Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

HUKUM DAN KEKUASAAN

INDONESIA ADALAH NEGARA HUKUM

(KONSEP DAN PENERAPANNYA)

Disusun oleh:

Gifvents

No. Stbk : 20.2.09.02.015

Di Bimbing oleh Dosen :

1. Prof. Dr. Aidul Fitriciada Azhari, SH.,M.Hum


2. Dr. Muh. Akbar, SH.,MH
3. Dr. Ardin, SH.,MH

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PASCASARJANA (S2)

UNISVERSITAS MUHAMMADIYAH PALU

TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis

dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul "Indonesia Adalah Negara Hukum

(Konsep dan Penerapannya) " dengan tepat waktu.

Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum Dan Kekuasaan. Selain

itu, makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang negara hukum bagi para

pembaca dan juga bagi penulis.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada 1) Prof. Dr. Aidul Fitriciada Azhari,

SH.,M.Hum, 2) Dr. Muh. Akbar, SH.,MH dan 3) Dr. Ardin, SH.,MH. Sebagai dosen

pengampu mata kuliah. Juga kepada teman pasca sarjana ilmu hukum yang telah

menjadi partner yang baik dalam bergai diskusi ilmiah di kelas, baik dilakukan secara

daring dengan menamanfaatkan jaringan online maupun yang dilakukan secara luring

dalam berbagai kesempatan

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan

kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Penulis

Palu, Juni 2021

Penulis Gifvents
No. Stbk : 20.2.09.02.013

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ........................................................................................................... ii

DAFTAR ISI ........................................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................... 1

A. Latar Belekang ........................................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ..................................................................................................... 3

C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan............................................................................... 3

D. Kerangka Teori .......................................................................................................... 4

BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................................... 6

A. Konsep Negara Hukum Di Indonesia ....................................................................... 6

B. Penerapan Prinsip Hak Asasi Manusia Dalam Negara Hukum Di Indonesia .... 12

BAB III KESIMPULAN .................................................................................................... 18


A. Kesimpulan .............................................................................................................. 18
B. Saran ......................................................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................... 19

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.

Perkembangan sistem ketatanegaraan sejumlah negara belakangan ini

menunjukkan bahwa begitu banyak negara yang kemudian menjadikan konsepsi

tentang negara hukum sebagai konsep ideal dalam membangun kehidupan

berbangsa dan bernegara. Hal itu menunjukkan bahwa betapa sentralnya posisi

dan kedudukan hukum dalam perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara,

khususnya dalam rangka mengatur kehidupan suatu negara menjadi lebih baik.

Hukum menjadi sesuatu yang sangat urgen untuk menata kehidupan manusia.

Sesungguhnya, konsepsi negara hukum sendiri sudah lama menjadi bahan

perbincangan para ahli.

Bahkan pada zaman Yunani Kuno, konsepsi negara hukum sudah mulai

diperdebatkan dan dijadikan diskusi berkelanjutan sebagai salah satu landasan

kehidupan manusia. Plato maupun Aristoteles pada masa kejayaannya sudah

memandang negara hukum sebagai salah satu pembahasan yang cukup menarik

serta diprediksi akan menjadi diskusi menarik di kemudian hari. Hal itu pun

terbukti bahwa saat ini, konsep negara hukum selalu saja mendapat porsi

pembahasan yang sangat menonjol dalam sistem ketatanegaraan suatu negara.

