Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

“KONSEPSI NEGARA HUKUM”

Mata Kuliah Hukum Acara PTUN & MK

Dosen Pengampu: Idrus Alghiffary,S.H.,M.H

Disusun Oleh:

Kelompok 1

Alwazir Guna Putra 2021030353

Dhea Phasa 2021030362

Ica Tri Yuliana 2021030346

Novi Indriani

Rob

KELAS G

FAKULTAS SYARIAH

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG

2022 M / 1444 H
KATA PENGANTAR

Dengan segala rasa hormat, kami menghadirkan makalah yang membahas konsepsi
negara hukum. Konsep ini menjadi semakin penting dalam perkembangan sistem hukum modern
di seluruh dunia karena menekankan pentingnya kekuasaan hukum dalam mewujudkan negara
yang adil dan demokratis. Konsep negara hukum memiliki akar sejarah yang panjang, tetapi
dapat ditemukan dalam filsafat politik dan hukum klasik seperti Aristoteles dan Thomas
Aquinas.

Makalah ini berusaha untuk membahas secara komprehensif mengenai konsepsi negara
hukum dan bagaimana konsep ini mempengaruhi perkembangan sistem hukum di seluruh dunia.
Kami juga akan membahas prinsip-prinsip utama dari konsep negara hukum, yaitu kepastian
hukum, hak asasi manusia, pembatasan kekuasaan pemerintah, dan keterbukaan dan transparansi.
Kami akan mengeksplorasi bagaimana konsep negara hukum memengaruhi perkembangan
hukum di berbagai negara dan bagaimana implementasinya dalam prakteknya.

Dalam pembahasannya, makalah ini mengacu pada sumber-sumber yang telah teruji dan
diakui keakuratannya. Kami berharap makalah ini dapat memberikan pemahaman yang lebih
dalam tentang konsepsi negara hukum dan memberikan kontribusi bagi para pembaca dalam
memperjuangkan implementasi prinsip-prinsip negara hukum dalam sistem hukum di negara
mereka masing-masing.

Bandar Lampung, 06 Maret 2023

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ....................................................................................................................1
DAFTAR ISI...................................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUANA ............................................................................................................4
1.1 Latar Belakang ........................................................................................................................6
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................................................6
1.2.1 Bagai mana Negara bias disebut dengan Negara Hukum? .........................................6
1.2.2 Apa tipe hukum yang dianut dinegara Indonesia? ......................................................6
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................................4
2.1 PEMIKIRAN TENTANG NEGARA HUKUM .....................................................................6
2.2 NEGARA HUKUM INDONESIA ........................................................................................6
2.3 KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA ..................................................................6
BAB III PENUTUP ........................................................................................................................5
3.1 KESIMPULAN .......................................................................................................................6
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Konsepsi negara hukum adalah konsep penting dalam filsafat politik dan hukum
modern. Konsep ini menekankan pentingnya kekuasaan hukum dalam mewujudkan negara
yang adil dan demokratis. Konsep negara hukum memiliki akar sejarah yang panjang, tetapi
dapat ditemukan dalam filsafat politik dan hukum klasik seperti Aristoteles dan Thomas
Aquinas.
Namun, konsepsi negara hukum yang dikenal saat ini terutama berasal dari pemikir-
pemikir abad ke-18 dan ke-19 seperti John Locke, Montesquieu, dan Immanuel Kant.
Mereka menekankan pentingnya kekuasaan hukum sebagai alat untuk melindungi hak asasi
manusia, menjaga kebebasan individu, dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh
penguasa.
Konsep negara hukum modern biasanya terdiri dari beberapa elemen penting, antara
lain:
1. Kepastian hukum, yaitu bahwa hukum harus jelas dan dapat dipahami oleh semua orang,
dan harus diterapkan secara konsisten oleh pemerintah.
2. Hak asasi manusia, yaitu bahwa setiap orang memiliki hak yang sama dan tak
terpisahkan untuk hidup, kebebasan, dan kebahagiaan.
3. Pembatasan kekuasaan pemerintah, yaitu bahwa kekuasaan pemerintah harus dibatasi
agar tidak menyalahgunakan hak-hak individu dan agar tidak mengambil keputusan
yang merugikan kepentingan publik.
4. Keterbukaan dan transparansi, yaitu bahwa pemerintah harus terbuka dan dapat
dipertanggungjawabkan terhadap rakyatnya.
5. Dalam prakteknya, konsepsi negara hukum menjadi dasar bagi banyak negara modern
dan sistem hukum yang berlaku di seluruh dunia, meskipun implementasinya tidak
selalu konsisten.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana negara bisa disebut dengan negara hukum?


2. Apa tipe hukum yang dianut dinegara Indonesia?
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 PEMIKIRAN TENTANG NEGARA HUKUM

