Anda di halaman 1dari 13

NEGARA HUKUM DAN POLITIK HUKUM ISLAM DI INDONESIA

REVIEW JURNAL
DIBUAT UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
HUKUM KEPARTAIAN DAN PEMILU

OLEH :
FAIZAL BASRI
NIM 20103070083

DOSEN PENGAMPU :
Dr. Drs. M. Rizal Qosim, M.Si.
NIP 19630131 199203 1 004

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM


PROGRAM STUDI HUKUM TATANEGARA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2022
A. PENDAHULUAN
Pada bab ini, sejarah munculnya model serta gagasan negara hukum sejak kala
muncul mulai era kepemimpinan Nabi Muhammad. Hal ini didasarkan pada pendapat para
ilmuan muslim dan ilmuan dari barat. Model serta gagasan yang ada pada zaman Nabi
Muhammad, setidaknya sudah memenuhi unsur konsep negara hukum yakni adanya
wilayah, konstitusi, masyarakat dan pengakuan dari negara lain. Dengan adanya sejarah
yang demikian, memunculkan ide / gagasan baru bagi semua bangsa di dunia untuk
merepresentasikan adanya gagasan negara hukum dalam konteks kekinian dengan
mengkaloborasikan semangat demokrasi dan norma – norma yang berkaitan dengan hak
asasi manusia.
Namun, disatu sisi bagi kebanyak negara yang mayoritas penduduknya muslim, tidak
mudah untuk melaksanakan konsepsi yang demikian, hal ini dikarenakan adanya benturan
dengan tradisi dan lokalitas dalam rangka menerapkan berlakunya hukum Islam. Misal
saja, dalam beberapa aspek, pengaplikasian konsep negara hukum kerap salah dalam
menafsirkan ajaran khilafah dalam bentuk formalisme dan substansialisme. Bahkan ada
yang lebih keliru, dimana syariah diartikan sebagai doktrin hukum yang sudah tidak
relevan dengan kondisi masa kini. Maka dari itu, penulis ingin mengkaji lebih dalam
problematika diatas berdasarkan catatan kritis yang dibuat oleh Nurcholis Majid.
B. GAGASAN NEGARA HUKUM
Pada bab ini, negara hukum diartikan sebagai konsep bagi suatu negara dimana
pelaksanan sistem pemerintahanya harus berdasarkan hukum atau bisa dikatakan negara
harus berpijak kepada hukum dalam menentukan arah kebijakanya. Dimana negara harus
memiliki konstitusi atau undang – undang yang menjadi payung hukum. Hal ini dilakukan
agar dalam pelaksanaan pemerintahanya tidak didasarkan pada kekuasaan semata. Hal
yang demikian dinamakan supremasi hukum. Pakar hukum Indonesia, Prof Jimly As-
shiddiqie mengungkapkan bahwa ada 3 ide dasar yang menjadi pondasi bagi supremasi
hukum yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian.
Pada dasarnya, konsep negara hukum memberikan anulir bagi suatu negara bahwa
negara tidak boleh terlalu banyak ikut campur dalam urusan dan kepentingan warganya.
Namun dengan berkembangnya zaman, konsep negara hukum ini justru memberikan
keleluasaan bagi negara untuk turut serta memantau dan mengawasi selaga urusan dan
kepentingan warganya. Alasanya pun sangat substantif dimana negara bisa dikatakan
memiliki peranan aktif untuk dituntut mandiri demi berlangsungnya kesejahteraan
warganya.