Hanya saja, pada saat awal munculnya pembahasan negara hukum, konsep

dimaksud masih hanya ditujukan sebatas upaya atau perjuangan dalam rangka

menentang kekuasaan raja yang begitu absolut. Artinya, cakrawala pemahaman

tentang negara hukum ketika itu masih hanya terbatas pada upaya

1
mengendalikan pergerakan kekuasaan raja yang begitu besar. Kala itu,

kekuasaan suatu negara selalu bertumpu pada raja, sehingga kemudian sangat

rentan melahirkan kesewenang-wenangan. Atas dasar pertimbangan demikian,

maka upaya membatasi kekuasaan raja menjadi sangat urgen demi masa depan

dan eksisnya suatu negara. Tanpa adanya pembatasan kekuasaan raja, maka

menjadi sangat sulit untuk mengontrol jalannya pemerintahan. Oleh sebab itu,

prinsip utama negara hukum selalu dipandang sebagai upaya pembatasan

kekuasaan para penguasa serta dalam rangka menjaga dan melindungi hak asasi

manusia 1

Sebagaimana dikemukakan Janpatar Simamora (2014:549), bahwa pada

umumnya konsepsi tentang negara hukum selalu berkiblat pada dua tradisi

hukum yang berbeda, yaitu common law system dan civil law system. Kedua

sistem hukum tersebut menggunakan istilah yang berbeda pula, yaitu rechtsstaat

dan the rule of law. Rechtsstaat diketaui muncul sebagai upaya menentang

absolutism raja atau penguasa, yang sifatnya revolusioner dan bertumpu pada

sistem hukum kontinental yang disebut civil law system. Sedangkan the rule of

law dapat dikatakan berkembang secara evolusioner yang kemudian bertumpu

atas sistem hukum commn law system. Kedua sistem hukum dimaksud pada

prinsipnya mengarah pada satu pemahaman dan pemaknaan utama, yaitu negara

hukum. kedua sistem dimaksud sama-sama memandang hukum sebagai sarana

1
. Haposan Siallagan. “Penerapan Prinsip Negara Hukum Di Indonesia”. Vol 18 No 2 Edisi Juli
2016. Medan. Fakultas Hukum Universitas HKBP; hlm. 133

2
efektif dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun demikian,

terdapat perbedaan yang sangat nyata di antara keduanya. Rechtsstaat misalnya,

pada prinsipnya mengandung sejumlah ciri pokok di antaranya adanya

perlindungan terhadap hak asasi manusia, adanya pemisahan atau pembagian

kekuasaan lembaga negara dalam rangka menjamin pelaksanaan kekuasaan

negara itu sendiri, serta adanya peradilan administrasi. Adapun the rule of law

pada prinsipnya mengandung ciri pokok seperti adanya supremasi hukum,

adanya persamaan kedudukan di hadapan hukum (equility before the law) serta

adanya jaminan perlindungan hak asasi manusia. 2 Dalam UUD 1945 konsep

negara hukum ditegaskan melalui Bagian Penjelasan, tepatnya pada Bagian

Sistem Pemerintahan Negara Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 secara jelas menyatakan

bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum.

B. Rumusan Masalah.

1. Bagaimana konsep negara hukum di Indonesia.?

2. Bagaimana penerapan prinsip hak asasi manusia dalam negara hukum di

Indonesia.?

C. Tujuan Dan Kegunaan Penulisan.

Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui:


1. Untuk menambah dan memperluas pengetahuan serta pemahaman tentang

konsep negara hukum dan reformasi dibidang hukum sebagai sebagai teori

dan prakteknya.

2
. Janpatar Simamora.”Tafsir Makna Negara Hukum Dalam Prespektif Undang-Undang Dasar
1945”. Vol 14 No 3, Edisi September 2014. Medan: Fakultas Hukum HKBP; hlm. 550

3
2. Untuk penerapan prinsip-prinsip negara hukum di Indonesia.?

Adapun kegunaan penulisan ini adalah:

1. Bagi ilmu pengetahuan, yaitu diharapkan hasil penulisan ini dapat berguna

bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum

2. Bagi masyarakat, yaitu meningkatkan pengetahuan dan informasi kepada

masyarakat pelaksanaan prinsip-prinsip negara hukum.

D. Kerangka Teori

Pemikiran negara hukum dimulai sejak Plato dengan konsepnya “bahwa

penyelenggaraan negara yang baik ialah yang didasarkan pada pengaturan

(hukum) yang baik yang disebut dengan istilah nomoi”. Kemudian ide tentang

negara hukum populer pada abad ke-17 sebagai akibat dari situasi politik di

Eropa yang didominasi oleh absolutisme.

