan dengan acara biasa.

Sebaliknya, jika hasil dari pemeriksaan yang

dilakukan oleh Ketua Pengadilan tersebut menunjukkan

bahwa gugatan memenuhi salah satu atau beberapa

atau semua ketentuan sebagaimana dimaksud oleh

huruf a, b, c, d, dan/atau e dan Pasal 62 ayat (I), maka

dengan menunjuk pada ketentuan yang terdapat dalam

Pasal 62 ayat (1) pula, Ketua Pengadilan lalu

mengeluarkan penetapan yang dilengkapi dengan

pertimbangan-pertimbangan, yang menyatakan bahwa

gugatan tidak diterima atau tidak berdasar yang

ditandatangani oleh Ketua Pengadilan dan Panitera

Kepala/Wakil Penitera (Wakil Ketua Pengadilan dapat

pula menandatangani penetapan dalam hal Ketua

Pengadilan berhalangan).

Oleh Martiman Prodjohamidjojo dikemukakan:

251
1. jika pokok gugatan nyata-nyata tidak termasuk dalam

wewenang pengadilan, maka gugatan dinyatakan

tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaarcl)

(Pasal 62 ayat (1) huruf a);

2. jika syarat dalam Pasal 56 ayat (1) huruf a dan b tidak

dipenuhi oleh Penggugat, maka gugatan dinyatakan

tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard) dan

jika syarat materiil dalam Pasal 56 ayat (1) huruf c

tidak dipenuhi, maka gugatan dinyatakan tidak

berdasar (niet gegrond) (Pasal 62 ayat (1) huruf b);

3. jika gugatan tidak didasarkan pada alasan-alasan

yang layak (Pasal 53 ayat (2)), maka gugatan

dinyatakan tidak berdasar (niet gegrond) (Pasal 62

ayat (1) huruf c);

4. jika apa yang dituntut sebenarnya sudah dipenuhi

oleh Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat,

maka gugatan dinyatakan tidak dapat dierima (Pasal

62 ayat (1) huruf d);

252
5. jika gugatan yang diajukan sebelum waktunya atau

telah lewat waktu, maka gugatan dinyatakan tidak

dapat diterima (Pasal 62 ayat (1) huruf e).

Penetapan tersebut yang biasa dikenal dengan

penetapan dismissal, menurut Pasal 62 ayat (2) huruf a

diucapkan dalam rapat permusyawaratan sebelum han

persidangan ditentukan, dengan memanggil kedua pihak

untuk mendengarkannya.

Penetapan dismissal di samping merupakan

penetapan yang menyatakan bahwa gugatan tidak

diterima atau tidak berdasar, karena telah memenuhi

salah satu atau beberapa atau semua ketentuan

sebagaimana dimaksud oleh huruf a, b, c, d, dan/atau e

dan Pasal 62 ayat (1), sesuai dengan petunjuk

Mahkamah Agung, penetapan dismissal juga

dimungkinkan dalam hal adanya bagian petitum gugatan

yang nyata-nyata tidak dapat dikabulkan.

253
Terhadap penetapan dismissal tersebut, menurut

Pasal 62 ayat (3) huruf a, Penggugat dapat mengajukan

upaya hukurn berupa perlawanan ke pengadilan dalam

tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah penetapan

dismissal diucapkan.

Jika Penggugat mengajukan perlawanan, maka

menurut Pasal 62 ayat (3) huruf b, perlawanan tersebut

diajukan dengan mengikuti ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 56.

Dengan demikian Penggugat yang mengajukan

perlawanan sama halnya dengan Penggugat ketika

mengajukan gugatan.

Oleh Indroharto, perlawanan yang diajukan oleh

Penggugat tersebut disebut gugatan perlawanan.

D. Pemeriksaan Dengan Acara Cepat

Pengajuan gugatan dalam pemeriksaan dengan

acara cepat adalah sama dengan pengajuan gugatan

254
dalam pemeriksaan dengan acara biasa dengan

perbedaan bahwa dalam gugatan yang diajukan oleh

Penggugat disebutkan adanya alasan-alasan agar

pemeriksaan terhadap sengketa Tata Usaha Negara

dipercepat, yaitu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98

ayat (1).

Pasal 98 ayat (1) menentukan: “Apabila terdapat

kepentingan penggugat yang cukup mendesak yang

harus dapat disimpulkan dan alasan-alasan

permohonannya, penggugat dalam gugatannya dapat

memohon kepada Pengadilan supaya pemeriksaan

sengketa dipercepat’.

Dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 98 ayat (1) tersebut, dapat diketahui bahwa agar

dapat dilakukan pemeriksaan dengan acara cepat,

pengajuan gugatan harus memenuhi syarat-syarat

sebagai berikut:

255
a. Dalam surat gugat harus sudah dimuat atau

disebutkan alasan-alasan yang menjadi dasar dari

Penggugat untuk mengajukan permohonan agar

pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara dipercepat.

Dengan demikian, alasan-alasan tersebut jangan

sampai tidak dimuat atau disebutkan dalam surat

gugat, tetapi misalnya oleh Penggugat baru

dikemukakan pada waktu Penggugat mengajukan

replik, karena jika alasan-alasan yang dimaksud tidak

sampai dimuat atau disebutkan dalam surat gugat,

Ketua Pengadilan akan sangat sulit untuk

menentukan apakah memang benar Penggugat

mempunyai kepentingan yang cukup mendesak,

sehingga pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara

perlu dipercepat dan karenanya perlu

mempergunakan Acara Pemeriksaan Cepat.

b. Dari alasan-alasan yang dikemukakan oleh Penggugat

tersebut, dapat ditarik kesimpulan adanya

256
kepentingan dari Penggugat yang cukup mendesak

bahwa pemeriksaan terhadap sengketa Tata Usaha

Negara tersebut memang perlu dipercepat.

Perlu mendapat perhatian bahwa alasan-alasan

yang dikemukakan oleh Penggugat tersebut, tidak hanya

sekadar kepentingan dari Penggugat bahwa pemeriksaan

terhadap sengketa Tata Usaha Negara yang diajukan

perlu dipercepat, tetapi kepentingan dan Penggugat yang

dimaksud harus merupakan kepentingan yang cukup

mendesak.

Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tidak

disebutkan apa yang dimaksud dengan “kepentingan

penggugat yang cukup mendesak” dalam Pasal 98 ayat

(1).

Penjelasan Pasal 98 ayat (1) hanya menyebutkan

bahwa kepentingan Penggugat dianggap cukup

mendesak apabila kepentingan itu menyangkut

Keputusan Tata Usaha Negara yang berisikan misalnya

257
penintah pembongkaran bangunan atau rumah yang

ditempati penggugat.

Dengan terlebih dahulu memperhatikan penjelasan

Pasal 98 ayat (1) tersebut, maka apa yang dimaksud

dengan “kepentingan penggugat yang cukup mendesak”

dalam Pasal 98 ayat (1) mempunyai sifat yang kasuistis,

sehingga kepada Ketua Pengadilan diberikan kebebasan

untuk membuat penilaian terhadap alasan-alasan yang

diajukan oleh Penggugat dalam permohonannya agar

sengketa Tata Usaha Negara dapat dipercepat

pemeriksaannya.

1. Penelitian Administratif

Seperti halnya pada pemeriksaan dengan Acara

Pemeriksaan Biasa, pada pemeriksaan dengan Acara

Pemeriksaan Cepat, juga dilakukan penelitian

administratif. Penelitian administratif yang dilakukan

pada pemeriksaan dengan Acara Pemeriksaan Cepat

258
sama dengan penelitian administratif yang dilakukan

pada pemeriksaan dengan Acara Pemeriksaan Biasa.

2. Rapat Permusyawaratan

Pasal 98 ayat (2) menentukan bahwa Ketua

Pengadilan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari

setelah diterimanya permohonan supaya pemeriksaan

tidak diterima atau tidak berdasar tanpa melakukan

pemeriksaan terhadap alasan-alasan yang diajukan

Penggugat dalam permohonannya agar sengketa Tata

Usaha Negara dipercepat pemeriksaannya.

Terhadap penetapan Ketua Pengadilan tersebut,

penggugat dapat mengajukan upaya hukum yang

berupa perlawanan (Pasal 62 ayat (3)).

Akan tetapi, jika hasil dari pemeriksaan yang

dilakukan oleh Ketua Pengadilan menunjukkan bahwa

gugatan tidak memenuhi semua ketentuan

sebagaimana dimaksud oleh huruf a, b, c, d, dan e

dan Pasal 62 ayat (1), maka Ketua Pengadilan, baru

259
memeriksa apakah dari alasan-alasan yang dimuat

atau disebutkan dalam surat gugat, dapat ditarik

kesimpulan bahwa memang terdapat kepentingan

Penggugat yang cukup mendesak untuk dikabulkan

permohonannya agar pemeriksaan sengketa Tata

Usaha Negara dipercepat.

Hasil dari pemeriksaan yang dilakukan oleh

Ketua Pengadilan tersebut dapat berupa:

a. permohonan dan Penggugat tidak dikabulkan,

Jika permohonan dari Penggugat tidak dikabulkan,

Ketua Pengadilan akan mengeluarkan penetapan

bahwa permohonan dan penggugat tersebut ditolak

atau tidak dikabulkan (Pasal 98 ayat (2) dan

sekaligus diputuskan bahwa sengketa Tata Usaha

Negara akan diperiksa dengan Acara Biasa.

Terhadap penetapan Ketua Pengadilan tersebut,

tidak dapat digunakan upaya hukum (Pasal 98 ayat

(3)).

260
b. permohonan dan Penggugat dikabulkan.

Jika permohonan dari penggugat dikabulkan, Ketua

Pengadilan akan mengeluarkan penetapan bahwa

permohonan dari Penggugat diterima atau

dikabulkan (Pasal 98 ayat (2)) dan dalam jangka

waktu 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya

penetapan tersebut, Ketua Pengadilan menentukan

tentang hari, tempat, dan waktu sidang tanpa

melalui prosedur pemeriksaan persiapan (Pasal 99

ayat (2)).

Dengan penetapan, Ketua Pengadilan menunjuk

Hakim Tunggal untuk melakukan pemeriksaan

dengan Acara Pemeriksaan Cepat (Pasal 99 ayat (2)).

Dengan penetapan, Ketua Pengadilan menunjuk

Hakim Tunggal untuk melakukan pemeriksaan

dengan Acara Pemeriksaan Cepat (Pasal 99 ayat (1)).

E. Putusan Badan Peradilan Tata Usaha Negara

261
1. Jenis Putusan

Seperti halnya dalam Hukum Acara Perdata, dalam

Hukum Acara Tata Usaha Negara juga dikenal adanya:

1. putusan yang bukan putusan akhir;

2. putusan akhir.

Adanya putusan yang disebut putusan yang bukan

putusan akhir tersebut dapat disimpulkan dari

perumusan ketentuan sebagai berikut.

a. Pasal 113 ayat (1): ‘Putusan Pengadilan yang bukan

putusan akhir, meskipun diucapkan dalam sidang,

tidak dibuat sebagai putusan tersendiri, melainkan

hanya dicantumkan dalam berita acara sidang”,

b. Pasal 124: “Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara

yang bukan putusan terakhir, hanya dapat

dimohonkan pemeriksaan banding bersama-sama

dengan putusan akhir”

Dengan adanya putusan yang bukan putusan

akhir, maka sudah tentu dikenal pula adanya putusan

262
akhir, bahkan pada perumusan Pasal 124 disebut:

”............ bersama-sama dengan putusan akhir”

ad.1

Putusan yang bukan putusan akhir adalah

putusan yang dijatuhkan oleh hakim sebelum

pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara dinyatakan

selesai.

Tujuan dari dijatuhkannya putusan yang bukan

akhir adalah untuk memungkinkan atau mempermudah

pelanjutan pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara di

sidang pengadilan.

Dalam Hukum Acara Tata Usaha Negara, yang

termasuk putusan yang bukan putusan akhir,

contohnya adalah:

1. a. putusan hakim yang memerintahkan kepada

Penggugat atau Tergugat untuk datang menghadap

263
sendiri ke pemeriksaan sidang pengadilan, meskipun

sudah diwakili oleh seorang kuasa (Pasal 58);

1. b. putusan Hakim Ketua Sidang yang mengangkat

seorang ahli alih bahasa atau seorang yang pandai

bergaul dengan Penggugat atau saksi sebagai juru

bahasa (Pasal 91 ayat (1) dan Pasal 92 ayat (1));

2. a. putusan Hakim Ketua Sidang yang menunjuk

seseorang atau beberapa orang ahli atas permintaan

Penggugat dan Tergugat atau Penggugat atau

Tergugat atau karena jabatannya (Pasal 103 ayat (1));

2. b. putusan hakim mengenai beban pembuktian

(Pasal 107).

Dalam perpustakaan Hukum Acara Perdata,

contoh putusan yang bukan putusan akhir pada butir a

dinamakan putusan praeparatoir, yaitu putusan yang

dijatuhkan hakim untuk mempersiapkan dan mengatur

mengenai pemeriksaan perkara.

264
Putusan hakim ini tidak sampai akan

memengaruhi putusan terhadap pokok perkara.

Menurut M. Yahya Harahap, pada saat sekarang

putusan praeparatoir ini tidak pernah lagi dipraktikkan.

Adapun contoh putusan yang bukan putusan akhir

pada butir b dinamakan putusan interlocutoir, yaitu

putusan yang dijatuhkan hakim yang isinya

memerintahkan pembuktian.

Putusan hakim ini dapat memengaruhi putusan

terhadap pokok perkara. Menurut M. Yahya Harahap,

pada saat sekarang putusan interlocutoir sudah jarang

dipraktikkan.

Wirjono Prodjodikoro mengemukakan bahwa dalam

pemeriksaan di sidang Pengadilan, jika hakim

memerintahkan kepada Penggugat atau Tergugat untuk

membuktikan sesuatu hal, perintah hakim seperti itu

sebetulnya tidak perlu disusun secara surat keputusan

265
melainkan cukup diucapkan oleh hakim secara lisan

saja.

Apakah dalam Hukum Acara Tata Usaha Negara,

penerapan dari putusan yang bukan putusan akhir yang

dalam kepustakaan Hukum Acara Perdata dinamakan

putusan praeparatoir dan putusan interlocutoir,

praktiknya sama dengan apa yang telah dikemukakan

oleh M. Yahya Harahap?

Karena Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 baru

berlaku efektif sejak tanggal 14 Januari 1991, maka

adalah terlalu dini dan memerlukan penelitian untuk

menentukan apakah dalam Hukum Acara Tata Usaha

Negara, penerapan putusan yang bukan putusan akhir

yang dalam kepustakaan Hukum Acara Perdata

dinamakan putusan praeparatoir dan putusan

interlocutoir, praktiknya adalah sama dengan apa yang

telah dikemukakan oleh M. Yahya Harahap seperti di

atas.

266
Tetapi yang jelas, dalam Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1986 terdapat ketentuan-ketentuan yang dapat

dijadikan dasar hukum dari hakim untuk menjatuhkan

putusan yang bukan putusan akhir yang dalam

kepustakaan Hukum Acara Perdata dinamakan

praeparatoir dan putusan interlocutoir.

Oleh karena itu pula, menurut hemat penulis tidak

benar jika Martiman Prodjohamidjojo sampai

mengemukakan pendapat bahwa dalam Hukum Acara

Tata Usaha Negara tidak dikenal adanya putusan

praeparatoir dan putusan interlocutoir, apalagi yang

dipergunakan sebagai alasan adalah karena gugatan

tidak menunda pelaksanaan Keputusan Tata Usaha

Negara yang disengketakan.

Gugatan tidak menunda pelaksanaan Keputusan

Tata Usaha Negara yang disengketakan adalah

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat

(1).

267
Apa sebab sampai gugatan tidak menunda

pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara, karena

dalam Hukum Tata Usaha Negara dikenal adanya asas

praduga rechtmatig (vermoeden van rechtmatigheid =

praesumptio instae causa) terhadap semua tindakan dari

Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, termasuk

Keputusan Tata Usaha Negara yang telah

dikeluarkannya.

Dengan adanya asas ini, maka dalam Hukum

Acara Tata Usaha Negara tidak dikenal adanya putusan

yang bukan putusan akhir yang dalam kepustakaan

Hukum Acara Perdata dinamakan putusan provisionir,

yaitu putusan hakim (karena ada hubungannya dengan

pokok perkara) yang menetapkan untuk melakukan

tindakan sementara bagi kepentingan salah satu pihak

yang beperkara, misalnya dalam perkara perceraian,

putusan yang memerintahkan kepada suami untuk tetap

268
membayar nafkah untuk istrinya selama perkara sidang

diperiksa.

Apa sebab sampai dalam Hukum Acara Tata Usaha

Negara tidak dikenal adanya putusan provisionil, karena

Pasal 115 menentukan bahwa hanya putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum

tetap yang dapat dilaksanakan, sedang putusan

provisionil adalah putusan yang belum mempunyai

kekuatan hukum tetap.

Dengan demikian alasan yang dipergunakan oleh

Martiman Prodjohamidjojo sebagai dasar untuk tidak

dikenalnya adanya putusan yang dalam kepustakaan

Hukum Acara Perdata dinamakan putusan praeparatoir

dan putusan interlocutoir adalah alasan yang tidak ada

kaitannya dengan kedua putusan itu, tetapi ada

kaitannya dengan putusan yang dalam kepustakaan

Hukum Acara Perdata dinamakan putusan provisionil.

269
Mengenai bentuk dari putusan yang bukan

putusan akhir, sebagaimana ditentukan oleh Pasal 113

ayat (1), putusan tidak dibuat sebagai putusan

tersendiri, melainkan hanya dicantumkan dalam berita

acara sidang.

Dengan demikian bentuk dari putusan yang bukan

putusan akhir, tidak dibuat seperti halnya putusan

akhir yang merupakan surat atau dokumen tersendiri

yang terlepas dari berita acara sidang.

Barang siapa yang mempunyai kepentingan dengan

putusan yang bukan putusan akhir, yang bersangkutan

dapat meminta salinan autentik dari berita acara sidang

yang memuat putusan tersebut kepada panitera.

Terdapat beberapa putusan yang bukan putusan

akhir yang perlu mendapat perhatian, yaitu:

a. 1. putusan hakim yang dijatuhkan karena jabatannya

yang menyatakan tidak mempunyai kewenangan

absolut;

270
2. putusan hakim yang mengabulkan eksepsi tentang

kewenangan absolut yang diajukan oleh tergugat

(Pasal 77 ayat (1));

b. putusan hakim yang mengabulkan eksepsi tentang

kewenangan relatif yang diajukan oleh Tergugat

(Pasal 77 ayat (2));

Ketiga putusan hakim tersebut dijatuhkan sebelum

pokok perkara diperiksa.

Jika tergugat keberatan terhadap ketiga putusan

hakim yang dimaksud, maka dengan sendirinya

langsung dapat diajukan permohonan pemeriksaan

banding, yang menyimpang dan ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 124.

Dengan demikian, meskipun ketiga putusan hakim

yang dimaksud adalah putusan yang bukan putusan

akhir, tetapi ketiga putusan tersebut dianggap seagai

putusan akhir, sama seperti yang berlaku dalam Hukum

Acara Perdata.

271
ad. 2

Putusan akhir adalah putusan yang dijatuhkan

oleh hakim setelah pemeriksaan sengketa Tata Usaha

Negara selesai yang mengakhiri sengketa tersebut pada

tingkat pengadilan tertentu.

Dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 97 ayat

(7), dapat diketahui bahwa putusan akhir dapat berupa:

a. Gugatan ditolak

Putusan yang berupa gugatan ditolak adalah

putusan yang menyatakan bahwa Keputusan Tata

Usaha Negara yang menimbulkan sengketa Tata

Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha Negara

yang tidak dinyatakan batal atau sah.

Dengan demikian, putusan yang berupa

gugatan ditolak baru dijatuhkan oleh hakim setelah

dilakukan pemeriksaan terhadap pokok perkara.

b. Gugatan dikabulkan

272
Putusan yang berupa gugatan dikabulkan

adalah putusan yang menyatakan bahwa Keputusan

Tata Usaha Negara yang menimbulkan sengketa Tata

Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha yang

dinyatakan batal atau tidak sah.

Oleh Pasal 97 ayat (8) ditentukan bahwa dalam

hal gugatan dikabulkan, maka dalam putusan

tersebut dapat ditetapkan kewajiban yang harus

ditentukan dalam Pasal 97 ayat (9) yang berupa:

1. pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang

bersangkutan, atau

2. pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang

bersangkutan dan menerbitkan Keputusan Tata

Usaha Negara yang baru, atau

3. penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara dalam

hal gugatan didasarkan pada Pasal 3.

Penjelasan Pasal 97 ayat (9) huruf c

menyebutkan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara

273
ini dikeluarkan berdasarkan peraturan perundang-

undangan yang berlaku pada saat itu.

Oleh Pasal 97 ayat (10) ditentukan bahwa

kewajiban yang harus dilakukan oleh Badan atau

Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan

Keputusan Tata Usaha Negara tersebut dapat disertai

pembebanan ganti rugi.

Yang dimaksud dengan ganti rugi adalah

pembayaran sejumlah uang kepada orang atau badan

hukum perdata atas beban Badan Tata Usaha Negara

berdasarkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara

karena adanya kerugian materiil yang diderita oleh

penggugat. Selanjutnya oleh Pasal 97 ayat (11)

ditentukan bahwa dalam hal putusan yang berupa

gugatan dikabulkan menyangkut kepegawaian, maka

di samping kewajiban sebagaimana dimaksud adalah

ayat (9) dan ayat (1), dapat disertai pemberian

rehabilitasi.