Secara historis, perkembangan konsep negara hukum bisa dikatakan bermula pada
tahun 1880 sebelum masehi. Lebih tepatnya berkembang di masa yunani kuno. di mana
ga-gasan kedaulatan rakyat tumbuh dan ber- kembang dari tradisi Romawi. Sedangkan
tradisi Yunani Kuno menjadi sumber dari ga-gasan kedaulatan hukum. Pemikir filsafat
yunani yang sangat fundamental, Aristoteles pernah mengungkapkan bahwa negara
hukum sangat erat dengan “keadilan”, bahkan suatu negara akan dikatakan sebagai negara
hukum apabila suatu keadilan telah tercapai. Konstruksi seperti ini mengarah pada bentuk
negara hukum dalam arti etis dan sempit, karena tujuan negara semata-mata mencapai
keadilan. Teori-teori yang mengajarkan hal tersebut dinamakan teori-teori etis, sebab
menurut teori ini isi hukum semata-mata harus ditentukan oleh kesadaran etnis kita
mengenai apa yang adil dan apa yang tidak adil. Karena baginya, negara yang baik ialah
negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum. Ada tiga unsur dari
pemerintahan yang berkonstitusi yaitu:
1. Pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan umum
2. pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang berdasarkan pada ketentuan-
ketentuan umum, bukan hukum yang dibuat secara sewenang-wenang yang
menyampingkan konvensi dan konstitusi
3. pemerintahan berkonstitusi berarti pemerintah yang dilaksanakan atas kehendak
rakyat, bukan berupa paksaan atau tekanan yang dilaksanakan pemerintahan yang
berkuasa
Ide negara hukum telah lama dikembangkan oleh para filsuf dari zaman Yunani
Kuno.Plato, pada awalnya dalam the Republic berpendapat bahwa adalah mungkin
mewujudkan negara ideal untuk mencapai kebaikan yang berintikan kebaikan. Untuk itu
kekuasaan harus dipegang oleh orang yang mengetahui kebaikan, yaitu seorang filosof
(the philosopher king). Namun dalam bukunya “the Statesman” dan “the Law”, Plato
menyatakan bahwa yang dapat diwujudkan adalah bentuk paling baik kedua (the second
best) yang menempatkan supremasi hukum. Pemerintahan yang mampu mencegah
kemerosotan kekuasaan seseorang adalah pemerintahan oleh hukum. Senada dengan Plato,
tujuan negara menurut Aristoteles adalah untuk mencapai kehidupan yang paling baik (the
best life possible) yang dapat dicapai dengan supremasi hukum. Hukum adalah wujud
kebijaksanaan kolektif warga negara (collective wisdom), sehingga peran warga negara
diperlukan dalam pembentukkannya1.
Konsep negara hukum modern di Eropa Kontinental dikembangkan dengan
menggunakan istilah Jerman yaitu “rechtsstaat” antara lain oleh Immanuel Kant, Paul
Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain. Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika
konsep negara hukum dikembangkan dengan sebutan “The Rule of Law” yang dipelopori
oleh A.V. Dicey. Selain itu, konsep negara hukum juga terkait dengan istilah nomokrasi
(nomocratie) yang berarti bahwa penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan negara adalah
hukum2. Dalam konteks ini, Profesor Utrecht membedakan antara Negara Hukum Formil
atau Negara Hukum Klasik, dan Negara Hukum Materil atau Negara Hukum Modern.
Negara Hukum Formil menyangkut pengertian hukum yang bersifat formil dan sempit,
yaitu dalam arti peraturan perundang-undangan tertulis. Sedangkan Negara Hukum
Materil mencakup pula pengertian keadilan di dalamnya. 3Gugatan terhadap konsep negara
hukum formil inilah kemudian yang melahirkan konsep negara hukum materil yang
merupakan generasi kedua dari konsep negara hukum, sebagai konsepsi negara hukum
abad 20. Dimana dalam konsep ini, negara hukum yang demokratis mesti juga mencakup
dimensi ekonomi dalam rangka mensejahterakan rakyat. Dimensi negara hukum materil
ini ditujukan untuk memperkecil disparitas ekonomi melalui intervensi pemerintah dalam
mendistribusikan kekayaan negara.
Dengan adanya perkembangan konsep negara hukum dari konsep negara hukum
formil pada abad 19 menuju konsep negara hukum meteril pada abad 20 dan 21, maka
konsep negara juga tidak saja untuk sekedar membatasi kekuasaan negara saja, melain
juga untuk mengawal pemerintahan negara agar melaksanakan kewajibannya untuk
mensejahterakan rakyat. Agar kewajiban negara untuk mensejahterakan rakyat
dapatdipenuhi, maka negara tersebut juga harus kuat. Dalam arti, tidak berada di bawah
intervensi dari kekuasaan apapun yang tidak menghendaki keberpihakan negara pada
pencapaian kesejahteraan rakyatnya. Dengan ini, konsep negara hukum dijadikan
ultimatum bagi negara - negara yang merasa dikucilkan. Setiap negara yang tidak mau
dikucilkan dari pergaulan masyarakat internasional menjelang abad ke-21 setidaknya
secara formal akan memaklumkan dirinya sebagai negara hukum. Menurut Budiono

1
George H. Sabine, A History of Political Theory, Third Edition, (New York – Chicago – San Fransisco – Toronto –
London; Holt, Rinehart and Winston, 1961), hal. 35-86 dan 88-105
2
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta: Konstitusi
Press, 2005), hal. 152.