Konsep negara hukum tersebut selanjutnya berkembang dalam dua sistem

hukum, yaitu sistem Eropa Kontitenal dengan istilah Rechtsstaat dan sistem

Anglo-Saxon dengan istilah Rule of Law. Rule of Law berkembang di negara-

negara Anglo-Saxon, seperti Amerika Serikat.

Konsep negara hukum Eropa Kontinental Rechtss dipelopori oleh

Immanuel Kant dan Frederich Julius Stahl. Menurut Stahl konsep ini tandai

oleh empat unsur pokok: 1) pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia;

2) negara didasarkan pada teori trias politika; 3) pemerintahan diselenggarakan

berdasarkan undang-undang (welmatig bertuur); dan 4) ada peradilan

4
administrasi negara yang bertugas menangani kasus perbuatan melanggar

hukum oleh pemerintah (onrechtmatige overheidsdaad). 3

Adapun konsep negara hukum Anglo-Saxon Rule of law dipelopori oleh

A.V. Dicey (Inggris). Menurut A.V. Dicey. Konsep Rule of law ini

menekankan pada tiga tolok ukur: 1) supermasi hukum (supermacy of law). 2)

persamaan dihadapan hukum (equality before teh law); 3) konstitusi yang

didasarkan atas hak-hak perorangan (the constitution based on individual

rights).

Berdasarkan pandangan para pakar, maka negara hukum hakikatnya

adalah negara yang menolak melepaskan kekuasaan tanpa kendali. Negara yang

pola hidupnya berdasarkan hukum yang adil dan demokratis. Kekuasaan negara

di dalamnya, harus tunduk pada “aturan main”. 4

Bagaimana dengan konsep negara hukum Indonesia? Mengikuti


pendapat Garry F.Bell dalam bukunya The New Indonesion Laws Relating to
Regional Autonomy Good Intentions, Confusing Laws. Seperti dikutip Denny
Indrayana: sebagai, terminologi negara huykum (a nation of law) dalam konteks
hukum indonesia lebih mendekati konsep hukum kontinental (rechtstaat).
Dibandingkan konsep rule of law di negara-negara Anglo-Saxon. Berbeda
dengan Bell, R.M. Ananda B. Kusuma. melihat bahwa Republik Indonesia
menganut asas Rechtsstaat Kontinental dan asas rule of law5

3
. Aidul Fitriciada Azhari. “Negara Hukum Indonesia. Dekolonisasi dan rekonstruksi Tradisi”. Vol
19 No 4. Edisi Oktober 2012. Surakarta. Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah; hlm. 492
4
. Titik Triwulan Tutik. “Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen
UUD 1945”. Jakarta. Prenada Media. 2010. hlm. 34
5
. I Dewa Gede Atmadja, “ Teori Kontitusi & Konsep Negara Hukum”. Malang: Setara Press.
2015. hlm. 122

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Negara Hukum Di Indonesia.

Memerhatikan rumusan konsep negara hukum Indonesia Ismail Sunny

mencatat empat syarat negara hukum secara formal yang menjadi kewajiban kita

untuk melaksanakannya dalam Republik Indonesia 1) hak asasi manusia; 2)

pembagian kekuasaan; 3) pemeritnahan berdasarkan undang-undang;4)

peradilan administrasi. 6

Berdasarkan urian konsep tentang negara hukum tersebut ada dua

subtansi dasar yaitu ; 1) adanya paham konstitusi dan 2) sistem demokrasi atau

kedaulatan rakyat.

Paham konstitusi memiliki makna bahwa pemerintahan berdasakran atas

hukum dasar (konstitusi) tidak berdasarkan kekuasaan belaka (absolutisme).