274
Yang dimaksud dengan rehabilitasi adalah

memulihkan hak Penggugat dalam kemampuan dan

kedudukan, harkat, dan martabatnya sebagai pegawai

negeri seperti semula sebelum ada putusan mengenai

Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan.

Seperti halnya pada putusan yang berupa

gugatan ditolak, putusan yang berupa gugatan

dikabulkan, baru dijatuhkan oleh hakim setelah

dilakukan pemeriksaan terhadap pokok perkara.

c. Gugatan tidak diterima

Putusan yang berupa gugatan tidak diterima

adalah putusan yang menyatakan bahwa syarat-

syarat yang telah ditentukan tidak dipenuhi oleh

gugatan yang diajukan oleh Penggugat.

Diktum pada putusan tersebut sebenarnya

bersifat deklaratoir, yang tidak membawa perubahan

apa-apa dalam hubungan hukum yang ada antara

penggugat dengan tergugat.

275
d. Gugatan gugur

Putusan yang berupa gugatan gugur adalah

putusan yang dijatuhkan hakirn karena Penggugat

tidak hadir dalam beberapa kali sidang, meskipun

telah dipangil dengan patut atau penggugat telah

meninggal dunia.

2. Isi Putusan

Mengenai isi dari suatu putusan, oleh Pasal 109

ayat (1) ditentukan harus memuat:

a. kepala putusan harus berbunyi: Demi Keadilan

Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”;

b. nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman

para pihak yang bersengketa;

c. ringkasan gugatan dan jawaban Tergugat yang jelas;

d. pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang

diajukan dan hal yang terjadi dalam persidangan

selama sengketa itu diperiksa;

e. alasan hakim yang menjadi dasar putusan;

276
f. amar putusan tentang sengketa dan biaya perkara;

g. hari, tanggal putusan, nama hakim yang memutus,

nama panitera serta keterangan tentang hadir atau

tidak hadirnya para pihak.

Selanjutnya Pasal 109 ayat (2) menentukan: “Tidak

dipenuhinya salah satu ketentuan sebagaimana

dimaksudkan dalam ayat (1) dapat menyebabkan

batalnya putusan pengadilan”

Dengan dipergunakannya kata “dapat” dalam

perumusan Pasal 109 ayat (2) tersebut, dapat diketahui

bahwa tidak dipenuhinya salah satu ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dengan

sendirinya dapat menjadi alasan batalnya putusan.

Agar suatu putusan menjadi batal, harus ada

permohonan dari pihak yang berkepentingan, misalnya

jika Penggugat mempunyai kehendak agar putusan

menjadi batal, maka dalam memori banding atau

memori kasasi harus dimuat dengan tegas agar putusan

277
dibatalkan, karena tidak dipenuhinya salah satu

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat

(1).

Akan tetapi, oleh Indroharto dikemukakan kalau

syarat yang tersebut pada sub a: “Demi Keadilan

Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” atau tidak

disebutkan “amar putusannya atau pertimbangan

hukumnya atau tidak disebutkan nama pihak-pihak

yang bersengketa umpamanya, maka sudah tentu

putusan demikian itu menjadi batal demi hukum.

Yang dimaksud oleh Indroharto adalah putusan

tersebut bagi hukum tidak mempunyai akibat hukum

tanpa diperlukan adanya putusan lagi untuk

menyatakan batalnya putusan yang dimaksud.

Pendapat Indroharto tersebut sejalan dengan

ketentuan yang terdapat dalam Pasal 197 ayat (2)

KUHAP.

3. Sistematika Putusan

278
Dengan mengikuti ketentuan yang terdapat dalam

Pasal 197 ayat (1), dalam praktik bagian-bagian dari

suatu putusan adalah sebagai berikut:

1. Pembukaan

2. Tentang Duduknya Perkara

3. Tentang Pertimbangan Hukumnya

4. Kesimpulan

5. Diktum atau Amar

6. Penutup

ad. a

Pada Pembukaan secara berturut-turut

disebutkan:

1. Kata Putusan atau Penetapan;

2. Nomor Perkara;

3. Irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha Esa”;

279
4. Pengadilan yang menjatuhkan putusan atau yang

mengeluarkan penetapan;

5. Identitas Penggugat dan Tergugat, dengan kuasa

hukumnya. Irah-irah tersebut mengingatkan kepada

hakim akan surnpah jabatannya, bahwa hakim tidak

hanya bertanggung jawab kepada hukum, diri sendiri,

dan rakyat, tetapi juga bertanggung jawab kepada

Tuhan Yang Maha Esa.

ad. b

Mengenai bagian putusan yang menyebutkan

tentang duduknya perkara, diisi dengan uraian singkat

yang berasal dari gugatan, jawaban, replik dan duplik,

dan alat-alat buktinya.

Meskipun berupa uraian singkat, tetapi uraian

singkat tersebut harus jelas dan terang dapat

280
menggambarkan duduknya perkara yang diperiksa dan

diputus oleh hakim.

ad. c

Mengenai bagian putusan yang menyebutkan

tentang pertimbangan hukum, diisi dengan uraian

tentang pertimbangan hukum terhadap duduknya

perkara.

Dalam bagian putusan ini diadakan penilaian

mengenai alat-alat bukti terhadap fakta-fakta yang

diajukan atau yang dibantah oleh Penggugat dan/atau

Tergugat.

Pertimbangan hukum dalam suatu putusan adalah

sangat penting dan menentukan, karena pertimbangan

hukum yang tidak cukup akan menjadi alasan untuk

membatalkan putusan tersebut dalam pemeniksaan

tingkat kasasi.

281
ad. d

Kesimpulan di samping merupakan penilaian

akhir, juga merupakan penutup dari pertimbangan

hukum yang disebutkan dalam suatu putusan.

ad. e

Diktum adalah apa yang diputuskan secara final

oleh pengadilan dan merupakan titik akhir yang

terpenting bagi Penggugat atau Tergugat.

Pasal 97 ayat (7) telah memberi pedoman mengenai

diktum yang dapat dijatuhkan oleh hakim, yaitu

1. gugatan ditolak;

2. gugatan dikabulkan;

3. gugatan tidak diterima;

4. gugatan gugur.

Menurut Indroharto, ke empat diktum tersebut

adalah diktum pokok mengenai pokok gugatan yang

dalam praktik rumusannya secara lengkap tentunya

282
selalu diikuti dengan rumusan diktum yang merupakan

tindak lanjut sesudah diktum pokok tersebut.

Diktum adalah jawaban atau tanggapan dari

petitum. Diktum untuk penyelesaian sengketa perdata,

terdapat pada Pasal 178 ayat (2) dan (3) HIR/Pasal 198

ayat (2) dan (3) RBg yang menentukan bahwa hakim

wajib menjatuhkan putusan terhadap semua petitum

dan dilarang menjatuhkan putusan di luar atau melebihi

petitum.

Dalam kepustakaan ilmu hukum, menjatuhkan

putusan di luar atau melebihi petitum atau

menjatuhkan putusan terhadap sesuatu yang tidak

dituntut disebut Ultra Petita.140

Ternyata dalam penerapan Pasal 178 ayat (2) dan

(3) HIR/Pasal 198 ayat (2) dan (3) RBg tersebut, dalam

praktik terdapat perkembangan sebagai berikut:

140
Fockema Andreae, Kamus Istilah hokum, Binacipta, Bandung, Cetakan I, 1983, hlm. 594.

283
a. menurut putusan Mahkamah Agung Nomor

1001.K/Sip/1972 terdapat larangan bagi hakim

untuk mengabulkan hal-hal yang tidak diminta atau

melebihi dari yang diminta;

b. menurut putusan Mahkamah Agung Nomor

425.K/Sip/1975 diizinkan untuk mengabulkan lebih

dari petitum asal saja sesuai dengan posita.

Untuk menyclesaikan sengketa Tata Usaha Negara,

dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tidak

terdapat ketentuan seperti Pasal 178 ayat (2) dan (3)

HIR/Pasal 198 ayat (2) dan (3) RBg.

4. Kekuatan Hukum Dari Putusan

Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tidak

ada ketentuan yang mengatur tentang kekuatan hukum

dari putusan hakim.

Meskipun demikian, dari kepustakaan Hukum

Acara Tata Usaha Negara dikenal adanya beberapa

284
kekuatan hukum dari putusan hakim di lingkungan

Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu

a. kekuatan pembuktian;

b. kekuatan mengikat;

c. kekuatan eksekutorial.

Kekuatan hukum dari putusan hakim yang

sedemikian ini dikenal pula ada di kepustakaan Hukum

Acara Perdata.

ad. a

Yang dimaksud dengan kekuatan pembuktian dari

putusan hakim adalah kekuatan hukum yang diberikan

kepada suatu putusan hakim bahwa dengan putusan

tersebut telah diperoleh bukti tentang kepastian

sesuatu.

Putusan hakim adalah akta autentik sehingga

putusan hakim tersebut mempunyai kekuatan

285
pembuktian yang sempurna (Pasal 1868 jo. Pasal 1870

KUH Perdata).

Oleh karena itu, putusan hakim di lingkungan

Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai kekuatan

pembuktian yang sempurna untuk pengadilan di

lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama,

Peradilan Militer, dan Mahkamah Agung.

ad. b

Yang dimaksud dengan kekuatan mengikat dari

putusan hakim adalah kekuatan hukum yang diberikan

kepada suatu putusan hakim bahwa putusan tersebut

mengikat yang berkepentingan untuk menaati atau

melaksanakannya.

Siapakah yang dimaksud dengan “yang

berkepentingan” dalam hal ini?

286
Yang dimaksud dengan “yang berkepentingan”

dalam Hukum Acara Perdata adalah para pihak yang

terdiri dari:

1. Penggugat dan Tergugat;

2. pihak ketiga yang ikut serta dalam suatu sengketa

antara Penggugat dan Tergugat, baik dengan jalan

intervensi maupun pembebasan atau mereka yang

diwakili dalam proses;

3. seorang yang kemudian mendapat hak dari pihak

yang kalah.

Berbeda dengan dalam Hukum Acara Perdata,

dalam Hukum Acara Tata Usaha Negara, yang dimãksud

dengan “yang berkepentingan” tersebut adalah semua

orang dan/atau semua badan hukum, baik badan

hukum perdata maupun badan hukum publik, karena

putusan hakim di lingkungan Peradilan Tata Usaha

Negara mengikuti asas Erga Omnes, artinya putusan

berlaku bagi semua orang.

287
Jadi, kekuatan mengikat dari suatu putusan

hakim di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara tidak

hanya terbatas pada para pihak sebagaimana yang

dimaksud dalam putusan hakim di lingkungan Peradilan

umum c.q. Perdata saja.

Dengan demikian semua orang dan/atau badan

hukum, baik badan hukum perdata maupun badan

hukum publik harus menaati atau melaksanakan

putusan yang dijatuhkan oleh hakim di lingkungan

Peradilan Tata Usaha Negara.

Sebagai akibat dari diikutinya asas Erga Omnes

pada putusan hakim di lingkungan Peradilan Tata Usaha

Negara adalah:

1. tidak perlu adanya diktum putusan hakim yang

menyatakan ”agar pihak-pihak tertentu, baik yang

diikutsertakan pada salah satu pihak maupun yang

tidak menaati putusan pengadilan yang

bersangkutan”;

288
2. intervensi tidak mutlak terjadi (adanya) karena

putusan hakim di lingkungan PeradiIan Tata Usaha

Negara yang in kracht van gewijsde berlaku bagi

semua orang.

ad. c

Yang dimaksud dengan kekuatan eksekutorial dari

putusan hakim adalah kekuatan hukum yang diberikan

kepada suatu putusan hakim bahwa putusan hakim

dapat dilaksanakan.

Sebagai syarat bahwa suatu putusan hakim

memperoleh kekuatan eksekutorial adalah

dicantumkannya irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa” pada putusan hakim

tersebut.

F. Eksekusi Badan Peradilan Tata Usaha Negara

1. Dasar Hukum Eksekusi

289
Dasar hukum eksekusi putusan PTUN adalah

Pasal 115 dan 116 Undang-undang Nomor 5 Tahun

1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

sebagaimana kemudian diubah dengan Undang-

undang Nomor 9 Tahun 2004 dan terakhir dengan

Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009.

Mengenai putusan yang dapat dieksekusi, Pasal

115 menentukan: “Hanya putusan pengadilan yang

telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang dapat

dilaksanakan”. Sesuai dengan ketentuan yang

terdapat dalam Pasal 1 angka 7, yang dimaksud

dengan kata “Pengadilan” dalam perumusan Pasal 115

adalah Pengadilan Tata Usaha Negara dan/atau

Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara di lingkungan

Peradilan Tata Usaha Negara. Dengan demikian, yang

dapat dieksekusi hanya putusan Pengadilan Tata

Usaha Negara atau Pengadilan Tinggi Tata Usaha

Negara yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap

290
saja, yaitu jika: Penggugat dan Tergugat telah

menyatakan menerima terhadap putusan pengadilan,

padahal Penggugat dan Tergugat mempunyai hak

untuk mengajukan permohonan pemeriksaan di

tingkat banding dan sampai lewatnya tenggang waktu

yang telah ditentukan, Penggugat dan Tergugat tidak

mengajukan permohonan pemeriksaan di tingkat

banding atau kasasi.141

Adapun mengenai putusan yang telah

dijatuhkan oleh Mahkamah Agung dalam

pemeriksaan tingkat kasasi, rupanya oleh pembuat

undang-undang tidak perlu diatur, karena dengan

sendirinya telah mempunyai kekuatan hukum tetap

dan dapat dilaksanakan seperti terhadap putusan

pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha

Negara.142

141
R. Wiyono, Op.Cit., hlm. 232.
142
Ibid. hlm. 233.

291
Mengenai pelaksanaan putusan pengadilan

TUN dalam Pasal 116 disebutkan:

1. Salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para

pihak dengan surat tercatat oleh panitera

pengadilan setempat atas perintah ketua

pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat

pertama selambat-lambatnya dalam waktu empat

belas hari.

2. Dalam hal empat bulan setelah putusan pengadilan

yang telah memperoleh kekuatan hukum yang

tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

dikirimkan tergugat tidak melaksanakan

kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal

97 ayat (9) huruf a, maka KTUN yang

disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan

hukum.

292
3. Dalam hal tergugat ditetapkan harus

melaksanakan kewajibannya sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan

huruf c, dan kemudian setelah tiga bulan ternyata

kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, maka

penggugat mengajukan permohonan kepada ketua

pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),

agar pengadilan memerintahkan tergugat

melaksanakan putusan pengadilan tersebut.

4. Jika tergugat masih tetap tidak mau

melaksanakannya, ketua pengadilan mengajukan

hal ini kepada instansi atasannya menurut jenjang

jabatan.

5. Instansi atasan sebagaimana dimaksud dalam ayat

(4), dalam waktu dua bulan setelah menerima

pemberitahuan dan ketua pengadilan harus sudah

memerintahkan pejabat sebagaimana dimaksud

293
dalam ayat (3) melaksanakan putusan pengadilan

tersebut.

6. Dalam hal instansi atasan sebagaimana dimaksud

dalam ayat (4), tidak mengindahkan ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam ayat 3, maka ketua

pengadilan mengajukan hal itu kepada presiden

sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi

untuk memerintahkan pejabat tersebut

melaksanakan putusan pengadilan tersebut.

Apabila kita simak dengan seksama ketentuan

Pasal 116 tersebut di atas, maka menurut Paulus

Effendie Lotulung, sesungguhnya ada dua jenis

eksekusi yang kita kenal di peradilan tata usaha

negara:143

1. Eksekusi terhadap putusan pengadilan yang berisi

kewajiban sebagaimana yang dimaksud dalam

Pasal 97 ayat (9) huruf a, yaitu kewajiban berupa

143
Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
1997, hlm. 161.

294
pencabutan KTUN (beschikking) yang

bersangkutan.

2. Eksekusi terhadap putusan pengadilan yang berisi

kewajiban sebagaimana yang dimaksud dalam

Pasal 97 ayat (9) huruf b dan c, yaitu: huruf b:

pencabutan KTUN (beschikking) yang bersangkutan

dan menerbitkan KIUN (beschikking) yang baru dan

huruf C: penerbitan KTUN (beschikking) dalam hal

gugatan didasarkan pada Pasal 3.

2. Asas Eksekusi

Asas eksekusi suatu putusan pengadilan pada

prinsipnya sama. Hal ini diungkapkan oleh Lintong

Siahaan dan juga P.J.J. van Buuren (Guru Besar

Fakultas Hukum pada Universiteit Utrecht Nederland).

Di Belanda, apabila ada yang tidak dipatuhi/tidak

dilaksanakan, atau lalai melaksanakan putusan

295
pengadilan, penggugat dapat datang ke pengadilan

untuk melaporkan akan hal itu. Pengadilan melalui

suatu proses khusus, memberikan teguran-teguran/

peringatan-peringatan untuk melaksanakannya.

Apabila ternyata dalam tenggang waktu tertentu pihak

pemerintah juga tidak melaksanakan atau lalai

melaksanakannya, maka pengadilan dapat

menjatuhkan sanksi berupa pembayaran sejumlah

uang (uang-paksa/dwangsom), yang harus dibayar

kepada si penggugat.144 Sedangkan di Indonesia maka

asasnya dapat dilihat dalam Pasal 116 Undang-

undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana diubah

dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004.

3. Teori Eksekusi

Teori hukum eksekusi adalah teori yang

memuat segala ketentuan-ketentuan tentang

144
Lintong O Siahaan, Berbagai Instrumen Hukum di PTUN, Perum Percetakan Negara, 2007,
hlm. 144.

296
pelaksanaan putusan pengadilan. Putusan terutama

ditujukan untuk menyelesaikan sengketa, yang dapat

direalisir dengan sukarela atau secara paksa. Pada

prinsipnya pelaksanaan itu diharapkan dilakukan

secara suka rela oleh pihak yang kalah, namun kalau

dalam waktu yang sudah ditentukan pihak yang kalah

tidak mematuhinya, berlakulah hukum eksekusi

tersebut. Di dalam hukum acara perdata hal ini diatur

pada “Bagian Kelima” tentang Menjalankan Putusan

Hakim, Pasal 195 hingga Pasal 224 HIR. Hukum

eksekusi di PTUN berbeda dengan hukum eksekusi di

peradilan perdata. Di peradilan perdata hukum

eksekusi dilengkapi dengan sarana-sarana fisik, yaitu

juru sita; bantuan alat negara (polisi), dan sebagainya,

yang dapat memaksa secara fisik agar pihak yang

kalah mematuhi putusan pengadilan. Di PTUN hal itu

tidak dimungkinkan, PTUN hanya dilengkapi sarana-

sarana administrasi saja, sesuai dengan

297
kewenangannya yang hanya mengadili dari segi

legalitas administrasi (pengadilan administrasi).145

Walaupun kemudian dalam Undang-undang Nomor 9

Tahun 2004 disebutkan adanya juru sita dalam Pasal

39A namun itu tidak menunjukkan adanya

kekuasaan yang bersifat memaksa. Sehingga teorinya

bahwa eksekusi dijalankan agar tercipta kepastian

hukum sebagaimana teori hukum positivisme dengan

prinsip legalitasnya menjadi tidak tercapai oleh

karena undang-undang tidak dengan tegas

memberikan kewenangan pada pengadilan TUN untuk

bersifat memaksa seperti pada hukum perdata.

BAB III

CONTOH KASUS-KASUS

145
Ibid., hlm. 148.

298
A. Studi Kasus Pelaksanaan Putusan Peradilan Tata

Usaha Negara

1. Putusan Nomor 77/G/2006/PTUN-JKT Jo Putusan


Nomor 192/B/2006/PT.TUN.JKT Jo Putusan
Nomor 281 K/TUN/2007 Jo Putusan Nomor 46
PK/TUN/2009 (Putusan Sengketa TUN di Bidang
Kepegawaian)

Para pihak dalam perkara ini adalah Peris Tua

Siagian (Penggugat); dan Sekretaris Jenderal

Departemen Kebudayaan Dan Pariwisata (Tergugat)

sementara itu objek sengketanya adalah Keputusan

Tergugat Nomor SK.104/K.403/SEKJEN/DKP/05.

tanggal 28 September 2005 tentang Pemberhentian

Dalam Jabatan di Lingkungan Departemen

Kebudayaan dan Pariwisata.

a. Tentang Duduknya Perkara

Pada tanggal 22 Maret 2006 Penggugat telah

mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha

Negara Jakarta dengan Perkara Nomor

299
33/G/2006/PTUN-JKT., dan setelah melalui proses

persidangan, pada tanggal 31 Mei 2006 Majelis

Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta telah

memutuskan dan menyatakan gugatan Penggugat

tidak dapat diterima karena gugatan salah. Namun

keputusan Majelis Hakim belum menyinggung Materi

Perkara, oleh karena itu Penggugat mengajukan

gugatan baru (Bukti P-1).

Penggugat adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS)

pada Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata

dengan jabatan Kepala Bidang Peningkatan Motivasi

Pada Asdep Pemberdayaan Masyarakat Deputi

Bidang Seni dan Film. (Lihat Lampiran Perihal alat

buktinya).

Setelah terjadi perubahan Organisasi dari

Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata menjadi

Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, maka

pada hari Jum’at tanggal 30 September 2005 telah

300
dilakukan Pelantikan Pejabat Struktural Setingkat

Eselon III, namun penggugat tidak ikut dilantik. Pada

pagi hari sebelum acara Pelantikan, Penggugat telah

berusaha menghadap Menteri guna menanyakan

alasan mengapa Penggugat tidak ikut dilantik, tetapi

Menteri belum bisa menerima Penggugat dengan

alasan sibuk karena ada kegiatan dan Penggugat

diarahkan agar menghadap Sekretaris Menteri.