3
Jimly Assisddiqie, Op.cit., hlm. 8.
Kusumoha midjojo, dalam negara hukum, hukum menjadi aturan permainan untuk
mencapai cita-cita bersama sebagai kesepakatan politik. Hukum juga menjadi aturan
permainan untuk menyelesaikan segala macam perselisihan, termasuk juga perselisihan
politik dalam rangka mencapai kesepakatan politik tadi. Dengan demikian, hukum tidak
mengabdi kepada kepentingan politik sektarian dan primordial melainkan kepada cita-cita
politik dalam kerangka kenegaraan.
C. NEGARA HUKUM DAN MASYARAKAT MADANI
Dalam pemikiran politik hukum Islam, negaralah yang bertanggungjawab terhadap
urusan masyarakat. Negara dalam perspektif Islam bukanlah sekedar alat untuk menjamin
dan menjaga kemaslahatan individu saja sebagaimana halnya liberalisme-kapitalisme akan
tetapi merupakan suatu institusi yang mengurusi kebutuhan individu, organisasi (jama’ah),
dan masyarakat sebagai satu kesatuan, baik urusan dalam maupun luar negerinya, sesuai
dengan peraturan tertentu yang membatasi hak dan kewajiban masing-masing.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Bernard Lewis, bahwa sejak zaman Nabi Muhammad
SAW, umat Islam merupakan entitas politik dan agama sekaligus, dengan Nabi
Muhammad sebagai kepala negara.
Cak Nur mendeskripsikannya dalam perspektif ke-Indonesiaan yang aspiratif,
substantif dan fungsional. Cak Nur menafsirkan bahwa wujud nyata masyarakat madani
termanifestasi ketika Nabi SAW hijrah ke Yatsrib. Dengan tindakan itu, Nabi SAW telah
merintis dan memberi teladan kepada ummat manusia dalam membangun masyarakat
madani, yaitu masyarakat yang berperadaban (ber-madâniyyah) karena tunduk dan patuh
pada (dâna-yadînu) kepada ajaran kepatuhan (dîn). Masyarakat madani hakikat-nya adalah
reformasi total terhadap masyarakat tak kenal hukum (lawness) Arab jahiliyah dan
terhadap supremasi kekuasaan pribadi seorang penguasa yang selama ini menjadi
pengertian umum tentang negara.
Dalam bahasa Arab konsep masyarakat Madani dikenal dengan istilah al-Mujtama’
al-madani, dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah civil society. Selain kedua istilah
tersebut, ada dua istilah yang merupakan istilah lain dari masyarakat madani yaitu
masyarakat sipil dan masyarakat kewargaan. Civil society berasal dari proses sejarah
masyarakat Barat. Cicero yang memulai menggunakan istilah Societas Civilis dalam
filsafat politiknya, yang berarti komunitas politik yang beradap, dan didalamnya termasuk
masyarakat kota yang memiliki kode hukum tersendiri. Masyarakat madani merupakan
konsep yang merujuk pada masyarakat yang pernah berkembang di Madinah pada zaman
Nabi Muhammad SAW, yaitu masyarakat yang mengacau pada nilai-nilai kebijakan
umum, yang disebut al-khair. Nurcholis Madjid dalam sudut pandang lain mengemukakan
ciri-ciri masyarakat madani sebagai berikut:
a) Semangat egalitarianisme atau kesetaraan.
b) Penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi, bukan prestise seperti keturunan
kesukuan, ras, dan lain-lain.
c) Keterbukaan.
d) Partisipasi seluruh anggota masyarakat.
e) Penentuan kepemimpinan melalui pemilihan.