Konsekuensi logis dari diterimanya paham konstitusi atau pemerintahan

berdasarkan undang-undang dasar (wetmatigheid van bestuuri) berarti bahwa

dalam pemerintahan negara presiden selaku eksekutif memegang kekuasaan

pemerintahan menurut UUD, presiden berhak mengajukan undang-undang

kepad alembaga perwakilan rakyat. Presiden menetapkan peraturan pemerintah

untuk menjalankan undang-undang. Dengan prinsip ini pula presiden hanya

dapat mengeluarkan peraturan, kalau ini mempunyai landasan pada UUD. 7

6
. Moh. Mahfud. MD. “Politik Hukum di Indonesia”. Depok. PT. Rajagrafindo Persada. 2009. hlm
220
7
. Ibid, hlm, 56

6
K.C Wheare F.B.E seperti yang dikutip Juniarto mengatakan :

Istilah contitusion pada umumnya digunakan untuk menunjuk kepada

seluruh peraturan mengenai ketatanegaraan suatu negara yang secara

keseluruhan akan menggambarkan sistem ketatanegaraanya. Sistem

ketatanegaraan tersebut terbagi dalam dua golongan yaitu, peraturan

sederajat legal (law) dan berderajat nonlegal (extralegal).

Sedangkan dalam pandangan Bolingbroke yang dimaksud konstitusi,

jika berbicara dengan cermat dan tepat adalah kumpulan hukum, lembaga,

dan kebiasaan yang berasal dari prinsip-prinsip tertentu. Yang menyusun

sistem umum dan masyarakat setuju untuk diperintah menurut sistem itu.

Berdasarkan pendapat di atas, maka pada dasarnya peraturan-peraturan

(konstitusi) ada yang tertulis sebagai keputusan badan yang berwenang,

berupa UUD atau UU dan ada yang tidak tertulis yang berupa “usages,

undestanding, custums atau convention.8

Istilah konstitusii dalam perkembanganya mempunya dua pengertian:

a. Dalam pengertian yang luas, konstitusi berarti keseluruhan dari

ketentuan-ketentuan dasar atau hukum dasar (droit constitution elle),

baik yang tertulis, tidak tertulis ataupun campuran keduanya

b. Dalam pengertian sempit (terbatas), konstitusi berarti piagam dasar atau

undang-undang dasar (io constitutionelle), ialah suatu dokumen lengkap

mengenai peraturan-peraturan dasar negara misalnya UUD 1945.

8
. Suparto. “Pemisahan Kekuasaan, Konstitusi dan Kekuasaan Kehakiman Yang Independen”. Vol
4 No. 1. Edisi Oktober 2016. Riau. Fakultas Hukum Universitas Islam. Hlm. 117

7
Berdasarkan dengan keberdaaan konstitusi dalam suatu negara Lord

Bryce mencatat empat motif timbulnya konstitusi:

1. Adanya kegiatan anggota warga negara untuk menjamin hak-haknya

yang mungkin terancam dan sekaligus membatasi tindakan-tindakan

penguasa.

2. Adanya keinginan dari pihak yang diperintah atau yang memerintah

dengan harapan untuk menjamin rakyatnya dengan menentukan bentuk

suatu sistem ketatanegaraan tertentu.

3. Adanya keinginan dari pembentuk negara yang baru untuk menjamin tata

cara penyelenggaraan ketatanegaraan.

4. Adanya keinginan untuk menjamin kerja sama yang efektif antarnegara

bagian.

Berdasarkan pendapat Lord Bryce tersebut, maka paham konstitusi

memiliki manka bahwa pemerintahan berdasarkan atas hukum dasar

(konstitusi), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (absolutisme). Konsekuensi

logis dari diterimanya paham konstitusi atau pemerintahan berdasarkan

undang-undang dasar (wetmatigheid van bestuur), berarti bahwa dalam

pemerintahan negara presiden selaku eksekutif memegang kekuasaan

pemerintahan negara presiden selaku eksekutif memegang kekuasaan

pemerintahan menurut UUD, presiden berhak mengajukan undang-undang

kepada lembaga perwakilan rakyat. Presiden menetapkan peraturan

pemerintah untuk menjalankan undang-undang. Dengan prinsip ini pula

8
presiden hanya dapat mengeluarkan peraturan, kalau ini mempunyai
9
landasan pada UUD, atau merupakan penerusan dari padanya.

Paham konstitusionalisme, tulis pemikir C.H. Mellwain dalam

Constitusionalism: Ancient and modern (1947)m menghendaki eksistensi

dua elemen penting sekaligus : 1) hukum yang menjadi “pembatas” bagi

kemungkinan kesewenang-wenangan kekuasaan: dan 2) akuntabilitas politik

sepenuhnya dari pemerintah (government) kepada yang diperintah

(governed).