Setelah Penggugat menghadap Sekretaris

Menteri, Penggugat menanyakan alasan mengapa

penggugat tidak dilantik, tetapi Sekretaris Menteri

tidak dapat memberi alasan yang jelas dan pasti.

Beberapa hari setelah pelantikan dilakukan, maka

Penggugat melaporkan masalah ini kepada Presiden

RI untuk diambil tindakan dan jalan keluarnya.

laporan kepada Presiden sudah 3 (tiga) kali

Penggugat lakukan dengan tembusan ke Kantor

Menpan dan Badan Kepegawaian Negara (BKN), atas

301
Surat Penggugat ke Presiden, Kantor Menpan dan

BKN telah menanggapinya dengan isi surat agar

Menteri Kebudayaan dan Pariwasata memberi

penjelasan kepada Penggugat tentang alasan

mengapa Penggugat tidak dilantik sesuai dengan

Ketentuan di Bidang Kepegawaian, tetapi Menteri

Kebudayaan dan Pariwisata tidak pernah

mengindahkannya.

Pada hari Selasa, tanggal 21 Februari 2006,

Penggugat telah menerima Surat Pemanggilan dan

Surat Keputusan Sekretaris Departemen Kebudayaan

dan Pariwisata Nomor

SK.02/KP.306/RO.2/DKP/2006, tentang

Penempatan Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan

Sekretaris Jenderal Departemen Kebudayaan dan

Pariwisata dan juga menunjuk kepada Lampiran

Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata

Nomor SK.02/KP.306/RO.2/DKP/2006, tanggal 23

302
Januari 2006 tentang penempatan Pegawai Negeri

Sipil di Lingkungan Sekretaris Jenderal Departemen

Kebudayaan dan Pariwisata. Petikan Keputusan

Sekretaris Jenderal Departemen Kebudayaan dan

Pariwisata Nomor SK.104/K.403/SEKJEN/DKP/05.

tanggal 28 September 2005 tentang Pemberhentian

Dalam Jabatan di Lingkungan Departemen

Kebudayaan dan Pariwisata baru Penggugat terima

dari saudara Zaini Bustaman (Kepala Bagian

Perencanaan dan Pengembangan Pegawai Biro

Kepegawaian Departemen Kebudayaan dan

Pariwisata) pada tanggal 1 Juni 2006.

Pada lampiran Keputusan Menteri Kebudayaan

dan Pariwisata Nomor SK.02/KP.306/RO.DKP/2006,

tanggal 23 Januani 2006, tentang Penempatan

Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Sekretariat

Jenderal Departemen Kebudayaan dan Pariwisata,

Penggugat ditempatkan menjadi Staf biasa pada Biro

303
Perencanaan dan Hukum. Hal ini tertera pada butir

Nomor 17. Pemberhentian/pembebasaan Jabatan

dan penempatan diri Penggugat menjadi Staf biasa

ini menyebabkan posisi Penggugat menjadi menurun

(Degradasi) dari Pejabat Sruktural setingkat Eselon III

menjadi staf biasa dan hal ini sangat merugikan diri

Penggugat. Kemudian Penggugat mengirimkan Surat

keberatan Kepada Menteri dengan tembusan Kepada

Presiden R.I Kantor Menpan dan BKN.

Bahwa sesuai dengan Peraturan Pemerintah

Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin

Pegawai Negeri Sipil, Pasal 6 ayat (4) butir 6 tentang

Pembebasan Jabatan dan Pasal 9 tentang Tata Cara

Pemeriksaan, Penjatuhan dan Penyampaian

Keputusan Hukum Disiplin, maka hal tersebut harus

dilakukan secara tertulis dengan memanggil secara

langsung Pegawai yang akan dibebaskan dari

jabatanya untuk dibuktikan kesalahannya dan hal

304
ini harus dilakukan secara tertulis, tetapi hal ini

tidak dilakukan oleh karena itu, tindakan Tergugat

sangat bertentangan dengan Pasal 6 ayat (4) butir 6

dan Pasal 9 tersebut diatas. Disamping itu, tindakan

Tergugat tersebut sangat bertentangan dengan asas-

asas umum Pemerintahan yang baik, khususnya

tentang asas kepastian hukum sebagaimana telah

dituangkan didalam Pasal 53 ayat (2) butir b UU

Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha

Negara (PTUN). Sesuai dengan daftar nama-nama

Pejabat yang dilantik pada tanggal 30 September

2005, terdapat beberapa nama Pejabat yang dilantik

yang pangkat dan golongannya masih berada di

bawah Pangkat dan Golongan Penggugat. Hal ini

menunjukan bahwa Baperjakat (Badan

Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan) yang telah

berjalan tidak mengindahkan Pasal 15 dan Pasal 16

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15

305
Tahun 1979 tentang Daftar Urut Kepangkatan (DUK)

Pegawai Negeri Sipil bahwa dalam pembinaan karier

dan apabila ada lowongan maka PNS yang

menduduki DUK yang lebih tinggi wajib

dipertimbangkan terlebih dahulu. Di samping itu,

terdapat seorang pegawai dari luar (Kementerian

Pemberdayaan Perempuan) atas nama Hadi

Cahyono, NIP 050034706 yang juga ikut dilantik

pada tanggal 30 September 2005 yang lalu, dimana

pangkat dan golongannya masih berada di bawah

Pangkat dan Golongan Penggugat. Hal ini juga telah

menunjukan bahwa Baperjakat yang telah berjalan

telah melakukan tindakan diskriminasi terhadap diri

Pengugat dengan telah mendahulukan orang lain

dari pada kadar PNS yang berada dan berasal dari

organisasi Departemen Kebudayan dan Pariwisata

itu sendiri. Bahwa sejak

pembebasan/pemberhentian jabatan yang dilakukan

306
oleh Tergugat terhadap Penggugat, maka sejak bulan

Desember 2005 hingga Surat Gugatan ini, maka

Tunjangan Jabatan Penggugat telah dihentikan.

Keputusan Sekretaris Jenderal Departemen

Kebudayaan dan Pariwisata Nomor SK.

104/KP.403/SEKJEN/DKP/05. tanggal 28

September 2005 tentang Pemberhentian Dalam

Jabatan di Lingkungan Departemen Kebudayaan dan

Pariwisata tidak menerangkan dengan jelas

kesalahan Penggugat sebagai alasan untuk

memberhentikan/ pembebasan jabatan Penggugat,

atas tindakan Tergugat ini, maka Penggugat telah

sangat dirugikan.

Bahwa berdasarkan hal-hal yang telah

penggugat uraikan di atas, maka Penggugat

memohon kepada Ketua Pengdilan Tata Usaha

Negara untuk memutuskan:

a) Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya;

307
b) Menyatakan batal atau tidak sah Keputusan

Sekretaris Jenderal Departemen Kebudayaan dan

Pariwisata Nomor SK.104/KP.403/

SEKJEN/DKP/05 tanggal 28 September 2005

tentang Pemberhentian Dalam Jabatan di

Lingkungan Departemen Kebudayaan dan

Pariwisata, Dalam Lampiran Keputusan tersebut

Nomor 3 atas nama Peris Tua Siagian, NIP:

720000548;

c) Memerintahkan kepada Tergugat untuk mencabut

Keputusan Sekretaris Jenderal Departemen

Kebudayaan dan Pariwisata Nomor

SK.104/KP.403/SEKJEN/DKP/05. tanggal 28

September 2005 tentang Pemberhentian Dalam

Jabatan di Lingkungan Departemen Kebudayaan

dan Pariwisata, Dalam Lampiran Keputusan

tersebut Nomor: 3 atas nama Peris Tua Siagian,

NIP : 720000548;

308
d) Mengembalikan status dan posisi Penggugat

menjadi Pejabat Struktural setingkat Eselon III;

e) Menghukum Tergugat untuk membayar biaya

perkara;

Terhadap gugatan Penggugat tersebut Majelis Hakim

Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta telah

menjatuhkan putusan sebagai berikut:

b. Putusan Majelis Hakim

Dalam Eksepsi:

Menyatakan Eksepsi Tergugat tidak diterima;

Dalam pokok perkara:

a) Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya;

b) Membebankan kepada Penggugat untuk

membayar biaya perkara ini sebesar Rp. 219.000,-

(dua ratus sembilan belas ribu rupiah).

309
Terhadap putusan Nomor 77/G/2006/PTUN.JKT

tersebut Penggugat mengajukan banding ke

Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta.

c. Putusan Banding

Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta

menjatuhkan putusan sebagai berikut:

MENGADILI

1. Menerima permohonan banding dari

Penggugat/Pembanding;

2. Membatalkan Putusan Pengadilan Tata Usaha

Negara Jakarta Nomor 77/G/2006/PTUN-JKT

tanggal 28 Agustus 2006 yang dimohonkan

banding .

MENGADILI SENDIRI

Dalam Eksepsi

- Menyatakan eksepsi Tergugat/terbanding tidak

dapat diterima

310
Dalam Pokok Perkara

1. Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya

2. Menyatakan batal Keputusan Sekretaris Jenderal

Departemen Kebudayaan dan Pariwisata No.

SK.104/KP.403/SEKJEN/DKP/05 tanggal 28

September 2005 tentang pemberhentian dalam

jabatan dilingkungan Departemen Kebudayaan

dan Pariwisata, dalam lampiran Keputusan

tersebut Nomor 3 atas nama Peris Tua Siagian, SH.

NIP. 720000548.

3. Memerintahkan kepada Tergugat untuk mencabut

Keputusan Sekretaris Jenderal Departemen

Kebudayaan dan Pariwisata Nomor SK.

104/KP.403/SEKJEN/DKP/05 tanggal 28

September 2005 tentang pemberhentian dalam

jabatan dilingkungan Departemen Kebudayaan

dan Pariwisata, Dalam Lampiran Keputusan

311
tersebut Nomor 3 atas nama Peris Tua Siagian, SH.

NIP. 720000548

4. Mengembalikan status dan posisi

Penggugat/Pembanding menjadi Pejabat Struktural

setingkat Eselon III

5. Menghukum Tergugat/Terbanding membayar

biaya perkara dikedua tingkat peradilan yang

untuk tingkat banding ditetapkan sebesar Rp.

400.000,- (Empat ratus ribu rupiah).

Terhadap putusan pengadilan Tinggi Tata Usaha

Negara Jakarta Tergugat/Terbanding mengajukan

kasasi.

d. Putusan Kasasi

MENGADILI

Menolak permohonan kasasi dari Pemohon

Kasasi : SEKRETARIS JENDERAL DEPARTEMEN

KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA tersebut;

312
Menghukum Pemohon Kasasi/Tergugat untuk

membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini

sebesar Rp. 500.000,- (Lima ratus ribu rupiah); -

Terhadap putusan kasasi Mahkamah Agung,

Pemohon Kasasi/Tergugat mengajukan Peninjauan

Kembali.

e. Putusan Peninjauan Kembali

MENGADILI:

Menolak permohonan Peninjauan Kembali dari

Pemohon Peninjauan Kembali SEKRETARIS

JENDERAL DEPARTEMEN KEBUDAYAAN DAN

PARIWISATA tersebut.

313
Menghukum Pemohon Peninjauan Kembali

untuk membayar biaya perkara dalam pemeriksaan

peninjauan kembali ini sebesar Rp. 2.500.000,- (dua

juta lima ratus ribu rupiah).

f. Tahap Pelaksanaan Putusan

Terhadap putusan yang telah berkekuatan

hukum tersebut diatas, Penggugat telah mengajukan

surat kepada Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara

Jakarta pada tanggal 24 Juli 2009 dan surat tanggal

28 November 2009 yang pada pokoknya memohon

eksekusi putusan pengadilan Tata Usaha Negara

tersebut.

Menanggapi surat penggugat tersebut, Ketua

Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta kemudian

telah mengeluarkan beberapa surat yang ditujukan

kepada Tergugat antara lain surat

No.W2.TUN1.172/HK.06/VIII/2009 tanggal 19

Agustus 2009 dan surat Ketua Pengadilan Tata

314
Usaha Negara Jakarta

No.W2.TUN1.02/HK.06/1/2010 yang pada

pokoknya tentang pengawasan putusan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap.

Ombudsman RI mengirim surat kepada Menteri

Kebudayaan dan Pariwisata tertanggal 19 Mei 2009

perihal pelaksanaan putusan Mahkamah Agung RI

Nomor 281 K/TUN/2007 tanggal 21 Januari 2008

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atas

nama Peris Tua Siagian sesuai dengan permintaan

Peris Tua Siagian yang menginginkan agar suratnya

ditembuskan ke Ombudsman RI.

Kemudian Ketua Komisi Yudisial RI, M. Busyro

Muqoddas mengirimkan surat kepada Ketua PTUN

Jakarta meneruskan laporan pengaduan masyarakat

yang diajukan oleh Peris Tua Siagian tanggal 30 April

2009. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara

mengirimkan surat kepada Ketua Pengadilan Tata

315
Usaha Negara Jakarta berdasarkan surat dari Ketua

Komisi Yudisial tetanggal 18 Juni 2009 agar

melaksanakan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap.

Ketua Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara

Jakarta tanggal 7 Juli 2009 membuat surat kepada

Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta agar

memerintahkan Tergugat melaksanakan Putusan

Pengadilan.

Ombudsman RI membuat surat kembali kepada

Menteri Kebudayaan dan Pariwisata tertanggal 28

Agustus 2009 perihal pelaksanaan putusan MA RI

Nomor 281 K/TUN/2007 tanggal 21 Januari 2008

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atas

nama Peris Tua Siagian yang lalu ditanggapi oleh

Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Pada

tanggal 26 Oktober 2009 Departemen Kebudayaan

dan Pariwisata mengirim surat yang ditujukan

316
kepada Ketua Ombudsman RI yang isinya adalah

agar Menteri Kebudayaan dan Pariwisata

melaksanakan Putusan Pengadilan. Kemudian

Menteri Kebudayaan dan Pariwisata tanggal 10

November 2009 mengirim surat kepada ketua PTUN

Jakarta bahwa telah melaksanakan kewajiban

hukum sebagaiman mestinya sehingga apa yang

dinyatakan Ketua PTUN telah dipenuhi.

Peris Tua Siagian membuat surat kepada Ketua

PTUN Jakarta tertanggal 28 November 2009 dan

tertanggal 18 Desember 2009 agar Ketua PTUN

Jakarta mengirim surat kepada Presiden RI. Oleh

karena belum mendapat jawaban dari Presiden,

Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta tertanggal 12

Januari 2010 membuat surat kepada Sekjen

Menbudpar yang isinya agar Sekjen Depbudpar

melaksanakan putusan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap.

317
Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta,

pada tanggal 25 Februari 2010 mengirim surat

kepada Presiden Republik Indonesia dengan Nomor

W2.TUN1.47/HK.06/II/2010 perihal pengawasan

pelaksanaan putusan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap, yang pada pokoknya agar

Presiden Republik Indonesia memerintahkan

Tergugat/Sekretaris Jenderal Departemen

Kebudayaan dan Pariwisata untuk melaksanakan

Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara

Jakarta Nomor: 192/B/2006/PT.TUN-JKT tanggal 11

Januari 2007 yang telah memperoleh kekuatan

hukum tetap.

Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta

juga telah mengirim surat kepada Ketua Dewan

Perwakilan Rakyat tanggal 25 Februari 2010, Nomor

W2.TUN1.47/HK.06/II/2010 yang pada pokoknya

318
agar Dewan Perwakilan Rakyat menjalankan fungsi

pengawasannya.

Kemudian Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara

Jakarta Pada tanggal 26 Februari 2010 telah

mengirim surat kepada Sekretaris Jenderal

Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI yang

isinya sama dengan surat yang ditujukan kepada

Presiden RI. Pada hari Kamis, tanggal 25 Februari

2010 Jam 10.00 WIB, Peris Tua Siagian telah

menghadap Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara

Jakarta selaku Pengawas Eksekusi berdasarkan

Surat panggilan tanggal 11 Februari 2010. Ketua

mengatakan bahwa oleh karena sampai saat ini

belum ada sikap terhadap pelaksanaan eksekusi

putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum

tetap, maka ketua akan menindak lanjuti sesuai

peraturan perundang-undangan khususnya Undang-

Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang perubahan

319
kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.

Karena tidak ada lagi yang disampaikan, maka

Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta

menyatakan bahwa pengawasan pelaksanaan

putusan pada hari ini telah selesai, lalu pemeriksaan

tersebut dinyatakan ditutup.

Oleh karena Tergugat tetap tidak melaksanakan

putusan pengadilan, maka Peris Tua Siagian pada

tanggal 12 Maret 2010 mengirimkan surat kepada

Ketua Pengadilan TUN Jakarta dengan mengajukan

2 hal yaitu :

1. Surat dengan dilampiri putusan Mahkamah Agung

Nomor 281.K/TUN/2007 yang isinya memohon

kembali agar Ketua Pengadilan TUN Jakarta

menegur Menteri Kebudayaan dan Pariwisata

untuk melaksanakan putusan pengadilan yang

telah mempunyai kekuatan hukum tetap tersebut.

320
2. Memohon agar memanggil Tergugat dan pihak BKN

untuk ditegur agar melaksanakan Putusan

Pengadilan.

Tanggal 24 maret 2010 Peris Tua Siagian

mengirimkan surat kepada Ketua Pengadilan Tata

Usaha Negara Jakarta dengan merujuk surat Nomor

W2.TUN1.47/HK.06/II/2010 tanggal 25 Februari

2010 perihal Pengawasan Pelaksanaan Putusan

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang

tembusannya dikirimkan kepada Menbudpar, dan

Sekjen Menbudpar (tergugat), Dalam kesemptan itu

Peris Tua Siagian menyampaikan hal-hal sebagai

berikut :

1. Bahwa hingga saat ini Menbudpar dan Sekjen

Menbudpar (tergugat) belum memanggil penggugat.

Sikap Menbudpar dan Sekjen Menbudpar ini

menunjukan tanda-tanda bahwa mereka

mengabaikan surat dimaksud dan sekaligus

321
merupakan sikap yang tidak menghormati hukum

yang berlaku di Indonesia.

2. Bahwa berhubungan dengan sikap tergugat yang

tidak menghormati hukum tersebut, penggugat

memohon dilakukan tindakan luar biasa berupa

pertemuan khusus yang dihadiri oleh tergugat

langsung (tidak boleh diwakili), Perwakilan Istana

Presiden, Perwakilan DPR-RI, Kantor Menpan RI

dan BKN RI untuk meminta pertanggungjawaban

langsung dari tergugat.

3. Bahwa karena masalah ini adalah merupakan

masalah penegakan hukum yang sudah berlarut-

larut, penggugat memohon agar masalah ini

dilaporkan langsung kepada Satgas Penegakan

Hukum yang telah dibentuk oleh Presiden RI.

Tanggal 10 Juni 2010, Peris Tua Siagian

mengirim surat kepada Ketua Pengadilan Tata Usaha

Negara Jakarta, perihal pengawasan pelaksanaan

322
Putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum

tetap yang telah dikirimkan kepada DPR-RI, namun

hingga saat ini belum mendapat tanggapan dari DPR-

RI.

Putusan Pengadilan tersebut diatas hingga saat

ini belum dilaksanakan oleh Tergugat.

2. Putusan Nomor 136/G/2008/PTUN-JKT jo Putusan


Nomor 46/B/2009/PT.TUN.JKT jo Putusan Nomor
309 K/TUN/2009 jo Putusan Nomor 48
PK/TUN/2010 (Putusan Sengketa TUN di Bidang
Perijinan)

Para pihak dalam perkara ini adalah PT. Maruta

Bumi Prima (Penggugat) dan Menteri Energi Dan

Sumber Daya Mineral Republik Indonesia (Tergugat)

serta PT. Odira Energy Persada (Tergugat II

Intervensi).

323
a. Tentang Duduknya Perkara

Bahwa Penggugat, PT. Maruta Bumi Prima

adalah perusahaan swasta nasional yang bergerak

dalam bidang Migas termasuk Pengelolaan Minyak

dan Gas Bumi. Saat ini Penggugat memiliki Usaha

Migas dan masih sedang berjalan diantaranya : LPG

Plant dipangkalan Brandan Sumatera Utara, Proyek

kerjasama dengan Pertamina dalam bentuk TAC di

Haurgelis Indramayu, dan proyek TAC dengan

Pertamina dalam Pengelolaan Ladang Minyak di

Laut Natuna.

Bahwa Penggugat telah cukup lama bergerak

dalam bidang tersebut sehingga telah memiliki

pengalaman yang memadai dengan pengetahuan,

keahilan dan pengalaman kerja yang profesional

dengan Sumber Daya Manusia yang handal, serta

didukung oleh kemampuan dan sumber keuangan

324
yang berasal dari milik sendiri maupun dari dalam

dan luar negeri.

Bahwa Penggugat adalah Mitra Usaha dan

Perusahaan Daerah di wilayah RI berkaitan dengan

Pengelolaan Gas Bumi (LPG Tambun). Hal tersebut

didukung dan berdasarkan Undang-Undang Nomor

22 Tahun 2001 tentang Migas bahwa Pemerintah

Daerah dapat mengelola usaha Hilir dan Hulu

(Migas) melalui pembentukan BUMD.

Bahwa mengingat keterbatasan daerah itu

sendiri maka untuk membangun dan mengelola

Migas diperlukan Investasi yang sangat besar dan

teknologi tinggi serta Sumber Daya Manusia yang

berpengalaman untuk mendirikan LPG Plant

sehingga hal tersebut diluar kemampuan

Pemerintah Daerah.

Bahwa untuk itu diperlukan Mitra Usaha yang

dapat bekerja sama dengan Pemerintah Daerah

325
kabupaten Bekasi melalui Badan Usaha Milik

Daerah (BUMD) yaltu PT. Bina Bangun Wibawa

Mukti (PT. BBWM) untuk mengelola Migas.