Sedangkan masyarakat Indonesia sebenarnya juga memiliki ciri – ciri yang
mencerminkan masyarakat madani. Masyarakat Indonesia mempunyai karakteristik yang
berbeda dengan negara lainnya. Karakteristik tersebut diantaranya adalah: (1)
Pluralistik/keberagaman, (2) sikap saling pengertian antara sesama anggota masyarakat,
(3) toleransi yang tinggi dan (4) memiliki sanksi moral. Karakteristik-karakteristik
tersebut diharapkan senantiasa mewarnai kehidupan masyarakat madani model Indonesia
nantinya. keberadaan masyarakat Indonesia dapat dicermati melalui perjalanan bangsa
Indonesia. Secara historis perwujudan bahwa untuk menuju masyarakat madani Indonesia
tidak ditempuh melalui proses yang radikal dan cepat (revolusi), tetapi proses yang
sistematis dan berharap serta cenderung lambat (evolusi), yaitu melalui upaya
pemberdayaan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan. Masyarakat Indonesia
dikatakan telah berhasil mencapai kehidupan madani apabila didalamnya telah memiliki:
1) Keimanan dan ketaqwaan yang kokoh.
2) Berpendidikan maksimal (berkualitas).
3) Kembali menjadi insan Pancasilais.
4) Memiliki cita-cita (komitmen) dan harapan (secara kolektif) untuk setara dengan
negara-negara maju.
5) Memiliki kepercayaan diri untuk bersaing.
6) Loyalitas terhadap bangsa dan negara Indonesia (bakan terhadap partai politik
saja).
D. NEGARA HUKUM DAN MASA DEPAN POLITIK HUKUM ISLAM DI
INDONESIA
Berbincang mengenai politik hukum Islam di Indonesia perlu melepas kaca mata
kuda. Dalam hal ini butuh pemahaman terhadap beberapa faktor yang sejak awal belum
teratasi. Pertama masyarakat Indonesia mempunyai hukum yang positif, yaitu hukum yang
berlaku dan dijadikan sebagai acuan dalam menjalani aktivitas setiap hari. Di mana kita
tahu, datangnya bangsa Eropa yang menjajah Indonesia juga membawa proyek hukum
Barat yang memaksa kebudayaannya diadopsi dalam ranah hukum. Lain halnya, ketika
berbicara tentang positifikasi prinsipbdan norma syariat Islam sebagai sumber hukum
dalam wilayah sistem kehidupan berbangsa dan bernegara yang terus menemukan jalan
buntu. Formalisasi hukum Islam dalam sistem hukum nasional memerlukan kehati-hatian,
dan tentu tidak cukup berdalil demi kemaslahatan umat. Di sisi lain, sebagai bangsa yang
mayoritas Muslim, Indonesia belum sepenuhnya bisa menggerakkan hukum Islam di
wilayah konstitusi.
Di sini, hukum Islam di dudukkan dalam ranah universal, yang tidak lapuk oleh waktu
dan zaman. Islam juga agama yang komprehensif. Ajaran-ajaran Islam merabah berbagai
cakupan, seperti hukum yang berkaitan dengan akidah, ibadah, ekonomi, pemerintahan,
hukum pendidikan dan hukum sosial kemasyarakatan. Sebagaimana dikatakan Mahmud
Syaltut bahwa Islam bukan agama yang hanya mengurus tentang keimanan, melainkan
juga hukum. Ketika melihat hubungan Islam dan politik, ia tidak pernah memberikan
tembok antara urusan agama dan politik. Al-Qordhawi dalam politik hukum Islam
mengistilahkan dengan al-siyasah al-shar’iyah. Poltik hukum Islam secara khusus
dipahami sebagai proses araha hukum Islam yang akan dipakai negara untuk mewujudkan
tujuan negara, baik berupa hukum baru atau pun penggantian hukum lama.
Secara historis, jauh-jauh hari sebeum kedatangan bangsa Eropa yang menjajah
Indonesia, hukum Islam sebagai suatu sistem hukum mampu tumbuh sumbur dalam
kehidupan masyarakat, berkembang dan tegak di samping hukum adat. Kita mempunyai
akar pijakan yang jelas mengenaik politik hukum Islam di Indonesia. Pada tahun 1345 di
Kerajaan Samudera Pasai tradisi keislaman mampu berkembang di tengah-tengah
masyarakat. Sebagaimana yang dicontohkan oleh sultan al-Malik al-Zahir yang menguasai
hukum-hukum Islam sehingga para ahli hukum Malaka datang ke Samudera Pasai untuk
meminta kata putus mengenai berbagai masalah hukum yang mereka hadapi dalam
masyarakat. Kita juga mengenal Piagam Jakarta yang merupakan sumber persuasif.