Gagasan atau cita tentang negara hukum sudah lama sekali munculnya dalam
peradaban manusia, yakni sejak zaman Yunani melalui pemikiran Socrates maupun Plato.
Plato dalam bukunya yang berjudul The Laws (Nomoi) memperkenalkan gagasan negara
hukum. Pemikiran negara hukum tersebut, semakin berkembang melalui ajaran, seperti John
Locke dalam bukunya "Two Treaties on Civil Government'’, Montesquie dalam bukunya L'
esprit des lois, dan Imanuel Kant dalam bukunya Uber den Gemeinspruch.1 Selanjutnya
melalui pemikiran A.V. Dicey dari Inggris maupun EJ. Stahl dari Jerman pemikiran negara
hukum semakin berkembang dan semakin progresif.
Setiap negara hukum menghendaki segala tindakan atau perbuatan pemerintah harus
mempunyai dasar hukum yang jelas atau ada dasar legalitasnya, baik berdasarkan hukum
tertulis maupun hukum tidak tertulis. Dengan kata lain, pada negara hukun menyatakan
bahwa hukumlah yang menjadi faktor penentu bagi keseluruhan dinamika kehidupan sosial,
ekonomi, politik di suatu negara.2 Oleh karena itu, jargon yang biasa digunakan dalam
bahasa Inggris untuk menyebut prinsip negara hukum adalah "the rule of law, not of man".
Dalam lapangan administrasi negara, jargon serupa dikenal dengan asas tindakan pemerintah
berdasarkan atas hukum "wet matigheid van bestuur’’. Keabsahan negara memerintah
berdasarkan konsepsi kenegaraan, karena negara memiliki kekuasaan atau kedaulatan
tertinggi lembaga yang tidak memihak (netral), tidak berpihak, berdiri di atas semua
golongan masyarakat dan mengabdi pada kepentingan umum.3
Gagasan negara hukum selain terkait dengan konsep "rechtsstaat dan the rule of law',
juga berkaitan dengan konsep "nomocracy", yang berasal dari perkataan "nomos" dan

1
Indroharto, 1988. Usaha Memahami Undang Undang tentang Perddilan Tata Usaha Negara, Sinar
Harapan, Jakarta, him. 57
2
Jimmly Assiddiqie, Mahkamah Konstitusi dan Cita Negara Hukumt Indonesia, Orasi llmiah Dies Natalis
Fak. Hukum Unand, 6 September 2004.
3
Zairin Harahap. 2007, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Raja Grafindo, Jakarta.hlm. 1.
"cratos" atau "kratein”. Perkataan nomocracy itu dapat dibandingkan dengan "demos” dan
"cratos" dalam demokrasi. Nomos" berarti norma, sedangkar "cratos" adalah kekuasan. Jadi,
faktor penentu kekuasaan dalam negara adalah norma atau hukum. Istilah nomocracy itu
berkaitan dengan ajaran kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi.
Latar belakang pemikiran negara hukum lahir dari upaya manusia untuk mengatasi
kesewenang-wenangan (absolutisme) dari pemerintah, karena setiap yang memerintah dari
segi sosiologi kekuasaan potensial untuk menyalahgunakan kekuasaannya. Menurut Lord
Acton orang yang berkuasa cenderung bertindak sewenang-wenang, hal itu telihat dari
ungkapannya yang sangat popular "Power tents to corrupt, absolute power corrupts
absolutely”. Agar ke sewenang-wenangan dapat dihindari dan hak asasi manusia mendapat
jaminan maka kekuasaan dari Sang Penguasa perlu dibatasi oleh hukum.
Terkait dengan negara hukum, hampir semua negara di dunia ini menyebur negaranya
adalah negara hukum, namun tidaklah demikian dalam kenyataannya. Banyak negara
menyatakan negaranya hukum tetapi dalam keryataannya penyelenggaraan pemerintahan
negara tersebut sangat otoriter. Kalaupun di negara tersebut terdapat hukum (peraturan
perundang-undangan), tetapi peraturan tersebut dibuat untuk kepentingan kekuasaan, yakni
sebagai dasar legitimasi kekuasaan atau demi mempertahankan status quo. Secara teoretis.
suatu negara baru dapat disebut negara hukum jika dalam negara tersebut terdapat unsur-
unsur sebagai berikut.4
1. Dalam negara hukum, pemerintahan berdasarkan undang-undang (asas legalitas) di mana
kekuasaan atau wewenang yang dimiliki pemerintah itu hanya semata-mata ditentukan
oleh Undang-Undang Dasar (UUD) dan Undang-Undang (UU).
2. Dalam negara, hak-hak manusia diakui dan dihormati oleh penguasa.
3. Kekuasaan pemerintahan dalam negara tidak dipusatkan dalam satu tangan. tetapi harus
dibagi kepada lembaga-lembaga kenegaraan di mana yang satu melakukan pengawasan
terhadap yang lain sehingga tercipta suatu keseimbangan antarlembaga Negara.
4. Perbuatan pemerintah yang dilakukan oleh aparatur kekuasaan dimungkinkan untuk
diajukan ke peradilan yang tidak memihak yang diberi wewenang menilai tindakan atau
perbuatan pemerintah.