Bahwa mengingat Penggugat adalah

Perusahaan swasta yang bergerak dibidang

Pengelolaan Minyak dan Gas, maka Penggugat turut

sebagai peserta seleksi (tender) untuk pengelolaan

Gas yang berada di wilayah Babelan Kabupaten

Bekasi Jawa Barat; Bahwa dalam rangka

independesi dan objektivitas untuk mencari Mitra

Usaha Pemerintah Daerah Kabupaten Bekasi

menunjuk Lembaga Independent yaitu Lembaga

Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat Institut

Teknologi Bandung (LPPM ITB) yang telah

menguasai bidangnya.

Bahwa adapun kegiatan seleksi mulai dari

mencari Mitra Usaha yang diumumkan melalui

beberapa media cetak, tahapan kegiatan seleksi

326
maupun hasil seleksi sepenuhnya dilaksanakan

oleh LPPM ITB yang kegiatannya diawasi oleh

Supervisi Pemerintah Daerah Kabupaten Bekasi.

Bahwa jumlah perusahaan yang ikut seleksi

sebanyak 18 (delapan belas) perusahaan termasuk

diantaranya Penggugat (PT. Maruta Bumi Prima)

yang di undang sesual dengan surat dari LPPM ITB

dengan Nomor 07/S- BUMD/02-2003 tertanggal 28

Pebruari 2003 (Bukti P-1).

Bahwa berdasarkan hasil seleksi telah

ditetapkan berdasarkan ranking sebagaimana Surat

LPPM ITB Nomor 0574/K.01.13/I/2003 tertanggal

18 Maret 2003 sebagai berikut:

1) PT. Elnusa Petro Teknik;

2) PT. Maruta Bumi Prima (Penggugat)

3) PT. Petromas Indonesia;

4) Dst;

327
Bahwa berdasarkan hasil ranking yang

ditetapkan oleh pihak LPPM ITB yang

ditindakianjuti oleh PEMDA Bekasi (PT. BBWM), PT.

Elnusa Petro Teknik-lah sebagai Mitra Usaha untuk

membangun dan mengelola Gas Bumi di Kabupaten

Bekasi yang dituangkan dalam Perjanjian Kerjasama

(PKS) antara PT. BBWM dengan PT. Elnusa Petro

Teknik mengenal Pengelolaan Gas Bumi di

Kabupaten Bekasi sesuai dengan isi surat tertanggal

16 Juni 2003 Nomor 88/IV/BBWM/2003-

017/SP/EPT/0.002-201/VI/2003 (Bukti P-2).

Bahwa berdasarkan surat dari PT. Elnusa

Petro Teknik tertanggal 25 Maret 2003 perihal

Permohonan Pendanaan Proyek serta hasil evaluasi

yang dilakukan oleh PT. BBWM dan juga pihak PT.

Pertamina, maka dinyatakan bahwa PT. Elnusa

Petro Teknik tidak mampu melaksanakan pekerjaan

pembangunan LPG Plant sebagaimana progress

328
yang telah disepakati dalam Peijanjian Kerja Sama

(PKS), hal ini berdampak pada

a. Keterlambatan Pembangunan fasilitas

Pengelolaan Gas Bumi;

b. Adanya keterlambatan kontribusi pada PAD

(Pendapatan Asli Daerah) ;

c. Gas Bumi tidak dapat segera dimanfaatkan

(Bukti P-3);

Bahwa dengan ditandatangani Perjanjian Kerja

Sama antara PT. Elnusa Petro Teknik dengan

Pemerintah Daerah (PT. BBWM) dan sampai

berakhirnya kesepakatan antara kedua belah pihak

telah disimpulkan bahwa PT. Elnusa Petro Teknik

tidak berhasil membantu dan mengupayakan

terealisirnya Kesepakatan Perjanjian Jual Beli Gas

(KPJBG) antara PT. PERTAMINA dengan PT. Elnusa

Petro Teknik (Bukti P-4).

329
Bahwa untuk menghindari kerugian yang

semakin besar atas terbakarnya Gas Bumi (Flare

Gas) maka perlu segera ditetapkan Mitra Usaha

baru secara normatif selanjutnya Penggugat

ditetapkan sebagal Mitra Usaha PEMDA Bekasi

melalul PT. BBWM, hal tersebut dengan tegas

dikatakan dalam point 6 halaman 2 Perjanjian Kerja

Sama antara PT. BBWM dengan Pihak Penggugat

tertanggal 22 Oktober 2003 Nomor

158/X/BBWM/2003 ; 021/BMP- BBD/10/03

tentang Pengelolaan Gas Bumi di Kabupaten Bekasi

(Bukti P-5).

Bahwa selanjutnya Para Pihak membuat dan

menandatangani Perjanjian Kerja Sama kedua, yang

merupakan pola bagi kedua belah pihak untuk

secara bersama-sama mendirikan satu Perseroan

Terbatas dimana kedua belah pihak adalah para

pendirinya yaitu Perjanjian Kerja Sama Nomor

330
199/XI/BBWM/2003; 09/MBP-DIR/12/03 Tentang

Pengoperasian dan Pengelolaan Proyek Minyak dan

Gas Bumi (Bukti P-6).

Bahwa hal ini didukung pula dengan Surat

dari Pemerintah Daerah Bekasi yang dikirimkan

kepada PERTAMINA dengan Nomor

500/1850/TMB/DPDLP tertanggal 5 Nopember

2003 yang menyatakan Mitra Usaha baru dan PT.

BBWM adalah Penggugat (Bukti P-7).

Bahwa pada tanggal 29 Desember 2003

sebenarnya Pertamina telah memutuskan Perjanjian

Jual Beli Gas dengan PT. BBWM akan tetapi berkat

bantuan Penggugat sebagai Mitra Usaha

Perusahaan Daerah (PT. BBWM) Kabupaten Bekasi,

sehingga dalam hal ini Penggugat telah berhasil

membantu dan mengupayakan terealisasinya

Kesepakatan bersama jual beli gas lapangan

Tambun antara pihak PT. BBWM dengan pihak PT.

331
Pertamina yang tertuang dalam surat Nomor

193/D00000/2004-SI tertanggal 12 Pebruari 2004

(Bukti P-8).

Bahwa adapun bentuk Kerjasama PT. BBWM

dengan Penggugat meliputi antara lain :

a) Biaya Investasi untuk seluruh pembangunan

menjadi tanggung jawab Penggugat;

b) Perjanjian Kerja Sama dalam BOT (Buit,

Operation, Transfer) dengan jangka waktu 15

(lima belas) tahun sejak terhitung beroperasional

LPG Plant, dimana setelah berakhirnya kerjasama

BOT tersebut maka Gas Processing Plant akan

menjadi milik Perusahaan Daerah/PT.BBWM;

c) Pihak Pemerintah Daerah melalui PT. BBWM akan

mendapatkan bagi hasil sebesar 30 % dari

keuntungan bersih atas kerjasama pemanfaatan

gas tersebut;

332
Bahwa dalam rangka penyelesaian pemutusan

kerjasama antara PT. BBWM dengan PT. Elnusa

Petro Teknik, dimana Penggugat telah dinyatakan

sebagai pengganti PT. Elnusa Petro Teknik maka

Penggugat diminta oleh Pihak PT. BBWM untuk

memberikan dana operasional sebesar Rp. 4,5

Milyar yang digunakan untuk penyelesaian dan

pengakhiran kerjasama tersebut sebagai bentuk

Kompensasi karena menggantikan posisi PT. Elnusa

Petro Teknik Mitra Usaha PT. BBWM kepada

Penggugat (Bukti P-9).

Bahwa begitu disepakatinya dan

ditandatanganinya Perjanjian Kerjasama antara

Penggugat dengan PT. BBWM dimaksud di atas

maka Penggugat langsung melaksanakan dan

membuat penjanjian-perjanjian awal dengan banyak

pihak antara lain : kepada Kontraktor pelaksana

pembangunan, supplier bahan/equipment dan lain-

333
lain. Juga Penggugat telah melakukan beberapa

kegiatan awal diantaranya Penyelesaian AMDAL,

pengadaan kontrak LPG, Kontrak pembelian alat

kompresor, dan lain-lain. Hal ini dilaksanakan

sebagaimana telah diatur dalam Pasal 12 ayat (4)

Anggaran Dasar Perseroan Nomor 3 tertanggal 3

Februari 2003 yang berbunyi sebagai berikut :

“Panggilan rapat itu harus mencantumkan acara,

tanggal, waktu dan tempat rapat“ sehingga

konsekuensinya rapat dimaksud adalah tidak sah

karena diadakan dengan cara melawan hukum.

Bahwa terhadap rencana Pengakhiran

Perjanjian Kerjasama dimaksud Penggugat langsung

memberikan tanggapan berupa klarifikasi atas

tindakan sepihak dan PT. BBWM dan Bupati Bekasi

yang tidak masuk sebagai pihak dalam PKS,

sehingga dalam hukum Bupati Bekasi tidak

termasuk sebagai pihak oleh karenanya tidak

334
mempunyai hak dan kapasitas dalam bentuk

apapun untuk melakukan suatu tindakan baik

langsung maupun tidak langsung yang

berhubungan dengan Perjanjian Kerjasama

dimaksud, apalagi sampai melakukan suatu

pemutusan yang dilakukan dalam kapasitas

jabatannya sebagai Bupati Bekasi.

Bahwa tindakan yang dilakukan oteh Bupati

Bekasi melakukan Pemutusan Perjanjian Kerjasama

dimaksud dengan jelas menyalahi Perjanjian Kerja

Sama (PKS) Nomor 199/XII/2003 ; 009/MBP-

DIR/12/03 tentang Pengoperasian dan Pengelolaan

Proyek Minyak dan Gas Bumi, yakni Pasal 5 ayat

(3).

Bahwa akibat dari Pemutusan Perjanjian

Kerjasama yang dilakukan oleh Bupati Bekasi

melalui Surat Keputusan Nomor 542/Kep.128-A-

335
Huk/2004, maka Penggugat meminta pendapat dan

sekaligus perlindungan hukum kepada

1. DPRD Kab. Bekasi ;

2. Gubernur Jawa Barat;

3. Pertamina ;

4. Menteri Dalam Negeri ;

Selaku Instansi terkait sehubungan dengan

Proyek LPG Plant yang berada di Babelan Kabupaten

Bekasi.

Bahwa masing-masing Instansi tersebut diatas

telah memberikan saran agar jangan dilakukan

pemutusan kerjasama antara Penggugat dengan PT.

BBWM, karena akan membawa kerugian yang lebih

besar dikemudian hari (Bukti P-13).

Terhadap gugatan Penggugat tersebut Majelis

Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta telah

menjatuhkan putusan sebagai berikut:

b. Putusan Majelis Hakim

336
a. Putusan Tingkat Pertama

Dalam eksepsi:

Menyatakan Eksepsi Tergugat dan Tergugat II

Intervensi ditolak seluruhnya.

Dalam pokok perkara:

a) Menolak Gugatan Penggugat untuk seluruhnya;

b) Menghukum Penggugat untuk membayar biaya

perkara yang timbul sebesar Rp. 2.678.000,- (Dua

juta enam ratus tujuh puluh delapan ribu rupiah).

Terhadap putusan Nomor 136/G/2008/PTUN.JKT

tersebut Penggugat mengajukan banding ke

Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta.

b. Putusan Banding

- Menerima permohonan banding dari

Penggugat/Pembanding ;

- Menguatkan putusan Pengadilan Tata Usaha

Negara Jakarta Nomor 136/G/2008/PTUN-JKT.,

337
tanggal 18 Desember 2008 yang dimohonkan

banding;

- Menghukum Penggugat/Pembanding untuk

membayar biaya perkara yang timbul dalam

perkara ini dalam kedua tingkat Pengadilan yang

untuk tingkat banding sebesar Rp.154.000,-

(seratus lima puluh empat ribu rupiah).

Terhadap putusan banding tersebut di atas

Penggugat/Pembanding mengajukan Kasasi ke

Mahkamah Agung.

c. Putusan Kasasi

MENGADILI

- Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon

Kasasi P.T. MARUTA BUMI PRIMA tersebut;

- Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Tata

Usaha Negara Jakarta No.46/B/2009/PT.TUN.Jkt.

tanggal 19 Maret 2009 yang menguatkan putusan

Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta

338
No.136/G/2008/PTUN.Jkt. tanggal 18 Desember

2008;

MENGADILI SENDIRI:

DALAM EKSEPSI:

Menolak Eksepsi Tergugat dan Tergugat II Intervensi

seluruhnya;

DALAM PENUNDAAN:

Menolak permohonan penundaan dari Penggugat;

DALAM POKOK PERKARA:

1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;

2. Menyatakan batal atau tidak sah Surat Keputusan

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral RI.

No.1176.K/10/MEM/2008 tanggal 5 Juni 2008

tentang Izin Usaha Pengolahan Gas Bumi kepada

P.T. Odira Energy Persada;

3. Memerintahkan Tergugat untuk mencabut Surat

Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya

Mineral RI. No.1176.K/10/MEM/2008 tanggal 5

339
Juni 2008 tentang Izin Usaha Pengolahan Gas

Bumi kepada P.T. Odira Energy Persada;

4. Menghukum para Termohon Kasasi/Tergugat dan

Tergugat II Intervensi untuk membayar biaya

perkara dalam semua tingkat peradilan, dan

dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sebesar

Rp.500.000,- (lima ratus ribu rupiah);

Terhadap putusan kasasi tersebut

Tergugat/Terbanding/Termohon Kasasi dan

Tergugat II Intervensi mengajukan peninjauan

kembali.

d. Putusan Peninjauan Kembali

MENGADILI

Menolak permohonan peninjauan kembali dan

Pemohon Peninjauan kembali I : P.T. ODIRA ENERGY

PERSADA dan Pemohon Peninjauan Kembali II:

MENTERI ENERGI dan SUMBER DAYA MINERAL

REPUBLIK INDONESIA, tersebut;

340
Menghukum Pemohon Peninjauan Kembali I dan

Il/Tergugat dan Tergugat II Intervensi untuk

membayar biaya perkara dalam pemeriksaan

peninjauan kembali ini sebesar Rp. 2.500.000,- (dua

juta lima ratus ribu rupiah);

c. Tahap Pelaksanaan Putusan

Pada tanggal 16 November 2009 Ketua

Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta menetapkan

penetapan Nomor 136/G/2008/PTUN.JKT yang pada

pokoknya memerintahkan kepada panitera Ketua

Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta untuk

mengirimkan salinan putusan yang telah

berkekuatan hukum tetap.

Pada hari Selasa, tanggal 17 November 2009,

Penitera Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta

berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Tata Usaha

Negara Jakarta mengirimkan Surat Pengantar

Pengiriman Salinan Putusan Pengadilan yang telah

341
memperoleh Kekuatan Hukum Tetap kepada PT.

Maruta Bumi Prima yang diwakili oleh Sutedjo

Ngadiman sebagai pihak penggugat. Surat Pengantar

beserta Pengiriman Salinan ini dilaksanakan dengan

surat tercatat.

Selanjutnya Pada tanggal 03 Februari 2010

Penggugat mengirim surat perihal Permohonan

Eksekusi kepada Ketua Pengadilan Tata Usaha

Negara Jakarta, yang berisi pengajuan Permohonan

Eksekusi atas Putusan Pengadilan.

Pada tanggal 8 Februari 2010 Kementerian

Energi dan Sumber Mineral RI membuat surat

permohonan penundaan pelaksanaan Putusan

Pengadilan. Menindaklanjuti permohonan penundaan

itu, Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta

mengirm surat panggilan Nomor

W2.TUN1.139/HK.06/II/2010 tanggal 11 Februari

2010 kepada Penggugat dan Tergugat yang pada

342
pokoknya mendengar keterangan para pihak atas

permohonan eksekusi yang diajukan oleh Penggugat.

Sampai saat ini Putusan Pengadilan

sebagaimana terurai di atas belum dapat

dilaksanakan.

3. Putusan Nomor 14/G/2007/PTUN-JKT jo Putusan

Nomor 178/B/2007/PT.TUN.JKT jo Putusan

Nomor 75 K/TUN/2008 jo Putusan Nomor 89

PK/TUN/2008 (Putusan Sengketa TUN bidang

Pertanahan)

Para Pihak dalam perkara ini adalah Susuna

Dewi (Penggugat) dan Kepala Kantor Pertanahan

Kotamadya Jakarta Selatan (Tergugat I) serta Menteri

Dalam Negeri Republik Indonesia (Tergugat II),

Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan

Nasional (Tergugat III), Perusahaan Daerah

Pembangunan Sarana Jaya Daerah Khusus Ibukota

343
Jakarta, (Tergugat II Intervensi) dan PT. Bima Sarana

Perkasa (Tergugat II Intervensi II).

Objek sengketa dalam sengketa Tata Usaha

Negara ini adalah:

1. Surat Tergugat I selaku Kepala Kantor

Pertanahan Kotamadya Jakarta Selatan Nomor

2439/09-02/S/SK&P tertanggal 13 November

2006 perihal tanah HGB Nomor 38/Kuningan

Barat, Jakarta Selatan.

2. Surat Keputusan Tergugat II selaku Menteri

Dalam Negeri Nomor 113/HPL/DA/1988, tanggal

25 Oktober tahun 1988 tentang pemberian Hak

Pengelolaan Nomor 1/Kuningan Barat kepada

atas nama Perusahaan Daerah Sarana Jaya DKI

Jakarta atas sebagian tanah bekas HGB Nomor

38/Kuningan Barat seluas 7.154 m2. yang

berakibat diterbitkan Sertifikat HPL Nomor

1/Kuningan Barat, Jakarta Selatan atas nama

344
Perusahaan Daerah Sarana Jaya DKI Jakarta, dan

Sertifikat HGB Nomor B.119/Kuningan Barat,

Tanggal 10 Agustus 1989, Atas nama PT Bima

Sarana Perkasa, berikut turutannya.

3. Surat Keputusan Tergugat III selaku Menteri

Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional

tanggal 28 Agustus 1996 tentang pemberian hak

guna bangunan Nomor 198/Kuningan Barat

kepada atas nama PT Fajar Surya Shakti seluas

2.629 m2 yang merupakan sebagian dari asal

tanah bekas HGB Nomor 38/Kuningan Barat

Jakarta Selatan yang berakibat diterbitkan

Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor

198/Kuningan Barat atas nama PT. Fajar Surya

Shakti berikut turutannya.

a. Tentang Duduknya Perkara

345
Bahwa Penggugat telah mengajukan Gugatan

kepada Tergugat dengan Surat Gugatannya

tertanggal 29 Januari 2007, yang diterima dan

didaftarkan pada Kepaniteraan Pengadilan Tata

Usaha Negara Jakarta pada tanggal 30 Januari

2007, dengan Register Nomor 14/G/2007/PTUN-

JKT., dan telah diperbaiki pada Pemeriksaan

Persiapan dengan suratnya tertanggal 21 Maret

2007 yang pada pokoknya sebagai berikut:

Bahwa tenggang waktu pengajuan gugatan

masih dalam batas 90 (Sembilan puluh) hari sesuai

ketentuan Pasal 55 Undang-undang Nomor 5 tahun

1986, karena objek gugatan yang dijadikan

landasan atau dasar hukum dalam perkara ini

adalah surat kepala kantor Pertanahan Kotamadya

Jakarta Selatan Nomor 2439/09-02/S/SKP yang

menyatakan tidak dapat memproses permohonan

Penggugat untuk membalik namakan Sertifikat HGB

346
Nomor 38/Kuningan Barat, Jakarta Selatan yang

dikeluarkan oleh Tergugat pada tanggal 13

November 2006; Bahwa tentang objek gugatan

Iainnya yaitu Sertifikat HPL Nomor 1/Kuningan

Barat atas nama PD. Sarana Jaya DKI Jakarta yang

diterbitkan oleh Tergugat II dan Sertifikat HGB

Nomor 198/Kuningan Barat atas nama PT Fajar

Surya Shakti yang diterbitkan oleh Tergugat III,

adalah berkaitan erat dan oleh karenanya tidak

dapat dipisahkan dengan surat Tergugat I

sebagaimana tersebut di atas, karena dari surat

Kepala Kantor pertanahan Jakarta Selatan

(Tergugat I) itulah Penggugat baru mengetahui

bahwa sebagian atas tanah Sertipikat HGB Nomor

38/Kuningan Barat telah dialihkan dan dipecah

menjadi dua Sertipikat.

Adapun yang menjadi dasar atau alasan

diajukannya gugatan ini adalah sebagai berikut:

347
Bahwa tanah yang terletak di JI. Jend. Gatot

Subroto, Kelurahan Kuningan Barat seluas 16.400

m2 dengan Sertipikat HGB Nomor 38/Kuningan

Barat, diperoleh dari konversi bekas Eigendom

Verponding Nomor 7660 yang semula tertulis atas

nama ABOE BAKAR dan berdasarkan Penetapan

Pengadilan Negeri Jakarta Barat dan Jakarta

Selatan Nomor 1002/72.P pada tanggal 4 Januari

1973 telah beralih kepada para ahli warisnya yaitu

MUSANIP, dkk dan pengalihannya itu terdaftar pada

Sertipikat HGB Nomor 38/Kuningan Barat yang

dikeluarkan pada tanggal 22 Juni 1978 (BuktiP-1).

Bahwa pada tanggal 2 Mei 1979, kemudian

tanah a quo dengan Sertipikat HGB Nomor

38/Kuningan Barat, dibeli oleh Penggugat dari

Bapak SAELAN yaitu kuasa dari para ahli waris,

dengan membayar lunas harga penjualan tanah

sebesar Rp. 330.000.000,- (Tiga ratus tiga puluh

348
juta rupiah) sebagaimana tertuang dalam Perjanjian

Ikatan Jual Beli Nomor 6 yang dibuat oleh dan

dihadapan Notaris Gde Ngurah Rai (BuktiP-2).