Hukum Islam baru menjadi sumber autoritatif dalam ketatanegaraan ketika Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 yang mengakui Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945. Berbicara
hukum Islam di Indonesia tentu perlu mengingat aktor atau elit politik berkuasa. Para elit
ini mempuyai wewenang untuk masuk dan berperan aktif mengusung dan
memperjuangkan di ranah konstistusi. Sebagaimana praktek kenegaraan pada masa itu
tampak politik hukum berdasar pada visi yang berpendirian bahwa syariat dan hukum
Islam hanya merupakan salah satu bahan hukum nasional tetapi tidak mengikat.
Cak Nur mendukung pandangan bahwa Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945
sebagai pedoman kehidupan bernegara mesti betul-betul menjadi substansi demokratisasi.
Ia beralasan bahwa dengan demokrasi, Indonesia akan mempunyai tujuan yang jelas, yaitu
tercapai cita-cita bangsa yang termuat dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Ia juga menegaskan bahwa demokrasi mesti menjadi cara hidup (way of life) masyarakat
Indonesia. Pendapat ini memberi harapan bahwa untuk mewujudkan cita-cita Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945, masyarakat Indonesia hendaknya bergerak di dalam
koridor yang tepat, menghargai pluralitas, serta menghargai kebebasan dan hak-hak asasi
manusia. Inilah yang Cak Nur sebut dengan demokrasi. Lantas bagaimana reformasi
syariah bisa sejalan dengan tujuan negara hukum dan demokrasi di Indonesia.
Cak Nur tampaknya telah mempertimbangkan dengan cermat bahwa Indonesia adalah
negara hukum berdasarkan Pancasila. Sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia,
Pancasila menurutnya lebih dari sekedar cita-cita ideal untuk mempertemukan semua
perbedaan dalam kemajemukkan, tetapi juga jawaban yang paling realistis atas dinamika
politik hukum yang telah berlangsung sejak awal kemerdekaan Indonesia. Cak Nur
tampaknya juga tidak ingin menolak pandangan di kalangan ahli hukum tata negara bahwa
negara berdasarkan hukum ditandai oleh beberapa asas, antara lain asas legalitas
(legaliteits beginsel) dalam proses penegakan hukum. Menurut Cak Nur, asas ini
mengandung makna bahwa dalam negara hukum semua perbuatan atau tindakan
pemerintahan atau negara harus didasarkan pada ketentuan hukum tertentu yang sudah ada
sebelum perbuatan atau tindakan itu dilakukan. Selain itu, dalam negara hukum tidak
dibenarkan adanya campur tangan seseorang atau kelompok atas hak dan kebebasan orang
atau kelompok masyarakat lainnya. Penegakan hukum menurut Cak Nur hanya dapat
dilakukan berdasarkan aturan-aturan hukum tertentu berdasarkan asas persamaan di depan
hukum, yang lazim disebut equality before the law.
Untuk memungkinkan kepastian perwujudan asas legalitas dan persamaan di depan
hukum ini, instrumen hukum harus dibuat mengacu kepada hukum tertinggi (konstitusi)
dan bukan berdasarkan kehendak perorangan atau kelompok tertentu. Menurut Cak Nur,
berbagai peraturan hukum yang dibuat dalam bentuk peraturan perundang- undangan tidak
boleh dibuat untuk kepentingan perorangan atau kelompok, tetapi untuk tujuan penegakan
hukum itu sendiri (supremacy of law). Alasan utama yang ingin diajukan oleh Cak Nur
adalah untuk menghindari peraturan perundang-undangan bagi kepentingan penguasa,
yang pada akhirnya akan membentuk kekuasaan tirani yang jelas-jelas bertentangan
dengan prinsip demokrasi.
Ide dasar negara hukum Indonesia, menurut Cak Nur tidak terlepas dari ide dasar
tentang rechtsstaats. Pendapat Cak Nur tampak relevan dengan yang dijelaskan oleh
Hadjon bahwa Indonesia merupakan negara yang mewarisi hukum Belanda yang
menganut negara hukum (rechtsstaats). Syarat-syarat dasar rechtsstaat yang dikemukakan
Cak Nur erat kaitannya dengan pandangan Burkens dalam tulisannya tentang ide negara
hukum dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang menjelaskan sebagai berikut:
1) Asas legalitas);
2) Pembagian kekuasaan
3) Hak-hak dasar (grondrechten) dan
4) Pengawasan peradilan, bagi rakyat tersedia saluran melalui pengadilan yang bebas
untuk menguji keabsahan tindakan pemerintah (rechtmatigeidstoetsing).