4
Ibid., hlm, 59.
Istilah negara hukum merupakan terjemahan dari the rule of law maupun rechtsstaat.
Kedua istilah tersebut memiliki latar belakang maupun karakter yang sangat berbeda, tetapi
dalam beberapa pembicaraan pemakaian kedua istilah tersebut tidak ada perbedaan.
Pemikiran negara hukum (rechtsstaat) berkembang dari pemikiran dalam sistem hukum
kontinental. Negara hukum dengan tipe (the rule of law) berkembang dari sistem hukum
anglo saxon. Kedua sistem hukum itu seolah-olah membedakan dunia kita menjadi dua
kubu.5 Tetapi pandangan yang kemudian muncul mengatakan terdapat juga. sistem hukum
lain selain sistem tersebut, yakni sistem hukum Islam, sistem hukum sosialis, dan lain-lain.6
Dalam studi hukum, pada dasarnya hukum barat mengenal dua sistem hukum, yaitu
sistem hukum yang masuk pada civil law dan common law. Civil law system merupakan.
sistem hukum yang mempunyai determinasi kuat dan berpengaruh di negara-negara, seperti
Perancis, Belanda, Belgia, Portugis. Common Law system berlaku pada Negara Inggris dan
eks jajahannya (British Empire), seperti Amerika, Canada, Australia, Malaysia, Singapura,
India danlain-lain.
Dalam perkembangan saat ini, hasil penelitian yang dilakukan oleh ahli
perbandingan hukum telah mengelompokkan keluarga sistem hukum. Marn Ansel
sebagaimana dikutip oleh Ade Maman Suherman mengemukakan sekurang-kurangnya lima
sistem hukum di dunia, yaitu sebagai berikut.
1. Sistem Eropa Kontinental (system of civil law)
2. Sistem Anglo American (common law system)
3. Sistem Timur Tengah (middl east ystem).
4. Sistem Timur Jauh (far cast system).
5. Sistem Negara-Negara Sosialis.7
Pengelompok sistem hukum dikemukakan oleh Rene David yang membedakan
keluarga sistem hukum atas empat kelompok, yaitu sebagai berikut.
1. Hukum Romawi-Jerman (The Romano-Germanic Family)
2. Hukum Kebiasaan (The Common Law Family)
5
Satjipto Raharjo, 1986,Ilmu Hukum, Penerbit Alumni, Bandung, hlm. 307.
6
Bagir Manan, 1992, Dasar Perundang-undnagan Indonesia, In Hill Co., Jakarta, hlm. 5.
7
Ade Maman Suherman, 2008, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Civit Law, Common Law. Hukum
Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 20.
3. Hukum Sosialis (The Family of Socialis Law)
4. Konsepsi-Konsepsi Hukum dan Tatanan Sosial Lainnya (Keluarga Hukum
Agama dan Hukum Tradisional).8
Sistem hukum yang berlaku dalam masyarakat bangsa-bangsa juga memiliki
keragaman akar dan sistem hukum antara yang satu dengan lainnya. Eric L.. Richard pakar
hukum global business dari Indiana University menjelaskan sistem hukum utama di dunia
(the Worlds Major L.egal System) sebagai berikut.
1. Civil Law (hukum sipis berdasarkan kode sipil yang terkodifikasi). Sistem ini berakar
dari hukum Romawi (Roman Law) yang dipraktikan oleh negaranegara Eropa
Kontinental termasuk bekas jajahannya.
2. Common Law (hukum yang berdasarkan costum, atau kebiasaan berdasarkan preseden
atau judge made law. Sistem hukum common law dipraktikan di negara-negara Anglo
Saxon, seperti Inggris dan Amerika.
3. Islamic Law, hukum yang berdasarkan syariah Islam yang bersumber pada Alquran dan
Hadis.
4. Socialist Law, hukum yang dipraktikan di negara-negara sosialis.
5. Sub-Sahara Afrika, sistem hukum yang dipraktikan di negara-negara Afrika yang berada
di sebelah selatan Gurun Sahara.
6. Far East, sistem hukum yang kompleks, sebab sistem hukum ini merupakan perpaduan
antara sistem civil law, common law, dan hukum islam sebagai basis fundamental
masyarakat.9
Dengan demikian, pemikiran yang berkembang sekarang ini istilah negara hukum
sebagai prinsip umum terdiri atas lima macam konsepsi sebagai spesial prinsip, yaitu sebagai
berikut.
1. Negara Hukum menurut Quran dan Sunnah. Untuk istilah ini, A. Tahir cenderung
menggunakan istilah nomokrasi Islam.

8
Rene David dan John E.C. Barierley, Mayor Legat Systems in the World Today, London, Ste vans &
Sons, 1978, hlm. 22-28.

9
Eric L. Richard, dalam Ade Maman Suherman, op.cit., hlm. 21.
2. Negara hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang dinamakan rechtsstaat. Model
negara hukum ini diterapkan di Eropa, misalnya di Belanda, Jerman, dan Perancis.
3. Konsep rule of law diterapkan di negara-negara Anglo Saxon, antara lain di Inggris dan
Amerika Serikat.
4. Suatu konsep yang disebut sosialist legality yang diterapkan di Uni Soviet sebagai negara
komunis.
5. Konsep negara hukum Pancasila.10
Dalam bahasan ini, penulis memaparkan dua tipe negara hukum yang dikenal dalam
konsepsi Barat, yakni the rule of law dan rechtsstaat. The rule of law lahir dari pemikiran
A.V. Dicey yang mempunyai karakter revolusioner dengan latar belakang administrasi.
Dicey sebagaimana dikatakan oleh G.w. Paton11 memberikan tiga pengertian atau tiga syarat
untuk the rule of law "Dicey found three meanings in the phrase "the rule of law" Firstly, the
supremacy of regular law over arbitrary power, secondly, equality before the law in the
sense that officials must obey it ang are subject to the jurisdiction of the ordinary courts;
thirdly the fact that the law of the constitution is the result of decisions of the courts as to the
rights of private individual’’.
Paton12 memberikan kritikan terhadap padangan Dicey karena tidak cukup menurut
the rule of law saja, karena undang-undang dapat berisi hal-hal yang berbeda. Undang-
undang dapat memberikan perlindungan manusia terhadap tindakan sewenang-wenang dari
penguasa, tetapi undang-undang juga dapat dibuat justru untuk membenarkan penguasa yang
sewenang-wenang. Pada konferensi ahli hukum Internasional (International Commission of
Jurists) telah memberikan batasan pengertian bahwa the rule of law baru terjelma, jika law-
law dari negara yang bersangkutan mengindahkan dan melindungi hak asasi manusia.13

10
Muin Fahmal, 2006, Peranan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Layak dalam Mewu judkan
Pemerintahan yang Bersih, Ull Press, Yogyakarta, hlm. 75.
11
G.w. Paton, A Text Book of Jurisprudence, Oxford University Press, 1955, P. 277.
12
Sumrah, dalam the Rule of Law dan Praktek Praksek Penahanan di fndonesia, Seminar Hak Asasi
Manusia di Bandung. 1968, tulisan dihimpun oleh Eddy Damian, hlm. 27.