Melalui sistem konstitusi dalam pemerintahan inilah akan melahirkan

kesamaan hak dan kewajiban negara serta perlindungan di dalam hukum dan

pemerintahan, karena pemerintahan (penguasa) dalam menerapkan aturan

merujuk pada aturan dasar yang berlaku (konstitusi) bukan kekuasaan yang

dimiliki. Istilah ini dikenal dengan pengakuan akan kedaulatan rakyat.

Pengertian demokrasi secara harfiah identik dengan makna kedaulatan

rakyat yang berarti pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta

memerintah (pemerintah rakyat). Filsuf J.J. Rosseau sebagaimana dikutip

Ray Rangkuti berpendapat:

Demokrasi perwakilan pada hakikatnya bukanlah demokrasi karena lebih

banyak memuaskan keinginan segelintir orang (will of the few) di legislatif

ketimbang keinginan rakyat sebagai kehendak umum (general will). Dengan

9
Ibid, hlm, 90

9
demikian demokrasi langsung merupakan satu-satunya demokrasi yang tepat

(benar). 10

Demokrasi sendiri secara etiomologis (tinjauan bahasa) terdiri dari dua

kata berasal dari bahasa Yunani yaitu “demos” yang berarti rakyat

(penduduk suatu tempat) dan “cratein” atau “cratos” yang berarti kekuasaan

(kedaulatan). Jadi secara bahasa demokrasi adalah keadaan negara dimana

dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada ditangan rakyat,

kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat

berkuasa, pemerintahan rakyat, dan kekuasaan oleh rakyat.

Affan Ghaffar, memakai demorkasi dalam dua bentuk yaitu: Pertama,

pemaknaan secara normatif (demokrasi normatif) yaitu demokrasi yang

secara ideal hendak dilakukan oleh sebuan negara. Kedua, demokrasi

empirik, yaitu demokrasi dalam perwujudannya pada dunia politik praktis.

Jika demokrasi dikaitakan dengn organisasi negara Affan Ghaffar

mengatakan, bahwa dari sudut organisasi, demokrasi berarti

pengorganisasian negara yang dilakukan oleh rakyat sendiri atau atas

pertejuan rakyat karena kedaulatan berada di tangan rakyat.

Berdasarkan uraian diatas, maka hakikat demokrasi (Kedaulatan rakyat)

sebagai suatu sistem bermasyarakat dan bernegara serta peemritnahan

memberikan penekanan pada keberadaaan kekuasaan di tangan rakyat baik

dalam penyelenggaraan negara maupun pemerintahan. Adapun kekuasaan

10
. Ibid, hlm 136

10
ditangan rakyat mengandung tiga pengertian, yaitu: pemerintahan dari

rakyat (goverment of the people), pemerintahan oleh rakyat (goverment by

people) dan pemerintahan untuk rakyat (government for people).11

R. William Liddle mengatakan bahwa suatu sistem pemerintahan

demokratis, efektif, dan stabil mengandung empat ciri:

1. Partai-partai politik, (1) melalui pemilu memilih pejabat yang secara

formal dan informal bertanggung jawab atas policy kenegaraan; (2)

bersifat bebas dari intervensi pihak lain; (3) mempunyai dukungan luas

dari masyarakat; dan (4) mengandalkan kepemimpinan yang dieprcaya

oleh angggotanya dan mampu memimpin negara.

2. Persetujuan umum (consensus) mengenai; (1) aturan main politik, baik

formal maupun informal yang menyangkut proses pengambilan

keputusan; (2) konsensus mengenai nilai-nilai ekonomi, sosial dan

budaya yang ingin dicapai/dipertahankan masyarakat.

3. Lembaga eksekutif yang menentukan (dominan) dalam proses

pengambilan keputusan ke pemerintahan

4. Birokrasi negara yang mampu melaksanakan kebijksanaan pemerintahan.

B. Penerapan Prinsip Hak Asasi Manusia Dalam Negara Hukum Di

Indonesia.