Angin segar demokrasi mulai berubah pasca-amandemen Undang-Undang Dasar
1945 di era reformasi 1998. Cak Nur bersama kalangan pro demokrasi memandang
bahwa konstitusi bukanlah sesuatu yang baku dan tidak bias diubah. Dinamika politik
hukum di era reformasi telah berhasil mendorong dilakukannya perubahan pada beberapa
pasal. Misalnya Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945: “Kedaulatan adalah di
tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratn Rakyat”, diubah
menjadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya menurut
Undang-Undang Dasar”.
E. TRANSFORMASI NORMA SYARIAHA KEDALAM SISTEM HUKUM
NASIONAL
Dalam pandangan penulis, bagian paling menarik dari pemikiran Cak Nur tentang
relasi Islam dan Negara adalah mendiskusikan transformasi norma-norma syariah ke
dalam sistem hokum nasional. Dalam banyak karyanya ia menjelaskan dua pesan penting,
yaitu:
Pertama, transformasi kebudayaan atau perubahan sosial tidak bisa dijalankan sebagai
suatu prakarsa yang murni eksternal, yakni terasing dari sejarah, kebudayaan atau praktik
sosial. Sebaliknya, perubahan sosial dan transformasi budaya harus berakar dan berdasar
pada budaya komunitas itu sendiri agar supaya perubahan berlangsung absah, koheren dan
berkelanjutan. Pada gilirannya hal ini menunjukkan peran penting yang dimainkan
komunitas-komunitas dan anggota-anggotanya sebagai partisipan, subyek dan aktor
perubahan sosial, atau dengan kata lain, peran agensi manusia dalam proses itu. Namun
yang perlu dikembangkan adalah berbagai dimensi kerangka kerja tentang bagaimana
transformasi sosial ini dalam arti dinamika kebudayaan dan identitas, pentingnya
legitimasi kultural diperlukan untuk perubahan sosial, dan peran agensi manusia.
Kedua, menempatkan budayaan sebagai identitas mutlak ditujukan untuk
mengembangkan teori yang jelas tentang perubahan sosial diperlukan. Dalam konteks ini,
diperlukan suatu pemahaman yang memadai tentang gagasan-gagasan kebudayaan dan
identitas, yang merupakan bingkai yang digunakan orang-orang dan komunitas dalam
mendefinisikan diri mereka, dan yang menjadi dasar bagi praktik sosial, interaksi, serta
pertukaran. Dalam istilah kebudayaan yang paling luas, tercakup totalitas nilai, institusi
dan bentuk-bentuk perilaku yang ditransmisikan di dalam masyarakat, termasuk barang-
barang serta hubungan-hubungan sosial-politik.
Ketiga, Legitimasi Kultural Identitas Kebudayaan. Legitimasi kultural bisa didefinisi-
kan sebagai kualitas untuk menyesuaikan diri dengan perinsip-prinsip atau standar-standar
umum budaya yang masih dipersoalkan, dengan cara menda-patkan otoritas dan relevansi
dari prinsip dan standar budayanya sendiri. Norma atau nilai-nilai yang absah secara
kultural adalah norma yang dihormati dan dilaksanakan oleh anggota sebuah komunitas
budaya karena norma itu dapat memenuhi beberapa kebutuhan atau tujuan komunitas dan
individu yang ada di dalamnya.
Keempat, pemegang otoritas budaya, otoritas dan relevansi perubahan yang diperoleh
dari validitas internal adalah penting karena beberapa alasan yang inheren dalam
dinamika-dinamika hubungan-hubungan sosial dan interaksi sosial. Masyarakat mungkin
menganggap perubahan sebagai sesuatu yang positif dan bermanfaat, tetapi perubahan-
perubahan demikian mungkin pada awalnya ditolak sebagai sesuatu yang negatif dan
merusak oleh para penjaga tradisi tatanan sebelumnya. Dengan menerima kenyataan
tersebut, maka setiap pihak yang berdebat mampu menyoal bagaimana cara memahami
dan menghadapi sudut pandang pihak lain. Selain itu, seorang individu juga boleh jadi
akan sangat tergantung kepada masyarakatnya yang mampu untuk menanamkan atau me-
maksanakan keselarasan pada anggota-anggotanya, kebijakan dan tindakan publik lebih
mungkin berjalan seiring dengan norma-norma dan pola-pola perilaku kultural yang ideal
dibanding tindakan-tindakan pribadi.