13
Ibid, hlm, 27.
Terkait dengan negara hukum, C.E.Marbun14 menguraikan unsur-unsur the rule of
law menurut A.V. Dicey adalah sebagai berikut.
1. Supremasi aturan-aturan hukum (the absolute supremacy or predominance oflaw);
2. Kedudukan yang sama di hadapan hukum (equlity before the law or the equal subjection
of all classes to the ordinary law of the land administrated by ordinary law courts).
3. Adanya jaminan hak terhadap hak-hak asasi manusia (a formula expressing that fact that
with us the law constitution, the rules wich in foreign countries naturally form parts of a
constitutional code, are not the source but the consequence of the rights of the
individuals as defined and enforce by the countries).

Pandangan dan pemikiran dari Dicey kemudian yang berpengaruh di negaranegara


yang menganut sistem Anglo Saxon yang memosisikan bahwa semua orang dipandang sama
(equal) di hadapan hukum. Asas persamaan (equality) menghendaki siapa pun yang bersalah
di hadapan hukum harus diadili oleh pengadilan yang sama (ordinary court). Peradilan yang
sama untuk semua warga tanpa membedakan kedudukan orang di lapangan pemerintahan
yang akhirnya melahirkan pemikiran yang dikenal dengan common law system.

Sistem hukum kontinental yang muncul dari pandangan Friedrich Julius Stahl
berwatak revolusioner dengan karakter administratif yang dipengaruhi oleh latar belakang
pemikiran tentang kekuasaan raja di Roma dan Eropa Barat.

Dalam sistem ini raja sering mengeluarkan dekrit yang akhirnya berubah pada
kekuasaan para menteri. Oleh karena itu, kekuasaan para menteri atas nama raja perlu
dikontrol atau diawasi agar tidak muncul kesewenang-wenangan (abus of power). Untuk
melakukan kontrol tersebut, akhirnya lahirlah suatu pemikiran bahwa perlunya peradilan
tersendiri yang dikenal dengan Peradilan Administrasi Negara (administrative judiciary).

14
S.F. Marbun, 2003, Peradilan Administrasi dan Upaya Administrastif di Indonesia, cetakan Kedua,
Liberty, Yogyakarta, hlm. 7-8.
Pandangan EJ. Stahl dikutip oleh Oemar Seno Adiji,15 mengemukakan unsur-unsur
rechtsstaat adalah sebagai berikut.

1. Perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia


2. Pemisahan dan pembagian kekuasaan negara untuk menjamin hak-hak asasi manusia
3. Pemerintahan berdasarkan peraturan.
4. Adanya peradilan administrasi.

Pemikiran negara hukum dengan sistem kontinental ini yang memengaruhi sistem
hukum Indonesia. Karena latar belakang sejarah Indonesia yang pernah dijajah Belanda,
sedangkan Belanda menganut sistem hukum kontinental, yang dikenal juga dengan negara
Hukum Roma Modern (Modern Roman Law). Unsur-unsur yang terdapat pada kedua tipe
negara hukum tersebut mempunyai persamaan dan perbedaan. Persamaan pokok antara the
rule of law dan rechtsstaat adalah sama-sama memberikan perlindungan dan penghormatan
terdapat hak asasi manusia. Adapun perbedaan utama kedua tipe negara hokum tersebut
adalah terletak pada Anglo Saxon penekanan pada prinsip persamaan di hadapan hukum
(equlity before the law) yang lebih diutamakan sehingga tidak perlu menyediakan peradilan
khusus untuk pejabat administrasi. Prinsip equality before the law pada negara hukum tipe
Anglo Saxon menghendaki agar prinsip persamaan antara rakyat dengan pejabat administsrasi
negara harus juga tercermin dalam lapangan penyelenggaraan administrasi negara.

Perbedaan antara kedua tipe negara hukum tersebut adalah terdapatnya unsur
peradilan administrasi negara pada negara hukum tipe kontinental (rechtsstaat). Eksistensi
Peradilan Administrasi Negara dalam tipe Negara hukum kontinental tersebut dimaksudkan
untuk memberikan perlindungan hukum bagi warga masyarakat terhadap sikap pemerintah
yang melanggar hukum (ornhtsmatig overheidsd.a.d) ataupun melanggar asas-asas pemerin
tahan yang baik, kecuali peradilan administrasi memberikan perlindungan hukum yang sama
kepada administrasi negara agar bertindak sesuai dengan hukum (rechtmatiheid). Dalam hal

15
Oemar Seno Adji, 1966, Seminar Ketatanegaraan Undang Undang Dasar 1945, Seruting Masa, Jakarta,
hlm. 24.
ini, rechtstat memosisikan perlindungan yang sama antara warga masyarakat dengan pejabat
administrasi.

Sebagai karakteristik dari mcitsstat Burkens, et al. Sebagaimana dikutip oleh Philipus
M. Hadjon mengemukakan bahwa syarat-syarat dasar negara hukum tipe ini adalah scbagai
berikut.