Bahwa atas dasar Perjanjian Ikatan Jual-Beli

tersebut diatas, pada tanggal 2 Mei 1979 juga

dihadapan Notaris Gede Ngurah Rai berdasarkan

surat kuasa Nomor 7, para ahli waris yang diwakili

oleh Bapak Saelan juga memberi kuasa kepada

Penggugat untuk menjual, menghibahkan,

melepaskan hak, memindahkan atau dengan nama

apapun tanah tersebut kepada siapa, termasuk

kepada yang diberi kuasa dengan harga dan

perjanjian-perjanjian yang disetujui oleh yang diberi

kuasa yaitu Penggugat sendiri (BuktiP-3).

Bahwa untuk pengurusan balik nama atas

tanah HGB Nomor 38/Kuningan Barat, Jakarta

Selatan a quo, Penggugat telah mengajukan

permohonan perpanjangan Hak Guna Bangunan

349
atas tanah a quo kepada Tergugat berdasarkan

Surat Keterangan Pendaftaran Tanah Nomor

1370/1980 yang dikeluarkan oleh Kantor Agraria

Jakarta Selatan tanggal 6 Agustus 1980 dan

permohonan perpanjangan dari Penggugat juga

telah diterima oleh Kantor Agraria Jakarta Selatan

sesuai dengan tanda terima tertanggal 6 September

1980 Nomor 860/I/HGB/1/S/1980 (Bukti P-4 dan

P-5).

Bahwa dalam proses perpanjangan HGB tanah

a quo, Penggugat juga telah membayar uang

sejumlah Rp. 93.600,- (Sembilan puluh tiga ribu

enam ratus rupiah) untuk biaya yang diperlukan

untuk perpanjangan tanah a quo, sebagaimana

tersebut dalam tanda bukti penerimaan Nomor

968/R/RE/82/83 tertanggal 8 Mei 1982 yang

dikeluarkan oleh Suku Dinas Tata Kota Wilayah

Jakarta Selatan yang ditandatangani oleh Drs.

350
Oman Abdurachman. Kemudian setelah itu

ditindaklanjuti dengan melakukan pengukuran

tanah a quo dan dibuatkan gambar situasi tanah

yang dikeluarkan oleh Suku Dinas Tata Kota

Jakarta Selatan (Bukti P-6 dan P-7).

Bahwa sementara menunggu proses

perpanjangan HGB dan balik nama tanah a quo

yang tidak kunjung selesai, Penggugat mendapat

musibah yaitu suami Penggugat Made Kentaharta

MPH dituduh melakukan manipulasi dana BPDPK

dan untuk keperluan pemeriksaan kasus itu,

OPSTIB PUSAT pada waktu itu meminta surat tanah

yang asli yaitu Sertipikat HGB Nomor 38/Kuningan

Barat, supaya diserahkan untuk bukti dalam

pemeriksaan kasus tersebut. Perbuatan Opstib

Pusat tersebut jelas tidak berdasarkan hukum

sebab opstib bukanlah penyidik dalam kasus

perkara pidana, akan tetapi siapa yang berani

351
melawan kewenangan Opstib Pusat pada saat itu.

Oleh karena itu, maka suami Penggugat

menyerahkan Sertipikat tanah asli HGB Nomor

38/Kuningan Barat kepada Opstib Pusat untuk

dititipkan guna keperluan pemeriksaan kasus

pidana tersebut dengan surat tanda terima (Bukti P-

8).

Bahwa kasus suami Penggugat belum

selesai/belum jelas secara hukum, Penggugat telah

mendapat surat Tanggapan/Jawaban dari Kantor

Pertanahan Jakarta Selatan Nomor

395/SP/IV/I/1990 tertanggal 23 November 1990

yang isinya agar Penggugat menghubungi Sunarto

Kepala Sub. Seksi PHT Kantor Pertanahan Jakarta

Selatan dalam rangka tindak lanjut Permohonan

Hak atas tanah a quo dan kemudian Penggugat

telah memenuhi panggilan tersebut dengan datang

ke kantor pertanahan Jakarta Selatan dan

352
menyerahkan beberapa surat sebagai syarat-syarat

yang diperlukan yaitu fotocopy penjanjian ikatan

jual-beli Nomor 6 dan fotocopy Sertipikat HGB

Nomor 38/Kuningan Barat pada tanggal 6

Desember 1990 (Bukti P-9); Surat tanggapan dari

Kepala Kantor Pertanahan Jakarta Selatan tersebut

di atas sudah membuktikan bahwa Kantor

Pertanahan Jakarta Selatan mengakui bahwa tanah

a quo adalah milik Penggugat dan berarti secara

administrasi di BPN Jakarta Selatan sudah tercatat

atas nama Penggugat.

Bahwa ternyata dalam kasus pidana suami

Penggugat, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah

memutuskan bahwa Dakwaan Jaksa terhadap

Terdakwa (suami Penggugat) dinyatakan Batal Demi

Hukum. Kemudian Putusan Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat tersebut diperkuat dengan putusan

Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. OIeh karena Jaksa

353
selaku Penuntut Umum tidak mengajukan Kasasi,

maka Putusan tersebut telah mempunyai kekuatan

hukum tetap (in kracht van gewijsde). Dengan

demikian menurut hukum tuduhan atas diri suami

Penggugat dianggap tidak pernah ada dan

seharusnya Opstib Pusat menyerahkan kembali

Sertifikat asli HGB Nomor 38/Kuningan Barat

tersebut kepada Penggugat karena Suami Penggugat

tidak terbukti bersalah melakukan manipulasi dana

BPDPK (Bukti P-10 dan P-11).

Bahwa pada tanggal 19 Maret 2002, suami

Penggugat Made Kertaharta meninggal dunia,

karena kebutuhan hidup penggugat bermaksud

untuk mendapatkan haknya kembali sebagai

pemilik tanah a quo, karena itu Penggugat

mengajukan permohonan untuk meminta

penjelasan status tanah a quo kepada Tergugat

pada tanggal 14 Agustus 2006 (Bukti P-12).

354
Bahwa surat Penggugat tersebut dalam butir 9

di atas telah ditanggapi oleh Tergugat I dengan

suratnya tertanggal 5 Oktober 2006 Nomor

2168/09.M/SKEP.

Bahwa dari data-data yang dikemukakan oleh

Tergugat I tersebut di atas, jelas-jelas telah

merugikan kepentingan Penggugat sebagai Pembeli

atas tanah Sertipikat HGB Nomor 38/Kuningan

Barat, Jakarta Selatan a quo dan sehubungan

dengan itu, Penggugat dengan surat tertanggal 16

Oktober 2006 mengajukan permohonan lagi untuk

memohon ketegasan Tergugat I apakah terhadap

permohonan Penggugat untuk membalik nama

Sertipikat HGB Nomor 38/Kuningan Barat, Jakarta

Selatan tersebut dapat diproses atau tidak (Bukti P-

14).

Bahwa dengan suratnya tertanggal 13

November 2006 Nomor 2439/09-02/SK&P Tergugat

355
I memberikan jawaban yang memberi penegasan

bahwa pada pokoknya tidak dapat memproses

permohonan balik nama Sertifikat Nomor

38/Kuningan Barat, Jakarta Selatan atas nama

Penggugat (Bukti P-15).

Bahwa tindakan Tergugat I yang menolak

untuk memproses permohonan Penggugat untuk

membalik nama Sertipikat Nomor 38/Kuningan

Barat, Jakarta Selatan atas nama Penggugat, jelas-

jelas telah merugikan kepentingan Penggugat

karena Penggugat mempunyai hak atas tanah a quo

seluas 16.400 m2 dengan alas hak berdasarkan

Perjanjian Ikatan Jual-Beli Nomor 6 tanggal 2 Mei

1979 yang dibuat oleh dan di hadapan Notaris Gde

Ngurah Rai dan Surat kuasa Nomor 7 tanggal 2 Mei

1979 yang dibuat oleh dan di hadapan Notaris yang

sama.

356
Bahwa ternyata tanpa sepengetahuan

pengugat oleh Opstib Pusat sebagian tanah a quo

dengan Sertipikat HGB Nomor 38/Kuningan Barat,

Jakarta Selatan telah dijual secara melawan hukum

kepada pihak lain, yaitu kepada PT Bimantara

Sarana Perkasa seluas 6.710 m2 yang dituangkan

dalam Berita Acara Penyelesaian masalah tanah di

Jalan Jend. Gatot Subroto tertanggal 17 September

1988, yang kemudian bekerja sama dengan PD.

Sarana Jaya (Bukti P-16); Dan selanjutnya sebagian

tanah a quo dijual lagi kepada A. Jufri seluas 2.725

m2 yang dituangkan dalam Berita Acara

Penyelesaian masalah tanah di jalan Jend. Gatot

Subroto tertanggal 28 September 1988 (Bukti P-1);

Perbuatan pengalihan hak orang lain demikian itu

jelas telah bertentangan dengan hukum karena

Opstib tidak berhak menjual tanah a quo. Lagi pula

tanah a quo berada di bawah pengawasan Opstib

357
Pusat hanyalah berstatus sebagai barang titipan,

yaitu berupa Sertipikat Asli Hgb Nomor

38/Kuningan Barat, Jakarta Selatan, sebagai

barang bukti dalam pemeriksaan Kasus Pidana

suami Penggugat yang belum mempunyai kepastian

hukum, jadi tanah a quo masih sedang dalam

sengketa (kasus pidana) dan perbuatan Opstib

Pusat tersebut adalah jelas-jelas merupakan

perbuatan melawan hukum yang merupakan tindak

pidana penggelapan atas hak milik penggugat, atau

perbuatan Steloniat seperti yang diatur dalam Pasal

372 KUHP Junto 385 KUHP.

Bahwa berdasarkan pada Surat Keputusan

Menteri Dalam Negeri (Tergugat II) tanggal 25

Oktober 1988 kemudian diterbitkanlah Sertipikat

HPL Nomor 1/Kuningn Barat atas nama

Perusahaan Daerah Sarana Jaya DKI Jakarta dan

begitu pula dengan berdasarkan Surat Keputusan

358
Menteri Negara Agraria/Kepala BPN (Tergugat III)

tanggal 28 Agustus 1996, juga telah diterbitkan

Sertipikat HGB Nomor 198/Kuningan Barat,

Jakarta Selatan atas nama PT. Fajar Surya Shakti.

Maka penerbitan Sertipikat-Sertipikat tersebut

adalah cacat hukum karena seharusnya sebelum

penerbitan kedua Sertipikat tersebut, BPN Jakarta

Selatan harus meneliti terlebih dahulu apakah ada

hak di atas tanah a quo, karena Penggugat adalah

pihak yang berhak atas tanah a quo. Seharusnya

BPN Jakarta Selatan memperhatikan hak-hak

penggugat sebagai pembeli tanah a quo serta

diproses dahulu permohonan yang sudah pernah

diajukan oleh penggugat untuk memperpanjang

Sertipikat HGB Nomor 38/Kuningan Barat, Jakarta

Selatan tersebut. Serta membaik nama Sertipikat

atas nama Penggugat karena jauh sebelum batas

waktu Sertipikat HGB Nomor 38/Kuningan Barat

359
tersebut berakhir, Penggugat telah mengajukan

permohonan perpanjangan dan balik nama seperti

yang telah diuraikan dalam butir 4 pada posita

gugatan ini, yang mana proses perpanjangan tanah

a quo tidak kunjung selesai diproses oleh Tergugat;

Dan Penggugat baru mengetahui ternyata di atas

tanah dengan Sertipikat HGB Nomor 38/Kuningan

Barat, Jakarta Selatan tersebut sudah ada 2 (dua)

Sertipikat baru yaitu Sertipikat HPL Nomor

1/Kuningan Barat dan Sertipikat HGB Nomor

198/Kuningan Barat, penerbitan kedua Sertipikat

tersebut jelas-jelas telah merugikan Penggugat.

Bahwa dari fakta-fakta tindakan Tergugat I

tersebut di atas, jelas secara hukum Tergugat I

sudah mempunyai Itikad Tidak Baik untuk tidak

menanggapi permohonan Penggugat. Padahal pada

saat Penggugat menghadap Kepala Sub. Seksi PHT

di Kantor Pertanahan Jakarta Selatan pada tanggal

360
6 Desember 1990, telah menyerahkan surat-surat

yang diperlukan termasuk fotocopy Sertipikat HGB

Nomor 38/Kuningan Barat, Jakarta Selatan, serta

menjelaskan bahwa Sertipikat tanah a quo yang asli

sedang dititipkan pada Opstib Pusat guna keperluan

pemeriksaan kasus pidana suami Penggugat

sehingga memang tidak bisa menunjukkan

Sertipikat aslinya. Seharusnya sesuai dengan

kewenangan yang ada padanya, Tergugat harus

bertindak secara cermat dan hati-hati untuk tidak

mengalihkan dengan menerbitkan Sertipikat-

Sertipikat tersebut sebelum ada kejelasan secara

hukum mengenai status Sertipikat HGB Nomor 38/

Kuningan Barat, Jakarta Selatan.

Bahwa berdasarkan dan serangkaian fakta-

fakta tindakan Para Tergugat yang berkaitan dengan

Pengalihan Sertifikat HGB Nomor 38/Kuningan

Barat, Jakarta Selatan, terbukti bahwa Para

361
Tergugat melanggar UUPA Nomor 5 Tahun 1960 Jo.

Permendagri Nomor 5 Tahun 1973 tentang

Ketentuan-ketentuan Mengenai Tata Cara

Pemberian Hak Atas Tanah Jo. PP Nomor 10 Tahun

1961 tentang Pendaftaran tanah Jo. Peraturan

Menteri Muda Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1974

dan Nomor 1 Tahun 1977 tentang Bagian-bagian

Tanah Pengelolaan Serta Pendaftarannya. Di

samping itu perbuatan Para Tergugat terbukti

melanggar azas-azas umum pemerintahan yang baik

yaitu telah berbuat sewenang-wenang, melanggar

azas kecermatan, dan melanggar azas kepastian

hukum, sehingga tindakannya memenuhi ketentuan

Pasal 53 ayat (2) huruf a dan b Undang-undang

Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha

Negara Jo Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004

tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 5

Tahun 1986;

362
Terhadap gugatan Penggugat tersebut Majelis

Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta telah

menjatuhkan putusan sebagai berikut:

b. Putusan Majelis Hakim

MENGADILI

DALAM EKSEPSI

Menolak eksepsi Tergugat I, Tergugat II, Tergugat Ill,

Tergugat II Intervensi dan Tergugat II Intervensi II.

DALAM POKOK PERKARA

1. Mengabulkan gugatan Penggugat.

2. Membatalkan :

2.1. Surat Tergugat I (Kepala Kantor Pertanahan

Kotamadya Jakarta Selatan) No.2439/09-

02/S/SK&P tanggal 13 Nopember 2006

Perihal Tanah HGB No.38/Kuningan Barat,

Jakarta Seatan,

2.2. Surat Keputusan Tergugat II (Menteri Dalam

Negeri Republik Indonesia)

363
No.113/HPL/DA/1988 tanggal 25 Oktober

1988 Tentang Pemberian Hak Pengelolaan

atas nama PD SARANA JAYA DKI JAKARTA

atas sebagian tanah bekas HGB

No.38/Kuningan Barat seluas 7.154 m2,

2.3. Sertipikat HPL No.1/Kuningan Barat

Jakarta Selatan atas nama PD. SARANA JAYA

DKI JAKARTA, dan Sertipikat HGB

No.B119/Kuningan Barat tanggal 10 Agustus

1989 atas nama PT. BIMANTARA SARANA

PERKASA, berikut turutannya yang

diterbitkan oleh Tergugat I (Kepala Kantor

Pertanahan Kotamadya Jakarta Selatan),

2.4. Surat Keputusan Tergugat III (Menteri

Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan

Nasional) No.580/HGB/BPN/1996 tanggal 28

Agustus 1996 tentang Pemberian HGB atas

nama PT. FAJAR SURYA SHAKTI seluas 2.629

364
m2 yang merupakan sebagian dan tanah

bekas HGB No.38/Kuningan Barat Jakarta

Selatan,

2.5. Sertipikat HGB No. 198/Kuningan Barat

atas nama PT. FAJAR SURYA SHAKTI berikut

turutannya yang diterbitkan oleh Tergugat I

(Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya

Jakarta Selatan),

3. Mewajibkan kepada:

3.1. Tergugat I (Kepala Kantor Pertanahan

Kotamadya Jakarta Selatan), untuk mencabut

surat No.2439/09-02/S/SK&P tanggal 13

Nopember 2006 Perihal Tanah HGB

No.38/Kuningan Barat, Jakarta Selatan;

3.2. Tergugat II (Menteri Dalam Negeri Republik

Indonesia), untuk mencabut Surat Keputusan

No. 113/HPL/DA/1988 tanggal 25 Oktober

atas nama PD. SARANA JAYA DKI JAKARTA,

365
dan Sertipikat HGB No.B119/Kuningan Barat

tanggal 10 Agustus 1989 atas nama PT.

BIMANTARA SARANA PERKASA, berikut

turutannya;

3.4. Tergugat III (Menteri Negara Agraria/Kepala

Badan Pertanahan Nasional), untuk mencabut

Surat Keputusan No.580/HGB/BPN/1996

tanggal 28 Agustus 1996 tentang Pemberian

HGB atas nama PT. FAJAR SURYA SHAKTI

seluas 2.629 m2 yang merupakan sebagian

dari tanah bekas HGB No.38/Kuningan Barat

Jakarta Selatan;

3.5. Tergugat I (Kepala Kantor Pertanahan

Kotamadya Jakarta Selatan), untuk mencabut

Sertipikat HGB No.198/Kuningan Barat atas

nama PT. FAJAR SURYA SHAKTI berikut

turutannya;

366
4. Memerintahkan kepada Tergugat I (Kepala

Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Selatan)

untuk memproses permohonan Penggugat untuk

membalik nama Sertipikat HGB No.38/Kuningan

Barat, Jakarta Selatan ke atas nama Penggugat.

5. Menghukum Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III,

Tergugat II Intervensi dan Tergugat II Intervensi II

secara tanggung renteng membayar biaya perkara

sebesar Rp. 626. 000,- (enam ratus dua puluh

enam ribu rupiah).

Terhadap putusan Nomor 14/G/2007/PTUN.JKT

tersebut Tergugat mengajukan banding ke

Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta.

c. Putusan Banding

MENGADILI

- Menerima permohonan banding dari Tergugat

I/Pembanding I, Tergugat II /Pembanding II,

Tergugat IIl/Pembanding III, Tergugat II Intervensi

367
I/Pembanding IV dan Tergugat II Intervensi

Il/Pembanding V ;

- Membatalkan putusan Pengadilan Tata Usaha

Negara Jakarta No.14/G/2007/PTUN-JKT tanggal

31 Juli 2007 yang dimohonkan banding;

MENGADILI SENDIRI

DALAM EKSEPSI

Menerima Eksepsi dari Tergugat Ill/Pembanding III

dan Tergugat II Intervensi Il/Pembanding V;

DALAM POKOK PERKARA:

- Menyatakan gugatan para Penggugat/Terbanding

tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijke Verklaard)

- Menghukum

- Menghukum Penggugat/Terbanding membayar

biaya perkara di kedua tingkat Pengadilan dan

untuk tingkat banding ditetapkan sejumlah Rp.

368
339.000, (tiga ratus tiga puluh sembilan ribu

rupiah).

Terhadap putusan banding tersebut

Penggugat/Terbanding mengajukan kasasi ke

Mahkamah Agung.

d. Putusan Kasasi

MENGADILI

- Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon

Kasasi: Ny. Susuna Dewi tersebut;

- Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Tata

Usaha Negara Jakarta No.

178/B/2007/PT.TUN.JKT. tanggal 17 Desember

2007 yang membatalkan putusan Pengadilan Tata

Usaha Negara Jakarta No. 14/G/2007/PTUN.JKT.

tanggal 31 Juli 2007;

MENGADILI SENDIRI

DALAM EKSEPSI:

369
Menolak eksepsi Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III,

Tergugat II Intervensi I dan Tergugat II Intervensi II;

DALAM POKOK PERKARA:

1. Mengabulkan gugatan Penggugat;

2. Membatakan:

2.1. Surat Tergugat I (Kepala Kantor Pertanahan

Kotamadya Jakarta Selatan) No. 2439/09-

02/S/SK&P tanggal 13 Nopember 2006

perihal Tanah Hak Guna Bangunan No.

38/Kuningan Barat, Jakarta Selatan;

2.2. Surat Keputusan Tergugat II (Menteri Dalam

Negeri RI.) No. 113/HPL/DA/1988 tanggal 25

Oktober 1988 tentang Pemberian Hak

Pengelolaan atas nama PD. Sarana Jaya DKI

Jakarta atas sebagian tanah bekas Hak Guna

Bangunan No. 38/Kuningan Barat seluas

7.154 m2;

370
2.3. Sertifikat HPL No. 1/Kuningan Barat, Jakarta

Selatan atas nama PD. Sarana Jaya DKI

Jakarta, dan Sertifikat HGB No.

B119/Kuningan Barat tanggal 10 Agustus

1989 atas nama PT. Bimantara Sarana

Perkasa, berikut turutannya yang diterbitkan

oleh Tergugat I (Kepala Kantor Pertanahan

Kotamadya Jakarta Selatan);

2.4. Surat Keputusan Tergugat Ill (Menteri Negara

Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional)

No. 580/HGB/BPN/1996 tanggal 28 Agustus

1996 tentang Pemberian Hak Guna Bangunan

atas nama PT. Fajar Surya Shakti seluas

2.629 m2 yang merupakan sebagian dari

tanah bekas Hak Guna Bangunan No.