Untuk membangun kerangka ideal bagi reformasi syariah dalam bingkai negara
hukum Indonesia, sekurang-kurangnya ada dua pendekatan. Pertama, Pendekatan
Kontekstual terhadap Sekularisme sebagai Mediasi. Kata sekuler dalam bahasa Inggris
berasal dari kata Latin saeculum, yang artinya periode besar waktu atau lebih dekat spirit
zaman. Belakangan, maknanya berubah menjadi dunia ini, yang secara tak langsung
berarti ada lebih dari satu dunia. Istilah ini akhirnya diterjemahkan menjadi konsep
“sekuler” dan “religious” yang berasal dari ide temporal dan spiritual. Istilah ini juga
berkembang dalam konteks Eropa dari sekularisasi dalam artian privatisasi wilayah-
wilayah gereja, hingga sekularisasi politik, dan kemudian seni serta ekonomi.
Garis perkembangan ini tergambar dalam definisi sekularisme di kamus Webster:
“Pengabaian atau penolakan atau penga singan agama atau pertimbangan keagamaan”.
The Short Oxford Dictionary mendefinisikan sekularisme sebagai doktrin bahwa moralitas
seharusnya semata-mata didasarkan pada penghargaan atas umat manusia dalam
kehidupan seperti sekarang ini, dengan membuang semua pertimbangan yang diambil dari
keyakinan pada Tuhan atau hari akhirat. Oleh karena itu, istilah ini sering digunakan untuk
menandakan gagasan-gagasan, seperti kemunduran agama, kesesuaian dengan kehidupan
masa kini, pemisahan dan pembedaan masyarakat dari agama (pemisahan gereja dan
negara), transposisi keyakinan-keyakinan dan institusi-institusi agama (beralih dari sumber
kekuasaan Tuhan ke sebuah gejala kemampuan dan kreasi manusia), “desakralisasi” dunia
dan kemudian “sakralisasi” akal pikiran.
Transformasi hukum Islam jika dilakukan secara substansif tidak boleh terlepas dari
sejarah panjang bangsa ini. proses ini berkaitan dengan perjalanan sejarah hukum Islam
Indonesia dan kebijkan hukum dalam menempatkan kedudukan hukum Islam dalam skala
nasional. Di sini, ketika melihat politik hukum Islam di masa depan, tentu kita harus
berlapang dada untuk tidak menjadikan hukum Islam sebagai projek hukum formal skala
nasional. Hukum Islam didudukkan sebagai bagian dari spirit dan nilai-nilai kaum muslim
dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam konteks Indonesia,
eksistensi hukum Islam dalam tataran aplikatif menjadi hukum positif (ius constituendum)
hanya yang berkaitan dengan hukum privat yaitu ‘ubûdiah dan muamalah. Sedangkan
yang berkaitan dengan hukum publik, Islam sampai hari ini masih menjadi hukum yang
dicita-citakan. Walaupun begitu, seluruh upaya untuk lebih menerapkan hukum Islam di
Indonesia patut diapresiasi dengan baik, di tengah pelbagai halangan dan tantangan yang
datang dari segala penjuru menolak eksistensi hukum Islam ke arah kodifikasi, unifikasi,
kompilasi, hukum Islam ke dalam hukum positif. Bila dikaji dengan seksama,
implementasi hukum Islam di Indonesia dapat dilaksanakan melalui dua jalur. Pertama,
dengan jalur iman dan takwa. Artinya, pemeluk agama Islam melaksanakan hukum Islam
secara pribadi sesuai dengan kualitas keimanan dan ketakwaannya. Pelaksanaan hukum
Islam melalui jalur ini dijamin oleh negara sesuai dengan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945.
Jalur kedua, melalui perundang-undangan dalam pelbagai undang-undang dan
peraturan lainnya. Penetrasi hukum Islam ke dalam peraturan perundangan di Indonesia
dapat dibedakan menjadi dua model, yaitu pertama, penetrasi hukum Islam ke dalam
peraturan perundangan secara substantif dan tidak dinyatakan secara eksplisit sebagai
hukum Islam. Proses transformasi hukum Islam ke dalam Kompilasi Hukum Islam dapat
dilihat dari proses panjang pembentukan Kompilasi Hukum Islam yang dilaksanakan oleh
sebuah Tim Pelaksana Proyek yang ditunjuk dengan SKB Ketua Mahkamah Agung RI
dan Menteri Agama RI No.07/KMA/1985 dan No. 25 Tahun 1985 tanggal 25 Maret 1985
dengan tugas pokok adalah untuk melaksanakan usaha Pembangunan Hukum Islam
melalui Yurisprudensi dengan jalan Kompilasi Hukum. Sasarannya mengkaji kitab-kitab
yang dipergunakan sebagai landasan putusan-putusan hakim agar sesuai dengan
perkembangan masyarakat Indonesia menuju hukum Nasional.4
Upaya transformasi hukum Islam kedalam hukum nasional dilakukan dengan
penelaahan/pengkajian kitab-kitab, wawancara dengan para ulama, lokakarya terhadap
hasil penelaahan kitab dan hasil wawancara serta terakhir dengan studi perbandingan ke
negara-negara Islam atau negara-negara yang menggunakan hukum Islam sebagai hukum
nasionalnya. Khusus untuk Indonesia maka transformasi hukum Islam ke dalam hukum
nasional sudah diupayakan dengan kondisi masyarakat Indonesia yang memiliki beragam
adat istiadat.
F. PENUTUP
Setelah menyimak pemaparan di atas, penulis dapat merumuskan bahwa Cak Nur
melihat ada peluang yang lebih luas untuk membentuk sistem pemerintahan Islam, namun
pengembangan gagasan reformasi syariah di Indonesia harus memperhatikan
pertimbangan sebagai berikut: pertama, umat manusia cenderung mencoba dan mengalami
tipe-tipe dan bentuk-bentuk ganda dan tumpang tindih keanggotaan dalam kelompok-
kelompok yang berbeda berdasarkan etnis, identitas keagamaan atau kultural, afiliasi
profesional, sosial atau politik, kepentingan ekonomi dan seterusnya. kedua, makna dan
implikasi-implikasi setiap tipe atau bentuk keanggotaan seharusnya ditentukan oleh dasar
pemikiran atau tujuan untuk menjadi anggota kelompok dimaksud, tanpa menghalangi
atau memperlemah efektifitas bentuk keanggotaan lainnya. ketiga, istilah
kewarganegaraan yang digunakan mengacu kepada bentuk khusus status keanggotaan
4
nstruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: DEPAG RI 1999/2000), h.127-139
dalam komunitas politik negara teritorial dalam konteks globalnya.
Keberadaan hukum sesungguhnya adalah untuk memberikan kepastian dalam melakukan
aktifitas sosial, mana yang harus dilakukan dan mana yang seharusnya ditinggalkan.
Hukum Islam substansinya lebih mendalam dari hanya sekedar melakukan dan tidak
melakukan suatu perbuatan sosial karena pelaksanaan hukum Islam akan membuahkan
hasil yang diyakini oleh umat Islam berpahala dan akan mendapatkan balasan kebaikan
(surga) di yaumil akhir kelak.
Penulis juga mengambil beberapa pokok pikiran dari pemikiran Cak Nur tentang
reformasi syariah dalam konteks dialektika politik hukum Islam di Indonesia sebagai
berikut: Pertama, pengembangan pemikiran tentang negara hukum dan reformasi syariah
berikut implikasi-implikasinya hendaknya lebih berorientasi kepada masa depan
demokrasi itu sendiri; Kedua, reformasi syariah hendaknya bukan hanya dibicarakan pada
dataran ide yang tidak membumi, tetapi mesti diarahkan kepada masalah yang bisa
diaplikasikan sesuai dengan realitas kehidupan masyarakat saat ini dan di masa depan; dan
Ketiga, pemikiran manusia akan selalu berdialektis sesuai dengan perubahan zaman-nya,
dan karena Islam tidak memberikan format ideal tentang negara, maka negara hukum yang
Islami sepenuhnya diserahkan menjadi pilihan manusia itu sendiri (antum a‘lamu bi umûri
dunyâkum).

Anda mungkin juga menyukai