1. Asas legalitas: Setiap tindakan pemerintah harus didasarkan peraturan perundang-


undangan (wetteljikegronislag). Dengan landasan ini, undang undang dalam arti formal
dan Undang Undang Dasar sendiri merupakan tumpuan dasar tindakan pemerintah.
Dalam hubungan ini, pembentuk undang-undang merupakan bagian penting negara
hokum
2. Pembagian kekuasaan: Syarat ini mengandung makna bahwa kekuasaan negara tidak
boleh hanya bertumpu pada satu tangan.
3. Hak-hak dasar (erondrechten): Hak-hak dasar merupakan sasaran perlin dungan hukum
bagi rakyat dan sekaligus membatasi kekuasaan pemben tukan undang-undang.
4. Pengawasan pengadilan: bagi rakyat tersedia saluran melalui pengadilan yang bebas
untuk menguii keabsahan tindakan pemerintahan (rechts matighcids toetsine).16
Unsur-unsur negara hukum yang awalnya terdiri atas beberapa elemen seperti
pemikiran A.V. Dicey, Yulus Stahl, dan Immanuel Kant, dalam kenyataannya akhir-akhir ini
mengalami perkembangan sejalan dengan perkembangan pemikiran dari negara hukum yang
mengalami kemajuan ditandai dari hasi pertemuan Intermasional Commission of Jurist in
Bangkok tahun 1965, yang antara lain memuat ".. That the rule of law can orly reach its
highest cxpresion and fullest raliation under a reprsentative govermment frely chosen hy
universal adult suffrage, and that the rule of law requines cfiectiv machinery for the
protection fundamental rights and freedoms" Sehubungan dengan itu, S.E. Marbun

16
Philpus M Hadjon, 1994, Ide Negara Hukum dalam Sistem Ketatanegarzan Repuhik in.
dnesia, Makalah, hlm 4. Lihat juga H Abdul Latif, 2005, Hukum dan Feraturan kebykan
utk (beleidsregen pada pemerintahan daerah, UI Press, Yogyakarta, hlm 17-18.
mengemukakan unsur negara hukum berdasarkan rumusan deklarasi Bangkok adalah sebagai
berikut.
1) Perlindungan konstitusional dalam arti konstitusi selain menjamin hakhak individu harus
menentukan pula cara prosedural memperoleh perlindungan hak-hak yang dijamin.
2) Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak.
3) Kebebasan untuk menyatakan pendapat.
4) Pemilihan umum yang bebas
5) Kebebasan untuk berorganisasi dan beroposisi.
6) Pendidikan kewarganegaraan.17
Terdapatnya kemajuan rumusan yang menguraikan unsur-unsur Negara hukum dari
waktu ke waktu memberi pertanda bahwa pemikiran negara hukum tidak statis, tetapi selalu
berubah mengikuti perkembangan pemikiran dan harapan-harapan manusia akan hidup yang
lebih baik.

2.2 NEGARA HUKUM INDONESIA

Setiap negara hukum yang menganut tipe Anglo Saxon maupun Eropa Kontinental
selalu memiliki "kekuasaan kehakiman yang bebas dan mardeka" sebagai sarana
perlindungan hukum bagi warganya. Indonesia sebagai Negara hukum ditegaskan dalam
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
Negara RI 1945) yang mengatakan Negara Indonesia adalah negara hukum. Hal itu
menunjukkan pengakuan yang tegas dan kuat dalam sistem hukum Indonesia, sehingga
pembentuk konstitusi memandang perlu merumuskannya dalam UUD Negara RI 1945.
Negara Hukum Indonesia yang dikenal menganut tipe rechtsstaat,18 setelalh
amandemen UUD 1945 istilah rechtsstaa dinetralkan menjadi "negara hukum" tanpa label

17
SF Marbun, 2003, Pengadilan Administrasi dan upaya administrasi di Indonesia, Liberty Yogyakarta,
hlm. 7. Yusril Ihza Mahendra, Mewujudkan Supremasi Hukum Di Indonesia, Tim Pakar Hukum
Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI bersama Sekretariat enderal Departemen Kehakiman
dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta, hlm. 9. Astim Rianto, Teori Konstitusi, 2000, Yapemdo, Randung,
hlm, 252.
rechtsstat yang diletakkan dalam kurung.19 Dengan demikian politik hukum di Indonesia
tentang konsepsi negara hukum menggabungkan dua unsur yang baik dari rechtsstaat dan
the rule of law, bahkan sistenı hukum lain sekaligus.20 Dengan konstruksi UUD Negara RI
1945 sekarang, terjadi pergeseran pengaturan negara hukum, di mana sebelum amandemen
UUD 1945 konsepsi negara hukum ditegaskan dalam Penjelasan Umum UUD 1945 dengan
kalimat "Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat). Setelah
amandemen, rumusan tersebut dicantumkan dalam batang tubuh UUD Negara RI 1945,
yakni dalam Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan "Negara Indonesia adalah Negara Hukum.
Menurut Mahfud penetralan kalimat dalam Pasal 1 ayat (3) tersebut bukan tidak
penting artinya, karena di dalamnya terkandung konsep prismatika21 tentang negara hukum,
yaitu penggabungan unsur-unsur yang baik pada beberapa konsep yang berbeda dalam suatu
konsep yang menyatu (integratif) yang implementasinya disesuaikan dengan tuntutan
perkembangan. Pada tipe negara hukum Eropa Kontinental mengutamakan kepastian hukum,
karena sumber utama hukumnya adalah undang-undang (tertulis). Jadi, tipe negara hukum ini
menganut paham positivistik legalistik. Adapun negara hukum tipe Anglo Saxon
mengutamakan keadilan. Negara yang menganut tipe ini sumber utama hukum adalah
yurisprudensi yang digali oleh hakim melalui hokum yang hidup dalam masyarakat (levend
beginselen atau living law of the people). Dengan demikian, tipe ini menganut paham
sociological jurisprudence dengan melihat hukum pada kenyataan-kenyataan hukum yang
terdapat dalam ma syarakat.
Negara hukum Indonesia memiliki karakteristik tersendiri dengan ciri khas Pancasila.
Namun sebagai bagian dari negara hukum pada umumnya, negara hukum Indonesia juga
memiliki unsur-unsur umum suatu negara hukum. Konsep negara hukum pancasila pernah
dikupas oleh Philipus M. Hadjon, di mana pengakuan terhadap harkat dan martabat manusia