Bicara mengenai keberadaan hak asasi manusia (HAM) dalam konstitusi

di Indonesia tidak lepas dari perdebatan sengit antara kelompok yang tidak

11
. Ibid. hlm 214

11
menyetujui bahwa ketentuan tentang Ham dituangkan dalam konstitusi yang

dalam hal ini diwakili oleh Soekarno dan Soepomo dan kelompok yang

bersikeras agar ketentuan tentang HAM diakomodasi dalam pasal-pasal onstitusi

yang diwakili oleh Moh. Hatta dan M. Yamin. Menurut Soekarno-Soepomo,

tidak disetujuinya ketentuan HAM dituangkan dalam konstitusi karena negara

Indonesia yang akan didirkan adalah negara gotong royong yang menolak

individualisme sendangkan menurut Hatta-Yamin dimasukkannya HAM dalam

pasal-pasalkonstitusi agar rakyat berani menyatakan pendapatnya dan

pemerintah tidak berlaku sewenang-wenang. 12 Perdebatan pendapat tersebut

melahirkan kompromi bahwa pasal-pasal HAM tetap dimasukan dalam

kosntitusi tetapi dengan rumusan yang simpel, tidak eloboratif dan perlu diatur

lagi dengan undang-undang.

Dalam Regerings Reglement Hindia Belanda 1854, yang ditetapkan

dengan Wet Belanda, dimuat beberapa hak asasi, tetapi dalam Wet itu diadakan

perbedaan antara warga keturunan Eropa (European) dan Pribumi (Inlander en

met hen gelijkgesteiden).

Hak-hak asasi golongan kedua dalam perundang-undangan Belanda tidak

memperoleh jaminan yang sama dengan hak asasi golongan pertama. Wet-wet

tersebut antara lain dalam pasal 1 ”Wetboek Strafrecht voor Nederlands Indie”

yang memuat asas “Nullum poena sine lege” yaitu orang (golongan pertama)

12
. Janpatar Simamora. “Perlindungan Hak Memilih Sebagai Hak Konstitusi Warga
Negara”. Vol 6 No 2, Edisi Agustus 2013. Medan: Fakultas Hukum HKBP;hlm 372

12
hanya dapat dituntut untuk dihukum berdasarkan alasan bahwa ia melanggar

aturan hukum yang telah berlaku pada saat ia melanggarnya.

Dalam konstitusi RIS 1949 yang ditetapkan 14 Desember 1949, hak asasi

mendapat tempat yang penting yaitu, dalam Bab V Pasal 7 sampai Pasal 33,

sednag dalam Bab VI Pasal 34 sampai Pasal 41 memuat beberapa kewajiban

asasi pemerintah terhadap rakyat.

Konstitusi 1950 ditetapkan pada tanggal 15 Agutsu 1950 jadi lahir

setelah diterimanya Declaration of Human Right tanggal 10 Desember 1948.

Pasal-pasal yang memuat hak asasi manusia, yang meliputi hak asasi manusia terhadap

Pasal 7 sampai dengan Pasal 31 dan kewajiban asasi pemerintah/penguasa Pasal 35

sampai Pasal 43.

Yang termasuk hak asasi manusia terhadap manusia diantaranya adalah; Pasal 7

ayat (1), pengakuan tiap-tiap nilai manusia sebagai pribadi terhadap undang-undang.

Ayat (2) asa persamaan terhadap undang-undang Ayat 3 dan 4, berisi terjaminya

perlindungan hukum yang sama. Pasal 8, berisi perlindungan terhadap diri dan harta.

Pasal 9, memuat hak-hak kebebasan bergerak dan memilih tempat tinggal dalam

teritorium negar adan hak masuk keluar dengan bebas di wilayah itu. Pasal 10,

pelanggaran perbudakan, perdagangan budak dan perhambaan dan segala perbuatan

berupa apapun yang bertujuan kepada itu, dan lain-lain.