38/Kuningan Barat, Jakarta Selatan;

2.5. Sertifikat Hak Guna Bangunan No.

198/Kuningan Barat atas nama PT. Fajar

371
Surya Shakti berikut turutannya yang

diterbitkan oleh Tergugat I (Kepala Kantor

Pertanahan Kotamadya Jakarta Selatan);

3. Mewajibkan kepada:

3.1. Tergugat I (Kepala Kantor Pertanahan

Kotamadya Jakarta Selatan), untuk mencabut

surat No. 2439/09-02/S/SK&P tanggal 13

Nopember 2006 perihal Tanah Hak Guna

Bangunan No. 38/Kuningan Barat, Jakarta

Selatan

3.2. Tergugat II (Menteri Dalam Negeri R.I.), untuk

mencabut Surat Keputusan No.

113/HPL/DA/1 988 tanggal 25 Oktober 1988

atas nama PD. Sarana Jaya DKI Jakarta dan

Sertifikat Hak Guna Bangunan No.

B119/Kuningan Barat tanggal 10 Agustus

1989 atas nama PT. Bimantara Sarana

Perkasa berikut turutannya;

372
3.3. Tergugat III (Menteri Negara Agraria/Kepala

Badan Pertanahan Nasional), untuk mencabut

Surat Keputusan No. 580/HGB/BPN/1996

tanggal 28 Agustus 1996 tentang Pemberian

HGB atas nama PT. Fajar Surya Shakti seluas

2.629 m2 yang merupakan sebagian dari

tanah bekas HGB No. 38/Kuningan Barat,

Jakarta Selatan;

3.4. Tergugat I (Kepala Kantor Pertanahan

Kotamadya Jakarta Selatan), untuk mencabut

Sertifikat Hak Guna Bangunan No.

198/Kuningan Barat atas nama PT. Fajar

Surya Shakti berikut turutannya;

4. Memerintahkan kepada Tergugat I (Kepala Kantor

Pertanahan Kotamadya Jakarta Selatan) untuk

melanjutkan proses permohonan Penggugat untuk

membalik nama Sertifikat HGB No. 38/Kuningan

Barat, Jakarta Setatan ke atas nama Penggugat;

373
Menghukum Termohon Kasasi I, II, III, IV,

V/Tergugat I, II, III dan Tergugat II Intervensi I, II

untuk membayar biaya perkara dalam semua

tingkat peradilan, yang dalam tingkat kasasi ini

ditetapkan sebesar Rp. 500.000,- (lima ratus ribu

rupiah);

Terhadap putusan kasasi tersebut di atas

Tergugat/Pemohon Kasasi mengajukan Peninjauan

Kembali.

e. Putusan Peninjauan Kembali

MENGADILI

Menolak permohonan peninjauan kembali dari

Pemohon Peninjauan Kembali:

1. Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta

Selatan,

2. Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia,

3. Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan

Nasional,

374
4. Perusahaan Daerah Pembangunan Sarana Jaya

Daerah Khusus Ibukota Jakarta,

5. PT. Bima Sarana Perkasa tersebut

Menghukum Pemohon Peninjauan Kembali I

s/d V dahulu Termohon Kasasi I s/d V/Tergugat I,

II, III- Tergugat II Intervensi I, Il/Para Pembanding

untuk membayar biaya perkara dalam pemeriksaan

peninjauan kembali ini sebesar Rp. 2.500.000,- (dua

juta lima ratus ribu rupiah);

f. Tahapan Pelaksanaan Putusan

Berdasarkan Putusan Pengadilan yang telah

berkekuatan hukum tetap sebagaimana tersebut di

atas, Ny. Susuna Dewi membuat surat permohonan

kepada Ketua PTUN dengan perihal peringatan agar

tergugat melaksanakan bunyi putusan PTUN yang

telah berkekuatan hukum tetap.

Terhadap surat tersebut kemudian Ketua

Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta telah

375
mengeluarkan surat Nomor

W2.TUN1.148/HK.06/VII/2009 tanggal 15 Juli

2009 perihal pengawasan pelaksanaan putusan

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,

yang memerintahkan kepada Tergugat I, Tergugat II,

dan Tergugat III untuk melaksanakan putusan

tersebut.

Berdasarkan surat permohonan Penggugat

tanggal 12 Januari 2010 yang pada pokoknya berisi

permohonan agar mengumumkan pada media cetak

serta mengajukan kepada Presiden dan Dewan

Perwakilan Rakyat, Ketua Pengadilan Tata Usaha

Negara mengeluarkan penetapan Nomor

14/G/2007/PTUN-JKT yang memerintahkan

kepada panitera untuk mengumumkan melalui

media cetak setempat terhadap Tergugat I, Tergugat

II dan Tergugat III yang belum melaksanakan

Putusan Pengadilan.

376
Dalam perkara Susuna Dewi tersebut

kemudian telah dimuat di media cetak yaitu Media

Indonesia pada hari Kamis 4 Februari 2010 yang

berisi pengumuman yang ditulis oleh Panitera

Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dengan

tujuan agar diketahui oleh masyarakat luas.

Selain itu, Ketua Pengadilan Tata Usaha

Negara Jakarta mengeluarkan surat nomor

W2.TUN1.23/HK.06/II/2010 tertanggal 9 Februari

2010 perihal pengawasan pelaksanaan putusan

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang

ditujukan kepada Presiden yang berisi agar Presiden

Republik Indonesia memerintahkan Tergugat I,

Tergugat II, dan Tergugat III melaksanakan putusan

pengadilan.

Selanjutnya Ketua Pengadilan Tata Usaha

Negara Jakarta juga mengirimkan surat nomor

W2.TUN1.23/HK.06/II/2010 tertanggal 9 Februari

377
2010 ditujukan kepada Ketua Dewan Perwakilan

Rakyat Republik Indonesia perihal pengawasan

pelaksanaan putusan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap yang berisi agar Ketua DPR

menjalankan fungsi pengawasan.

Berita acara pelaksanaan putusan (eksekusi)

yang dibuat oleh Ketua PTUN Jakarta menjelaskan,

bahwa pada kenyataannya sampai saat ini Tergugat

belum melaksanakan putusan yang telah

berkekuatan hukum tetap maka Ketua akan

mengeluarkan Surat Perintah kepada Tergugat dan

tembusannya akan disampaikan kepada Menteri

Pendayagunaan Aparatur Negara, maka Ketua

Pengadilan menyatakan bahwa Pengawasan

pelaksanaan putusan pada tanggal 2 Juli 2010 telah

selesai.

378
BAB IV

HUKUM ADMINISTRASI PUBLIK & BIROKRASI

A. BIROKRASI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM


ADMINISTRASI NEGARA

1 Pengertian Birokrasi

Birokrasi adalah alat kekuasaan bagi yang


menguasainya, dimana para pejabatnya secara bersama-
sama berkepentingan dalam kontinuitasnya. Ditinjau dari
sudut etimologi, maka perkataan birokrasi berasal dari
kata bureau dan kratia (Yunani), bureau artinya meja
atau kantor dan kratia artinya pemerintahan. Jadi
birokrasi berarti pelayanan yang diberikan oleh pemerintah
dari meja ke meja. Max Weber memandang Birokrasi
sebagai suatu istilah kolektif bagi suatu badan yang terdiri
atas pejabat-pejabat atau sekelompok yang pasti dan jelas
pekerjaannya serta pengaruhnya dapat dilihat pada semua
macam organisasi.

Secara teoritis birokrasi adalah alat kekuasaan untuk


menjalankan keputusan-keputusan politik, namun dalam

379
prakteknya birokrasi telah menjadi kekuatan politik yang
potensial yang dapat merobohkan kekuasaan. Birokrasi
juga merupakan alat politik untuk mengatur dan
mewujudkan agenda-agenda politik, sifat kekuasaan aparat
birokrasi sebenarnya bukan tanpa kendali tetapi tetap
dibatasi oleh perangkat kendali dari luar dan dari dalam.
Birokrasi juga dapat dibedakan dengan dua tipe, yaitu tipe
birokrasi klasik dan birokrasi perilaku.

1.1 Pengertian Birokrasi Menurut Para Ahli


Defenisi Birokrasi menurut para ahli ;
1. Weber dalam H.G Surie (1987:99) adalah sebagai
suatu daftar atau sejumlah daftar ciri-ciri yang
sifat pentingnya yang relative secara
hubungannya satu sama lain telah banyak
menimbulkan perbedaan.
2. Setiyono (2004:9) mengatakan birokrasi adalah
sebuah ruang mesin Negara yang di dalamnya
berisi orang-orang (pejabat) yang digaji dan
dipekerjakan oleh Negara untuk
melaksanakanakan kebijakan politik Negara.

Berdasarkan definisi diatas, maka dapat disimpulkan


bahwa birokrasi adalah merupakan lembaga pemerintah

380
yang menjalankan tugas pelayanan pemerintahan baik
ditingkat pusat maupun ditingkat daerah Pasolong
(2008:68).

1.2 Ciri-ciri Birokrasi

Birokrat dalam melaksanakan tugas dan


kewenangannya harus dilandasi persepsi dan kesadaran
hukum yang tinggi, adapun ciri-ciri birokrasi, yaitu :
1) Adanya pelaksanaan prinsip-prinsip organisasi
dengan sepenuhnya;
2) Adanya peraturan yang benar-benar ditaati;

3) Para pejabat bekerja dengan penuh perhatian


menurut kemampuan masing-masing (sense of
belonging);
4) Para pejabat terikat oleh disiplin;

5) Para pejabat diangkat berdasarkan syarat-syarat


teknis berdasarkan peraturan (meryt system);
6) Adanya pemisah yang tegas antara usuran dinas dan

urusan pribadi.

1.3 Asas-asas dalam Melaksanakan Birokrasi

381
Dalam melaksanakan birokrasi negara, setiap pejabat
dalam mekasanakan tugasnya dilengkapi dengan dua asas,
yaitu :
a) Asas Legalitas

Asas ini berarti tidak ada satu pun perbuatan atau


keputusan dari pejabat atau para birokrat yang
bersangkutan, boleh dilakukan tanpa dasar suatu
ketentuan undang-undang, untuk itu para pejabat
atau birokrat harus harus memperhatikan delapan
unsur legalitas, yaitu peraturan tertulis,
penyebaran atau penggunaan peraturan, tidak
berlaku surut, peraturan bisa dimengerti, tidak
bertentangan satu sama lain, tidak menurut diluar
kemampuan orang, tidak sering berubah-ubah dan
sesuai antara peraturan dan pelaksanaannya.
b) Asas Freies Ermessen atau Diskresi

Artinya pejabat atau para birokrat tidka boleh


menolak mengambil keputusan dengan alasan
tidak ada peraturan, oleh karena itu diberikan
kebebasan untuk mengambil keputusan menurut
pendapatnya sendiri asalkan tidak melanggar asas
legalitas.

2. Pengertian Hukum Administrasi Negara

382
2.1 Hukum Administrasi Negara adalah seperangkat
peraturan yang memungkinkan administrasi negara
menjalankan fungsinya, yang sekaligus juga
melindungi warga terhadap sikap tindak administrasi
negara, dan melindungi administrasi negara itu
sendiri.
2.2 HAN sebagai menguji hubungan hukum istimewa
yang diadakan memungkinkan para pejabat
(ambtsdrager) adminstrasi negara melakukan tugas
mereka yang khusus. Lebih lanjut Utrecth
menyebutkan bahwa HAN adalah hukum yang
mengatur sebagian lapangan pekerjaan adminsitrasi
negara. Bagian lain diatur oleh Hukum Tata Negara
(hukum negara dalam arti sempit), Hukum Privat, dan
sebagainya.

Berdasarkan beberapa definisi tersebut tampak


bahwa dalam hukum administrasi negara terkandung dua
aspek yaitu; pertama, aturan-aturan hukum yang
mengatur dengan cara bagaimana alat-alat perlengkapan
negara itu melakukan tugasnya; kedua, aturan-aturan
hukum yang mengatur hubungan antara alat perlengkapan
administrasi negara dengan para warga negaranya. Seiring

383
dengan perkembangan tugas-tugas pemerintahan,
khususnya dalam ajaranwelfare state, yang memberikan
kewenangan yang luas kepada Administrasi Negara
termasuk kewenangan dalam bidang legislasi, maka
peraturan-peraturan hukum dalam hukum adminsitrasi
negara di samping dibuat oleh lembaga legislatif, juga ada
peraturan-peraturan yang dibuat secara mandiri oleh
administrasi negara. Dengan demikian, pertanyaan yang
diajukan diatas, dapat diberikan jawaban bahwa hukum
administrasi negara adalah hukum dan peraturan
peraturan yang berkenaan dengan pemerintah dalam arti
sempit atau administrasi negara, peraturan-peraturan
tersebut dibentuk oleh lembaga legislatif untuk mengatur
tindakan pemerintah dalam hubungannya dengan warga
negara, dan sebagian peraturan-peraturan itu dibentuk
pula oleh administrasi negara. Penulis lain menyebutkan
bahwa hukum administrasi negara mencakup hal-hal
sebgai berikut :
a) Sarana-sarana (instrumen) bagi penguasa untuk
mengatur, menyeimbangkan, dan mengendalikan
berbagai kepentingan masyarakat;
b) Mengatur cara-cara partisipasi warga masyarakat
dalam proses penyusunan dan pengendalian tersebut,
termasuk proses penentuan kebijaksanaan;

384
c) Perlindungan hukum bagi warga masyarakat;

d) Menyusun dasar-dasar bagi pelaksanaan


pemerintahan yang baik.

3. Etika

3.1 Etika Administrasi Negara dan Pentingnya Etika


Administrasi Negara dalam Birokrasi

Etika Administrasi Negara (Birokrasi Publik)


Etika Administrasi negara (birokrasi publik) sebagai
perangkat nilai yang menjadi acuan atau penuntun bagi
tindakan manusia dalam organisasi (Muhajir Darwin,
1999). Dengan demikian etika Administrasi negara
(birokrasi publik) memiliki dua fungsi :
1. Sebagai pedoman, referensi bagi Administrasi negara
(birokrasi publik) dalam menjalankan tugas dan
kewenangannya agar tindakan dalam organisasi dapat
dinilai baik, terpuji dan tidak tercela.
2. Etika Administrasi negara (birokrasi publik) sebagai
standar penilaian sifat, perilaku dan tidakan
administrasi negara (birokrasi publik) di nilai baik,
terpuji dan tidak tercela.

385
Seperti telah dikemukakan sebelumnya. Bahwa etika
merupakan cabang dari ilmu filsafat, nilai, dan moral. Etika
bersifat abstrak dan mempersoalkan baik dan buruk,
bukan mempersoalkan benar dan salah. Sedangkan
birokrasi publik (administrasi negara) bersifat kongkrit dan
harus mewujudkan apa yang harus di inginkan.(get the job
done). Berdasarkan gambaran ini timbul masalah :
1. Bagaimana menghubungkan antar birokrasi publik
seperti ketertiban, efesiensi, kebijakan publik,
kemanfaatan, produktivitas yang dapat menjelaskan
etika dalam praktek.
2. Bagaimana gagasan-gagasan etika seperti mewujudkan
baik dan minghidari yang buruk untuk menjelaskan
hakekat administrasi publik (birokrasi publik).

Pertanyaan berikutnya adalah apa yang menyebabkan


berkembangnya kajian-kajian mengenai etika birokrasi
publik muncul. Menurut Nicholas Henry (1995) ada tiga
faktor yang menyebabkan konsep etika administrasi
negara (birokrasi publik) menjadi berkembang.

1) Hilangnya dekotomi politik dan administrasi negara

2) Tampilnya teori-teori pengambilan keputusan, ketika

masalah perilaku manusia menjadi tema sentral

386
dibandingkan dengan pendekatan sebelumnya, yaitu
rationalitas, efesiensi.
3) Berkembangnya pemikiran-pemikiran pembaruan
yang disebutkan sebagai counter cultur critiqu dalam
kelompok Administrasi Negara Baru.

3.2 Pentingnya Etika Administrasi Negara (Birokrasi


Publik)

Etika yang menganalisis tentang moralitas, yang


mempersoalkan tentang baik dan buruk bukan benar dan
salah, tentang sikap tindakan dan perilaku manusia dalam
hubangan dengan sesamanya dalam masyarakat,
organisasi publik atau bisnis, maka etika memiliki peran
yang penting dalam praktek administrasi negara (birokrasi
publik).
Dalam paradigma dekotomi politik dan administrasi
seperti yang dijelaskan oleh Wilson di jelaskan bahwa
pemerintah memiliki dua fungsi yang berbeda (two distinct
functions of government) yaitu fungsi politik dan fungsi
administrasi. Fungsi politik yang berkaitan dengan
pembuatan kebijakan publik sedang fungsi administrasi
bekenaan dengan pelaksanaan kebijakan publik. Jadi
kekuasaan membuat kebijakan publik ada dalam

387
kekuasaan politik dan melaksanakan kebijakan ada dalam
administrasi negara. Namun karena administrasi negara
(birokrasi publik) dalam melaksanakan kebijakan publik,
yakni keleluasaan untuk menafsirkan kebijakan politik
dalam bentuk program, proyek maka timbul pertanyaan
apakah dalam melaksanakan itu dapat dijamin bahwa itu
dilaksanakan dengan baik dan benar. Atas dasar inilah
etika diperlukan dalam administrasi negara (birokrasi
publik). Etika dapat dijadikan pedoman, referensi dan
petunjuk tentang apa yang harus dilakukan oleh birokrasi
dalam menjalankan kebijakan politik. Disamping itu dapat
dipakai ukuran nilai atau standar penilaian perilaku,
apakah kebijakan itu dijalankandengan baik.

Disamping itu perilaku administrasi negara (birokrasi


publik) tsb bukan hanya mempengaruhi dirinya, tetapi juga
masyarakat yang dilayani. Administrasi negara (birokrasi
publik) bekerja atas dasar kepercayaan, karena ia bekerja
untuk negara yang berarti untuk rakyat. Rakyat
mengharapkan jaminan bahwa para birokrat dalam
menjalankan kebijakan politik dan menjalankan pelayanan
publik yang dibiayai oleh dana publik senantiasa
mendasarkan diri pada etika yang selaras dengan
kedudukannya. Administrasi negara (birokrasi publik)

388
merupakan sebuah sistem yang di dalamnya ada
kecenderungan untuk bertambah baik, unit organisasinya
dan kewenangannya, sehingga perlu menyandarkan diri
pada nilai-nilai moral dan etika.

Administrasi negara (birokrasi publik) dipandang telah


melenceng dari yang seharusnya (Applebei 1952).
Administrasi negara (birokrasi publik) selalu dilihat sebagai
masalah teknis, bukan dilihat masalah moral sehingga
timbul dari berbagai persoalan dalam bekerjanya
Administrasi negara (birokrasi publik) (Golembiewski,
1965). Administrasi negara (birokrasi publik) sebagai
organisai yang ideal, telah merusak dirinya dan masyarakat
dengan ketiadaan nilai-nilai moral dan etika yang berpusat
pada manusia (Hammel, 1987).

Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat


disimpulkan bahwa etika diperlukan dalam administrasi
negara (birokrasi publik), bukan saja berfungsi sebagai
pedoman, referensi dan penuntun apa yang harus
dilakukan dalam menjalankan tugas, tetapi juga berfungsi
sebagi standar dalam menilai apakah sifat dan perilaku
serta tindakan sesuai dengan norma-norma yang berlaku.

389
3.3 Gambaran Umum Birokrasi di Indonesia

Dalam makalah ini saya mencoba untuk memaparkan


secara jelas kondisi birokrasi di Indonesia. Di Negara-
negara berkembang, tipe birokrasi yang diidealkan oleh
Max Weber Nampak belum dapat berkembang dan berjalan
dengan baik. Sebagai salah satu Negara yang berkembang
Indonesia tidak terlepas dari realita di atas. Meski sudah
mengenal birokrasi yang modern, namun jauh sebelum itu,
masyarakat Indonesia sudah mengenal dan menerapkan
sejenis birokrasi kerajaan, sehingga dalam upaya
penerapan birokrasi yang modern, yang terjadi hanya
bentuk luarnya saja, belum tata nilainya. Sebagaimana
yang telah ditetapkan di Indonesia lebih mendekati
pengertian Weber mengenai dominasi patrimonial, dimana
jabatan dan perilaku di dalam hirarki lebih didasarkan
pada hubungan pribadi. Dalam model Weber , tentang
dominasi birokrasi patrimonial individu-individu dan
golongan yang berkuasa dan mengontrol kekuasaaan dan
otoritas jabatan untuk kepentingan ekonomi politik
mereka.
Ciri-ciri dominasi birokrasi patrimonial menurut
Weber yang hampir secara keseluruhan terjadi di Indonesia
antara lain:

390
1) Pejabat-pejabat disaring atas kineerja pribadi

2) Jabatan dipandang sebagai sumber kekuasaan atau

kekayaaan
3) Pejabat-pejabat mengontrol, baik fungsi politik atau

pun administrative
4) Setiap tindakan diarahkan oleh hubungan pribadi dan

politik

3.4 Penampilan Birokrasi Pemerintahan di Indonesia

Tidak mudah mengidentifikasi penampilan birokrasi


pemerintah di Indonesia. Namun, perlu dikemukakan lagi,
bahwa organisasi pada prinsipnya berintikan rasionalitas
dengan kriteria-kriteria umum seperti efektifitas, efesiensi,
dan pelayanan yang sama kepada masyarakat.

Ada beberapa aspek pada penampilan birokrasi di


Indonesia yakni:
1) Sentralisasi yang cukup kuat.