18
Sebelum perubahan UUD 1945, dalam Penjelasan Umum angka I UUD 1945 ditegaskan bahwa
Indonesia adalah negara berdasarkan atas hukum (rechtsstaat bukan berdasar kan kekuasaan belaka (machtstaan).

19
Moh Mahfud, MO, 2007, PerdeBatan Hukum Tata Negara, Pasca Amandemen Aonstitus, LP3ES.
Jakarta, him. 50.

21
Ibid.
dalam negara hokum Indonesia yang secara melekat pada Pancasila.22 Bertolak dari falsafah
pancasil.
Philipus M. Hadjon merumuskan elemen negara hukum Pancasila sebagai berikut:
1. Adanya keserasian antara pemerintah dengan rakyat berdasarkan asas kerukunan.
2. Hubungan fungsional yang profesional antara kekuasaan negara.
3. Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana
terakhir.
4. Keseimbangan antara hak dan kewajiban.23
Pandangan lain tentang unsur negara hukum dikemukakan oleh Jimly Asshiddigie
dengan merumuskan 13 prinsip negara hukum Indonesia (rechts staat). Ketiga belas prinsip
pokok tersebut merupakan pilar-pilar utama yang menjaga berdiri tegaknya suatu negara
modern sehingga dapat disebut negara hukum (the rule of law ataupun rechtsstaat) yang
sebenarnya. Adapun ketiga belas pilar tersebut adalah sebagai berikut.24
1. Supremasi hukum (supremacy of law)
2. Persamaan di dalam hukum (equality before the law)
3. Asas legalitas (due process of law)
4. Pembagian kekuasaan.
5. Organ-organ eksekutif independen.
6. Peradilan bebas dan tidak memihak.
7. Peradilan Tata Usaha Negara.
8. Peradilan Tata Negara (constitutional court).
9. Perlindungan Hak Asasi Manusia.
10. Bersifat demokratis (demokratitische rechtsstaat).
11. Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara (welfare rechtsstaat).
12. Transparansi dan kontrol sosial.
13. Berketuhan Yang Maha Esa.

22
Marbun, op cit., hlm. 14.
23
Ibid.
24
Jimly Asshiddigie, op.cit.
Prinsip negara hukum yang dirumuskan oleh Jimly tersebut sangat kompleks dan
sesuai dengan pengaturan dalam suatu negara modern yang cenderung merumuskan segala
sesuatu secara rinci dan kompleks. Dengan rumusan prinsip negara hukum secara rinci
tersebut, akan mudah melakukan evaluasi apakah suatu negara dapat disebut sebagai suatu
negara hukum modern atau tidak.
Konsepsi pemikiran negara hukum Indonesia juga mengalami pergeseran, yang
tadinya kita lebih bertumpu pada model rechtsstaat, lebih memilih menggabungkan kedua
prinsip dasar negara hukum rechtsstaat dan the rule of law atau dikenal dengan konsep
prismatik tersebut. Penggabungan itu secara eksplisit dinyatakan dalam bunyi Pasal 24 ayat
(1) UUD Negara RI 1945 yang menyatakan "Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan".
Norma yang dirumuskan dalam Pasal 24 UUD Negara RI 1945 tersebut di atas, kemudian
dijelaskan lagi dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman (UU No. 48 Tahun 2009) yang menyatakan "Kekuasaan Kehakiman
adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
Hal yang sama juga pernah diatur dalam UU tentang Kekuasaan Kehakiman sebelumnya,
yakni pada Pasal 1 UU No. 4 Tahun 2004.
Baik ketentuan dalam UUD Negara RI 1945 maupun undang-undang tentang
kekuasaan kehakiman yang disebutkan di atas, mengamanatkan secara jelas tujuan yang
ingin dicapai dalam kehidupan hukum di Indonesia adalah bukan saja dalam penegakan
hukum, melainkan sekaligus untuk mewujudkan keadilan. Keadilanlah yang merupakan
tujuan utama hukum selain kepastian hukum dan kemanfaatan. Berkenaan dengan tujuan
hukun tersebut, Gustav Radbruch sebagaimana dikutip oleh Ahmad Ali mengemukakan
bahwa cita hukum (idec des recht), yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian.25 Tujuan
hukum tersebut berhubungan dengan upaya-upaya penegakan hukum dalam kehidupan nyata
di masyarakat. Hal yang sama dengan pandangan Radbruch dikemukakan oleh Sudikno

25
Actimad Ali, Menguak Realitas Hukum, 2008, Rampai Kolom & Artikel Plihan Dalam Bidana
Hukum, Prenada Media Group. Jakarta, hlm 3
Mertokusumo26 yang menyatakan bahwa dalam menegakkan hukum terdapat tiga unsur yang
selalu harus diperhatikan, vaitu kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan
(Zwechmassigkeit), dan keadilan (Gerechttigheid).