Kewajiban pemerintah di antaranya ditentukan dalam Pasal 35 yang berisikan

bahwa kemauan rakyat adalah dasar kekuasaan pernguasa. Disamping dalam konstitusi

1950, hak asasi manusia juga terdapat dalam hasil karya konstituante Bandung, yaitu

pada bagian VII tentang hak-hak asasi serta kewajiban warga negara, Bagian II tentang

hak asasi manusia

13
UUD 1945 Pra-Amandemen terususn atas pembukaan dan batang tubuh yang terdiri

dari 37 Pasal, empat peraturan peralihan, dua aturan tambahan dan penjelasan. Hak

asasi manusia sendiri termuat ke dalam pembukaan dan batang tubuh.

Hak asasi manusia dalam pembukaan UUD 1945 terangkum dalam tiap alinea. Pada

alinea I, pada hakikatnya merupakan pengakuan akan adanya kebebasan untuk merdeka

(freedom of be free), pengakuan akan perikemanusiaan adalah inti dari hak asasi

manusia.

Alinea II, disebutkan Indonesia sebagai negara yang adil, kata sifat adil

menunjukkan asalah satu tujuan dari negara hukum untuk mencapai atau mendekat

keadilan. Apabila prinsip negara hukum ini betul-betul dijalankan, maka hak asasi

manusia tersebut akan terlaksana dengan baik.

Alinea III, berintikan bahwa rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaanya

supaya terjelma kehidupan bangsa Indonesia yang bebas. Hal ini sebagai pengakuan dan

perlindungan hak asasi yang mengundang persamaan dalam bentuk politik.

Alinea IV, meneguhkan pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi dalam segala

bidang yaitu, politik, hukum, sosial, kultural, dan ekonomi.

Dalam batang tubuh UUD 1945 terdapat 7 Pasal yang mengatur langsung hak

asasi manusia. Meskipun hanya 7 pasal, namun pasal-pasal tersebut merupakan hal-hal

pokok. Pasal 27, mengenai hak tentang persamaan dalam hukum dan penghidupan yang

layak bagi kemanusiaan. Pasal 27 Ayat (1) menyebutkan bahwa segala warga negara

bersamaan kedudukan dalam hukum. Prinsip persamaan didalam hukum ini hampir

dengan prinsip equality before the law, yang berarti bahwa tidak ada perbedaan warga,

terbuka setiap warga negara yang memenuhi persyaratan untuk itu.

14
Pasal 27 Ayat (2)menghendaki bahwa negara berhak atas penghidupan yang layak bagi

kemanusiaan. Karenanya adalah kewajiban pemerintah untuk menciptakan lapangan

pekerjaan baru yang layak bagi kemanusiaan

Pasal 28, tentang kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran

secara lisan maupun tulisan. Ketiga hak asasi ini adalah hak-hak yang sangat penting

dalam suatu negara demokrasi. Kebebasan berserikat tidak akan ada artinya jika ada

kebebasan untuk mengeluarkan pendapat. UUD 1945 sendiri menyebutkan hal itu

harus diatur dalam undang-undang. Pemerintah dan DPR menyusun UU No.03 Tahun

1975 sebagai pelaksanaan pasal 28 khususnya kebebasan berserikat (freedom of

association) adalah kebebasan untuk mendirikan parpol. Pengakuan terhadap parpol

oleh pemerintah tidak boleh dikaitkan dengan program partai tersebut yang akan

mendukung atau beroposisi dengan pemerintah, jadi partai bebas menentukan sikap.

Pasal 29, tentang kemerdekaan untuk memeluk agama., Pada ayat (2) disebutkan bahwa

negara menjami kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk emeluk agamanya masing-

masing dan beribadat menurut agamanya. Namun ayat ini ditafsirkan sehbungan ayat

(1) yang menyatakan bahwa negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Jadi

kebebasan tersebut adalah dalam hubunganya dengan agama yang memcayai Ke-esaan

Tuhan.

Pasal 31, tentang hak untuk mendapat pengajaran. Operasionalisasi dari

ketentuan ini tertuang dalam UU No 12 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional.

Pasal 32, tentang perlindungan yang bersifat kultural.Pasal 33, tentang hak-hak

ekonomi. Pasal 34 tentang kesejahteraan sosial.

Berkaitan dengan hal tersebut dalam hal perlindungan HAM amandemen UUD

1945 memberikan jaminan yang lebih komprehensip. Hal ini berbeda dengan UUD

15
1945 pra-amandemen yang memuat pasal-pasal HAM secara garis besar saja UUD

1945 pasca-amandemen selain memuat pasal-pasal HAM secara garis besar, juga

memberikan bab khusus yang mengakomodasi tentang aturan HAM yaitu pada Bab XA

yang memuat 10 pasal mulai dari Pasal 28 A hingga pasal 28J

Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2000 tenang HAM.

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang peradilan HAM dan kini dengan

amandemen memasukan HAM dalam bab tersendiri didalam UUD 1945, hukum

nasional indonesia mengenai HAM sudah memasuki babak baru dalam abad ke-21, ini

yaitu menuju babap peradaban tertinggi dalam kehidupan umat manusia. Hal ini

menunjukkan bahwa sejak saat ini, pemerintah dan bangsa Indonesia sudah mengakui

dan menghormati serta menjungjung tinggi HAM dan pelaksanaannya dalam konteks

kehidupan politik dan penegakan hukum di Indonesia. 13

13
. Ibid. Hlm 294-296

16
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan.

Berdasarkan hasil inventarisasi konsep negara hukum dan pelaksanaan

prinsip hak asasi manusia dalam negara hukum di Indonesia dapat diambul

beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Prinsip utama negara hukum selalu dipandang sebagai upaya pembatasan

kekuasaan para penguasa dalam rangka menjaga dan melindungi hak asasi

manusia.

2. Perlindungan hak asasi manusia dalam amandemen UUD 1945 memberikan

jaminan yang jauh lebih komprehensif dan memberikan dasar konstitusi bagi

lahir serta tumbuhnya negara hukum Indonesia yang mengutamakan

perlindungan HAM dalam kelangsungan sistem ketatanegaraan di Indonesia.

B. Saran.

Dalam kesimpulan tersebut dapat diberikan saran sebagai berikut:

1. Indonesia sebagai negara hukum harus terus tetap menjaga marwahnya

untuk melindungi segenap bangsa indonesia.

2. Perlindungan hak asasi manusia menjadi patokan pemerintah dalam

membuat kebijakan-kebijakan dalam bernegara sehingga dapat menciptakan

kesejahteraan bagi seluruh warga negara indonesia.

17
DAFTAR PUSTAKA

I Dewa Gede Atmadja,. Teori Kontitusi & Konsep Negara Hukum. Malang: Setara

Press. 2015.

Titik Triwulan Tutik,. Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen

UUD 1945. Jakarta. Prenada Media. 2010.

Mahfud. MD. Politik Hukum di Indonesia. Depok. PT. Rajagrafindo Persada. 2009

Janpatar Simamora.”Tafsir Makna Negara Hukum Dalam Prespektif Undang-Undang

Dasar 1945”. Vol 14 No 3, Edisi September 2014. Medan: Fakultas

Hukum HKBP;

Janpatar Simamora. “Perlindungan Hak Memilih Sebagai Hak Konstitusi Warga

Negara”. Vol 6 No 2, Edisi Agustus 2013. Medan: Fakultas Hukum

HKBP;

Aidul Fitriciada Azhari. “Negara Hukum Indonesia. Dekolonisasi dan rekonstruksi

Tradisi”. Vol 19 No 4. Edisi Oktober 2012. Surakarta. Fakultas

Hukum Universitas Muhammadiyah;

Suparto. “Pemisahan Kekuasaan, Konstitusi dan Kekuasaan Kehakiman Yang

Independen”. Vol 4 No. 1. Edisi Oktober 2016. Riau. Fakultas

Hukum Universitas Islam.

Haposan Siallagan. “Penerapan Prinsip Negara Hukum Di Indonesia”. Vol 18 No 2

Edisi Juli 2016. Medan. Fakultas Hukum Universitas HKBP;

18

Anda mungkin juga menyukai