Sentralisasi sebenarnya merupakan salah satu ciri


umum yang melekat pada birokrasi yang rasional. Di
Indonesia, kecenderungan sentralisasi yang amat kuat
merupakan slah satu aspek yang menonjol dalam
penampilan birokrasi pemerintahan. Hal ini disebabkan

391
karena birokrasi pemerintah bekerja dan berkembang
dalam lingkungan yang kondusif terhadap hidup dan
berkembangnya nilai-nilai sentralisrik terssebut.

2) Menilai tinggi keseragaman dan struktur birokrasi

Sama seperti sentralisasi, keseragaman dalam


struktur juga merupakan salah satu cirri umum yang
sering melekat pada setiap organisasi birokrasi. Di
Indonesia, keseragaman atau kesamaan benetuk susunan,
jumlah unit, dan nama tiap unit birokrasi demikian
menonjol dalam struktur birokrasi pemerintah.

3) Pendelegasian wewenang yang kabur

Dalam birokrasi Indonesia, nampaknya pendelegasian


wewenang masih menjadi masalah. Meskipun struktur
birokrasi pada pemerintah di Indonesian sudah hirarkis,
dalam praktek perincian wewenang menurut jenjang sangat
sulit dilaksanakan. Dalam kenyataannya, segala keputusan
sangat bergantung pada pimpinan tertinggi dalam
birokrasi. Sementara hubungan antar jenjang dalam
birokrasi diwarnai oleh pola hubungan pribadi.

4) Kesulitan menyusun uraian tugas dan analisis jabatan

392
Meskipun perumusan uraian tugas dalam birokrasi
merupakan kebutuhan yang sangat nyata, jarang sekali
birokrasi kita memilikinya secara lengkap. Kalaupun ada
sering tidak dijalankan secara konsisten. Disamping
hambatan yang berkaitan dengan keterampilan teknis
dalam penyusunannya, hambatan yang dirasakan adalah
adanya keengganan merumuskannya dengan tuntas.
Kesulitan lain yang dihadapi birokrasi di Indonesia adalah
kesulitan dalam merumuskan jabatan fungsional. Secara
mendasar, jabatan fungsional akan berkembang dengan
baik jika didukung oleh rumusan tugas yang jelas serta
spesialisasi dalam tugas dan pekerjaan yang telah
dirumuskan secara jelas pula. Selai itu masih banyak
aspek-aspek lain yang menonjol dalam birokrasi di
Indonesia, diantarannya adalah perimbangan dalam
pembagian penghasilan, yaitu selisih yang amat besar
antara penghasilan pegawai pada jenjang tertinggi dan
terendah.

Hal lain yang cukup menarik dan dapat dijumpai


dalam penampilan birokrasi pemerintah di Indonesia
adanya upacara-upacara yang bersifat formalitas dan
hubungan yang bersifat pribadi.hubungan yang bersifat
pribadi sangat mendapat tempat dalam budaya birokrasi di

393
Indonesia, karena dengan adanya hubungan pribadi
dengan para key person banyak persoalan yang sulit
menjadi mudah atau sebaliknya. Dapat dikatakan bahwa
birokrasi di Negara kita belum baik dan masih banyak yang
perlu diperbaiki.

3.5 Masalah dan Kelemahan Dari Birokrasi di Indonesia


Sekarang ini masih banyak masalah yang menimpa
masyarakat mengenai pelayanan umum, seperti masalah
perijinan, pembuatan, perpanjangan surat-surat yang
dibutuhkan masyarakat, misalnya pembuatan KTP, Kartu
Keluarga, dan surat-surat pengantar untuk diajukan ke
instansi yang lebih tinggi. Masalah timbul dari masyarakat
yang tidak merasa puas dengan pelayanan yang diberikan,
dan beberapa faktor internal pada kinerja pelayan publik
pada kecamatan sebagai instansi tingkat pemerintahan
yang berwenang baik dalam masalah pelayanannya seperti
berapa lama pembuatan, kinerja pelayannya ataupun
mengenai biaya.

Penyelenggaraan pelayanan oleh pemerintah yang


cenderung menganggap bahwa sebaik apapun dalam
memberikan pelayanan pada masyarakat, toh tidak akan
merubah gaji dan pendapatan mereka. Profesionalisme

394
bukan menjadi tujuan utama mereka. Mereka mau
melayani hanya karena tugas dari pimpinan instansi atau
karena sebagai pegawai pemerintah, bukan karena
tuntutan profesionalisme kerja. Ini yang membuat
keberpihakannya kepada masyarakat menjadi sangat
rendah. Pelayan publik akan bersikap ramah kepada
masyarakat pengguna layanan kalau ada “sesuatu” yang
memberikan keuntungan atau melatar belakanginya,
seperti hubungan pertemanan, status sosial ekonomi warga
dan lain-lain. Bagi masyarakat pengguna layanan yang
kebetulan mempunyai kenalan, sebagai kerabat, saudara,
orang kaya yang dapat memberikan “ucapan terima kasih”,
serta mereka yang mempunyai status sosial terpandang di
masyarakat, biasanya akan memperoleh “perlakuan
khusus” dari para pelayan publik. Dalam situasi demikian,
maka budaya antri menjadi hilang, sebaliknya budaya
pelayanan “jalan pintas’ menjadi pilihan stategis dan
menjadi hal yang biasa dilakukan. Ini hanya mungkin
dilakukan oleh masyarakat yang memiliki kelebihan uang,
status, dan sejenisnya yang tidak dimiliki oleh masyarakat
biasa.

Dari penjelasan diatas dapat di ketahui bagaimana


pelayanan birokrasi pemerintah terhadap masyarakat

395
sangat belum memenuhi kewajibannya dan sangat tidak
mengenakan pelayanan yang diberikannya itu, kita pun
barangkali juga pernah mengalami secara langsung betapa
tidak nyamannya berurusan dengan birokrasi. Birokrasi
dan Pelayanan Publik Yang Lamban. Kategori keluhan ini
berkaitan dengan karakter eksternal birokrasi, yaitu
karakter birokrasi dalam menghadapi pihak-pihak di luar
dirinya, terutama dengan pihak publik sebagai klien utama
dari pelayanan jasa yang diberikannya. Secara umum,
muncul keluhan bahwa birokrasi itu bersifat bertele-tele,
lamban, berbelit-belit dan sebagainya. Apakah memang
birokrasi itu harus selalu berwatak bertele-tele, lamban
atau berbelit-belit? Sesungguhnya tidak harus demikian.
Birokrasi akan menjadi demikian manakala para aparatur
birokrasi lebih berorientasi pada aturan-aturan atau
prosedur dalam menjalankan tugasnya ketimbang pada
tujuan pokok dari tugasnya.Dengan kata lain, situasi itu
akan tercipta manakala aparatur birokrasi mementingkan
prosedur demi prosedur itu sendiri.

Ini semua adalah suatu permasalahan yang sudah sering


terjadi dalam birokrasi pemerintah. kurang tanggapnya
para birokrat, terlalu banyak instansi pemerintah adalah
beberapa penyebab menjadi lamban dan bertele-tele
pelayanan terhadap masyarakat.

396
B. Birokrasi Dalam Sistem Administrasi Negara Di
Indonesia

Banyak sistem administrasi negara yang kita jumpai di


dunia ini dan hampir disetiap negara mempunyai sistem
administrasi negara. Bahkan dari administrasi negara
tersebut memiliki cabang lagi yaitu subsistem administrasi
negara di setiap wilayah negara tertentu.

Subsistem negara administrasi negara tersebut


menggambarkan hubungan antara administrasi negara
dengan lingkungan sekitar baik lingkungan fisik maupun
lingkungan masyarakat
Untuk mempelajari hubungan administrasi negara dan
lingkungan tersebut maka diperlukan suatu pendekatan

397
yang diambil dari ilmu kehidupan yaitu ekologi. Ekologi
adalah suatu ilmu yang mempelajari hubungan pengaruh
yang bersifat timbal balik antara alam sekitar dengan
organisme hidup.

Cabang atau subsistem dari ilmu administrasi tersebut


disebut ekologi administrasi negara. Ekologi administrasi
negara merupakan perkembangan lanjut dari
perkembangan perilaku dan bukan administrasi
lingkungan sebagaimana dipopulerkan oleh sebagian orang
yang sebenarnya administrasi lingkungan itu belum pernah
ditemukan dalam berbagai literatur ilmu administrasi.
Dalam perkembangan perilaku dari aspek budaya dikaji
pula berbagai pola perilaku seseorang ataupun sekelompok
orang (suku) yang orientasinya berkisar tentang kehidupan
bernegara, penyelenggaraan administrasi negara, politik,
hukum, adat istiadat dan norma kebiasaan yang berjalan,
dipikir, dikerjakan, dan dihayati oleh seluruh anggota
masyarakat setiap harinya, serta dicampurbaurkan dengan
prestasi di bidang peradaban (Inu Kencana, dkk, Ilmu
Administrasi Publik; 140).

Ekologi administrasi adalah ilmu administrasi yang


menaruh perhatian atas faktor-faktor ekologi yang
mempengaruhinya. Kalau administrasi tentang lingkungan,
dimaksudkan adalah administrasi tentang lingkungan. Hal
itu lebih sesuai jika dikatakan sebagai ilmu kebijakan
lingkungan. Dalam hubungan dengan ekologi administrasi
negara, faktor-faktor ekologis ini banyak sekali dan
bermacam-macam yang oleh para ilmuan dan peneliti
diperinci untuk memudahkan menyelidiki dan mempelajari

398
hubungan pengaruh timbal balik antara faktor-faktor
tersebut dengan administrasi negara.

Sistem administrasi negara Indonesia sejalan dengan


aspek-aspek kehidupan nasional, sehingga faktor-faktornya
terdiri dari faktor-faktor yang beraspek alamiah dan sosial
(kemasyarakatan). Faktor-faktor yang beraspek alamiah,
yaitu letak geografis, keadaan dan kekayaan alam, keadaan
dan kemampuan penduduk sedangkan faktor-faktor yang
beraspek sosial (kemasyarakatan), yaitu ideologi, politik,
ekonomi, sosial-budaya dan pertahanan-keamanan
(militer).(S. Pamudji “Ekologi Administrasi Negara”).

Administrasi negara sebagai organ birokrasi negara adalah


alat-alat negara yang menjalankan tugas-tugas negara, di
antaranya menjalankan tugas pemerintahan. Pemikiran ini
mengasumsikan bahwa pemerintah tidak selalu sama
dengan negara. Birokrasi dan Administrasi itu mempunyai
hubungan yang sangat erat. Setiap organisasi tidak akan
lepas dari sebuah birokrasi dan administrasi. Karena
birokrasi dan administrasi menyatupadukan aktivitas
organisasi menuju titik yang sama.

1. Birokrasi

Dengan birokrasi pelayanan dapat dilakukan lebih mudah


sekaligus memuaskan masyarakat. Untuk itu birokrasi
harus mampu melayani seluruh stakeholder secara
proporsional dan profesional. Tidak semua stakeholder
mudah dilayani mengingat banyak kepentingan didalamnya
sehingga upaya tersebut akan menjadi sulit tatkala
birokrasi sudah berpihak kepada kepentingan salah satu
stakeholder. Untuk itu birokrasi harus terus memacu

399
kemampuan diri dan tetap bersikap independen.
Mengabaikan kemampuan seperti itu akan mendorong
birokrasi jatuh kedalam kubangan hujatan masyarakat.

Birokrasi pada umumnya dipandang sebagai pihak yang


sekedar melaksanakan kebijakan yang telah diputuskan
ditempat lain. Tetapi ketika kita menyimak berbagai
pengalaman utamanya didunia ke 3 diketahui bahwa
birokrasi tidak hanya mendominasi kegiatan administrasi
pemerintahan, tetapi juga kehidupan politik masyarakat
secara keseluruhan. Tegas diuraikan oleh Ramsay Muir
(dalam Said, 2007:4) bahwa birokrasi berarti
penyelenggaraan kekuasaan oleh administrator yang
professional. Pernyataan ini berdasar pada praktek
pemerintahan Inggris pada awal abad 19, dimana kejayaan
Inggris Raya mendapat dukungan paling kuat dari
birokrasi.

Perilaku birokrasi menjadi penting dalam diskursus ini.


Perilaku merupakan suatu fungsi dari interaksi antara
seseorang individu dengan lingkungannya. Lebih lanjut
mengenai perilaku birokrasi dapat dinyatakan sebagai
perilaku birokrasi pada hekekatnya merupakan hasil
interaksi antara individu-individu dengan organisasinya.
Selama birokrasi masih ditompang oleh salah satu unsur
penyusunnya yakni manusia dan selama manusia didalam
usahanya mencapai tujuan masih selalu berperilaku, maka
suatu penanaman perilaku untuk birokrasi bukanlah
suatu yang dicari-cari.

Penerapan dan perilaku birokrasi melalui pembuatan


policy, pengambilan keputusan, perencanaan, pelaksanaan
kepemimpinan, cara- cara dan sikap pelayanan yang
diberikan kepada masyarakat. Ashari (1984) secara umum

400
menyimpulkan, bahwa terdapat empat perspektif mengenai
penilaian terhadap birokrasi yang meliputi:

1. birokrasi dalam penilaian yang netral,dimana ia


ditempatkan pada posisi positif dan negatif
tergantung konsep, keadaan dan situasinya.
Kelompok ini dikenal dengan birokrasi Hegelian
2. penilaian negatif atas birokrasi, karena birokrasi
banyak menimbulkan masalah khususnya ditilik
dari perspektif kepentingan sistem Negara tertentu.
Pandangan ini dipelopori oleh Karl Mark yang
mengintroduksi kritik bahwa birokrasi menyumbat
kemanusiaan dan kebebasan yang pada ujungnya
menghasilkan penindasan.

3. FahamWeberian yang menyikapi birokrasi sebagai


ilmu dan bangunan yang efektif untuk kehidupan
suatu organisasi. Sehingga dalam hal ini para
penganut Weber mendapat keleluasaan untuk
berapresiasi secara mendalam dalam pengembangan
dan studi birokrasi.

4. birokrasi sebagai development tools and


communication pattern. Birokrasi adalah alat untuk
pembangunan dan komunikasi antara rakyat yang
diperintah dan pemerintah. Disini birokrasi dinilai
sebagai mekanisme pemerintahan yang esensial.

Dalam bidang publik konsep birokrasi dimaknai sebagai


proses dan sistem yang diciptakan secara rasional untuk
menjamin mekanisme dan sistem kerja yang teratur, pasti
dan mudah dikendalikan. Sedangkan dalam dunia bisnis,
konsep birokrasi diarahkan untuk efisiensi pemkaian
sumberdaya dengan pencapaian output dan keuntungan

401
yang optimum. Karena birokrasi adalah organisasi yang
melayani tujuan dan cara untuk

Dalam literatur ilmu sosial, birokrasi umumnya dipandang


sebagai aktor yang sekadar menerapkan kebijaksanaan
yang telah diputuskan di tempat lain. Namun seringkali
yang kita dapati di masyarakat bahwa birokrasi tidak
hanya mendominasi kegiatan administrasi pemerintah
tetapi juga kehidupan politik masyarakat secara
keseluruhan.
Birokrasi pemerintah seringkali diartikan
sebagai officialdom atau kerajaan pejabat. Suatu kerajaan
yang raja-rajanya adalah para pejabat dari ssuatu bentuk
organisasi yang digolongkan moderen. Konsepsi birokrasi
weber yang dianut dalam organisasi pemerintah banyak
memperlihatkan cara-caraofficialdom di atas. Pejabat
birokrasi adalah sentra dari penyelesaian urusan
masyarakat. Jabatan yang berada di hierarki atas
mempunyai kekuasaan yang lebih besar ketimbang jabatan
yang berada di tataran bawah.
Konsep birokrasi Weber mendapat kritikan dari Warren
Bennis (1967). Ia mengatakan bahwa birokrasi Weberian
sekitar 25 sampai 50 tahun yang akan datang akan
mengalami kejatuhan dan diganti dengan sistem sosial
yang baru yang sesuai dengan harapan masyarakat pada
abad ke-20 (Thoha, 1984)

Sampai saat ini sudah berada pada abad ke-21 ramalan


Bennis dan juga para kritikus lainnya ternyata telah
banyak menjadi kenyataan. Officialdom itu ternyata telah

402
mulai pudar. Salah satu wujud dari pudarnya kerajaan
pejabat itu ialah dilakukan gerakan reformasi dalam
birokrasi pemerintah antara lain berusaha mengubah sikap
keterbukaan pelaku-pelakunya.

Salah satu tanda kemajuan zaman dan perubahan global


ialah diperlakukannya cara kerja dengan mempergunakan
teknologi informasi. Cara kerja semacam ini akan
menjadikan birokrasi tanpa batas (boundaryless
organization, Ashkenas, 1995). Jika birokrasi tanpa batas
ini dan tanpa kertas itu diperlakukan maka tatanan
organisasi yang vertically operated , akan berubah dan
memberikan wajah baru dari birokrasi yang tidak tidak lagi
secara tegas mengikuti garis hierarki. Dengan demikian
sesuai dengan asas demokrasi kewenangan demokrasi itu
tidak hanya berada dihierarki atas (penguasa) melainkan
ada di mana-mana (decentralized).

Birokrasi pemerintah tidak bisa dilepaskan dari proses dan


kegiatan politik. Pada setiap gugusan masyarakat yang
membentuk suatu tata kepemerintahan tidak bisa
dilepaskan dari aspek politik ini. Politik sebagaimana kita
ketahui bersama terdiri dari orang-orang yang berperilaku
dan bertindak politik yang diorganisasikan secara poolitik
oleh kelompok-kelompok kepentingan dan berusaha
mencoba mempengaruhi pemerintah untuk mengambil dan
melaksanakan suatu kebijakan dan tindakan yang bisa
mengangkat kepentingannya dan mengenyampingkan
kepentingan kelompok lainnya. Birokrasi pemerintah
langsung ataupun tidak langsung akan selalu

403
berhubungan dengan kelompok-kelompok kepentingan
dalam masyarakat.

Hampir semua masyarakat di negara mana pun di dunia


ini semua orang memandang bahwa tindakan pemerintah
yang dijalankan melalui mesin birokrasinya merupakan
cara terbaik untuk menciptakan otorisasi dan menetapkan
peraturan yang mengikat semua pihak. Birokrasi
pemerintah merupakan institusi yang bisa memberikan
peran politik dalam memecahkan konflik politik yang
timbul di antara orang dan kelompok orang-orang.
Birokrasi pemerintah harus bersifat netral. Jika pemerintah
dibuat netral, maka rakyat secara keseluruhan akan bisa
dilayani oleh birokrasi pemerintah. Melayani rakyat secara
keseluruhan artinya tidak mengutamakan dan memihak
kepada salah satu kepentingan kelompok rakyat tertentu.
Oleh karena itu, netralitas birokrasi pemerintah dari
kepentingan politik tertentu akan mampu melahirkan
tatanan kepemerintahan yang demokratis.

2. Birokrasi dan Administrasi Negara

Pengertian birokrasi, karakteristik birokrasi, hubungannya


dengan administrasi negara, serta jenis-jenis birokrasi yang
ada di suatu negara.

Secara etimologis, birokrasi berasal dari kata Biro (meja)


dan Kratein (pemerintahan), yang jika disintesakan berarti
pemerintahan Meja. Tentu agak 'lucu' pengertian seperti
ini, tetapi memang demikianlah hakikat birokrasi oleh

404
sebab lembaga inilah tampak kaku yang dikuasai oleh
orang-orang di belakang meja. Mengapa demikian ?

Di dalam pendekatan institusional (kelembagaan),


khususnya di dalam skema, tercantum 'lalu-lintas'
administrasi negara dari eksekutif 'turun' ke Kebijakan
Administrasi, lalu ke Administrasi dan yang terakhir ke
pemilih. Artinya, setiap kebijakan setiap kebijakan negara
yang yang diselenggarakan pihak eksekutif diterjemahkan
ke dalam bentuk kebijakan administrasi negara, di mana
pelaksanaan dari administrasi tersebut dilakukan oleh
lembaga birokrasi.

Kita mungkin mengenal badan-badan seperti Departemen,


Kanwil, Kantor Kelurahan, Kantor Samsat, di mana kantor-
kantor tersebut semua merupakan badan-badan birokrasi
negara yang mengimplementasikan kebijakan negara dan
bersifat langsung berhubungan dengan masyarakat.

Michael G. Roskin, et al., menyebut pengertian birokrasi.


Bagi mereka birokrasi adalah "setiap organisasi yang
berskala besar yang terdiri atas para pejabat yang
diangkat, di mana fungsi utamanya adalah untuk
melaksanakan (to implement) kebijakan-kebijakan yang
telah diambil oleh para pengambil keputusan (decision
makers).

Idealnya, birokrasi merupakan suatu sistem rasional atau


struktur yang terorganisir yang dirancang sedemikian rupa

405
guna memungkinkan adanya pelaksanaan kebijakan publik
yang efektif dan efisien.

Birokrasi juga dioperasikan oleh serangkaian aturan serta


prosedur yang bersifat tetap. Terdapat rantai komando
berupa hirarki kewenangan di mana tanggung jawab setiap
bagian-bagiannya 'mengalir' dari 'atas' ke 'bawah.

Selain itu, birokrasi juga disebut sebagai badan yang


menyelenggarakan Civil Service (pelayanan publik).
Birokrasi terdiri dari orang-orang yang diangkat oleh
eksekutif, dan posisi mereka ini 'datang dan pergi.' Artinya,
mereka-mereka duduk di dalam birokrasi kadang
dikeluarkan atau tetap dipertahankan berdasarkan prestasi
kerja mereka.

Seorang pegawai birokrasi yang malas biasanya akan


mendapat teguran dari atasan, yang jika teguran ini tidak
digubris, ia kemungkinan besar akan diberhentikan dari
posisinya. Namun, jika seorang pegawai menunjukkan
prestasi kerja memuaskan, ada kemungkinan ia akan
dipromosikan untuk mendapat posisi yang lebih tinggi
(tentunya dengan gaji dan kewenangan yang lebih besar
pula).

2.1 Karakteristik Birokrasi

Karakteristik birokrasi yang umum diacu adalah yang

406
diajukan oleh Max Weber. Menurut Weber, paling tidak
terdapat 8 karakteristik birokrasi, yaitu: :

1. Organisasi yang disusun secara hirarkis


2. Setiap bagian memiliki wilayah kerja khusus.
3. Pelayanan publik (civil sevants) terdiri atas orang-
orang yang diangkat, bukan dipilih, di mana
pengangkatan tersebut didasarkan kepada kualifikasi
kemampuan, jenjang pendidikan, atau pengujian
(examination).
4. Seorang pelayan publik menerima gaji pokok
berdasarkan posisi.
5. Pekerjaan sekaligus merupakan jenjang karir.
6. Para pejabat/pekerja tidak memiliki sendiri kantor
mereka.
7. Setiap pekerja dikontrol dan harus disiplin.
8. Promosi yang ada didasarkan atas penilaiaj atasan
(superior's judgments).

Ditinjau secara politik, karakteristik birokrasi menurut


Weber hanya menyebut hal-hal yang ideal. Artinya,
terkadang pola pengangkatan pegawai di dalam birokrasi
yang seharusnya didasarkan atas jenjang pendidikan atau
hasil ujian, kerap tidak terlaksana. Ini diakibatkan masih
berlangsungnya pola pengangkatan pegawai berdasarkan
kepentingan pemerintah.

2.2 Tipe-Tipe Birokrasi Negara

407
Untuk melihat tipe-tipe birokrasi negara, dapat kiranya kita
manfaatkan pemisahan tipe birokrasi menurut ideal typhus
Amerika Serikat. Ideal typhus tersebut lalu kita
komparasikan dengan apa yang ada di Indonesia.

Di Amerika Serikat, terdapat 4 jenis birokrasi yaitu : (1) The


Cabinet Departments (departemen-departemen di dalam
kabinet), (2) Federal Agencies (agen-agen federal), (3) federal
Corporation (perusahaan-perusahaan federal milik federal),
dan (4) Independent Regulatory Agencies agen-agen
pengaturan independen).

Departemen-departemen dalam kabinet terdiri atas


beberapa beberapa lembaga birokrasi yang dibedakan
menurut tugasnya. Ada departemen tenaga kerja,
departemen pertahanan, atau departemen pendidikan.
Tugas utama dari departemen-departemen ini adalah
melaksanakan kebijaksanaan umum yang telah digariskan
oleh lembaga eksekutif maupun yudikatif.

Agen-agen federal merupakan kepanjangan tangan dari


lembaga kepresidenan. Ia dibentuk berdasarkan pilihan
dari presiden yang tengah memerintah, oleh sebab itu
sifatnya lebih politis ketimbang murni administratif.
Organisasi NASA di sana merupakan salah satu contoh
dari agen-agen federal. Contoh dari birokrasi ini juga
diposisikan oleh FBI (Federal Bureau Investigation). Di
Indonesia agen-agen seperti ini misalnya Badan Tenaga

408
Atom Nasional (Batan), Lembaga Penerbangan dan
Antariksa Nasional (Lapan).

Korporasi-korporasi federal merupakan birokrasi yang


memadukan antara posisinya sebagai agen pemerintah
sekaligus sebagai sebuah lembaga bisnis. Di Indonesia
contoh yang paling endekati adalah BUMN (Badan Usaha
Milik Negara). Meskipun negara (eksekutif) terkadang
masih merupakan pihak yang paling menentukan dalam
pengangkatan pejabatnya, tetapi secara umum sebagai
sebuah lembaga bisnis ia memiliki otoritas untuk
menentukan jenis modal dan juga memutuskan apakah
perusahaan akan melakukan pemekaran organisasi atau
sebaliknya, perampingan.

Di Indonesia, contoh dari korporasi-korporasi milik negara


ini misalnya Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA),
Garuda Indonesia Airways (GIA), Perusahaan Listrik Negara
(PNL) atau Bank Mandiri.

Agen-agen Pengaturan Independen, sebagai jenis birokrasi


yang terakhir, merupkan birokrasi yang dibentuk
berdasarkan kebutuhan untuk menyelenggarakan regulasi
ekonomi terhadap dunia bisnis, di mana penyelenggaraan
tersebut berkaitan secara langsung dengan kesejahteraan
masyarakat.

Di Indonesia kini dibentuk Badan Penyehatan Perbankan


Nasional (BPPN) yang berfungsi untuk melakukan
rekstrukturisasi kalangan bisnis tanah air yang di masa

409
lalu dianggap banyak merugikan keuangan negara, dan
secara lebih jauh, kesejahteraan masyarakat Indonesia
akibat, katakanlah, 'kredit-kredit macet' mereka.

Selain itu, contoh bisa kita sebutkan misalnya Komisi


Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Pemilihan Umum
(KPU), Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU),
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan sejenisnya.

2.3 Peran Birokrasi dalam Pemerintahan Modern

Michael G. Roskin, et al. meneyebutkan bahwa sekurang-


kurangnya ada 4 fungsi birokrasi di dealam suatu
pemerintahan modern. Fungs-fungsi tersebut adalah :

1. Administrasi
Fungsi administrasi pemerintahan modern meliputi
administrasi, pelayanan, pengaturan, perizinan, dan
pengumpul informasi. Dengan fungsi administrasi
dimaksudkan bahwa fungsi sebuah birokrasi adalah
mengimplementasikan undang-undang yang telah
disusun oleh legislatif serta penafsiran atas UU
tersebut oleh eksekutif. Dengan demikian,
administrasi berarti pelaksanaan kebijaksanaan
umum suatu negara, di mana kebijakan umum itu
sendiri telah dirancang sedemikian rupa guna
mencapai tujuan negara secara keseluruhan.
2. Pelayanan
Birokrasi sessungguhnya diarahkan untuk melayani

410
masyarakat atau kelompok-kelompok khusus. Badan
metereologi dan Geofisika (BMG) di Indonesia
merupakan contoh yang bagus untuk hal ini, di mana
badan tersebut ditujukan demi melayani kepentingan
masyarakat yang akan melakukan perjalanan atau
mengungsikan diri dari kemungkinan bencana alam.
Untuk batas-batas tertentu, beberapa korporasi
negara seperti PJKA atau Jawatan POS dan
Telekomunikasi juga menjalankan fungsi public
service ini.
3. Pengaturan(regulation)
Fungsi pengaturan dari suatu pemerintahan biasanya
dirancang demi mengamankan kesejahteraan
masyarakat. Dalam menjalankan fungsi ini, badan
birokrasi biasanya dihadapkan anatara dua pilihan:
Kepentingan individu versus kepentingan masyarakat
banyak. Badan birokrasi negara biasanya
diperhadapkan pada dua pilihan ini.
4. Pengumpul Informasi (Information Gathering)
Informasi dibutuhkan berdasarkan dua tujuan
pokok:
Apakah suatu kebijaksanaan mengalami sejumlah
pelanggaran atau keperluan membuat kebijakan-
kebijakan baru yang akan disusun oleh pemerintah
berdasarkan situasi faktual. Badan birokrasi, oleh
sebab itu menjadi ujung tombak pelaksanaan
kebijaksanaan negara tentu menyediakan data-data
sehubungan dengan dua hal tersebut. Misalnya,
pemungutan uang yang tidak semestinya (pungli)
ketika masyarakat membuat SIM atau STNK tentunya

411
mengalami pembengkakan. Pungli tersebut
merupakan pelanggaran atas idealisme administrasi
negara, oleh sebab itu harus ditindak. Dengan
ditemukannya bukti pungli, pemerintah akan
membuat prosedur baru untuk pembuatan SIM dan
STNK agar tidak memberi ruang bagi kesempatan
melakukan pungli.

PENUTUP

1) Implikasi hukum terhadap pelaksanaan eksekusi

putusan Peradilan Tata Usaha Negara yang telah

berkekuatan hukum tetap adalah terhadap Ketua

Pengadilan Tata Usaha Negara. Bahwa Ketua Pengadilan

wajib mengawasi pelaksanaan putusan Pengadilan yang

telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana

ketentuan dalam Pasal 119. Hal yang diawasi ialah

proses pelaksanaan eksekusi putusan Peradilan Tata

Usaha Negara sebagaimana terdapat dalam Pasal 116.

412
Jika Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara tidak

melaksanakan kewajibannya tersebut maka dapat

dikenakan ketentuan Pasal 20 ayat (1) huruf c. Yaitu

Ketua Pengadilan yang melalaikan kewajibannya dapat

diberhentikan dengan tidak hormat. Karena itulah

Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara mempunyai

kewajiban hukum untuk menggunakan sarana pemaksa

jika pejabat Tata Usaha Negara tidak mematuhi putusan

Peradilan Tata Usaha Negara seperti yang diatur dalam

Pasal 116 ayat (4), 116 ayat (5) dan 116 ayat (6).

Disamping itu Terhadap pejabat Tata Usaha Negara itu

sendiri. Pejabat Tata Usaha Negara mempunyai

kewajiban hukum untuk melaksanakan eksekusi

putusan Peradilan Tata Usaha Negara karena pejabat

Tata Usaha Negara adalah eksekutor dari putusan

Peradilan Tata Usaha Negara yang telah berkekuatan

hukum tetap. Jika ia lalai maka akan dikenakan sanksi

hukum berupa sanksi administrasi/uang paksa,

413
pengumuman pada media massa dan mendapat teguran

dari Presiden serta DPR.

2) Upaya membangun sistem hukum dalam hukum acara

Pengadilan Tata Usaha Negara terkait dengan eksekusi

putusan Pengadilan Tata Usaha Negara adalah melalui

peningkatan peran hakim agar tetap aktif mengawasi

jalannya eksekusi. Hakim menjadi kunci keberhasilan

eksekusi dengan mengoptimalkan sarana pemaksa

walau sampai saat ini tidak ada peraturan pelaksana.

3) Upaya mengatasi hambatan dalam penegakan hukum

acara Tata Usaha Negara ialah dengan meningkatakan

budaya patuh hukum. Ada beberapa indikator yaitu

mental aparat penegak hukum dan kepatuhan

masyarakat pada hukum. Budaya hukum (sesuai

dengan pengertiannya bahwa budaya hukum itu adalah

satu konsepsi tentang bagaimana hukum dipahami,

disikapi, dilaksanakan) lebih banyak menyangkut pada

indicator mental aparat penegak hukum dan indicator

414
kesadaran dan kepatuhan hukum serta perilaku

masyarakat. Tetapi karena mental aparat dan penegak

hukum serta kesadaran masyarakat itu juga sangat

ditentukan oleh politik maka reformasi budaya harus

pula dilakukan secara simultan (untuk tidak

mengatakan didahului) dengan reformasi politik dari

politik yang otoriter ke politik yang demokratis. Dari sini

reformasi budaya hukum dapat menyentuh bukan saja

pelaksanaan hukum berdasar kesadaran tetapi juga

menyentuh sejak proses pembuatan dan penegakan

hukum oleh negara.

4) Ketentuan eksekusi putusan Pengadilan Tata Usaha

Negara jika dilaksanakan sesuai penegakan hukumnya

maka akan tercipta kepastian hukum oleh karena

kepastian hukum seperti yang diuraikan Satjipto

Rahardjo tidak terletak pada kata-kata dalam setiap

pasal di undang-undang melainkan pada kepatuhan

hukum masyarakat. Oleh karena kepastian hukum

415
adalah hasil dari tegaknya keadilan maka Pengadilan

Tata Usaha Negara mempunyai tugas utama guna

mewujudkan keadilan dengan terlaksananya eksekusi.

5) Etika diperlukan dalam administrasi negara

(birokrasi publik), bukan saja berfungsi sebagai

pedoman, referensi dan penuntun apa yang harus

dilakukan dalam menjalankan tugas, tetapi juga

berfungsi sebagi standar dalam menilai apakah sifat dan

perilaku serta tindakan sesuai dengan norma-norma

yang berlaku.

6) Di Negara-negara berkembang, tipe birokrasi yang

diidealkan oleh Max Weber Nampak belum dapat

berkembang dan berjalan dengan baik. Sebagai salah

satu Negara yang berkembang Indonesia tidak terlepas

dari realita di atas.

7) Tidak mudah mengidentifikasi penampilan birokrasi

pemerintah di Indonesia.

416
8) Ada beberapa aspek pada penampilan birokrasi di

Indonesia yakni:

a) Sentralisasi yang cukup kuat,

b) Menilai tinggi keseragaman dan struktur birokrasi,

c) Pendelegasian wewenang yang kabur,

d) Kesulitan menyusun uraian tugas dan analisis


jabatan.
e) Masih banyak masalah yang menimpa masyarakat

mengenai pelayanan umum, seperti masalah


perijinan, pembuatan, perpanjangan surat-surat yang
dibutuhkan masyarakat, misalnya pembuatan KTP,
Kartu Keluarga, dan surat-surat pengantar untuk
diajukan ke instansi yang lebih tinggi. Masalah timbul
dari masyarakat yang tidak merasa puas dengan
pelayanan yang diberikan, dan beberapa faktor
internal pada kinerja pelayan publik pada kecamatan
sebagai instansi tingkat pemerintahan yang
berwenang baik dalam masalah pelayanannya seperti
berapa lama pembuatan, kinerja pelayannya ataupun
mengenai biaya.

DAFTAR PUSTAKA

417
A. Siti Soetami, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara,
Refika Aditama, Bandung, 2009.

A.A. Baramuli, Pemikiran Dan Harapan Tentang Negara


Hukum, Manikgeni, Jakarta, 1997.

A.D. Belinfante, Pokok-pokok Hukum Tata Usaha Negara,


Binacipta, Jakarta, 1983.

Anthon F. Susanto, Hukum Dari Consilience Menuju


Paradigma Hukum Konstruktif-Transgresif, Refika
Aditama, Bandung, 2007.

Anthon F. Susanto, Semiotika Hukum Dari Dekonstruksi


Teks Menuju Progresivitas Makna, Refika Aditama,
Bandung, 2005.

Anthon F. Susanto, Wajah Peradilan Kita, Refika Aditama,


Bandung, 2004.

B. Arief Sidharta, Meuwissen Tentang Pengembanan


Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat
Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2008.

Bernard L. Tanya, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia


Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing,
Yogyakarta, 2010.

Carlton Clymer Rodee, Pengantar Ilmu Politik, RajaGrafindo


Persada, Jakarta, 2009.

418
D.F. Carvers, Legal Education in Berman, H.J., Talks on
American Law, Harvard, Voice of America,
Washington, 1972.

Darji Darmodihardjo, Pokok-Pokok Filsafat Hukum,


Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008.

Diana Halim Koentjoro, Hukum Administrasi Negara,


Ghalia Indonesia, Bogor, 2004.

Djenal Hoesen Koesoemaatmadja, Pokok-pokok Hukum Tata


Usaha Negara, Citra Aditya bakti, Bandung, 1990.

Eddy Pranjoto, Antinomi Norma Hukum Pembatalan dan


Pemberian Hak Atas Tanah Oleh Peradilan Tata Usaha
Negara dan Badan Pertanahan Nasional, CV. Utomo,
Bandung, 2006.

Edwin M. Schur, Law and Society, a Sociological


Perspective, Tandom House, New York, 1968.

Franz Magnis Suseno, Etika Politik, Prinsip-prinsip Moral


Dasar Kenegaraan Modern, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2001.

Gregory Leyh, Hermeneutika Hukum, Sejarah, Teori dan


Praktek, Nusamedia, Bandung, 2008.

Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Russel &


Russel, New York, USA, 1971.

419
Harorld J. Berman, Ceramah-ceramah Hukum Tentang
Hukum Amerika Serikat, Tatanusa, Bandung, 1996.

Hendarmin Jarab, Beberapa Pemikiran Hukum Memasuki


Abad ke XXI, Angkasa, Bandung, 1998.

Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia, Alumni,


Bandung, 2005.

Indroharto, Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, Beberpa


Pengertian dasar Hukum Tata Usaha Negara, Sinar
Harapan, Jakarta, 1994.

Jazim Hamidi, Mengenal Lebih Dekat Hermeneutika Hukum,


Perspektif Falsafati dan Metode Interpretasi, Dalam:
Sri Rahayu Oktoberina, Butir-butir Pemikiran Dalam
Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2008.

Jeremy Bentham, Teori Perundang-undangan, Nuansa,


Bandung, 2006.

John Gillissen, Sejarah Hukum Suatu Pengantar, Refika


Aditama, Bandung, 2005.

John Rawls, A Theory of Justice, Teori Keadilan, Pustaka


Pelajar, Jakarta, 2006.

Juniarso Ridwan, Hukum Administrasi Negara dan


Kebijakan Pelayanan Publik, Nuansa, Bandung, 2009.

420
L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya
Paramita, Jakarta, 2009.

Koerniatmanto Soetoprawiro, Hukum Kewarganegaraan


dan Keimigrasian Indonesia, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 1996.

Lawrence M. Friedman, The Republic of Choice; Law,


Authority, and Culture, Harvard University Press,
1990.

Lili Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju,


Bandung, 2002.

Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra


Aditya Bakti, Bandung, 2004.

Lintong O. Siahaan, Teori Hukum dan Wajah PTUN Setelah


Amandemen 2004, Perum Percetakan Negara RI,
Jakarta, 2009.

Lintong O. Siahaan, Berbagai Instrumen Hukum di PTUN,


Perum Percetakan Negara RI, Jakarta, 2007.

Lodewijk Gultom, Eksistensi Mahkamah Konstitusi Dalam


Struktur Ketatanegaraan di Indonesia, CV Utomo,
Bandung, 2007.

Lutfi Efendi, Pokok-pokok Hukum Administrasi, Bayu Media


Publishing, Malang, 2004.

421
M. Solly Lubis, Ilmu Negara, Alumni, Bandung, 1981.

Maria Farida Indrarti Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan,


Kanisius, Jakarta, 2007.

Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Acara Peradilan Tata


Usaha Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1993.

Mochtar Kusumaadmaja dan B. Arif Sidharta, Pengantar


Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2000.

Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern, Refika Aditama,


Bandung, 2009.

Munir Fuady, Perbandingan Ilmu Hukum, Refika Aditama,


Bandung, 2010.

Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, Ghalia Indonesia,


Jakarta, 2010.

Munir Fuady, Teori-teori Dalam Sosiologi Hukum, Prenada


Media Group, Jakarta, 2011.

O.C. Kaligis, Praktek-praktek Peradilan Tata Usaha Negara


di Indonesia, Buku Pertama, Alumni, Bandung, 2002.

O.C. Kaligis, Praktek-praktek Peradilan Tata Usaha Negara


di Indonesia, Buku Kedua, Alumni, Bandung, 2002.

O.C. Kaligis, Praktek-praktek Peradilan Tata Usaha Negara


di Indonesia, Buku Ketiga, Alumni, Bandung, 2002.

422
Otje Salman, Teori Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2007.

Paul M. Weston, Supervision in the Administration of Justice


Police Corrections Courts, Springfield: Charles D.
Thomas, 1965.

Paulus Effendi Lotulung, Beberapa Sistem Tentang Kontrol


Segi Hukum Terhadap Pemerintah, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1983.

Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Negara,


Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005.

Peter Leyland, Administrative Law, Blackstone Press


Limited, London, 1997.

R. Soegijatno Tjakranegara, Hukum Acara Peradilan Tata


Usaha Negara di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,
2002.

R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara,


Sinar Grafika, Jakarta, 2009.

Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo


Persada, Jakarta, 2006.

Rochmat Soemitro dan Dewi Kania, Asas dan Dasar


Perpajakan, Refika Aditama, Bandung, 2004.

423
Rozali Abdullah, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1992.

Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif, Genta Publishing,


Yogyakarta, 2009.

Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, Catatan Kritis


Tentang Pergulatan Manusia dan Hukum, Kompas,
Jakarta, 2008.

Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial: Suatu


Tinjauan Teoritis Serta Pengalaman-Pengalaman di
Indonesia, Alumni, Bandung, 1983.

SF. Marbun, Dimensi-dimensi Pemikiran Hukum


Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2001.

SF. Marbun, Peradilan Tata Usaha Negara, Liberty,


Yogyakarta, 2003.

Sjahran Basah, Ilmu Negara, Alumni, Bandung, 1997.

Soediman Kartohadiprodjo, Pancasila Sebagai Pandangan


Hidup Bangsa, Gatra Pustaka, Jakarta, 2010.

Soehino, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, 1986.

Soerjono Soekamto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi


Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada, Yakarta,
2007.

424
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif,
Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2009.

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia,


Liberty, Yogyakarta, 1999

Supardan Modeong, Teknik Perundang-undangan di


Indonesia, Perca, Jakarta, 2005.

Sudargo Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum,


Alumni, Bandung, 1983.

Sunaryati Hartono, Ombudsprudensi, Ombudsman


Republik Indonesia, Jakarta. 2009

_______________, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir


Abad ke-20, Alumni, Bandung, 1994.

Sri Rahayu Oktoberina dan Niken Savitri, Butir-butir


Pemikiran Dalam Hukum, Refika Aditama, Bandung,
2008.

Taufiqurahman Syahuri, Hukum Konstitusi, Ghalia


Indonesia, Jakarta, 2004.

Víctor Sitomorang, Pokok-pokok Peradilan Tata Usaha


Negara, Rineka Cipta, Jakarta, 1992.

W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum, Telaah Kritis Atas


Teori-Teori Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
1993.

425
W. Riawan Tjandra, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara, Universitas Atmajaya yogyakarta, Yogyakarta,
2005.

Yuliandri, Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-


undangan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009.

Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha


Negara, Edisi Revisi, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
1997.

426

Anda mungkin juga menyukai