2.3 KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA


Untuk tegaknya negara hukum Indonesia diperlukan kekuasaan yang meng kawal
negara hukum tersebut agar berjalan pada koridor yang ditctapkan, yakni yang dilakukan
olch kekuasan kehakiman Pengaturan kekuasaan ke. hakiman dalam UUD semula dalam Bab
IX dengan itt "Kekuasaan Kchakiman, Pasal 24 dan 25 UUD. Akan tetapi, setelah
amandemen mengalami perubahan. Hal itu disebabkan perubahan Pasal 24 dan 25 itu sendiri
menjadi Pasal 24, 24A. 24 B, 24 C, dan 25.
Adapun Pasal 24 menegaskan:
1) Kekuasan kchakiman merupakan kekuasaan yang mardeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan ke adilan.
2) Kekuasan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan
yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, ingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan Tata Usaha Negara, dan
olch sebuah Mahkamah Konsitusi.
3) Badan peradilan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur
dalam undang-undang.
Amandemen UUD 1915 merupakan respons dari tuntutan dan tujtuan reformasi yang
menghendaki diadakan reformasi konstitusi. Refornasi pada dasarnya merupakan gerakan
moral dan kultural (moral and cultural move ments) untuk menegakkan kembali prinsip-
prinsip negara hukum menurut Undang-Undang Dasar Negara yang menempatkan hukum
sebagai suatu yang supreme dalam kehidupan bernegara. Jadi, sasarannya adlalah hukum
yang adi dan demokratis yang menjadi panglima di negara ini bukan kekus.an yang
merupakan panglima (rechts is macht bukan macht is reclat).

26
Sudikno Mertokusumo dan Pitlo, 1993, Bab Bab tentang Penemuan Hukum, PT Citra Aditya Bakt,
hlm 1.
Reformasi itu dilakukan dengan pemisahan secara tegas antara fungsi kekuasaan
eksekutif dengan fungsi kekuasaan yudikatif serta menciptakan ke. lembaga.an yang dapat
mengawal atau mengontrol kekuuasan tersclbut. Pemisahan dilakukan dengan mengalihkan
organisasi, administrasi, dan finansial badan badan peradilan yang semula di bawah
kementerian kementerian (Kementerian hukum HIAM, Kementerian Pert.ahanan dan
Keam.anan, dan Kementerian Agama) menjadi berada di bawah Mahkamah Agung Ilal itu
disebabkan dalam kurun waktu lebih dari tiga dasawarsa terbukti perjalanan kekuasaan
kehakiman yang bebas dan mardeka ternyata tidak berjalan sebagaimana mestinya, karena
inter vensi kekuasaan lainnya.
Kekuasaan yang dominan dari eksekutif selama lebih dari tiga dasawarsa tersebut
mengakibatkan kekuasaan kehakiman tidak memiliki keleluasaan dan kemerdekaan dalam
menjalankan kewenangannya sehingga kewenangan itu menjadi mandul. Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU No. 14 Tahun 1970) menjadi
landasan yang memberi peluang eksekutif untuk memasuki dan inencampuri fungsi
yudikatif. Ketentuan UU No. 14 Tahun 1970 tersebut mendapat kritikan dan sorotan terutama
pada masa reformasi, sehingga perlu dilakukan perubahan sebagai landasan kekuasaan
kehakinan yang mandiri.
UU No. 14 Tahun 1970 kemudian diubah dengan Undang Nomor 35 Tahun 1999
tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yang diundangkan dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3879. Perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
tersebut untuk pemisahan fungsi ekse kutif dan yudikatif yang meliputi Pasal 11 dan 22, UU
No. 35 Tahun 1999 yang substansinya adalah sebagai berikut.27
1. Ketentuan yang berkaitan dengan pengaturan mengenai aspek organisasi, administrasi,
dan finansial dari badan-badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan
agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara dari departemen yang
bersangkutan menjadi di bawah Mahkamah Agung.
2. Mengatur tentang jangka waktu penindahan yang bersangkutan dengan urusan
organisatoris, administrasi, dan finansial badan-badan peradilan berada satu atap di
bawah kekuasaan Mahkamah Agung.

27
(Yuslim, hukum acara peradilan tata usaha negara, cetakan pertama, (Jakarta: sinar grafika, 2015), hlm. 14)
3. Mengatur tentang tindak pidana yang dilakukan dalam perkara koneksitas yang awalnya
hakim ditentukan oleh Menteri Pertahanan atas persetujuan Menteri Kehakiman, akhirnya
ditentukan oleh Mahkamah Agung.
4. Ketentuan peralihan yang menetapkan peraturan perundang-undangan pelaksana Pasal I
dan Pasal 22 masih tetap berlaku, sepanjang belum diganti menurut peraturan perundang-
undangan yang baru.

Perubahan Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman tersebut dilakukan setelah


jatuhnya rezim Orde Baru. Akan tetapi perubahan undang-undang tersebut belum membuat
perubahan yang signifikan tentang penisahan kekuasaan eksekutif dan yudikatif. Karena
dalam kenyataannya sampai dilakukan amandemen Undang-Undang Dasar 1945, belum
terjadi pemisahan kekuasaan kehakiman dari eksekutif sehingga dualisme pembinaan
peradilan masih berjalan. Dualisme yang dimaksud di sini adalah bahwa pada satu sisi hakim
berada di bawah pembinaan kekuasaan eksekutif atau berada di bawah pembinaan menteri
dalam bidangnya, sedangkan sisi lain hakim berada di bawah pembinaan Mahkamah Agung
(yudikatif), yakni penbinaan kemampuan teknis.
Dengan perubahan UUD 1945, ketentuan yang mengatur kekuasaan kehakiman dan
badan peradilan memerlukan penyesuaian dengan ketentuar konstitusi yang baru. Akibatnya,
ada undang-undang yang berkaitan dengan peradilan dicabut, dan ada yang mengalami
perubahan, serta membentuk undang-undang baru. Selain itu hal yang sangat fundamental
adalah diben tuknya lembaga negara baru dalam bidang kekuasaan kehakiman setelah
amandemen. Hal itu jelas memerlukan undang-undang yang baru pula untuk mengaturnya.28
Undang-undang baru yang mengatur berbagai hal tentang kekuasaan kehakiman yang
dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316.
2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4358.

28
(Yuslim, hukum acara peradilan tata usaha negara, cetakan pertama, (Jakarta: sinar grafika, 2015), hlm. 15)
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor
14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 9, Tambahan I.embaran Negara Nomor 1359.
4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 2
Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4379.
5. Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas U'ndang Undang Nomor
5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2001 Nomor 35, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4380.
Undang-undang di atas saat ini juga sudah mengalami perubahan m.upun penggantian
dalam rangka menyenpurnakan undang-undang tersebut agar terbentuk undang-undang yang
sesuai dengan asas pembentukan undang undang yang baik. Undang-undang baru tersebut
adalah Undang Undang Nomor 4S Tahun 2009 sebagai penganti Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Undang-Undang Nomot 49 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 19s9 tentang Peradilan Agama, Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua atas Undang Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara.29
Sebagai amanat Pasal 24 ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1915 jo. Pasal 2 dan Pasal
10 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2001 jo. Pasal 18 UU No 48 Tahun 2009 mengakui 4 (empat)
lingkungan peradilan yang menjalankan kekuasaan ke hakiman di bawah Mahkamah Agung,
yaitu sebagai berikut.
1. Peradilan Umum.
2. Peradilan Agama
3. Peradilan Militer.
4. Peradilan Tata Usaha Negara.
Keempat lingkungan peradilan tersebut dibentuk dalam rangka mengis dan
menegakkan negara hukum Indonesia. Salah satu prinsip negata hukum adalah adanya
jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh

29
(Yuslim, hukum acara peradilan tata usaha negara, cetakan pertama, (Jakarta: sinar grafika, 2015), hlm. 16)
kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakann peradil.ant guna menegakkan hukum dan
keadilan. Kekuasaan kehakiman yang merdek dalam ketentuan undang undang ini
mengandung pengertian bahwa kekuuasaan kehakiman yang bebas dari segala campur tangan
pihak kekuasaan ckstra yudi sial Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat
tidak mutlak karena tugas hakim adalah untuk mencgakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan bagi rakyat indonesia.30
Memperhatikan peradilan yang ada di Indonesia cukup banyak, hal tersebut tentu tidak
mudah untuk melakukan koordinasi dalam pelaksanaan tugas. Selain itu, hal tersebut juga
dapat menimbulkan konflik kewenangan (conflik competence), baik bersifat negatif maupun
positif. Konflik kewenangan tersebut tentu akan merugikan bagi pencari keadilan dan juga
institusi pelaksana kekuasaan kehakiman itu. Untuk itu, kepercayaan rakyat kepada
kekuasaan kehakiman perlu dipelihara, sehingga dapat menjadi lembaga yang berwibawa dan
dibanggakan rakyat.

30
Penjelasan Pasal 1 Undang-Undang Nomer 48 Tahaun 2009, tentang kekuasaan kehakiman.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Suatu negara baru dapat disebut negara hukum jika dalam negara tersebut terdapat unsur-
unsur sebagai berikut.
1) Dalam negara hukum, pemerintahan berdasarkan undang-undang (asas legalitas) di
mana kekuasaan atau wewenang yang dimiliki pemerintah itu hanya semata-mata
ditentukan oleh Undang-Undang Dasar (UUD) dan Undang-Undang (UU).
2) Dalam negara, hak-hak manusia diakui dan dihormati oleh penguasa.
3) Kekuasaan pemerintahan dalam negara tidak dipusatkan dalam satu tangan. tetapi
harus dibagi kepada lembaga-lembaga kenegaraan di mana yang satu melakukan
pengawasan terhadap yang lain sehingga tercipta suatu keseimbangan antarlembaga
Negara.
4) Perbuatan pemerintah yang dilakukan oleh aparatur kekuasaan dimungkinkan untuk
diajukan ke peradilan yang tidak memihak yang diberi wewenang menilai tindakan
atau perbuatan pemerintah.
2. Negara Hukum Indonesia yang dikenal menganut tipe rechtsstaat, setelalh amandemen
UUD 1945 istilah rechtsstaa dinetralkan menjadi "negara hukum" tanpa label rechtsstat
yang diletakkan dalam kurung. Dengan demikian politik hukum di Indonesia tentang
konsepsi negara hukum menggabungkan dua unsur yang baik dari rechtsstaat dan the rule
of law, bahkan sistenı hukum lain sekaligus.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai